Dampak Peningkatan Frekuensi Penerbangan - Faculty e

advertisement
Dampak Polusi Penerbangan Terhadap Efek Rumah Kaca
Oleh :
Leonid Julivan Rumambi
(Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Kristen PETRA)
Email : [email protected] / [email protected]
ABSTRAK
Berbagai sektor bisnis saat ini sangat terkait dengan industri & jasa penerbangan
antara lain sektor industri, transportasi udara, pertambangan, pariwisata, perdagangan &
tenaga kerja. Pesawat komersial sudah menjadi standar kemudahan & kecepatan untuk
alternatif transportasi yang populer, namun di sisi lain menghasilkan polusi yang merusak
lapisan ozon. Tujuan penulisan ini adalah untuk lebih melihat arah & pengaruh dari
industri & jasa penerbangan terhadap efek rumah kaca dengan mengkaji berbagai
informasi terkait serta bagaimana implikasi akhirnya. Bagaimanapun, upaya-upaya untuk
menyeimbangkan manfaat & dampaknya perlu untuk mulai dipikirkan, khususnya
apabila manusia tetap ingin mengurangi polutan penyebab efek rumah kaca. Pemerintah
selaku regulator perlu untuk secara bijak mengelola kondisi ini dengan hati-hati dan
penuh pertimbangan. Merujuk pada upaya Komisi Eropa untuk mulai tegas menekan
emisi gas rumah kaca, ini menjadi cermin yang positif akan pemerintah yang proaktif &
berani untuk memulai perubahan.
Kata Kunci :
Industri penerbangan, jasa penerbangan, efek rumah kaca, perusakan ozon
LATAR BELAKANG
Menurut pakar perubahan iklim Eddy Hermawan dari Pusat Pemanfaatan Sains
Atmosfer dan Iklim pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan),
pemanasan global sangat dipengaruhi oleh tindakan manusia. Kenaikan suhu rata-rata
0,80 Celsius dalam seabad terakhir terutama disebabkan penggunaan bahan bakar fosil
mulai tahun 1920-an atau pasca-revolusi industri (”Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
Seharusnya Target Semua Bangsa”, 2009). Negara-negara maju khususnya Amerika
Serikat serta negara-negara berkembang secara umum memiliki ketergantungan yang
tinggi terhadap bahan bakar fosil. Kendaraan bermotor, sarana transportasi maupun
mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar fosil adalah penyumbang terbesar polusi
yang secara perlahan tapi pasti menyebabkan perubahan iklim bumi. Dalam hal ini
sepeda motor, mobil, kereta api, pesawat terbang, mesin industri, dll secara umum masih
menggunakan batu bara & minyak bumi.
Agus Purnomo (staf ahli khusus Bidang Kemitraan dan Isu Lingkungan pada
Kementerian Negara Lingkungan Hidup) menyebutkan bahwa Persoalan menghadapi
perubahan iklim dengan menekan produksi emisi gas rumah kaca itu, lanjut Agus, ibarat
100 penumpang yang naik pesawat terbang, dua di antaranya berupaya melubangi
pesawat. Pada akhirnya, akibat perbuatan dua penumpang tersebut dapat mencelakakan
semua penumpang pesawat. Analogi ini secara cukup baik menjelaskan tentang bahaya
dari efek rumah kaca, apalagi dengan adanya negara-negara yang enggan untuk menolak
target pengurangan emisi yang mengikat. Selama ini hutan, laut dan padang rumput
merupakan penyerap karbon dioksida, salah satu gas utama yang menjadi perangkap
panas di atmosfir Namun sebuah kenyataan yang lain menyebutkan bahwa hutan pun bisa
menyebabkan gas rumah kaca yang bisa mencapai lima kali lebih besar daripada semua
kendaraan bermotor (”Hutan Bisa Menjadi Sumber Emisi Gas Rumah Kaca”, 2009).
Namun, apabila intervensi manusia bisa mengubah kondisi hutan tersebut khususnya
melibatkan bagaimana perusahaan pengolah kayu & pemerintah, tentu intervensi ini juga
bisa dilakukan untuk sektor yang lainnya.
