PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 RINGKASAN DIAR ERSTANTYO. Pengaruh Peningkatan Jumlah Penduduk terhadap Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Kenyamanan di Wilayah Pengembangan Tegallega, Kota Bandung. Dibimbing oleh SETIA HADI. Wilayah Pengembangan Tegallega terletak di bagian barat daya Kota Bandung. Pada Wilayah Pengembangan Tegallega terdapat permasalahan kependudukan, yaitu peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat. Implikasi permasalahan penduduk tersebut adalah terjadinya alih fungsi lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun, serta terdapatnya fenomena berkurangnya kenyamanan. Pendekatan sistem dinamik digunakan untuk memudahkan dalam memahami pengaruh permasalahan jumlah penduduk terhadap alih fungsi lahan dan perubahan kenyamanan. Pendekatan sistem dinamik dapat membantu perumusan alternatif kebijakan yang tepat untuk perencanaan Wilayah Pengembangan Tegallega, Kota Bandung. Pendekatan sistem merupakan basis model, yang dalam hal ini model dibatasi pada proses peningkatan jumlah penduduk terhadap pengalihfungsian lahan terbuka hijau (sawah, kebun campuran, rumput dan semak, serta tegakan pohon). Indikator temperature humidity index (THI) sebagai standar kenyamanan menggunakan variabel suhu udara dan kelembaban relatif, suatu area dikatakan nyaman apabila memiliki rentang nilai THI antara 20-26 (Ayoade, 1983 dalam Diena, 2009). Pada analisis kependudukan dengan data jumlah penduduk tahun 1999 hingga tahun 2007 didapatkan kenaikan dari 408.779 jiwa menjadi 531.785 jiwa dengan rata-rata proporsi kenaikan penduduk setiap tahun sebesar +3,34%. Penghitungan ini didasarkan atas asumsi bahwa laju pertumbuhan penduduk pada masa lalu akan berlanjut di masa yang akan datang. Kemudian penghitungan tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk pada tahun 2009 menjadi sebesar 567.901 jiwa. Pada hasil pengukuran lapang didapatkan suhu udara rata-rata terendah adalah pada penutupan lahan badan air, yaitu sebesar 26,0oC, sedangkan suhu udara rata-rata tertinggi sebesar 26,8oC berada pada lahan terbangun. Kelembaban relatif rata-rata terendah sebesar 77,1% pada lahan terbangun dan tertinggi pada lahan terbuka hijau sebesar 80,7%. Kemudian berdasarkan penghitungan data pengukuran lapang didapatkan nilai THI berturut-turut dari yang paling rendah, yaitu pada badan air (THI=25,0), lahan terbuka hijau (THI=25,3), dan lahan terbangun (THI=25,6). Nilai THI pada lahan terbangun hampir mendekati nilai 26 yang berarti bahwa kenyamanan pada lahan terbangun hampir mencapai ambang batas kenyamanan manusia. Begitu pula THI pada badan air dan lahan terbuka hijau yang relatif tidak nyaman. Perubahan penutupan lahan dianalisis melalui proses interpretasi dan pengolahan citra Landsat ETM+ Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004 dan 2007 yang mengacu pada klasifikasi BPN. Dan proses tersebut menghasilkan klasifikasi penutupan lahan menjadi enam kelas, yaitu badan air, lahan sawah, lahan kebun campuran, lahan rumput dan semak, lahan tegakan pohon, dan lahan terbangun. Perubahan penutupan lahan dianalisis dengan metode trend sehingga didapatkan proporsi penurunan tiap tahun dari yang tertinggi hingga terendah berturut-turut, yaitu badan air sebesar -18,13%, lahan sawah sebesar -6,88%, lahan kebun campuran sebesar -6,68%, lahan rumput dan semak sebesar -5,58%, serta lahan tegakan pohon sebesar -1,85%. Namun, luas lahan terbangun terus mengalami peningkatan, yaitu sebesar +2,52%. Pada tahun 1999 hingga tahun 2004 terjadi perubahan lahan terbuka hijau sebesar -5,52%, dan pada tahun 2004 hingga tahun 2007 sebesar -4,87%. Proporsi penurunan luas lahan terbuka hijau tiap tahun adalah sebesar -4,70% sehingga dapat diprediksi bahwa pada tahun 2009 luas lahan terbuka hijau adalah sebesar 497,58 ha. Analisis regresi dan analisis korelasi menunjukkan adanya kecenderungan bahwa setiap penambahan jumlah penduduk yang terjadi di Wilayah Pengembangan Tegallega mengakibatkan penurunan baik pada luas tiap jenis lahan terbuka hijau maupun luas lahan terbuka hijau keseluruhan. Terdapat pula kecenderungan bahwa setiap pengurangan luas total lahan terbuka hijau mengakibatkan peningkatan suhu udara dan kelembaban relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega. Selanjutnya, model disimulasikan untuk melihat kondisi pada masa 25 tahun mendatang dan menghasilkan enam skenario yang berbeda. Pada Skenario 1, simulasi untuk 25 tahun mendatang menghasilkan jumlah penduduk mencapai 1.291.171 jiwa, melebihi batas maksimal skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan dan luas total lahan terbuka hijau sebesar 322,55 ha. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 mencapai nilai 25,79. Nilai THI tersebut mengindikasikan bahwa kondisi Wilayah Pengembangan Tegallega hampir mencapai ketidaknyamanan. Pada Skenario 2, simulasi untuk 25 tahun mendatang menunjukkan jumlah penduduk hanya dapat dipertahankan sesuai skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan hingga tahun ke-14, yaitu sebesar 983.420 jiwa. Luas total lahan terbuka hijau hanya sebesar 268,64 ha pada tahun ke-25. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 mencapai nilai 26,27. Nilai THI tersebut mengindikasikan bahwa kondisi Wilayah Pengembangan Tegallega sudah dalam kategori tidak nyaman. Pada Skenario 3, ternyata jumlah penduduk pada tahun ke-25 masih di bawah batas maksimal skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan, yaitu sebesar 728.194 jiwa. Luas total lahan terbuka hijau juga masih dalam batas 15%, yaitu sebesar 458,76 ha. THI pun berada pada nilai 24,56 yang berarti masih dalam kategori nyaman. Pada Skenario 4, simulasi untuk 25 tahun mendatang berhasil mengendalikan jumlah penduduk sehingga pada tahun ke-25 terdapat sebesar 931.701 jiwa dan lahan terbuka hijau masih sebesar 409,54 ha. Namun, ternyata nilai THI masih cukup tinggi pada tahun ke-25, yaitu 25,00. Pada Skenario 5, simulasi untuk 25 tahun mendatang berhasil menekan jumlah penduduk yaitu menjadi 823.993 jiwa. Lahan terbuka hijau juga masih sebesar 435,61 ha. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 menurun jika dibandingkan dengan skenario sebelumnya, yaitu sebesar 24,77. Pada Skenario 6, ternyata hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang menunjukkan jumlah penduduk mencapai 1.291.171 jiwa. Lahan terbuka hijau hanya sebesar 322,55 ha dengan nilai THI tetap tinggi, yaitu sebesar 25,79. Berdasarkan serangkaian skenario yang telah disimulasikan, skenario terbaik yang dapat diterapkan sebagai rekomendasi kebijakan adalah Skenario 5. Pada Skenario 5, diterapkan kebijakan penduduk bahwa laju pertumbuhan penduduk ditekan hingga menjadi sebesar 1,50%. Diterapkan juga kebijakan mengenai pemanfaatan ruang yang lebih ketat bahwa hanya lahan rumput dan semak yang diizinkan untuk dikonversi, sebagai usaha pencapaian luas minimal lahan terbuka hijau sebesar 15% luas wilayah. PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Judul Skripsi : Pengaruh Peningkatan Jumlah Penduduk terhadap Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Kenyamanan di Wilayah Pengembangan Tegallega, Kota Bandung Nama : Diar Erstantyo NIM : A44051527 Disetujui Dosen Pembimbing Dr. Ir. Setia Hadi, MS NIP. 19600424 198601 1 001 Diketahui Ketua Departemen Arsitektur Lanskap Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001 Tanggal Lulus: KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan dan curahan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Pengaruh Peningkatan Jumlah Penduduk terhadap Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pengembangan Tegallega, Kota Bandung. Kegiatan penelitian ini bertujuan memenuhi syaratsyarat dan tugas akhir dalam menempuh studi di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis tujukan kepada 1 Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan nasihat dalam menyelesaikan penelitian ini; 2 Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, MAgr dan Dr. Ir. Afra DN Makalew, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran membangun dalam menyempurnakan penelitian ini; 3 ayah dan ibu, serta kakak dan adik penulis atas doa, kasih sayang, motivasi, dan perhatian yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian; 4 Kesatuan Bangsa dan Pelindungan Masyarakat Kota Bandung, Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Bandung, Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, Badan Pusat Statistik Kota Bandung, Badan Meteorolgi Klimatologi dan Geofisika Kota Bandung; 5 Riri Haerina Purnamasari atas motivasi, perhatian, pengertian, dan kasih sayangnya yang telah diberikan; 6 Yosep Permata beserta keluarga atas kerja sama, pengorbanan dan semangatnya selama penelitian; 7 teman-teman bimbingan Dr.Ir. Setia Hadi, M.S. (Yosep, Vabi dan Nando) atas kerja sama, motivasi dan semangatnya; 8 teman-teman Arsitektur Lanskap Angkatan 42 (M, Otep, Bayu, Mamat, Hudi, Dofir, Chan2, Boep, Iqbal, dan seterusnya); 9 teman-teman Arsitektur Lanskap Angkatan 36, Angkatan 37, Angkatan 38, Angkatan 39, Angkatan 40, Angkatan 41, Angkatan 43, Angkatan 44 dan Angkatan 45 atas ilmu dan canda tawa yang mengiringi selama studi; 10 teman-teman seluruh penghuni Kost Villa Merah atas persahabatan dan kekeluargaan yang mengiringi selama studi; 11 berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu baik materiil maupun spiritual dan baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyelesaian penelitian ini. Penulis menyadari bahwa penulisan hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis selalu terbuka atas segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi kebaikan di masa mendatang. Pada akhirnya penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua. Bogor, Februari 2010 Penulis RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 12 September 1987. Penulis adalah putra kedua dari tiga bersaudara pasangan Ayahanda Darto dan Ibunda Sri Hadiyati. Penulis lulus dari SMA Negeri 48 Jakarta pada tahun 2005, dan masuk Institut Pertanian Bogor dengan Kurikulum Mayor-Minor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di tahun yang sama. Penulis memilih Mayor Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian dan Minor Manajemen Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam kegiatan akademik dan kegiatan kemahasiswaan. Penulis mengikuti lomba dan sayembara baik bidang Arsitektur Lanskap maupun bidang umum. Penulis aktif dalam kepengurusan dan anggota Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP). Penulis menjadi Asisten Mata Kuliah Rekayasa Lanskap selama satu semester pada tahun 2009. Penulis juga pernah mengikuti beberapa kegiatan proyek Arsitektur Lanskap. Sebagai tugas akhir di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Pengaruh Peningkatan Jumlah Penduduk terhadap Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Kenyamanan di Wilayah Pengembangan Tegallega, Kota Bandung, di bawah bimbingan Dr. Ir. Setia Hadi, MS. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1.1 Tujuan .................................................................................................. 1.2 Manfaat ................................................................................................ 1 2 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penduduk.............................................................................................. 4 2.2 Ruang ................................................................................................... 4 2.3 Kota ...................................................................................................... 5 2.4 Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan..................................... 6 2.5 Pengaruh Iklim terhadap Manusia ....................................................... 7 2.6 Model ................................................................................................... 8 2.7 Sistem Dinamik.................................................................................... 12 III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 3.2 Bahan dan Alat Penelitian.................................................................... 3.3 Metode Penelitian ................................................................................ 3.4 Batasan Penelitian ................................................................................ 14 15 16 23 IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik ........................................................................................ 4.1.1 Wilayah Administrasi .............................................................. 4.1.2 Topografi.................................................................................. 4.1.3 Kemiringan............................................................................... 4.1.4 Geologi..................................................................................... 4.1.5 Jenis Tanah............................................................................... 4.1.6 Hidrologi .................................................................................. 4.1.7 Klimatologi .............................................................................. 4.2 Kondisi Sosial ...................................................................................... 4.3 Penggunaan Lahan ............................................................................... 4.4 Penutupan Lahan.................................................................................. 24 24 25 26 26 27 28 28 30 31 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan ................................................... 5.2 Hasil Pengukuran Aspek Klimatologi.................................................. 5.3 Penghitungan Nilai Temperature Humidity Index (THI) ..................... 5.4 Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan..................................... 5.5 Model Dinamik .................................................................................... 38 41 44 46 51 VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan .............................................................................................. 72 6.2 Saran..................................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 74 LAMPIRAN........................................................................................................ 76 vi DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data .................................... 15 Tabel 4.1 Luas Wilayah Tiap Kecamatan di Wilayah Pengembangan Tegallega ........................................................................................... 25 Tabel 4.2 Karakteristik Bentuk Wilayah Pengembangan Tegallega................. 25 Tabel 4.3 Luas Lahan Berdasarkan Kelas Kemiringan di Wilayah Pengembangan Tegallega.................................................................. 26 Tabel 4.4 Sifat Tanah pada Wilayah Pengembangan Tegallega....................... 27 Tabel 4.5 Panjang dan Lebar Sungai yang Melintas di Wilayah Pengembangan Tegallega.................................................................. 29 Tabel 4.6 Data Suhu Udara Rata-Rata dan Kelembaban Relatif Rata-Rata di Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 1999 hingga 2007.......... 