Hubungan Teori dan Metode Riset Komunikasi

advertisement
Modul Mata Kuliah
Riset Media
Modul VII
(Minggu 7)
Pokok Bahasan
TINJAUAN PUSTAKA
Sub Pokok Bahasan:
Hubungan Teori dan Metode Riset Komunikasi
Fakultas
Program Studi
FIKOM
BROADCASTING
Tatap Muka
Kode MK
Disusun Oleh
07
MK41031
Devitri Indriasari, M.Si.
DESKRIPSI
Dalam upaya melihat beberapa aspek penting dalam kaitan antara teori dengan metode riset,
pembahasan lalu ditingkatkan pada persoalan menyangkut komponen dasar dan perspektif
teori komunikasi. Pada bagian ini akan coba ditelaah secara detil mengenai aspek-aspek dalam
teori yang dinilai berimplikasi kuat terhadap metode riset komunikasi.
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa dapat :
1. Mengetahui hubungan teori dengan metode riset
2. Pengggunaan teori sesuai dengan perspektifnya.
‘14
1
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
MODUL 7
POKOK BAHASAN:
MEMBUAT TINJAUAN PUSTAKA
Hubungan Teori dan Metode Riset Komunikasi
Mencoba melihat bagaimana hubungan antara teori dan metode riset komunikasi, maka dari
perspektif filsafat ilmu komunikasi, itu berarti menjadi salah satu wujud dalam upaya memahami
ilmu komunikasi dari segi elemen epistemologis dalam filsafat ilmu.
Secara esensial elemen epistemologis berarti suatu upaya ilmu komunikasi dalam
memahami cara-cara ilmiahnya dalam rangka memperoleh kebenaran ilmiah melalui riset
terhadap obyek formanya, yakni fenomena human communication. Jadi, selain teori masih ada
cara-cara lain yang juga tak kalah pentingnya, misalnya teknik pengumpulan data, teknik
pengolahan data dan teknik analisis data. Pemahaman akan cara-cara ilmiah ini sendiri menjadi
penting dalam riset karena berkaitan dengan upaya menghindarkan perolehan data yang bias
melalui riset di lapangan beserta implikasinya, yang nota bene kurang mendukung bagi upaya
pengembangan ilmu.
Sejalan dengan makna epistemologis yang berarti cara, yaitu bagaimana cara ilmu
komunikasi dalam berupaya menemukan kebenaran ilmiah pada obyek formanya melalui
aktifitas riset, maka tulisan ini mencoba focus pada upaya meninjau beberapa aspek penting
dalam hubungan antara teori dan metode riset komunikasi. Dengan pengetahuan mengenai
aspek dimaksud diharapkan bisa menjadi salah satu cara yang dapat mengurangi
ketidakidealan dalam proses pelaksanaan riset.
Dalam upaya melihat beberapa aspek penting dalam kaitan antara teori dengan metode
riset, pembahasan lalu ditingkatkan pada persoalan menyangkut komponen dasar dan
perspektif teori komunikasi. Pada bagian ini akan coba ditelaah secara detil mengenai aspekaspek dalam teori yang dinilai berimplikasi kuat terhadap metode riset komunikasi.
Fenomena Komunikasi, Obyek Forma Ilmu Komunikasi
‘14
2
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sebagai sebuah fenomena kemanusiaan, maka komunikasi antar manusia yang oleh
Littlejohn disebut dengan human communication itu, sebagaimana dikatakannya terdiri dari
beberapa bentuk atau tingkatan. Bentuk atau tingkatan yang sebelumnya diistilahkan Littlejohn
dengan setting/konteks komunikasi yang terdiri dari konteks interpersonal, group, organization
dan mass (Littlejohn, 1983), itu terdiri dari lima tingkatan (level) : 1-interpersonal, 2-group, 3public or rhetoric, 4-organizational dan 5- mass. (Littlejohn, 2005 : 11).
Fenomena komunikasi yang terjadi dalam lima level itu, masing-masing memiliki
problemanya sendiri yang begitu kompleks. Guna memahaminya, diperlukan pemikiran yang
relatif serius. Para akademisi yang pertama kali mencoba memahaminya adalah Harold D.
Lasswell pada 1948. Menurutnya, cara yang tepat untuk memahami fenomena komunikasi
adalah dengan cara menjawab pertanyaan pertanyaan yang tercakup dalam formula yang ia
tawarkan. Pertanyaan dimaksud yaitu : Siapa, mengatakan apa, dengan saluran yang mana,
kepada siapa dan dengan pengaruh apa ?Formula itu memang relatif memadai, namun
akademisi lain tidak puas dan mencoba meningkatkannya ke dalam bentuk yang lebih baik,
yakni dalam wujud model, model komunikasi. Model berarti gambaran yang sistematis dan
abstrak. Fungsinya untuk menerangkan potensi-potensi tertentu yang berkaitan dengan
beragam aspek dari suatu proses (Wiryanto, 2004 : 9).
Proses itu misalnya menyangkut fenomena komunikasi, maka melalui sebuah model ,
fenomena komunikasi yang muncul dalam setiap levelnya itu, unsur-unsur yang terlibat di
didalamnya dapat dilihat dengan mudah (Bandingkan, Wiryanto, 2004 : 10). Model komunikasi
dibuat untuk membantu kita memahami komunikasi dan men-spesifikasi bentuk-bentuk
komunikasi dalam hubungan antarmanusia.
Sebagai ilmu yang obyek formanya pada human communication, maka dalam ilmu
komunikasi diketahui terdapat banyak model-model komunikasi. Ragam model komunikasi
yang ada itu, oleh Mc Quail dan Windahl digolongkan ke dalam lima kelompok model, terdiri
dari : Model dasar; model pengaruh personal, penyebaran dan dampak komunikasi massa
terhadap individu; model efek komunikasi massa; model khalayak dan model komunikasi
tentang sistem, produksi, seleksi dan alir media massa.( Wiryanto, 2004 : 11).
Sebuah model komunikasi memang merupakan representasi simbolik dari suatu proses
komunikasi. Meskipun demikian, sebuah model komunikasi, tidak mengandung adanya
penjelasan mengenai hubungan kausalitas antara komponen yang terdapat dalam model.
