Pengaruh antara Kematangan Emosi dan Self-eficacy terhadap Craving pada Mantan Pengguna Narkoba Nurul Fitrianti EM. Agus Subekti Puri Aquarisnawati Fakultas Psikologi Universitas Hang Tuah Surabaya Abstract. The purpose of this study was to determine whether there is influence between emotional maturity (as variable X1) and self-efficacy (as variable X2) on craving (as variable Y) in ex-drug users. The population of this study was former drug users who have became a member of the Surabaya Orbit Foundation. Sampling technique used was simple random sampling. The characteristics of the research subjects were former drug users. Population n = 90 and significance level of 5%. The sampling number according to the table is 70. Data analysis used two predictors of regression analysis using SPSS 17 for windows. The results is rxy = 0.582 > 0.235 rtable with n = 70 at á = 5%. It means that there are significant effects between emotional maturity and self-efficacy on craving in former drug users. The results of this study have shown significant effect, in which the emotional maturity and self-efficacy affects craving in former drug users, but the impact is very small because the coefficient of determination (R2) indicates that the relative contribution given by emotional maturity and self-efficacy on craving are only 34%. Therefore there are 66% of other factors that may determine the emergence of craving in former drug users. Keywords: emotional maturity, self-efficacy, craving, former drug users Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara kematangan emosi (sebagai variabel X1) dan self-efficacy (sebagai variabel X2) terhadap craving (sebagai variabel Y) pada mantan pengguna narkoba. Populasi penelitian ini adalah mantan pengguna narkoba yang menjadi anggota di Yayasan Orbit Surabaya. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling. Karakteristik subyek penelitian adalah mantan pengguna narkoba. Populasi n = 90 dan taraf signifikansi 5%. Jumlah sampel yang diambil berdasarkan tabel sebanyak 70. Analisis data menggunakan analisis regresi dua prediktor dengan menggunakan program SPSS 17 for windows. Hasil analisis didapatkan nilai rxy= 0,582 > rtabel 0,235 dengan n = 70 pada a =5%. Artinya ada pengaruh yang signifikan antara kematangan emosi dan self-efficacy terhadap craving pada mantan pengguna narkoba. Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh yang signifikan dimana kematangan emosi dan self-efficacy mempengaruhi craving pada mantan pengguna narkoba, walaupun pengaruhnya sangat kecil karena dari hasil koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa sumbangan relative yang diberikan oleh variable kematangan emosi dan self-efficacy terhadap craving hanya sebesar 34%. Oleh karena itu terdapat 66% faktor lain yang kemungkinan menentukan munculnya craving pada mantan pengguna narkoba. Kata kunci: kematangan emosi, self-efficacy, craving, mantan pengguna narkoba. Korespondensi: Puri Aquarisnawati. Fakultas Psikologi Universitas Hang-Tuah, Jalan Arief Rahman Hakim 150 Surabaya Telp: (031) 5945894, (031)5946261. Email: [email protected] INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011 106 Pengaruh antara Kematangan Emosi dan Self-eficacy terhadap Craving pada Mantan Pengguna Narkoba Salah satu faktor kendala pengguna narkoba untuk berhenti tidak mengkonsumsi narkoba kembali adalah adanya craving, yaitu perasaan ingin kembali menggunakan narkoba. Keinginan untuk sembuh 100%, tetapi perasaan ingin kembali menggunakan narkoba 95%, sehingga kemungkinan untuk sembuh hanya 5% (Kedaulatan Rakyat, 14 Desember 2003). Kecanduan narkoba akan menyebabkan pecandu mengalami ketergantungan, sehingga pada saat pecandu berhenti menggunakan narkoba akan muncul keinginan untuk menggunakan narkoba lagi (craving). Jellinek, dkk (dalam Anton R.F, 1999) memperkenalkan craving sebagai komponen pusat yang berhubungan dengan ketergantungan. Hingga tahun 1990-an belum ada yang melakukan penelitian tentang craving secara tepat. Clark (2007), memandang Craving sebagai sugesti yang masih ada untuk kembali menggunakan narkoba. Istilah craving sudah populer di kalangan orang yang menyalahgunakan narkoba. Craving terjadi pada orang yang menggunakan narkoba dan dianggap sebagai motivasi subjektif dalam pengalaman individu berupa hasrat atau keinginan untuk kembali menggunakan narkoba, oleh karena itu perlu adanya perhatian lebih bagi pecandu yang telah berhenti menggunakan narkoba (mantan pengguna narkoba), karena craving dapat muncul dan akan mengakibatkan relaps atau kambuh. Menurut Volkow & Schelbert Craving tersebut dapat muncul pada mantan pengguna narkoba karena adanya perbedaan sistem saraf otak yang ada pada diri pengguna narkoba yang berbeda dengan seseorang pada umumnya yang tidak menggunakan narkoba. Pada dasarnya obatobatan berbahaya (narkoba) dapat merubah otak serta merubah struktur dan cara kerjanya. Perubahan otak ini dapat terjadi lama (permanen) atau menetap dan dapat menyebabkan perilaku yang membahayakan selama orang tersebut mengkonsumsi narkoba (dalam Darummond, 2001) Craving menjadi suatu faktor penting yang harus diketahui oleh seorang pengguna narkoba atau individu yang menganggap kecanduan sebagai sesuatu yang mudah untuk dihilangkan atau disembuhkan. Seorang pecandu yang berupaya untuk sembuh harus berusaha untuk memperbaiki komponen-komponen yang telah 107 rusak dalam kehidupannya, tidak hanya fisik, namun juga mental, sosial, dan spiritual. Craving muncul pada mantan pengguna narkoba juga dapat