30 Tabel 4.7 Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1992 dan Tahun 2007............................................................. 32 Tabel 4.8 Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, dan Tahun 2007 ...................................... 32 Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007 ........................... 38 Tabel 5.2 Hasil Pengamatan dan Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega ................................... 42 Tabel 5.3 Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega Periode Bulan November 2009 ........................................ 43 Tabel 5.4 Nilai THI di Wilayah Pengembangan Tegallega Berdasarkan Data Hasil Pengukuran Lapang Bulan November 2009............................ 44 Tabel 5.5 Jumlah Penduduk dan Perubahan Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, dan Tahun 2007........................................................................................ 48 Tabel 5.6 Jumlah Penduduk dan Perubahan Lahan Terbuka Hijau di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, Tahun 2007, dan Tahun 2009....................................................................... 49 Tabel 5.7 Persamaan Fungsi Variabel Bebas (X) terhadap Variabel Terikat (Y) dan Nilai Peluang Nyata (X) ............................................................. 54 Tabel 5.8 Koefisien Laju Desakan Tiap Jenis Lahan Terbuka Hijau akibat Pertumbuhan Jumlah Penduduk per Tahun....................................... 57 viii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian ........................................................... 3 Gambar 3.1 Lokasi Penelitian......................................................................... 14 Gambar 3.2 Diagram Alur Penelitian ............................................................. 16 Gambar 3.3 Diagram Causal Loop (Diena, 2009) .......................................... 20 Gambar 3.4 Struktur Model Simulasi (Diena, 2009) ...................................... 22 Gambar 4.1 Contoh Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega ..................................................................................... 32 Gambar 4.2 Peta Administrasi Wilayah Pengembangan Tegallega ............... 34 Gambar 4.3 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 1999 ................................................................................. 35 Gambar 4.4 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 2004 ................................................................................. 36 Gambar 4.5 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 2007 ................................................................................. 37 Gambar 5.1 Grafik Jumlah Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega Menurut Kecamatan pada Tahun 1999-2007.............................. 40 Gambar 5.2 Grafik Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega Menurut Kecamatan pada Tahun 1999-2007 ............. 40 Gambar 5.3 Grafik Suhu Udara Rata-Rata Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007............................................... 45 Gambar 5.4 Grafik Kelembaban Relatif Rata-Rata Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007............................................... 46 Gambar 5.5 Grafik Nilai THI Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007 ........................................................................ 46 Gambar 5.6 Beberapa Lokasi Alih Fungsi Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega............................................................ 50 Gambar 5.7 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Sawah (Y) ............................................................ 51 Gambar 5.8 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Kebun Campuran (Y) .......................................... 51 Gambar 5.9 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Rumput dan Semak (Y) ....................................... 52 Gambar 5.10 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Pohon (Y) ............................................................ 52 Gambar 5.11 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Lahan Terbuka Hijau (Y) .................................... 52 Gambar 5.12 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas Lahan Terbuka Hijau (X) terhadap Suhu Udara (Y)...................................................... 53 Gambar 5.13 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas Lahan Terbuka Hijau (X) terhadap Kelembaban Relatif (Y)......................................... 53 Gambar 5.14 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario1.. 58 Gambar 5.15 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario 2. 59 Gambar 5.16 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 1 ................................................................................... 60 Gambar 5.17 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 2 ................................................................................... 61 Gambar 5.18 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario 3. 62 Gambar 5.19 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario 4. 63 Gambar 5.20 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 3 ................................................................................... 64 Gambar 5.21 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 4 ................................................................................... 65 Gambar 5.22 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario 5. 66 Gambar 5.23 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario 6. 67 Gambar 5.24 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 5 ................................................................................... 68 x Gambar 5.25 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 6 ................................................................................... 69 xi DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Jumlah Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega menurut Kecamatan dan Luas Wilayah serta Kepadatan Penduduk Tiap 1 Km2 pada Tahun 1998 hingga 2007......................................... 77 Lampiran 2 Data Suhu Udara dan Kelembaban Relatif serta Hasil Penghitungan Nilai THI menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Kota Bandung Tahun 1999-2007................ 78 Lampiran 3 Hasil Ground Check Truth Pada Bulan Oktober 2009 dengan Peta Penutupan Lahan 2007 ........................................................ 79 Lampiran 4 Lokasi Pengamatan dan Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban Udara di Wilayah Pengembangan Tegallega......... 82 Lampiran 5 Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 1...................................... 84 Lampiran 6 Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 2...................................... 85 Lampiran 7 Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 3...................................... 86 Lampiran 8 Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 4...................................... 87 Lampiran 9 Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 5...................................... 88 Lampiran 10 Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 6...................................... 89 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan ruang yang memiliki berbagai macam elemen, baik elemen fisik maupun elemen sosial. Elemen fisik dan sosial saling berkaitan membentuk suatu ekosistem kota. Adakalanya hubungan antarelemen ini saling menguntungkan, tetapi tidak jarang terjadi perkembangan satu elemen yang dampaknya justru mengakibatkan elemen lainnya terdegradasi. Penduduk memiliki peranan yang sangat penting dalam perubahan ruang kota. Penduduk yang terus berkembang di suatu kota akan memiliki permintaan kebutuhan lahan yang semakin tinggi. Namun, lahan sebagai elemen fisik memiliki keterbatasan daya dukung yang bila sudah mencapai ambang batasnya, tidak mampu lagi untuk menampung perkembangan elemen di dalamnya, dalam hal ini penduduk. Kebutuhan penduduk yang paling mendasar adalah lahan perumahan dan lahan pekerjaan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan yang sebagian besar awalnya merupakan lahan hijau dan kini menjadi lahan terbangun. Lahan-lahan hijau selalu menjadi korban karena adanya anggapan bahwa lahan hijau tidak termasuk dalam mekanisme ekonomi pasar, dan mempunyai nilai pasar yang kalah oleh harga tanah (Irwan, 2008). Jumlah penduduk dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali dapat menyebabkan berkurangnya kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan yang baik dapat berupa kondisi yang nyaman, sehat, dan estetis untuk penduduk. Menurut Oliver (1981) dalam Irwan (2008), kenyamanan manusia dapat ditentukan secara kuantitatif oleh indikator suhu dan kelembaban relatif. Fakta yang terjadi saat ini adalah semakin banyaknya kota besar di Indonesia yang tidak nyaman lagi untuk dihuni ataupun untuk beraktivitas. Hal ini didukung oleh terjadinya kerusakan-kerusakan lingkungan di ruang kota, seperti pemanasan pada bagian inti ruang kota, polusi udara, bising, hingga banjir yang semakin meluas. Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang sudah mengalami kerusakan lingkungan tersebut. 2 Penduduk Kota Bandung berdasarkan hasil Suseda tahun 2007 adalah 2.323.928 jiwa dengan rata-rata kepadatan penduduk 13.927,48 jiwa/km2. Jika dilihat dari segi kepadatan penduduk menurut kecamatan, maka Kecamatan Bojongloa Kaler pada Wilayah Pengembangan Tegallega merupakan daerah terpadat di Kota Bandung, dengan kepadatan penduduk sebesar 39.240,26 jiwa/km2. Kepadatan penduduk yang tinggi dengan dinamika penduduk yang statis mengakibatkan akumulasi penduduk di Wilayah Pengembangan Tegallega sehingga penduduk terpaksa melakukan alih fungsi lahan. Lahan terbuka hijau yang terdiri dari lahan sawah, lahan kebun campuran, lahan rumput dan semak serta lahan tegakan pohon menjadi objek alih fungsi lahan. Perubahan fungsi lahan ini menimbulkan perubahan kenyamanan penduduk, yang dibatasi dengan menggunakan indikator suhu udara dan kelembaban relatif. Permasalahan kepadatan penduduk pada Wilayah Pengembangan Tegallega memiliki korelasi dengan permasalahan alih fungsi lahan yang terjadi pada wilayah tersebut. Hubungan antara alih fungsi lahan terhadap kenyamanan dapat dianalisis dengan mempertimbangkan indikator iklim mikro. Selanjutnya, pendekatan sistem dinamik dapat digunakan untuk memudahkan dalam memahami pengaruh jumlah penduduk terhadap alih fungsi lahan dan perubahan kenyamanan. Berdasarkan serangkaian analisis tersebut diharapkan dapat dirumuskan alternatif kebijakan yang tepat untuk perencanaan Wilayah Pengembangan Tegallega pada masa yang akan datang. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah 1 mengetahui pengaruh peningkatan jumlah penduduk terhadap perubahan pemanfaatan ruang dan kenyamanan di Wilayah Pengembangan Tegallega, Kota Bandung, dan 2 menyusun rekomendasi kebijakan pemanfaatan Pengembangan Tegallega, Kota Bandung. ruang di Wilayah 3 1.3 Manfaat Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dan pertimbangan kepada Pemerintah Kota Bandung dan instansi pemerintah terkait dalam perencanaan pembangunan Wilayah Pengembangan Tegallega pada khususnya serta pembangunan Kota Bandung pada umumnya. Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penduduk Penduduk adalah faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan wilayah. Jumlah penduduk dapat dianalisis berdasarkan berbagai klasifikasi sesuai dengan kebutuhan untuk mendapatkan suatu informasi tertentu, seperti banyaknya bahan konsumsi yang harus disediakan, jumlah fasilitas pendidikan yang perlu disediakan, banyaknya perumahan yang perlu disediakan, dan lain-lain. Di dalam konteks wilayah maka perencanaan adalah melihat ke depan untuk suatu kurun waktu tertentu, misalnya 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun, atau 25 tahun, untuk melihat ke arah mana kondisi yang ada saat ini akan berkembang dan menetapkan langkah-langkah baik untuk mengakomodasi perkembangan itu kepada keadaan yang kita inginkan. Dengan demikian, jumlah penduduk merupakan faktor yang sangat penting untuk diprediksi besarnya dan distribusinya di masa yang akan datang (Tarigan, 2008). Menurut Warpani (1984), penduduk adalah aspek utama perencanaan. Perencanaan disusun untuk penduduk, oleh penduduk, dan ia adalah penduduk itu sendiri. Perencanaan oleh penduduk, berarti perencanaan dibuat oleh penduduk yang diwakili oleh pihak perencana atau berbentuk badan perencana. Dalam hal ini penduduk berarti sebagai subjek. Perencanaan dibuat untuk penduduk, karena penduduk akan merasakan akibat perencanaan itu. Karena itulah dalam seluruh lingkup perencanaan, penduduk tidak mungkin terabaikan. Selain akan menerima akibat perencanaan, penduduk juga dapat berbuat dan ‘diminta’ berbuat. Dengan kata lain, penduduk merupakan salah satu objek perencanaan. Dalam hal inilah makna perencanaan adalah penduduk. 2.2 Ruang Kehidupan manusia tidak dapat terpisahkan dengan keberadaan ruang, baik secara psikologis dan emosional (persepsi), maupun dimensional. Manusia selalu berada dalam ruang, bergerak serta menghayati, berpikir dan juga menciptakan ruang untuk menyatukan bentuk dunianya. Sehingga dapat dikatakan bahwa definisi ruang merupakan suatu wadah yang tidak nyata, tetapi dapat 5 dirasakan keberadaannya oleh manusia. Ruang dibentuk oleh tiga komponen yaitu lantai, dinding, dan atap atau penutup (Hakim dan Utomo, 2003 ). Menurut Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Pedesaan Ditjen Cipta Karya Departemen Pekejaan Umum (1996) dalam Tarigan (2008), memberikan definisi tentang ruang, yaitu wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara; termasuk di dalamnya lahan atau tanah, air, udara, dan benda lainnya serta daya dan keadaan, sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Dalam hal ruang yang berkaitan dengan kepentingan manusia, maka perlu adanya batasan bahwa ruang adalah wadah pada lapisan atas permukaan bumi termasuk apa yang ada di atasnya dan yang ada di bawahnya sepanjang manusia masih dapat menjangkaunya. Dengan demikian, ruang adalah lapisan atas permukaan bumi yang berfungsi menopang kehidupan manusia dan makhluk lainnya, baik melalui memodifikasi atau sekadar langsung menikmatinya (Tarigan, 2008). 2.3 Kota Kota adalah populasi yang besar dan padat, merupakan pusat dari ekonomi, sosial, dan aktifitas politik, memiliki posisi geografi yang tetap dan kekuasaan pemerintahan khusus di dalamnya (Simonds, 1983). Sedangkan menurut Branch (1995), kota diartikan sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu penduduk atau lebih. Perkotaan diartikan sebagai area terbangun dengan struktur dan jalan-jalan, sebagai suatu permukiman yang terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu yang membutuhkan sarana dan pelayanan pendukung yang lebih lengkap dibandingkan dengan yang dibutuhkan di daerah pedesaan. Watt (1973) serta Stearns dan Montag (1974) dalam Irwan (2008) mengemukakan pengertian dari kota sebagai berikut 1 Kota adalah suatu areal tempat terdapatnya atau terjadinya pemusatan penduduk dengan kegiatannya dan merupakan tempat konsentrasi penduduk dan pusat aktivitas perekonomian (seperti industri, perdagangan, dan jasa). 