‘14
3
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Penjelasan mana, merupakan salah satu ciri yang harus dipenuhi oleh suatu teori. Jadi,
meskipun oleh Severin dan Tankard (1992 : 36, dalam Wiryanto, 2004 : 10) dikatakan model
komunikasi itu dapat membantu dalam perumusan suatu teori, namun model tetap saja bukan
merupakan suatu teori. Akan tetapi, harus diakui bahwa melalui model komunikasi telah banyak
para teoritisi terbantu dalam upaya memunculkan teori komunikasi. Diantaranya adalah salah
satu teori efek media yang menurut Tankard (1986 : 246) tergolong moderat, yakni mass media
uses and gratification theory, dikembangkan Kazt dan Gurevic dari mass media uses and
gratification model yang dipublikasikannya pada 1974.
Komponen Dasar dan Perspektif Teori Komunikasi
Dalam memahami fenomena komunikasi, ilmu komunikasi memerlukan lebih dari sekedar
model, dan tidak cukup pula hanya pada teori pada tataran taxonomies. Taxonomies yaitu teori
yang baru memiliki komponen konsep saja, salah satu elemen dasar dari teori. Belum ada
unsur explanations tentang bagaimana konsep-konsep yang dikandungnya itu saling
berhubungan. Apalagi menyangkut elemen-elemen lainnya, seperti elemen asumsi filosofis dan
prinsip atau panduan untuk bertindak. (lihat, Littlejohn, 2005 :18). Dalam ilmu komunikasi
sendiri, teori yang termasuk jenis ini (taxomomie), antara lain misalnya seperti teori yang
dikemukakan Deborah Tannen dengan teori Genderlect Styles-nya (baca, dalam Griffin, 2003,
463-467). Atau Ian Ward tentang kepemilikan media dan kontrol media yang dibangun
berdasarkan kasus pers di Australia.
Tentu, dalam upaya ilmu komunikasi mengembangkan dirinya sendiri (dalam artian pure
science), teori dalam kadar taxonomie tadi belum cukup. Untuk keperluan tersebut diperlukan
teori yang di dalamnya terpenuhi empat komponen dasar teori. Komponen mana, sebagaimana
sudah disinggung sebelumnya, menurut Littlejohn terdiri dari : 1) asumsi filosofis, 2) konsep, 3)
penjelasan dan 4) prinsip atau panduan untuk bertindak.
Dalam ilmu sosial, teori sendiri didefinisikan sebagai “as a system of interconnected
abstractions or ideas that condenses and organizes knowledge about the social world.” (lihat,
Neuman, 2000 : 40). Dalam kaitan upaya Littlejohn to represent a wide range of thought – or
theories about the communication process, maka Littlejohn mendefinisikan teori itu sebagai any
organized set of concepts, explanations, and principles of some aspect of human experience.
Mengutip pendapat James Anderson, Littlejohn mengatakan bahwa teori itu mengandung
sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai
‘14
4
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dengan petunjuk-petunjuk dimaksud (Littlejohn, 2005 : 18). Ilmu komunikasi yang jelas
mempunyai dunianya sendiri, yakni fenomena komunikasi antar sesama manusia, dengan
demikian menjadi relatif mudah dipelajari para akademisi sehubungan dengan telah begitu
banyaknya teori komunikasi yang tersedia, dari teori yang menjelaskan komunikasi dalam
konteks/level interpersonal hingga konteks massa.
Selanjutnya, berdasarkan kemampuannya dalam memerankan fungsi sebagai petunjuk,
teori tadi juga diketahui memiliki tiga tingkatan. Tingkatan tersebut terdiri dari : Micro level
theory- Macro level tyheory – dan Meso Level Theory. Micro level theory deals with small slices
of time, space, or numbers of pople. The concepts are usually not very abstract. Macro level
theory concerns the operation of larger aggregates such as social institutions, entire cultural
system, and whole societies. It uses more concepts that are abstract. Meso Level theory is
relatively rare. It attempts to link macro and micro levels or to operate at an intermediate level.
Teori-teori sosial yang sering mencapai taraf meso ini adalah teori-teori mengenai organisasi,
gerakan-gerakan sosial , atau mengenai komunitas-komunitas. (lihat, Neuman, 2000 : 40, 4950).
Semua ilmu, termasuk tentunya ilmu komunikasi sebagai salah satu pecahan dari ilmu
sosial, juga menginginkan terwujudnya teori-teori komunikasi yang mencapai taraf meso
sebagaimana banyak dicapai oleh teori-teori organisasi, gerakan sosial atau komunitas tadi.
Dalam upaya ini, sama halnya dengan ilmuwan dalam disiplin lain, ilmuwan dalam ilmu
komunikasipun berangkat dari model dasar dalam proses penyelidikan.(Lihat, Littlejohn, 2005 :
6).
Sistematika proses penyelidikan itu sendiri, langkah-langkahnya terdiri dari tiga tahap.
Langkah pertama yaitu mengajukan pertanyaan. Pertanyaan ini bisa berwujud dalam beragam
jenis. Ada pertanyaan yang diajukan untuk menjawab batasan tentang sebuah konsep;
pertanyaan menyangkut kaitan sebuah konsep dengan lainnya, hingga pertanyaan yang
berkaitan dengan soal value probe aesthetic,pragmatic and ethical qualities. Misalnya, Is it
beautiful ? Is it effective ? Is it good ? Langkah kedua, yaitu mengobservasi. Pada tahap ini,
ilmuwan berusaha mencari jawaban dengan cara mengamati fenomena dibawah proses
penyelidikan. Langkah ketiga, yaitu membangun jawaban. Pada fase ini, ilmuwan mencoba
mendefinisikan , menggambarkan dan menjelaskan – membuat penilaian dan penafsiran
terhadap apa yang telah diamatinya. (Lihat, Littlejohn, 2005 : 6).
‘14
5
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Selanjutnya, dalam upaya ilmuwan komunikasi meningkatkan teorinya menjadi lebih
bermutu, maka ada dua jenis teori yang memungkin bagi terwujudnya pencapaian upaya itu.
Kedua teori dimaksud adalah nomothetic theory dan practical theory. Nomothetic theory is
defined as that which seeks universal or general law. Pendekatan yang biasa dilakukan dalam
ilmu alam, namun sudah banyak dijadikan model dalam penelitian ilmu sosial. Teori yang
demikian ini bertujuan untuk menggambarkan secara akurat tentang bagaimana kehidupan
sosial bekerja. Langkah-langkah yang dilakukan ilmuwan tradisional dalam aplikasi pendekatan
nomothetic theory, terdiri dari : 1) mengembangkan pertanyaan; 2) membentuk hipotesis; 3)
menguji hipotesis dan 4) memformulasi teori. Pendekatan yang demikian dikenal juga sebagai
hypothetico – deductive method . (Lihat, Littlejohn, 2005 : 23).
