PEMILIHAN TIPE PESAWAT TERBANG UNTUK RUTE

advertisement
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) Yogyakarta, 24 November 2007 ISSN : 1978 – 9777 PEMILIHAN TIPE PESAWAT TERBANG UNTUK RUTE
YOGYAKARTA – JAKARTA BERDASARKAN
PERKIRAAN BIAYA OPERASIONAL
Didik Prihananto
Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto
Jl. Janti Blok R Lanud Adisutjipto, Yogyakarta
e-mail : [email protected]
ABSTRACT
Biaya operasional merupakan salah satu pertimbangan dalam pemilihan jenis pesawat
terbang. Biaya operasional terdiri dari biaya operasional langsung (DOC = direct operating cost)
dan biaya operasional tidak langsung (IOC = indirect operating cost). Dengan biaya operasional
yang rendah, maka dapat diperoleh tingkat keuntungan yang lebih tinggi.
Makalah ini memperkirakan besar biaya operasional untuk beberapa jenis pesawat yang
memungkinkan dioperasikan pada rute Yogyakarta – Jakarta untuk beberapa tahun ke depan.
Jenis pesawat yang dipergunakan sebagai alternatif adalah yang diproduksi setelah tahun 2000
dan memungkinkan untuk dipergunakan oleh airline di Indonesia untuk menggantikan armada
yang sekarang. Biaya operasional diperhitungkan berdasarkan biaya awak pesawat, biaya bahan
bakar, biaya sewa, biaya asuransi, biaya perawatan dan ditambah biaya tidak langsung.
Penentuan jenis pesawat dengan membandingkan biaya operasional, dimana pesawat yang dipilih
adalah yang mempunyai biaya operasional paling rendah.
Untuk rute Yogyakarta – Jakarta, pesawat Airbus A320-200 mempunyai biaya operasional
per ASK (available seat kilometer) paling kecil disamping itu untuk mencapai break event point,
pesawat Airbus A320-200 membutuhkan load factor paling rendah dibandingkan pesawat lainnya
yang setara. Dengan pertimbangan tersebut, maka untuk menggantikan armada yang sekarang
beroperasi, pesawat Airbus A320-200 merupakan tipe yang tepat untuk dioperasikan pada rute
Yogyakarta – Jakarta dilihat dari sisi biaya operasi
Keywords : biaya operasional, jenis, pesawat terbang, ASK
1. PENDAHULUAN
Rute Yogyakarta – Jakarta merupakan salah satu rute domestik yang cukup ramai dalam
persaingannya. Pada rute ini tidak kurang dari enam maskapai penerbangan menerbanginya dengan
pesawat yang beragam. Keenam maskapai tersebut adalah Lion Air, Wings Air, Mandala Air,
Adam Air, Batavia Air, dan Garuda Indonesia dengan berbagai jenis pesawat yaitu MD-82, Boeing
737-200, Boeing 737-300 dan Boeing 737-400. Jenis pesawat yang dioperasikan merupakan
pesawat dengan usia yang cukup tua (produksi tahun 1980-1990). Sesuai dengan Peraturan
Menteri Perhubungan No. KM 05 Tahun 2006, tentang Peremajaan Armada Pesawat Udara
Kategori Transport Untuk Angkutan Udara Penumpang, yang mengatur batas maksimum umur
pesawat yang boleh beroperasi di Indonesia, maka perlu dikaji tentang jenis pesawat yang dapat
dipergunakan untuk beberapa tahun kedepan. Dengan adanya perbedaan jenis pesawat dengan
kapasitas penumpang yang berbeda terbang pada rute yang sama, dapat diperkirakan bahwa biaya
operasi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan akan berbeda. Suatu perusahaan penerbangan akan
efisien diantaranya bila menggunakan pesawat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan jumlah
penumpang serta mempunyai biaya operasional yang rendah.
