BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Hemodialisis 1. Definisi Hemodialisa Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Rendi & Margareth, 2012). Hemodialisis adalah proses dimana darah penderita dialirkan untuk dilakukan pemisahan (penyaringan) sisa-sisa metabolisme melalui selaput permeabel dalam ginjal buatan dengan bantuan mesin hemodialisis. Darah yang sudah bersih dipompakan kembali kedalam tubuh Selama tindakan dialisis darah pasien berada pada suatu sisi membran didalam kompartemen darah. Dialisat pada sisi yang lain, yaitu pada kompatemen dialisat. Dialisat dan darah tidak akan bercampur kecuali membran bocor atau rusak (Kristiana, 2011). Hemodialisa adalah salah satu bentuk terapi pengganti ginjal daimana darah dilewatkan ke ginjal buatan melalui selang khusus dan diatur oleh mesin khusus dan didalam ginjal buatan tersebut terjadi proses pemisahan zat sisa dan penarikan cairan berlebih melalui mekanisme difusi dan konveksi (Smeltzer, 2001). 2. Indikasi Hemodialisa Menurut Daurgirdas (2007) dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis 6 7 dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini: a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis b. Gejala uremia meliputi; lethargI, anoreksia, nausea, mual dan muntah. c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot. d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan. e. Komplikasi metabolik yang refrakter. Adapun indikasi khusus pasien yang akan menjalani terapi hemodialisa adalah sebagai berikut : a. Terdapat komplikasi akut (oedema paru, hiperkalemia, asidosis metabolik). b. ,Pada pasien nefropati diabetik dapat dilakukan lebih awal. c. ,Hemodialisis dapat mengeluarkan zat-zat toksin dari darah. Pada keadaan keracunan obat atau zat toksin yang tidak terikat albumin darah maka dialisis dapat dilakukan dengan tujuan mengeluarkan zat toksin tersebut secara cepat. 3. Mekanisme Hemodialisa Menurut Niken (2009) terdapat dua mekanisme dalam hemodialisis yaitu difusi dan konveksi. Kedua mekanisme ini terjadi di dalam dializer (ginjal buatan) yang diatur dan dimonitor oleh mesin hemodialisis melalui proses dialisis dan ultra filtrasi. Hal tersebut akan dijelaskan dibawah ini : 1) Dialisis Dialisis adalah proses transpor zat terlarut melalui mekanisme difusi. Difusi adalah proses transpor spontan dan pasif dari zat terlarut (solut) dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat (dan sebaliknya, misalnya backdifussion) melalui membran dializer. Kecepatan transport difusi tergantung dari beberapa faktor : a. Koefisien difusi zat terlarut dalam darah, dialisat dan membran. b. Luas permukaan membran. c. Perbedaan konsentrasi zat terlarut yang melewati membran. 8 2) Ultra Filtrasi Ultra filtrasi adalah proses perpindahan zat dengan mekanisme konveksi. Dalam hemodialisis dikenal sebagai proses penarikan cairan dari darah pasien. Konveksi adalah proses transport simultan pelarut (solvent) dan zat terlarut (solute) dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat (dan sebaliknya yaitu backfiltration) melalui membran dializer. Kecepatan transport konveksi tergantung dari beberapa faktor : a. Permeabilitas hidrolik. b. Sieving coefficient dari zat terlarut (solute) dan luas permukaan membran. c. Konsentrasi zat terlarut (solute) dalam darah dan perbedaan tekanan (pressure gradient) di antara membran. Untuk melakukan ultra filtrasi, pasien hemodialisis dilakukan penimbangan berat badan sebelum dilakukan cuci darah rutin. Berat badan yang didapat dikurangi berat badan kering. Selisih yang didapatkan ditambah perkiraan normal salin yang masuk (sekitar 200 cc) dan makan minum selama dialisis. Berat badan kering adalah berat badan yang dirasakan secara subjektif enak oleh pasien. Data objektif berat badan kering adalah tidak adanya overhidrasi seperti oedema, peningkatan vena jugularis, ronchi dan pada saat dilakukan penarikan cairan (ultra filtrasi) tidak terjadi hipotensi, kram, muntah. 4. Peralatan Hemodialisis Menurut Niken (2009) tindakan hemodialisis memerlukan peralatan khusus, peralatan ini terdiri dari: 1) Mesin hemodialisis adalah mesin khusus yang dirancang untuk hemodialisis. Mesin ini mengatur dialisat dengan sistem proporsional, memantau tekanan dan konduktivitas dialisat dan darah, mengatur suhu, kecepatan aliran darah dan dialisat. Terdapat beberapa sensor untuk mendeteksi dan pencegahan 9 resiko komplikasi, pompa darah untuk mengalirkan darah dan syringe pump untuk pemberian antikoagulan. 