BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Hemodialisis
1. Definisi Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal
untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran
darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat,
dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan
cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra
filtrasi (Rendi & Margareth, 2012).
Hemodialisis adalah proses dimana darah penderita dialirkan untuk dilakukan
pemisahan (penyaringan) sisa-sisa metabolisme melalui selaput permeabel
dalam ginjal buatan dengan bantuan mesin hemodialisis. Darah yang sudah
bersih dipompakan kembali kedalam tubuh Selama tindakan dialisis darah
pasien berada pada suatu sisi membran didalam kompartemen darah. Dialisat
pada sisi yang lain, yaitu pada kompatemen dialisat. Dialisat dan darah tidak
akan bercampur kecuali membran bocor atau rusak (Kristiana, 2011).
Hemodialisa adalah salah satu bentuk terapi pengganti ginjal daimana darah
dilewatkan ke ginjal buatan melalui selang khusus dan diatur oleh mesin khusus
dan didalam ginjal buatan tersebut terjadi proses pemisahan zat sisa dan
penarikan cairan berlebih melalui mekanisme difusi dan konveksi (Smeltzer,
2001).
2. Indikasi Hemodialisa
Menurut Daurgirdas (2007) dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan
pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis
6
7
dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah
ini:
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargI, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
Adapun indikasi khusus pasien yang akan menjalani terapi hemodialisa adalah
sebagai berikut :
a. Terdapat komplikasi akut (oedema paru, hiperkalemia, asidosis metabolik).
b. ,Pada pasien nefropati diabetik dapat dilakukan lebih awal.
c. ,Hemodialisis dapat mengeluarkan zat-zat toksin dari darah. Pada keadaan
keracunan obat atau zat toksin yang tidak terikat albumin darah maka dialisis
dapat dilakukan dengan tujuan mengeluarkan zat toksin tersebut secara
cepat.
3. Mekanisme Hemodialisa
Menurut Niken (2009) terdapat dua mekanisme dalam hemodialisis yaitu difusi
dan konveksi. Kedua mekanisme ini terjadi di dalam dializer (ginjal buatan)
yang diatur dan dimonitor oleh mesin hemodialisis melalui proses dialisis dan
ultra filtrasi. Hal tersebut akan dijelaskan dibawah ini :
1) Dialisis
Dialisis adalah proses transpor zat terlarut melalui mekanisme difusi. Difusi
adalah proses transpor spontan dan pasif dari zat terlarut (solut) dari
kompartemen darah ke kompartemen dialisat (dan sebaliknya, misalnya
backdifussion) melalui membran dializer.
Kecepatan transport difusi tergantung dari beberapa faktor :
a.
Koefisien difusi zat terlarut dalam darah, dialisat dan membran.
b.
Luas permukaan membran.
c.
Perbedaan konsentrasi zat terlarut yang melewati membran.
8
2) Ultra Filtrasi
Ultra filtrasi adalah proses perpindahan zat dengan mekanisme konveksi.
Dalam hemodialisis dikenal sebagai proses penarikan cairan dari darah
pasien. Konveksi adalah proses transport simultan pelarut (solvent) dan zat
terlarut (solute) dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat (dan
sebaliknya yaitu backfiltration) melalui membran dializer.
Kecepatan transport konveksi tergantung dari beberapa faktor :
a.
Permeabilitas hidrolik.
b.
Sieving coefficient dari zat terlarut (solute) dan luas permukaan
membran.
c.
Konsentrasi zat terlarut (solute) dalam darah dan perbedaan tekanan
(pressure gradient) di antara membran.
Untuk melakukan ultra filtrasi, pasien hemodialisis dilakukan penimbangan
berat badan sebelum dilakukan cuci darah rutin. Berat badan yang didapat
dikurangi berat badan kering. Selisih yang didapatkan ditambah perkiraan
normal salin yang masuk (sekitar 200 cc) dan makan minum selama dialisis.
Berat badan kering adalah berat badan yang dirasakan secara subjektif enak
oleh pasien.
Data objektif berat badan kering adalah tidak adanya
overhidrasi seperti oedema, peningkatan vena jugularis, ronchi dan pada saat
dilakukan penarikan cairan (ultra filtrasi) tidak terjadi hipotensi, kram,
muntah.
4. Peralatan Hemodialisis
Menurut Niken (2009) tindakan hemodialisis memerlukan peralatan khusus,
peralatan ini terdiri dari:
1) Mesin hemodialisis adalah mesin khusus yang dirancang untuk hemodialisis.
Mesin ini mengatur dialisat dengan sistem proporsional, memantau tekanan
dan konduktivitas dialisat dan darah, mengatur suhu, kecepatan aliran darah
dan dialisat. Terdapat beberapa sensor untuk mendeteksi dan pencegahan
9
resiko komplikasi, pompa darah untuk mengalirkan darah dan syringe pump
untuk pemberian antikoagulan.
2) Dializer disebut juga dengan ginjal buatan atau hollow fiber adalah tabung
yang berisi serabut berongga yang merupakan kompartemen darah dan
dialisat yang dipisahkan oleh membran. Di dalam dializer inilah terjadi
mekanisme difusi dan konveksi.