C‐1 Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) Yogyakarta, 24 November 2007 ISSN : 1978 – 9777 Biaya operasional akan mempengaruhi kemampuan finansial dari perusahaan, semakin tinggi
biaya operasional maka keuntungan akan semakin rendah dan sebaliknya. Sehingga perlu
dilakukan analisis untuk menentukan jenis pesawat yang akan dioperasikan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka makalah ini bertujuan untuk memperkirakan besar biaya
operasi dari beberapa jenis pesawat terbang yang memungkinkan untuk dioperasikan pada rute
Yogyakarta – Jakarta, kemudian dari biaya operasional tersebut akan ditentukan jenis pesawat yang
tepat ditinjau dari biaya operasional yang paling rendah. Dalam pemilihan pesawat, beberapa
kriteria pemilihan diantaranya adalah kapasitas jumlah penumpang, jarak tempuh, kecepatan
terbang, konsumsi bahan bakar dan lainnya. Pemilihan jenis pesawat dilakukan dengan
mempertimbangkan kapasitas jumlah penumpang sebanyak-banyaknya dengan tujuan agar jumlah
penerbangan yang dibutuhkan dapat dikurangi dengan membawa penumpang yang banyak namun
harus mempertimbangkan kemampuan dari bandar udara asal dan tujuan. Dalam menetapkan biaya
per komponen didasarkan pada standar biaya operasional dari Air Transport Association (ATA)
yang tercantum dalam ATA Cost Index 2007 dan ATA Cost Method.
Data dari PT. Angkasa Pura I Bandara AdisutjiptoYogyakarta menunjukkan bahwa
pertumbuhan penumpang dari tahun 1999 hingga 2006 dan perkiraan hingga tahun 2008 dengan
regresi linier seperti pada gambar 1. Dengan bertambahnya jumlah penumpang yang berangkat
maupun datang, mestinya dibutuhkan pesawat yang lebih besar atau dengan frekuensi penerbangan
yang lebih banyak.
Gambar 1. Perkiraan pertumbuhan penumpang Yogyakarta – Jakarta sampai 2008
2. LANDASAN TEORI
Analisis biaya operasional merupakan salah satu pertimbangan dalam menentukan dan
merencanakan armada yang akan dioperasikan oleh suatu perusahaan penerbangan. beberapa
pertimbangan lain yang digunakan sebagai parameter dalam pemilihan jenis pesawat diantaranya
adalah (1) karakteristik pesawat udara, yang meliputi prestasi pesawat udara (aircraft
performance), berat pesawat (aircraft weight), kehandalan (reliability) dan keterawatan
(maintainability), profil terbang, sertifikasi, peralatan dan fasilitas pendukung, perbandingan
pesawat udara, (2) analisis biaya operasional pesawat, yang meliputi biaya operasional langsung
dan baya operasional tidak langsung, (3) penggunaan dan jadwal penerbangan (4) analisis ekonomi
dan finansial, (5) pendanaan pengadaan pesawat, dan (6) kecenderungan pembelian.
2.1 Waktu Operasional
Penggunaan pesawat pada dasarnya tergantung pada jarak penerbangan masing-masing rute.
Untuk rute dengan jarak yang pendek, maka pesawat dapat melakukan penerbangan dengan jumlah
yang banyak, dan kebalikannya untuk rute dengan jarak yang semakin jauh, maka pesawat dapat
C‐2 Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) Yogyakarta, 24 November 2007 ISSN : 1978 – 9777 melakukan jumlah penerbangan pada rute tersebut yang semakin sedikit. Penggunaan pesawat ini
disebut utilisasi. Utilisasi adalah penggunaan pesawat (jam terbang atau trip) dalam satu periode
waktu tertentu, umumnya adalah dalam satu tahun.
Operasional pesawat selalu diperhitungkan berdasarkan jam operasi atau disebut dengan jam
terbang. Secara umum jam terbang dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu flight time dan block time.
Flight time merupakan jam terbang pesawat mulai dari tinggal landas hingga mendarat kembali
ditambah dengan 0,1 jam untuk waktu pergerakan di udara (manuever time). Block time adalah
waktu mulai pesawat bergerak dari apron hingga berhenti lagi setelah mendarat. Block time
diperhitungkan dengan flight time ditambah waktu pergerakan didarat sebesar 0,5 jam.
2.2 Pembiayaan Airline
Dalam hal finansial (keuangan), airline mendapatkan pemasukan dari penjualan tiket
penumpang, kargo, biaya kelebihan bagasi, pos (mail), pendapatan sewa dan pendapatan lain
seperti pemasangan iklan, leasing, bunga piutang, pendapatan dari pelatihan dan lainnya. Pada
dasarnya pendapatan merupakan tanggung jawab bagian pemasaran. Pembiayaan airline pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu biaya non operasional dan biaya operasional.
Biaya non operasional merupakan biaya yang tidak ada kaitannya dnegana pengoperasian pesawat,
sedangkan biaya operasional merpakan biaya untuk pengoperasiaan pesawat.