Polusi yang dihasilkan dari mesin-mesin terbang (exhaust gas polution) perlu
diperhatikan dampak buruknya terhadap lingkungan. Meskipun hanya menyumbang
sekitar 3% dari total polusi udara dunia tapi dengan banyaknya pesawat terbang
komersial yang operasional dari hari ke hari bisa jadi angka persentase tersebut semakin
meningkat. Gas buangan dari pesawat terbang seperti karbon dioksida, oksida nitrogen,
uap air dan lain-lain semakin lama semakin memperkuat kenyataan bahwa polusi udara
dari pesawat terbang patut diwaspadai (Polusi Udara Dari Pesawat Terbang, 2007). Hal
ini bahkan diperkuat penelitian tahun 1980-1990-an yang mengatakan bahwa oksida
nitrogen atau NOx yang dihasilkan dari hasil pembuangan mesin jet dapat merusak
lapisan ozon lebih parah dari pada CFC (Chloro-Fluoro-Carbon), gas yang sering
dituduh sebagai perusak ozon. Bahkan beberapa ahli atmosfir yang tergabung dalam
badan lingkungan hidup WWF (World Wide Fund) tahun 1991 berani berkata yang patut
dijadikan tersangka utama semakin melebarnya lubang ozon adalah polusi NOx dari
sistem transportasi udara.
Mengapa? Tidak lain karena NOx secara kimiawi dapat mengurai ozon dengan
bantuan sinar ultraviolet matahari dan emisi gas buangan pesawat ini banyak terdapat di
ketinggian jelajah pesawat (10-12 km) sehingga makin mudah saja mengurai ozon (O3)
menjadi oksigen (O2) yang tidak bisa berbalik lagi menjadi ozon (”Polusi Udara Dari
Pesawat Terbang”, 2007). Siapa yang mendapatkan keuntungan dengan andil juga
menyebabkan emisi rumah kaca ini ? Tentu semua pihak yang secara langsung terkait
dengan industri penerbangan & jasa / bisnis penerbangan. Industri penerbangan
didominasi oleh dua produsen besar Boeing dari Amerika Serikat dan Airbus dari
Perancis, Jerman, Spanyol & Inggris.
Produksi komersial Boeing sudah dimulai sejak 1958, sedangkan Airbus baru
masuk pasar komersial pada 1972. Perseteruan antara keduanya semakin tajam setelah
pada tahun 2003 Airbus berhasil menyalip Boeing dalam produksi dan omset pesawat
sipil dunia. Berdasarkan informasi yang dikutip pada situs Sinar Harapan (”Persaingan
Boeing Airbus Makin Sengit”, 2004) disebutkan bahwa Airbus berhasil menjual 305
pesawat, sedangkan Boeing hanya 285 pesawat. Selain itu dari sisi omset / penjualan,
Airbus pada tahun 2003 mencapai US$ 7,1 miliar dibandingkan dengan Boeing yang
meraup omset US$ 5,9 miliar (Boeing layoff in February 2009 and 2008 Boeing Sales
Volume, 2009). Lebih detail lagi tentang persaingan keduanya dapat dilihat pada grafik 1
& 2 serta tabel 1.
GRAFIK 1
Pesanan & Penjualan Airbus – Boeing
(1997 s/d 2005)
Sumber : www.airliners.net
TABEL 1
Pesanan Pesawat yang Telah Diserahkan Airbus – Boeing
(2006 s/d 2008)
ANGKA
TAHUN
2006
2007
2008
PESANAN PESAWAT
Boeing
Airbus
1.044 unit
790 unit
1.341 unit
1.413 unit
662 unit
791 unit
PESAWAT DISERAHKAN
Boeing
Airbus
422 unit
434 unit
441 unit
453 unit
375 unit
483 unit
Sumber : Diolah penulis
GRAFIK 2
Penjualan Airbus – Boeing
(1989 s/d 2007)
Sumber : www.centreforaviation.com
Jasa penerbangan sendiri pun mengalami naik turun terkait dengan berbagai
kejadian seperti peristiwa serangan teroris 11 September 2001 yang menghancurkan
WTC di Amerika Serikat, maupun kenaikan harga minyak bumi dengan luar biasa seperti
pada bulan Juli tahun 2008 yang mencapai US$ 147 / barrel maupun krisis finansial
global. Efek dari semua ini dapat menyebabkan jumlah penumpang menurun, biaya
bahan bakar (avtur) meningkat, biaya keamanan & biaya asuransi meningkat, sehingga
menambah beban operasional tinggi bagi perusahaan jasa penerbangan. Sebagai contoh,
Cathay Pacific, Aer Lingus & Lufthansa adalah tiga maskapai besar yang terkena dampak
negatif. Cathay Pacific, maskapai yang berbasis di Hong Kong, mencatat kerugian hingga
$ 1,1 miliar sepanjang 2008. Anjloknya jumlah penumpang dan tingginya harga bahan
bakar minyak sepanjang tahun dianggap sebagai penyebab utama kerugian. Aer Lingus
pun mencatat kerugian sebesar $ 136 juta. Padahal setahun sebelumnya, maskapai ini
masih mencatat keuntungan $ 133 juta. Sedangkan maskapai Jerman, Lufthansa, juga
harus memangkas tingkat keuntungan mereka hingga dua pertiga, menjadi 758 juta dolar.