Komponen Asumsi Filosofis
Kembali pada soal elemen dasar yang terkandung dalam teori, maka seperti sudah
disinggung sebelumnya, elemen itu terdiri dari asumsi filosofis, konsep, eksplanasi, dan prinsip.
Asumsi filosofis sering dibagi ke dalam tiga jenis : epistemologi, or questions of knowledge;
ontologi , or questions of existence, dan aksiologi, or questions of value.“Looking for these
assumptions provides a foundation for understanding how a given theory positions itself in
relation to other theories on these basic issues that help construct a theory”, kata Littlejohn.
(2005 : 18).
Dari segi filsafat ilmu, komponen epistemologi sendiri merupakan komponen yang
difokuskan pada telaah tentang bagaimana cara ilmu pengetahuan memperoleh kebenarannya,
atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar (Suriasumantri, 1984 : 33-34),
atau how people know what they claim to know (Littlejohn, 2005 : 18).
Menyangkut komponen ontologis, maka ini berkaitan dengan spesifikasi obyek yang
dikaji oleh suatu ilmu. Misalnya seperti ilmu komunikasi, yaitu human communication, di mana
seperti telah disinggung sebelumnya, menurut Littlejohn fenomenanya terjadi pada lima level
yang terdiri dari level interpersonal, kelompok, publik, organisasi dan massa. Pemahaman
terhadap komponen ini perlu dikuasai agar para akademisi komunikasi tetap terjaga dalam main
stream ilmu komunikasi dalam melaksanakan aktifitas keilmuannya.
Terakhir yaitu komponen aksiologis, yakni komponen filosofis yang difokuskan pada
telaah nilai-nilai dalam hubungannya dengan proses menemukan kebenaran ilmu. Ada tiga isu
‘14
6
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
aksiologikal yang dinilai penting diketahui oleh akademisi komunikasi, yakni terdiri dari : Can
research be value free ; What are the ends for which scholarship is conducted; and To what
extent should scholarship aim to effect social change ? (Littlejohn, 2005 : 20).
Dalam konteks elemen aksiologis tadi, maka, apakah teori dan riset itu bisa bebas nilai ?
Theories come in many shapes and sizes, kata Neuman (2000, 40). Pernyataan ini jelas telah
menunjukkan adanya implikasi bagi jawaban atas pertanyaan barusan, yakni antara ilmuwan
yang menjawab ya dan tidak. Kontroversi ini sendiri, kemunculannya karena the scientific
community recognizes theory as essential for clarifying and building scientific knowledge, while
it condemns ideology as illegitimate obfuscation that is antithetical to science. Illegitimasi
dimaksud tentu dalam artian menurut perspektif positivis/klasik, perspektif yang nota bene
mengakui ilmu itu harus bebas nilai (objektive).
Meskipun terdapat kontroversi di kalangan akademisi sosial dalam kaitan persoalan
nilai/value tadi, namun menurut Neuman (2000, 41), di antara kelompok ideologi dan scientist
tetap terdapat persamaan-persamaan. Secara rinci, persamaan dan perbedaan itu dapat dilihat
dalam tabel berikut ini :
Tabel Persamaan dan Perbedaan Di Antara Social Theory-Ideology
Social Teory Ideology
Persamaan : - Contains a set of assumptions - Contains a set of sumptions
or a starting point or a starting point
- Explains what the social world - Explains what the social
world
is like, now/why it changes is like, now/why it changes
- Offers a system of - Offers a system of
concepts/ideas concepts/ideas
- Specifies relationships among - Specifies relationships among concepts, tells
‘14
7
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
consepts, tells what causes what what causes what
- Provides an interconnected -Provides an interconnected
system of ideas system of ideas.
Perbedaan : - Conditional, negotiated -Offers absolute certainty
understanding
- Incomplete, recognizes - Has all the answers
uncertainty
- Growing, open, unfolding, - Fixed, closed, finished
expanding
- Wekkcomes tests, positive - Avoid tests, discrepant
& negative findings evidence
- Changes based on evidence - Blind to opposing evidence
- Detached, disconnected, - Locked into specific moral
strong moral beliefs standard
- Neutral considers all sides - Highly partial
- Strongly seekslogical - Has contradictions,
consistency inconsistencies
- Transcends/crosses social - Rooted in specific position
positions
Sumber : Neuman, 2000, 41.
‘14
8
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Para Ilmuwan klasik yang meyakini paham filsafat determinisme, yakin bahwa teori dan
riset itu bisa dan harus bebas nilai, dan karenanya para ilmuwan dalam kelompok ini harus
menjadi ilmuwan yang obyektif serta netral, tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai (agama, norma dan
lain sejenisnya) dalam proses kerja ilmiahnya. Jika tidak maka riset yang dilakukannya akan
menghasilkan bad science. Menurut Peursen (1985 : 4), pendirian bahwa ilmu itu obyektif serta
netral, sebetulnya merupakan alat untuk mempertahankan keadaan dan cara berfikir, pendirian
yang dipengaruhi oleh ideologi konservatif. Ilmuwan dalam kelompok ini diistilahkannya dengan
positivistis.
Meskipun begitu, ada yang berbeda paham dalam menilai posisi nilai tersebut dalam
proses bekerjanya ilmu. Mereka ini adalah ilmuwan dari kelompok interpretif/humanis (istilah
Griffin) atau ritual (istilah Mc Quail). Ilmuwan demikian meyakini bahwa manusia itu memiliki
kemauan bebas dan karenanya ilmuwan tidak bebas nilai dalam melakukan proses kerja ilmu.
Kelompok ilmuwan yang diistilahkan Peursen (1985 : 4) dengan ilmuwan ideologis ini (istilah
yang juga digunakan oleh Neuman (2000 :5), dianut oleh para Marxis dan Neo Marxis, tapi di
antara mereka ada juga yang bukan Marxis dan Neo-Marxis.