3) Blood line adalah selang-selang untuk hemodialisis yang berfungsi untuk
mengalirkan darah ke dializer dan dari dializer. Terdiri dari dua untai yaitu
arterial line yang mengalirkan darah ke dializer dan venous line yang
mengalirka darah dari ginjal buatan ke tubuh.
4) Fistula needle adalah jarum yang ditusukkan pada akses vaskular untuk
mengalirkan darah ke ginjal buatan melalui line blood. Terdapat dua buah
jarum yaitu jarum inlet dan outlet.
5. Akses Vaskular Hemodialisis
Dialisis memerlukan darah pasien agar dapat terekspos dengan dialisat melewati
membran semi permeabel. Hal ini dicapai dengan mensirkulasikan darah keluar
tubuh pasien ke dializer. Hemodialisa membutuhkan aliran darah yang tinggi
antara 250-450 ml/menit. Aliran sebesar itu tidak dapat dicapai dengan vena
perifer.
Sehingga
dialisis
membutuhkan
akses
venous
sentral
untuk
menyediakan kebutuhan aliran darah tersebut. Bila dialisis dilakukan jangka
panjang maka dibutuhkan akses permanen yang ideal (fistula, graft atau
permacath) dan kanulasi akses temporer menggunakan vena besar (femoral,
subklavia atau jugular internal) paling sering digunakan (Niken, 2009).
6. Prosedur Pelaksanaan Hemodialisa
Pasien yang mengalami gagal ginjal kronik (GGK) kemudian berkembang
menjadi gagal ginjal terminal membutuhkan dialisa secara rutin. Keputusan
untuk memulai dialisis pada pasien dengan gagal ginjal terminal harus dibuat
berdasarkan evaluasi gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Hal
10
tersebut adalah pengkajian yang sangat individual, namun demikian pasien juga
tidak boleh dibiarkan sampai mengalami komplikasi yang serius (Niken, 2009).
Berikut prosedur pelaksanaan terapi homodialisa :
1. Pre planning
Di Indonesia hal ini tidak begitu mudah dilakukan mengingat seringnya
pasien datang kerumah sakit sudah dalam keadaan yang mengharuskan
untuk dilakukan dialisis segera, namun hal tersebut dilakukan bila meliputi:
a.
Edukasi sehubungan dengan fungsi ginjal, implikasi dari gagal ginjal
dan pilihan tindakan.
b.
Perkiraan tingkat fungsi ginjal dan kecepatan penurunan fungsinya. Hal
ini memberikan pasien waktu untuk menyiapkan diri terhadap tindakan
dialisis.
c.
Diskusi tentang pilihan tindakan yang akan dilakukan harus dilakukan
seawal mungkin.
d.
Akses untuk hemodialisa sebaiknya dibuat 6-12 bulan sebelum
kemungkinan dilakukan dialisis.
2. Pilihan tindakan
Idealnya pilihan tindakan dipilih oleh pasien setelah mendapatkan
pendidikan kesehatan dan diskusi dengan dokter atau perawat yang relevan.
Pertimbangan meliputi :
a. Faktor pasien: pilihan pasien, gaya hidup, kemandirian pasien, kemampuan
untuk melakukan perwaan diri, support keluarga.
b. Pertimbangan medis: penyebab gagal ginjal, status krdiovaskuler, umur,
kualitas hidup, kepatuhan.
c. Ketersediaan dana: faktor finansial dapat mempengaruhi pada pilihan
tindakan.
11
3. Memulai dialisis pada pasien baru
Beberapa pertimbangan diperlukan pada pasien yang akan dilakukam tindakan
dialisis pertama kali.
a. Kaji status hidrasi pasien untuk memulai proses menentukan berat badan
ideal pasien
b. Menentukan resep dialisis pasien setelah dialisis pertama, meliputi:
1. Waktu
2. Dializer
3. Cairan yang ingin dikeluarkan nol sampai minimal kecuali pasien
sangat kelebihan cairan
4. Kecepatan aliran darah, umumnya untuk dialisis pertama 150-180
ml/menit (tergantung unit masing-masing)
5. Dialisat kalium, kalsium, sodium, harus dipertimbangkan, review
hasil pemeriksaan darah dan diulang pada awal dialisis
c. Menentukan resep antikoagulasi yang sesuai untuk pasien
d. Kaji patensi akses vaskuler, arah aliran dan tanda-tanda infeksi. Bila
fistulanya baru, lihat apakah sudah boleh digunakan, lakukan
pemeriksaan darah sesuai dengan protap masing-masing unit termasuk
pemeriksaan darah pre dan post dialisis
e. Berikan pasien rasa nyaman dan penjelasan
f. Observasi pasien terhadap gejala-gejala atau komplikasi. Beritahu pasien
untuk memanggil perawat bila pasien mempunyai tanda-tanda penurunan
tekanan darah dan beritahukan pasien tanda-tanda yang harus
diperhatikan
g. Mulailah melakukan edukasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan
dialisis.
