Psikologi Komunikator - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
PSIKOLOGI
KOMUNIKASI
PSIKOLOGI KOMUNIKATOR
Fakultas
Program Studi
FIKOM
MARCOM &
ADVERTISING
Tatap Muka
10
Kode MK
Disusun Oleh
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Abstract
Kompetensi
Modul ini berisi materi mengenai
Psikologi komunikator dikaji dalam
beberapa bagian, antara lain:
Karakteristik komunikator , dan hal
yang mempengaruhi persepsi
komunikan dengan komunikator.
Setelah mempelajari modul ini,
mahasiswa diharapkan dapat
memahami dan menjelaskan tentang
daya tarik komunikator.
PSIKOLOGI KOMUNIKATOR
Pada bab pertama kita mengenal karakteristik manusia komunikan serta berbagai faktor
yang mempengaruhi perilakunya. Dengan pengenalan ini, anda dapat memahami
komunikan
anda;
menjelaskan,
meramalkan,
bahkan
sampai
tingkat
tertentu
–
mengendalikannya. Dari situ bab kedua anda mulai memasuki “black box” pada diri
komunikan – menengok persepsi, mengunjungi ruang memori, dan melihat proses berpikir.
Bila anda menyampaikan pesan anda kepada orang lain, anda tentu dapat mengantasi
(menduga lebih dahulu) bagaimana komunikan akan menerima, mengolah, dan menyimpan
informasi yang anda sampaikan.
Dengan pengetahuan itu, anda bergerak pada jenis komunikasi yang paling dasar – tetapi
paling penting dalam kehidupan anda – yaitu komunikasi interpersonal. Anda tentu sudah
memahami persepsi interpersonal, atraksi interpersonal, dan hubungan interpersonal.
Ternyata hubungan anda dengan kekasih anda, kawan anda, keluarga anda tidaklah
sesederhana yang anda duga. Pengetahuan adalah kekuatan, begitu kata orang. Siapa
tahu, dengan mengetahui meknisme komunikasi interpersonal, anda memiliki kekuatan
untuk menciptakan hubungan manusia yang lebih efektif, lebih memuaskan, dan lebih
membahagiakan bagi anda dan orang lain.
Bab yang baru saja kita tinggalkan mengantarkan kita kepada dunia komunikasi massa,
kepada media massa yang menakjubkan, kepada apa yang disebut Gerbner sebagai agama
resmi masyarakat industri. Media massa bukan saja memberikan informasi, mendidik,
menghibur, dan mempengaruhi. Media massa juga adalah mekanisme ideologi yang
memberikan kepada anda perspektif untuk memandang realitas sosial. Janganlah heran,
bila film banyak menampilkan adegan kebebasan seksual, secara berangsur-angsur orang
akan memandang pergaulan bebas sebagai hal yang biasa dan bahkan pertanda kemajuan,
tidak usah heran pula, bila media massa sering melukiskan adegan kekejaman, hati orang
menjadi tumpul dan kendali moralnya melemah. Tetapi jangan pula terkejut bila media
massa dapat dimanfaatkan untuk mengajarkan nilai-nilai yang luhur: kejujuran, altruisne,
patriotisem, ketaqwaan, dan hal-hal lain yang lazim disebut sebagai perilaku prososial.
Pada bab-bab terdahulu sebenarnya telah kita bicarakan psikologi komunikate (yang secara
umum dicakup pada karakteristik manusia komunikan), psikologi penerimaan dan
pengolahan pesan (dalam sisitem komunikasi intrapersonal), dan psikologi media
komunikasi (baik dalam konteks interpersonal maupun kontekas komunikasi massa).
Laswell (1948) menyebutkan komunikasi sebagai “who say what in what channel to whom
with what effect”. Kita sudah membahas “in what channel to whom with what effects”. Yang
2016
2
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
belum diuraikan ialah “who says what”. “Who says” kita ulas pada psikologi komunikator,
dan “what” kita uraikan pada psikologi pesan.