Dalam kaitan kelompok ideologis atau interpretif dimaksud, Griffin (2003 : 9-10) sendiri
berkomentar, bahwa para sarjana tersebut menyebutkan diri mereka dengan variasi nama yang
membingungkan. Ada yang menyebut henneneuticists, poststructuralis, deconstructivis,
phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi
sosial. Teoritisi James Anderson dari Universitas Utah, seorang yang berberspektif
postmodernisme, sebagaimana dikutip Griffin, mengemukakan penilaiannya dengan suatu
pengandaian berlalu lintas terhadap keragaman nama tadi : “Dengan jumlah yang sangat besar
dari komunitas interpretif ini, maka nama-nama suka tertukar, patroli perbatasan menjadi sia-sia
dan pelanggaran terus berkelanjutan. Para anggota, bagaimanapun, sering melihat perbedaanperbedaan yang nyata sifatnya.” Keluhan terhadap kalangan ideologis ini, juga muncul dalam
bentuk lain, misalnya dari Robert Ivie, editor senior pada Quaterly Journal of Speech, dan
karenanya ia menyarankan bahwa kritik-kritk retorikal hendaknya dilakukan dengan
menggunakan teori dengan cara ini : “Kita tidak bisa melakukan kritik retorikal realitas sosial
tanpa memanfaatkan suatu panduan teori retorikal yang menjelaskan secara umum kepada kita
tentang apa yang harus dicari di dalam kenyataan sosial, apa yang harus diperbuat terhadap
kenyataan sosial itu, dan whether to consider it significant.“ (dalam Griffin, 2003 : 14).
‘14
9
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dengan telaah aksiologis tadi, kiranya memberikan pengertian bahwa melalui wacana
nilai telah memunculkan perspektif yang berbeda dalam cara memperoleh ilmu pengetahuan,
dengan
mana
juga
mengelompokkan
akademisi
ke
dalam
dua
bagian,
kelompok
scientific/obyektive/ positivistis dan interpretif/humanis/ideologis. Menurut Griffin (2003 : 10),
pemisahan pandangan sarjana interpretif dan ilmuwan obyektive ini mencerminkan asumsi
yang kontras tentang bagaimana cara pemerolehan pengetahuan, inti dari sifat manusia,
pertanyaan-pertanyaan mengenai nilai, tujuan utama teori, dan methode penelitian.
Perbedaan perspektif yang kontras dari dua kelompok ilmuan tadi, di sisi lain sekaligus
juga dapat menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi kualitas teori komunikasi. Dalam
scientific/objektive theory, tolok ukur yang membuatnya menjadi sebuah teori yang bagus terdiri
dari lima standard; 1. penjelasan data; 2. Perkiraan terhadap peristiwa-peristiwa yang akan
datang; 3. kesederhanaan relatif (relative simplicity); 4.Hipotesis yang dapat diuji, a good
objektive theory is testable. dan 5. Kegunaan praktis teori. A good objektive theory is useful.
Sementara dalam interpretive/ humanistic theory, ukuran kebagusannya adalah : 1. New
understanding of people; 2. Clarification of values; 3. Aesthetic appeal; 4. Community of
Agreement dan kle 5. Reform of Society (Lihat, Griffin, 2003 : 39-47).
Bagi akademisi ilmu komunikasi, pemahaman terhadap kedua pendekatan beserta
standard kebaikannya itu, tentu menjadi penting karena bisa membantunya, antara lain dalam
memutuskan pendekatan yang akan dijadikan sebagai petunjuk dalam melakukan studi –studi
komunikasi.
Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang bersifat
interdisipliner, telah menimbulkan banyak pandangan ahli dalam berupaya mengkateorikan
teori-teori komunikasi yang telah ada. Dalam upaya pengkategorian ini, para teoritisinya
masing-masing menunjukkan penggunaan istilah yang berbeda. Istilah itu, menurut penulis ada
yang pengkodefikasiannya menurut tempat berasalnya pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang
menurut “ideologi” yang mendasari lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan cara
bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya.
Terhadap pengkodefikasian yang dilakukan berdasarkan tempat asal lahirnya pemikiran
teoritis, maka kodefikasiannya dikenal dengan kelompok Chicago School yang Liberal-Pluralis
dan direpresentasikan sebagai perspektif teori komunikasi Barat yang nota bene
positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian dalam kubu ini diarahkan pada penggunaan unit
‘14
10
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
analisis individu dengan methode survey dan instrumen-instrumen yang standar, yang
dimaksudkan sebagai usaha dalam menjelaskan gejala-gejala sosial sebagaimana dalam
hukum-hukum alam, yang hanya terbatas pada erklaeren berdasarkan hubungan causal.
Lawannya adalah Frankfurt School-Marxis Kritikal, yang direpresentasikan sebagai pemikiranpemikiran yang melahirkan teori-teori komunikasi Timur. Para Ilmuwan dalam kelompok ini,
dengan tokoh yang antara lain terdiri dari Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm
dan Herbert Macuse, adalah para pemikir yang meyakini bahwa ilmu itu tidak bebas nilai dan
pandangan mereka ini banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx. Jadi, di antara dua
kubu tersebut, perspektif teoritisnya terutama dibedakan oleh soal pengakuan value dalam
proses bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.
Kemudian, pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam proses
mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan yang diberikan Mc
Quail dan Griffin. Mc Quail sendiri mengkodefikasikan istilahnya itu dengan konsep model,
yakni model komunikasi yang terdiri dari model Transmisi dan Ritual. Model transmisi
merupakan model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi dalam perspektif
tradisional atau positivistic yang nota bene free value. Jadi, sama dengan proses bekerjanya
ilmu dalam perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni model yang
menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses seperti yang terjadi pada
perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan Griffin seperti telah disinggung
sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan transmisi sebagaimana digunakan Mc Quail tadi
dengan istilah Scientific (Objektive). Dengan mana, perspektifnya relatif tidak berbeda dengan
apa yang digambarkan oleh Mc Quail.