Disesuaikan
dengan
kemampuan
pasien
untuk
dapat
menerimanya.
4. Prosedur pada pasien baru
Prosedur pada pasien baru di desain untuk memulai tindakan dialisis pada
pasien dengan gejala yang minimal dan secara bertahap ditingkatkan, seiring
12
dengan pasien beradaptasi baik secara fisik maupun secara fisiologi.
Beberapa unit menggunakan clinical pathway untuk pasien baru sehingga
mempunyai panduan yang sama. Penekananya adalah pengkajian setiap hari
dan review dari kebutuhan individu pasien. Tujuannya adalah :
a. Mencegah dialisis disequilibrium syndrome
b. Menghindari atau meminimalisir gejala
c. Memulai pengkajian dasar
d. Memulai edukasi
e. Menyesuaikan resep pada tiap dialisis untuk dapat menemukan
kebutuhan pasien yang spesifik sampai resep yang sesuai telah didapat.
Prosedur pasien baru adalah panduan umum untuk dialisis untuk pasien baru
dan menentukan waktu dan kecepatan aliran darah, perubahan yang harus
dibuat pada minggu pertama dan juga sebgai dokumentasi pasien. Hal ini
memungkinkan setiap staf dialisis untuk mengevaluasi tentang kondisi
pasien sampai resep yang sesuai ditentukan (Niken, 2009).
5. Prosedur pelaksanaan tindakan
a. Persiapan Alat-alat
1. 1 buah bak instrumen besar, yang terdiri dari :
a) 3 buah mangkok kecil (1 untuk tempat NaCL, 1 untuk tempat
Betadine, 1 untuk Alkohol 20%)
b) Arteri klem
2. 1 spuit 20 cc
3. 1 spuit 10 cc
4. 1 spuit 1 cc
5. Kassa secukupnya
6. Sarung tangan
7. Lidocain 0,5 cc (bila perlu)
8. Plester
9. Masker
10. 2 buah AV Fistula
13
11. Perlak untuk alas tangan
b. Persiapan Pasien
1. Timbang berat badan
2. Observasi tanda-tanda vital dan anamnesis
3. Raba desiran pada cimino apakah lancar
4. Tentukan daerah tusukan untuk keluarnya darah dari tubuh ke mesin
5. Tentukan pembuluh darah vena lain untuk masuknya darah dari
mesin ke tubuh pasien
6. Beritahu pasien bahwa tindakan akan dimulai
7. Letakkan perlak di bawah tangan pasien
8. Dekatkan alat-alat yang akan digunakan
c. Persiapan Perawat
1. Perawat mencuci tangan
2. Perawat memakai masker
3. Buka bak instrumen steril
4. Mengisi masing-masing mangkok steril dengan: Alcohol, NaCl 0,9%,
dan Betadine
5. Buka spuit 20 cc dan 10 cc, taruh di bak instrumen
6. Perawat memakai sarung tangan
7. Ambil spuit 1 cc, hisap lidocain 1% untuk anestesi lokal (bila
digunakan)
8. Ambil spuit 10 cc diisi NaCl dan Heparin 1500u untuk mengisi AV
Fistula
d. Memulai Desinfektan
1. Jepit kassa betadine dengan arteri klem, oleskan betadine pada daerah
cimino dan vena lain dengan cara memutar dari arah dalam ke luar,
lalu masukkan kassa bekas ke kantong plastik
2. Jepit kassa Alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah Cimino dan
vena lain dengan cara seperti no.1
14
3. Lakukan sampai bersih dan dikeringkan dengan kassa steril kering,
masukkan kassa bekas ke kantong plastik dan arteri klem diletakkan
di gelas ukur
4. Pasang duk belah di bawah tangan pasien, dan separuh duk
ditutupkan di tangan
e. Memulai Punksi Cimino
1. Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat yang akan dipunksi)
dengan spuit insulin 1 cc yang diisi dengan lidocain.
2. Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 – 10 cm dari anastomose
3. Tusuk secara intrakutan dengan diameter 0,5 cm
4. Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain
5. Bekas tusukan dipijat dengan kassa steril
f. Memasukkan Jarum AV Fistula
1. Masukkan jarum AV Fistula (Outlet) pada tusukan yang telah dibuat
pada saat pemberian anestesi lokal
2. Setelah darah keluar aspirasi dengan spuit 10 cc dan dorong dengan
NaCl 0,9% yang berisi heparin, AV Fistula diklem, spuit dilepaskan,
dan ujung AV Fistula ditutup, tempat tusukan difiksasi dengan
plester dan pada atas sayap fistula diberi kassa steril dan diplester
3. Masukkan jarum AV Fistula (inlet) pada vena lain, jarak penusukan
inlet dan outlet usahakan lebih dari 3 cm
4. Jalankan blood pump perlahan-lahan sampai 20 ml/mnt kemudian
pasang sensor monitor
5. Program mesin hemodialisis sesuai kebutuhan pasien
6. Bila aliran kuran dari 100 ml/mnt karena ada penyulit, lakukan
penusukan pada daerah femoral
7. Alat kotor masukkan ke dalam plastik, sedangkan alat-alat yang
dapat dipakai kembali di bawa ke ruang disposal
8. Pensukan selesai, perawat mencuci tangan
9. Dokumentasi
15
7. Mengkaji Adekuasi Dialisis
Saat pasien telah dilakukan dialisis pertama dan dilanjutkan dengan dialisis rutin
maka penting untuk melakukan pengkajian untuk menentukan apakah pasien
telah mendapatkan dialisis yang adekuat (Niken, 2009). Pengkajian dialisis
tersebut meliputi:
1. Gejala pasien
Gejala-gejala pasien yang mungkin berhubungan dengan uremia. Adanya
uropati perifer, perikarditis, munculnya penyakit tulang, letargi, anemia yang
memburuk, anoreksia. Harus dilihat sebagai indikasi kemungkinan dari
dialisis yang tidak adekuat.
