KEMATANGAN EMOSI DAN KECENDERUNGAN DEPRESI TERSANGKA PENGGUNA NARKOBA Endang Sulistyandini, Adi Heryadi Sekolah Tinggi Psikologi Yogyakarta Email : [email protected] Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan kecenderungan depresi tersangka penyalahguna narkoba, penelitian di lakukan pada 32 responden yang merupakan tersangka penyalahguna narkoba di rutan Polda D.I. Yogyakarta. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala yang disebar pada 32 responden. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan teknik analisis data untuk menguji hipotesa adalah uji hipotesis dengan menggunakan korelasi product moment dari pearson. Berdasarkan hasil analisis data penelitian didapat nilai korelasi pearsons sebesar -0,525, oleh karena 0,525 lebih besar dari 0,05 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kematangan emosi dan depresi yang berarah negatif, dengan kata lain semakin tinggi tingkat kematangan emosi seseorang maka semakin rendah tingkat depresi orang tersebut begitu sebaliknya. Kata Kunci : Narkoba, Kematangan Emosi, Kecenderungan Depresi PENDAHULUAN Narkoba atau kepanjangan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya keberadaannya dalam kehidupan sehari-hari mempunyai dua sisi kontradiktif yang harus disikapi dengan penuh arif dan bijaksana. Kebutuhan akan pengobatan membuat pemerintah harus mengatur ketersediaan narkoba demi terpenuhinya rumah sakit, apotek maupun toko obat, demikian juga untuk ilmu pengetahuan sebagai bahan penelitian. Ketidakteraturan penyediaan narkoba akan menimbulkan peredaran dan penggunaan narkoba secara ilegal yang mana akan berdampak buruk bagi penggunanya. Dua sisi yang saling berlawanan tersebut salah satu faktor penyebab sulitnya menanggulangi peredaran gelap narkoba dan penyalahgunaan narkoba, disamping masih banyak faktor-faktor lain. Permasalahan Narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya merupakan persoalan nasional maupun internasional yang perlu segera kita tangani bersama khususnya Indonesia dan Asia pada umumnya dalam rangka mewujudkan bebas narkoba duniatahun 2015 . Hasil survey Nasional Badan Narkotika Nasional yang bekerjasama dengan Universitas 1 Indonesia Tahun 2011 tentang survey Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia, diketahui bahwa angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah mencapai 2,2 % atau 4,2 juta orang dari total populasi penduduk Indonesia yang berusia antara 10-60 tahun. Hal ini mengalami peningkatan sebesar 0,21 % bila dibandingkan dengan prevalensi pada tahun 2008 yaitu sebesar 1,99 % atau sekitar 3,3 juta orang. Dengan semakin maraknya peredaran gelap narkoba, maka diestimasikan jumlah penyalahguna narkoba akan meningkat 4,58 juta orang pada tahun 2013, apabila upaya P4GN (Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) tidak berjalan seefektif mungkin (http://www.bnn.go.id/portal/index.p hp/konten/detail/humas/pressrelease/ 11874/rapat - koordinasi-kerjasamabnnp-sulsel-melaksanakan-advokasiimplementasi-inpres-12-tahun-2011tentang-kebijakan-p4gn-ke-pt.semen-tonasa). Direktorat Reserse Narkoba Polda Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pelaksana Undang-undang dalam memberantas Narkoba telah menerapkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika dan Undang No. 05 Tahun 1997 tentang psikotropika untuk menjerat secara hukum pidana bagi penyalahguna dan pengedar serta Bandar narkoba. Data hasil pengungkapan kasus tindak pidana narkoba Direktorat Reserse Narkoba Polda D.I. Yogyakarta tahun 2013 berhasil mengungkap 228 kasus dengan tersangka sebanyak 312 orang. (Sumber Direktorat Reserse Narkoba Polda DIY,2013). Pasal 81 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa:”Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini”, dan didalam proses penyelidikannya diberikan wewenang untuk melakukan penangkapan selama 3 X 24 jam serta dapat diperpanjang 3 X 24 jam sesuai pasal 76 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Ketika proses penyidikan dimulai maka seorang tersangka tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba atau pecandu narkoba akan ditempatkan disuatu ruangan khusus di Direktorat Tahanan dan Barang Bukti Polda D.I Yogyakarta, untuk menjalani