Guna tidak membingungkan dan memudahkan akademisi komunikasi dalam memahami
perbedaan di antara kedua model, dalam bukunya Griffin mencoba menganalogikan dua
akademisi yang dimintanya menanggapi fenomena cita-cita anak mengenai pekerjaan dalam
Iklan Superbowl itu, dengan dua perancang mode pakaian. Glenn yang Objective mungkin akan
menjahit suatu mantel yang pantas untuk semua orang pada berbagai kesempatan dengan
baik, satu ukuran cocok untuk semua. Di pihak lain maka Marty yang interpretif/humanis
mungkin mengaplikasikan prinsip dari desain fhasion-nya ke gaya suatu mantel yang dibuat
untuk perorangan, untuk klien tunggal - satu orang satu tipe pakaian, kreasi tertentu yang khas
untuk seseorang. Glenn mengadopsi suatu teori dan kemudian mengujinya untuk melihat
apakah itu bisa mencakup semua orang. Sementara Marty menggunakan teori untuk membuat
‘14
11
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
perasaan yang unik dari event-event komunikasi.(Griffin, 2003 :14) ........ Ahli teori obyektif pada
umumnya mengedepankan efektifitas dan partisipasi ditempatkan di belakang. Ahli teori
Interpretif cenderung memusatkan pada partisipasi dan mengurangi peran ke-efektivitas-an
(Griffin, 2003 :14). Jadi, ada perbedaan yang kontradiktif di antara ilmuwan obyektif dan
interpretif dalam cara memperoleh pengetahuan ilmu.
Kemudian, kodefikasi yang dilakukan menurut“ideologi” sebagai landasan epistemologis
yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka ada dua teoritisi yang
mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang dikemukakan Littlejohn melalui istilah yang
disebutnya dengan genre atau jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua oleh Miller dengan
istilahnya Conceptual Domains of Communication Theory.
Untuk gagasan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima: 1. teori
struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori interaksional; 4. teori interpretif dan
5. teori kritis. (Littlejohn, 1994 : 13). Basis pada teori “1” adalah perspektif sosiologi strukturalfungsionalisme dari Emile Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada
perspektif dalam falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak
pada perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan
pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam ini. Pada
genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai sebuah proses
interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian genre keempat, basisnya yaitu pada
upaya menemukan makna pada teks, misalnya seperti teks pada iklan cita-cita anak dalam
iklan seperti dicontohkan Griffin, sebagaimana disinggung sebelumnya. Yang tergabung dalam
kelompok ini adalah para ilmuwan yang
menamakan diri dengan
henneneuticists,
poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang
menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis teorinya adalah kritik
idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm
dan Herbert Macuse.
Meskipun teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan berarti
masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan yang kasat mata,
paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang melatar belakangi para ilmuwannya
dalam memunculkan salah satu sudut pandang (angel) terhadap upaya menelaah fenomena
komunikasi. Persamaan dimaksud, dapat dikatakan sebagai sebuah persamaan umum yang
ada pada masing-masing genre teori komunikasi, yakni upaya untuk menemukan kebenaran
‘14
12
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang sedalam-dalamnya tentang fenomena (Erscheinungen) komunikasi sebagai obyek forma
dari ilmu komunikasi.
Selain persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre itu.
Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional theories dengan genre
cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan oleh landasan falsafah ilmu yang
dianut, yakni determinisme – positivisme yang dipelopori A. Comte (1798-1857) (Poedjawijatna,
1983 :94). Dengan demikian, komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang linier, dari
komunikator ke komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail dalam model
transmisinya.
Namun demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and functional),
genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di mana struktural berbasis pada pandagan
sosiologi, sementara functional basisnya pada biologi, terutama terhadap konsep sistem
anatomi tubuh manusianya, yang kemudian dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial.
Persamaan lainnya adalah, bahwa kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam
posisi yang sama dalam melihat posisi value dalam ilmu, yakni sama-sama meyakini bahwa
nilai tidak boleh terlibat dalam proses keilmuan demi tidak lahirnya bad science. Diketahui pula,
hipotesis yang dirumuskan dengan proses berfikir ilmiah deduktif, dinilai sangat berperan dalam
kedua genre ketika ilmu komunikasi berupaya menemukan kebenarannya.
Berbeda dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka pada
tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive theories dan crical theories,
masalah value dinilai syah dalam proses ilmiah. Ini berhubungan dengan pemahaman bahwa
manusia itu sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Seiring dengan itu,
komunikasipun dirumuskan bukan sebagai sebuah proses yang linier, melainkan sirkuler,
dengan mana manusia-manusia yang terlibat di dalamnya tidak dibedakan dalam hal status
seperti halnya dalam genre teori yang berperspektif positivis dengan isitilah komunikator dan
komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang terlibat disebut dengan partisipan komunikasi,
atau ada yang dengan istilah komunikan sebagai ekuivalen dengan partisipan. Dengan
demikian, maka komunikasipun antara lain didefinisikan sebagai sebuah proses pertukaran
makna.
Ragam perspektif yang ada di dalam melihat teori komunikasi di atas kiranya
mengindikasikan kalau upaya menemukan tori komunikasi yang sifatnya mengandung makna
‘14
13
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
seumum-umumnya (meta theory) itu begitu sulit. Dalam kaitan ini Littlejohn berpendapat bahwa
memang ini menjadi salah satu kelemahan ilmu, termasuk ilmu komunikasi. Kelemahan ini
dimungkinkan karena daya tangkap indra manusia terbatas, dan karenanya ilmu hanya bisa
mengobservasi fenomena-fenomena indrawi yang bersifat fragmentaris. Kalaupun ada ilmuwan
yang berupaya mencoba mempelajari secara non fragmentaris, sebagaimana halnya dilakukan
oleh disiplin ilmu filsafat dengan cara berfikir kritis, ekstrim dan universal, maka upaya ini sudah
ke luar dari tradisi ilmu pengetahuan dalam menemukan kebenarannya yang nota bene bertolak
dari data empirik. Jadi, upaya ilmu filsafat tadi, tetap saja tidak dapat menolong ilmu untuk
dapat menelaah obyeknya secara non fragmentaris.
Ilmu merupakan pengetahuan ilmiah yang tebatas sifatnya, terbatas pada obyek
formanya dan karenanya pula para filsuf menyebutnya dengan ilmu-ilmu khusus, atau ilmu
tentang ada khusus, kata Poedjawijatna. Namun, sebagai ilmu khusus maka ilmu pengetahuan
juga berupaya mempelajari obyek formanya itu melalui pendekatan-pendekatan yang dilakukan
oleh ilmu filsafat. Tujuannya tak lain adalah agar mendapatkan pengetahuan yang seumumumumnya tentang obyek forma yang dipelajari. Upaya ini sendiri dilakukan ilmu melalui salah
satu cabang ilmunya sendiri, yakni filsafat ilmu pengetahuan sebagai pure science-nya sebuah
ilmu pengetahuan. Melalui telaah aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, filsafat ilmu
komunikasi berusaha menemukan kebenaran seumum-umumnya tentang obyek forma ilmu
komunikasi, human communication. Meskipun demikian, dalam prosesnya kebenaran mutlak
tetap saja bukan menjadi sesuatu yang mesti diwujudkan sebagai titik akhir dari proses. Upaya
yang tidak mungkin dilakukan sehubungan dengan keterbatasan manusia inipun, seyogyanya
disadari sebagai embrio yang menjadikan sesama ilmuwan bisa saling menghargai dalam
upaya angel masing-masing dalam menemukan kebenaran ilmu komunikasi. Lagi pula, seperti
dinyatakan Anderson, "kebenaran adalah perjuangan, bukan status ". Jadi, tidak ada kebenaran
indrawi yang berhenti pada satu titik, kecuali kebenaran dogmatis agama yang berasal dari
Tuhan.