dikarenakan aspek psikologis pada pengguna narkoba. Pengguna narkoba harus terus berjuang melawan faktor craving dengan memiliki keyakinan diri akan kemampuan dalam mengatasinya yang biasa disebut self-efficacy dan mantan pengguna narkoba akan dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan selalu dapat berpikir positif terhadap masalah yang dihadapinya. Melander (2002) mengatakan bahwa selfefficacy adalah keyakinan akan kemampuan diri sendiri mengorganisasi sumber-sumber yang dimiliki untuk menghadapi situasi-situasi dalam hidup. Jinks, Iorsbach dan Morey (dalam Setyawati, 2003) mengatakan bahwa yang terpenting dalam self-eff icacy bukanlah kemampuan yang secara nyata dimiliki oleh seseorang, melainkan kemampuan yang dipersepsi oleh individu akan dapat mencapai suatu hasil tertentu hanya dengan membayangkan dirinya mengusasai kemampuan yang diperlukan, karena self-efficacy berhubungan secara langsung dengan hasil yang akan dicapai oleh individu itu. Self-efficacy lebih tepat dikatakan sebagai fasilitator yang akan mengaktifkan faktor-faktor yang menentukan tercapainya hasil tertentu (Pintrich & De Groot, dalam Setyawati, 2003). Young (dalam Cyrillia, 2006) menjelaskan bahwa kematangan emosi ditunjukkan melalui kemampuan mekanisme pertahanan diri ketika konflik-konflik yang muncul mulai dirasakan menggagu perilaku. Individu yang matang secara emosional akan melihat suatu akar permasalahan berdasarkan fakta dan kenyataan di lapangan, tidak menyalahkan orang lain atau hal-hal yang bersangkutan sebagai salah satu faktor penghambat. Kematangan emosi tergantung pada aktivitas dari otak bagian bawah. Gejolak emosi menyiapkan seseorang untuk mengatasi keadaan yang genting, individu yang primitif membuat respons semacam itu bisa bertahan dalam hidupnya (Sobur, 2003). Sehingga individu tersebut bertanggung jawab akan pola emosi yang dimiliki. Seseorang yang telah mampu mencapai tujuannya maka akan berpengaruh kepada tingkat emosi dan akan mempertahankan gaya hidup yang dipilih karena sadar bahwa individu tersebut hidup dalam jaman dan konteks INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011 Nurul Fitrianti, EM. Agus Subekti, Puri Aquarisnawati sosial tertentu yang ditandai oleh gaya integritas sendiri. Individu yang mengalami hal tersebut akan bersifat bijaksana dalam bertingkah lakunya sehingga kematangan emosi juga akan terbentuk. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa kematangan emosi dan self-efficacy memiliki faktor yang mempengaruhi craving pada mantan pengguna narkoba, oleh karena itu dibutuhkan penelitian tentang pengaruh kematangan emosi dan self-efficacy terhadap craving pada mantan pengguna narkoba untuk membuktikan hal tersebut. Subyek dalam penelitian ini adalah mantan pengguna narkoba yang berjenis kelamin pria. Penelitian ini dilakukan di Yayasan Bina Hati Surabaya, karena melihat banyaknya mantan pengguna narkoba yang masih aktif. Craving Menurut (McKim, 2003) craving diartikan sebagai hasrat yang kuat (strong desire). Secara umum craving dipahami juga sebagai pengalaman sadar akan suatu hasrat untuk menggunakan narkoba (drug). Menurut WHO dan UNDCP (McKim, 2003) craving merupakan keinginan untuk mengalami kembali pengalaman menggunakan zat psikoaktif. Keinginan ini menjadi semakin besar pada seseorang yang memiliki kemungkinan besar menjadi pecandu. Selaras dengan pendapat diatas, menurut Robbinson (McKim, 2003) craving merupakan perwujudan pemikiran di mana akan menjadi semakin kuat dengan adanya pengulangan pemakaian suatu obat-obatan karena berhubungan dengan sensitivitas pada bagian otak tertentu. Memahami definisi craving terkait dengan model teoritis yang digunakan. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Craving Berdasarkan pada berbagai definisi craving di atas, dapat dipahami bahwa terdapat berbagai faktor yang menyebabkan craving. Menurut model fenomenologi, craving dapat disebabkan oleh pengalaman positif ketika menggunakan narkoba, sedangkan menurut teori pengkondisian craving disebabkan oleh hasil proses belajar. Sebagai proses belajar, craving merupakan bentuk respon terkondisikan (conditioned respon) yang INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011 disebabkan oleh adanya stimulasi terkondisikan (conditioned stimulus). Karakteristik Craving Salah satu manfaat memahami model craving adalah sebagai dasar proses perlakuan (treatment). Sebagai dasar treatment, maka craving harus mampu dijelaskan dalam pemahaman operasional perlakuan. Penjelasan tentang craving yang banyak dijadikan acuan bagi proses perlakuan adalah cue-reactivity model. Model ini menjelaskan craving dengan menggunakan logika conditioning dan kognitif (Drummond dkk, 2001). Berdasarkan pemahaman tersebut dan sebagai acuan indikator dalam penelitian ini, maka craving dipahami sebagai respon-respon terkondisikan terhadap isyaratisyarat terkait dengan penggunaan narkoba. Adapun isyarat-isyarat yang dimaksud adalah konfigurasi stimulus yang berupa stimulus bagi indera penglihatan, pendengaran, pengecap, penciuman, peraba. Mengacu pada penjelasan diatas dapat ditegaskan bahwa karakteristik kondisi craving menurut Drummond (2001) adalah sebagai berikut: 1. Memiliki stimulus penglihatan yang terkondisikan terkait dengan penggunaan kembali narkoba. 2. Memiliki stimulus pendengaran yang terkondisikan terkait dengan penggunaan kembali narkoba. 3. M e m i l i k i s t i m u l u s p e n g e c a p y a n g terkondisikan terkait dengan penggunaan kembali narkoba. 