penahanan sementara selama proses penyidikan dan sebelum diajukan ke tingkat penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh penulis pada bulan Maret 2015 di Rutan Polda D.I. Yogyakarta terlihat bahwa seorang tersangka pecandu maupun korban penyalahgunaan narkoba menjadi tidak tenang, tidak melakukan aktivitas, tidak mau makan, sedih, murung, lesu, susah tidur, lambat dalam berbicara, gelisah dan cemas. Suasana akan semakin memburuk tersangka penyalahgunaan narkoba tersebut sudah mengalami ketergantungan atau adiksi terhadap narkoba seperti 2 misalnya tersangka SA dan TM maka apabila tersangka tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan akan narkobanya ia akan mengalami gejala putus zat atau sakaw, sehingga akan menambah permasalahan bagi si tersangka penyalahguna narkoba. Seorang pecandu adalah orang-orang yang tidak bisa hidup tanpa narkoba dalam kehidupan mereka bahkan untuk beraktivitas secara wajar pun mereka membutuhkan narkoba/Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (Gordon, 1999 dalam Pranoto dan Astuti, 2006). Ketika dilakukan pembinaan untuk tersangka penyalahguna narkoba, sebagian besar dari tersangka tersebut menunjukkan penyangkalan dan tidak mempercayai kalau dirinya ditangkap oleh penegak hukum dan dimasukkan ke ruang tahanan. Perasaan cemas juga turut menghantui tersangka karena terbayang kebebasannya akan terkekang sehingga kemungkinan besar tersangka tidak akan dapat mencari narkoba untuk memenuhi kebutuhannya, juga perasaan khawatir bahwa dia akan mengalami putus zat atau sakaw. Kemarahan juga kadang-kadang akan menyertai reaksi tersangka ketika ditangkap oleh penegak hukum, perasaan marah ini akan dapat berakibat negatif karena perasaan ini membuat seseorang menjadi peka dan sensitif. Kemarahan yang berlarut-larut akan mengganggu kestabilan emosi atau mengganggu suasana hati. Para tersangka terutama yang baru pertama kali masuk ke ruang tahanan akan mengembangkan rekasi kecenderungan depresi, misalnya perasaan tidak mampu, perasaan tidak berharga, merasa hidup tidak berarti dan perasaan bersalah atau berdosa (Safaria, 2005). Perasaan tidak mampu muncul karena tersangka merasa tidak mampu menolak ajakan untuk tidak memakai narkoba, perasaan ini bisa menimbulkan kebencian pada diri sendiri sehingga perasaan ini berdampak tersangka ingin menghukum diri sendiri, seperti memukul-mukul kepala sendiri, membenturkan kepala ke dinding atau menyiksa diri dengan tidak mau menyantap makanan yang dihidangkan. Tersangka tidak bisa menjadi kebanggaan keluarganya ini menimbulkan perasaan tidak berharga dan tidak berarti, sedangkan memakai narkoba menimbulkan perasaan bersalah dan berdosa karena sudah jelas hal ini melanggar perintah dan norma agama. Reaksireaksi yang dialami tersangka ini bisa menyebabkan kecenderungan depresi baik depresi ringan, sedang atau berat. Kondisi yang dialami tersangka penyalahguna narkoba kemungkinan karena dipengaruhi oleh obat yang dipakai, dimana kinerja obat tersebut bisa mempengaruhi syaraf di otak. Menurut Hawari (2011) Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Namun tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stresor tersebut sehingga timbullah keluhankeluhan antara lain berupa stres, cemas dan depresi. Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum 3 dapat merupakan sumber stress, misalnya tuntutan hukum, pengadilan, penjara dan sebagainya. Manusia adalah makhluk yang memiliki rasa dan emosi, hidup manusia diwarnai dengan emosi dan berbagai macam perasaan. Manusia sulit menikmati hidup secara optimal tanpa memiliki emosi, manusia bukanlah manusia jika tanpa emosi. Kita memiliki emosi dan rasa, karena emosi dan rasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan kita sebagai manusia (Safaria dan Saputra, 2009). Demikian juga para tersangka yang berada dalam ruang tahanan Polda D.I. Yogyakarta, mereka juga mengalami shock dan penyangkalan atau perasaan tidak percaya, cemas, sedih, malu, marah merupakan reaksi yang sering dialami (Safaria, 2005 dalam Setiawan dan Sukamto, 2007). Menurut James (dalam Purwanto dan Mulyono, 2006) emosi adalah keadaan jiwa yang menampakkan diri dengan sesuatu perubahan yang jelas pada tubuh. Emosi setiap orang adalah mencerminkan keadaan jiwanya, yang akan tampak secara nyata pada perubahan jasmaninya, misalnya ketika seseorang diliputi emosi marah maka wajahnya akan terlihat memerah, nafasnya sesak, otot-otot tangannya menegang dan energi tubuhnya memuncak. Seseorang kadang-kadang masih dapat mengontrol keadaan dirinya sehingga emosi yang dialami tidak tercetus keluar dengan perubahan atau tanda-tanda kejasmanian seperti wajah merah ketika marah, air mata berlinang ketika sedih atau terharu, Hal ini berkaitan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (Walgito, 2010). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa individu yang memiliki kematangan emosi adalah individu yang dapat mengendalikan emosinya maka individu akan berpikir secara matang, berpikir secara baik dan berpikir secara obyektif. Orang yang telah matang emosinya akan dapat mengontrol emosinya dengan baik, merespons stimulus dengan cara berpikir baik, tidak mudah frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian. Berbagai teori para ahli, hasil observasi dan fakta yang dialami oleh para tahanan penyalahguna narkoba serta reaksi-reaksi yang dialami tersangka, ini bisa menyebabkan kecenderungan depresi baik depresi ringan, sedang atau berat. Kondisi yang dialami tersangka penyalahguna narkoba kemungkinan karena dipengaruhi oleh obat yang dipakai, dimana kinerja obat tersebut bisa mempengaruhi syaraf di otak. Namun demikian faktor kematangan emosi seseorang bisa mempengaruhi tingkat kecenderungan depresi seorang tersangka penyalahguna narkoba. Kematangan emosi dapat dimengerti dengan mengetahui pengertian emosi dan kematangan, kemudian diakhiri dengan penjelasan kematangan emosi sebagai satu kesatuan. Istilah kematangan menunjukkan kesiapan yang terbentuk dari pertumbuhan dan perkembangan (Hurlock, 2004). Sedangkan emosi dalam makna paling harfiah didefinisikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu dari setiap 4 keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi yang merujuk pada suatu perasaan dan pikiranpikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan bertindak (Goleman, 2005). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), definisi emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat, dan keadaan serta reaksi psikologis dan fisiologis. Emosi merupakan suatu kondisi keterbangkitan yang muncul dengan perasaan kuat dan biasanya respon emosi mengarah pada suatu bentuk perilaku tertentu (Lazzarus, 2007). Kematangan emosi dapat dikatakan sebagai suatu kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu objek permasalahan sehingga untuk mengambil suatu keputusan atau bertingkah laku didasari dengan suatupertimbangan dan tidak mudah berubah–ubah dari satu suasana hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 2004). Yusuf (2006) mendefinisikan kematangan emosi adalah kemampuan individu untuk dapat bersikap toleran, merasa nyaman, mempunyai kontrol diri sendiri, perasaan mau menerima dirinya sendiri dan orang lain, serta mampu menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif. Sedangkan Walgito (2010) kematangan emosi berkaitan erat dengan usia seseorang dimana seseorang diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih menguasai atau mengendalikan emosinya, namun tidak berarti bahwa bila seseorang bertambah usianya mereka dapat mengendalikan emosinya secara otomatis. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah suatu proses untuk mencapai tingkat emosi yang sehat sehingga individu tersebut bisa dapat mengendalikan emosinya dan menilai situasi secaara kritis terlebih dahulu sebelum invidu tersebut bereaksi secara emosional. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kecenderungan adalah kecondongan hati, kesudian, keinginan (kesukaan) akan. Sedangkan pengertian depresi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan tertekan dan perasaan semangat menurun dengan ditandai muram, sedih, loyo karena tekanan jiwa, keadaan merosotnya hal-hal yang berkenaan dengan semangat hidup. Kecenderungan depresi merupakan tinggi rendahnya kemungkinan seseorang mengalami gangguan yang ditandai dengan adanya kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga menurunnya harga diri, hilangnya semangat, melambatnya proses berpikir dan tidak dapat menilai realitas. (Purnamasari D, 2010). Kartono dan Gulo (Setiawan dan Sukamto, 2000) mendefinisikan depresi sebagai keadaan patah hati atau putus asa yang disertai dengan melemahnya kepekaan terhadap stimulus tertentu, pengurangan aktivitas fisik ataupun mental dan kesukaran dalam berpikir, sedangkan menurut Sheeve (2004) depresi adalah gangguan mood, keadaan melankolia yang berkepanjangan yang muncul tanpa alasan yang jelas atau sebagai suatu reaksi yang 5 berlebihan terhadap suatu kejadian. Depresi dapat menghilangkan kegembiraan, hasrat, harapan, ketenangan pikiran, serta kemampuan untuk merasakan kepuasan kerja, hubungan persahabatan dan lingkungan sekitarnya. Depresi adalah suatu gangguan yang berlangsung cukup lama dan disertai dengan gejalagejala spesifik yang mengganggu kewajaran sikap dan tindakan seseorang atau menyebabkan kesedihan yang sangat dalam. Gejala-gejala yang menjadi karkteristik depresi adalah adanya mood depresif seperti sedih, murung, kehilangan semangat dan rasa rendah diri. Bisa juga muncul gejala hilangnya minat atau rasa senang secara nyata dalam seluruh atau hampir emua aktifitas yang biasanya dilakukan (Safaria, 2005). Hawari (2011) menjelaskan bahwa depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama, sehingga akan menurunkan produktivitas yang akan berakibat buruk bagi masyarakat, bangsa dan negara yang sedang membangun. Orang yang mengalami depresi adalah orang yang sangat menderita dan penyebab utama tindakan bunuh diri. Depresi Pasca Naza adalah orang yang menyalahgunakan Naza (Narkotika, Alkohol dan zat adiktif) seringkali disebabkan karena yang bersangkutan mengalami kecemasan dan atau depresi. Dan untuk mengatasi kecemasan dan atau depresinya itu ia menggunakan NAZA. Tetapai sebahagian orang lainnya menggunakan NAZA itu hanya untuk bersenang-senang semata. Padahal seperti kita ketahui bersama NAZA ini menimbulkan ketergantungan, sehingga apabila pemakaian dihentikan akan menimbulkan kecemasan dan atau depresi. Menurut Hawari (2011) gejala-gejala dari seorang yang mengalami depresi adalah: a. Keadaan perasaan sedih b. Perasaan bersalah c. Bunuh diri d. Gangguan pola tidur e. Kerja dan kegiatan-kegiatannya f. Kelambanan (lambat dalam berpikir, berbicara, gagal berkonsentrasi, aktivitas motorik menurun) g. Kegelisahan (agitasi) h. Kecemasan (Ansietas somatik dan psikik) i. Gejala Somatik (pencernaan dan umum) j. Kelamin (genital) k. Hipokondiasis (keluhan somatik/fisik yang berpindahpindah) l. Gejala-gejala paranoid Dari penjabaran mengenai definisi depresi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan depresi adalah suatu pemikiran negatif tentang diri, perasaan sedih yang mendalam, putus asa dan tidak berpengharapan, dan merasa tidak berguna yang manifestasinya berupa tindakan penarikan diri, dan kegelisahan yang mengganggu kewajaran sikap dan tindakan seseorang. Faktor yang menyebabkan timbulnya depresi pada seseorang individu antara lain seperti penolakan sosial, permasalahan keluarga, kejadian yang menimbulkan stres seperti masalah dan konflik keluarga, kurangnya dukungan sosial, 6 kepercayaan yang dipelajari dalam ketidakberdayaan seseorang, dan faktor genetis. Jadi, keseluruhan faktor tersebut dapat disimpulkan menjadi penyebab depresi yang berasal dari dalam diri sendiri atau individu, dari lingkungan, dan dari dalam kehidupan. HIPOTESIS Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara kematangan emosi dengan kecenderungan depresi para tahanan narkoba di rutan polda diy. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, untuk menguji hipotesis yang dikemukakan peneliti. A. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini terletak pada kematangan emosi dan kecenderungan depresi tersangka penyalahguna narkoba. Definisi operasional kematangan emosi adalah individu yang dapat mengendalikan emosinya maka individu akan berpikir secara matang, berpikir secara baik dan berpikir secara obyektif. Orang yang telah matang emosinya akan dapat mengontrol emosinya dengan baik, merespons stimulus dengan cara berpikir baik, tidak mudah frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian. Sedangkan defnisi operasional kecenderungan depresi adalah suatu pemikiran negatif tentang diri, perasaan sedih yang mendalam, putus asa dan tidak berpengharapan, dan merasa tidak berguna yang manifestasinya berupa tindakan penarikan diri, dan kegelisahan yang dapat mengganggu kewajaran sikap dan tindakan seseorang. B. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah tersangka penyalahguna narkoba yang sedang menjalani masa penahanan dari bulan April sampai dengan Juni 2015 dikarenakan terbatasnya sample maka keseluruhan subyek sebanyak 32 orang di Rutan Polda D.I. Yogyakarta dijadikan subyek penelitian, dan berdasarkan karakteristik umur, tingkat pendidikan dan jenis kelamin, Menurut Sevilla (2006), proses yang meliputi pengambilan sebagian dari populasi, melakukan pengamatan pada populasi secara keseluruhan disebut dengan “sampling atau pengambilan sampel”. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan “teknik sampling jenuh “. Sampling jenuh adalah tehnik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relatif kecil (Sugiyono, 2008). C. METODE PENGUMPULAN DATA 1. Alat Pengumpul Data Instrumen penelitian untuk variabel kematangan emosi menggunakan skala kematangan emosi yang disusun mengikuti model 7 likert. Menurut Sugiyono (2008) dengan model skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel, kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan. Jawaban setiap instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif (favorable) sampai sangat negatif (Unfavorable) yang dapat berupa kata (Sugiyono, 2008). Aitem-aitem dalam skala ini dibuat bervariasi antara pernyataan yang bersifat favourable dan unfavourable, hal ini dilakukan untuk menghindari stereotipe jawaban. Pernyataan favourable adalah pernyataan yang mendukung atau memihak objek penelitian. Sedangkan pernyataan unfavourable adalah pernyataan yang tidak mendukung atau tidak memihak obyek penelitian (Azwar, 1998). Adapun bentuk pernyataan dengan jawaban tertutup, artinya subyek hanya memilih satu di antara beberapa alternatif jawaban yang disediakan, dengan memberi tanda silang. Pemberian skor untuk aitem pernyataan Favourable dilakukan dengan memberikan skor 5 untuk jawaban yang menunjukkan pernyataan Sangat Setuju (SS), memberikan skor 4 untuk jawaban yang menunjukkan pernyataan Setuju (S), memberikan skor 3 untuk jawaban yang menunjukkan pernyataan Ragu-ragu (RR), memberikan skor Skor 2 untuk jawaban yang menunjukkan pernyataan Tidak Setuju (TS) dan memberikan skor 1 untuk jawaban yang menunjukkan pernyataan Sangat Tidak Setuju (STS). Sedangkan pemberian skor untuk aitem pernyataan Unfavourable dilakukan dengan memberikan skor1 untuk jawaban yang menunjukkan pernyataan Sangat Setuju (SS), memberikan skor 2 untuk jawaban yang menunjukkan pernyataan Setuju (S), memberikan skor 3 untuk jawaban yang menunjukkan pernyataan Ragu-ragu (RR), memberikan skor 4 untuk jawaban yang menunjukkan pernyataan Tidak Setuju (TS), memberikan skor 5 untuk jawaban yang menunjukkan pernyataan Sangat Tidak Setuju (STS). Dalam penelitian ini subyek akan diberikan skala yang terdiri dari dua skala yaitu skala kematangan emosi dan skala kecenderungan depresi. 2. Metode analisis data Setelah dilakukan pengumpulan data, data dianalisis dengan menggunakan Korelasi product moment dari Pearson, 8 teknik analisis ini digunakan untuk mengungkap korelasi atau hubungan antara dua buah variabel penelitian (Hadi, 2004), sehingga di akhir penelitian akan diketahui bagaimana hubungan antara kematangan emosi dengan kecenderungan depresi pada tersangka penyalahguna narkoba saat menjalani masa penahanan di Rutan Polda D.I. Yogyakarta. Proses analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS (Statistic Program for Social Science) versi 17 for windows, HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN DAN Correlations Y Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Y X 1 -.525** .002 N 32 32 ** X Pearson -.525 1 Correlation Sig. (2-tailed) .002 N 32 32 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Berdasarkan tabel hasil analisis korelasi tersebut, didapatkan nilai korelasi pearson untuk variabel kematangan emosi (X) terhadap depresi (Y) sebesar -0,525, oleh karena nilai 0,525 lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dan