Kebenaran ilmu pun begitu, seperti halnya dengan ilmu komunikasi. Dalam kaitan
kelemahan ilmu yang demikian, Littlejohn (2005, 17) berkomentar, “All theories are abstactions.
They always reduce experience to a set of categories and as a result always leave something
out. A theory focuses on certain things and ignores others. This truism is important because it
reveals the basic inadequacy of any one theory. No single theory will ever reveal the whole
“truth” or be able to totally address the subject of investigation. Theories are also created by
‘14
14
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
people, not ordained by God. When scholars examine something in the world, they make
choices- about how to categorize what they are observing, what to name the concepts upon
which they have focused, how broad or narrow their focus will be, and so on. Thus, theories
represent various ways observers see their environments more than they capture reality than a
record of scholars’ conceptualizations about that reality. (2005, 17).
Secara praktis, ketiga komponen yang menjadi fokus telaah dalam asumsi filosofis
sebelumnya, sebenarnya terkandung di dalam semua pengetahuan, termasuk pengetahuan
biasa. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari
ketiga aspek ini diperkembangkan dan dilaksanakan. Namun, dari semua pengetahuan,
pengetahuan ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis, epistemologis dan
aksiologisnya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan
lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin (Lihat, Suriasumantri, 1984 : 33).
Apa yang dikatakan Suriasumantri itu, khusus terkait dengan ilmu komunikasi misalnya,
maka berdasarkan indikasi yang ada memang relevan dengan pernyataan Suriasumantri tadi.
Pada aspek ontologis, maka indikasinya berupa cukup jelasnya obyek kajian ilmu komunikasi
itu, yakni proses human communication yang dikatakan Littlejohn sebelumnya terjadi dalam
lima tingkatan ; interpersonal, kelompok, publik, organisasi, dan massa. Pada aspek
epistemologis, indikasinya berupa terdapatnya beberapa pendekatan dalam menelaah obyek
kajian ilmu komunikasi ; misalnya berdasarkan perspektif scientific/obyektive versus interpretifhumanistic, atau transmisi versus ritual. Sementara pada aspek aksiologis, indikasinya berupa
kemunculan dua kubu dalam akademisi komunikologi dalam kaitan value dengan ilmu, yakni
kubu
free
value
(neutral)
yang
tergabung
dalam
kelompok
positivistis/obyektif/scientifis/tradisional/konservatif dan kubu not free value (tidak bebas nilai)
atau yang mengakui eksistensi free will dalam diri manusia yang tergabung dalam kelompok
interpretif/humanis/ritual/ideologis.
Akan tetapi, berkaitan dengan pernyataan Suriasumantri tentang “dilaksanakan secara
konsekuen dan penuh disiplin”, tadi, maka berdasarkan fenomena akademik mengindikasikan
kalau pernyataan ini masih relatif banyak tidak berkesesuaian. Ini terlihat dari rancangan atau
penelitian yang dibuat, atau skripsi maupun tesis yang dibuat akademisi komunikasi.
Bentuk-bentuk karya ilmiah yang nota bene mengandung asumsi-asumsi filosofis ilmu
tersebut, dengan mana elemen ontologis tercermin melalui masalah pokok penelitian,
‘14
15
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
epistemologis tercermin melalui methode penelitian dan elemen aksiologis tercermin melalui
tujuan dan manfaat penelitian, kerap terlihat tidak memiliki konsistensi (taat asas) di antara
ketiga unsur tadi. Inkonsistensi atau pengingkaran asas ini biasanya lebih sering muncul dalam
kaitan komponen ontologis dan epistemologis. Sebagai contoh misalnya disain riset yang
dilakukan Lembaga Riset Inpendam Yogyakarta terhadap fenomena konflik sosial dalam
kaitannnya
dengan
komunikasi.
Inkonsistensi
terjadi
ketika
lembaga
tersebut
tidak
menggunakan mainstream ilmu komunikasi dalam menelaah konflik sosial, melainkan dengan
mainstream sosiologi an sich. Contoh lain yang paling sering terjadi adalah pada pembuatan
skripsi. Dalam menelaah efek media massa misalnya, berdasarkan rumusan masalahnya sudah
jelas khalayak media diposisikan sebagai individu aktif. Namun dalam proses pembuatan
kerangka teori, hipotesis, methode dan instrumennya, bukan bersandar pada perspektif
paradigma khalayak aktif melainkan pada perspektif khalayak pasif, atau bersandar pada teori
efek media yang linier.
Komponen Konsep
Selanjutnya, menyangkut komponen kedua dalam teori, yaitu konsep. Konsep yaitu
generalisasi
dari
sekelompok
fenomena
tertentu,
sehingga
dapat
dipakai
untuk
menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun dan Effendy, 1984 : 17) Konsep
ini sifatnya masih bermakna tunggal sehingga belum bisa dilakukan pengukuran terhadap
fenomena yang dijelaskannya.
Guna memungkinkan pengukuran, maka bagi ilmuwan tradisional terhadap suatu konsep
harus diberikan sifat-sifat tertentu. Concepts are typically operationalized in traditional science
(Littlejohn (2005 : 25) karena ilmu memerlukan ketepatan dalam melakukan observasi terhadap
konsep yang dipelajari. Sebagai contoh misalnya konsep kode bicara, maka untuk dapat
dilakukan pengukuran, harus diberi ciri-ciri khusus terhadap konsep kode bicara tadi. Ciri atau
sifat yang diberikan, misalnya menurut sifatnya, maka bisa dipelajari antara lain dengan cara
menggolongkannya ke dalam dua bentuk, misalnya menjadi verbal dan non verbal, dan lain
sejenisnya. Konsep lain, misalnya penduduk, maka dapat dirumuskan variabel-variabel seperti
jenis kelamin, suku bangsa, usia dan lain sejenisnya.
