BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Tanah Lumbricus rubellus Cacing tanah seperti yang banyak dikenal masyarakat dan menempati bagian permukaan tanah yang lembab termasuk dalam hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (avertebrata). Berikut adalah klasifikasi cacing tanah (Lumbricus rubellus) : Phylum : Annelida Kelas : Clitellata Sub Kelas : Oligochaeta Ordo : Haplotaxida Famili : Lumbricidae Genus : Lumbricus Spesies : Lumbricus rubellus (Sapto, 2011: 27) Dalam klasifikasi biologi, cacing tanah termasuk dalam filum Annelida atau hewan beruas-ruas atau bergelang-gelang. Cirinya yaitu tubuh simetris bilateral, silindris memanjang, bersegmen-segmen (sekitar 115-200 segmen), dan pada bagian permukaan tubuh terdapat sederetan sekat atau dinding tipis. Filum Annelida, terbagi menjadi tiga kelas yaitu Polychaeta, Hirudinea, dan Oligochaeta. Polychaeta merupakan kelompok cacing yang memiliki banyak seta atau sisir di tubuhnya, contohnya adalah Nereis dan Arenicola. Sedangkan contoh dari kelompok Hirudinea adalah lintah dan pacet (Hirudo medicinalis dan Haemadipsa zeylanica). Kelas terakhir dari phylum Annelida adalah Oligochaeta dimana cacing tanah termasuk di dalamnya lantaran jumlah seta (rambut keras berukuran pendek) pada tubuh cacing tanah sangat sedikit. Selain itu, cacing tanah oleh beberapa kalangan juga dikelompokkan berdasarkan warnanya, yakni kelompok merah dan kelompok abu-abu. Kelompok merah antara lain adalah Lumbricus rubellus (the red worm), L. terrestris (the night crawler), Eisenia foetida (the brandling worm), Daendroboena, Perethima dan Perionix. Sedangkan kelompok abu-abu antara lain jenis Allobopora (the field worm) dan Octolasium (Sugiantoro, 2012: 13-15) 1. Morfologi Ciri-ciri fisik cacing tanah antara lain di tubuhnya terdapat segmen luar dan dalam, berambut, tidak mempunyai kerangka luar, tubuhnya dilindungi oleh kutikula (kulit bagian luar), tidak memiliki alat gerak seperti kebanyakan binatang, dan tidak memiliki mata. Untuk dapat bergerak, cacing tanah harus menggunakan otot-otot tubuhnya yang panjang dan tebal yang melingkari tubuhnya. Adanya lendir pada tubuhnya yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis dapat mempermudah pergerakannya di tempat-tempat yang padat dan kasar. Lendir itupun dapat memperlicin tubuhnya dalam membuat lubang di tanah sehingga cacing dapat dengan mudah keluar masuk lubang. Selain fungsi tersebut, lendir pun dapat digunakan untuk mempertahankan diri. Oleh karena tubuhnya licin, cacing tanah sangat sukar ditangkap musuh-musuhnya. Pada tubuhnya, terdapat organ yang disebut seta. Seta yang terdapat pada setiap segmen ini berupa rambut yang relatif keras dan berukuran pendek. Daya lekat organ ini sangat kuat sehingga cacing dapat melekat erat pada permukaan benda. Daya lekat ini akan melemah saat cacing akan bergerak maju. Seta ini pun dapat membantu cacing tanah saat melakukan perkawinan (Palungkun, 2010: 8) Cacing tanah tidak memiliki mata, tetapi di tubuhnya terdapat prostomium. Prostomium ini merupakan organ syaraf perasa dan berbentuk seperti bibir. Organ ini terbentuk dari tonjolan daging yang dapat menutupi lubang mulut. Prostomium terdapat pada bagian depan tubuhnya. Adanya prostomium ini membuat cacing tanah peka terhadap benda-benda di sekelilingnya. Itulah sebabnya cacing tanah dapat menemukan bahan organik yang menjadi makanannya walaupun tidak memiliki mata. Di bagian akhir tubuhnya terdapat anus. Anus digunakan untuk mengeluarkan sisa-sisa makanan dan tanah yang dimakannya. Kotoran yang keluar dari anus tersebut sangat berguna bagi tanaman karena sangat kaya dengan unsur hara. Kotoran tersebut dikenal dengan istilah kascing. Untuk dapat bernapas, cacing tanah hanya mengandalkan kulitnya karena tidak memiliki alat pernapasan. Oksigen yang digunakan untuk proses metabolisme tubuh diambil dari udara dengan bantuan pembuluh darah yang terdapat di bagian bawah kutikula. Pembuluh darah itu pun dapat berfungsi melepaskan karbondioksida (CO2) sebagai sisa hasil metabolisme. Namun, agar proses bernapas pada cacing tanah dapat berlangsung dengan baik, kelembaban lingkungannya harus cukup tinggi. Cacing tanah dewasa memiliki klitelum yang merupakan alat yang dapat membantu perkembangbiakan. Organ ini merupakan bagian dari tubuh yang menebal dan warnanya lebih terang dari warna tubuhnya. Pada cacing yang masih muda, organ ini belum tampak karena hanya terbentuk saat cacing mencapai dewasa kelamin, sekitar 2-3 bulan (Palungkun, 2010: 8-9) Berikut ini merupakan struktur tubuh cacing tanah : Gambar 