Psikologi Komunikator
Suatu saat anda berada di masjid atau rumah ibadat lainnya (bergantung pada agama
anda). Di mimbar berdiri seorang yang mengkhotbahkan pentingnya memelihara kebersihan
moral dan menjauhi perbuatan dosa. Yang berkhotbah memakai “jeans” yang sudah lusuh,
berambut gondrong dan kusut, memakai kalung hitam yang memakai gantulan tengkorak
kecil, dan berjaket hitam dengan lukisan apel merah yang besar. Anda masih dapat melihat
akar bahar menghias lengannya yang kekar. Ia mengutip ayat-ayat suci. Ia serius. Besar
dugaan saya, anda tidak akan mempercayai ocehannya. Anda akan menganggapnya
sebagai orang yang gila dan tersesat masuk rumah ibadat.
Pada saat yang lain seorang bidan menganjurkan istri anda untuk menggunakan susu
bubuk Nestle buat anak kesayangan anda. Ia membawa contoh susu bubuk itu ke rumah
anda. Ia menjelaskan bahwa Nestle dibuat hampir nirip susu ibu, dengan kadar protein yang
tinggi, mengandung vitamin dan mineral yang berguna bagi pertumbuhan bayi anda. Ia
datang ke rumah anda ; masih memakai tunik putih dan anda samar-samar mencium “bau
rumah sakit”. Besar dugaan saya, anda akan menerima atau paling tidak memeikirkan untuk
menerima anjurannya. Tidak terbayang pada benak anda, bahwa perusahaan multinasional
tengah “membunuh” bayi-bayi di negara dunia ketiga melalui tenaga-tenaga paramedis
(mudah-mudahan ini terjadi hnaya dalam contoh pada buku ini).
Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa ketika komunikator berkomunikasi, yang
berpengaruh bukan saja apa yang ia katakan, tetapi juga keadaan dia sendiri. He doesn’t
communicate what the say, he communicates what he is. Ia tidak dapat menyuruh
pendengar
hanya
memperhatikan
apa
yang
ia
katakan.
Pendengar
juga
akan
memperhatikan siapa yang mengatakan. Kadang-kadang siapa lebih penting dari apa.
Fatwa keagamaan dari seorang kiai, petunjuk kesehatan dari seorang dokter, penjelasan
perkembangan mode daris eorang perancang, atau uraian teknik belajar dari seorang
psikolog akan lebih kita dengar daripada yang dikemukakan oleh orang lain. Sebaliknya, kita
sukar mempercayai petunjuk bertani dari diplomat, bimbingan penggunaan alat-alat
kosmetik dari ahli matematika, atau cara-cara berumah-tangga dari seorang bujangan.
Lebih dari 2000 tahun yang lalu, Aristoteles menulis: persuasi tercapai karena karakteristik
personal pembicara, yang ketika ia menhyampaikan pembicaraannya kita menganggapnya
dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada orang-orang yang baik
2016
3
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
daripada orang lain: ini berlaku umumnya pada masalah apa saja dan secara mutlak berlaku
ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi. Tidak benar, anggapan
sementara penulis retorika bahwa kebaikan personal yang diungkapkan pembicara tidak
berpengaruh apa-apa pada kekuatan persuasinya; sebaliknya, karaketrnya hampir bisa
disebut sebagai alat persuasi yang paling efektif yang dimilikinya. (Aristoteles, 1954:45)
Aristoteles menyebut karakter komunikatorn ini sebagai ethos. Ethos terdiri dari pikiran baik,
akhlak yang baik, dan maksud yang baik (good sense, good moral character, good will).