2) Dializer disebut juga dengan ginjal buatan atau hollow fiber adalah tabung yang berisi serabut berongga yang merupakan kompartemen darah dan dialisat yang dipisahkan oleh membran. Di dalam dializer inilah terjadi mekanisme difusi dan konveksi. 3) Blood line adalah selang-selang untuk hemodialisis yang berfungsi untuk mengalirkan darah ke dializer dan dari dializer. Terdiri dari dua untai yaitu arterial line yang mengalirkan darah ke dializer dan venous line yang mengalirka darah dari ginjal buatan ke tubuh. 4) Fistula needle adalah jarum yang ditusukkan pada akses vaskular untuk mengalirkan darah ke ginjal buatan melalui line blood. Terdapat dua buah jarum yaitu jarum inlet dan outlet. 5. Akses Vaskular Hemodialisis Dialisis memerlukan darah pasien agar dapat terekspos dengan dialisat melewati membran semi permeabel. Hal ini dicapai dengan mensirkulasikan darah keluar tubuh pasien ke dializer. Hemodialisa membutuhkan aliran darah yang tinggi antara 250-450 ml/menit. Aliran sebesar itu tidak dapat dicapai dengan vena perifer. Sehingga dialisis membutuhkan akses venous sentral untuk menyediakan kebutuhan aliran darah tersebut. Bila dialisis dilakukan jangka panjang maka dibutuhkan akses permanen yang ideal (fistula, graft atau permacath) dan kanulasi akses temporer menggunakan vena besar (femoral, subklavia atau jugular internal) paling sering digunakan (Niken, 2009). 6. Prosedur Pelaksanaan Hemodialisa Pasien yang mengalami gagal ginjal kronik (GGK) kemudian berkembang menjadi gagal ginjal terminal membutuhkan dialisa secara rutin. Keputusan untuk memulai dialisis pada pasien dengan gagal ginjal terminal harus dibuat berdasarkan evaluasi gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Hal 10 tersebut adalah pengkajian yang sangat individual, namun demikian pasien juga tidak boleh dibiarkan sampai mengalami komplikasi yang serius (Niken, 2009). Berikut prosedur pelaksanaan terapi homodialisa : 1. Pre planning Di Indonesia hal ini tidak begitu mudah dilakukan mengingat seringnya pasien datang kerumah sakit sudah dalam keadaan yang mengharuskan untuk dilakukan dialisis segera, namun hal tersebut dilakukan bila meliputi: a. Edukasi sehubungan dengan fungsi ginjal, implikasi dari gagal ginjal dan pilihan tindakan. b. Perkiraan tingkat fungsi ginjal dan kecepatan penurunan fungsinya. Hal ini memberikan pasien waktu untuk menyiapkan diri terhadap tindakan dialisis. c. Diskusi tentang pilihan tindakan yang akan dilakukan harus dilakukan seawal mungkin. d. Akses untuk hemodialisa sebaiknya dibuat 6-12 bulan sebelum kemungkinan dilakukan dialisis. 2. Pilihan tindakan Idealnya pilihan tindakan dipilih oleh pasien setelah mendapatkan pendidikan kesehatan dan diskusi dengan dokter atau perawat yang relevan. Pertimbangan meliputi : a. Faktor pasien: pilihan pasien, gaya hidup, kemandirian pasien, kemampuan untuk melakukan perwaan diri, support keluarga. b. Pertimbangan medis: penyebab gagal ginjal, status krdiovaskuler, umur, kualitas hidup, kepatuhan. c. Ketersediaan dana: faktor finansial dapat mempengaruhi pada pilihan tindakan. 11 3. Memulai dialisis pada pasien baru Beberapa pertimbangan diperlukan pada pasien yang akan dilakukam tindakan dialisis pertama kali. a. Kaji status hidrasi pasien untuk memulai proses menentukan berat badan ideal pasien b. Menentukan resep dialisis pasien setelah dialisis pertama, meliputi: 1. Waktu 2. Dializer 3. Cairan yang ingin dikeluarkan nol sampai minimal kecuali pasien sangat kelebihan cairan 4. Kecepatan aliran darah, umumnya untuk dialisis pertama 150-180 ml/menit (tergantung unit masing-masing) 5. Dialisat kalium, kalsium, sodium, harus dipertimbangkan, review hasil pemeriksaan darah dan diulang pada awal dialisis c. Menentukan resep antikoagulasi yang sesuai untuk pasien d. Kaji patensi akses vaskuler, arah aliran dan tanda-tanda infeksi. Bila fistulanya baru, lihat apakah sudah boleh digunakan, lakukan pemeriksaan darah sesuai dengan protap masing-masing unit termasuk pemeriksaan darah pre dan post dialisis e. Berikan pasien rasa nyaman dan penjelasan f. Observasi pasien terhadap gejala-gejala atau komplikasi. Beritahu pasien untuk memanggil perawat bila pasien mempunyai tanda-tanda penurunan tekanan darah dan beritahukan pasien tanda-tanda yang harus diperhatikan g. Mulailah melakukan edukasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan dialisis. Disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk dapat menerimanya. 