1. Struktur Tubuh Cacing Tanah (Rukmana, 1999: 17) Ada berbagai jenis cacing tanah. Pada genus Lumbricus pun terdapat spesies lain yang salah satunya adalah Lumbricus terrestris. Melihat kedua cacing ini berasal dari genus yang sama, maka ciri-ciri antara keduanya tidak jauh berbeda. Pada Lumbricus rubellus, ciri khusus yang ditunjukkan adalah warna tubuh biasanya berwarna merah kecoklatan, bentuk tubuh pipih dengan bentuk ekor tumpul serta kekuningan, panjang tubuh berkisar antara 7,5 sampai 9 cm. Untuk Lumbricus terrestris, ciri khususnya adalah bentuk tubuhnya panjang dan silindris, belum memiliki rongga tubuh, dan 2/3 bagian posteriornya memipih secara dorsoventral. Berikut adalah kenampakan dari kedua cacing tanah dari genus Lumbricus ini: Gambar 2. Perbedaan Cacing Lumbricus rubellus (kiri) dan Lumbricus terrestris (kanan) (cacingpantura.blogspot.id dan hardianimalscience.wordpress.com) 2. Habitat Di habitat alaminya, cacing tanah hidup dan berkembangbiak di dalam tanah yang lembab dengan suhu sekitar 15-25oC. Cacing tanah merupakan hewan nokturnal yakni aktivitas hidupnya lebih banyak pada malam hari sedangkan pada siang harinya istirahat. Cacing tanah juga hewan fototaksis negatif artinya cacing tanah selalu menghindar setiap ada cahaya, dan segera menutup lubang sarang. Cacing tanah tidak dapat tinggal di tempat yang terlalu banyak air karena ketersediaan oksigen di dalamnya sangat sedikit (anaerob). Karena itulah, di saat curah hujan sedang tinggi, cacing tanah akan banyak berada di lapisan tanah paling atas (Sugiantoro, 2012: 15-16) 3. Sistem Pencernaan, Makanan, dan Sistem Ekskresi Gambar 3. Sistem Pencernaan Cacing Tanah (Rukmana, 1999: 19) Makanan masuk ke mulut dan faring melalui prostomium yang kemudian dihisap dan masuk ke esofagus. Di dalam esofagus makanan tercampur dengan cairan hasil sekresi kelenjar kapur yang terdapat pada dinding esofagus. Dari esofagus makanan terus masuk ke dalam tembolok untuk disimpan sementara waktu. Selanjutnya makanan masuk ke dalam lambung untuk dicerna menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan dapat diabsorpsi. Dinding usus mengandung kelenjar-kelenjar yang menghasilkan enzim-enzim untuk mencernakan partikel-partikel makanan menjadi karbohidrat, lemak, dan protein. Senyawa-senyawa tersebut masuk ke sistem sirkulasi darah untuk diangkut ke seluruh tubuh. Sisa-sisa makanan akan dikeluarkan melalui anus dan diletakkan di atas permukaan tanah di dekat lubang dari liang tempat cacing itu berada (Rukmana, 1999:18) Makanan cacing tanah adalah bahan-bahan organik yang telah mengalami proses pembusukan. Setiap cacing tanah bisa menghabiskan bahan-bahan organik seberat hingga dua kali berat tubuhnya dalam tempo 24 jam. Sistem ekskresi cacing tanah adalah nephridia yang berada pada segmen-segmen tubuhnya. Untuk sisa-sisa makanan yang tidak tercerna dikeluarkan melalui anus yang terdapat di belakang tubuhnya yang kemudian dikenal sebagai kascing (bekas cacing) (Sugiantoro, 2012: 18) 4. Perkembangbiakan Binatang ini bersifat hermafrodit atau biseksual. Artinya, pada tubuhnya terdapat dua alat kelamin, yaitu jantan dan betina. Namun, untuk pembuahan cacing tanah tidak dapat melakukannya sendiri, tetapi harus dilakukan oleh sepasang cacing tanah. Dari perkawinan tersebut, masing-masing cacing tanah dapat menghasilkan satu kokon yang di dalamnya terdapat beberapa butir telur. Alat kelamin jantan dan betina biasanya terletak pada bagian tubuh antara segmen ke-9 sampai segmen ke-15. Ciri cacing tanah dewasa atau yang siap melakukan perkawinan adalah terbentuknya “klitelum” (cincin, gelang). Klitelum ini biasanya muncul pada cacing tanah yang telah berumur lebih dari 2,5 bulan. Pada Lumbricus rubellus pembentukan klitelum terjadi setelah berumur 2,5-3 bulan. Gambar 4. Sepasang Cacing pada Posisi Kawin (Rukmana, 1999: 20) Proses perkawinan cacing tanah berlangsung unik dan spesifik. Kedua cacing tanah yang berpasangan saling melekatkan bagian depannya (anterior) dengan posisi saling berlawanan yang diperkuat oleh seta. Dalam posisi perkawinan (kopulasi, copulating), klitelum masingmasing cacing tanah akan mengeluarkan lendir yang berfungsi melindungi sel-sel sperma yang dikeluarkan oleh lubang alat kelamin jantan masing-masing. Perkawinan silang (cross fertilization) dilakukan dengan cara saling bertukar spermatozoid. Sel-sel sperma yang keluar dari masingmasing cacing tanah akan bergerak ke arah belakang (posterior), lalu masuk ke dalam lubang penerima sperma masing-masing. Setelah beberapa jam berkopulasi (kawin) dan masing-masing kantung