Pendapat aristoteles ini diuji secara ilmiah 2300 tahun kemudia oleh Carl Hovland dan
Walter Weiss (1951). Mereka melakukan eksperimen pertama tentang
psikologi
komunikator. Kepada sejumlah besar subjek disampaikan pesan tentang psikologi
komunikator. Kepada sejumlah besar subjek disampaikan pesan tentang kemungkinan
membangun kapal selam yang digerakkan oleh tenaga atom (waktu itu, menggunakan
energi atom masih merupakan impian). Kepada sebagian orang, dinyatakan bahwa pesan
itu ditulis oleh J. Robert Oppenheimer, sarjana fisika atom yang terkenal. Kepada orang lain
disebutkan bahwa pesan itu ditulis Pravda, surat kabar Soviet yang terkenal karena
ketidakjujurannya. Sebelum membaca pernyataan itu, subjek diminta mengisi kuesioner
yang mengidentifikasikan pendapat mereka tentang topik tersebut. sesudah membaca
pernyataan itu, mereka mengisi kuesiner lagi. Kebanyakan orang yang membaca
pernyataan yang dihubungkan dengan Oppenheimer. Sedikit sekali yang membaca
“pernyataan” Pravda yang mengubah pendapatnya.
Hovland dan Weiss menyebut ethos ini credibility yang terdiri dari dua unsur: Expertise
(keahlian) dan trustworthiness (dapat dipercaya). Nasihat dokter kita ikuti, karena dokter
memiliki keahlian. Tetapi omongan pedagang yang memuji barangnya agak sukar kita
percayai karena kita meragukan kejujurannya. Di sini, pedagang tidak memiliki
trustworthiness.
Kedua komponen ini telah disebut dengan istilah-istilah lain oleh ahli komunikasi yang
berbeda. Untuk expertness, McCroskey (1968) menyebutnya authoritativeness; Markham
(1968) menamainya faktor reliable logical; Berlo, Lemert dan Merts (1966) menggunakan
qualification. Untuk trustworthinees, peneliti lain menggunakan istilah safety, character, atau
evaluative factor. Kita tidak akan mempersoalkan mana istilah yang benar. Semua kita sebut
saja kredibilitas. Tetapi kita tidak hanya melihat pada kredibilitas sebagai faktor yang
mempengaruhi efektivitas sumber. Kita juga akan melihat dua unsur lainnya: atraksi
komunikator (source attractiveness) dan kekuasaan (source power). Seluruhnya kredibilitas,
atraksi dan kekuasaan – kita sebut sebagai ethos (sebagai penghormatan pada Aristoteles,
2016
4
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
psikolog komunikasi yang pertama). Dimensi-dimensi ethos akan kita bicarakan pada bagian
berikutnya.
Dimensi-dimensi Ethos
Diatas telahkita uraikan bahwa ethos atau faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
komunikator terdiri dari kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan. Ketiga dimensi ini berhubungan
dengan jenis pengaruh sosial yang ditimbulkannya. Menurut Herbert C. Kelman (1975)
pengaruh komuniaksi kita pada orang lain berupa tiga hal: internalisasi (internalization),
identifikasi (identification), dan ketundukan (compliance).
Internalisasi terjadi bila orang menerima pengaruh karena perilaku yang dianjurkan itu
sesuai dengan sistem nilai yang dimilikinya. Kita menerima gagasan, pikiran, atau anjuran
orang lain, karena gagasan, pikiran,atau anjuran tersebut berguna untuk memecahkan
masalah, penting dalam menunjukkan arah, atau dituntut oleh sistem nilai kita. Internalisasi
terjadi ketika kita menerima anjuran orang lain atas dasar rasional. Kita menghentikan rokok
atas saran dokter, karena kita memelihara kesehatan kita atau karena merokok tidaks esuai
dengan nilai-nilai yang kita anut. Dimnesi ethos paling relevan di sini ialah kredibilitas –
keahlian komunikator atau kepercayaan kita pada komunikator.
Identifikasi terjadi bila individu mengambil perilaku yang berasal dari orang atau kelompok
lain karena perilaku itu berkaitan dengan hubungan yang mendefinisikan diri secara
memuaskan (satisfying self-defining relationship) dengan orang atau kelompok itu.