4. Prosedur pada pasien baru Prosedur pada pasien baru di desain untuk memulai tindakan dialisis pada pasien dengan gejala yang minimal dan secara bertahap ditingkatkan, seiring 12 dengan pasien beradaptasi baik secara fisik maupun secara fisiologi. Beberapa unit menggunakan clinical pathway untuk pasien baru sehingga mempunyai panduan yang sama. Penekananya adalah pengkajian setiap hari dan review dari kebutuhan individu pasien. Tujuannya adalah : a. Mencegah dialisis disequilibrium syndrome b. Menghindari atau meminimalisir gejala c. Memulai pengkajian dasar d. Memulai edukasi e. Menyesuaikan resep pada tiap dialisis untuk dapat menemukan kebutuhan pasien yang spesifik sampai resep yang sesuai telah didapat. Prosedur pasien baru adalah panduan umum untuk dialisis untuk pasien baru dan menentukan waktu dan kecepatan aliran darah, perubahan yang harus dibuat pada minggu pertama dan juga sebgai dokumentasi pasien. Hal ini memungkinkan setiap staf dialisis untuk mengevaluasi tentang kondisi pasien sampai resep yang sesuai ditentukan (Niken, 2009). 5. Prosedur pelaksanaan tindakan a. Persiapan Alat-alat 1. 1 buah bak instrumen besar, yang terdiri dari : a) 3 buah mangkok kecil (1 untuk tempat NaCL, 1 untuk tempat Betadine, 1 untuk Alkohol 20%) b) Arteri klem 2. 1 spuit 20 cc 3. 1 spuit 10 cc 4. 1 spuit 1 cc 5. Kassa secukupnya 6. Sarung tangan 7. Lidocain 0,5 cc (bila perlu) 8. Plester 9. Masker 10. 2 buah AV Fistula 13 11. Perlak untuk alas tangan b. Persiapan Pasien 1. Timbang berat badan 2. Observasi tanda-tanda vital dan anamnesis 3. Raba desiran pada cimino apakah lancar 4. Tentukan daerah tusukan untuk keluarnya darah dari tubuh ke mesin 5. Tentukan pembuluh darah vena lain untuk masuknya darah dari mesin ke tubuh pasien 6. Beritahu pasien bahwa tindakan akan dimulai 7. Letakkan perlak di bawah tangan pasien 8. Dekatkan alat-alat yang akan digunakan c. Persiapan Perawat 1. Perawat mencuci tangan 2. Perawat memakai masker 3. Buka bak instrumen steril 4. Mengisi masing-masing mangkok steril dengan: Alcohol, NaCl 0,9%, dan Betadine 5. Buka spuit 20 cc dan 10 cc, taruh di bak instrumen 6. Perawat memakai sarung tangan 7. Ambil spuit 1 cc, hisap lidocain 1% untuk anestesi lokal (bila digunakan) 8. Ambil spuit 10 cc diisi NaCl dan Heparin 1500u untuk mengisi AV Fistula d. Memulai Desinfektan 1. Jepit kassa betadine dengan arteri klem, oleskan betadine pada daerah cimino dan vena lain dengan cara memutar dari arah dalam ke luar, lalu masukkan kassa bekas ke kantong plastik 2. Jepit kassa Alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah Cimino dan vena lain dengan cara seperti no.1 14 3. Lakukan sampai bersih dan dikeringkan dengan kassa steril kering, masukkan kassa bekas ke kantong plastik dan arteri klem diletakkan di gelas ukur 4. Pasang duk belah di bawah tangan pasien, dan separuh duk ditutupkan di tangan e. Memulai Punksi Cimino 1. Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat yang akan dipunksi) dengan spuit insulin 1 cc yang diisi dengan lidocain. 2. Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 – 10 cm dari anastomose 3. Tusuk secara intrakutan dengan diameter 0,5 cm 4. Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain 5. Bekas tusukan dipijat dengan kassa steril f. Memasukkan Jarum AV Fistula 1. Masukkan jarum AV Fistula (Outlet) pada tusukan yang telah dibuat pada saat pemberian anestesi lokal 2. Setelah darah keluar aspirasi dengan spuit 10 cc dan dorong dengan NaCl 0,9% yang berisi heparin, AV Fistula diklem, spuit dilepaskan, dan ujung AV Fistula ditutup, tempat tusukan difiksasi dengan plester dan pada atas sayap fistula diberi kassa steril dan diplester 3. Masukkan jarum AV Fistula (inlet) pada vena lain, jarak penusukan inlet dan outlet usahakan lebih dari 3 cm 4. Jalankan blood pump perlahan-lahan sampai 20 ml/mnt kemudian pasang sensor monitor 5. Program mesin hemodialisis sesuai kebutuhan pasien 6. Bila aliran kuran dari 100 ml/mnt karena ada penyulit, lakukan penusukan pada daerah femoral 7. Alat kotor masukkan ke dalam plastik, sedangkan alat-alat yang dapat dipakai kembali di bawa ke ruang disposal 8. Pensukan selesai, perawat mencuci tangan 9. Dokumentasi 15 7. Mengkaji Adekuasi Dialisis Saat pasien telah dilakukan dialisis pertama dan dilanjutkan dengan dialisis rutin maka penting untuk melakukan pengkajian untuk menentukan apakah pasien telah mendapatkan dialisis yang adekuat (Niken, 2009). Pengkajian dialisis tersebut meliputi: 1. Gejala pasien Gejala-gejala pasien yang mungkin berhubungan dengan uremia. Adanya uropati perifer, perikarditis, munculnya penyakit tulang, letargi, anemia yang memburuk, anoreksia. Harus dilihat sebagai indikasi kemungkinan dari dialisis yang tidak adekuat. 