kecenderungan depresi dan oleh karena tanda dari korelasi pearsons negatif, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kematangan emosi dan kecenderungan depresi tersebut berlawanan, yakni semakin rendah kematangan emosi seseorang maka tingkat kecenderungan depresinya akan semakin tinggi, begitu sebaliknya jika tingkat kematangan emosi seseorang tinggi maka tingkat kecenderungan depresinya rendah. Hasil uji korelasi ini juga memberikan penjelasan bahwa sekitar 52,5% kecenderungan depresi dijelaskan oleh kematangan emosi responden, sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain di luar kematangan emosi responden. Penelitian yang menggunakan sampel berjumlah 32 responden yang merupakan tersangka penyalahguna narkoba yang sedang menjalani masa penahanan di Rutan Polda D.I. Yogyakarta, dapat digambarkan sebagai berikut,dari 32 responden tersebut sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, hal ini sejalan dengan data BNN ( Badan Narkotika Nasional ) dari tahun ke tahun yang menunjukkan proporsi jenis kelamin laki-laki yang selalu jauh lebih besar dibandingkan dengan proporsi jenis kelamin perempuan. Dari segi umur, responden juga didominasi oleh responden yang berumur antara 16 sampai dengan 32 tahun, hal ini sejalan dengan data BNN ( Badan Narkotika Nasional ) dari tahun ke tahun yang menunjukkan proporsi jumlah pengguna narkoba terbanyak ada pada usia remaja (16 sampai dengan 29 tahun). 9 Dari segi tingkat pendidikan, responden penelitian didominasi oleh para responden dengan tingkat pendidikan SMA, hal ini sejalan dengan data dari BNN ( Badan Narkotika Nasional ) dan RSKO ( Rumah Sakit Ketergantungan Obat ) yang menunjukkan bahwa proporsi terbesar penyalahguna narkoba adalah para tersangka yang berpendidikan SMA. Seseorang yang terjerumus ke dalam narkoba seringkali memiliki kematangan emosi yang rendah, hal ini juga dapat menyebabkan mereka terjerumus kembali dalam narkoba meskipun sudah direhabilitasi dan dinyatakan sembuh dari ketergantungan narkoba, dalam penelitian ini 32 sampel yang diambil sebagai obyek penelitian ternyata sebagian besar dari mereka mempunyai tingkat kematangan emosi tinggi dan sedang, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Fitriyani dkk (2012) yang menunjukkan ada pengaruh yang signifikan dimana kematangan emosi dan self-efficacy mempengaruhi craving pada mantan pengguna narkoba, Dari hasil observasi dan data penelitian, sebagian responden telah menunjukkan beberapa gejala kecenderungan depresi baik tingkat rendah maupun sedang,. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Melati (2014) yang menyebutkan bahwa narkoba dapat menyebabkan gangguan mental, depresi mental, gangguan jiwa dan menyebabkan penggunanya melakukan tindak kejahatan. Dari hasil penelitian , sebagian besar responden telah memiliki kematangan emosi tingkat sedang dan tinggi, sedangkan ditinjau dari segi kecenderungan depresi, sebagian besar responden mengalami kecenderungan depresi rendah dan ada juga yang tidak mengalami depresi, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa hubungan kematangan emosi dengan kecenderungan depresi adalah berlawanan, yakni semakin tinggi tingkat kematangan emosinya maka semakin rendah kecenderungan depresinya. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis korelasi yang dilakukan peneliti, yang menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara kematangan emosi dengan kecenderungan depresi , yang artinya semakin tinggi tingkat kematangan emosi maka semakin rendah tingkat kecenderungan depresinya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah tingkat kematangan emosi maka semakin tinggi tingkat kecenderungan depresinya. Hasil penelitian ini sejalan dengan Mahmudah, H (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara Emotional Quotient dan derajat depresi. Dari hasil analisis korelasi juga didapatkan kesimpulan bahwa sekitar 52,5% kecenderungan depresi respsonden dapat dijelaskan oleh kematangan emosinya, sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain di luar kematangan emosi responden. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aditomo, dkk (2004) yang menunjukkan bahwa kecenderungan depresi dipengaruhi juga oleh faktor perfeksionisme dan keinginan menonjolkan harga diri di samping kematangan emosi. 