Hubungan yang mendefinisikan diri artinya memperjelas konsep diri. Dalam identifikasi,
individu mendefinisikan pernannya sesuai dengan peranan orang lain. “He Attempts to be
like or actually to be the other person. Dengan mengatakan apa yang ia katakan, melakukan
apa yang ia lakukan, mempercayai apa yang ia percayai, individu mendefinisikan dirinya
sesuai dengan orang yang mempengaruhinya. Identifikasi terjadi ketika anak berperilaku
mencontoh ayahnya, murid meniru tindak-tanduk gurunya, atau penggemar bertingkah dan
berpakaian seperti bintang yang dikaguminya. Dimensi ethos yang paling relevan dengan
identifikasi ialah atraksi ((attractiveness) – daya tarik komunikator.
Ketundukan (compliance) terjadi bila individu menerima pengaruh dari orang atau kelompok
lain karena ia berharap memperoleh reaksi yang menyenangkan dari orang atau kelompok
tersebut. ia ingin memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman dari pihak yang
mempengaruhinya. Dalam ketundukan, orang menerima perilaku yang dianjurkan bukan
karena mempercayainya, tetapi karena perilaku tersebut membantunya untuk menghasilkan
efek sosial yang memuaskan. Bawahan yang mengikuti perintah atasannya karena takut
dipecat, pegawai negeri yang masuk Golkar karena kuatir diberhentikan, petani yang
menanam sawahnya karena ancaman pamong desa adalah contoh-contoh ketundukan.
2016
5
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dimensi ethos yang berkaitan dengan ketundukan ialah kekuasaan. Kredibilitas, atraksi, dn
kekuasaan akan kita perinci pada bagian berikutnya.
Kredibilitas
Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikate tentang sifat-sifat komunikator. Dalam
definisi ini terkandung dua hal: (1) Kredibilitas adalah persepsi komunikate; jadi tidak inheren
dalam diri komunikator; (2) Kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator, yang
selanjutnya akan kita sebut sebagai komponen-komponen kredibilitas.
Karena kredibilitas itu masalah persepsi, kredibilitas berubah bergantung pada pelaku
persepsi (komunikate), topik yang dibahas, dan sitausi. Anda mungkin memeliki kredibilitas
di hadapan kawan-kawan anda, tetapi tidak berarti apa-apa di depan Senat Guru Besar
Universitas Anda. Orang bermata satu memang dapat menjadi raja di negeri orang buta.
Professor botak akan didengar baik-baik oleh mahasiswanya, tetapi akan dimakan habis
oleh buaya di sungai. Seklai lagi, kredibilitas tidak ada pada diri komunikator, tetapi terletak
pada persepsi komunikate. Karena itu, ia dapat berubah atau diubah, dapat terjadi atau
dijadikan. Kita dapat menghadirkan “the man-on-the-street” di ruangan kuliah dan
mengumumkan pada mahasiswa bahwa orang itu adalah doktor dalam sosiologi. Di sini, kita
membentuk persepsi orang lain dengan deskripsi verbal. Tentu saja kita dapat juga
menurunkan kredibilitas komunikator dengan memberinya pakaian-pakaian yang lusuh atau
menyuruhnya berperilaku yang menyebalkan. Di sini kita memanipualsikan persepsi orang
lain denga petunjuk nonverbal. Sama halnya dengan faktor-faktor sitausional pada persepsi
interpersonal yang pernah kita bahas.