4. Me m i l i k i s t i m u l u s p e n c i u m a n ya n g terkondisikan terkait dengan penggunaan kembali narkoba. 5. Memiliki stimulus peraba yang terkondisikan terkait dengan penggunaan kembali narkoba. Karakteristik di atas akan dijadikan dasar untuk menentukan indikator tentang craving. Karena isyarat-isyarat dan stimulus yang kuat mengacu pada kelima indera pada diri manusia. Craving akan muncul apabila melihat, mendengar, merasa, menghirup sesuatu yang berhubungan kuat dengan pengalaman-pengalaman saat menggunakan narkoba. 108 Pengaruh antara Kematangan Emosi dan Self-eficacy terhadap Craving pada Mantan Pengguna Narkoba Kematangan Emosi Kematangan emosi adalah suatu kemampuan seseorang untuk mengarahkan emosi dasar yang kuat ke penyaluran yang mencapai tujuan, sedangkan tujuan itu memuaskan diri sendiri dan dapat diterima oleh lingkungannya (Hergenhahn, 2001). Monks (1999) menyebutkan bahwa kematangan emosi sebagai suatu kemampuan fungsi-fungsi psikis pada tingkat tinggi sebagai hasil dari pertumbuhan fisik. Pengalaman sebagai potensi psikologis individu yang dapat digunakan secara optimal. Medikus dan Johnson, (dalam Monks, 1999) menyatakan bahwa dalam proses kehidupan individu yang matang akan mempunyai tugas mengambangkan tingkat kehidupannya dan meningkatkan kemampuan menghadapi masa sekarang dan masa yang akan datang. Kematangan emosi (dalam Puspitasari, 2002) dapat didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh perkembangan emosi dan pemunculan perilaku yang tepat sesuai dengan usia dewasa dari pada bertingkahlaku seperti anak-anak. Semakin bertambah usia individu diharapkan dapat melihat segala sesuatunya secara obyektif, mampu membedakan perasaan dan kenyataan, serta bertindak atas dasar fakta dari pada perasaan. Senada dengan pendapat di atas Covey (dalam Puspitasari, 2002) mengemukakan bahwa kematangan emosi adalah kemampuan untuk mengekspresikan perasaan yang ada dalam diri secara yakin dan berani, seimbang dengan pertimbangan-pertimbangan akan perasaan dan keyakinan individu lain. Chaplin (dalam Walgito, 2002) mengartikan kematangan emosi sebagai suatu keadaan seseorang yang telah mencapai tingkat kedewasaan dan perkembangan emosional, oleh karena itu individu tersebut tidak akan menampilkan pola emosi seperti anak-anak. Walgito (2002) menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan memiliki kematangan emosi apabila dapat mengendalikan emosinya, seperti : dapat berpikir secara matang, berpikir secara baik, dan obyektif. Kematangan emosi juga dapat dikatakan sebagai proses belajar untuk mengembangkan cinta secara sempurna dan luas dimana hal itu 109 menjadikan reaksi pilihan individu sehingga secara otomatis dapat mengubah emosi-emosi yang ada dalam diri manusia (Hwarmstrong, 2005). Young (dalam Cyrillia, 2006) dijelaskan bahwa kematangan emosi ditunjukkan melalui kemampuan mekanisme pertahanan diri ketika konflik-konflik yang muncul mulai dirasakan mengganggu perilaku. Orang yang matang secara emosional akan melihat suatu akar permasalahan berdasarkan fakta dan kenyataan dilapangan, tidak menyalahkan orang lain atau hal-hal yang bersangkutan sebagai salah faktor penghambat. Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa seseorang yang mempunyai kematangan emosi adalah orang yang telah mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosionalnya, memiliki emosi yang stabil tidak meledak-ledak, mampu mengendalikan atau mengontrol emosi dan mewujudkannya melalui respon emosional yang baik dengan tanggung jawab yang baik pula. Semakin berkembang tingkat kedewasaan seseorang, maka semakin mampu pula individu tersebut untuk memberikan respon emosi yang baik sehingga dapat mengatasi tekanan kehidupan yang dihadapi. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kematangan Emosi Schneider (dalam Kenenbudi, 2007) menekankan bahwa kualitas kematangan emosi setidak-tidaknya melibatkan tiga dimensi, yaitu : 1. Adequacy of Emotional Response, artinya bahwa respon-respon emosional individu harus sesuai dengan tingkat perkembangan individu dan adanya arah yang tepat bagi respon emosional tersebut. 2. Emotional Range & depth, kualitas ini menunjukkan pada tingkat kedalaman respon emosional pada tiap individu. Bagaimana cara setiap individu tersebut merespon setiap konflik-konflik yang terjadi dalam dirinya. Sejauh mana respon tersebut mampu ditangkap oleh individu tersebut dengan sebaik dan sedalam mungkin. 3. Emotional Control, berarti mengatur respon emosional sesuai dengan tuntutan dari lingkungan dengan standar yang berasal dari lingkungan dan dengan standar yang berasal INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011 Nurul Fitrianti, EM. Agus Subekti, Puri Aquarisnawati dari dalam diri individu. Standar-standar tersebut berkaitan dengan nilai-nilai, idealideal, dan prinsip-prinsip, sehingga dapat menimbulkan kepuasan maksimum dan gangguan keseimbangan yang minimum pada individu. Ciri-Ciri Kematangan Emosi Menurut Hollingworth & Morgan (dalam Cyrillia, 2006) dalam memahami kematangan emosi dapat dilakukan dengan cara memahami perubahan perilaku emosional dan respon-respon emosional yang berlawanan dari anak-anak dan orang dewasa. Ciri-ciri orang dengan emosi yang matang menurut Hollingworth dan Morgan adalah sebagai berikut : 1. Gradasi atau derajat toleransi terhadap frustasi, yakni individu yang emosinya matang mampu memberikan gradasi respon emosional atau mempunyai derajat toleransi terhadap rasa frustasi. 