ovarium yang berisi sel-sel telur menerima sel-sel sperma maka masing-masing kantung ovarium saling berpisah. Tahap selanjutnya terjadi pembentukan selubung kokon (mucous band). Proses pembentukan selubung kokon terjadi pada klitelum. Masing-masing sel telur yang telah menerima sel-sel sperma bergerak ke arah mulut dan bertemu dengan lubang saluran sel-sel telur, lalu masuk ke dalam selubung kokon. Dari selubung kokon, sel-sel telur yang telah dibuahi sel-sel sperma tadi akan bergerak ke arah mulut, sehingga terjadi pelepasan kokon (cocoon) dari masing-masing cacing tanah bersamasama dengan selubung kokonnya. Proses pembentukan dan pelepasan selubung kokon disajikan pada gambar berikut Gambar 5. Proses Pembentukan dan Pelepasan Selubung Kokon (Rukmana, 1999: 21) Keterangan: A = proses pembentukan selubung kokon B = selubung kokon yang berisi kokon bergerak ke depan menuju arah mulut C = selubung kokon bersama dengan kokonnya terlepas D = kokon dan kapsul Selubung kokon yang berisi beberapa telur (capsule) akan dilepaskan dalam liang tanah. Setiap butir telur (kokon) berisi bakal anak-anak cacing, bahkan dapat menetas lebih dari 10 ekor anak-anak cacing. Meski demikian, dari setiap kokon umumnya menetas 3-5 ekor cacing. Ukuran kokon tergantung pada jenis cacing tanah. Misalnya, Lumbricus rubellus menghasilkan kokon berukuran panjang 3,10 mm dan tebalnya 2,76 mm. Kokon berbentuk bulat sampai agak lonjong, mula-mula berwarna kuning kehijau-hijauan, kemudian berubah menjadi kemerah-merahan. Kokon menetas setelah 14-21 hari. Produktivitas kokon dari seekor cacing tanah dapat dihasilkan lebih dari dua kokon setiap 5-10 hari atau tergantung spesies cacing (Rukmana, 1999: 22) Cacing tanah yang produktif berkembang biak dan menghasilkan kokon relatif banyak adalah Lumbricus rubellus. Cacing tanah jenis ini amat cocok dibudidayakan secara intensif, dengan kemampuan menghasilkan kokon antara 79-106 buah/ekor/tahun atau lebih dari 2 kokon dalam 7-10 hari. Selain itu, cacing ini mampu memusnahkan bahan organik seberat badannya selama 24 jam. Cacing tanah dapat berumur antara 1-5 tahun. Siklus (daur) hidup dari cacing dewasa kawin dan menghasilkan cacing dewasa kembali berlangsung selama 2,5-3 bulan. Masa produktif aktif cacing tanah dewasa terjadi pada umur 4-11 bulan. Setiap siklus (daur) hidup cacing tanah melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Cacing tanah dewasa kawin (kopulasi) b. Sekitar 6-10 hari setelah kawin, kokon dilepaskan ke dalam liang tanah. c. Kokon akan menetas 2-3 minggu kemudian, sehingga akan dihasilkan anak-anak cacing. d. Sekitar 2,5-3 bulan kemudian, anak-anak cacing tumbuh menjadi cacing tanah dewasa (Rukmana, 1999: 22-23) Kalau keadaan tanah lembab, cadangan makanan mencukupi, dan faktor lingkungan lain sangat mendukung maka cacing tanah akan menghasilkan kokon sepanjang tahun. Namun, jumlah kokon yang dihasilkan tergantung pada perubahan suhu. Bila suhu rendah atau sekitar 3oC, kokon yang dihasilkan sangat sedikit. Sebaliknya kalau suhunya dinaikkan maka cacing tanah akan menghasilkan kokon lebih banyak. Kokon biasanya dihasilkan pada kondisi iklim yang sesuai. Di negara beriklim dingin dengan empat musim, umumnya cacing tanah menghasilkan kokon pada pertengahan Maret hingga awal Juli dan pada awal Oktober hingga November. Di negara subtropis seperti India, cacing tanah dapat menghasilkan kokon sepanjang tahun. 5. Siklus Hidup Siklus hidup cacing tanah mulai dari kokon, cacing muda (jouvenil), cacing produktif, dan cacing tua. Lama siklus hidup ini tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan, dan jenis cacing tanah. Dari berbagai penelitian diperoleh lama siklus hidup cacing tanah L. rubellus hingga mati mencapai 1-5 tahun. Kokon yang dihasilkan dari cacing tanah akan menetas setelah berumur 14-21 hari. Setelah menetas, cacing tanah muda ini akan hidup dan dapat mencapai dewasa kelamin dalam waktu 2,5-3 bulan. Saat dewasa kelamin cacing tanah akan menghasilkan kokon dari perkawinannya yang berlangsung 6-10 hari. Masa produktif aktif cacing tanah akan berlangsung selama 4-10 bulan dan akan menurun hingga cacing mengalami kematian. Namun, siklus hidup cacing tanah ini masih perlu diteliti karena banyak faktor yang mempengaruhinya seperti kondisi lingkungan hidupnya. Cacing yang sudah tidak produktif atau cacing tua biasanya bagian ekornya agak pipih dan warna kuning pada ekornya sudah mencapai punggung. Bila cacing masih produktif, warna kuning tersebut masih berada di ujung ekor. 6. Sarana Budidaya Sebenarnya dalam pelaksanaannya, kegiatan yang terpenting hanyalah menciptakan suasana atau kondisi lingkungan yang sesuai dengan habitatnya di alam. Hal ini dimaksudkan agar cacing tanah dapat beradaptasi dan berkembang dengan baik. Cacing tanah menghendaki suasana lingkungan yang teduh, lembab dan terhindar dari sinar matahari langsung. Untuk itulah lokasi pembudidayaannya harus mendukung. Adapun sarana pembudidayaan yang dapat menciptakan lingkungan yang teduh, lembab, dan terhindar dari sinar matahari langsung adalah bangunan pelindung, wadah pemeliharaan, serta sarang atau media hidupnya. 