10 KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil analisa yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kematangan emosi dengan kecenderungan depresi tersangka penyalahgunaan narkoba yang sedang menjalani masa penahanan di Rutan Polda D.I. Yogyakarta. Semakin tinggi tingkat kematangan emosi maka semakin rendah tingkat kecenderungan depresinya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah tingkat kematangan emosi maka semakin tinggi tingkat kecenderungan depresinya. B. Saran Ada beberapa saran yang dikemukakan peneliti berkaitan dengan hasil penelitian, antara lain: 1. Bagi Direktur Tahanan dan Barang Bukti Polda D.I. Yogyakarta hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk menurunkan tingkat kecenderungan depresi dengan meningkatkan kematangan emosi melalui pendampingan baik oleh psikolog, rohaniawan maupun tenaga ahli lainnya. 2. Bagi keluarga tersangka hendaknya dapat memberikan dukungan baik moril maupun spiritual. 3. Bagi penelitian selanjutnya, sebaiknya jika akan dilakukan penelitian terhadap subyek yang berada di bawah pengaruh obat-obatan, maka sebaiknya dilakukan pendampingan, karena ada sebagian responden yang mengalami sakit karena pengaruh obat-obatan yang dipakai sehingga memberikan data yang tidak valid bagi penelitian. DAFTAR PUSTAKA Aditomo, dkk . 2014 . Perfeksionisme, Harga Diri dan Kecenderungan Depresi pada Remaja Akhir . Jurnal Psikologi . Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Azwar, S. 2014. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Depdikbud. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan. Balai Pustaka. Jakarta. Fitriani N dkk (2012) . Kepekaan Humor dengan Depresi pada Remaja Ditinjau dari Jenis Kelamin. Jurnal. Yogyakarta Universitas Ahmad Dahlan Goleman, D. 2005. Emotional Intelligence. Alih bahasa: T. Hermaya. J akarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Hadi, S. 2004. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset. Mahmudah, H. 2010. Hubungan Emotional Quotient (EQ) dengan Derajat Depresi pada 11 Siswi kelas XI Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Hawari, D. 2011. Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. http://www.bnn.go.id/portal/index.ph p/konten/detail/humas/pressre lease/11874/rapat-koordinasikerjasama-bnnp-sulselmelaksanakan-advokasiimplementasi-inpres-12tahun-2011-tentangkebijakan-p4gn-ke-pt.semen-tonasa, diakses tanggal 1 November 2014. ditinjau dari konsep diri pada waria Undergraduate thesis, Widya Mandala Catholic University Surabaya Purwanto, Y. dan Mulyono, R. 2006. Psikologi Marah. Bandung: Refika Aditama. Pranoto, L.S. dan Astuti, Y.D. 2006. Pengaruh Craving dalam Pencapaian Kondisi Clean dan Sober Pecandu NAPZA. Jurnal Psikologi, nomor 22 Volume XI Juli 2006, hal. 107-122. Safaria, T. 2005. Autisme: Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna bagi Orang Tua. Yogyakarta: Penerbit Grha Ilmu. Hurlock, E. 2004. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Safaria, T. dan Saputra, N.E. 2009. Manajemen Emosi. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Hurlock, E.B. 2006. Perkembangan Anak. Jilid 1 Edisi 6. Jakarta: Erlangga. Setiawan, J.L, dan Sukamto, M.E. 2007. Hubungan antara Kecerdasan Emosional dan Depresi pada Ibu yang Memiliki Anak dengan Gangguan Autisme. Jurnal Psikologi nomor 23 tahun XII Januari 2007, hal. 21-29. Lazzarus, S. R. 2007. Emotion and Adaptation. New York: Oxpord Univercity Press. Melati, Rima . 2014 . Perilaku Sosial Remaja Putri Penyalah Guna Narkoba di Perumahan BTN Manggar Balikpapan Timur . Jurnal Ilmu Sosiatri . Balikpapan : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Purnamasari D. Kecenderungan Sevilla, C. 2006. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Sheeve, C.M. 2004. Mengenal dan Mengatasi Depresi. Alih Bahasa: Anum Gayatri. Jakarta: Penerbit Arcan. 2010, depresi 12 Sugiyono, 2007 Penelitian. Beta Statistik untuk Bandung: Alfa Sugiyono. 2008. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Walgito, B. 2010, Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi. Yusuf, S. 2006. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya. 13