Hal-hal yang mempengaruhi persepsi komunikate tentang komunikator sebelum ia
berlakukan komunikasinya disebut prior ethos (Andersen, 1972:82). Sumber komunikasi
memperoleh prior ethos karena berbagai hal. Kita membentuk gambaran tentang diri
komunikator dari pengalaman langsung dengan komunikator itu atau dari pengalaman
wakilan (vicarious experiences); misalnya, karena sudah lama bergaul dengan dia dan
sudah mengenal integritas kepribadiannya atau karena kita sudah sering melihat atau
mendengarnya dalam media massa. Boleh jadi kita membentuk prior ethos komunikator
dengan menghubungkannya pada kelompok rujukan orang itu; kita meletakkannya dalam
kategori pada skema kognitif kita. Anda akan tekun mendengar penceramah yang
diperkenalkan sebagai Kiai Haji Doktor, karena gelar-gelar itu melahirkan persepsi tentang
kelompok yang mendalami ilmu agamanya. Mungkin juga prior ethos terbentuk karena
sponsor atau pihak-pihak yang mendukung komunikator. Bila organisasi yang berstatus
tinggi memperkenalkan anda kepada orang banyak, bila ahli yang terkenal membawa anda
pada suatu pertemuan, anda memiliki prior ethos karena sponsor (by sponshorship and
2016
6
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
endorsement). Boleh jadi prior ethos juga timbul – seperti dikatakan diatas – oleh petunjukpetunjuk nonverbal yang ada pada diri komunikator.
Kebanyakan penelitian kredibilitas berkenaan dengan prior ethos. Penelitian Hovland dan
Weiss di atas membuat kredibilitas dengan deskripsi verbal. Kelman dan Hovland
(1974:138-149) memutar kaset di depan subjek eksperimen. Pada satu kelompok dikatakan
bahwa pembicara adalah hakim yang banyak menulis masalah kenakalan remaja
(kredibilitas tinggi); dan pada kelompok lain dilukiskan pembicara sebagai pengedar narkotik
(kredibilitas rendah). Keduanya berbicara tentang perlunya perlakuan yang lebih ringan
terhadap remaja-remaja yang nakal. Segera setelah komuniaksi, sikap subjek diukur.
Hasilnya menunjukkan bahwa subjek cendenrung lebih setuju pada komunikator yang
berkredibilitas tinggi. Penelitian seperti ini telah banyak dilakukan (misalnya McCroskey,
1970; Hovland et al., 1953; Insko; Mills dan Harvey, 1972) dan membuktikan bahwa prior
ethos mempengaruhi perubahan sikap komunikate ke arah yang dikehendaki komunikator.
Atraksi (Attactiveness)
Marilah saya ingatkan anda lagi pada faktor-faktor situasional yang mempengaruhi atraksi
interpersonal (lihat pembahasan sebelumnya): daya tarik fisik, ganjaran, kesamaan, dan
kemampuan. Kita cenderung menyenangi orang-orang yang tampan atau cantik, yang
banyak kesamaannya denga kita, dan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari kita.
Sepintas kita juga sudah menyebut penelitian yang membuktikan bahwa orang cantik lebih
besar kemungkinannya untuk menjadi komunikator yang efektif. Pada bagian ini, kita akan
mengulang pengaruh faktor atraksi fisik dan kesamaan dalam hubungannya dengan
efektivitas komuniaksi, yakni mengubah sikap atau perilaku.
Shelly Chaiken (1979), psikolog wanita yang manis dari University of Massachusets,
menelaah pengaruh kecantikan komunikator terhadap persuasi dengan studi lapangan. Ia
mengkritik penelitian laboratorium yang meragukan pengaruh atraksi fisik, karena
menghasilkan kesimpulan yang beraneka ragam. Penelitian laboratoris terlalu melebihlebihkan daya tarik fisik, dan menyebabkan mahasiswa yang dijadikan subjek eksperimen
terpengaruh oleh epnelitian (bukan oleh variabel bebas) untuk menjawab sesuai dengan
kehendak peneliti.