7. Syarat Lingkungan Pertumbuhan Setiap makhluk hidup mempunyai habitat/lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan yang optimum. Demikian pula cacing tanah juga membutuhkan lingkungan yang ideal untuk tempat tumbuh. Pertumbuhan cacing tanah akan optimum jika lingkungan tumbuh cacing budidaya mendekati habitat aslinya. Beberapa parameter lingkungan yang perlu diperhatikan untuk pertumbuhan cacing tanah agar sesuai dengan habitat aslinya yaitu : a. Kelembaban (RH) Cacing tanah membutuhkan kelembaban lingkungan yang biasanya disebut RH (relative humudity), baik kelembaban media tempat tumbuh maupun kelembaban udara. Kelembaban media tumbuh yang optimum bagi pertumbuhan cacing adalah 42-60 %. Kelembaban udara yang optimum bagi pertumbuhan cacing tanah yaitu sekitar 65 %. Kelembaban media yang terlalu tinggi menyebabkan cacing berwarna pucat, bahkan mati. Sebaliknya jika terlalu kering cacing akan masuk ke dalam media yang masih basah. Bila media sudah terlalu kering cacing tanah akan pergi dari media mencari tempat yang lebih basah. b. Suhu Walaupun cacing tanah hidup di dalam media, suhu udara di luar secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi media tumbuh dan cacing tanah yang berada di dalamnya. Suhu udara yang optimum bagi pertumbuhan cacing tanah adalah 1525oC. Apabila suhu udara berada di luar ambang tersebut pertumbuhan cacing akan terganggu. Suhu udara yang terlalu panas menyebabkan kelembaban udara akan rendah, sehingga kelembaban media tumbuh cacing cepat kering. Maka tidak heran pada saat musim kemarau yang panas, frekuensi penyiraman media lebih sering dilakukan. c. Tingkat keasaman media Parameter lain yang biasa dipakai untuk menetukan keadaan lingkungan tempat tumbuh, yaitu derajat keasaman. Seperti tanah untuk tempat tumbuh tanaman, air untuk tumbuh ikan, media tumbuh cacing tanah juga memerlukan derajat keasaman yang optimum. Derajat/tingkat keasaman media ditentukan dengan nilai pH. Cara mengetahui pH media yaitu menggunakan pH meter atau alat lain yang bisa digunakan untuk mengukur pH, misalnya kertas lakmus. Media tumbuh cacing dikatakan asam bila nilai pH <7 dan basa jika pH >7. Sedangkan pH : 7 dikatakan netral. Derajat keasaman/pH media tumbuh cacing yang optimum adalah 6-7,2. d. Ketersedian bahan organik Cacing tanah membutuhkan bahan organik sebagai makanan atau sumber nutrisi. Ketersediaan bahan organik sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah. Bahan organik yang mengandung karbohidrat, protein, mineral dan vitamin dibutuhkan oleh cacing tanah untuk mendukung pertumbuhan (Saptono, 2011: 49-52) 8. Media Pemeliharaan Media hidup atau media pemeliharaan yang juga sekaligus sarang cacing tanah sebenarnya adalah sekumpulan bahan-bahan organik yang sudah terfermentasi sempurna sehingga bisa memberikan tempat bagi cacing tanah untuk hidup dan bereproduksi secara optimal. Media hidup tersebut nantinya sekaligus menjadi sumber makanan bagi cacing tanah yang dibudidayakan. a. Jenis bahan organik untuk dijadikan media pemeliharaan Bahan organik yang bisa digunakan untuk dijadikan media hidup atau media pemeliharaan antara lain adalah kotoran hewan ternak (ayam, kelinci, kambing, dll), ampas tahu, ampas singkong, ampas sagu, kompos, jerami padi, sekam padi, kulit pisang, bubur kertas, bubur kayu, enceng gondok, rumput, serbuk gergaji, rumen (kotoran yang masih berada di perut hewan ternak ruminansia seperti sapi ketika dipotong), dan sebagainya. b. Syarat media pemeliharaan Untuk mengoptimalkan produktifitas cacing tanah yang dibudidayakan, maka media pemeliharaan untuk cacing tanah tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai atau kurang lebih sama dengan habitat maupun lingkungan tempat tumbuhnya di alam bebas. Untuk mendukung hal tersebut, media pemeliharaan setidaknya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Media pemeliharaan harus menggunakan bahan organik berserat yang sudah terfermentasi sempurna atau telah mengalami proses pelapukan minimal 60%, serta tidak mengeluarkan gas yang merupakan hasil dari proses pembusukan yang jelas tidak disukai cacing tanah. Waktu yang dibutuhkan untuk proses fermentasi memang bervariasi bergantung pada jenis bahannya, biasanya antara 7-35 hari. 2) Kaya bahan organik dan unsur hara Media hidup cacing tanah harus kaya bahan-bahan organik dan unsur hara lantaran bahan organik tersebutlah yang menjadi makanan pokok dari cacing tanah. 