2. Hasil pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah masing-masing unit mungkin mempunyai aturan
yang berbeda, namun aumumnya kretinin dan urea seharusnya berkurang
antara 65-75% post dialisis. Sementara hasil pre dialisis harus setabil,
hemoglobin juga harus setabil. Elektrolit lain juga harus di review meliputi:
kalium, kalsium, natrium, magnesium untuk menentukan penggunakaan
dialisat. Bikarbonat dan albumin juga harus dievaluasi.
3. Berat badan ideal dan manajemen cairan
Berat badan ideal dan manajemen cairan bila dialisis pasien adekuat, maka
pasien harus dapat mencapai berat badan ideal tanpa gejala-gejala, tidak ada
tanda-tanda udema dan pertambahan berat badannya masih rasionl.
Berat badan ideal adalah berat badan kering dimana kondosi pasien
normotensive, tidak mengalami kelebihan cairan (udema) atau dehidrasi.
Berat badan ideal ini adalah berat badan yang harus dicapai pasien diakhir
dialisis. Berat badan dibawah berat badan ideal akan muncul gejala dehidrasi
atau depresi volume, misalnya hipotensi, keram, hipotensi postural atau
pusing. Berat badan diatas berat badan ideal akan muncul tanda dan gejala
kelebihan cairan misalnya hipertensi, udema, sesak napas. Tanda-tanda ini
harusnya tidak muncul bila berat badan pasien hanya naik 1-2 kg diatas berat
badan ideal.
16
Dengan berat badan ideal bila pasien mengalami akumulasi cairan 1-2 Kg
selama periode intradialitik, pasien tidak akan mengalami kelebihan cairan.
Pengkajian berat badan ideal menilai berat badan ideal memerlukan
pengkajian yang terus menerus yang harus di lakukan setiap kali tindakan
dialisis oleh perawat yang merawatnya. Bila dari hasil pengkajian nampak
kemungkinan adanya perubahan berat badan ideal hal ini harus diskusikan
dengan ketua tim dan mungkin juga membutuhkan evaluasi medis sebelum
mengubah berat badan ideal pasien, dan hal ini tergantung pada masingmasing protokol unit.
4. Kinetik modeling
Kinetik modeling meliputi penggunaan formula untuk mengkalkulasi KT/V
(dosis dialisis) mengunakan hasil pemeriksaan ureum pre dan post dialisis.
Bila menggunakan formula ini faktor lain juga harus di perhitungkan yaitu
protein katabolic rate dan residual renal function. KT/V > 1.3 berhubungan
dengan survival yang lebih baik.
5. Urea reduction ratio
Urea reduction ratio (URR) formula ini adalah cara untuk melihat reduksi
urea pada tiap dialisis dan mudah d hitung. URR 65-70% cukup ideal dan
bila di hubungkan dengan KT/V akan mendekati 1.3 namun faktor lain juga
harus di hitung seperti status nutrisi dan kualitas hidup.
8. Komplikasi Hemodialisa
Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisis yang sering terjadi adalah:
hipotensi, keram otot, mual atau muntah, sakit kepala, gatal-gatal, demam,
menggigil, dan kejang. Untuk itu, penting adanya pendidikan kesehatan pada
pasien yang menjalankan terapi hemodialisa. Pendidikan ini terkait dengan
pembatasan asupan cairan dan diet serta mengenai komplikasi yang terjadi pada
terapi hemodialisa. Hal ini bertujuan agar pasien dapat mengetahui hal-hal yang
terjadi pada pasien (Smeltzer, 2001).
17
9. Jumlah Penarikan Cairan Tubuh
Jumlah cairan merupakan istilah lain dari status volume darah. Untuk menjaga
agar cairan tubuh tetap relatif konstan dalam komposisinya tetap setabil
merupakan hal yang penting. Dalam sistem pengaturan volume cairan tubuh
perlu adanya pengaturan volume cairan tubuh, cairan ekstraseluler, pengaturan
keseimbangan asam basa, dan kontrol pertukaran antara kompartemen cairan
ekstraseluler dan intraseluler (Syaifuddin, 2009).