Biaya operasional terdiri dari biaya operasi langsung (DOC = Direct Operating Cost) dan
biaya operasi tidak langsung (IOC = Indirect Operating Cost). DOC merupakan biaya yang
berhubungan langsung dengan penerbangan suatu pesawat, sedangkan IOC merupakan biaya
pendukung yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan manajemen perusahaan, namun dapat
diperkirakan kebutuhan untuk IOC ini. Kedua jenis biaya operasi ini (DOC dan IOC) merupakan
salah satu faktor dalam mempertimbangkan jenis pesawat yang akan dioperasikan untuk suatu rute
tertentu.
2.2.1 Biaya Operasi Langsung (Direct operating cost)
Merupakan seluruh biaya yang berhubungan langsung dengan dan tergantung kepada jenis
pesawat udara yang dioperasikan dan akan berubah untuk jenis pesawat yang berbeda. Direct
operating cost ini dapat dikelompokkan menjadi :
1. Flight operation cost adalah biaya yang harus dikeluarkan sehubungan dengan
pengoperasian pesawat tersebut. Komponen biaya ini meliputi beberapa unsur yaitu biaya
awak pesawat (air crew), biaya bahan bakar, biaya leasing, biaya asuransi
2. Maintenance cost, biaya yang harus dikeluarkan akibat adanya perawatan pesawat. Terdiri
dari biaya tenaga kerja dan biaya material
3. Depresiasi dan amortisasi. Depresiasi merupakan biaya akibat turunnya nilai nominal atau
harga pesawat seiring dengan berjalannya waktu sejak produk tersebut keluar. Sedangkan
amortisasi merupakan penyisihan uang secara berkala untuk biaya-biaya seperti pelatihan
awak kabin, biaya pengembangan dan pra-operasi yang berhubungan dengan
pengembangan rute atau penggunaan pesawat baru.
2.2.2 Biaya Operasi Tidak langsung
Merupakan seluruh biaya yang tetap tidak terpengaruh dengan perubahan jenis pesawat udara
karena tidak tergantung secara langsung dengan operasi pesawat udara tersebut. Biaya ini terdiri
dari station and ground cost (biaya penanganan dan pelayanan pesawat di darat), passenger service
cost (biaya pelayanan penumpang), ticketing, sales dan promotion cost, dan biaya administrasi.
C‐3 Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) Yogyakarta, 24 November 2007 ISSN : 1978 – 9777 2.2.3 Biaya Operasi Total
Jumlah dari biaya operasi langsung dan biaya operasi tidak langsung. Biaya operasi ini
dinyatakan dalam setiap seat yang tersedia per jarak misal per ASK (available seat kilometer) atau
per ASM (available seat mile).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, pertama menentukan jenis pesawat
alternatif, pesawat yang dipilih adalah dengan kapasitas seat yang banyak, diproduksi dalam 10
tahun terakhir sehingga masa pakainya masih lama, dengan dibatasi panjang landasan di Bandara
Adisutjipto Yogyakarta dan Bandara Soekarno Hatta Jakarta.
Tahap kedua yaitu mengitung biaya operasi baik biaya operasi langsung, biaya operasi tidak
langsung dan biaya operasi total per ASK sesuai spesifikasi masing-masing pesawat. Selanjutnya
dari masing-masing jenis pesawat tersebut dibandingkan besar biaya operasi. Pesawat yang paling
menguntungkan adalah dengan biaya operasi per ASK paling kecil, sehingga dengan jumlah
penumpang biaya yang harus dikeluarkan plaing kecil dan keuntungan bisa lebih besar.
Langkah selanjutnya adalah dengan menghitung break event point (BEP) dari tiap pesawat.
Untu ini dipergnakan harga tiket adalah rata-rata dari harga yang berlaku pada rute Yogyakarta –
Jakarta dari beberapa airline yang beroperasi saat ini. BEP dinyatakan dalam load factor minimum,
yaitu perbandingan jumlah penumpang dengan kapasitas seat tersedia.