Seiring dengan pemberian ciri tertentu pada suatu konsep, semisal konsep kode bicara
tadi, maka seiring itu pula konsep berubah namanya menjadi variabel. Variabel sendiri
mengandung makna bisa atau dapat bervariasi atau beragam. Dengan demikian berarti pula
‘14
16
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
bahwa konsep belum tentu variabel, namun variabel sudah pasti konsep, yakni konsep yang
memiliki variasi nilai.
Dalam rangkaian suatu proses kegiatan ilmiah, seperti riset dalam ilmu tradisional
(traditional science) , variabel sendiri terdapat di dalam rumusan hipotesis yang dibuat peneliti.
Munculnya variabel dalam rumusan hipotesis, tidak terjadi begitu saja, melainkan berproses
secara sistematis dengan prosedur berfikir dengan logika deduktif yang berpedoman pada
prinsip koherensi dan korespondensi. Dalam tradisi ilmu dalam kubu positivistik, ini terjadi
dalam babakan kerangka teori atau landasan konseptual untuk studi yang menelaah satu
variabel.
Bagi peneliti positivis, secara umum babakan ini berfungsi menjadi wahana baginya
dalam “menerangkan diri sendiri” atas “kegelapan” yang masih melingkupinya ketika
merumuskan masalah pokok penelitian yang nota bene masih bertolak pada informasi terbatas
mengenai fenomena yang dipelajarinya. Dalam upaya “menerangkan diri” ini, maka definisi
leksikal mengenai sebuah konsep, penjelasan-penjelasan ilmiah mengenai sebuah konsep,
konsep-konsep yang dipertautkan dalam sebuah proposisi ilmiah maupun hipotesis, atau teoriteori yang menjelaskan fenomena menyangkut konsep komunikasi yang diangkat dalam
masalah penelitian, kiranya menjadi keharusan bagi peneliti dalam upaya mengemukakan
argumentasi ilmiahnya. Sebagai salah satu komponen dalam rangkaian argumentasi ilmiah
dalam bagian kerangka teori, maka teori komunikasi menduduki posisi paling penting. Teori
merupakan petunjuk paling penting bagi peneliti dalam upayanya mempelajari sebuah
fenomena komunikasi. Seperti dikatakan Stanley Deetz, a theory is a way of seeing and
thinking about the world.(dalam Littlejohn, 2005 :17).
Dalam kaitan fenomena komunikasi yang ditelaah, maka pendapat Deetz itu, tentu perlu
pula dengan segera kita kaitkan dengan gagasan Griffin sebelumnya menyangkut adanya dua
perspektif
kontras
dalam
menelaah
fenomena
komunikasi,
obyektive/Scientific
dan
interpretif/Humanistic. Kesadaran ini diperlukan agar prinsip ketaat-asasan (konsistensi) tetap
terjaga. Hanya dengan cara ini, barulah apa yang dikatakan Deetz tentang fungsi sebuah teori
itu bisa benar-benar berfungsi sebagai sebuah cara bagi peneliti komunikasi dalam melihat dan
memikirkan tentang fenomena komunikasi. Dengan demikian, maka bagi peneliti komunikasi,
teori-teori komunikasi yang relevan dengan paradigma yang terkandung dalam perumusan
masalah pokok penelitiannya, akan sangat membantu dalam upaya menemukan atau
menjelaskan variabelnya secara teoritis guna menuju pada perumusan hipotesis.
‘14
17
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Hipotesis sendiri berasal dari dua kata dasar hipo (kurang) dan tesa (kebenaran).
Dengan mengacu pada arti kedua kata tersebut, hipotesis diartikan sebagai pernyataan tentang
kebenaran menyangkut hubungan dua variabel atau lebih yang sifatnya masih kurang. Oleh
karena sifatnya masih kurang, maka hipotesis lazim juga disebut dengan kebenaran yang
bersifat sementara. Dengan kata lain, hipotesis adalah pernyataan tentatif yang merupakan
dugaan atau terkaan tentang apa saja yang kita amati dalam usaha untuk memahaminya
(Nasution, 2006 : 39). Karena masih bersifat sementara, karenanya pula hipotesis masih
memerlukan pengujian. Namun, sebelum pengujian lebih dulu harus dilakukan operasionalisasi
terhadap variabel yang dikandungnya. Sebagaimana dikatakan Littlejohn (2005 :25),
operationalism means that all variables in a hypotthesis should be stated in way that expalin
exactly how to observe them. Operational definitions are the most precise definitions possible
because they tell you how the concept is to be observed”. Definisi operasional ini selanjutnya
menjadi instrument penelitian dalam mendapatkan data empiris yang dibutuhkan oleh variabel
dalam hipotesis penelitian.
Di samping melakukan definisi operasional, maka ada hal lain yang perlu diketahui
sebelum melakukan pengujian terhadap variabel-variabel dalam hipotesis. Ini berhubungan
dengan sifat-sifat variabel. Pengetahuan tersebut sangat diperlukan karena berkaitan dengan
pelaksanaan uji statistik terhadap variabel dalam hipotesis. Pengujian statistik yang keliru
terhadap hubungan variabel dalam hipotesis berimplikasi pada kesesatan peneliti dalam
menginterpretasikan fenomena yang dipelajarinya. Guna terhindar dari situasi dimaksud,
ilmuwan obyektif telah berupaya membuat formula uji statistik terhadap hubungan-hubungan
variabel. Diantaranya adalah seperti yang dikemukakan Champion (1981), sebagaimana dikutip
Rakhmat (1991: 134) dalam bukunya, yakni menyangkut hubungan dua variabe hipotesis. Dari
sini diketahui, misalnya terhadap hubungan dua variabel nominal dengan nominal, maka uji
statistik dapat dilakukan, antara lain dengan menggunakan ukuran asosiasi Pearson’s; Lambda;
Phi, dan lain-lain. Jadi, sudah tertentu sifatnya, tidak bisa dilakukan test statistik dengan
sembarangan.