2. Hasil pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah masing-masing unit mungkin mempunyai aturan yang berbeda, namun aumumnya kretinin dan urea seharusnya berkurang antara 65-75% post dialisis. Sementara hasil pre dialisis harus setabil, hemoglobin juga harus setabil. Elektrolit lain juga harus di review meliputi: kalium, kalsium, natrium, magnesium untuk menentukan penggunakaan dialisat. Bikarbonat dan albumin juga harus dievaluasi. 3. Berat badan ideal dan manajemen cairan Berat badan ideal dan manajemen cairan bila dialisis pasien adekuat, maka pasien harus dapat mencapai berat badan ideal tanpa gejala-gejala, tidak ada tanda-tanda udema dan pertambahan berat badannya masih rasionl. Berat badan ideal adalah berat badan kering dimana kondosi pasien normotensive, tidak mengalami kelebihan cairan (udema) atau dehidrasi. Berat badan ideal ini adalah berat badan yang harus dicapai pasien diakhir dialisis. Berat badan dibawah berat badan ideal akan muncul gejala dehidrasi atau depresi volume, misalnya hipotensi, keram, hipotensi postural atau pusing. Berat badan diatas berat badan ideal akan muncul tanda dan gejala kelebihan cairan misalnya hipertensi, udema, sesak napas. Tanda-tanda ini harusnya tidak muncul bila berat badan pasien hanya naik 1-2 kg diatas berat badan ideal. 16 Dengan berat badan ideal bila pasien mengalami akumulasi cairan 1-2 Kg selama periode intradialitik, pasien tidak akan mengalami kelebihan cairan. Pengkajian berat badan ideal menilai berat badan ideal memerlukan pengkajian yang terus menerus yang harus di lakukan setiap kali tindakan dialisis oleh perawat yang merawatnya. Bila dari hasil pengkajian nampak kemungkinan adanya perubahan berat badan ideal hal ini harus diskusikan dengan ketua tim dan mungkin juga membutuhkan evaluasi medis sebelum mengubah berat badan ideal pasien, dan hal ini tergantung pada masingmasing protokol unit. 4. Kinetik modeling Kinetik modeling meliputi penggunaan formula untuk mengkalkulasi KT/V (dosis dialisis) mengunakan hasil pemeriksaan ureum pre dan post dialisis. Bila menggunakan formula ini faktor lain juga harus di perhitungkan yaitu protein katabolic rate dan residual renal function. KT/V > 1.3 berhubungan dengan survival yang lebih baik. 5. Urea reduction ratio Urea reduction ratio (URR) formula ini adalah cara untuk melihat reduksi urea pada tiap dialisis dan mudah d hitung. URR 65-70% cukup ideal dan bila di hubungkan dengan KT/V akan mendekati 1.3 namun faktor lain juga harus di hitung seperti status nutrisi dan kualitas hidup. 8. Komplikasi Hemodialisa Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisis yang sering terjadi adalah: hipotensi, keram otot, mual atau muntah, sakit kepala, gatal-gatal, demam, menggigil, dan kejang. Untuk itu, penting adanya pendidikan kesehatan pada pasien yang menjalankan terapi hemodialisa. Pendidikan ini terkait dengan pembatasan asupan cairan dan diet serta mengenai komplikasi yang terjadi pada terapi hemodialisa. Hal ini bertujuan agar pasien dapat mengetahui hal-hal yang terjadi pada pasien (Smeltzer, 2001). 17 9. Jumlah Penarikan Cairan Tubuh Jumlah cairan merupakan istilah lain dari status volume darah. Untuk menjaga agar cairan tubuh tetap relatif konstan dalam komposisinya tetap setabil merupakan hal yang penting. Dalam sistem pengaturan volume cairan tubuh perlu adanya pengaturan volume cairan tubuh, cairan ekstraseluler, pengaturan keseimbangan asam basa, dan kontrol pertukaran antara kompartemen cairan ekstraseluler dan intraseluler (Syaifuddin, 2009). Volume darah selama hemodialisis dipertahankan tergantung pada cepatnya pengisian ulang kompartemen darah dari jaringan sekitar. Cairan yang dipindahkan dari ruangan vaskuler saat hemodialisis digantikan oleh cairan dari ruang ekstravaskuler. Pada saat berat badan yang sehrusnya dicapai lebih rendah atau dibawah berat badan