Pada 2007, keuntungan Lufhtansa mencapai $ 2,1 miliar (“Jumlah Penumpang Anjlok
Maskapai Dunia Merugi”, 2009).
ANALISA & PEMBAHASAN
Boeing & Airbus berlomba untuk memproduksi pesawat sipil yang inovatif dan
semakin efisien, sehingga dapat dipergunakan oleh industri jasa penerbangan dalam
meningkatkan keuntungan bisnisnya. Upaya dari masing-masing produsen untuk juga
memproduksi pesawat yang hemat bahan bakar secara khusus selain menguntungkan
lingkungan tetapi di sisi lain juga dapat menjadi bumerang. Mengapa ? Karena akan
mendorong munculnya maskapai-maskapai baru atau bertambah padatnya lalu lintas
udara. Asia diharapkan dapat menyumbang sebanyak sepertiga dari lalu lintas udara pada
tahun 2020, meningkat dari 25 % tahun pada 2008, melebihi Amerika Serikat dan Eropa.
Andil pasar AS diramalkan akan turun ke 24 % dari 31 %, dan Eropa juga akan turun ke
27 %. Lagipula terdapat sekitar 5,6 miliar penduduk ada di negara-negara berkembang
yang sebagian besar di Asia, dibandingkan sekitar 1 miliar orang di negara-negara maju
(Asia Jadi Ajang Persaingan Boeing dan Airbus, 2008).
Pasar penerbangan di Indonesia mulai bergeliat tumbuh subur. Mengapa demikian
? A.B Susanto dari konsultan Jakarta Consulting Group (”Membangun Merek Di
Angkasa”, 2009) menyebutkan karena adanya kebijakan ’limited open sky’ yang
tercermin dari peraturan pemerintah No 40/1999 yang memungkinkan lahirnya pemainpemain baru dan bahkan didukung oleh Keppres 118/2000 yang mengijinkan bidang
usaha angkutan udara terbuka bagi asing dengan syarat harus berpatungan dengan modal
dalam negeri). Pada pameran dirgantara yang dilakukan di Singapura bulan Februari
2008 terdapat pesanan besar-besaran oleh dua maskapai penerbangan Indonesia.
Maskapai penerbangan bertarif murah, Lion Air memesan 56 pesawat Boeing 737-900ER
dan berhak membeli 50 lainnya. Armada pesawat 737-900ER-nya meningkat berjumlah
178, dan Boeing mengatakan maskapai penerbangan itu kini merupakan operator pesawat
terbang yang terbesar di dunia. Selain itu Garuda memesan 10 pesawat Boeing 777300ER untuk memperluas jalur penerbangan internasional. Empat pesawat merupakan
pembelian baru senilai lebih dari US$ 1 miliar, sedangkan enam pesawat lainnya
merupakan pesanan sebelumnya yang diubah untuk pesawat B777-200s (”Asia Jadi
Ajang Persaingan Boeing dan Airbus”, 2008).