6 2 Kota merupakan sebuah sistem, baik secara fisik maupun sosial ekonomi, bersifat tidak statis yang sewaktu-waktu dapat menjadi takberaturan dan sulit untuk dikontrol. 3 Kota mempunyai pengaruh terhadap lingkungan fisik seperti iklim, sejauh mana pengaruh itu sangat bergantung pada perencanaannya. Dalam perencanaan wilayah, sangat perlu untuk menetapkan suatu tempat permukiman atau tempat berbagai kegiatan sebagai kota atau bukan. Hal ini diperlukan karena kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga kebutuhan fasilitasnya pun berbeda jika dibandingkan dengan daerah pedesaan atau pedalaman (Tarigan, 2008). Menurut Pasal 1 Butir 25 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 2.4 Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Arsyad (2000) mengemukakan bahwa penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan dikelompokkan menjadi dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian (tegalan, sawah, kebun, hutan lindung, dan sebagainya) dan penggunaan lahan bukan pertanian (permukiman, industri, rekreasi, dan sebagainya). Istilah penutupan lahan mengacu pada penutupan tanah yang menjadi ciri suatu area tertentu, yang umumnya merupakan pencerminan dari bentukan lahan dan iklim lokal. Contoh dari penutupan lahan adalah hutan, tundra, savana, gurun pasir. Dan menurut de Sherbinin (2002) dalam Putri (2006), penggunaan lahan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan tanah oleh manusia atau kegiatan mengubah tutupan lahan. Perubahan penggunaan dan penutupan lahan terjadi disebabkan faktor utama yaitu kebutuhan manusia untuk melanjutkan keberlangsungan hidupnya. Menurut Meyer dan Turner (1994) dalam Hakim (2006), perubahan penggunaan dan penutupan lahan merupakan suatu kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial- 7 ekonomi, politik dan budaya. Perubahan penggunaan lahan yang paling sering terjadi pada kehidupan kota yang dinamis adalah konversi lahan konservasi, terutama hutan menjadi area pertanian atau bahkan permukiman. Perubahan ini bermanfaat di sisi kebutuhan manusia, namun merugikan di sisi lingkungan karena kegiatan tersebut dapat menurunkan daya dukung lahan. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008, tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan, pemanfaatan lahan adalah penggunaan tanah untuk aktivitas atau kegiatan orang atau badan hukum yang dapat ditunjukkan secara nyata. Perubahan pemanfaatan lahan adalah pemanfaatan baru atas tanah, yang tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Perubahan pemanfaatan lahan dapat dilakukan dengan berazaskan keterbukaan, persamaan, keadilan, pelestarian lingkungan dan perlindungan hukum. Perubahan pemanfaatan lahan mengacu pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kabupaten/kota dengan tetap memperhatikan keberlangsungan fungsi kawasan, daya dukung dan kesesuaian lahan secara terpadu. Perubahan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan RDTR hanya dapat dilakukan dengan pertimbangan keselarasan kebutuhan lahan untuk kegiatan ekonomi dengan keberlangsungan lingkungan. 2.5 Pengaruh Iklim terhadap Manusia Menurut Handoko (1995), di tiap tempat cuaca hari demi hari selalu berubah. Setelah satu tahun perubahan tersebut biasanya membentuk pola siklus tertentu. Setelah beberapa tahun (misalnya 30 tahun atau lebih) dari rata-rata tiap nilai unsur-unsur cuaca akan mencerminkan sifat atmosfer yang disebut juga sebagai iklim. Karakteristik iklim pada permukaan bumi menurut Lakitan (1994) akan berbeda dari tempat ke tempat. Beberapa faktor yang menentukan perbedaan iklim antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya di muka bumi adalah 1 posisi relatif terhadap garis edar matahari (posisi lintang), 2 keberadaan lautan, 3 pola arah angin, 4 rupa permukaan daratan bumi, 5 kerapatan dan jenis vegetasi. 8 Berdasarkan luas wilayah sasaran, iklim dapat dipilah menjadi iklim makro, iklim meso, dan iklim mikro. Iklim makro meliputi wilayah yang sangat luas, meliputi luasan satu zona iklim, kontinen, sampai pada bumi secara keseluruhan (global). Iklim meso mengkaji tentang variasi dan dinamika iklim dalam satu satuan zona iklim (intra-zona iklim). Iklim meso meliputi wilayah sampai beberapa kilometer persegi, misalnya variasi iklim akibat keberadaan danau atau kumpulan bangunan fisik di perkotaan. Variasi iklim dalam skala terkecil termasuk dalam cakupan iklim mikro, misalnya keadaan udara di sekitar atau di bawah kanopi pohon. Secara fisiologis, iklim mempengaruhi kenyamanan termal manusia. Pertukaran kalor manusia dengan lingkungannya tergantung dari suhu udara, suhu permukaan yang berada di sekelilingnya, penyalur panas oleh permukaan tersebut, kelembaban, dan gerak udara (Frick dan Mulyani, 2006). Menurut Irwan (2008), tingkat kenyamanan seseorang selain pada faktor usia dan kebudayaan, juga sangat ditentukan oleh suhu dan kelembaban (iklim mikro). Karena Lakitan (1994) mengemukakan bahwa kondisi udara pada skala mikro akan berkontak langsung dengan (dan mempengaruhi secara langsung) manusia. Manusia tanggap terhadap dinamika atau perubahan-perubahan dari unsur-unsur iklim di sekitarnya. Keadaan unsur-unsur iklim ini mempengaruhi tingkah laku dan metabolisme yang berlangsung pada tubuh manusia. Oliver (1981) dalam Irwan (2008) menyatakan rasa nyaman secara kuantitatif dengan memperhitungkan besarnya suhu udara dan kelembaban udara sehingga dihasilkan nilai temperature humidity index (THI). Ayoade (1983) dalam Diena (2009) menyatakan bahwa indeks kenyamanan dalam kondisi nyaman ideal bagi manusia Indonesia berada pada kisaran nilai THI 20-26. 2.6 Model Suatu sistem terdiri atas elemen-elemen yang saling tergantung satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Proses bekerjanya sangat kompleks sehingga untuk melihat bekerjanya hubungan ini dalam keadaan yang sebenarnya adalah sangat mustahil. Oleh karena itu, hubungan tersebut perlu disederhanakan dengan jalan merangkumkan ke dalam suatu bentuk tertentu yang 9 disebut model. Dengan demikian untuk mempelajari sistem yang kompleks itu, maka dibuat model (Gaspersz, 1990). Hal ini didukung pula oleh Hartrisari (2007) yang menyatakan bahwa model merupakan penyederhanaan sistem. Model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja dalam keadaan sebenarnya. Oleh sebab itu, model hanya memperhitungkan beberapa faktor dalam sistem dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan umum dari suatu model menurut Gaspersz (1990) dapat dibagi berdasarkan tujuan akademik dan tujuan manajerial. 1. Tujuan akademik a. Sebagai alat untuk menjelaskan atau menggambarkan sekumpulan atau suatu fakta karena belum ada teori. b. Jika teori sudah ada, model digunakan sebagai alat untuk mencari konfirmasi. 2. Tujuan manajerial a. Sebagai alat dalam pengambilan keputusan. b. Sebagai proses belajar. c. Sebagai alat komunikasi agar seseorang melihat sesuatu dengan bahasa yang sama. Menurut Hartrisari (2007), model disusun untuk beberapa tujuan, yaitu 1 pemahaman proses yang terjadi dalam sistem sehingga model harus dapat menggambarkan mekanisme proses yang terjadi dalam sistem dalam kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai; 2 prediksi, dengan hanya model kuantitatif yang dapat melakukan prediksi; 3 menunjang pengambilan keputusan, jika model yang disusun berdasarkan pemahaman proses serta mempunyai kemampuan prediksi. Menurut Gaspersz (1990), model dapat diklasifikasikan berdasarkan delapan kriteria berikut 1. Berdasarkan fungsi a. Model deskriptif, yang menggambarkan kondisi-kondisi atau aktivitas masa sekarang atau masa lalu, namun tidak berusaha untuk meramalkan 10 atau memberikan rekomendasi. Model ini memberikan suatu deskripsi dari situasi tanpa memberikan ’resepnya’. b. Model prediktif, yang memperkirakan atau memproyeksikan perilaku sistem. Model ini mengusulkan konsekuensi dari berbagai strategi, dan dapat meramalkan hasil dari keadaan tertentu. c. Model normatif, yang menerangkan baik atau buruk performans sistem. Model ini menunjukkan apa yang seharusnya dibuat untuk mencapai tujuan sistem. Jenis model ini memilih jawaban atau penyelesaian terbaik dari berbagai alternatif yang mungkin. 2. Berdasarkan struktur (morfologi) a. Model ikonik, yang tepat sama dengan aslinya hanya skala yang berbeda. Jadi skalanya berbeda dari sistem nyata yang dimodelkan. Model ini memberikan tingkat kekonkretan yang tinggi yang tidak mungkin diberikan oleh model lain, namun memiliki keterbatasan dalam menggambarkan hubungan kausal (sebab-akibat). b. Model analog, merupakan model yang memiliki fisik yang berbeda namun mempunyai perilaku yang sama. Model ini menggunakan ciri dari suatu sistem untuk menggambarkan ciri dari sistem lain. c. Model simbolik, yang menggambarkan perilaku sistem dalam bentuk simbol-simbol. Model ini menggunakan berbagai simbol untuk menggambarkan aspek sistem nyata dan umumnya bersifat abstrak, sering berbentuk matematik. Model ini sering lebih sulit dipahami karena tingkat abstraksi yang lebih tinggi, namun lebih efektif dalam menentukan pengaruh perubahan pada sistem konkret. 3. Berdasarkan dimensi a. Model satu dimensi, yang merupakan model dengan satu variabel yang mempengaruhi sistem konkret. b. Model multidimensi, yang memiliki lebih dari dua variabel, yang umumnya mengandung banyak variabel dalam model. 4. Berdasarkan aspek waktu a. Model statik, yang merupakan model tanpa memperhitungkan faktor waktu. 11 b. Model dinamik, yang memperhitungkan faktor waktu dalam menggambarkan perilaku sistem nyata. 5. Berdasarkan aspek informasi a. Model deterministik, di mana kejadian yang akan terjadi telah diketahui secara pasti (peluang terhadap kejadian yang akan terjadi sama dengan satu). b. Model probabilistik, yang merupakan model beresiko, di mana keadaan yang akan terjadi diketahui nilai kemungkinannya dan dapat digambarkan secara probabilistik. Pembuat keputusan memilih strategi dengan nilai harapan yang optimum. c. Model tak pasti (uncertainty model), di mana kondisi yang akan datang dan peluang yang berhubungan dengannya tidak diketahui. Pembuat keputusan harus mampu menentukan keadaan yang relevan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan tertentu. 6. Berdasarkan tingkat generalisasi a. Model khusus, yang dibuat untuk tujuan khusus agar dapat diterapkan pada masalah-masalah tertentu. b. Model umum, yang dapat diterapkan pada situasi yang berbeda. 7. Berdasarkan derajat keterbukaan a. Model terbuka, merupakan model yang memiliki satu atau lebih variabel eksogen (ada interaksi dengan lingkungan). Model ini dapat dipandang sebagai suatu sistem dari suprasistem tertentu. b. Model tertutup, merupakan model yang memiliki semua variabel bersifat endogen (diperoleh dari lingkungan internal dan dapat dikendalikan). 8. Berdasarkan derajat kuantifikasi a. Model mental, merupakan model kualitatif yang masih berada dalam pemikiran seseorang. Jika seseorang berpikir tentang sesuatu, maka itu merupakan model mental. Tentu saja setiap orang akan merumuskan model mental yang berbeda untuk fenomena yang sama. b. Model verbal, merupakan model kualitatif yang telah dirumuskan secara verbal atau secara tertulis dan umumnya mengikuti model mental. Dengan demikian model verbal merupakan model mental yang telah dirumuskan 12 secara tertulis. Jadi model verbal berusaha mengomunikasikan model mental tersebut. c. Model kuantitatif, yang terbagi atas model-model: statistik, optimasi, heuristik, simulasi. Model heuristik merupakan model yang tidak memiliki pembuktian bahwa model tersebut paling optimal, tetapi saat model itu dibangun dan dipakai belum ada model lain yang lebih baik daripada model-model heuristik tersebut. Menurut Hartrisari (2007), secara umum model dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu 1 model fisik, merupakan model miniatur replika dari keadaan sebenarnya dan 2 model abstrak, yang juga disebut model mental merupakan model yang bukan fisik, tetapi dapat menjelaskan kinerja dari sistem. Model abstrak dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Model kuantitatif menggunakan perhitungan matematik dan bersifat numerik sehingga dapat digunakan untuk keperluan prediksi. Sebaliknya, model kualitatif bersifat deskriptif dan tidak menggunakan perhitungan kuantitatif. Model kuantitatif dikelompokkan berdasarkan cara pemecahan permasalahan yang dihadapi, yaitu yang bersifat induktif atau empirik dengan menggunakan teknik statistik dan yang yang bersifat deduktif atau mekanistik dengan persamaan matematik. Model empirik memberikan hubungan antara variabel output dan input, tetapi tidak memberikan penjelasan proses atau bagaimana mekanisme hubungan tersebut terjadi. Sebaliknya, model mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi tersebut. 2.7 Sistem Dinamik Sistem adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu. Kajian sistem akan berhadapan dengan permasalahan yang bersifat statik atau dinamik. Permasalahan yang bersifat statik bersifat konstan, sedangkan yang bersifat dinamik selalu berubah menurut waktu. Sistem dinamik merupakan metode yang dapat menggambarkan proses, perilaku, dan kompleksitas dalam sistem (Hartrisari, 2007). 13 Sistem dinamik adalah suatu model untuk mempelajari dan mengatur sistem-sistem umpan-balik yang kompleks, seperti yang dapat ditemukan pada bisnis dan sistem-sistem sosial yang lain. Faktanya, sistem dinamik telah digunakan untuk memanggil secara praktis setiap jenis dari sistem umpan-balik. Ketika sistem perintah telah diaplikasikan pada tiap jenis situasi, umpan-balik adalah sebagai pendeskripsi yang membedakan di sini. Umpan balik mengacu pada situasi dari X yang mempengaruhi Y dan Y pada gilirannya mempengaruhi X, bisa jadi melewati suatu rantai dari sebab dan akibat (System Dynamics Society, 2007 dalam Diena, 2009). III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga bulan November tahun 2009. Lokasi penelitian meliputi seluruh Wilayah Pengembangan Tegallega, Kota Bandung. Gambar 3.1 Lokasi Penelitian 15 3.2 Bahan dan Alat Penelitian Data yang digunakan dalam kegiatan penelitian meliputi data fisik dan data sosial. Jenis, sumber dan cara pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian disajikan dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data Jenis Data Sumber Data Cara Pengumpulan Data Badan Perencana Data wilayah Pembangunan Daerah administrasi (Bappeda) Studi pustaka Kota Bandung Data topografi, kemiringan, geologi, jenis tanah, dan hidrologi Fisik Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Studi pustaka Kota Bandung Badan Meteorologi Data klimatologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Studi pustaka dan survei lapang Kota Bandung Data penggunaan lahan Sosial Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung Data penutupan BIOTROP Training and lahan Information Center Data kependudukan Studi pustaka Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung Studi pustaka dan survei lapang Studi pustaka Alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut 1 Global Positioning System (GPS) sebagai alat untuk ground check truth, 2 kamera digital, 3 kalkulator scientific untuk mengolah data, dan 16 4 komputer dengan perangkat lunak ER Mapper 7, ERDAS Imagine 9.1, dan ArcView 3.3 untuk mengolah citra dan peta, serta STELLA 9.0.2 untuk pemodelan. 