kering, maka rata-rata kompartemen darah yang terisi dari jaringan sekitanya berkurang yang mengakibatkan penurunan pengisian jantug sehingga mengakibatkan hipotesi (Saryono, 2006). Dalam tubuh yang sehat, 60% dari berat badan terdiri atas air yang terdapat dalam dua komponent yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Ekstraseluler dibagi menjadi dua yaitu intertisial (diantara sel) dan intravaskuler (dalam pembuluh darah). Dari sejumlah cairan dalam tubuh tersebut, 2/3 cairan berada dalam intraseluler dan 1/3 cairan berada dalam ekstraseluler (intertisial 65%, intravaskuler 35%) (Syaifuddin, 2009). Untuk pasien hemodialisa harus dilakukan prosedur pengukuran berat badan yang konsisten. Pasien harus diukur dengan pakaian yang sama dan skala yang sama, dimana pengukuran lebih baik dilakukan pada pagi hari sebelum sarapan dan setelah berkemih. Peningkatan berat badan lebih dari 2,2 kg/hari merupakan indikasi adanya retensi cairan (Huddak, 2010). Untuk menilai berat badan kering seorang pasien dengan terapi hemodialisa dapat dihitung dengan cara tinggi badan dikurang dengan seratus, kemudian 18 dikali dengan sembilan puluh persen, atau dikurang dengan sepuluh persen dari hasil yang diperoleh. Sebagai contoh, seorang pasien yang memiliki tinggi badan 167 cm maka berat badan idealnya berada pada 60.3 kg (Dahlia, 2011). Berat badan ideal ini akan terus dipakai sebagai indikator pasien gagal ginjal kronik yng menjalankan terapi hemodialisa. Dimana pasien akan ditimbang berat badannya pre dan post hemodialisa. Jumlah cairan yang dikeluarkan diperoleh dengan hasil selisih berat badan pre hemodialisa dan berar badan kering. Sedangkan selisih berat badan post hemodialisa dan berat badan kering merupakan indikator pembatasan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa (Syaiffudin, 2009). B. Konsep Tekanan Darah 1. Definisi Tekanan Darah Tekanan darah adalah gaya yang diberikan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding kapiler, dan diukur dalam milimeter air raksa (mmHg) (Guyton & Hall, 2000). Darah dipompa keseluruh tubuh oleh jantung dimana jantung menggunakan sistem pembuluh darah yang luas untuk memastikan darah menjangkau dari ujung kepala hingga keujung jari kaki. Darah mengalir melalui tubuh melalui pembuluh darah pada dinding pembuluh darah, dan merupakan salah satu tanda-tanda vital yang prisipel (Syaiffudin, 2009). Tekanan darah adalah gaya yang ditimbulkan oleh darah terhadap dinding pembuluh, bergantung pada volume darah yang terkandung didalam pembuluh dan compliece, atau daya regang (distensibility), dinding pembuluh yang bersangkutan (seberapa mudah dapat diregangkan), tekanan maksimum yang ditimbulkan di arteri sewaktu darah dipompa masuk kedalam arteri selama sistol, atau tekanan sistolik rata-rata adalah 120 mmHg, sedangkan tekanan minimum dalam arteri sewaktu darah mengalir keluar selama diastole atau tekanan diastolik rata-rata 80 mmHg (Syaiffuddin, 2009). 19 2. Mekanisme Tekanan Darah Menurut Agustriadi (2009) tekanan darah normal dapat terjadi karena mekanisme tubuh yang bekerja secara sinergi dan dalam keseimbangan. Apabila terjadi gangguan atas mekanisme ini, tekanan darah akan meningkat. Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri terjadi karena : 1. Jantung memompa darah lebih kuat dari biasanya, karena ada sumbatan atau hambatan aliran darah. 2. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga tidak dapat mengembang ketika jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit dan menyebabkan kenaikan tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, ketika dinding arteri telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis. 3. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriolar) mengerut untuk sementara waktu karena rangsangan saraf atau hormon di dalam darah. 4. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan peningkatan tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat. Sebaliknya, jika terjadi pengurangan aktivitas jantung dalam memompa, arteri mengalami pelebaran, sehingga cairan yang keluar dari sirkulasi tidak terhambat, dengan demikian tekanan darah pun mengalami penurunan. Pengendalian faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan di dalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis/tidak dipengaruhi kehendak), antara lain : 1. Peranan fungsi ginjal Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah; karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju 20 salah satu ginjal (stenosis arteri renal) bisa menyebabkan hipertensi. Selain itu, peradangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan kenaikan tekanan darah. Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara : a. Jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, yang akan menyebabkan pengurangan volume cairan sehingga tekanan darah kembali normal. b. Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume cairan bertambah dan tekanan darah kembali normal. c. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensin, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron. 2. Sistem saraf simpatis Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf yang dapat berguna, diantaranya adalah sebagai berikut : a. Meningkatkan tekanan darah selama respon fight or flight (reaksi fisik tubuh melawan atau lari terhadap ancaman dari luar). b. Meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung, mempersempit sebagian besar diameter arteriolar, tetapi memperlebar arteriolar di daerah tertentu (misalnya otot rangka, yang membutuhkan lebih banyak pasokan darah). c. Mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal sehingga meningkatkan volume darah dalam tubuh. d. Melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin) untuk merangsang jantung berkontraksi lebih kuat. 21 Tekanan darah merupakan faktor yang amat penting pada sistem sirkulasi. Peningkatan atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi homeostatsis di dalam tubuh. Tekanan darah selalu diperlukan untuk daya dorong mengalirnya darah di dalam arteri, arteriola, kapiler dan sistem vena, sehingga terbentuklah suatu aliran darah yang menetap. Jika sirkulasi darah menjadi tidak memadai lagi, maka terjadilah gangguan pada sistem transportasi oksigen, karbondioksida, dan hasil-hasil metabolisme lainnya (Agustriadi, 2009). Menurut Huddak (2010) Terdapat beberapa pusat yang mengawasi dan mengatur perubahan tekanan darah, yaitu : 1. Sistem syaraf yang terdiri dari pusat-pusat yang terdapat di batang otak, misalnya pusat vasomotor dan diluar susunan syaraf pusat, misalnya baroreseptor dan kemoreseptor. 2. Sistem humoral atau kimia yang dapat berlangsung lokal atau sistemik, misalnya rennin-angiotensin, vasopressin, epinefrin, norepinefrin, asetilkolin, serotonin, adenosine dan kalsium, magnesium, hidrogen, kalium, dan sebagainya. 3. Sistem hemodinamik yang lebih banyak dipengaruhi oleh volume darah, susuna kapiler, serta perubahan tekanan osmotik dan hidrostatik di bagian dalam dan di luar sistem vaskuler. 3. Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah Tekanan darah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti curah jantung, ketegangan arteri, volume, laju serta kekentalan (viskositas) darah. Tekanan darah baisanya digambarkan sebagai ratio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik. Terdapat dua macam kelainan tekanan darah, antara lain yang dikenal sebagai hipertensi atau tekanan darah tinggi dan hipotensi atau tekanan darah rendah (Smeltzer, 2002). Hipertensi telah menjadi penyakit yang menjadi perhatian di banyak Negara di dunia, karena hipertensi seringkali menjadi penyakit tidak menular nomor satu 22 di banyak Negara. Banyak faktor yang dapat memperbesar risiko atau kecenderungan seseorang menderita hipertensi, diantaranya ciri-ciri individu seperti umur, jenis kelamin, suku, faktor genetik serta faktor lingkungan yang meliputi obesitas, stres, konsumsi garam, merokok, konsumsi alkohol, dan sebagainya (Sherwood, 2001). Tekanan darah rata-rata inilah yang merupakan hasil perkalian curah jantung dengan tahanan perifer. Nilai tekanan darah tersebut dapat berubah-ubah sesuai dengan faktor yang berpengaruh padanya seperti curah jantung, isi sekuncup, denyut jantung, tahanan perifer dan sebagainya maupun pada keadaan olah raga, usia lanjut, jenis kelamin, suku bangsa, iklim, dan penyakit-penyakit jantung atau pembuluh darahnya (Huddak, 2010). Menurut Febby (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah adalah sebagai berukut : 1. Faktor keturunan Bukan hanya warna kulit, ciri fisik atau sifat yang bisa diwarisi dari orang tua kita. Ternyata, penyakit pun bisa. Jika salah satu, atau kedua orang tua Anda mengalami tekanan darah tinggi, kemungkinan Anda pun beresiko tinggi mengalaminya. 