Volume darah selama hemodialisis dipertahankan tergantung pada cepatnya
pengisian ulang kompartemen darah dari jaringan sekitar. Cairan yang
dipindahkan dari ruangan vaskuler saat hemodialisis digantikan oleh cairan dari
ruang ekstravaskuler. Pada saat berat badan yang sehrusnya dicapai lebih rendah
atau dibawah berat badan kering, maka rata-rata kompartemen darah yang terisi
dari jaringan sekitanya berkurang yang mengakibatkan penurunan pengisian
jantug sehingga mengakibatkan hipotesi (Saryono, 2006).
Dalam tubuh yang sehat, 60% dari berat badan terdiri atas air yang terdapat
dalam dua komponent yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler.
Ekstraseluler dibagi menjadi dua yaitu intertisial (diantara sel) dan intravaskuler
(dalam pembuluh darah). Dari sejumlah cairan dalam tubuh tersebut, 2/3 cairan
berada dalam intraseluler dan 1/3 cairan berada dalam ekstraseluler (intertisial
65%, intravaskuler 35%) (Syaifuddin, 2009).
Untuk pasien hemodialisa harus dilakukan prosedur pengukuran berat badan
yang konsisten. Pasien harus diukur dengan pakaian yang sama dan skala yang
sama, dimana pengukuran lebih baik dilakukan pada pagi hari sebelum sarapan
dan setelah berkemih. Peningkatan berat badan lebih dari 2,2 kg/hari merupakan
indikasi adanya retensi cairan (Huddak, 2010).
Untuk menilai berat badan kering seorang pasien dengan terapi hemodialisa
dapat dihitung dengan cara tinggi badan dikurang dengan seratus, kemudian
18
dikali dengan sembilan puluh persen, atau dikurang dengan sepuluh persen dari
hasil yang diperoleh. Sebagai contoh, seorang pasien yang memiliki tinggi badan
167 cm maka berat badan idealnya berada pada 60.3 kg (Dahlia, 2011).
Berat badan ideal ini akan terus dipakai sebagai indikator pasien gagal ginjal
kronik yng menjalankan terapi hemodialisa. Dimana pasien akan ditimbang
berat badannya pre dan post hemodialisa. Jumlah cairan yang dikeluarkan
diperoleh dengan hasil selisih berat badan pre hemodialisa dan berar badan
kering. Sedangkan selisih berat badan post hemodialisa dan berat badan kering
merupakan indikator pembatasan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisa (Syaiffudin, 2009).
B. Konsep Tekanan Darah
1. Definisi Tekanan Darah
Tekanan darah adalah gaya yang diberikan oleh darah terhadap setiap satuan
luas dinding kapiler, dan diukur dalam milimeter air raksa (mmHg) (Guyton &
Hall, 2000). Darah dipompa keseluruh tubuh oleh jantung dimana jantung
menggunakan sistem pembuluh darah yang luas untuk memastikan darah
menjangkau dari ujung kepala hingga keujung jari kaki. Darah mengalir melalui
tubuh melalui pembuluh darah pada dinding pembuluh darah, dan merupakan
salah satu tanda-tanda vital yang prisipel (Syaiffudin, 2009).
Tekanan darah adalah gaya yang ditimbulkan oleh darah terhadap dinding
pembuluh, bergantung pada volume darah yang terkandung didalam pembuluh
dan compliece, atau daya regang (distensibility), dinding pembuluh yang
bersangkutan (seberapa mudah dapat diregangkan), tekanan maksimum yang
ditimbulkan di arteri sewaktu darah dipompa masuk kedalam arteri selama
sistol, atau tekanan sistolik rata-rata adalah 120 mmHg, sedangkan tekanan
minimum dalam arteri sewaktu darah mengalir keluar selama diastole atau
tekanan diastolik rata-rata 80 mmHg (Syaiffuddin, 2009).
19
2. Mekanisme Tekanan Darah
Menurut Agustriadi (2009) tekanan darah normal dapat terjadi karena
mekanisme tubuh yang bekerja secara sinergi dan dalam keseimbangan. Apabila
terjadi gangguan atas mekanisme ini, tekanan darah akan meningkat.
Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri terjadi karena :
1. Jantung memompa darah lebih kuat dari biasanya, karena ada sumbatan atau
hambatan aliran darah.
2. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga tidak
dapat mengembang ketika jantung memompa darah melalui arteri tersebut.
Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh
yang sempit dan menyebabkan kenaikan tekanan. Inilah yang terjadi pada
usia lanjut, ketika dinding arteri telah menebal dan kaku karena
arteriosklerosis.
3. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi
vasokonstriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriolar) mengerut untuk sementara
waktu karena rangsangan saraf atau hormon di dalam darah.
4. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga
tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume
darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.
Sebaliknya, jika terjadi pengurangan aktivitas jantung dalam memompa,
arteri mengalami pelebaran, sehingga cairan yang keluar dari sirkulasi tidak
terhambat, dengan demikian tekanan darah pun mengalami penurunan.