3.3 Metode Penelitian Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan sistem dinamik. Tahapan penelitian diskan pada Gambar 3.2. Persiapan • Lokasi • Alat • Konsep model Inventarisasi Analisis Data Pemodelan • Data primer • Data sekunder • Jumlah penduduk • Suhu udara dan kelembaban udara • THI (temperature humidity index) • Penutupan lahan • Analisis kebutuhan • Formulasi masalah • Identifikasi sistem • Pemodelan sistem • Verifikasi dan validasi • Implementasi Gambar 3.2 Diagram Alur Penelitian Tahapan penelitian yang dilakukan adalah persiapan, inventarisasi, analisis data, dan pemodelan. Berikut merupakan penjelasan dari tiap-tiap tahapan penelitian tersebut. 1. Persiapan Tahap ini merupakan tahap awal untuk menentukan lokasi penelitian, persiapan alat, dan penyusunan konsep model. Lokasi penelitian adalah di Wilayah Pengembangan Tegallega meliputi lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Bandung Kulon, Kecamatan Babakan Ciparay, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kecamatan Bojongloa Kidul, dan Kecamatan Astana Anyar. Lokasi tersebut dipilih sebagai objek penelitian karena merupakan wilayah pengembangan di Kota Bandung yang memiliki permasalahan mengenai 17 kependudukan, tepatnya masalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk. Terdapat pula fakta bahwa Kecamatan Bojongloa Kaler di Wilayah Pengembangan Tegallega merupakan daerah terpadat di Kota Bandung, dengan kepadatan penduduk sebesar 39.240,26 jiwa/km2. Konsep model yang digunakan dalam penelitian ini adalah hubungan laju alih fungsi lahan terbuka hijau (implikasi dari kepadatan penduduk) dengan perubahan suhu dan kelembaban. 2. Inventarisasi Inventarisasi dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait (Tabel 3.1). Data yang diperoleh berupa data spasial dan data tabular. Data spasial berupa citra Landsat ETM+ Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004, dan 2007, sedangkan data tabular berkaitan dengan data jumlah penduduk, data klimatologi, serta data kondisi umum Wilayah Pengembangan Tegallega. Untuk melihat kesesuaian data sekunder dengan keadaan sebenarnya di lapang, dilakukan pengumpulan data primer dengan melakukan survei lapang. Survei lapang berupa pengecekan titik-titik koordinat di lapang untuk melihat kesesuaian dengan peta, pengecekan lapang kondisi penutupan lahan saat ini, pengumpulan data iklim mikro (suhu udara dan kelembaban udara), dan perekaman kondisi visual yang berkaitan dengan penggunaan lahan pada saat ini. 3. Analisis data Data jumlah penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1999 hingga tahun 2007 digambarkan dalam bentuk grafik untuk memperlihatkan perubahannya tiap tahun dan dihitung laju pertumbuhannya tiap tahun, serta diproyeksikan untuk tahun 2009 dengan menggunakan metode trend. Menurut Tarigan (2008), metode trend bertujuan melihat kecenderungan pertumbuhan suatu variabel di masa lalu dan melanjutkan kecenderungan tersebut untuk masa yang akan datang sebagai proyeksi. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut log n dengan Pt Po = log (1 + r ) 18 Pt = Variabel pada tahun t Po = Variabel pada tahun dasar r = Rata-rata proporsi kenaikan variabel setiap tahun n = Selisih antara tahun dasar dengan tahun yagn diramalkan Data suhu udara dan kelembaban relatif hasil pengukuran lapang dibandingkan dengan data sekunder. Data suhu udara dan kelembaban relatif pada tahun 1999 hingga tahun 2007 digambarkan dalam bentuk grafik untuk memperlihatkan perubahannya tiap tahun. Data suhu udara dan kelembaban relatif baik hasil pengukuran lapang maupun data sekunder dihitung dengan indikator temperature humidity index (THI), serta digambarkan dalam bentuk grafik untuk memperlihatkan perubahannya tiap tahun. Berikut merupakan rumus yang digunakan untuk mendapatkan nilai THI THI = 0,8T + (RH × T ) 500 dengan THI = Temperature humidity index T = Suhu udara (oC) RH = Kelembaban relatif (%) (Nieuwolt, 1982 dalam Diena, 2009) Rentang nilai THI antara 20-26 merupakan nilai yang menyatakan suatu area nyaman di wilayah Indonesia (Ayoade, 1983 dalam Diena, 2009). Data penutupan lahan berdasarkan hasil pengolahan citra Landsat ETM+ Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004, dan 2007 dihitung laju perubahannya tiap tahun, serta diproyeksikan untuk tahun 2009 dengan menggunakan metode trend, kemudian dibandingkan hubungannya dengan pertumbuhan jumlah penduduk pada tahun tersebut. 4. Pemodelan Pemodelan untuk mengetahui pengaruh hubungan antara peningkatan jumlah penduduk terhadap perubahan pemanfaatan ruang dan kenyamanan menggunakan pendekatan sistem. Menurut Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007), tahapan pendekatan sistem diawali dengan analisis kebutuhan, 19 formulasi masalah, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi, serta implementasi. a. Analisis kebutuhan Penduduk memerlukan lahan untuk tempat tinggal dan tempat bekerja. Pemerintah memiliki tugas menyejahterakan masyarakat dengan memenuhi sarana dan prasarana yang layak. b. Formulasi masalah Permasalahan kependudukan yang terjadi di Wilayah Pengembangan Tegallega adalah peningkatan jumlah penduduk yang begitu pesat. Penduduk berhak mendapatkan tempat tinggal dan tempat bekerja. Pemerintah wajib menyediakan tempat tinggal dan tempat bekerja bagi penduduk. Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega terbatas sehingga lahan terbuka hijau pun dialihfungsikan demi memenuhi kebutuhan penduduk. Lahan terbuka hijau semakin berkurang dan mengakibatkan perubahan kenyamanan (peningkatan suhu udara dan kelembaban relatif). c. Identifikasi sistem Untuk mempelajari hubungan antara ”pernyataan kebutuhan” dan ”pernyataan masalah” disusun diagram causal loop (Diena, 2009). Variabel yang digunakan untuk mempelajari sistem adalah variabel jumlah penduduk, variabel lahan terbuka hijau, dan variabel kenyamanan (suhu udara dan kelembaban relatif). Diagram causal loop hubungan antara jumlah penduduk, luas lahan terbuka hijau, suhu udara, kelembaban relatif, dan nilai temperature humidity index dapat dilihat pada Gambar 3.3 20 Gambar 3.3 Diagram Causal Loop (Diena, 2009) d. Pemodelan sistem, verifikasi, dan validasi Berdasarkan diagram causal loop, diketahui bahwa jumlah penduduk mempengaruhi setiap jenis lahan terbuka hijau. Luas lahan terbuka hijau mempengaruhi suhu udara dan kelembaban relatif. Berdasarkan hubungan tersebut disusun hubungan kuantitatif antarvariabel yang berkaitan, yang direpresentasikan oleh aliran ’informasi’ pada diagram causal loop. Aliran informasi tersebut menunjukkan persamaan matematik yang akan digunakan pada model. Pada tahap awal, diperlukan pembuatan diagram pencar untuk melihat derajat korelasi antara variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). Menurut Walpole (1995), analisis korelasi memiliki tujuan untuk mencoba mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel melalui sebuah bilangan yang disebut koefisien korelasi. Koefisien korelasi dalam hal ini sebagai ukuran hubungan linear antara dua variabel acak X dan Y, dan dilambangkan dengan r. Jadi, r mengukur sejauh mana titik-titik menggerombol sekitar sebuah garis lurus. Jika titik-titik menggerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan positif, terdapat korelasi positif yang tinggi antara kedua variabel. Akan tetapi, jika titiktitik mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan negatif, antara kedua 21 variabel itu terdapat korelasi negatif yang tinggi. Korelasi antara kedua variabel semakin menurun secara numerik dengan semakin memencarnya atau menjauhnya titik-titik dari suatu garis lurus. Bila r mendekati -1 atau +1, hubungan antara kedua variabel itu kuat dan dikatakan terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya. Berikut disajikan rumus koefisien korelasi linear (r) yaitu: r= n ⎛ n ⎞⎛ n ⎞ n∑ xi yi − ⎜ ∑ xi ⎟⎜ ∑ yi ⎟ i =1 ⎝ i =1 ⎠⎝ i =1 ⎠ ⎡ n 2 ⎛ n ⎞2 ⎤ ⎡ n 2 ⎛ n ⎞2 ⎤ ⎢n∑ xi − ⎜ ∑ xi ⎟ ⎥ ⎢n∑ yi − ⎜ ∑ yi ⎟ ⎥ ⎝ i =1 ⎠ ⎥⎦ ⎢⎣ i =1 ⎝ i =1 ⎠ ⎥⎦ ⎢⎣ i =1 Kemudian, berdasarkan diagram pencar, jika terdapat hubungan linear antara kedua variabel, yang perlu dinyatakan secara matematik dengan sebuah persamaan garis lurus yang disebut garis regresi linear. Sebuah garis lurus dapat dituliskan dengan persamaan berikut yˆ = a + bxˆ dengan b dapat diperoleh dari rumus n ⎛ n ⎞⎛ n ⎞ n∑ xi yi − ⎜ ∑ xi ⎟⎜ ∑ yi ⎟ ⎝ i =1 ⎠⎝ i =1 ⎠ b = i =1 2 n ⎛ n ⎞ 2 n∑ xi − ⎜ ∑ xi ⎟ i =1 ⎝ i =1 ⎠ dan a = y − bx Berdasarkan diagram causal loop, analisis korelasi, dan analisis regresi didapatkan persamaan fungsi jumlah penduduk dengan luas tiap jenis lahan terbuka hijau, jumlah penduduk dengan luas lahan terbuka hijau keseluruhan, serta luas lahan terbuka hijau keseluruhan dengan suhu udara dan kelembaban relatif. 22 Kemudian berdasarkan data jumlah penduduk dan luas tiap jenis lahan terbuka hijau pada tahun 1999, 2004, 2007, dan 2009 diperoleh laju pertumbuhan penduduk tiap tahun dan koefisien laju desakan pengurangan luas tiap jenis lahan terbuka hijau sebagai implikasi penambahan jumlah penduduk. Nilai-nilai laju tersebut beserta persamaan regresi linear luas lahan terbuka hijau dengan suhu udara dan kelembaban relatif digunakan dalam simulasi model dengan bantuan program aplikasi komputer STELLA 9.0.2. Tahapan simulasi model yang dilakukan adalah sebagai berikut 1) membuat model simulasi 2) memasukkan nilai koefisien dan fungsi persamaan pada model simulasi (dalam 6 skenario berbeda), 3) membuat simulasi model untuk 25 tahun ke depan, 4) menentukan alternatif skenario yang terbaik. Gambar 3.4 Struktur Model Simulasi (Diena, 2009) Tahap perancangan skenario pada simulasi model menggunakan beberapa Peraturan Pemerintah Daerah terkait dengan permasalahan kependudukan dan tata ruang kota yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan skenario. Hal-hal yang menjadi pertimbangan pembuatan skenario adalah sebagai berikut 23 1. Ruang lingkup skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan sebesar 450.000 jiwa hingga kurang dari 1.000.000 jiwa. 2. Kebijakan RUTRK Kotamadya Bandung tentang kependudukan untuk pencapaian laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,77% (tahun 2003). 3. Pencapaian luas minimal lahan terbuka hijau sesuai RDTRK Wilayah Pengembangan Tegallega sebesar 30% luas wilayah, sedangkan luas lahan terbuka hijau saat ini sebesar 20%. Diasumsikan batas minimal lahan terbuka hijau adalah 15% luas wilayah atau 371,19 ha. e. Implementasi Tahap implementasi diwujudkan dalam bentuk penyusunan kebijakan berdasarkan skenario terbaik yang dihasilkan dari simulasi model mengenai jumlah penduduk, luas lahan terbuka hijau, dan kenyamanan. Skenario yang menjadi rekomendasi adalah skenario yang sesuai pada permasalahan di Wilayah Pengembangan Tegallega dengan berbagai asumsi khusus. 3.4 Batasan Penelitian 1. Model dibatasi pada proses peningkatan jumlah penduduk terhadap pengalihfungsian lahan terbuka hijau (sawah, kebun campuran, rumput dan semak, serta tegakan pohon). 2. Indikator temperature humidity index (THI) sebagai standar kenyamanan menggunakan variabel suhu udara dan kelembaban relatif. 3. Suatu area nyaman memiliki rentang nilai THI antara 20-26 (Ayoade, 1983 dalam Diena, 2009). IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6o 49’ 58” hingga 6o 58’ 38” Lintang Selatan dan 107o 32’ 32” hingga 107o 43’ 56” Bujur Timur dengan luas wilayah sebesar 16.729,650 ha. Secara administratif, pengembangan, Kota yaitu Bandung Wilayah terbagi menjadi Pengembangan enam Bojonagara, Pengembangan Cibeunying, Wilayah Pengembangan Tegallega, wilayah Wilayah Wilayah Pengembangan Karees, Wilayah Pengembangan Ujungberung, dan Wilayah Pengembangan Gedebage. Wilayah perencanaan mencakup seluruh Wilayah Pengembangan Tegallega. Wilayah Tegallega terletak di bagian Barat Daya Kota Bandung, tepatnya pada 6o 53’ 13” hingga 6o 57’ 43” Lintang Selatan dan 107o 32’ 53” hingga 107o 36’ 51” Bujur Timur. Luas areal Wilayah Pengembangan Tegallega adalah 2.707,07 ha. Wilayah Pengembangan Tegallega memiliki batas-batas wilayah administrasi, yaitu a. Sebelah Utara : Wilayah Pengembangan Bojonagara (Jalan Jend. Sudirman). b. Sebelah Timur : Wilayah Pengembangan Karees (Jalan Moch. Toha dan Jalan Otto Iskandardinata). c. Sebelah Selatan : Kabupaten Bandung (TOL Padalarang-Cileunyi). d. Sebelah Barat Kota Cimahi. : Wilayah Pengembangan Tegallega terdiri atas lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Bandung Kulon, Kecamatan Babakan Ciparay, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kecamatan Bojongloa Kidul, dan Kecamatan Astana Anyar. Data mengenai luas wilayah tiap kecamatan di Wilayah Pengembangan Tegallega dapat dilihat pada Tabel 4.1. Pembagian wilayah administrasi tiap kecamatan secara spasial dapat dilihat pada Gambar 4.2. Tabel 4.1 Luas Wilayah Tiap Kecamatan di Wilayah Pengembangan Tegallega Kecamatan Luas (ha) Astana Anyar Bojongloa Kidul Bojongloa Kaler Babakan Ciparay Bandung Kulon 295,26 622,93 326,81 735,32 726,75 Jumlah 2.707,07 Sumber: Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Bandung, 2004 4.1.2 Topografi Ketinggian lahan Wilayah Pengembangan Tegallega berada antara 650- 980 m dari permukaan laut. Wilayah yang memiliki dataran paling tinggi berada di sebelah Utara kaki Bukit Manglayang, sedangkan dataran paling rendah berada di sebelah Selatan berdekatan dengan Jalan Soekarno-Hatta atau jalan kereta api. Berdasarkan hasil observasi Kantor Pertanahan Kota Bandung di sepanjang wilayah Utara, Tengah, hingga Selatan, dapat diidentifikasi bahwa Wilayah Pengembangan Tegallega terletak di kaki Bukit Manglayang, dengan kondisi topografi bergelombang dan curam di bagian Utara, landai di bagian Tengah, dan datar di bagian Selatan. Berdasarkan hasil survey instansi Kantor Pertanahan Kota Bandung, bentuk Wilayah Pengembangan Tegallega dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelas, yaitu datar hingga berombak, berombak hingga berbukit, dan berbukit hingga bergunung. Secara rinci persentase dari ketiga kelas bentuk wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Karakteristik Bentuk Wilayah Pengembangan Tegallega Dominasi Bentuk Wilayah No Kecamatan Datar-berombak (%) 50 Berombak-berbukit (%) 43 Berbukit-bergunung (%) 7 1 Bandung Kulon 2 Babakan Ciparay 50 43 7 3 Bojongloa Kidul 70 30 0 4 Bojongloa Kaler 50 43 7 5 Astana Anyar 70 30 0 Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, 2007 Bila dilihat pada tabel di atas, pada umumnya karakteristik topografi Wilayah Pengembangan Tegallega merupakan daerah dataran hingga berombak. Namun, terdapat pula sebagian wilayahnya yang terletak pada daerah perbukitan. 