3) Gembur, lunak, tidak panas, dan tidak mudah menjadi padat Cacing tanah sangat membutuhkan media hidup sekaligus makanan yang lunak, gembur, dan tidak panas supaya lebih mudah dicerna atau terurai oleh alat cerna di tubuhnya. Media hidup yang gembur juga bisa menjaga porositas sarang, menjaga ketersediaan oksigen, dan menjaga sirkulasi udara di dalamnya. 4) Mempunyai daya serap air yang tinggi Media hidup yang digunakan sebaik mungkin mempunyai daya serap yang tinggi terhadap air sehingga tidak mudah menjadi kering dan juga kehilangan tingkat kelembaban. 5) Steril dari zat-zat yang mengganggu pencernaan cacing tanah Media pemeliharaan harus bebas atau steril dari zat atau bahan-bahan yang bisa mengganggu pencernaan cacing tanah. Antara lain adalah sabun dan bahan kimia. 6) Media harus mudah terdekomposisi atau terurai oleh cacing tanah. 7) Media tersebut harus mampu menahan kestabilan kelembaban c. Penebaran bibit Setelah media pemeliharaan dianggap sudah layak untuk dipergunakan, maka bibit cacing tanah sudah bisa segera ditebarkan. Langkah-langkah penebaran bibit cacing tanah adalah sebagai berikut. 1) Bibit cacing tanah yang telah dipersiapkan ditebarkan sedikit demi sedikit ke atas permukaan wadah pemeliharaan secara merata. 2) Amati dengan seksama apakah bibit yang ditebarkan tersebut mau masuk ke dalam media pemeliharaan ataukah hanya berkeliaran di bagian permukaan saja. d. Perawatan Dimaksud dengan perawatan di sini adalah perawatan media. Perawatan media bertujuan agar kondisi media selalu sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing tanah. Kegiatan perawatan media ini meliputi pengadukan, penyiraman, pengukuran suhu dan pH serta penggantian media. 9. Pemberian Pakan Cacing pada dasarnya adalah hewan pengurai. Di dalam perut cacing terdapat zat pengurai bahan organik sehingga pakan yang diberikan pada cacing mudah dicerna. Cacing sangat mudah ditemukan pada tanah lembab atau tumpukan kotoran hewan karena cacing akan memakan kotoran hewan atau bahan-bahan organik yang terdapat dalam tanah. Sebuah bahan organik tentu bisa menjadi pakan bergizi bagi cacing. Pemberian makan pada cacing cukup dilakukan satu kali dalam satu hari. Biasanya diberikan pada sore hari. Perbandingan pakan yang diberikan adalah untuk 1 kg bibit cacing diberikan pakan sekitar 1 kg, dengan perbandingan 1 : 1. Pemberian pakan merupakan perhatian utama yang harus diutamakan. Pemberian pakan pada cacing tidak berlebih dan tidak boleh kurang. Karena kalau pemberian pakan secara berlebihan akan berakibat pada pembusukan. Media juga menjadi lebih basah. Jika media terlalu basah akhirnya media tidak beroksigen “anaerob”. Kondisi sisa pakan yang berlebih dan tidak dimakan akan memicu timbulnya bakteri pengurai nitrogen (anaerobic microbia), hal ini berakibat terjadinya fermentasi pada media tumbuh cacing karena sisa pakan yang tidak termakan. Bau busuk yang muncul karena sisa pakan adalah ammonia yang dikeluarkan hasil penguraian nitrit. Bau ini akan memanggil lalat, padahal lalat merupakan hama yang harus dihindari oleh peternak cacing (Saptono, 2011: 77-78) 10. Pengendalian Hama Hama yang sering ditemukan menyerang cacing tanah terdiri atas hama pemangsa dan pesaing dalam konsumsi pakan. Hama-hama pemangsa cacing tanah yang juga sering menyerbu medium atau kandang pemeliharaan cacing tanah adalah sebagai berikut. a. Tikus (Rattus rattus sp.) Tikus umumnya menyerang pada malam hari. Sasarannya adalah merusak medium (sarang) dan memangsa ccaing tanah. Pengendalian tikus dapat dilakukan dengan cara: memasang umpan beracun, menutup lubang-lubang yang menuju ke kandang cacing, menjaga kebersihan lingkungan kandang, dan gerakan gropyokan serta menutup kandang dengan ram kawat. b. Kaki seribu (Chilopoda) Kaki seribu merupakan pemakan hewan kecil, termasuk cacing tanah. Mangsanya dilumpuhkan dulu dengan racun yang dikeluarkan kaki racunnya sebelum disantap. Pengendalian kaki seribu dilakukan dengan cara membersihkan dan mengambil binatang tersebut dari bahan-bahan medium (sarang) cacing tanah. c. Orong-orong (Gryllotalpa africana) Hama ini biasanya merusak atau membuat lubang-lubang pada medium cacing