Chaiken merekrut 11o komunikator – pria dan wanita – dari kalangan mahasiswa University
of Massachusets. Mereka dilatih untuk menyampaikan pembicaraan persuasif tentang
seruan agar universitas tidak lagi melayani makan pagi dan makan siang di ruang makan
asrama. Untuk menilai daya tarik fisik, 56 penilai disuruh menilai foto 110 komunikator
dengan skala 15 butir. Terpilih 68 orang – yang paling cantik dan paling jelek. Komunikator
yang terpilih ini dibawa ke lima lokasi kampus. Mereka disuruh mendekati orang yang lewat
2016
7
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan memintanya untuk mengisi kuesioner. Bila orang itu bersedia, komunikator memberikan
uraian singkat tentang penghentian makan pagi dan siang di kamar makan asrama. Setelah
itu, komunikate diminta mengisi kuesioner yang menunjukkan pendapatnya. Komunikator
juga memintanya untuk menandatangani petisi pada universitas. Dengan tingkat signifikansi
0,05 (artinya kesalahan mungkin terjadi 5 dari 100 kali penarikan sampel), komunikator yang
cantik atau tampan ternyata lebih berhasil meyakinkan responden dan memintanya untuk
menandatangani petisi. Mereka dianggap lebih ramah, lebih fasih, dan lebih lancar
berbicara. Jadi, lain kali kalau anda mau mengumpulkan dana, menjual barang atau
gagasan, memperoleh tanda tangan untuk mencapai tujuan tertentu, gunakanlah orangorang yang cantik.
Atraksi fisik menyebabkan komunikator menarik, dan karena menarik ia memiliki daya
persuasif. Tetapi kita juga tertarik kepada seseorang karena adanya beberapa kesamaan
antara dia dengan kita. Kalau begitu, apakah komunikate akan lebih mudah menerima
pesan komunikator bila ia memandang ada banyak kesamaan di antara keduanya?
Benar, kata Everett M. Rogers, setelah meninjau banyak penelitian komunikasi. ia
membedakan antara kondisi homophily dan heterophily. Pada kondisi yang pertama,
komunikator dan komunikate merasakan ada kesamaan dalam status sosial ekonomi,
pendidikan, sikap, dan kepercayaan. Pada kondisi kedua, terdapat perbedaan status sosial
ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan antara komunikator dan komunikate.
Komunikasi akan lebih efektif pada kondisi homophily daripada kondisi heterophily.
Rogers membuktikan pengaruh faktor kesamaan ini dari penelitian-penelitian sosiologis.
Serangkaian studi psikologis yang dilakukan Stotland dan kawan-kawannya (Stotland dan
Dunn, 1962; Stotland, Zander, dan Natsoulas, 1961) memperkuat teori Rogers. Mereka
membuktikan bahwa orang mudah berempati dan merasakan perasaan orang lain yang
dipandangnya sama dengan mereka. Stotland, bersama Patchan (1961) juga menunjukkan
bahwa kesamaan antara komunikator dan komunikate memudahkan terjadinya perubahan
pendapat.
Karena itulah, komunikator yang ingin mempengaruhi orang lain sebaiknya memulai dengan
menegaskan kesamaan antara dirinya dengan komunikate. Kenneth Burke, ahli retorika,
menyebut upaya seperti ini sebagai “Strategy of identification”. Herbert W. Simons (1976)
menamainyasebagai “establishing common ground”. Kita dapat mempersamakan diri kita
dengan komunikate dengan menegaskan persamaan dalam kepercayaan, sikap, maksud,
dan nilai-nilai sehubungan dengan suatu persoalan. Simons menyebut kesamaan ini
sebagai kesamaan disposisional (dispositional similarity). Misalnya, petugas Keluarga
Berencana dapat memulai kampanyenya dengan mengaskan bahwa ia – seperti pendengar
2016
8
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
– menginginkan kesejahteraan keluarga, masa depan yang cerah, atau kesempatan
pendidikan bagi anak-anaknya. Bila ia berhadapan dengan kelompok agama, dan ia
menyatakan agamanya sama dengan agama pendengar, berasal dari lingkungan yang
sama dengan pendengar, ia menggunakan kesamaan keangotaan kelompok (membership
group similarity).