4.1.3 Kemiringan Secara umum, kemiringan lahan Wilayah Pengembangan Tegallega terbagi atas lima klasifikasi yaitu 0-3 %, 3-8 %, 8-15 %, 15-25 %, dan >25 %. Hampir 80 persen wilayah Tegallega merupakan lahan potensial dengan kemiringan 0-8 % membentuk dataran tinggi yang melandai ke bagian Selatan. Sedangkan kemiringan lahan di atas 8 % berada di sekitar sungai atau kali. Secara rinci persentase dari tiap kelas kemiringan lahan pada Wilayah Pengembangan Tegallega dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Luas Lahan Berdasarkan Kelas Kemiringan di Wilayah Pengembangan Tegallega 1 Kemiringan (%) 0-3 2 3-8 Landai 262,59 9,7 3 8-15 Agak bergelombang 324,85 12,0 4 15-25 Bergelombang 240,93 8,9 5 >25 Curam 295,07 10,9 No Datar Luas (ha) 1.583,63 Persentase (%) 58,5 Klasifikasi Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, 2007 4.1.4 Geologi Menurut data instansional Bidang Fisik, Bappeda Kota Bandung, teridentifikasi bahwa Wilayah Pengembangan Tegallega ditutupi oleh batuan berumur kwarter dengan kondisi tanahnya merupakan hasil pelapukan dari satuan vulkanik dan endapan banjir. Penyebaran dari satuan vulkanik terdapat di seluruh Wilayah Pengembangan Tegallega. Satuan batuan vulkanik ini merupakan hasil aktifitas gunung berapi yang tidak teruraikan. Satuan breksi hasil pelapukan batuan berumur kuarter memiliki ciri-ciri yaitu warna coklat kehitaman, komponen andesit dan basal, butirannya menyudut, massa dasar tufa kompak dan kuat. Lava berwarna abu-abu kehitaman, bersifat andesit dan basaltis, kompak dan kuat, serta kedap air. Sedangkan penyebaran endapan banjir terdapat hanya pada lokasi bekas genangan di Wilayah Pengembangan Tegallega, diantaranya yaitu pada sebagian Kecamatan Bandung Kulon, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kecamatan Bojongloa Kidul, dan Kecamatan Babakan Ciparay. Endapan Banjir yang berumur kuarter ini terdiri dari bahan lempung. 4.1.5 Jenis Tanah Berdasarkan karakteristik jenis tanah regional dapat diidentifikasi bahwa Wilayah Pengembangan Tegallega didominasi oleh jenis tanah lempung lanauan dengan jenis tanah yang terdiri dari endapan danau dan kipas alluvial, sehingga tanahnya relatif subur untuk daerah pertanian khususnya tanaman pangan. Berdasarkan karakteristik jenis tanahnya, Wilayah Pengembangan Tegallega berada di antara dua zona sebaran jenis tanah, yaitu aluvium dan latosol. Rincian karakteristik jenis tanah pada wilayah Pengembangan Tegallega dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Sifat Tanah pada Wilayah Pengembangan Tegallega No Sifat Tanah Aluvial Latosol 1 Tebal solum (kedalaman efektif) <50 cm 130-150 cm 2 Warna tanah Kelabu Merah, coklat kekuningan 3 Struktur tanah Tidak berstruktur Remah 4 Tekstur tanah Liat berpasir Liat 7-8 4,5-6,5 6 Permeabilitas Lambat-sedang Cepat-lambat 7 Bahaya erosi Cukup peka Peka 8 Sebaran kemiringan 0-8% 0-30% 9 Sebaran ketinggian 0-400 m 10-1000 m <30% 3-9% 5 Keasaman (pH) 10 Kandungan bahan organik Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, 2007 Berdasarkan tebal solumnya (kedalaman efektif), profil tanah wilayah perencanaan bervariasi dari 50-150 cm dengan sebagian besar meliputi profil tanah >90 cm. Profil ketebalan tanah ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan tanah untuk mendukung tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, wilayah perencanaan memiliki potensi tinggi untuk mendukung pengembangan fungsi tata hijau. 4.1.6 Hidrologi Wilayah Pengembangan Tegallega dilalui oleh tujuh aliran sungai, terdiri dari sungai induk dan anak sungai yang seluruhnya mengalir dari Utara menuju Selatan. Panjang sungai berkisar antara 3,5 hingga 28,0 km dengan lebar antara 2 hingga 6 m. Di wilayah ini sungai berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah pabrik, pembuangan air hujan, dan sumber air irigasi sawah. Oleh sebab itu, tingkat pencemaran di beberapa sungai menjadi sangat tinggi. Kondisi kualitas air di Wilayah Pengembangan Tegallega umumnya cukup rawan dimana air tanah dangkal berwarna kekuningan dan terasa kurang baik untuk langsung digunakan, demikian pula kondisi kualitas air sungai. Hal ini disebabkan oleh banyaknya jenis industri yang berlokasi di sekitar Wilayah Pengembangan Tegallega. Sungaisungai ini umumnya tidak kering pada musim kemarau, hanya berkurang debit aliran airnya. Data mengenai panjang dan lebar sungai di Wilayah Pengembangan Tegallega dapat dilihat pada Tabel 4.5. 4.1.7 Klimatologi Berdasarkan survey instansional Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Balai II Stasiun Geofisika Kelas I Kota Bandung, didapatkan beberapa data mengenai tipe iklim, temperatur, kelembaban udara, curah hujan dan hari hujan, kecepatan angin dan arah angin selama beberapa tahun terakhir, tepatnya dari tahun 2000 hingga 2004. Tipe iklim Wilayah Pengembangan Tegallega berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson adalah tipe B (basah). Untuk temperatur udara rata-rata berkisar antara 22,90oC hingga 24,00oC. Suhu minimum terendah tercatat 18,00oC pada bulan Agustus, sedangkan suhu maksimum tercatat pada bulan Oktober sebesar 30,16oC. Kelembaban udara rata- rata di Wilayah Pengembangan Tegallega tercatat terendah pada bulan Agustus yaitu sebesar 69,6%, sedangkan tertinggi tercatat 81,0% pada bulan November. Curah hujan yang terjadi di Wilayah Pengembangan Tegallega ini berkisar antara 39,2 mm hingga 282,0 mm. Curah Hujan terendah terjadi pada bulan Agustus, sedangkan curah hujan tertinggi pada bulan Februari dan November. Untuk data hari hujan tercatat berkisar anatara 4 hari hujan hingga 24 hari hujan per bulan. Hari hujan terendah terjadi pada bulan Agustus, sedangkan hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Maret. Dan untuk arah angin selama lima tahun terakhir di Wilayah Pengembangan Tegallega secara umum menuju ke arah Barat. Komponen Iklim yang dianalisis lebih lanjut dalam perencanaan adalah suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata. Oleh karena itu, diperlukan data mengenai suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata dari selang waktu yang lebih panjang. Data suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif ratarata di Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 1999 hingga 2007 dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel 4.5 Panjang dan Lebar Sungai yang Melintas di Wilayah Pengembangan Tegallega No Nama Sungai Muara Panjang (km) Lebar Rata-rata Hulu (m) Hilir (m) 1 Cibeureum Citarum 3,50 5 6 2 Kalimalang Citarum 0,70 3 3 3 Cipanya Citarum 1,90 1 2 4 Cicukang Citarum 1,10 3 4 5 Cilimus Citarum 1,50 2 3 6 Ciroyom Citarum 1,80 5 7 7 Cikakak Citarum 1,50 3 5 8 Citepus Citarum 4,10 12 16 9 Cibojong Citarum 1,60 4 4 10 Kalianggara Citarum 1,20 3 5 11 Kaliranca Citarum 0,30 3 3 12 Cikeueus Citarum 1,07 3 4 Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, 2007 Tabel 4.6 Data Suhu Udara Rata-Rata dan Kelembaban Relatif Rata-Rata di Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 1999-2007 Tahun Suhu Udara Rata-rata (oC) Kelembaban Relatif Rata-rata (%) 1999 22,9 77 2000 23,5 76 2001 23,1 78 2002 23,6 77 2003 23,6 76 2004 23,5 77 2005 23,4 82 2006 23,5 80 2007 23,5 81 Rata-rata 23,4 78 Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kota Bandung, 2007 4.2 Kondisi Sosial Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek-aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan adalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang menempati suatu wilayah. Secara keseluruhan Wilayah Pengembangan Tegallega dihuni oleh 531.785 jiwa pada tahun 2007 menurut Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2007. Dengan jumlah penduduk tertinggi berada pada Kecamatan Babakan Ciparay sebesar 137.392 jiwa dan jumlah penduduk terendah pada Kecamatan Astana Anyar sebesar 70.648 jiwa. Namun, bila ditinjau dari luas wilayah tiap kecamatan maka Kecamatan Bojongloa Kaler dengan luas wilayah hanya sebesar 3,03 km2 menjadi kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi, bahkan tertinggi di Kota Bandung yaitu 39.240 jiwa/km2. Distribusi penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega selengkapnya tiap kecamatan dari tahun 1999 hingga tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 1. 4.3. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan menurut Arsyad (2000) dikelompokkan menjadi dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian (tegalan, sawah, kebun, hutan lindung, dan sebagainya) dan penggunaan lahan bukan pertanian (permukiman, industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya). Hasil survey Instansional Kantor Pertanahan Kota Bandung tahun 2007 mengklasifikasikan penggunaan lahan pada Wilayah Pengembangan Tegallega secara garis besar meliputi perumahan, perdagangan, jasa, pemerintahan, peribadatan, pendidikan, kesehatan, gedung pertemuan, pariwisata atau rekreasi, pelayanan pemerintahan, prasarana transportasi, industri dan pergudangan, ruang terbuka hijau, dan pertanian. Untuk membandingkan perubahan penggunaan lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1992 dan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 4.7. Dan untuk menggambarkan kondisi penggunaan lahan pada saat ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. 4.4. Penutupan Lahan Penutupan lahan Wilayah Pengembangan Tegallega diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu badan air, lahan sawah, lahan kebun campuran, lahan rumput dan semak, lahan tegakan pohon dan lahan terbangun. Klasifikasi ini merupakan hasil interpretasi dan pengolahan citra Landsat ETM+ Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004, dan 2007. Data mengenai luas tiap kelas penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 4.8 dan persentase penutupan lahan di wilayah Pengembangan Tegallega dapat dilihat pada Gambar 4.4. Peta pentupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004, dan 2007 dapat dilihat berturut-turut pada Gambar 4.3, Gambar 4.4, dan Gambar 4.5. Tabel 4.7 Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1992 dan Tahun 2007 Penggunaan Lahan Perumahan Perkantoran Perdagangan Jasa Industri Fasilitas Terminal Ruang Terbuka Sawah Kolam Jumlah Tahun 1992 (ha) 2.135.128 159.912 136.394 45.418 19.009 7.000 46.415 2.549.276 Tahun 2007 (ha) 1.310.200 436.600 99.500 226.200 80.800 181.600 186.400 28.600 2.549.900 Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, 2007 Tabel 4.8 Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, dan Tahun 2007 Tahun 1999 Luas (ha) (%) Badan air 109,19 4,40 Sawah 88,59 3,57 Kebun campuran 148,36 5,98 Rumput dan semak 336,39 13,57 Tegakan pohon 232,16 9,36 Lahan terbangun 1.565,09 63,11 JUMLAH 2.479,78 100,00 Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat, 2009 Klasifikasi Penutupan Lahan Tahun 2004 Luas (ha) (%) 80,52 3,25 74,91 3,02 120,63 4,86 251,52 10,14 221,59 8,94 1.730,61 69,79 2.479,78 100,00 Tahun 2007 Luas (ha) (%) 22,03 0,89 50,09 2,02 85,37 3,44 212,47 8,57 199,94 8,06 1.909,89 77,02 2.479,78 100,00 Sawah (Kecamatan Bojongloa Kidul) Kebun campuran (Kecamatan Babakan Ciparay) Sungai (Kecamatan Bojongloa Kidul) Kolam (Kecamatan Bojongloa Kidul) Taman (Kecamatan Astana Anyar) Pemakaman (Kecamatan Babakan Ciparay) Pemukiman (Kecamatan Bandung Kulon) Perkantoran dan perdagangan (Kecamatan Astana Anyar) Gambar 4.1 Contoh Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega Gambar 4.2 Peta Administrasi Wilayah Pengembangan Tegallega Gambar 4.3 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 1999 Gambar 4.4 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 2004 Gambar 4.5 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan adalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang menempati suatu wilayah. Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bandung, jumlah penduduk di Wilayah Pengembangan Tegallega mengalami kenaikan setiap tahun, dari tahun 1999 sebesar 408.779 jiwa menjadi 531.785 jiwa di tahun 2007 atau dengan kata lain dalam kurun waktu sembilan tahun terjadi penambahan jumlah penduduk sebesar 123.006 jiwa. Berikut data mengenai jumlah penduduk dan kepadatan penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1999 hingga tahun 2007. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah Penduduk (jiwa) 408.779 491.254 494.943 503.750 516.259 517.271 520.646 525.945 531.785 Kepadatan Penduduk (jiwa/ km2) 15.668 18.829 18.971 19.308 19.788 19.826 19.956 20.159 20.383 Luas Wilayah (km2) 26,09 26,09 26,09 26,09 26,09 26,09 26,09 26,09 26,09 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2007 Berdasarkan penghitungan didapatkan rata-rata proporsi kenaikan penduduk setiap tahun sebesar +3,34%. Namun, terdapat fenomena kenaikan jumlah penduduk yang sangat signifikan pada tahun 2000, yaitu sebesar 82.475 jiwa dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada tahun 1999 merupakan masa krisis yang melanda di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kota Bandung, khususnya Wilayah Pengembangan Tegallega. Oleh sebab itu, terjadi kecenderungan adanya migrasi dari luar Wilayah Pengembangan Tegallega untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, diantaranya dari Kabupaten Bandung ataupun wilayah lain di Kota Bandung. Kenaikan jumlah penduduk ini berkorelasi positif terhadap kenaikan tingkat kepadatan penduduk dengan pertimbangan bahwa luas wilayah tetap, sehingga didapatkan kepadatan penduduk pada tahun 2007 sebesar 20.383 jiwa setiap 1 km2. Berdasarkan data jumlah penduduk dari tahun 1999 hingga 2007, dengan rata-rata proporsi kenaikan penduduk setiap tahun sebesar +3,34% maka dapat diprediksi bahwa jumlah penduduk pada tahun 2009 mencapai nilai sebesar 567.901 jiwa. Penghitungan ini didasarkan atas asumsi bahwa laju pertumbuhan penduduk pada masa lalu akan berlanjut di masa yang akan datang. Bila ditinjau dari tiap kecamatan, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk pada Wilayah Pengembangan Tegallega belum terdistribusi secara merata. Jumlah penduduk tertinggi pada tahun 2007 berada pada Kecamatan Babakan Ciparay yaitu sebesar 137.392 jiwa dan jumlah penduduk terendah pada tahun yang sama berada pada Kecamatan Astana Anyar yaitu sebesar 70.648 jiwa. Namun, Kecamatan Babakan Ciparay memiliki luas wilayah terluas di Wilayah Pengembangan Tegallega, yaitu sebesar 7,45 km2 sehingga kepadatan penduduknya masih relatif sedang (<25.000 jiwa/km2 menurut standar Dinas Pekerjaan Umum), yaitu sebesar 18.442 jiwa/km2. Kepadatan tertinggi pada tahun 2007 berada pada Kecamatan Bojongloa Kaler yang luas wilayahnya hanya 3,03 km2, yaitu sebesar 39.240 jiwa/km2 dengan jumlah penduduk sebesar 118.898 jiwa. Kecamatan Bojongloa Kidul merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah dari tahun 1999 hingga tahun 2007, yaitu sebesar 12.696 jiwa/km2 pada tahun 2007. Distribusi penduduk di Wilayah Pengembangan Tegallega relatif tetap dari tahun 1999 hingga tahun 2007, dengan proporsi kenaikan yang berbeda tiap kecamatan. Berdasarkan penghitungan didapatkan rata-rata proporsi kenaikan penduduk tiap kecamatan yaitu dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah berturut-turut adalah Kecamatan Babakan Ciparay (+5,4%), Kecamatan Bandung Kulon (+4,0%), Kecamatan Bojongloa Kidul (+3,3%), dan Kecamatan Bojongloa Kaler (+3,0%). Sedangkan Kecamatan Astana Anyar mengalami trend proporsi yang cenderung menurun yaitu sebesar (-0,9%). Berikut grafik mengenai jumlah penduduk dan kepadatan penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega menurut kecamatan pada tahun 1999 hingga tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 5.1 dan Gambar 5.2. Jumlah Penduduk (jiwa) 140.000 Bandung Kulon 130.000 Babakan Ciparay 120.000 Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul 110.000 Astana Anyar 100.000 90.000 80.000 70.000 60.000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Gambar 5.1 Grafik Jumlah Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega menurut Kecamatan pada Tahun 1999-2007 Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 40.000 Bandung Kulon 35.000 Babakan Ciparay Bojongloa Kaler 30.000 Bojongloa Kidul 25.000 Astana Anyar 20.000 15.000 10.000 5.000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Gambar 5.2 Grafik Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega menurut Kecamatan pada Tahun 1999-2007 Namun, secara umum jumlah penduduk tertinggi relatif tetap berada pada Kecamatan Babakan Ciparay dan kepadatan tertinggi relatif tetap berada pada Kecamatan Bojongloa Kaler. Lokasi Kecamatan Bojongloa Kaler yang sangat strategis, yaitu berada di pusat Wilayah Pengembangan Tegellega menjadi faktor penyebab berpusatnya penduduk di kecamatan tersebut. Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terendah berada pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Bojongloa Kidul dan Kecamatan Astana Anyar yang jumlahnya cenderung berfluktuasi. Dan kepadatan penduduk terendah pun tetap berada pada Kecamatan Bojongloa Kidul. 5.2 Hasil Pengukuran Aspek Klimatologi Aspek klimatologi yang dilakukan pengamatan dan pengukuran adalah suhu udara dan kelembaban udara. Pengukuran menggunakan alat termohgygrometer yang diletakkan pada suatu sangkar buatan dengan ketinggian relatif sebesar 30 cm terhadap ketinggian permukaan tanah setempat. Penentuan lokasi pengukuran suhu udara dan kelembaban udara berdasarkan pertimbangan klasifikasi penutupan lahan yang dibagi menjadi tiga kelas lokasi, yaitu kelas lahan terbuka hijau (tiga lokasi), kelas badan air (tiga lokasi), dan kelas lahan terbangun (tiga lokasi). Lokasi pengukuran dapat dilihat pada (Lampiran 4). Pengukuran dilakukan pada tiga waktu, yaitu pada pagi hari (Pukul 07.00 WIB), siang hari (Pukul 13.00 WIB), dan pada sore hari (Pukul 18.00). Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 5.2. Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan suhu udara rata-rata terendah adalah pada penutupan lahan badan air yaitu sebesar 26,0oC, sedangkan suhu udara rata-rata tertinggi sebesar 26,8oC berada pada lahan terbangun. Kelembaban relatif rata-rata terendah sebesar 77,1% pada lahan terbangun dan tertinggi pada lahan terbuka hijau sebesar 80,7%. Pada lahan terbangun, suhu udara rata-rata cenderung lebih tinggi dan kelembaban relatif rata-rata cenderung lebih rendah dibandingkan dengan badan air dan lahan terbuka hijau. Hal ini disebabkan suhu udara dipengaruhi oleh suhu permukaan bumi, di mana permukaan bumi merupakan permukaan penyerap utama dari radiasi matahari sehingga permukaan bumi merupakan sumber panas bagi udara di atasnya dan bagi lapisan tanah di bawahnya (Lakitan, 1994). Dalam hal ini, permukaan bumi adalah lahan terbangun yang material penyusunnya dapat berupa bangunan, jalan aspal, atau pun perkerasan beton. Material perkerasan tersebut menyerap panas sepanjang hari (Miller, 1986 dalam Irwan, 2008) dan memindahkan panas secara konduksi pada lapisan udara yang sangat tipis dekat dengan permukaan (Handoko, 1995). Sedangkan kelembaban relatif rata-rata cenderung rendah karena kurangnya pori-pori permukaan untuk evaporasi. Suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata pada lahan terbuka hijau dan badan air berbanding terbalik bila dibandingkan pada lahan terbangun. Hal ini disebabkan pada kedua penutupan lahan tersebut memiliki material penyusun berupa vegetasi dan air di mana bersifat mengandung banyak kadar uap air yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses transpirasi dan evaporasi (Lakitan, 1994). Proses tersebut yang menjadi faktor rendahya suhu udara rata-rata dan tingginya kelembaban relatif rata-rata pada badan air dan lahan terbuka hijau. Tabel 5.2 Hasil Pengamatan dan Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega Sumber: Pengukuran Lapang Bulan November 2009 ⎡ (a × 2 ) + b + c ⎤ ⎥⎦ 4 ⎣ Keterangan: *) Nilai rata-rata = ⎢ a = hasil pengukuran Pukul 07.00 WIB b = hasil pengukuran Pukul 13.00 WIB c = hasil pengukuran Pukul 18.00 WIB (Metode penghitungan mengacu pada metode BMKG) Pengukuran suhu udara dan kelembaban relatif pada beberapa lokasi di Wilayah Pengembangan Tegallega dilakukan pada Bulan November 2009. Menurut Lakitan (1994), suhu maksimum tertinggi umumnya tercapai pada sekitar Bulan Oktober (akhir musim kemarau) dan suhu minimum terendah tercapai pada Bulan Juli dan Agustus. Oleh karena itu, Bulan November termasuk awal musim hujan dengan suhu udara dan kelembaban relatif cenderung tidak ekstrim. Untuk pembanding data hasil pengukuran lapang dapat dilihat data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Bandung pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega Periode Bulan November 2009 Tanggal Suhu Udara Rata-rata (oC) Kelembaban Relatif Rata-rata (%) 1 24,3 73 2 24,6 71 3 21,9 76 4 25,1 72 5 25,2 69 6 23,8 75 7 24,2 78 8 24,5 73 9 25,2 71 10 24,2 83 11 23,0 88 12 22,4 91 13 23,5 83 14 24,6 77 15 24,3 81 16 23,8 84 17 21,8 90 18 22,1 89 19 22,8 87 20 21,2 94 21 21,8 90 22 21,3 94 23 23,5 66 24 23,0 79 25 22,5 84 26 23,0 86 27 23,4 85 28 23,8 84 29 23,6 84 30 22,6 84 Rata-rata 23,4 81 Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kota Bandung, 2009 Menurut data BMKG Kota Bandung, suhu udara rata-rata pada Bulan November sebesar 23,4oC dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 81%. Perbedaan nilai suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata antara hasil pengukuran lapang dengan data BMKG Kota Bandung disebabkan letak stasiun pengukuran BMKG Kota Bandung yang berada di wilayah dengan beda ketinggian relatif besar dengan Wilayah Pengembangan Tegallega. Dengan demikian, suhu udara dan kelembaban udara berdasarkan hasil pengukuran lapang lebih bersifat mikro untuk mewakili kondisi Wilayah Pengembangan Tegallega. 5.3 Penghitungan Nilai Temperature Humidity Index (THI) Penghitungan aspek klimatologi meliputi unsur suhu udara dan kelembaban relatif dilakukan untuk mendapatkan nilai Temperature Humidity Index (THI) sebagai indikator kenyamanan manusia. Berikut hasil penghitungan nilai THI berdasarkan data pengukuran lapang dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Nilai THI di Wilayah Pengembangan Tegallega Berdasarkan Data Hasil Pengukuran Lapang Bulan November 2009 Sumber: Hasil Penghitungan Data Pengukuran Lapang Bulan November 2009 Berdasarkan penghitungan data pengukuran lapang didapatkan nilai THI berturut-turut dari yang paling rendah yaitu pada badan air (THI=25,0), lahan terbuka hijau (THI=25,3), dan lahan terbangun (THI=25,6). Nilai THI pada lahan terbangun hampir mendekati nilai 26 yang berarti bahwa kenyamanan pada lahan terbangun hampir mencapai ambang batas kenyamanan manusia. Begitu pula THI pada badan air dan lahan terbuka hijau yang relatif kurang nyaman. Bila meninjau data suhu udara dan kelembaban relatif berdasarkan data BMKG Kota Bandung, menunjukkan pada tahun 1999 hingga tahun 2007 (Lampiran 2) terjadi fluktuasi baik pada suhu udara, maupun kelembaban relatif. Secara teori, semakin tinggi suhu udara berbanding terbalik dengan semakin turunnya kelembaban relatif. Namun, trend perubahan dari tahun ke tahun cenderung meningkat, baik suhu udara maupun kelembaban relatif. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor radiasi matahari yang intensitasnya relatif tinggi, sehingga proses penguapan air ke atmosfer cenderung tinggi menyebabkan kelembaban relatif cenderung tinggi pula. Kemudian fenomena peningkatan ini terjadi pula pada nilai THI yang berfluktuasi pada rentang nilai terendah 21,84 hingga nilai tertinggi 22,62. Berikut perbandingan suhu udara, kelembaban relatif, dan nilai THI pada Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1999 hingga tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 5.3, Gambar 5.4, dan Gambar 5.5. Selanjutnya data aspek klimatologi ini akan dilakukan analisis lebih lanjut dalam kaitan hubungan dengan perubahan penutupan lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega. 23,8 Suhu Udara (oC) 23,5 23,3 23,0 22,8 1999 2000 2001 2002 Suhu Udara Rata-rata 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Linear (Suhu Udara Rata-rata) Gambar 5.3 Grafik Suhu Udara Rata-Rata Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007 Kelembaban Relatif (%) 83 81 79 77 75 1999 2000 2001 2002 2003 Kelembaban Relatif Rata-rata 2004 2005 2006 2007 Tahun Linear (Kelembaban Relatif Rata-rata) Gambar 5.4 Grafik Kelembaban Relatif Rata-Rata Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007 22,75 Nilai THI 22,50 22,25 22,00 21,75 1999 2000 2001 2002 Nilai THI Rata-rata 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Linear (Nilai THI Rata-rata) Gambar 5.5 Grafik Nilai THI Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007 5.4 Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Penggunaan lahan pada suatu wilayah tidak dapat dipisahkan dengan penutupan lahan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh manusia dalam memanfaatkan lahan sehingga penampakan permukaan lahan memiliki ciri tertentu. Penutupan lahan menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) diklasifikasikan menjadi kelas perkampungan, sawah, tegalan atau kebun, ladang berpindah, alang dan semak belukar, dan lain-lain. Penutupan lahan dapat diinterpretasi melalui penginderaan jauh. Berdasarkan proses interpretasi dan pengolahan citra Landsat ETM+ Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004 dan 2007 yang mengacu pada klasifikasi BPN, penutupan lahan Wilayah Pengembangan Tegallega diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu badan air, lahan sawah, lahan kebun campuran, lahan rumput dan semak, lahan tegakan pohon dan lahan terbangun. Data perubahan penutupan lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1999, tahun 2004, dan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 5.5. Berdasarkan hasil pengolahan citra Landsat ETM+ Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004, dan 2007 didapatkan luas total Wilayah Pengembangan Tegallega seluas 2.479,78 Ha. Luasan ini berbeda dibandingkan dengan hasil observasi dinas pemerintahan terkait. Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung menyampaikan bahwa luas total Wilayah Pengembangan Tegallega adalah seluas 2.707,07 Ha, menurut Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung seluas 2.549,90 Ha, dan berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung seluas 2.609 Ha. Hal ini disebabkan oleh metode dan alat untuk penghitungan luasan antara hasil penelitian dengan hasil observasi tiap-tiap dinas pemerintahan tersebut berbeda, sehingga terdapat perbedaan dalam proses pengolahan peta dan hasilnya pun menjadi berbeda satu sama lain. Sedangkan hasil klasifikasi penutupan lahan dari citra Landsat ETM+ menunjukkan nilai akurasi (Overall Classification Accuracy) sebesar 85,71%, hal ini menunjukkan bahwa hasil klasifikasi memiliki validitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Luas badan air, sawah, kebun campuran, rumput dan semak, dan tegakan pohon mengalami penurunan dari tahun 1999 hingga tahun 2007. Proporsi penurunan tiap tahun dari yang tertinggi hingga terendah berturut-turut yaitu badan air sebesar -18,13%, lahan sawah sebesar -6,88%, lahan kebun campuran sebesar -6,68%, lahan rumput dan semak sebesar -5,58% dan lahan tegakan pohon sebesar -1,85%. Namun, luas lahan terbangun terus mengalami peningkatan, yaitu sebesar +2,52%. Peningkatan luas lahan terbangun ini merupakan implikasi dari peningkatan jumlah penduduk, di mana kebutuhan perumahan, lapangan perkerjaan, dan lahan untuk beraktifitas lainnya cenderung meningkat. Bila dilihat pada Tabel 5.5, terdapat peningkatan jumlah penduduk sebesar 14.514 jiwa hanya dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu dari tahun 2004 hingga tahun 2007. Hal ini pun berkorelasi pada peningkatan luas lahan terbangun sebesar +7,23% di tahun yang sama. Tabel 5.5 Jumlah Penduduk dan Perubahan Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, dan Tahun 2007 Tahun 1999 2004 2007 Jumlah Penduduk 408.779 517.271 531.785 (jiwa) Klasifikasi Luas Luas Luas Penutupan Lahan (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) Badan air 109,19 4,40 80,52 3,25 22,03 0,89 Sawah 88,59 3,57 74,91 3,02 50,09 2,02 Kebun campuran 148,36 5,98 120,63 4,86 85,37 3,44 Rumput dan semak 336,39 13,57 251,52 10,14 212,47 8,57 Tegakan pohon 232,16 9,36 221,59 8,94 199,94 8,06 Lahan terbangun 1.565,09 63,11 1.730,61 69,79 1.909,89 77,02 Jumlah 2.479,78 100,00 2.479,78 100,00 2.479,78 100,00 Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat, 2009 dan dan Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2007 Lahan terbangun merupakan hasil konversi kelas penutupan lahan lainnya, seperti konversi badan air menjadi lahan terbangun (perumahan) di Kecamatan Astana Anyar dan Bojongloa Kidul atau pun konversi sawah, kebun campuran, serta rumput dan semak menjadi lahan terbangun (industri) di Pinggiran Kecamatan Bandung Kulon dan Babakan Ciparay. Selain itu, perubahan luas penutupan lahan ini juga disebabkan oleh terjadinya alih fungsi antar kelas penutupan lahan. Tidak semua kelas lahan terbuka hijau berubah menjadi lahan terbangun, tetapi terdapat sebagian yang berubah menjadi kelas lahan hijau lainnya, seperti adanya badan air yang mengering sehingga berubah menjadi rumput dan semak. Selanjutnya rumput dan semak diolah penduduk menjadi lahan kebun campuran di tahun-tahun berikutnya. Berikut contoh-contoh perubahan penggunaan lahan yang berimplikasi pada perubahan penutupan lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega yang didokumentasikan pada tahun 2009 pada Gambar 5.8. Perubahan penutupan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas utama, yaitu lahan terbangun, badan air, dan lahan terbuka hijau. Lahan terbuka hijau terdiri dari sawah, kebun campuran, rumput dan semak, serta tegakan pohon. Berikut data perubahan penutupan lahan terbuka hijau di Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1999, tahun 2004, tahun 2007, dan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Jumlah Penduduk dan Perubahan Lahan Terbuka Hijau di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, Tahun 2007 ,dan Tahun 2009 Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat, 2009 dan Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2007 Keterangan: * = prediksi Berdasarkan Tabel 5.6, menunjukkan perubahan luas total lahan terbuka hijau dari tahun ke tahun. Pada tahun 1999 hingga tahun 2004 terjadi perubahan lahan terbuka hijau sebesar -5,52%, dan pada tahun 2004 hingga tahun 2007 sebesar -4,87%. Proporsi penurunan luas lahan terbuka hijau tiap tahun adalah sebesar -4,70%, sehingga dapat diprediksi bahwa pada tahun 2009 luas lahan terbuka hijau adalah sebesar 497,58 Ha, dengan kata lain hanya tersisa lahan terbuka hijau seluas 20,07% dari total luas Wilayah Pengembangan Tegallega. Perubahan lahan terbuka hijau ini yang akan dianalisis lebih lanjut dalam kaitannya dengan peningkatan jumlah penduduk. (a) Perumahan di Kelurahan Pelindung Hewan, Kecamatan Astana Anyar (Konversi Badan Air serta Rumput dan Semak) (b) Penyiapan Lahan Pergudangan dan Industri di Kelurahan Cirangrang, Kecamatan Babakan Ciparay (Konversi Sawah dan Kebun Campuran) (c) Penyiapan Lahan Industri di Kelurahan Gempolsari, Kecamatan Bandung Kulon (Konversi Kebun Campuran serta Rumput dan Semak) Gambar 5.6 Beberapa Lokasi Alih Fungsi Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega 5.5 Model Dinamik Model dinamik berdasarkan diagram causal loop, menunjukkan bahwa jumlah penduduk mempengaruhi luas tiap jenis lahan terbuka hijau yang secara langsung mempengaruhi pula luas total lahan terbuka hijau di Wilayah Pengembangan Tegallega. Selanjutnya, luas lahan terbuka hijau mempengaruhi suhu udara dan kelembaban relatif. Tahap pengujian kesesuaian model dilakukan untuk melihat apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar. Persamaan-persamaan antarvariabel yang digunakan dalam model digambarkan dalam diagram pencar. Diagram pencar antarvariabel dapat dilihat pada Gambar 5.7, Gambar 5.8, Gambar 5.9, Gambar 5.10, Gambar 5.11, Gambar 5.12, dan Gambar 5.13. 