2. Usia Seiring bertambahnya usia, kita semua semakin beresiko menderita tekanan darah tinggi. Mengapa? Karena semakin kita bertambah tua, elastisitas pembuluh darah kita juga berkurang sehingga cenderung mengalami penyempitan pembuluh darah. Akibatnya, tekanan darah pun meningkat. 3. Jenis kelamin Hingga usia 45, pria lebih beresiko mengalami tekanan darah tinggi. Pada usia 45 hingga 64, baik pria maupun wanita memiliki tingkat resiko yang sama. Tetapi, justru pada usia di atas itu, wanita lebih beresiko. 23 4. Kurang gerak (Sedentary lifestyle) Biasanya, orang yang tinggal di kota besar cenderung memiliki gaya hidup kurang gerak. Bekerja di kantor, dan terus menerus duduk, ditambah lagi kurangnya olahraga, akan cenderung meningkatkan resiko penyempitan atau penyumbatan di pembuluh darah. Akibatnya adalah meningkatnya resiko darah tinggi. 5. Pola makan Kalau Anda suka makan makanan tinggi kalori, lemak, dan gula, mungkin sudah saatnya Anda menguranginya untuk mengurangi resiko terkena penyakit darah tinggi. Dan, ini juga adalah fakta umum yang diketahui hampir semua orang: kurangi makanan bergaram karena itu dapat menahan banyak cairan dalam tubuh sehingga meningkatkan tekanannya. 6. Berat badan berlebih BMI (Indeks Massa Tubuh) bisa menjadi salah satu ukuran resiko. Jika BMI Anda 25 hingga 30, atau bahkan lebih, Anda terhitung kelebihan berat badan, dan lebih beresiko mengalami tekanan darah tinggi. 7. Kebiasaan minum minuman beralkohol Mengonsumsi alkohol dapat meningkatkan kadar trigliserida dalam darah. Trigliserida adalah kolesterol yang jahat yang berpotensi menyebabkan tekanan darah meningkat. 8. Stres Stres dapat meningkatkan tekanah darah sewaktu. Hormon adrenalin akan meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung memompa darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat. Selain itu, pada saat stres biasanya pilihan makanan kita kurang baik. Kita akan cenderung melahap apa pun untuk merilekskan diri, dan itu bisa berdampak secara tidak langsung pada tekanan darah kita. 24 4. Pengukuran Tekanan Darah Perubahan tekanan arteri selama siklus jantung dapat diukur secara langsung dengan menghubungkan alat pengukur tekanan kesebuah jarum yang dimasukkan kedalam sebuah arteri. Namun, pengukuran dapat dilakukan secara lebih mudah dan nyaman serta cukup akurat. Yaitu dengan menggunakan sfigmomanometer, yaitu suatu manset yang dapat dikembungkan, dipakai secara eksternal dan dihubungkan dengan pengukur tekanan (Syaifuddin, 2009). Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. pada metode langsung, kateter arteri dimasukkan kedalam arteri, pengukuran tidak langsung dilakukan dengan sfigmomanometer dan stetoskop. Tekanan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti curah jantung, ketegangan arteri, volume, laju serta kekentalan (viskositas) darah. Tekanan darah baisanya digambarkan sebagai ratio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik (Smeltzer, 2002). Menurut Huddak (2010), bahwa tekanan darah sistolik (atas) adalah puncak yang tercapai ketika jantung berkontraksi dan memompakan darah keluar melalui arteri. Tekanan darah sistolik dicatat apabila terdengar bunyi pertama (Korotkoff I) pada alat pengukur darah. Tekanan darah diastolic (angka bawah) diambil ketika tekanan jatuh ketitik terendah saat jantung rileks dan mengisi darah kembali. Tekanan darah diastolik dicatat apabila bunyi tidak terdengar lagi. Menurut Febby (2012) berikut ini merupakan prosedur pengukuran tekanan darah : 1. Duduk dengan tenang dan rileks 2. Jelaskan manfaat rileks tersebut, yaitu agar nilai tekanan darah yang terukur adalah nilai yang stabil 3. Pasang manset pada lengan dengan ukuran yang sesuai, dengan jarak sisi manset paling bawah 2,5 cm dari siku dan rekatkan dengan baik 4. Posisikan tangan dengan posisi sama tinggi dengan letak jantung. 25 5. Bagian yang terpasang manset harus terbebas dari lapisan apapun. 