Simos menerangkan mengapa komunikator yang dipersepsi memiliki kesamaan dengan
komunikate cendenrung berkomuniaksi lebih efektif. Pertama, kesamaan mempermudah
proses penyandibalikan (decoding), yakni, proses menerjemahkan lambang-lambang yang
diterima menjadi gagasan-gagasan. Bila pendidikan saya sama dengan anda, anda dengan
mudah menangkap arti dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang saya ucapkan. Dengan
orang Islam, saya dapat berbicara tentang wajib, sunnah, mubah, haram, makruh, tanpa
harus menjelaskan istilah-istilah itu secara terinci.
Kedua, kesamaan membantu membangun premis yang sama. Premis yang sama
mempermudah proses deduktif. Ini berarti bila kesamaan disposisional relevan dengan topik
persuasi, orang akan terpengaruh oleh komunikator. Bila saya menyampaikan faham
sosialis, dan antara saya dan anda ada kesamaan perhatian terhadap kelompok kecil,
komunikasi saya dengan anda akan efektif.
Ketiga, kesamaan menyebabkan komunikate tertarik pada komunikator. Seperti sudah
berulang kali kita sebutkan, kita cenderung menyukai orang-orang yang memiliki kesamaan
disposisional dengan kita. Karena tertarik pada komunikator, kita akan cenderung menerima
gagasan-gagasannya.
Keempat, kesamaan menumbuhkan rasa hormat dan percaya pada komunikator. Alasan
keempat ini belum dibuktikan secara meyakinkan dalam berbagai penelitian. Sejauh ini,
Simons hanya dapat menyatakan ada hubungan psitif antara kesamaan dengan rasa
percaya dan hormat, tetapi hubungannya lemah. Dalam tingkat yang ekstrem kita dapat
mengatakan hubungan ini cukup kuat. Bila sikap, kepercayaan, pengetahuan, nilai-nilai,
kesukaan anda banyak yang sama dengan saya, saya kan hormat kepada anda, saya akan
percaya kepada anda. Secara psikologis, anda memberikan validitas pada konsep diri yang
saya miliki. Tidak percaya pada anda berarti tidak percaya pada diri saya sendiri.
Kekuasaan
Dalam kerangka teori Kelman, kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan.
Seperti kredibilitas dan atraksi, ketundukan timbul dari interaksi antara komunikator dan
komunikate.
Kekuasaan
menyebabkan
seorang
komunikator
dapat
“memaksakan”
kehendaknya kepada orang lain, karena ia memiliki sumber daya yang sangat penting
(critical resources). Berdasarkan sumber daya yang dimilikinya, French dan Raven
2016
9
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menyebutkan jenis-jenis kekuasaan. Klasifikasi ini kemudian dimodifikasikan Raven (1974)
dan menghasilkan lima jenis kekuasaan:
1. Kekuasaan Koersif (coesive power). Kekuasaan koersif menunjukkan kemampuan
komunikator untuk mendatangkan ganjaran atau memberikan hukuman pada
komunikate. Ganjaran dan hukuman itu dapat bersifat personal (misalnya benci dan
kasih sayang) atau impersonal (kenaikan pangkat atau pemecatan). Ketika seorang
ibu mengatakan kepada anaknya, “ayo mandi; bila tidak mau, aku tidak
membawamu ke rumah Nenek,” ia menggunakan kekuasaan koersif. Begitu pula
dosen yang berkata, “Serahkan tugas Saudara sebelum tanggal 15 bulan ini. Lebih
lambat dari tanggal itu, saya nyatakan saudara tidak lulus.”
2. Kekuasaan Keahlian (expert power). Kekuasaan ini berasal dari pengetahuan,
pengalaman, keterampilan, atau kemampuan yang dimiliki komunikator. Dosen
memiliki kekuasaan keahlian, sehingga ia dapat menyuruh mahasiswanya
menafsirkan suatu teori sesuai dengan pendapatnya.