Dinesh Keskar, Wakil Direktur Pemasaran Boeing, mengatakan Asia Selatan dan
Tenggara diperkirakan memesan lebih dari 3.000 pesawat senilai US$ 103 miliar dalam
20 tahun, dengan India, Indonesia, dan Malaysia yang merupakan poros penggerak
pertumbuhan utama. Ia mengatakan, 1.940 pesawat diharapkan diserahkan ke Asia
Tenggara dan 1.067 lainnya di Asia Barat Daya, dengan sebagian besar ke pasar India
yang meningkat. Sebagian besar pesanan merupakan pesawat yang berlorong tunggal
yang lebih disukai oleh maskapai-maskapai penerbangan bertarif murah, yang
berkembang dengan pesat. Penyerahan pesawat ke Malaysia dan Indonesia di masa
datang diperkirakan mencapai 740 pesawat baru, atau kurang lebih 38% dari jumlah
pesawat di Asia Tenggara. India akan memperkuat peningkatan ini di Asia Barat Daya
setelah deregulasi industri penerbangan. Itu terjadi setelah ada perubahan dari kebiasaan
menumpang kereta api, menjadi bepergian pesawat. India diperkirakan menerima 911
pesawat senilai US$ 86 miliar dalam 20 tahun mendatang (”Asia Jadi Ajang Persaingan
Boeing dan Airbus”, 2008).
Fenomena ’low cost carrier’ maupun ’budget airlines’ ditandai dengan berdiri &
beroperasinya perusahaan-perusahaan jasa penerbangan yang berupaya melayani jalurjalur pendek (point-to-point) maupun jalur-jalur umum / ’gemuk’ dengan upaya
penyelenggaraan bisnis yang efisien. Walaupun berbeda dengan jasa penerbangan yang
melayani ’hub-to-hub’ yang biasanya merupakan penerbangan jarak menengah & jauh
antara bandara-bandara internasional, namun penerbangan jarak pendek ini pun
berkontribusi aktif dalam menyumbangkan polusi udara yang merusak ozon. Berdasarkan
data Direktorat Perhubungan Darat & Departemen Perhubungan (Market Intelligence
Report, 2008), disebutkan bahwa jumlah maskapai penerbangan domestik berjadwal atau
reguler terhitung April 2008 adalah 16 perusahaan. Dari total 297 pesawat milik
maskapai penerbangan Indonesia yang terdaftar pada Direktorat Perhubungan Udara,
Departemen Perhubungan pada Desember 2007, hanya 221 pesawat yang beroperasi,
karena sebagian pesawat yang tidak beroperasi sedang dalam perawatan dan perbaikan
serta terdapat kendala teknis lainnya.
Berdasarkan data Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara, Departemen
Perhubungan pada Desember 2006, rata-rata umur pesawat terbang di Indonesia yang
paling muda adalah sekitar 10 tahun, yaitu pesawat dari maskapai Garuda Indonesia.
Sementara itu umur pesawat terbang diluar Garuda rata-rata berumur diatas 15 tahun.
Selain Garuda Indonesia, maskapai yang rata-rata umur pesawatnya masih di bawah 20
tahun adalah Sriwijaya Air dengan rata-rata 13,8 tahun dari 5 pesawatnya dan Lion Air
yang umur rata-rata pesawatnya 17,5 tahun dari 30 pesawat yang dioperasikannya
(Market Intelligence Report, 2008). Untuk beberapa tahun ke depan Lion Air akan
menjadi maskapai dengan rata-rata umur pesawatnya termuda, karena perusahaan ini
telah memesan sejumlah 178 pesawat baru yang sebagian mulai bergabung dengan
armadanya pada tahun 2008 dan sisanya akan bergabung dalam beberapa tahun ke depan.
Sementara itu beberapa maskapai lainnya antara lain Indonesia Air Asia, Kartika
Airlines, Mandala Airlines dan lain-lain masih menggunakan pesawat dengan umur ratarata di atas 20 tahun, termasuk Merpati Airlines (Market Intelligence Report, 2008).
GAMBAR 3.
Illustrasi Perusakan Ozon oleh Nitrogen Oksida di Atmosfir
Sumber : www.indoflyer.net
Bagaimana penerbangan pesawat dapat menyebabkan kerusakan besar pada ozon
ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 3. Selain itu berdasarkan grafik 2 dapat dilihat juga
prosentase dari industri penerbangan dalam kontribusinya sebagai satu dari lima sumber
polusi emisi terbesar (di bawah 5 %). Pada tahun 1999, IPCC (Intergovernmental Panel
on Climate Change) mengeluarkan laporan dan diantara poin-poin yang terpenting
tentang penerbangan sebagai berikut:
­ Pesawat terbang menghasilkan 2% total produksi emisi karbon dioksida (CO2)
per tahun, atau sebanyak 13% dari emisi CO2 yang dihasilkan dari seluruh
kendaraan. Diproyeksikan naik menjadi 3% sampai tahun 2050. Laporan ini juga
mencatat bahwa CO2 tetap berada di lingkungan atmosfir selama setidaknya 100
tahun sehingga efeknya kumulatif.