2. Pengurungan frekuensi dan derajat kekacauan emosional, yakni individu yang emosinya matang tidak mudah meledakkan emosinya sesering yang ditunjukkan oleh anak-anak. Bahwa seseorang yang mempunyai energy dan kepercayaan akan memandang masa yang akan datang dengan baik, seseorang yang mengontrol dirinya dengan mengurangi frekuensi emosi yang meledak-ledak. 3. Perilaku yang tidak impulsiv dan eksplosif, yakni individu yang emosinya matang mampu menunda responnya dan respon yang diberikannya tidak impulsive seperti respon emosi pada anak-anak. Anak-anak tidak dapat menunda dalam mengekspresikan emosi, seperti marah, senang atau takut. Seperti bila sedang senang, maka anak akan melompatlompat. 4. Sikap menghargai diri sendiri, yakni individu yang emosinya matang dapat menghargai diri sendiri (attitude of self regard) dan mampu mengendalikan diri untuk mengasihi diri (self pity) tidak menunjuk rasa kasihan terhadap diri sendiri secara berlebihan, melainkan sesuai dengan rasa. 5. Manifestasi emosional, yakni individu yang emosinya matang mampu menghambat manifestasi emosinya, atau kemampuan untuk mengarahkan dan meregulasi impuls, INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011 p e m i k i r a n , ke b i a s a a n , e m o s i , a t a u kemampuan untuk mengarahkan dan meregulasi impuls, pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku untuk mengatasi ketegangan dan masalah yang dihadapinya serta pengembangan kepribadiannya pada tujuan yang matang. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi pada mantan pengguna narkoba dalam mengatasi craving dapat di ukur melalui kemampuan memberikan gradasi respon emosional, mampu mengurangi frekuensi emosional, mampu menunda responnya (tidak impulsive dan eksplosif) menghargai diri sendiri, dan mampu menghambat manifestasi emosinya. Dengan demikian ciri-ciri di atas akan dijadikan dasar untuk menentukan indikator tentang kematangan emosi. Self-efficacy Konsep mengenai self-efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku. Self-efficacy adalah keyakinan diri seseorang akan kemampuankemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan suatu hal. Selfeff icac y merupakan penilaian terhadap kemampuan diri seseorang. Bandura (dalam Panjares & Schunk, 2001) juga menyatakan bahwa self-efficacy merupakan perasaan, penilaian seseorang mengenai kemampuan dan kompetensi yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. Self-efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan (dalam Panjares, F & Schunk, 2001). Brehm dan Kassin (1999) disebutkan bahwa self-efficacy sebagai keyakinan individu bahwa diri sesrorang mampu melakukan tindakan spesifik yang diperlukan untuk menghasilkan out come yang diinginkan dalam suatu situasi. Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan self-efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi diri dalam melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi suatu masalah. 110 Pengaruh antara Kematangan Emosi dan Self-eficacy terhadap Craving pada Mantan Pengguna Narkoba Schunk menyebutkan bahwa self-eff icacy mengacu pada harapan yang dipelajari seseorang bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu perilaku atau menghasilkan sesuatu yang diharapkan dalam suatu situasi tertentu (Schunk, dalam Feldman 2003). Menurut Pajares (Woolfolk, 2004), selfefficacy adalah penilaian terhadap kompetensi diri dalam melakukan suatu tugas khusus dalam konteks yang spesifik. Selanjutnya self-efficacy diartikan dengan fokus pada kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan sejumlah tugas dengan sukses. Myers (2005) mengungkapkan bahwa self-efficacy adalah perasaan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya kompeten dan efektif dalam melakukan suatu tugas. Self-efficacy merupakan salah satu faktor personal yang menjadi perantara atau mediator dalam interaksi antara faktor perilaku dan faktor lingkungan. Self-efficacy dapat menjadi penentu keberhasilan performansi dan pelaksanaan pekerjaan. Self-eff icacy juga sangat mempengaruhi pola pikir, reaksi emosional, dalam membuat keputusan (Mujiadi, 2003). Meskipun demikian self-eff icacy diyakini merupakan aspek prediktor dari kecakapan untuk sukses pada berbagai bentuk prestasi (Okech dan Harrington, 2002). B e rd a s a r k a n u ra i a n d i a t a s d a p a t disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan akan seluruh kemampuan meliputi kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, evaluasi terhadap kompetensi untuk melakukan tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan atau masalah. Serta keyakinan individu untuk mampu melakukan tugas khusus dalam konteks spesifik yang akan mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional dalam membuat keputusan. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Selfefficacy Self-eff icacy dapat dipelajari dan ditumbuhkan melalui 4 faktor seperti yang diungkapkan oleh Bandura (Panjares, 2001) : a. Hasil yang telah dicapai (Performance attainment) Hasil yang telah dicapai oleh individu dalam memperkerjakan suatu tugas tertentu adalah sumber informasi yang penting karena 111 didasarkan atas pengalaman pribadi individu. Prestasi adalah pengalaman-pengalaman yang dialami secara langsung oleh individu. Pengalaman keberhasilan atau kesuksesan dalam mengerjakan suatu tugas akan meningkatkan self-efficacy terutama pada awal kejadian dan kegagalan ini disebabkan oleh karena kurangnya usaha individu atau karena lingkungan di luar dirinya yang menghambat. b. Pengalaman melalui model sosial (Vicarious experience) Self-efficacy dapat muncul ketika seseorang