3. Kekuasaan Informasional (informational power). Kekuasaan ini berasal dari isi
komunikasi tertentu atau pengetahuan baru yang dimiliki oleh komunkator. Ahli
komputer memliki kekuasaan informasional ketika menyarankan kepada seorang
pemimpin perusahaan untuk membeli komputer jenis tertentu.
4. Kekuasaan Rujukan (referent power). Di sini komunikate menjadikan komunikator
sebagai kerangka rujukan untuk menilai dirinya. Komunikator dikatakan memiliki
kekuasaan rujukan bila ia berhasil menanamkan kekaguman pada komunikate,s
ehingga seluruh perilakunya diteladani. Seorang Nabi – dengan perilakunya yang
menakjubkan – dapat menyebabkan pengikut-pengikutnya meniru tingkah lakunya.
5. Kekuasaan Legal (Legitimate power). Kekuasaan ini berasal dari seperangkat
peraturan atau norma yang menyebabkan komunikator berwenang untuk emlakukan
suatu tindakan. Rektor di Universitas, kepala seksi di kantor, komandan kompi di
kalangan tentara, atai kiai di pesantren memiliki kekuasaan legal.
Penelitian psikologis tentang penggunaan kekuasaan menunjukkan bahwaorang memilih
jenis kekuasaan yang dimilikinya tidak secara rasional. Orang menggunakan kekuasaan
koersif sering hanya karena ingin memenuhi kepuasan diri atau menunjang harga diri.
Berikut ini disampaikan berbagai hasil penelitian yang berkeanaan dengan penggunaan
kekuasaan dalam mempengaruhi perialku orang lain:
1) Komunikate akan lebih baik diyakinkan untuk emlakukan perilaku yang tidak disukai
dengan dijanjikan ganjaran daripada diancam dengan hukuman. Ancaman yang kuat
bahkan dapat menimbulkan efek bumerang – alih-alih tunduk malah melawan
(Heilman dan Garner, 1975)
2016
10
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2) Efektivitas ancaman dapat ditingkatkan bila komunikator memberikan alternatif
perilaku ketundukan, sehingga komunikate masih dapat melakukan pilihan walaupun
terbatas (Heilman dan Garner, 1975)
3) Kekuasaan informasional sering kali digunakan bila komunikator memandang
prestasi komunikate yang kurang baik disebabkan oleh kurangnya motivasi (Kipnis,
1974).
4) Bila atasan melihat bahwa prestasi jelek bawahannya disebabkan kekurangan
kemampuannya, ia akan menggunakan kekuasaan keahlian (Kipnis, 1974)
5) Kekuasaan koersif umumnya digunakan bila pemimpin (komunikator) menganggap
komunikate tidak melakukan anjuran dengan baik karena ia bersikap negatif atau
mempunyai kecenderungan melawan pemimpin (Goodstadt dan Hjelle, 1973)
6) Kekuasaan koersif juga sering digunakan oleh komunikator yang kurang percaya
pada diri sendiri, yang merasa tidak berdaya (good-stadt dan Hjelle, 1973), atau oleh
orang-orang yang merasa tertekan, tertindas, dan teraniaya (Raven, 1974).
Tetapi apapun jenis kekuasaan yang dipergunakan, ketundukan adalah pengaruh yang
paling lemah dibandingkan dengan identifikasi dan internalisasi. Dengan begitu, kekuasaan
sepatutnya digunakan setelah kredibilitas dan atraksi komunikator. Lagipula, komuniaksi
mungkin masih belum efektif, bila komunikator tidak memperhatikan pesan yang
disampaikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Rakhmat, Jalaludin. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Benson, C Negel. (2005). Mengenal Psikologi For Beginners.Bandung: Mizan.
2016
11
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Muhammad Didi Ahmadi, S.Pd.,M.IKom.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download