Pengendalian faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan di dalam
fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur
berbagai fungsi tubuh secara otomatis/tidak dipengaruhi kehendak), antara lain :
1. Peranan fungsi ginjal
Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah;
karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa menyebabkan
terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju
20
salah satu ginjal (stenosis arteri renal) bisa menyebabkan hipertensi. Selain
itu, peradangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa
menyebabkan kenaikan tekanan darah.
Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara :
a. Jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam
dan air, yang akan menyebabkan pengurangan volume cairan sehingga
tekanan darah kembali normal.
b. Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam
dan air, sehingga volume cairan bertambah dan tekanan darah kembali
normal.
c. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan
enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon
angiotensin,
yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon
aldosteron.
2. Sistem saraf simpatis
Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf yang dapat
berguna, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan tekanan darah selama respon fight or flight (reaksi fisik
tubuh melawan atau lari terhadap ancaman dari luar).
b. Meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung, mempersempit
sebagian besar diameter arteriolar, tetapi memperlebar arteriolar di
daerah tertentu (misalnya otot rangka, yang membutuhkan lebih banyak
pasokan darah).
c. Mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal sehingga
meningkatkan volume darah dalam tubuh.
d. Melepaskan
hormon
epinefrin
(adrenalin)
dan
norepinefrin
(noradrenalin) untuk merangsang jantung berkontraksi lebih kuat.
21
Tekanan darah merupakan faktor yang amat penting pada sistem sirkulasi.
Peningkatan atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi homeostatsis di
dalam tubuh. Tekanan darah selalu diperlukan untuk daya dorong mengalirnya
darah di dalam arteri, arteriola, kapiler dan sistem vena, sehingga terbentuklah
suatu aliran darah yang menetap. Jika sirkulasi darah menjadi tidak memadai
lagi,
maka
terjadilah
gangguan
pada
sistem
transportasi
oksigen,
karbondioksida, dan hasil-hasil metabolisme lainnya (Agustriadi, 2009).
Menurut Huddak (2010) Terdapat beberapa pusat yang mengawasi dan
mengatur perubahan tekanan darah, yaitu :
1. Sistem syaraf yang terdiri dari pusat-pusat yang terdapat di batang otak,
misalnya pusat vasomotor dan diluar susunan syaraf pusat, misalnya
baroreseptor dan kemoreseptor.
2. Sistem humoral atau kimia yang dapat berlangsung lokal atau sistemik,
misalnya
rennin-angiotensin,
vasopressin,
epinefrin,
norepinefrin,
asetilkolin, serotonin, adenosine dan kalsium, magnesium, hidrogen, kalium,
dan sebagainya.
3. Sistem hemodinamik yang lebih banyak dipengaruhi oleh volume darah,
susuna kapiler, serta perubahan tekanan osmotik dan hidrostatik di bagian
dalam dan di luar sistem vaskuler.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah
Tekanan darah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti curah jantung,
ketegangan arteri, volume, laju serta kekentalan (viskositas) darah. Tekanan
darah baisanya digambarkan sebagai ratio tekanan sistolik terhadap tekanan
diastolik. Terdapat dua macam kelainan tekanan darah, antara lain yang dikenal
sebagai hipertensi atau tekanan darah tinggi dan hipotensi atau tekanan darah
rendah (Smeltzer, 2002).
Hipertensi telah menjadi penyakit yang menjadi perhatian di banyak Negara di
dunia, karena hipertensi seringkali menjadi penyakit tidak menular nomor satu
22
di banyak Negara. Banyak faktor yang dapat memperbesar risiko atau
kecenderungan seseorang menderita hipertensi, diantaranya ciri-ciri individu
seperti umur, jenis kelamin, suku, faktor genetik serta faktor lingkungan yang
meliputi obesitas, stres, konsumsi garam, merokok, konsumsi alkohol, dan
sebagainya (Sherwood, 2001).
Tekanan darah rata-rata inilah yang merupakan hasil perkalian curah jantung
dengan tahanan perifer. Nilai tekanan darah tersebut dapat berubah-ubah sesuai
dengan faktor yang berpengaruh padanya seperti curah jantung, isi sekuncup,
denyut jantung, tahanan perifer dan sebagainya maupun pada keadaan olah raga,
usia lanjut, jenis kelamin, suku bangsa, iklim, dan penyakit-penyakit jantung
atau pembuluh darahnya (Huddak, 2010).
Menurut Febby (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah adalah
sebagai berukut :
1.
Faktor keturunan
Bukan hanya warna kulit, ciri fisik atau sifat yang bisa diwarisi dari orang
tua kita. Ternyata, penyakit pun bisa. Jika salah satu, atau kedua orang tua
Anda mengalami tekanan darah tinggi, kemungkinan Anda pun beresiko
tinggi mengalaminya.
2.
Usia
Seiring bertambahnya usia, kita semua semakin beresiko menderita tekanan
darah tinggi. Mengapa? Karena semakin kita bertambah tua, elastisitas
pembuluh darah kita juga berkurang sehingga cenderung mengalami
penyempitan pembuluh darah. Akibatnya, tekanan darah pun meningkat.