­ Emisi dari Nitrogen Oksida (NOx) dari pesawat subsonik diprediksi akan
meningkat sebesar 6% sejak tahun 1992. Sehingga diproyeksikan naik menjadi
13% pada tahun 2050.
­ Jejak asap pesawat terbang (contrails) dari exhaust menghasilkan uap air (H2O
dan Hidrokarbon) telah menutupi sekitar 0.1% permukaan bumi sejak 1992.
Diperkirakan akan meningkat setidaknya 0.5% di tahun 2050. Jejak asap ini dapat
bertahan di lingkungan atmosfir dan secara langsung mempengaruhi efek rumah
kaca. Selain itu jejak asap memberikan kontribusi peningkatan terjadinya awan
cirrus yang dapat menutupi sekitar 30% permukaan bumi
GRAFIK 2.
Sumber Polusi Emisi
Sumber : www.indoflyer.net
KESIMPULAN & IMPLIKASI
Terkait dengan tema dari Call for Paper ’Lingkungan Hidup’ yaitu ’strategi
adaptasi & mitigasi terhadap perubahan iklim’, penulis berupaya untuk lebih objektif
dalam membahas permasalahan yang ada. Pengaruh industri & jasa penerbangan walau
memberi dampak negatif bagi lingkungan tetapi juga memberikan manfaat serta
keuntungan. Kondisi ini memang ibarat buah simalakama, karena selain sektor
penerbangan, keempat sektor yang lain pun juga memiliki manfaat serta keuntungan bagi
berbagai sektor kehidupan. Pemikiran lebih bijak menyebutkan bahwa kalaupun semua
itu memberikan manfaat & keuntungan, perlu dilihat lagi seberapa besar dampak negatif
yang ditimbulkannya. Penerbangan jelas memberikan kemudahan untuk hidup, para
penumpang mendapat manfaatnya, karyawan & pebisnis mendapat keuntungannya,
belum lagi pihak-pihak lain yang secara tidak langsung ikut terkait. Penerbangan perintis
yang bisa menjangkau lokasi jauh atau terpencil memberikan nilai guna yang sangat
berarti bagi banyak pihak. Penerbangan domestik maupun internasional pun tidak
terkecuali, dengan jenis manfaatnya sendiri-sendiri.
Gas buang pesawat (dari bahan bakar fosil) dianggap sebagai salah satu
penyumbang pencemaran emisi gas rumah kaca, upaya untuk membuat bahan bakar lebih
efisien serta mencari alternatif bahan bakar diharapkan kelak dapat memberi gambaran
yang lebih ’hijau’ untuk masa depan lingkungan. Dari pihak produsen pesawat terbang,
kompetisi antara Boeing & Airbus menghasilkan inovasi produk yang diharapkan
semakin menjawab kebutuhan. Tentunya kebutuhan ini tidak sekedar secara ekonomis
saja, namun juga mulai menyentuh lingkungan. Airbus meluncurkan A320 nya pada
tahun 1988 dengan keunggulan dalam efisiensi bahan bakar. Sebuah alasan yang lebih
masuk akal disebut sebagai ’strategi efisiensi’ yang ekonomis dibandingkan benar-benar
untuk tujuan ’ramah lingkungan’.
Berdasarkan manfaat penggunaan bahan bakar fosil yang lebih sedikit akan
membantu mengurangi penyebab polusi yang bisa berdampak pada perubahan iklim,
maka strategi tersebut tetap dianggap mendukung lingkungan karena mengurangi emisi
gas rumah kaca. dalam kondisi ini kompetitor tidak diam saja, salah satu karya fenomenal
Boeing yang diluncurkan tahun 2009 adalah Boeing 787 ‘Dreamliner’. Pesawat ini
disebut sebagai pesawat penumpang dengan efisiensi bahan bakar mencapai 20 %
dibandingkan jenis / tipe pesawat lainnya dalam menempuh jarak jangkau penerbangan.