4. HASIL Dan PEMBAHASAN
4.1 Pemilihan Jenis Pesawat Alternatif
Mengacu pada peraturan keselamatan penerbangan sipil di Indonesia, CASR Part 91, General
Flight Rules, pesawat diijinkan mendarat pada suatu bandara bila panjang landasan yang
dibutuhkan (sesuai dengan spesifikasi dari pabrik pesawat) tidak lebih dari 70% dari panjang
landasan bandara tersebut. Dengan panjang landasan di Bandara Adisutjipto adalah 2200 meter dan
di bandara Soekarno Hatta adalah 3600 meter, maka pesawat yang dipilih harus mempunyai
kebutuhan panjang landasan untuk mendarat maksimal 1540 meter. Dari spesifikasi beberapa tipe
pesawat, dipilih beberapa alternatif sebagai berikut:
Tabel 1. Jenis Pesawat Terbang untuk Rute Yogyakarta – Jakarta
Jenis Pesawat
Jumlah Jumlah
Crew Seat
Berat (Kg)
Panjang landasan(meter)
Empty
MTOW
MLW
Take off
landing
Airbus A319-100
2
153
40.600
64.000
60,999
1463
1433
Airbus A320-200
2
179
42.400
73.500
64,499
1798
1463
Airbus A321-100
2
185
48.200
83.007
74,389
1920
1524
Boeing 737-500
2
130
31.234
52.390
49,895
1859
1356
Boeing 737-600
2
132
36.301
65.998
55,111
1798
1341
Boeing 737-700
2
149
38.147
70.080
58,604
1676
1433
Boeing 737-800
2
189
41.326
79.016
66,361
2210
1539
C‐4 Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) Yogyakarta, 24 November 2007 ISSN : 1978 – 9777 Sumber : spesifikasi dari pabrik
MTOW
= Maximum Take Off Weight
MLW
= Maximum Landing Weight
4.2 Perhitungan Biaya Operasi dan Break Even Point
Dikarenakan harga bahan bakar berfluktuasi sesuai dengan nilai tukar Dollar, maka dalam
penelitian ini digunakan asumsi bahwa harga bahan bakar Avtur adalah tetap yaitu dengan harga
tertinggi pada tahun 2006 sebesar Rp. 5531,33 atau US$ 0,601 per gallon dengan kurs 1 US$ = Rp.
9.200,-. Pengadaan pesawat adalah diasumsikan dengan dry leasing (sewa) sehingga biaya
depresiasi tidak ada. Untuk perhitungan yang memerlukan kecepatan digunakan block speed, yaitu
kecepatan yang diperhitungkan berdasarkan jarak tempuh Yogyakarta – Jakarta dibagi dengan
block time masing-masing pesawat. Jarak tempuh Yogyakarta – Jakarta diasumsikan 550 km.
Dari hasil perhitungan terhadap maing-masing komponen biaya operasi dapat dipaparkan
sepertti pada tabel-tabel berikut:
Tabel 2. Direct Operating Cost (US$/per jam terbang)
Jenis Pesawat
Bahan bakar
Crew
Asuransi
Leasing
Perawatan
Jumlah
Airbus A319-100
1308,12
26,44
27,40
751,53
215,93
2329,42
Airbus A320-200
1534,73
30,31
29,92
820,64
226,70
2642,29
Airbus A321-100
1840,92
34,18
36,22
993,41
261,33
3166,06
Boeing 737-500
1254,43
22,19
23,27
638,17
160,14
2098,19
Boeing 737-600
1446,33
27,19
25,25
692,68
189,29
2380,74
Boeing 737-700
1612,87
28,85
28,57
783,60
200,37
2654,25
Boeing 737-800
1732,41
32,40
34,33
941,63
219,60
2960,37
Perhitungan biaya bahan bakar disesuaikan fase penerbangan, yaitu bahan bakar untuk
penerbangan cruising (jelajah) dan bahan bakar selain cruising (untuk lepas landas dan taxiing atau
pergerakan di darat). Biaya untuk bahan bakar masing-masing pesawat berbeda disebabkan jenis
mesin (engine) yang dipergunakan dan berat pesawat berbeda. Perhitungan crew adalah untuk pilot
dan co-pilot, diperhitungkan berdasarkan berat pesawat. Biaya asuransi dan leasing diperhitungkan
berdasarkan harga pesawat baru. Harga pesawat mengacu pada harga pesawat baru dari pabrik pada
tahun 2007. Biaya perawatan meliputi biaya tenaga kerja dan biaya material termasuk suku cadang.