3.
Jenis kelamin
Hingga usia 45, pria lebih beresiko mengalami tekanan darah tinggi. Pada
usia 45 hingga 64, baik pria maupun wanita memiliki tingkat resiko yang
sama. Tetapi, justru pada usia di atas itu, wanita lebih beresiko.
23
4.
Kurang gerak (Sedentary lifestyle)
Biasanya, orang yang tinggal di kota besar cenderung memiliki gaya hidup
kurang gerak. Bekerja di kantor, dan terus menerus duduk, ditambah lagi
kurangnya olahraga, akan cenderung meningkatkan resiko penyempitan
atau penyumbatan di pembuluh darah. Akibatnya adalah meningkatnya
resiko darah tinggi.
5.
Pola makan
Kalau Anda suka makan makanan tinggi kalori, lemak, dan gula, mungkin
sudah saatnya Anda menguranginya untuk mengurangi resiko terkena
penyakit darah tinggi. Dan, ini juga adalah fakta umum yang diketahui
hampir semua orang: kurangi makanan bergaram karena itu dapat menahan
banyak cairan dalam tubuh sehingga meningkatkan tekanannya.
6.
Berat badan berlebih
BMI (Indeks Massa Tubuh) bisa menjadi salah satu ukuran resiko. Jika
BMI Anda 25 hingga 30, atau bahkan lebih, Anda terhitung kelebihan berat
badan, dan lebih beresiko mengalami tekanan darah tinggi.
7.
Kebiasaan minum minuman beralkohol
Mengonsumsi alkohol dapat meningkatkan kadar trigliserida dalam darah.
Trigliserida adalah kolesterol yang jahat yang berpotensi menyebabkan
tekanan darah meningkat.
8.
Stres
Stres dapat meningkatkan tekanah darah sewaktu. Hormon adrenalin akan
meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung
memompa darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat. Selain
itu, pada saat stres biasanya pilihan makanan kita kurang baik. Kita akan
cenderung melahap apa pun untuk merilekskan diri, dan itu bisa berdampak
secara tidak langsung pada tekanan darah kita.
24
4. Pengukuran Tekanan Darah
Perubahan tekanan arteri selama siklus jantung dapat diukur secara langsung
dengan menghubungkan alat pengukur tekanan kesebuah jarum yang
dimasukkan kedalam sebuah arteri. Namun, pengukuran dapat dilakukan secara
lebih mudah dan nyaman serta cukup akurat. Yaitu dengan menggunakan
sfigmomanometer, yaitu suatu manset yang dapat dikembungkan, dipakai secara
eksternal dan dihubungkan dengan pengukur tekanan (Syaifuddin, 2009).
Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. pada metode langsung, kateter arteri dimasukkan kedalam arteri,
pengukuran tidak langsung dilakukan dengan sfigmomanometer dan stetoskop.
Tekanan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti curah jantung,
ketegangan arteri, volume, laju serta kekentalan (viskositas) darah. Tekanan
darah baisanya digambarkan sebagai ratio tekanan sistolik terhadap tekanan
diastolik (Smeltzer, 2002).
Menurut Huddak (2010), bahwa tekanan darah sistolik (atas) adalah puncak yang
tercapai ketika jantung berkontraksi dan memompakan darah keluar melalui
arteri. Tekanan darah sistolik dicatat apabila terdengar bunyi pertama (Korotkoff
I) pada alat pengukur darah. Tekanan darah diastolic (angka bawah) diambil
ketika tekanan jatuh ketitik terendah saat jantung rileks dan mengisi darah
kembali. Tekanan darah diastolik dicatat apabila bunyi tidak terdengar lagi.
Menurut Febby (2012) berikut ini merupakan prosedur pengukuran tekanan
darah :
1. Duduk dengan tenang dan rileks
2. Jelaskan manfaat rileks tersebut, yaitu agar nilai tekanan darah yang terukur
adalah nilai yang stabil
3. Pasang manset pada lengan dengan ukuran yang sesuai, dengan jarak sisi
manset paling bawah 2,5 cm dari siku dan rekatkan dengan baik
4. Posisikan tangan dengan posisi sama tinggi dengan letak jantung.
25
5. Bagian yang terpasang manset harus terbebas dari lapisan apapun.
6. Rabalah nadi pada lipatan lengan, tempelkan stetoskop pada perabaan denyut
nadi, pompa alat hingga tekanaan sampai 200 mmHg, lepaskan pemompa
perlahan-lahan dan dengarkan suara bunyi denyut nadi.
7. Catat tekanan darah sistolik yaitu nilai tekanan ketika suatu denyut nadi yang
pertama terdengar dan tekanan darah diatolik ketika bunyi keteraturan
denyut nadi tidak tersengar.
C. Pengaruh Jumlah Penarikan Cairan Tubuh Terhadap Tekanan Darah Pada
Hemodialisa
Sudah lama diketahui bahwa selama hemodialisa tekanan darah akan turun dengan
hilangnya sejumlah cairan, penurunan tekanan darah akan semakin besar dengan
semakin besarnya cairan yang hilang dan kecepatan ultra filtrasi yang tinggi.
