Modul / Tatap Muka 14 Materi Pembahasan IDEOLOGI EKONOMI,TEORI EKONOMI DAN KOLONIALISME OTONOMI DAERAH A. Otonomi Daerah & Peluang Serta Tantangan Bisnis di Daerah. 1. Pembangunan yang tidak merata. Pembangunan ekonomi nasional selama pemerintahan Orba yang lebih terfokus pada pertumbuhan ternyata tidak membuat banyak daerah di tanah air berkembang dengan baik. Proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran sebagai hasil pembangunan selama itu lebih terkonsentrasi di pusat (Jawa). Pada tingkat nasional memang laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun cukup tinggi dan tingkat pendapatan perkapita naik terus setiap tahun (hingga krisis terjadi). Namun, dilihat pada tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antar propinsi makin membesar. Demikian juga dengan kesenjangan dalam distribusi pendapatan semakin besar, bukannya semakin membaik sesuai hipotesis Kuznets mengenai adanya suatu korelasi negatif dalam periode jangka panjang antara tingkat pertumbuhan dan kesenjangan di dalam distribusi pendapatan. Masalah ketimpangan ekonomi regional di Indonesia disebabkan antara lain, karena selama pemerintah Orba, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974, pemerintah pusat menguasai dan mengontrol hampir semua sumber pendapatan daerah yang ditetapkan sebagai penerimaan negara, termasuk pendapatan dari hasil sumber daya alam di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan/kelautan. Akibatnya, selama itu daerah-daerah yang kaya sumber daya alam tidak dapat menikmati ‘12 1 Perekonomian Indonesia Drs. Hasanuddin Pasiama, MS. Pusat Bahan Ajar dan Elearning Universitas Mercu Buana http://www.mercubuana.ac.id betapa kecilnya peran keuangan daerah, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran. ‘12 3 Perekonomian Indonesia Drs. Hasanuddin Pasiama, MS. Pusat Bahan Ajar dan Elearning Universitas Mercu Buana http://www.mercubuana.ac.id Tabel 2. Ketimpangan Fiskal Vertikal di Indonesia Tahun 1990/1991 (% dari Penerimaan Sendiri) Pangsa Penerimaan Nasional 96,1 Daerah 3,9 Dati I 2,8 Dati II 1,1 Seluruh Tingkatan 100,0 Sumber : Tabel 3, Indef (1998) Pangsa Pengeluaran 83,1 16,9 9,3 7,6 100,0 Surplus / Defisit 13,0 -13,0 -6,5 -6,5 100,0 Tabel 3. Struktur Fiskal Pusat – Daerah Tahun 1995 (dalam persen) Penerimaan Penerimaan Kontribusi Propinsi Daerah Bersama Pusat DI Aceh 18,06 11,61 68,31 Sumatera Utara 25,57 5,43 64,44 Sumatera Barat 39,22 6,70 45,03 Riau 33,47 26,17 25,04 Jambi 25,68 10,57 54,49 Sumatera Selatan 31,93 19,68 37,92 Bengkulu 20,79 6,25 67,13 Lampung 36,06 4,78 51,84 DKI Jakarta 61,57 10,82 13,27 Jawa Barat 29,57 2,93 59,32 Jawa Tengah 21,18 1,78 73,56 DI Yogyakarta 21,05 2,03 71,97 Jawa Timur 29,68 2,22 61,32 Kalimantan Barat 20,73 13,67 55,38 Kalimantan Tengah 5,92 23,32 0,65 Kalimantan Selatan 23,40 19,04 52,34 Kalimantan Timur 23,98 30,46 28,19 Sulawesi Selatan 39,61 12,36 42,45 Sulawesi Utara 22,54 10,36 65,54 Sulawesi Tengah 9,29 4,81 85,28 Sulawesi Tenggara 11,35 10,68 70,72 Bali 50,33 5,24 30,43 Nusa Tenggara Barat 20,44 5,01 68,37 Nusa Tenggara Timur 18,9 4,72 69,10 Maluku 12,34 15,55 66,65 Irian Jaya 6,67 40,63 44,45 Sumber : Tabel 4, Basri (2000) ‘12 5 Perekonomian Indonesia Drs. Hasanuddin Pasiama, MS. Pusat Bahan Ajar dan Elearning Universitas Mercu Buana http://www.mercubuana.ac.id