Beberapa pihak bahkan memberikan julukan pada 787 sebagai pesawat ‘hijau’ karena
dianggap lebih ramah lingkungan. Lalu lintas penerbangan komersial di seluruh dunia
diprediksi meningkat menjadi 5% sampai tahun 2015 dimana kebutuhan konsumsi bahan
bakar akan naik menjadi 3 %. Perbedaan angka ini disebabkan karena adanya
peningkatan teknologi mesin yang semakin efisien (”Polusi Udara Dari Pesawat
Terbang”, 2007). Kutipan tadi menunjukkan betapa teknologi baru yang berbasis pada
efisiensi bahan bakar dapat membantu lingkungan.
Semenjak Wright Bersaudara meluncurkan “abad penerbangan”, dan dalam waktu
kurang dari 100 tahun, penerbangan secara fundamental telah mengubah dunia. Saat ini,
dalam satu hari rata-rata ada lebih dari 40.000 penerbangan komersial mengangkut lebih
dari 4 juta penumpang ke berbagai tempat tujuan, yang secara politik, sosial, dan
ekonomi menghubungkan orang-orang dan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Diramalkan
kebutuhan (demand) untuk perjalanan udara akan menjadi dua kali lipat dalam kurun
waktu dua dekade mendatang (”Tentang Keselamatan Penerbangan”, 2004). Dalam
pembahasan sudah disebutkan bahwa Malaysia, Indonesia & India akan menjadi poros
penggerak utama pertumbuhan industri ini, yaitu dengan disiapkan 1.940 pesawat untuk
Asia Tenggara & 1.067 di Asia Barat Daya. Tantangan ? Memang semua itu ada
harganya dan bisa sangat mahal bagi lingkungan yang menanggung dampak jangka
panjang, demikian juga dengan generasi penerus. Perubahan kebiasaan penduduk India
untuk transportasi menggunakan kereta api menjadi pesawat juga memiliki kelemahan &
kelebihan tersendiri. Apabila benar bahwa gas buang pesawat lebih merusak ozon
dibandingkan kendaraan lain, maka ini benar-benar harga yang semakin mahal.
Apakah perlu dibatasi pertumbuhan industri penerbangan domestik untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca ? Komisi Eropa sudah melakukannya dengan berani
pada tahun 2005. Dalam kutipan website harian Sinar Harapan disebutkan bahwa Semua
negara Eropa kini melaksanakan ’Rencana Alokasi Nasional’ yang menentukan pagu
emisi rumah kaca mereka (Persaingan Boeing Airbus Makin Sengit, 2004). Para
pemimpin Eropa setuju awal tahun ini untuk menekan emisi gas rumah kaca 15 hingga 30
persen lebih rendah dari tingkat tahun 1990, dengan batas hingga tahun 2020. Komisi
Eropa menghendaki program pengurangan ini mencakup semua emisi setiap penerbangan
yang berangkat menuju negara Eropa lainnya dan negara ketiga. Pesawat-pesawat Eropa
maupun yang non-Eropa akan diberlakukan sama.
Rencana pengurangan emisi yang memerlukan persetujuan Parlemen dan
Pemerintah-pemerintah Uni Eropa, dan baru berlaku tahun 2008, adalah implementasi
Protokol Kyoto atas Uni Eropa. Bagi penulis, Uni Eropa dengan komitmennya yang
tinggi bersama dengan Jepang, China, Australia, Indonesia dan berbagai negara yang
menghadiri pertemuan internasional untuk lingkungan seperti konvensi Perubahan Iklim
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIFCCC). Dengan pengabdian yang terfokus dan kerja
sama yang sepenuh hati di antara semua bangsa dalam mengatasi masalah pemanasan
global, perubahan benar-benar sudah terlihat di depan mata (Perserikatan Bangsa-Bangsa
: Komitmen Positif untuk Mendukung Perubahan Iklim yang Positif, 200). Kondisi ini
menjadi semakin baik lagi dengan berubahnya sikap Amerika Serikat di bawah
pemerintahan Barack Obama untuk mau mendukung Protokol Kyoto, dibandingkan sikap
dari presiden sebelumnya yaitu George W. Bush.