tanah, tetapi kadang-kadang memangsa cacing tanah. Pengendalian orong-orong dilakukan dengan cara menangkap dan membunuhnya. d. Hama-hama lainnya Hama-hama lain yang sering menyerang cacing tanah adalah katak darat, kelabang, kecoa, semut, itik, ayam, burung, ular, dan kadal. Cara terbaik dan tepat untuk mengendalikan hama-hama tersebut adalah dengan membuat kondisi lingkungan pemeliharaannya yang rapi dan melakukan kontrol secara kontinu agar unit perkandangan tidak menjadi sarang hama. Cacing tanah jarang terserang oleh penyakit, bahkan tidak pernah terserang oleh organisme penyakit. Meskipun demikian, kekurangan pakan dan kekeringan dapat menyebabkan cacing tanah mengalami kematian. Untuk mengantisipasi kekurangan pakan dan kekeringan, maka kita dapat memberi pakan yang cukup dan menjaga kondisi medium tetap lembab (Rukmana, 1999: 54-55) 11. Pemanenan Panen cacing tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang paling sederhana yaitu dengan membuat media menjadi bedeng- bedeng. Diantara bedeng tersebut diberi pakan, sedangkan bedengan media tidak diberi pakan. Dalam waktu tiga hari cacing sudah berkumpul di antara bedengan karena terkumpul di tempat yang ada pakan. Saat cacing tanah sudah berkumpul diangkat dan dipilah dari media. Cara panen yang kedua yaitu dengan membalik media tempat cacing tanah bersarang. Pada bagian media di sebelah bawah adalah tempat cacing tanah berkumpul. Apabila media tempat sarang dibalik, maka cacing lebih mudah dipilahkan dari medianya. Panen bisa juga dilakukan dengan bantuan alat penerangan seperti lampu petromaks, lampu neon atau lampu bolam. Cacing tanah sangat sensitif terhadap cahaya. Apabila terdapat cahaya terang cacing tanah akan berkumpul di bagian atas media. Namun kegiatan ini dilakukan pada malam hari. Sinar lampu akan lebih terlihat karena tidak ada sinar matahari (Saptono, 2011: 57) 12. Kandungan dan Manfaat Cacing Tanah Cacing tanah sangat potensial untuk dikembangkan. Ini disebabkan kandungan gizinya cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya yang mencapai 64-76%. Kandungan protein cacing tanah ini ternyata lebih tinggi dari sumber protein lainnya. Itulah sebabnya cacing tanah sangat potensial dijadikan bahan pakan ternak, terutama unggas. Selain protein, kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam tubuh cacing tanah antara lain lemak 7-10%, kalsium 0,55%, fosfor 1%, dan serat kasar 1,08%. Selain itu, cacing tanah mengandung auxin yang merupakan zat perangsang tumbuh untuk tanaman. Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah terdiri dari setidaknya sembilan macam asam amino esensial dan empat macam asam amino non-esensial. Asam amino esensial antara lain arginin, histidin, leusin, isoleusin, valin, metionin, fenilalanin, lisin, dan treonin. Sementara asam amino non-esensial ialah sistin, glisin, serin, dan tirosin. Ke-13 asam amino ini sangat dibutuhkan unggas dalam perkembangannya. Banyaknya asam amino yang terkandung dalam tubuh cacing tanah dapat memberikan indikasi bahwa tubuhnya pun mengandung berbagai jenis enzim yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. dari berbagai penelitian diperoleh cacing tanah mengandung enzim lumbrokinase, peroksidase, katalase, dan selulosa. Enzim-enzim ini sangat berkhasiat untuk pengobatan. Selain itu, cacing tanah pun mengandung asam arhidonat yang dikenal dapat menurunkan panas tubuh yang disebabkan infeksi. Menurut Simanjuntak dan Waluyo (1982), berbagai penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah mempunyai manfaat yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak, bahkan di beberapa negara telah dijadikan makanan manusia. Dalam dunia pengobatan tradisional, cacing tanah telah digunakan sebagai bahan ramuan obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Bahkan di negara-negara maju juga digunakan industri kosmetik dan minyak cacing hasil ekstraksi dapat digunakan sebagai pelembab kulit. Menurut Palungkun dan Budiarti (1990) dalam Haryono (2003: 69), tepung cacing tanah mempunyai kandungan protein cukup tinggi (64-76%) lebih tinggi dari protein pada daging dan tepung ikan, selain itu cacing mengandung asam amino paling lengkap, lemaknya rendah, mudah dicerna dan tidak mengandung racun. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa cacing tanah merupakan makrofauna tanah yang berperan penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan ekosistem yang sehat, baik bagi biota tanah lainnya maupun bagi hewan dan manusia. Aristoteles mengemukakan pentingnya cacing tanah dalam mereklamasi tanah dan menyebutnya sebagai “usus bumi” (intesfines of the earth). Demikian pula Charles Darwin (1881) yang telah meneliti peran cacing tanah selama 40 tahun dalam: (1) menghancurkan bahan-bahan dari sisa tetanaman dan binatang mati yang terdapat di dalam tanah maupun serasah hutan, dan (2) mempertahankan struktur, aerasi, dan kesuburan tanah, yang dituliskannya dalam buku “The Formation of Vegetable Mould throught the Action Worms”. Peneliti yang selaras dengan Darwin ini antara lain Hensen (1877), Muller (1887), dan Urguhart (1887) yang berkeyakinan bahwa cacing tanah merupakan bagian penting dalam proses pembentukan tanah (soil formation), bahkan dalam beberapa kasus perannya esensial dalam menentukan status kesuburan tanah. Secara umum peran cacing tanah telah terbukti baik sebagai bioamelioran (jasad hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral, struktur, aerasi, formasi agregat drainase, dan lain-lain sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah (Kemas, 2010: 119-120) B. Media Pemeliharaan 1. Serbuk Gergaji Batang Pohon Kelapa Kelapa termasuk golongan kayu keras, yang secara kimiawi memiliki komposisi kimia hampir serupa dengan kayu yaitu tersusun atas lignin, selulosa dan hemiselulosa. Dengan komposisi yang berbeda-beda, selulosa 33,61%, hemiselulosa 19,27% dan lignin 36,51% (Tirono dan Ali, 2011) dalam Usman (2011: 5). Pada ketinggian 7 m hingga 15 m dalam batang, kandungan selulosa lebih tinggi dibandingkan bagian pangkal dan ujung, serta pada 2/3 bagian ke dalam juga mengandung selulosa yang lebih tinggi dari bagian tepi. Hal ini disebabkan batang kelapa bagian pangkal dan tepi telah mengalami proses lignifikasi sehingga tidak seluruh selulosa dapat terisolasi. Menurut Suhardiman (1994), klasifikasi kelapa dalah sebagai berikut : Divisio : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Palmales Familia : Palmae Genus : Cocos Spesies : Cocos nucifera, L. Kelapa adalah salah satu jenis tanaman yang termasuk ke dalam suku pinang-pinangan (Arecaceae). Semua bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan, mulai dari bunga, batang, pelepah, daun, buah, bahkan akarnya pun dapat dimanfaatkan (Mahmud dan Ferry, 2005: 5). Serbuk kayu gergaji adalah serbuk kayu yang diperoleh dari limbah ataupun sisa yang terbuang dari jenis kayu dan dapat diperoleh di tempat pengolahan kayu ataupun industri kayu. Serbuk ini biasanya terbuang percuma dan dibakar begitu saja sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Padahal serbuk kayu gergaji ini merupakan biomassa yang belum termanfaatkan secara optimal dan memiliki nilai kalor yang tinggi. Serbuk gergaji sangat baik untuk pembuatan media cacing namun harus dihindari kayu yang mengandung minyak seperti kayu manis, kayu pinus, kayu suren, atau kayu jeruk karena kayu yang mengandung minyak tidak disukai cacing bahkan bisa menyebabkan kematian (Rukmana, 1999: 66) Menurut Sugiantoro (2012: 59) serbuk gergaji kayu bisa digunakan sebagai media hidup cacing tanah setelah difermentasikan minimal 5-7 hari atau telah mengalami pelapukan minimal 60% sehingga tidak mengeluarkan gas yang merupakan hasil dari proses pembusukan. Dalam penelitian ini serbuk gergaji kayu yang digunakan adalah serbuk gergaji batang pohon kelapa yang diperoleh dari proses pemotongan batang kelapa. Secara fisis batang kelapa memiliki kerapatan yang sangat beragam baik dari pangkal ke ujung maupun dari tepi ke dalam. Pada bagian pangkal dan tepi memiliki kerapatan yang tinggi dan didominasi oleh ikatan pembuluh dewasa sedangkan bagian tengah dan ujung lebih banyak mengandung jaringan dasar berupa parenkim serta ikatan pembuluh muda dengan kerapatan yang lebih rendah. Kerapatan yang beragam dalam satu pohon kemungkinan diikuti oleh variasi kandungan kimia. Berikut ini adalah komponen kimia batang kelapa: Tabel 1. Komponen Kimia yang Terdapat dalam Batang Kelapa No. Komponen Kimia Komposisi (%) 1. Silika 0,07 2. Lignin 25,1 3. Hemiselulosa 66,7 4. Pentosan 22,9 5. Pati 4,3-4,6 (>6 bulan) 6. pH 6,2 Sumber : Departement of Employment, Economic Development and Innovation (DEEDI) dalam Usman (2011) Holoselulosa batang kelapa sebesar 66.7% dan lebih tinggi dari bagian lain seperti kulit, serabut dan pelepah daun. Kisaran kandungan selulosa pada batang kelapa adalah 28.10 - 36.55% dan nilai rataannya sebesar 31.95%. Pada ketinggian 7 m hingga 15 m dalam batang, kandungan selulosa lebih tinggi dibandingkan bagian pangkal dan ujung, serta pada 2/3 bagian ke dalam juga mengandung selulosa yang lebih tinggi dari bagian tepi. Hal ini disebabkan batang kelapa bagian pangkal dan tepi telah mengalami proses lignifikasi sehingga tidak seluruh selulosa dapat terisolasi. 