6. Rabalah nadi pada lipatan lengan, tempelkan stetoskop pada perabaan denyut nadi, pompa alat hingga tekanaan sampai 200 mmHg, lepaskan pemompa perlahan-lahan dan dengarkan suara bunyi denyut nadi. 7. Catat tekanan darah sistolik yaitu nilai tekanan ketika suatu denyut nadi yang pertama terdengar dan tekanan darah diatolik ketika bunyi keteraturan denyut nadi tidak tersengar. C. Pengaruh Jumlah Penarikan Cairan Tubuh Terhadap Tekanan Darah Pada Hemodialisa Sudah lama diketahui bahwa selama hemodialisa tekanan darah akan turun dengan hilangnya sejumlah cairan, penurunan tekanan darah akan semakin besar dengan semakin besarnya cairan yang hilang dan kecepatan ultra filtrasi yang tinggi. Penurunan tekanan darah pada saat hemodialisa mencerminkan besarnya jumlah cairan yang pindah dari intravaskular ke jaringan sekitrnya. Dampak yang timbul dari proses hemodialisis adalah penurunan tekanan darah akibat penurunan cairan tubuh oleh proses ultra filtrasi melalui mekanisme konveksi. Dengan ditariknya cairan tubuh melalui darah, maka volume intravaskuler menurun (Syaifuddin, 2009). Volume darah selama hemodialisa dipertahankan tergantung pada cepatnya pengisian ulang kompartement darah dari jaringan sekitar. Penurunan volume darah menyebabkan penurunan cardiac output yang pada akhirnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Pembatasan ultrafiltrasi dapat dicapai dengan perpanjangan durasi hemodialisa. Frekuensi hemodialisa 6 x/minggu mempunyai resiko lebih kecil terjadi penurunan tekanan darah dibandingkan dengan yang 2-3 x/minggu Kadar hematokrit dapat dipakai sebagai monitor terjadinya perpindahan cairan selama hemodialisa (Pranoto, 2010). Penurunan volume darah dapat mengkibatkan penurunan tekanan darah yang dipengaruhi oleh beberapa faktor penting. Adapun faktor-faktor tersebut adalah : (a) fluktusi rata-rata ultrafiltrasi, (b) rata-rata ultrafiltrasi yang tinggi, (c) target berat 26 badan yang kering terlalu rendah, (d) kadar natrium dialisat yang rendah. Meskipun begitu, bukan hanya penurunan volume darah yang dapat mempengaruhi penurunan tekanan darah pada pasien dengan terapi hemodialisa (Syaifuddin, 2009). Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya penurunan tekanan darah merupakan komplikasi yang berbahaya pada terapi hemodialisa. Hal ini telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2003) yang berjudul “Hubungan Status Volume dan Tekanan Darah Penderita Hemodialisa Kronik di RS dr.KARIADI” meliputi 34 responden yang terdiri dari 61,8 % laki-laki, dan 38,2 % wanita, dengan p < 0,05 didapat hasil ada hubungan status volume terhadap tekanan darah. Menurut penelitian Smith (2011) yang berjudul “Symptomatic Hypotension, Venous Oximetry and Outpatient Hemodialysis” di Universitas California (2011), didapat bahwa terjadi penurunan tekanan darah setelah proses hemodialisa. Dari penelitian yang memiliki sampel 39 orang, 38 % pasien hemodialisa dapat diketahui adanya gejala hipotensi dilihat dari perubahan saturasi O2 dan 24 % dapat dilihat dari perawatan dialysis. Hasil penelitian Ommy (2009) yang berjudul Hubungan antara Perubahan Volume Darah Relatif dengan Episode Hipotensi Intradialik selama Hemodialisis pada Gagal Ginjal Kronik. Terdapat 51 sampel penelitian yang terdiri dari 28 (54,9%) laki-laki dan 23 (45,1%) perempuan. Pada penelitian didapatkan adanya perubahan volume darah relatif intradialitik yaitu penurunan volume darah relatif intradialitik antara 4,9% sampai 26,4%. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara volume darah relatif dan episode hipotensi intradialitik (Beta = 0,29; OR = 1,35; IK 95%: 1,1 Ð 1,6; p < 0,01). Hasil penilitian Susti (2012) tentang Hubungan Pengetahuan Asupan Cairan Dan Cara Pengendalian Asupan Cairan Terhadap Penambahan Berat Badan Pasien Gagal Ginjal Yang Menjalani Hemodialisa dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara asupan cairan dengan berat badan p = 0,014 <0,05 dan diperoleh 27 hubungan signifikan bagaimana mengontrol asupan cairan dengan berat badan p = 0,038 <0,05. Skema 2.1 Pengaruh Jumlah Penarikan Cairan Tubuh Terhadap Tekanan Darah Pada Hemodialisa Pasien Hemodialisa Reguler Dicatat: Identitas, umur, jenis kelamin, BB dan TB Tekanan Darah Berat Badan Kering Status Cairan Tubuh Tekanan Darah Meningkat Atau Tekanan Darah Menurun D. Kerangka Konsep Skema 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen Variabel Dependen Jumlah penarikan cairan tubuh saat menjalani hemodialisa Tekanan darah sebelum dan sesudah hemodialisa Variabel Confounding 1. 2. 3. Usia Jenis kelamin Frekuensi hemodialisa 28 Keterangan : = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti E. Hipotesis Penelitian Ha : Ada pengaruh jumlah penarikan cairan tubuh terhadap perubahan tekanan darah pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa di instalasi hemodialisis RSUD dr.Pirngadi Medan.