Penurunan tekanan darah pada saat hemodialisa mencerminkan besarnya jumlah
cairan yang pindah dari intravaskular ke jaringan sekitrnya. Dampak yang timbul
dari proses hemodialisis adalah penurunan tekanan darah akibat penurunan cairan
tubuh oleh proses ultra filtrasi melalui mekanisme konveksi. Dengan ditariknya
cairan tubuh melalui darah, maka volume intravaskuler menurun (Syaifuddin, 2009).
Volume darah selama hemodialisa dipertahankan tergantung pada cepatnya
pengisian ulang kompartement darah dari jaringan sekitar. Penurunan volume darah
menyebabkan penurunan cardiac output yang pada akhirnya menyebabkan
penurunan tekanan darah. Pembatasan ultrafiltrasi
dapat
dicapai
dengan
perpanjangan durasi hemodialisa. Frekuensi hemodialisa 6 x/minggu mempunyai
resiko lebih kecil terjadi penurunan tekanan darah dibandingkan dengan yang 2-3
x/minggu Kadar hematokrit dapat dipakai sebagai monitor terjadinya perpindahan
cairan selama hemodialisa (Pranoto, 2010).
Penurunan volume darah dapat mengkibatkan penurunan tekanan darah yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor penting. Adapun faktor-faktor tersebut adalah : (a)
fluktusi rata-rata ultrafiltrasi, (b) rata-rata ultrafiltrasi yang tinggi, (c) target berat
26
badan yang kering terlalu rendah, (d) kadar natrium dialisat yang rendah. Meskipun
begitu, bukan hanya penurunan volume darah yang dapat mempengaruhi penurunan
tekanan darah pada pasien dengan terapi hemodialisa (Syaifuddin, 2009).
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya penurunan tekanan darah merupakan
komplikasi yang berbahaya pada terapi hemodialisa. Hal ini telah dibuktikan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2003) yang berjudul “Hubungan Status
Volume dan Tekanan Darah Penderita Hemodialisa Kronik di RS dr.KARIADI”
meliputi 34 responden yang terdiri dari 61,8 % laki-laki, dan 38,2 % wanita, dengan
p < 0,05 didapat hasil ada hubungan status volume terhadap tekanan darah.
Menurut penelitian Smith (2011) yang berjudul “Symptomatic Hypotension, Venous
Oximetry and Outpatient Hemodialysis” di Universitas California (2011), didapat
bahwa terjadi penurunan tekanan darah setelah proses hemodialisa. Dari penelitian
yang memiliki sampel 39 orang, 38 % pasien hemodialisa dapat diketahui adanya
gejala hipotensi dilihat dari perubahan saturasi O2 dan 24 % dapat dilihat dari
perawatan dialysis.
Hasil penelitian Ommy (2009) yang berjudul Hubungan antara Perubahan Volume
Darah Relatif dengan Episode Hipotensi Intradialik selama Hemodialisis pada Gagal
Ginjal Kronik. Terdapat 51 sampel penelitian yang terdiri dari 28 (54,9%) laki-laki
dan 23 (45,1%) perempuan. Pada penelitian didapatkan adanya perubahan volume
darah relatif intradialitik yaitu penurunan volume darah relatif intradialitik antara
4,9% sampai 26,4%. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara volume darah relatif dan episode hipotensi intradialitik (Beta = 0,29; OR =
1,35; IK 95%: 1,1 Ð 1,6; p < 0,01).
Hasil penilitian Susti (2012) tentang Hubungan Pengetahuan Asupan Cairan Dan
Cara Pengendalian Asupan Cairan Terhadap Penambahan Berat Badan Pasien Gagal
Ginjal Yang Menjalani Hemodialisa dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara asupan cairan dengan berat badan p = 0,014 <0,05 dan diperoleh
27
hubungan signifikan bagaimana mengontrol asupan cairan dengan berat badan p =
0,038 <0,05.
Skema 2.1
Pengaruh Jumlah Penarikan Cairan Tubuh Terhadap Tekanan Darah
Pada Hemodialisa
Pasien Hemodialisa
Reguler
Dicatat:
Identitas, umur, jenis
kelamin, BB dan TB
Tekanan Darah
Berat Badan Kering
Status Cairan Tubuh
Tekanan Darah
Meningkat Atau
Tekanan Darah
Menurun
D. Kerangka Konsep
Skema 2.2
Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen
Variabel Dependen
Jumlah penarikan cairan tubuh
saat menjalani hemodialisa
Tekanan darah sebelum dan
sesudah hemodialisa
Variabel Confounding
1.
2.
3.
Usia
Jenis kelamin
Frekuensi hemodialisa
28
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
E. Hipotesis Penelitian
Ha
: Ada pengaruh jumlah penarikan cairan tubuh terhadap perubahan tekanan
darah pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa di instalasi
hemodialisis RSUD dr.Pirngadi Medan.
Download