Seperti yang disebutkan oleh Rachmat Witoelar yang menjadi Menteri Negara
Lingkungan Hidup, bahwa Indonesia dapat belajar dari pengalaman dunia yang
menempatkan pengelolaan lingkungan hidup sebagai isu sentral,” dalam bukunya
Refleksi 2006: Untuk Menatap Masa Depan. Kondisi ini menuntut Indonesia menjadi
bangsa yang peduli & memiliki langkah nyata untuk bertindak. Dengan turut aktif &
berkontribusi terhadap regulasi maupun program yang pro-lingkungan namun juga prorakyat, pemerintah Indonesia cermat & berwibawa bisa menumbuhkan kepercayaan agar
tidak semata-mata hanya bersikap ’hangat’ menggelar karpet merah untuk menyambut
dunia bisnis saja. Bagaimanapun negara ini perlu diatur semakin baik lagi agar menjadi
negara yang besar, salah satunya adalah bagaimana untuk menghargai & menyikapi
lingkungan. Saat setiap negara mengalami tantangan & permasalahan untuk kasus
pemanasan global yang berbeda penyebabnya, maka setiap negara pun harus mengetahui
peran serta strategi yang tepat agar ada solusi yang baik.
REFERENSI
Blog PEMANASAN GLOBAL (http://www.pemanasanglobal.net/energi/negara_hijau
.htm). ”Perserikatan Bangsa-Bangsa : Komitmen Positif untuk Mendukung
Perubahan Iklim yang Positif”. 19 Maret 2009.
Indah, Mega Veby. “Berbenah Menuju Konferensi Bali”. Blog VEBY MEGA
(http://vebymega.blogspot.com/2007/10/berbenah-menuju-konferensi-bali.html). 10
Oktober 2007 (Dimuat di Harian Jurnal Nasional – 22 November 2007).
PT Data Consult. Website PT DATA CONSULT (http://www.datacon.co.id
/Penerbangan2008.html). “Market Intelligence Report”. April 2008.
Sumbodo, Sudiro. Website INDOFLYER (http://www.indoflyer.net/content.asp?
contentid=1248). ”Polusi Udara Dari Pesawat Terbang”. 31 Desember 2007.
Susanto A, B. Website JAKARTA CONSULTING GROUP (http://www.jakarta
consulting.com/art-01-10.htm). “Membangun Merek Di Angkasa”. 20 Apr 2009.
Susatyo,
Raden,
Tri.
Website
KAGAMA-MM
(http://www.kagamamm.com/artikel.php?id=2). ”Tentang Keselamatan Penerbangan”. 14 Desember
2004.
Website AIRLINERS NET (www.airliners.net). “Airbus / Boeing Deliveries, Orders &
Backlog”. April 2009.
Website CENTRE FOR AVIATION (www.centreforaviation.com). “Penjualan Airbus –
Boeing”. April 2009.
Website CNGUY (http://www.cnguy.com /financial/news/2009/01/10/3241/boeinglayoff-in-february-2009-and-2008-boeing-sales-volume.html). “Boeing layoff in
February 2009 and 2008 Boeing Sales Volume”. 10 Januari 2009 (Kutipan Dari
Financial Times).
Website ENERGI PORTAL (http://www.energiportal.com/mod.php?mod=publisher
&op=viewarticle&cid=46&artid=802). ”Hutan Bisa Menjadi Sumber Emisi Gas
Rumah Kaca”. 18 April 2009.
Website KOMPAS ONLINE (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/30 /humanior
a/3563389.htm). “Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Seharusnya Target Semua
Bangsa”. April 2009.
Website Harian MEDIA INDONESIA (http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id
=160062). “Asia Jadi Ajang Persaingan Boeing dan Airbus”. 20 Februari 2008.
Website Harian SINAR HARAPAN (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0407/31
/lua05.html). ”Persaingan Boeing Airbus Makin Sengit”. 31 Juli 2004
Website Harian SINAR HARAPAN (http://www.sinar harapan.co.id/berita/0509/28
/lua09.html). ”Komisi Eropa Batasi Emisi Gas Penerbangan”. 28 November 2005.
Website TEMPO INTERAKTIF (www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/03/11
/brk,20090311-164230,id.html). ”Jumlah Penumpang Anjlok Maskapai Dunia
Merugi”. 11 Maret 2009.
http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2836&Ite
mid=1096
Download