100 Sawah Luas Sawah (Ha) 80 Linear (Sawah) 60 40 20 0 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 Jumlah Penduduk (jiwa) Gambar 5.7 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Sawah (Y) Luas Kebun Campuran (Ha) 160 Kebun Campuran Linear (Kebun Campuran) 120 80 40 0 0 Gambar 5.8 100000 200000 300000 400000 500000 600000 Jumlah Penduduk (jiwa) Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Kebun Campuran (Y) Luas Rumput dan Semak (Ha) 360 Rumput dan Semak Linear (Rumput dan Semak) 270 180 90 0 0 100000 Gambar 5.9 200000 300000 400000 500000 600000 Jumlah Penduduk (jiwa) Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Rumput dan Semak (Y) 240 Luas Pohon (Ha) Pohon Linear (Pohon) 220 200 180 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 Jumlah Penduduk (jiwa) Gambar 5.10 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Pohon (Y) Luas Lahan Terbuka Hijau (Ha) 900 Lahan Terbuka Hijau 800 Linear (Lahan Terbuka Hijau) 700 600 500 400 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 Jumlah Penduduk (jiwa) Gambar 5.11 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Lahan Terbuka Hijau (Y) 30,00 Suhu Udara Rata-rata Linear (Suhu Udara Ratarata) o Suhu Udara ( C) 27,50 25,00 22,50 20,00 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 Luas Lahan Terbuka Hijau (Ha) Gambar 5.12 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas Lahan Terbuka Hijau (X) terhadap Suhu Udara (Y) Kelembaban Relatif Ratarata Kelembaban Relatif (%) 81,00 Linear (Kelembaban Relatif Ratarata) 79,50 78,00 76,50 75,00 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 Luas Lahan Terbuka Hijau (Ha) Gambar 5.13 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas Lahan Terbuka Hijau (X) terhadap Kelembaban Relatif (Y) Berdasarkan diagram pencar, diketahui bahwa hubungan linear antara jumlah penduduk dengan luas tiap jenis lahan terbuka hijau dan luas lahan terbuka hijau keseluruhan memiliki nilai negatif. Hal ini berarti setiap penambahan jumlah penduduk akan mengurangi baik luas sawah, kebun campuran, rumput dan semak, maupun tegakan pohon sehingga keseluruhan lahan terbuka hijau akan mengalami penurunan. Begitu pula pada hubungan linear antara luas lahan terbuka hijau dengan suhu udara dan kelembaban relatif yang memiliki nilai negatif. Luas lahan terbuka hijau yang semakin berkurang mengindikasikan terjadinya peningkatan suhu udara dan kelembaban relatif. Selanjutnya, hubungan linear antara variabel bebas dan variabel terikat tersebut menghasilkan persamaan fungsi yang dapat dilihat pada Tabel 5.7. Tabel 5.7 Persamaan Fungsi Variabel Bebas (X) terhadap Variabel Terikat (Y) dan Nilai Peluang Nyata (X) Hubungan Variabel Terikat (Y) Variabel Bebas (X) Luas Sawah Luas Kebun Campuran Luas Rumput dan Semak Luas Pohon Luas Lahan Terbuka Hijau Suhu Udara Kelembaban Udara Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Luas Lahan Terbuka Hijau Luas Lahan Terbuka Hijau Persamaan Fungsi y = 204,61 - 0,0003x y = 339,15 - 0,0005x y = 718,59 - 0,0009x y = 332,59 - 0,0002x y = 1599,3 - 0,0019x y = 29,406 - 0,0085x y = 88,367 - 0,015x Nilai Peluang Nyata 0,10193 0,07222 0,01344* 0,11223 0,04526* 0,24222 0,08112 Keterangan: *) Nyata pada α = 5% Terdapat nilai peluang nyata variabel X yang menunjukkan signifikansi pengaruhnya terhadap variabel Y. Pada selang kepercayaan 5% terdapat hubungan yang nyata pengaruhnya, yaitu pengaruh jumlah penduduk terhadap luas rumput dan semak dengan nilai 1,34% serta pengaruh jumlah penduduk terhadap luas lahan terbuka hijau keseluruhan dengan nilai 4,52%. Sedangkan pengaruh jumlah penduduk baik terhadap luas sawah (dengan nilai 10,19%), luas kebun campuran (dengan nilai 7,22%), maupun terhadap luas tegakan pohon (dengan nilai 11,22%) cenderung tidak signifikan pada selang kepercayaan 5%. Begitu pula pada pengaruh luas lahan terbuka hijau terhadap suhu udara dan pengaruh luas lahan terbuka hijau terhadap kelembaban udara dengan nilai berturut-berturut, yaitu 24,22% dan 8,11%. Dengan demikian, tidak semua variabel X berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5%, yang berarti peluang terjadinya penerimaan kebenaran hipotesis bahwa ternyata hipotesis tersebut salah cenderung tinggi. Berdasarkan analisis korelasi didapatkan nilai koefisien korelasi yang menggambarkan kekuatan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Variabel yang diukur adalah jumlah penduduk, suhu udara dan kelembaban udara, serta luas kelas lahan terbuka hijau. Nilai koefisien korelasi dilambangkan dengan r, yang menggambarkan suatu ukuran hubungan linear antara variabel bebas dan veriabel terikat (Walpole, 1995). Berdasarkan pengukuran seluruh hubungan variabel bebas dan variabel terikat didapatkan nilai r negatif mendekati -1, yaitu jumlah penduduk terhadap luas sawah (r luas kebun campuran (r semak (r = = = -0,8980), jumlah penduduk terhadap -0,9277), jumlah penduduk terhadap luas rumput dan -0,9865), jumlah penduduk terhadap luas pohon (r = -0,8877), jumlah penduduk terhadap luas lahan terbuka hijau (r = -0,9547), luas lahan terbuka hijau terhadap suhu udara (r kelembaban udara (r = = -0,7577), dan luas lahan terbuka hijau terhadap -0,9188). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang tinggi antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Analisis regresi menghasilkan persamaan regresi linear dan nilai koefisien determinansi (R2). Nilai R2 menunjukkan kemampuan model menerangkan keragaman nilai variabel Y. Jika nilai R2 semakin besar berarti model semakin mampu menerangkan perilaku variabel Y. Seluruh nilai R2 menunjukkan nilai cenderung mendekati +1, yaitu jumlah penduduk terhadap luas sawah (R2 0,8065), jumlah penduduk terhadap luas kebun campuran (R2 penduduk terhadap luas rumput dan semak (R2 = = = 0,8608), jumlah 0,9733), jumlah penduduk terhadap luas pohon (R2 = 0,7881), jumlah penduduk terhadap luas lahan terbuka hijau (R2 = 0,9115), luas lahan terbuka hijau terhadap suhu udara (R2 = 0,5742), dan luas lahan terbuka hijau terhadap kelembaban udara (R2 = 0,8443), yang berarti bahwa hampir 100% di antara keragaman nilai-nilai variabel Y dapat dijelaskan oleh hubungan linearnya dengan variabel X. Persamaan fungsi dan nilai koefisien korelasi yang dihasilkan menunjukkan terdapat kecenderungan bahwa setiap penambahan jumlah penduduk yang terjadi di Wilayah Pengembangan Tegallega mengakibatkan penurunan baik pada luas tiap jenis lahan terbuka hijau maupun luas lahan terbuka hijau keseluruhan. Terdapat pula kecenderungan bahwa pada setiap pengurangan luas total lahan terbuka hijau mengakibatkan peningkatan suhu udara dan kelembaban relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega. Kemudian untuk tahap perancangan skenario pada simulasi model memerlukan landasan sebagai acuan dalam penentuan input pada masing-masing variabel. Oleh karena itu, terdapat beberapa Peraturan Pemerintah Daerah terkait dengan permasalahan kependudukan dan tata ruang kota yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan skenario. Hal-hal yang menjadi pertimbangan pembuatan skenario adalah batasan jumlah penduduk sesuai ruang lingkup skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan, laju pertumbuhan penduduk sesuai kebijakan RUTRK Kotamadya Bandung, dan batasan pencapaian luas minimal lahan terbuka hijau sesuai RDTRK Wilayah Pengembangan Tegallega. Skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan merupakan batasan jumlah penduduk yang dapat diakomodasi sesuai sarana dan prasarana wilayah pengembangan, yaitu sebesar 450.000 jiwa hingga kurang dari 1.000.000 jiwa. Oleh karena itu, diasumsikan jumlah penduduk tidak melebihi batasan tersebut pada tahun simulasi berakhir. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,77% yang pernah dicapai pada tahun 2003 menjadi batasan pada simulasi. Setiap skenario dilakukan perlakuan berbeda pada laju pertumbuhan penduduknya, yaitu diasumsikan terdapat laju aktual dan laju prediksi. Proporsi lahan terbuka hijau di Wilayah Pengembangan Tegallega saat ini hanya sebesar 20% luas wilayah maka pencapaian luas minimal lahan terbuka hijau sesuai RDTRK Wilayah Pengembangan Tegallega sebesar 30% luas wilayah cenderung sulit direalisasikan. Asumsi yang digunakan pada simulasi adalah batas minimal lahan terbuka hijau adalah 15% luas wilayah atau 371,19 ha. Oleh karena itu, diharapkan pada masa simulasi berakhir luas lahan terbuka hijau masih berada di atas 371.19 ha. Proses simulasi model menggunakan program aplikasi komputer STELLA 9.0.2 yang dapat membantu pembuatan konstruksi model simulasi serta dalam running model simulasinya. Model disimulasikan untuk melihat kondisi pada masa 25 tahun mendatang dengan skenario yang berbeda. Berdasarkan struktur model simulasi, terdapat laju penambahan dan laju pengurangan pada setiap variabel. Laju penambahan dan pengurangan dipengaruhi koefisien laju desakan pada tiap variabel. Dalam hal ini, laju desakan luasan tiap jenis lahan terbuka hijau dipengaruhi oleh penambahan penduduk setiap tahun. Selanjutnya, mengacu pada empat pertimbangan skenario dan hasil penghitungan pada Tabel 5.6 didapatkan koefisien laju desakan tiap jenis lahan terbuka hijau akibat pertumbuhan jumlah penduduk per tahun yang dapat dilihat pada Tabel 5.8. Tabel 5.8 Koefisien Laju Desakan Tiap Jenis Lahan Terbuka Hijau akibat Pertumbuhan Jumlah Penduduk per Tahun Skenario Ke- Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun 1 2 3 4 5 6 0,0334 0,0400 0,0100 0,0200 0,0150 0,0334 Koefisien Desakan Tiap Jenis Lahan Terbuka Hijau Sawah Kebun Campuran Rumput dan Semak Pohon Total 0,0873 0,0873 0,0873 0,2163 0,0000 0,0000 0,1494 0,1494 0,1494 0,2784 0,0000 0,0000 0,3807 0,3807 0,3807 0,5097 1,0000 1,0000 0,3871 0,3871 0,3871 0,0000 0,0000 0,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 Berdasarkan hasil running model simulasi, dihasilkan enam skenario untuk melihat kondisi pada masa 25 tahun mendatang di Wilayah Pengembangan Tegallega. Penjelasan mengenai tiap skenario diuraikan satu per satu. 1. Skenario 1 Pada Skenario 1, diasumsikan bahwa laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,34%, sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) saat ini. Peningkatan jumlah penduduk ini mengakibatkan adanya konversi lahan yang diasumsikan bahwa seluruh kelas lahan terbuka hijau diizinkan untuk dikonversi sehingga terjadi desakan pengurangan luas tiap jenis lahan terbuka hijau. Berdasarkan hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang, jumlah penduduk mencapai 1.291.171 jiwa, jumlah yang melebihi batas maksimal skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan dan luas total lahan terbuka hijau sebesar 322,55 ha. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 mencapai nilai 25,79. Nilai THI tersebut mengindikasikan bahwa Pengembangan Tegallega hampir mencapai tidak nyaman. kondisi Wilayah Gambar 5.14 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 1 Berdasarkan grafik Skenario 1, luas lahan terbuka hijau (LTH) menurun sejak tahun pertama simulasi sehingga hanya dapat dipertahankan hingga tahun ke-19 untuk batas minimal lahan terbuka hijau 15% luas wilayah, yaitu sebesar 378,45 ha. Nilai THI cenderung beranjak naik seiring dengan naiknya suhu udara dan kelembaban udara. Hasil simulasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar 5.19. Peta penutupan lahan hasil Skenario 1 ini merupakan hasil pengolahan Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 2007 yang menggambarkan kondisi penutupan lahan pada tahun ke-25 simulasi yang bersifat ilustrasi dan tidak merepresentasikan kondisi penutupan lahan sebenarnya. 2. Skenario 2 Pada Skenario 2, diasumsikan bahwa terjadi ledakan jumlah penduduk dengan LPP sebesar 4,00%. Diasumsikan pula bahwa seluruh jenis lahan terbuka hijau diizinkan untuk dikonversi sehingga diprediksi terjadi desakan pengurangan luas tiap jenis lahan terbuka hijau secara besar-besaran. Berdasarkan hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang, jumlah penduduk hanya dapat dipertahankan sesuai dengan skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan hingga tahun ke-14, yaitu sebesar 983.420 jiwa. Luas total lahan terbuka hijau hanya sebesar 268,64 ha pada tahun ke-25. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 yang mencapai nilai 26,27. Nilai THI tersebut mengindikasikan bahwa kondisi Wilayah Pengembangan Tegallega sudah dalam kategori tidak nyaman. Gambar 5.15 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 2 Berdasarkan grafik Skenario 2, suhu udara dan kelembaban udara mengalami kenaikan lebih signifikan jika dibandingkan dengan Skenario 1. LTH menurun lebih cepat sejak tahun pertama simulasi hingga hanya dapat dipertahankan hingga tahun ke-16 mengacu batas minimal lahan terbuka hijau 15% luas wilayah, yaitu sebesar 377,60 ha. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 2 dapat dilihat pada Gambar 5.20. Gambar 5.16 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 1 Gambar 5.17 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 2 3. Skenario 3 Pada Skenario 3, diasumsikan bahwa terjadi penyusutan jumlah penduduk akibat migrasi ke luar wilayah dengan LPP hanya sebesar 1,00%. Diasumsikan pula bahwa seluruh jenis lahan terbuka hijau diizinkan untuk dikonversi sehingga terjadi pula desakan pengurangan luas tiap jenis lahan terbuka hijau. Ternyata dengan laju pertumbuhan penduduk hanya sebesar 1,00%, jumlah penduduk pada tahun ke-25 masih di bawah batas maksimal skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan, yaitu sebesar 728.194 jiwa. Luas total lahan terbuka hijau juga masih dalam batas 15%, yaitu sebesar 458,76 ha. Nilai THI pun berada pada 24,56 yang berarti masih dalam kategori nyaman. Gambar 5.18 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 3 Berdasarkan grafik Skenario 3, suhu udara dan kelembaban udara tetap mengalami kenaikan, tetapi kenaikannya diimbangi dengan penurunan LTH secara tidak signifikan. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 3 dapat dilihat pada Gambar 5.23. 