Dengan hipotesis, yang nota bene memiliki beberapa bentuk itu, dengan mana terdiri dari
hipotesis kerja; hipotesis nol dan hipotesis statistik (deskriptif, komparatif, asosiatif) (Nasution,
2006 ; 43-44; Sugiyono, 2005 : 17), maka di kalangan akademisi positivis, guna menunjuk
fungsinya dalam proses keilmuan, diantaranya ada yang menganalogikan hipotesis itu sebagai
jembatan penghubung antara dunia ide dengan dunia empirik. Sebuah analogi yang secara
‘14
18
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
filosofis ilmu disebut dengan perangkat ilmiah yang berfungsi sebagai alat bantu untuk
mengecek kebenaran a priori yang dirumuskan dengan proses berfikir deduktif-intuitif dengan
data a posteriori yang empirikal.
Peran hipotesis sebagaimana dimaksud itu, dapat diketahui ketika sebuah proses
penelitian memasuki tahap analisis dan interpretasi data hasil penelitian. Hasil analisis dan
interpretasi ini dibandingkan dengan pernyataan dalam rumusan hipotesis. Hasil perbandingan
ini mempunyai dua kemungkinan, pertama menolak hipotesis dan kedua menerima hipotesis.
Jika hipotesis diterima atau relevan dengan data empirik, itu berarti teori-teori yang diacu
ilmuwan sebagai petunjuk ketika dalam proses perumusan hipotesis dengan proses berfikir
deduktif, kualitasnya jadi semakin meningkat. Jika hipotesis tidak diterima, maka hipotesis itu
menjadi pengoreksi terhadap teori yang direferensi.
Komponen Eksplanasi
Komponen ketiga pada teori adalah penjelasan atau eksplanasi. The theorist identifies
regularities or patterns in the relationships among variables. In simplest terms, explanation
answers the question, Why ? An explanation identifies a “logical force” among variables that
connect them in some way. Penjelasan tersebut banyak jenisnya, namun dua diantaranya yang
umum adalah penjelasan sebab-akibat (causal) dan penjelasan praktis (practical). Causal
explanation explains outcomes as responses, whereas practical explanation sees action as
controllable and strategic. In causal explanation, the consequent event is determined by some
antecedent event. In practical explanation, outcomes are made to happen by actions that are
chosen. Perbedaan antara penjelasan sebab akibat dan praktis ini sangat penting dalam debat
mengenai apa yang harus dilakukan sebuah teori. Banyak teoritisi tradisional mengatakan
bahwa teori-teori akan berhenti pada tingkatan penjelasan ini. (Lihat, dalam Littlejohn, 2005 :
22).
Komponen Prinsip
Prinsip adalah komponen terakhir pada suatu teori. Sebuah prinsip adalah sebuah
pedoman yang memungkinkan kita untuk melakukan interpretasi pada sebua peristiwa,
membuat sebuah penilaian mengenai apa yang terjadi, dan kemudian memutuskan bagaimana
melakukan tindakan dalam suatu situasi. Suatu prinsip memiliki tiga bagian; (1) prinsip
mengidentifikasikan suatu situasi atau peristiwa; (2) prinsip ini mengandung sebuah rangkaian
‘14
19
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
norma-norma atau nilai-nilai, dan (3) prinsip menuntut sebuah hubungan antara suatu jarak
tindakan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul. Principles enable researcher to
repflect on the quality of actions observed and to provide guidelines for practice as well.
(Littlejohn, 2005 : 23).
Seperti kata Littlejohn (Littlejohn, 2005 : 23), terkait soal prinsip ini tidak ada suatu
konsensus di kalangan para ilmuwan. Beberapa teori ada yang berisi upaya penyederhanaan
konsep dan penjelasan tanpa pembuatan rekomendasi sesuai dengan teorisasi yang mendasari
mereka. Sementara pada beberapa teori lainnya, generating principles that can be used as the
basic of action in the world is the whole purpose for engaging the theoretical enterprise.
PENUTUP
Seperti sudah dibatasi pada bagian awal, makalah ini mencoba fokus pada upaya
meninjau beberapa aspek penting dalam hubungan antara teori dan metode riset komunikasi.
Bertolak dari hasil pembahasan, maka dapatlah dikemukakan beberapa hal, sbb :
Terdapat empat komponen dasar dalam teori, termasuk teori komunikasi. Keempat
komponen ini yaitu asumsi filosofis, konsep, eksplanasi dan prinsip. Terpenuhi tidaknya
keempat unsur tersebut menjadi tolok ukur dalam menilai baik buruknya suatu teori.
Perspektif dalam memahami fenomena komunikasi cenderung berkaitan dengan
bagaimana asumsi filosofis ilmuwan terhadap upaya menemukan kebenaran pada obyek forma
ilmunya. Perbedaan asumsi filosofis itu tampak cenderung berkaitan dengan soal pengakuan
eksistensi free will dalam diri manusia.
Komunikologi positivis tidak mengakui adanya free will itu dalam manusia dan karenanya
ilmuwan harus bebas nilai (obyektif) dalam upaya menemukan kebenaran ilmu. Sebaliknya
ilmuwan ideologis mengakui adanya free will itu, dan karenanya ilmuwan dinilai legal subyektif
(tidak bebas nilai) dalam upayanya menemukan kebenaran ilmu. Perbedaan akan hakikat nilai
ini secara garis besar berimplikasi pada hakikat teori dalam metode riset. Pada metode riset
yang dirancang komunikolog positivis, penggunaan teori dimaksudkan untuk kepentingan
pengujian atau pembuktian. Sedang pada metode riset yang dirancang komunikolog ideologis,
teori digunakan sebagai alat bantu untuk menjelaskan masalah yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
‘14
20
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw
Hill.
Johannesen, Richard L., Etika Komunikasi, Bandung, Rosdakarya.
Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles
E. Merrill Publishing Company, p. 381-382.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson
Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Nasution, S., 2006, Metode Research (Penelitian Ilmiah), edisi kedelapan, Jakarta, Bumi
Aksara, PT.
Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on
Social Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon,
Boston, USA.
Peursen, C.A. Van, 1985, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu,
terjemahan, J. Drost, Jakarta, Gramedia, PT.
Poedjawijatna, I.R., 1983, Etika, Filsafat Tingkah Laku, Jakarta, Bina Aksara.
Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta,
Bina Aksara.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.
Sugiyono,2005, Statistik Untuk Penelitian, cetakan kedelapan, Bandung, Alfabeta, CV.
Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar
Harapan.
Wiryanto, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Grasindo, PT.
Diposkan oleh Phyrman di 02.46
Label: Penelitian
‘14
21
Riset Media
Devitri Indriasari, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download