mengamati keberhasilan orang lain dalam melakukan aktivitas-aktivitas yang sama atau mirip dengan tugas yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan. Seseorang akan meningkatkan self-efficacy jika memiliki kemampuan yang sebanding dengan orang yang diamati, melakukan usaha yang lebih giat, ulet dan tekun. c. Keadaan fisiologis (Pshysioligycalstates) Individu akan lebih mungkin mencapai ke b e r h a s i l a n j i k a t i d a k m e n g a l a m i pengalaman-pengalaman yang menekan secara fisik dan emosional, karena hal tersebut dapat menurunkan prestasi, gejolak emosi dan keadaan fisiologik memberikan suatu isyarat akan terjadinya sesuatu yang sangat tidak diinginkan, sehingga situasi-situasi yang menekankan itu cenderung dihindari. d. Persuasi verbal (Persuasive verbal) Persuasi verbal digunakan secara luas untuk berbicara kepada orang untuk meningkatkan kepercayaan bahwa seseorang mampu mencapai apa yang dilihat. Persuasi verbal sendiri terbatas dalam kekuatan individu untuk menghasilkan kekuatan self-efficacy, tetapi memberikan sumbangan terhadap keberhasilan kinerja jika penilaian diterapkan dalam batas-batas yang realistik, namun jika dalam diri seseorang tumbuh keyakinan yang tidak realistik tentang kecakapan personal maka yang terjadi adalah kegagalan yang akan merusak pandangan orang lain terhadap diri seseorang. Ciri-Ciri Orang yang Memiliki Selfefficacy Tinggi dan Rendah Orang yang memiliki Self-efficacy yang INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011 Nurul Fitrianti, EM. Agus Subekti, Puri Aquarisnawati tinggi mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dari orang-orang yang memiliki Self-efficacy rendah. Ciri-ciri individu dengan selfefficacy tinggi dari (dalam Zarina. A, 2001) : 1. Individu merasa yakin akan berhasil (mampu). 2. Kinerja tinggi dalam mengerjakan tugas (hasil cepat didapat). 3. Gigih sampai tujuan tercapai. 4. Memikul tanggung jawab secara pribadi dan menginginkan hasil dari kemampuan yang optimal (mandiri). 5. Mampu mengontrol stres dan kecemasan (tidak tertekan). 6. Menganggap tugas sebagai pekerjaan yang menarik. 7. Kreatif dan inovatif (bertindak aktif). Sebaliknya, individu yang memiliki selfefficacy yang rendah memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan individu yang memiliki selfefficacy tinggi. Ciri-ciri individu yang memiliki self-efficacy rendah yaitu: 1. Individu merasa tidak yakin akan berhasil (tidak mampu). 2. Kinerja lemah dalam mengerjakan tugas (hasil lama didapat). 3. Tidak mempunyai kegigihan dalam mencapai tujuan. 4. bKurang memiliki tanggung jawab secara pribadi dan kurang menginginkan hasil dari kemampuan optimalnya (tergantung pada orang lain). 5. Kurang mampu mengontrol stres dan kecemasan (mudah tertekan). 6. Menganggap tugas sebagai pekerjaan yang tidak menarik (beban). 7. Kurang kreatif dan inovatif (pasif). METODE PENELITIAN tipe korelasional dalam penelitian ini menggunakan korelasional ganda dengan dua variabel independen dan satu variabel dependen (Sugiyono, 2008). Identifikasi Variabel Penelitian Berdasarkan jenis penelitian yaitu penelitian korelasional ganda, maka dalam penelitian ini terdapat dua variabel bebas (X1 dan X2) dan satu variabel tergantung (Y). Adapun identifikasi variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel bebas 1 (X1) yaitu kematangan emosi 2. Variabel bebas 2 (X2) yaitu self-efficacy 3. Variabel tergantung (Y) yaitu craving Populasi Menurut Sugiyono (2007) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Mengacu pada pendapat tersebut, maka dalam populasi penelitian ini memiliki karakteristik atau ciri-ciri, mantan pengguna narkoba, telah berhenti menggunakan narkoba minimal 1 tahun, berjenis kelamin lakilaki, berusia minimal 25 tahun, pendidikan minimal SMA atau sederajat, berdomisili di wilayah Surabaya, menjadi anggota dalam LSM yayasan orbit, bersedia menjadi subyek penelitian. Secara khusus, populasi penelitian diambil dari mantan pecandu narkoba yang aktif di Yayasan Orbit. Berdasar data dari Yayasan Orbit, jumlah populasi yang sesuai dengan ciri-ciri di atas sebanyak 70 orang, karena dalam penelitian ini jumlah populasi kurang dari 100 orang maka peneliti menggunakan seluruh populasi sebagai subjek penelitian. Teknik Pengumpulan Data Jenis Penelitian Penelitian ini didasarkan pada paradigma positivistik dengan pendekatan kuantitatif karena data untuk menjawab permasalahan penelitian berupa data angka (numerik) dengan menggunakan uji (Sugiyono, 2008). Disebut sebagai penelitian korelasional ganda karena penelitian ini bertujuan menguji pengaruh antar variabel yaitu variabel X dan variabel Y. Adapun INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuesioner atau angket. Metode kuisioner dengan menggunakan skala Likert yang sudah dimodifikasi disini adalah menghilangkan pernyataan tengah dengan tujuan untuk menghindari kecenderungan sampel memilih pernyataan yang netral. 