Tabel 3. Indirect Operating Cost (US$/per jam terbang)
Jenis Pesawat
Palayanan
darat
Tiket &
Sales
Administrasi
Pelayanan
Penumpang
IOC
Airbus A319-100
292,84
96,68
103,16
195,05
687,73
Airbus A320-200
310,17
112,48
112,05
199,75
734,46
Airbus A321-100
354,11
116,91
120,94
201,07
793,02
C‐5 Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) Yogyakarta, 24 November 2007 ISSN : 1978 – 9777 Boeing 737-500
237,56
80,39
90,32
148,64
556,91
Boeing 737-600
269,40
83,61
105,28
149,60
607,89
Boeing 737-700
285,22
94,38
109,11
152,81
641,52
Boeing 737-800
320,95
119,99
117,76
202,00
760,69
Perhitungan untuk IOC berdasarkan jumlah kapasitas penumpang dan berat pesawat (MTOW)
dan mengunakan indeks yang telah ditetapkan sebagai standar.
Tabel 4. Total Operating Cost (US$/per jam terbang)
Jenis Pesawat
Jumlah seat
ASK
DOC
IOC
TOC
TOC/ASK
Airbus A319-100
153
84150
2329,42
687,73
3017,15
0,0359
Airbus A320-200
178
97900
2642,29
734,46
3376,75
0,0345
Airbus A321-100
185
101750
3166,06
793,02
3959,08
0,0389
Boeing 737-500
130
71500
2098,19
556,91
2655,10
0,0371
Boeing 737-600
132
72600
2380,74
607,89
2988,63
0,0412
Boeing 737-700
149
81950
2654,25
641,52
3295,77
0,0402
Boeing 737-800
189
103950
2960,37
760,69
3721,06
0,0358
Total operating cost merupakan jumlah dari direct operating cost dan indirect operating cost.
Perhitungan dilakukan untuk tiap available seat kilometer (ASK). ASK merupakan hasil kali
jumlah seat dengan jarak (550 km). dengan perhitungan per ASK maka biaya tersebut merupakan
biaya yang harus ditanggung oleh tiap penumpang setiap jarak satu kilometer. Untuk
membandingkan biaya operasi pesawat, perhitungan biaya operasi per ASK merupakan cara yang
tepat karena diperhitungkan berdasarkan tiap seat (penumpang) pada jarak yang sama.
Break even point (BEP) akan tercapai bila pemasukan yang diperoleh mampu menutupi total
pembiayaan yang harus dikeluarkan. Untuk analisis BEP ini diasumsikan bahwa harga tiket
digunakan rata-rata harga tiket dari airline yang beroperasi pada rute Yogyakarta – Jakarta
sekarang ini. Dari hasil pemantauan harga tiket rata-rata adalah Rp. 381.500,-. Sehingga untuk
mencapai BEP, jumlah penumpang yang harus terangkut adalah diperhitungkan dengan biaya
operasi dibagi dengan harga tiket atau dengan persamaan sebagai berikut.
Pemasukan = Biaya operasi
harga tiket × seat terjual = biaya operasi
biaya operasi
harga tiket
seat terjual
load factor minimum =
× 100%
kapasitas seat maksimum
seat terjual minimum =
Dalam hal ini perlu diperhitungkan biaya operasi untuk satu kali penerbangan (trip). Biaya ini
diperhitungkan dengan biaya operasi per jam dkalikan dengan block time masing-masing pesawat.
C‐6 Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) Yogyakarta, 24 November 2007 ISSN : 1978 – 9777 Menginta biaya operasi ang diperhitungkan dalam nilai Dollar, sedangkan harga tiket dalam Dollar,
maka biaya operasi dikonversikan dalam nilai rupiah dengan 1 US$ = Rp. 9.200 ,-. Dengan
persamaan tersebut, maka diperoleh load factor minimum untuk masng-masing pesawat adalah :
Tabel 5. Load factor minimum
TOC (US$)
TOC (Rp.)
Jenis Pesawat
Jumlah
seat
Per trip
Per jam
Per trip
seat
minimum
Load factor
minimum
Airbus A319-100
153
3017,15
3810,36
35.055.347,05
92
60,06%
Airbus A320-200
178
3376,75
4264,50
39.233.367,46
103
57,78%
Airbus A321-100
185
3959,08
4999,93
45.999.314,88
121
65,18%
Boeing 737-500
130
2655,10
3426,67
31.525.383,44
83
63,57%
Boeing 737-600
132
2988,63
3765,38
34.641.498,97
91
68,79%
Boeing 737-700
149
3295,77
4152,34
38.201.566,17
100
67,20%
Boeing 737-800
189
3721,06
4677,37
43.031.817,56
113
59,68%
4.3 PEMBAHASAN
Dari hasil perhitungan terhadap biaya operasi total dan load factor minimal, dapat dijelaskan
bahwa jumlah kapasitas penumpang akan mempengaruhi besarnya biaya operasi. Pesawat Boeing
737-500 dengan jumlah kapasitas seat 130 dimana paling sedikit dari beberapa jenis pesawat
tersebut, mempunyai biaya operasi yang paling kecil yaitu Rp. 31.525.383,44. Sedangkan pesawat
terbang Airbus A321-100 dan Boeing 737-800 yang mempunyai kapasitas seat terbesar
mempunyai biaya operasi yang paling besar juga. Bila dikaitkan dengan available seat kilometer
(ASK) maka pesawat Airbus A320-200 dengan kapasitas seat 178 mempunyai biaya operasiper
ASK paling kecil, yaitu US$ 0,0345 atau Rp. 317,4 per ASK, dan pesawat Boeing 737-600 dengan
kapasitas seat 132 mempunyai biaya operasi per ASK paling besar yaitu US$ 0,0412 atau Rp.