2. Rumput Manila Menurut Rismunandar (1986) dalam Nurisyah (1994: 17), rumput manila (Zoysia matrella) merupakan salah satu jenis rumput yang banyak digunakan dalam taman. Rumput ini berpenampilan lembut dan tumbuh dengan rata, padat, dan kuat. Kelebihan lain yang dipunyai jenis rumput ini adalah toleran terhadap kekeringan, serta suhu, dan kadar garam yang relatif tinggi (Beard, 1973; Turgeon, 1980) Menurut Beard (1973) dalam Yusuf (2014: 3), rumput Zoysia matrella merupakan rumput yang banyak terdapat di Indonesia yang dirancang untuk lapangan sepak bola. Rumput Zoysia matrella mempunyai pertumbuhan optimum pada suhu 25oC-35oC dan beradaptasi di daerah tropis dan subtropis. Berikut ini adalah kandungan nutrisi pada rumput manila (Zoysia matrella) yang dikemukakan oleh Garsetiasih (2005: 37) Tabel 2. Kandungan Nutrisi Rumput manila (Zoysia matrella) Jenis nutrisi Komposisi (%) Kadar air 64,20 Protein 14,38 Serat kasar 32,11 Lemak 0,40 Bahan ekstrak tanpa nitrogen 34,48 Fosfor 0,61 C. Pakan Cacing Tanah Menurut Palungkun (2010), cacing tanah membutuhkan pakan untuk pertumbuhan maupun reproduksi. Pemilihan pakan yang baik akan meningkatkan hasil produksi cacing tanah. Pakan organik yang diberikan bisa berupa kotoran hewan ternak, limbah ampas tahu, serbuk gergaji yang telah direndam air untuk menghilangkan getah dan bau, ampas aren, dan sebagainya. Cacing tanah tidak memiliki gigi, agar makanan mudah dicerna oleh cacing tanah pakan yang diberikan harus mengandung kadar air yang tinggi, atau dibuat basah dengan dijadikan dalam bentuk bubur halus. Sebelum diberikan, campuran bahan organik tersebut harus dipotong kecil-kecil, dilumatkan, agar halus merata sehingga mudah dicerna. Pakan organik tersebut diberikan dengan cara ditaruh pada permukaan media, kemudian diaduk secara merata sambil sedikit ditekan tekan kearah dalam agar sedikit bisa masuk ke bagian media yang lebih dalam. Setelah pemberian pakan, media pemeliharaan ditutup dengan lembaran plastik, karung, atau bahan lain yang tidak tembus cahaya. Dalam tempo 24 jam cacing tanah harus mendapatkan pakan dengan porsi sebanyak berat total cacing tanah yang ditebarkan ke dalam media agar cacing tanah selalu bisa mendapatkan pasokan makanan yangsegar setiap saat. Pemberian pakan dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi atau siang hari dan sore menjelang malam agar cacing tanah benar-benar mendapatkan pasokan pakan yang segar. Aktifitas cacing tanah banyak dilakukan pada malam hari dan pada keadaan gelap, maka porsi pakan untuk sore atau malam hari harus lebih banyak dibandingkan porsi pakan pada pagi atau siang hari. Pada pemberian pakan dalam wadah pemeliharaan apabila masih terdapat pemberian pakan sebelumnya atau pakan pemberian sebelumnya tersebut belum habis tercerna oleh cacing tanah, maka pemberian pakan yang baru harus dikurangi sehingga volume media pemeliharaan tetap sama menyesuaikan wadahnya (Sugiantoro, 2012: 87-88). Menurut Haryono (2003: 67), pabrik tahu menghasilkan bahan sisa biasa dikenal dengan nama ampas tahu yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan cacing tanah, karena mempunyai kualitas yang tinggi dengan kandungan protein sebesar 30,3% (hasil uji lab.Balitnak, 1999). Selain itu keuntungan dari ampas tahu yang bentuknya lumat/lembek dan sudah setengah masak sehingga mudah dicerna. Berikut ini merupakan kandungan nutrisi yang terdapat pada ampas tahu yang dikemukakan oleh Sutardi (1997) dalam Haryono (2003: 69) Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ampas Tahu Komposisi Nutrisi Kadar (%) Bahan kering Protein Serat kasar Lemak Abu Beta-N 14,6 30,2 22,2 9,9 5,2 32,5 D. Kerangka Pikir Cacing tanah jenis Lumbricus rubellus banyak terdapat di Indonesia Pemanfaatan limbah sebagai media pemeliharaan Serbuk gergaji batang pohon kelapa Kandungan : - lignin 29,4% - selulosa 26,6% - hemiselulosa 27,7% - kadar air 8,0% Rumput manila Kandungan : - protein 14,38% - serat kasar 32,11% - lemak 0,4% - fosfor 0,61% - kadar air 64,20% Pengembangbiakan cacing Lumbricus rubellus Pertumbuhan dan produksi kokon cacing Lumbricus rubellus E. Hipotesis 1. Media serbuk gergaji batang pohon kelapa (Cocos nucifera, L.) dan rumput manila (Zoysia matrella) memberi pengaruh meningkatkan pertumbuhan dan produksi kokon cacing Lumbricus rubellus . 2. Media serbuk gergaji batang pohon kelapa (Cocos nucifera, L.) dan rumput manila (Zoysia matrella) memberi pengaruh meningkatkan produksi kokon cacing Lumbricus rubellus.