112 Pengaruh antara Kematangan Emosi dan Self-eficacy terhadap Craving pada Mantan Pengguna Narkoba Skala pengukuran untuk data Self-efficacy digunakan skala Self-efficacy yang terdiri dari 28 aitem dengan indikator seperti yang tercantum pada tabel 3.2, yaitu blue print Self-efficacy sebagai berikut : Skala pengukuran untuk data craving digunakan skala craving yang terdiri dari 20 aitem dengan indikator seperti yang tercantum pada tabel 3.3, yaitu blue print craving sebagai berikut : 113 INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011 Nurul Fitrianti, EM. Agus Subekti, Puri Aquarisnawati HASIL DAN BAHASAN Hasil Uji Instrumen Skala kematangan emosi yang terdiri dari 20 item, setelah dianalisis menggunakan rumus korelasi product moment melalui program SPSS 17 for windows diperoleh 2 item yang tidak valid, yaitu item nomor 8 dan 10. Ke-2 item tersebut mempunyai koefisien korelasi dengan skor totalnya lebih kecil dari rtabel = 0,235untuk á = 5% dengan n = 70. Berdasarkan skala self-efficacy semula 28 item, ternyata diperoleh 4 item yang tidak valid yaitu nomor 5,6,10 dan 14 karena mempunyai koefisien korelasi dengan skor totalnya lebih kecil dari rtabel = 0,235 untuk á = 5% dengan n = 70. Sedangkan berdasarkan skala craving semula 20 item, ternyata diperoleh 2 item yang tidak valid yaitu nomor 11 dan 13 karena mempunyai koefisien korelasi dengan skor totalnya lebih kecil dari rtabel = 0,235 untuk á = 5% dengan n = 70. Berdasarkan hasil uji reliabilitas menggunakan rumus alpha, pada skala kematangan emosi diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,829; sedangkan pada skala self-efficacy diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,718 dan pada skala craving diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,789. á =5% dengan n = 70 diperoleh rtabel = 0,235. Hasil pengujian reliabilitas tersebut di atas, lebih besar daripada rtabel, maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa kedua instrument tersebut diatas, reliabel. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk melihat normal tidaknya sebaran data variabel data penelitian dalam populasi. Hasil uji normalitas pada skala craving diperoleh Sig KolmogorovSmirnov sebesar 0,2 p > 0,05. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut sebarannya normal. Uji Linieritas Uji Linieritas pengaruh kematangan emosi dan self-efficacy terhadap craving pada table ANOVA menunjukkan kelinieran. Pada tabel tersebut didapatkan F hitung (17,199) > F table (0,95;2;67) 3,13, atau p (0,000) <0,05. Sehingga dari hasil ini ada hubungan linier antara variabel INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011 kematangan emosi, self-efficacy dan craving. Uji Hipotesis Setelah semua asumsi untuk analisis regresi terpenuhi, maka dilakukan perhitungan analisis regresi umum. Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa data yang terkumpul memenuhi syarat untuk dilakukan analisis berikutnya, yaitu uji hipotesis. Hipotesis pada penelitian ini adalah ada pengaruh antara kematangan emosi dan selfefficacy terhadap craving. Berdasarkan analisis regresi diperoleh hasil koefisien korelasi p (0,006) < 0,01; (tabel 4.2). Artinya ada pengaruh yang signifikan, ini menunjukkan bahwa hipotesis kerja (Hk) minor nol ditolak yang artinya ada pengaruh antara kematangan emosi dengan craving. Berdasarkan analisis regresi diperoleh hasil koefisien korelasi p (0,001) < 0,01; (tabel 4.2). Artinya ada hubungan yang signifikan, ini menunjukkan bahwa hipotesis kerja (Hk) minor nol ditolak yang artinya ada pengaruh antara self-efficacy dengan craving. Pada tabel model summary, kolom R adalah koefisien korelasi Pearson (0,582) yang menunjukkan hubungan antara kedua variable, karena rxy = 0,582 > rtabel = 0,235; (tabel 4.3) dengan n = 70 pada á =5%. Sehingga dalam penelitian hipotesis kerja (Hk) mayor nol ditolak, yang artinya ada pengaruh antara kematangan emosi dan self-efficacy terhadap craving. Sumbangan relatif dapat dilihat pada R square, didapatkan nilai 0,339 x 100% = 33,9% atau 34%. Bahasan Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara kematangan emosi dan self-efficacy terhadap craving pada mantan pengguna narkoba. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rxy = 0,582 > rtabel = 0,235 dengan n = 70 pada á =5%. Kolerasi yang ditunjukkan adalah positif, artinya semakin tinggi kematangan emosi dan semakin baik self-efficacy yang dimiliki individu maka semakin tinggi pula craving. Penelitian ini menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara kematangan emosi dan selfefficacy terhadap craving pada mantan pengguna narkoba yang relative kecil karena dapat dilihat dari sumbangan relative dalam penelitian ini sebesar 34% yang terdiri dari, kematangan emosi terhadap craving sebesar 15%; sedangkan 114 Pengaruh antara Kematangan Emosi dan Self-eficacy terhadap Craving pada Mantan Pengguna Narkoba sumbangan efektif self-efficacy terhadap craving sebesar 19%, dalam hal ini berarti masih ada 66% faktor-faktor lain yang lebih mempengaruhi craving dibandingkan kematangan emosi dan selfefficacy. Melihat masih ada faktor-faktor lain yang lebih mempengaruhi craving dari pada kematangan emosi dan self-efficacy maka hal tersebut dapat diperhitungkan. Faktor-faktor tersebut antara lain kemampuan untuk mengatasi stress (stress management) dan coping skills, dari ke d u a f a k to r te r s e b u t t i d a k m e n u t u p kemungkinan dapat menjadi pendorong maupun penghambat dalam mengatasi craving. Dimana mantan pengguna narkoba yang memiliki pemikiran yang tidak realistis terhadap suatu permasalahan akan cenderung mengalami craving. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pengaruh self-efficacy lebih besar dari pada kematangan emosi terhadap craving. Hal tersebut senada dengan pendapat Covey (dalam Puspitasari, 2002) mengemukakan bahwa kematangan emosi tergantung pada kemampuan mengekspresikan perasaan dalam diri secara yakin dan berani, seperti pertimbangan-pertimbangan akan perasaan serta self-efficacy (keyakinan) yang dimiliki individu untuk melakukan sesuatu. Sehingga individu yang memiliki self-efficacy (keyakinan) akan menunjukkan sikap mampu mengendalikan atau mengontrol emosi dan mewujudkannya melalui respon emosional yang baik dengan tanggung jawab yang baik pula. Semakin berkembang tingkat keyakinan dan kedewasaan seseorang, maka semakin mampu pula individu tersebut untuk memberikan respon emosi yang baik sehingga dapat mengatasi hasrat yang kuat untuk kembali menggunakan narkoba atau disebut dengan craving. Selaras dengan pengalaman yang dialami oleh S, seorang mantan pengguna narkoba yang juga aktif di Yayasan Orbit Surabaya, sebagai berikut: “…saya sudah berhenti selama 2 tahun mbak, saya gak pake lagi…bener-bener stop gak pake lagi. Temen-temen pada gak percaya. Kata mereka, kok bisa?gak sakit apa?gimana caranya?...ya saya bilang aja kalo yakin dan ada niat dari dalam pasti bisa…tergantung sungguhsungguh gak-nya kalian mau lepas…Sering temente m e n g o d a i n s a ya , n g a j a k i n ny i m e n g 115 lagi…awalnya saya hampir goyah, tapi sekali lagi saya ingat tujuan utama hidup…2 tahun berhenti, berusaha mati-matian, gak gampang lho mbak…sakit kalo sakaw…terus masa saya gampang mau diajak nyimeng lagi…gak! saya udah yakin 100%...Saya pasti bisa hidup normal gak ikutan temen-temen lagi…” (Hasil wawancara dengan subyek S, hari Senin tanggal 27 Oktober 2010) Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa kualitas kematangan emosi setidaktidaknya melibatkan dimensi Emotional Range & depth, menunjukkan tingkat kedalaman respon emosional tiap individu untuk mengatasi perasaan atau hasrat ingin menggunakan narkoba kembali atau craving (dalam Kenenbudi, 2007). Bagaimana cara setiap individu tersebut merespon setiap konflik-konflik yang terjadi dalam diri, karena menurut Drummond D.C, 2001 craving khususnya dipahami sebagai respon-respon terkondisikan terhadap isyarat-isyarat terkait dengan penggunaan narkoba. Adapun isyaratisyarat yang dimaksud adalah konfigurasi stimulus yang berupa stimulus bagi indera penglihatan, pendengaran, pengecap, pencium, peraba. Sejauh mana respon-respon tersebut mampu ditangkap oleh individu tersebut dengan sebaik dan sedalam mungkin. Pengalaman yang dialami oleh D, seorang mantan pengguna narkoba berusia 35 tahun yang saat ini bekerja disebuah perusahaan ternama di Gresik. sebagai berikut: “…saya kerjanya di lapangan jadi bertemu dengan berbagai macam orang, waktu itu saya ikutan teman-teman untuk mengkonsumsi obat. Saya rasakan kok enak, rasanya itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata…Selama hampir 10 tahun saya aktif dan ketergantungan, uang gaji, uang bonus dari kantor saya habiskan untuk itu…istri saya tahu, makanya selalu marah-marah kalau melihat saya bergaul dengan teman-teman yang mengajak saya untuk mengkonsumsi…istri saya selalu menangis tiap malam, memohon saya untuk berhenti karena melihat kondisi badan saya yang semakin hari semakin kurus kering, seperti orang tidak mempunyai semangat hidup…nah, sejak itu saya memutuskan untuk berhenti karena saya berf ikir memiliki tanggung jawab besar…membahagiakan istri dan anak-anak INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011 Nurul Fitrianti, EM. Agus Subekti, Puri Aquarisnawati saya…mau sampai kapan saya begini terus…mau sampai mati..terus istri dan anak saya siapa yang mengurus…” (Hasil wawancara dengan subyek D, hari Senin tanggal 27 Oktober 2010) kontrol diri yang tinggi untuk tidak menggunakan narkoba kembali meskipun mendapatkan stimulasi pada hal-hal yang terkait dengan pengalaman menggunakan narkoba, sehingga dalam kondisi clean & sober. Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa individu yang matang emosinya memiliki rasa tanggung jawab dan yakin untuk mengambil keputusan atau melakukan suatu tindakan dan berani untuk menanggung resikonya. Menurut Overstreet (dalam Puspitasari, 2002) Individu yang matang tidak menggantungkan hidup sepenuhnya kepada individu lain karena individu yang matang tahu bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kehidupan masingmasing. Hal ini menunjukkan bahwa semakin individu itu matang maka keyakinan untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri semakin besar, sehingga individu tetap yakin akan pendiriannya dan tidak mudah dipengaruhi teman-temannya untuk kembali menggunakan narkoba. Dinyatakan pula oleh Brehm dan Kassin (1999) self-efficacy yang tinggi pada individu untuk mampu melakukan tindakan yang diperlukan dalam menghasilkan out come yang diinginkan dalam suatu situasi atau proses pemulihan untuk tidak menggunakan narkoba kembali sangatlah mempengaruhi. Kematangan emosi dan self-efficacy pada mantan pengguna narkoba merupakan dua hal yang dapat menghambat atau mendorong munculnya craving. Dikatakan sebagai faktor penghambat apabila kematangan emosi dan self-efficacy pada mantan pengguna narkoba dapat dikategorikan tinggi, sebaliknya dapat dikatakan sebagai p e n d o ro n g m u n c u l nya c ra v i n g a p a b i l a kematangan emosi dan self-efficacy pada mantan pengguna narkoba dikategorikan rendah. Kematangan emosi dan self-efficacy yang rendah dapat mendorong munculnya craving karena ketika mantan pengguna narkoba mendapatkan stimulasi yang mengenai panca indera, khususnya stimulasi yang memiliki pengalaman pada mantan pengguna narkoba maka memungkinkan munculnya craving akan tinggi karena kurangnya kontrol dari diri individu. Sebaliknya kematangan emosi dan self-efficacy yang tinggi dapat menghambat craving karena individu memiliki SIMPULAN DAN SARAN INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011 Simpulan Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh yang signifikan, dimana Hipotesis kerja (Hk) penelitian yang menyatakan bahwa kematangan emosi dan self-eff icacy mempengaruhi craving pada mantan pengguna narkoba, namun pengaruhnya relative kecil karena d a r i h a s i l ko e f i s i e n d e te r m i n a s i ( R 2 ) menunjukkan bahwa sumbangan relative yang diberikan oleh variabel kematangan emosi dan self-efficacy terhadap craving sebesar 34%, oleh karena itu ada 66% faktor lain yang menentukan munculnya craving pada mantan pengguna narkoba. Faktor-faktor tersebut antara lain kemampuan untuk mengatasi stress (stress management) dan coping skills, dimana mantan pengguna narkoba yang memiliki pemikiran yang tidak realistis terhadap suatu permasalahan akan cenderung mengalami craving. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa saran yang dapat diberikan peneliti, antara lain: 1. Bagi subyek yaitu mantan pengguna narkoba. a. Apabila bersungguh-sungguh untuk sembuh dan tidak menggunakan narkoba kembali, hendaknya mendatangi tempat rehabilitasi untuk proses penyembuhan, karena dikhawatirkan banyak pengaruh eksternal yang mempengaruhi menggunakan kembali seperti teman dekat atau pun komunitas. b. Apabila dorongan menggunakan narkoba kembali itu muncul, hendaknya meningkatkan keyakinan dalam diri dan benar-benar melihat tujuan hidup untuk mencapai masa depan. c. Apabila dorongan menggunakan narkoba kembali itu muncul, hendaknya mengalihkan perasaan pada aktivitasaktivitas yang lebih bermanfaat seperti 116 Pengaruh antara Kematangan Emosi dan Self-eficacy terhadap Craving pada Mantan Pengguna Narkoba mengikuti suatu lembaga pendidikan dan keterampilan atau dengan melakukan kegiatan yang sesuai dengan hobi. 2. Bagi keluarga subyek. a. Agar dapat memberikan perhatian lebih pada keluarga yang sedang dalam proses penyembuhan dari narkoba dan selalu memberikan motivasi serta dukungan baik secara moral. b. Memberikan fasilitas pada mantan pengguna narkoba dengan kegiatankegiatan positif yang mendukung proses penyembuhan seperti mengikuti kegiatan kursus, memberikan modal untuk membuka usaha mandiri dan sebagainya. 3. Bagi peneliti selanjutnya. a. Mempertimbangkan populasi dengan karakteristik yang berbeda dari penelitian ini, misalnya mantan pengguna narkoba yang mengalami relaps, mantan narkoba yang mengalami withdrawal, atau mantan pengguna narkoba yang sedang melakukan proses clean & sober. b. Apabila menggunakan kuisioner sebagai alat ukur, perlu memperhatikan aspek indikator aitem yang diukur dalam. Setiap pembuatan aitem-aitem untuk kuesioner hendaknya lebih diperhatikan secara spesifik yang mencakup keadaan pada indikatornya. c. Agar lebih memperhatikan faktor-faktor selain kondisi kematangan emosi dan selfefficacy yang kemungkinan mempengaruhi craving pada mantan pengguna narkoba, misalnya: seperti kemampuan untuk mengatasi stress (stress management) dan coping skills. 4. Bagi pihak Yayasan Orbit. a. Agar dapat memberikan perhatian berupa motivasi dan dukungan, tidak hanya kepada pengguna narkoba tetapi juga pada mantan pengguna narkoba. b. Disarankan untuk membuat suatu lembaga pendidikan dan keterampilan bagi mantan pengguna narkoba yang telah sembuh dan kembali ke masyarakat. c. Perlu mengadakan suatu kegiatan yang terprogram untuk mengembangkan kepribadian bagi para mantan pengguna narkoba melalui kegiatan-kegiatan seperti out bound, konseling, dan sejenisnya. PUSTAKA ACUAN Badan Narkotika Nasional (2003). Bahan Pendidikan Pencegahan dan Kampanye Penyadaran akan Bahaya Penyalahgunaan Narkoba bagi Remaja. Jakarta: Badan Narkotika Nasional. Baron, R.A & Byrne, R. (2004). Psikologi Sosial Jilid 1 (alih bahasa oleh Ratna Djuwita, Melania Meitty Parman, Dyah Yasmina & Lita P Lunanta). Jakarta. Penerbit Erlangga. Bhrem, S & Kassim, S.M (1999). Social Psychology. New Jersey: Hougtc Mifflin Company. Clark. (2007). Menanggulangi NAPZA. Bogor: Dana Bhakti Prima yasa. Courtney . (2003). Self-efficacy Beliefs of Adolescent. Grenwich: information age publishing. Cyrillia, J.S. (2006). Perbedaan kematangan Emosi dan Kemandirian anak tunggal dan anak bersaudara. Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Ubaya. tidak diterbitkan, Drummond, D.C. (2001). Conceptualizing Addiction: Theories of drug craving, ancient and modern. London, UK: Department of Addictive Behavior and Psychologycal Medecine, St George's Hospital medical School. Feldmans, R.S. (2003). Social Psychology. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Hergenhahn. (2001). An Introduction to theories of learning. Massachusetts: Allyn & Bacon. Hwamstrong. (2005). Emotional Quality Management. Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup Melalui Kedaulatan Emosi. Jakarta: Penerbit Arga. Jellinekk, dkk. (1999). The Disease Concept of Alcoholism. New Haven: Hill House. Kenenbudi, C.M. (2007). Penyesuaian Akademik, Kematangan Emosi Dan Dukungan Teman Pada Mahasiswa Urban Di Tahun Pertama. Skripsi, S-1. Surabaya, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya: tidak diterbitkan. Mc.Kim, W-A. (2003). Drugs and Behavior: An Introduction to Behavior Pharmacology. Fith Edition. New Jersey: person Education, Inc. Melander. (2002). Health Psychology: Integrating Mind And Body. Singapore: Allyn And Balcon. Monks, F.J. (1999). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mujiadi. (2003). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Okech & Harrington. (2002). The Developing Child. 117 INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011