379,04.
Untuk mencapai break event point yang ditinjau dari load factor minimum yang merupakan
perbandingan penumpang yang terangkut atau seat yang terjual, pesawat Airbus A320-200
membutuhkan load factor 57,78% dan paling kecil dibandingkan pesawat jenis lainnya. Sedangkan
pesawat Boeing 737-600 membutuhkan load factor paling besar, yaitu 68,79%. Dari pertimbangan
biaya operasi dan analisis BEP tersbut, maka pesawat Airbus A320-200 merupakan pesawat yang
paling tepat dipergunakan untuk rute Yogyakarta – Jakarta pada masa yang akan datang.
5. KESIMPULAN
Pertimbangan pemilihan jenis pesawat dapat didasarkan pada besarnya biaya operasi per ASK.
Untuk rute Yogyakarta – Jakarta, pesawat Airbus A320-200 dengan kapasitas penumpang 178
mempunyai biaya operasi per ASK yang paling kecil. Untuk mencapai break event point (BEP)
peawat ini juga membutuhkan load factor paling kecil, sehingga pesawat ini paling tepat untuk
dioperasikan pada rute Yogyakarta – Jakarta.
C‐7 Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) Yogyakarta, 24 November 2007 ISSN : 1978 – 9777 6. DAFTAR PUSTAKA
Airbus (1998). Getting To Grips With The Cost Index, Issue II, Blacnac Cedex, France: Flight
Operations Support & Line Assistance Airbus
Departemen Perhubungan Republik Indonesia (2002). Keputusan Menteri Perhubungan No. 9
Tahun 2002, Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas
Ekonomi, Jakarta : Departemen Perhubungan Republik Indonesia
Departemen Perhubungan Republik Indonesia (2003). Keputusan Menteri Perhubungan RI No 3
Tahun 2003, Penyelenggaraan Angkutan Udara, Jakarta : Departemen Perhubungan
Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (1997). Civil Aviation Safety Regulation Part 91, General
Flight Rules, Departemen Perhubungan Republik Indonesia
Federal Aviation Administration (2006). Federal Aviation Regulation (FAR) Cost Principles
Guide, Version: July 2006, Washington DC : United States Department of Transportation
Harris Franklin D. (2005). An Economic Model of U.S. Airline Operating Expenses, NASA Ames
Research Center, California : University of Maryland
Horder Peter (2003). Airline Operating Costs, Managing Aircraft Maintenance Costs Conference,
Brussel : SH&E International Air Transport Consultancy,
Maddalon Dal V (1978). Estimating Airline Operating Cost, NASA Technical Memorandum 78694,
Virginia : Langrey Research Center
Smith Chris J, Dr. (2003). Airline Operating Costs – The Variations, Managing Aircraft
Maintenance Cost Conference, Brussel : SH&E International Air Transport Consultancy
Smyth Mark, Pearce Brian (2006). Airline Cost Performance, IATA Economics Briefing No.5, Juli
2006, www.iata.org
Ssamula, Mistro Del, Visser (2006) Using an operating cost model to analyse the selection of
aircraft type on short-haul routes, Journal of the South African Institution of Civil
Engineering, Vol 48 No 2, 2006, Pages 2–9, Paper 579
ATA Cost Index 2007, http://www. airlines.org, diakses terakhir tanggal 15 Mei 2007
ATA Cost Method, Standard Method of Estimating Comparative Direct Operating Cost Of
Turbine Powered Transport Airplanes, http://adg.stanford.edu/aa241/cost/atamethod.html,
diakses terakhir tanggal 20 April 2007
C‐8 
Download