4. Skenario 4 Pada Skenario 4, dilakukan pengendalian jumlah penduduk dengan LPP sebesar 2,00%, dan dilaksanakan kebijakan bahwa lahan tegakan pohon tidak diizinkan untuk dikonversi sehingga hanya lahan sawah, lahan kebun campuran, serta lahan semak dan rumput yang dijinkan untuk dikonversi. Kebijakan penduduk berhasil mengendalikan jumlah penduduk sehingga pada tahun ke-25 terdapat sebesar 931.701 jiwa dan lahan terbuka hijau masih sebesar 409,54 ha. Namun, ternyata nilai THI masih cukup tinggi pada tahun ke25, yaitu sebesar 25,00. Gambar 5.19 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 4 Berdasarkan grafik Skenario 4, LTH tetap mengalami akumulasi penurunan karena desakan pengurangan yang seharusnya terjadi pada lahan tegakan pohon terdistribusi pada lahan sawah, lahan kebun campuran, serta lahan semak dan rumput. Nilai kelembaban udara mengalami kenaikan lebih cepat di awal tahun simulasi jika dibandingkan suhu udara, tetapi pada akhirnya suhu udara mengalami kenaikan yang cukup signifikan di tengah tahun simulasi sehingga nilai THI tetap masih relatif tinggi. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 4 dapat dilihat pada Gambar 5.24. Gambar 5.20 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 3 Gambar 5.21 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 4 5. Skenario 5 Pada Skenario 5, dilakukan pengendalian jumlah penduduk kembali dengan penekanan lebih tinggi sehingga LPP sebesar 1,50% dan diterapkan kebijakan mengenai pemanfaatan ruang yang lebih ketat, yakni hanya lahan rumput dan semak yang diizinkan untuk dikonversi. Berdasarkan hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang, jumlah penduduk berhasil ditekan, yaitu sebesar 823.993 jiwa dan lahan terbuka hijau juga masih sebesar 435,61 ha. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 yang menurun jika dibandingkan dengan skenario sebelumnya, yaitu sebesar 24,77. Gambar 5.22 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 5 Berdasarkan grafik Skenario 5, penurunan luas LTH terhadap kenaikan suhu udara dan kelembaban udara berjalan dengan kecenderungan yang relatif sama. Proteksi pada lahan sawah, lahan kebun campuran, dan lahan tegakan pohon menyebabkan korelasi yang positif terhadap tingkat kenyamanan yang dapat ditunjukkan melalui indikator nilai THI yang menurun jika dibandingkan dengan skenario sebelumnya. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 5 dapat dilihat pada Gambar 5.27. 6. Skenario 6 Pada Skenario 6, kebijakan mengenai pengendalian jumlah penduduk tidak diterapkan, sehingga LPP sesuai pada kondisi aktual, yaitu 3,34%. Akan tetapi kebijakan mengenai pemanfaatan ruang tetap dilaksanakan dengan ketat, yakni hanya lahan rumput dan semak yang diizinkan untuk dikonversi. Ternyata hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang menunjukkan jumlah penduduk ysng mencapai 1.291.171 jiwa dan lahan terbuka hijau hanya sebesar 322,55 ha sehingga nilai THI tetap tinggi, yaitu sebesar 25,79. Hasil ini serupa dengan Skenario 1 dan terjadi karena proporsi desakan yang seharusnya mendesak tiap-tiap kelas lahan terbuka hijau kini mendesak secara akumulatif pada rumput dan semak sehingga total luas lahan terbuka hijau yang terkonversi tetap sama jumlahnya. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 6 dapat dilihat pada Gambar 5.28. Gambar 5.23 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 6 Gambar 5.24 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 5 Gambar 5.25 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 6 Berdasarkan enam skenario simulasi model yang telah dibuat dapat dikategorikan skenario menurut sifatnya. Pada Skenario 1 dan Skenario 2 merupakan skenario agresif, yakni perlakuan yang diterapkan lebih bersifat tanpa pengawasan sehingga prediksi kerusakan pada pemanfaatan ruang dan kenyamanan terjadi sebelum masa simulasi berakhir. Skenario 3 dan Skenario 6 merupakan skenario semiagresif karena perlakuan yang diterapkan bersifat pengawasan parsial. Prediksi kerusakan pada pemanfaatan ruang dan kenyamanan terjadi bervariasi, dengan Skenario 3 berhasil sampai masa simulasi berakhir dan Skenario 6 tidak berhasil. Kemudian Skenario 4 adalah skenario terkendali, dengan perlakuan bersifat pengawasan penuh. Namun, ternyata hasil prediksi dari Skenario 4 belum memuaskan. Skenario 5 merupakan skenario yang bersifat konservasi, yakni perlakuan bersifat pengawasan dengan batasan yang lebih ketat. Berdasarkan serangkaian skenario yang telah disimulasikan, skenario terbaik yang dapat diterapkan sebagai rekomendasi kebijakan adalah Skenario 5. Skenario ini menghasilkan prediksi jumlah penduduk sebesar 823.993 jiwa, lahan terbuka hijau sebesar 435,61 ha dan nilai THI sebesar 24,77 pada tahun ke-25. Nilai THI ini menunjukkan kategori nyaman. Pemanfaatan ruang sebagai lahan terbangun memerlukan persyaratanpersyaratan tertentu untuk menunjang kelayakannya, seperti topografi dan kemiringan lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua lahan dapat dimanfaatkan sebagai lahan terbangun sehingga tidak semua lahan terbuka hijau pula dapat dikonversi menjadi lahan terbangun. Lahan terbuka hijau yang diizinkan untuk dikonversi menjadi lahan terbangun di Wilayah Pengembangan Tegallega sebagian besar tidak memerlukan persyaratan khusus. Hal ini disebabkan topografi dan kemiringan lahan yang relatif datar di sebagian besar Wilayah Pengembangan Tegallega. Namun, perlakuan ini belum tentu dapat diimplementasikan pada wilayah lain karena perbedaan karakteristik masingmasing wilayah. Secara umum, Wilayah Pengembangan Tegallega termasuk dalam kategori cenderung kurang nyaman walaupun berdasarkan nilai THI tergolong nyaman. Kategori nyaman tidak hanya berdasarkan indikator suhu udara dan kelembaban udara, tetapi terdapat banyak faktor yang mendukung untuk menjadikan suatu area nyaman bagi manusia. Faktor-faktor pendukung kenyamanan dapat berupa, antara lain, kadar kebersihan udara dari debu, kadar kebisingan, intensitas angin, intensitas matahari serta kerapatan dan ketinggian bangunan. Hal ini dapat ditinjau dari pemanfaatan ruang yang terdapat di lapangan, yakni kurang jelasnya zonasi pemanfaatan ruang sehingga banyak terdapat pemanfaatan ruang campuran (mixed land use) seperti pada Kelurahan Gempolsari, Kecamatan Bandung Kulon, yang terdiri dari lahan perumahan berdampingan dengan lahan industri berpolutan. Namun, pemanfaatan ruang homogen juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan secara fisik dan estetis bila kerapatan dan ketinggian antarbangunan tidak diperhatikan, seperti pada Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, yang terdiri perumahan padat penduduk. Selain itu, sirkulasi transportasi yang tidak lancar juga menyebabkan ketidaknyamanan, di antaranya lalu lintas di Jalan Kopo (Kecamatan Bojongloa Kidul) dan di Jalan Otto Iskandardinata (Kecamatan Astana Anyar), yang berupa akumulasi asap kendaraan, bising, panas, dan bahkan ketidaknyamanan secara psikologi. Permasalahan-permasalahan ini sebaiknya ditinjau kembali pada saat perencanaan tata ruang wilayah sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan mengenai pemanfaatan ruang Wilayah Pengembangan Tegallega. VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Model pengaruh peningkatan jumlah penduduk terhadap perubahan pemanfaatan ruang dan kenyamanan di Wilayah Pengembangan Tegallega dapat dijelaskan dari struktur model dinamik. Model dinamik ini menjelaskan bahwa laju pertumbuhan penduduk tiap tahun dapat meningkatkan jumlah penduduk, dengan setiap pertambahan penduduk tiap tahun memiliki peranan dalam pengalihan lahan terbuka hijau. Komposisi tiap jenis lahan terbuka hijau mendukung keberlangsungan eksistensi lahan terbuka hijau secara keseluruhan, dalam hal ini terdapat komposisi lahan sawah, lahan kebun campuran, lahan rumput dan semak, serta lahan tegakan pohon pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Hubungan antara jumlah penduduk dan jumlah luas lahan terbuka hijau berimplikasi pada peningkatan suhu udara dan kelembaban udara sebagai indikator kenyamanan. Skenario terbaik yang dapat diterapkan sebagai rekomendasi kebijakan adalah Skenario 5. Pada Skenario 5, diterapkan kebijakan penekanan laju pertumbuhan penduduk hingga menjadi sebesar 1,50%, dan pemanfaatan ruang yang lebih ketat, yaitu hanya lahan rumput dan semak yang diizinkan untuk dikonversi, untuk mencapai luas minimal lahan terbuka hijau sebesar 15% luas wilayah. Konversi lahan rumput dan semak diasumsikan yakni seluruh lahan rumput dan semak berada pada kemiringan lahan 0-3% sehingga diizinkan untuk dimanfaatkan sebagi lahan terbangun. Skenario ini menghasilkan prediksi jumlah penduduk sebesar 823.993 jiwa, lahan terbuka hijau sebesar 435,61 ha dan nilai THI sebesar 24,77 pada tahun ke-25. Nilai THI ini menunjukkan kategori nyaman. 6.2 Saran Kebijakan pemanfaatan ruang yang dapat menjadi alternatif dalam perencanaan Wilayah Pengembangan Tegallega mendatang adalah pengendalian konversi lahan terbuka hijau dengan kebijakan penyediaan kembali lahan terbuka 73 hijau setiap melakukan konversi sehingga terdapat keberimbangan dalam laju pembangunan lahan terbangun dengan laju penghijauan lingkungan. Jika dilihat Wilayah Pengembangan Tegallega yang sudah mampat, sabuksabuk hijau dapat diterapkan sebagai upaya untuk menambah luas lahan terbuka hijau yang semakin berkurang. Penghijauan ini disebut dengan biotop interconnection atau penghijauan jalan. Hal ini merupakan program yang cenderung realistis untuk diterapkan. Diharapkan besarnya partisipasi dari pemerintah dan penduduk untuk mempertahankan keberadaan lahan terbuka hijau pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Untuk kebijakan penduduk dalam hal ini dapat berupa pembatasan angka kelahiran dengan menegakkan program keluarga berencana (KB), pembatasan izin migrasi dan menetap bagi pendatang, ataupun penerapan program transmigrasi penduduk ke luar Wilayah Pengembangan Tegallega. DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Bandung. 2004. Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2013. Bandung: Bappeda. Badan Pusat Statistik Kota Bandung. 2007. Kota Bandung dalam Angka Tahun 1999-2007. Bandung: BPS. Branch MC. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif, Pengantar dan Penjelasan (Terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 293 hal. Departeman Dalam Negeri. 2007. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Depdagri. Departeman Dalam Negeri. 2008. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan. Jakarta: Depdagri. Diena AL. 2009. Pengaruh Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan terhadap Kenyamanan di Suburban Bogor Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung. 2007. Rencana Detail Tata Ruang Kota Wilayah Pengembangan Tegallega Kota Bandung. Bandung: Bappeda. Frick H dan Mulyani TH. 2006. Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 208 hal. Gaspersz V. 1990. Analisis Kuantitatif untuk Perencanaan. Bandung: Penerbit Tarsito. Hakim DR. 2006. Analisis Temporal dan Spasial Perubahan Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Purwakarta. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hakim R. dan Utomo H. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap Prinsip-Unsur dan Aplikasi Disain. Jakarta: Bumi Aksara. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: Pustaka Jaya. 192 hal. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Permodelan untuk Industri dan Lingkungan. Bogor: SEAMEO BIOTROP. 125 hal. 75 Irwan ZD. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lanskap Hutan Kota. Jakarta: Bumi Aksara. 179 hal. Lakitan B. 1994. Dasar-Dasar Klimatologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 175 hal. Putri P. 2006. Identifikasi Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Simonds JO 1983. Landscape Architecture: A Manual of Site Planning and Design. New York: McGraw-Hill Book Co. 331p. Tarigan R. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah: Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. 274 hal. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: Gramedia. 515 hal. Warpani S. 1984. Analisis Kota dan Daerah. Bandung: Penerbit ITB. 154 hal. LAMPIRAN Lampiran 1. Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Jumlah Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega Menurut Kecamatan dan Luas Wilayah serta Kepadatan Penduduk Tiap 1 Km2 pada Tahun 1998 hingga 2007 Kecamatan Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul Astana Anyar Jumlah Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul Astana Anyar Jumlah Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul Astana Anyar Jumlah Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul Astana Anyar Jumlah Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul Astana Anyar Jumlah Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul Astana Anyar Jumlah Jumlah Penduduk (jiwa) 89.811 88.238 92.694 62.192 75.844 408.779 118.807 119.975 112.245 70.419 69.808 491.254 121.613 120.911 110.822 72.720 68.877 494.943 123.585 123.253 113.834 73.142 69.936 503.750 126.860 126.114 115.590 75.848 71.847 516.259 127.079 126.376 115.830 76.008 71.978 517.271 Luas Wilayah (km2) 6,46 7,45 3,03 6,26 2,89 26,09 6,46 7,45 3,03 6,26 2,89 26,09 6,46 7,45 3,03 6,26 2,89 26,09 6,46 7,45 3,03 6,26 2,89 26,09 6,46 7,45 3,03 6,26 2,89 26,09 6,46 7,45 3,03 6,26 2,89 26,09 Kepadatan Penduduk (jiwa/ km2) 13.903 11.844 30.592 9.935 26.244 15.668 18.391 16.104 37.045 11.249 24.155 18.829 18.826 16.230 36.575 11.617 23.833 18.971 19.131 16.544 37.569 11.684 24.199 19.308 19.638 16.928 38.149 12.116 24.861 19.788 19.672 16.963 38.228 12.142 24.906 19.826 Lanjutan Lampiran 1. Tahun 2005 2006 2007 Lampiran 2. Jumlah Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega Menurut Kecamatan dan Luas Wilayah serta Kepadatan Penduduk Tiap 1 Km2 pada Tahun 1998 hingga 2007 Kecamatan Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul Astana Anyar Jumlah Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul Astana Anyar Jumlah Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul Astana Anyar Jumlah Jumlah Penduduk (jiwa) 125.929 127.151 118.948 74.626 73.992 520.646 125.936 133.224 117.445 78.280 71.060 525.945 125.369 137.392 118.898 79.478 70.648 531.785 Luas Wilayah (km2) 6,46 7,45 3,03 6,26 2,89 26,09 6,46 7,45 3,03 6,26 2,89 26,09 6,46 7,45 3,03 6,26 2,89 26,09 Kepadatan Penduduk (jiwa/ km2) 19.494 17.067 39.257 11.921 25.603 19.956 19.495 17.882 38.761 12.505 24.588 20.159 19.407 18.442 39.240 12.696 24.446 20.383 Data Suhu Udara dan Kelembaban Relatif serta Hasil Penghitungan Nilai THI Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Kota Bandung Tahun 1999-2007 Tahun Suhu Udara Rata-rata (oC) Kelembaban Relatif Rata-rata (%) THI 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 22,91 23,52 23,11 23,56 23,57 23,53 23,38 23,47 23,52 77 76 78 77 76 77 82 80 81 21,84 22,41 22,10 22,45 22,42 22,46 22,54 22,51 22,62 Lampiran 3. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Hasil Ground Check Truth pada Bulan Oktober 2009 dengan Peta Penutupan Lahan 2007 Koordinat Universal Transverse Mercator (UTM) 48 M 786130 9230781 48 M 786738 9229705 48 M 786260 9230057 48 M 781854 9233730 48 M 785517 9229710 48 M 787756 9231186 48 M 787328 9231963 48 M 783493 9231641 48 M 785531 9231800 48 M 785684 9233298 48 M 785211 9229810 48 M 786963 9232236 48 M 786283 9232763 48 M 787290 9233933 48 M 786579 9229943 48 M 786562 9231361 48 M 786842 9232663 48 M 784917 9231425 48 M 787713 9231791 48 M 787325 9232155 48 M 787070 9231983 48 M 785899 9234021 Penggunaan Lahan Bulan Oktober 2009 Penutupan Lahan Bulan Oktober 2009 Peta Penutupan Lahan Tahun 2007 Keterangan Kolam Badan air Badan air Tetap Kolam Badan air Badan air Tetap Kolam Badan air Badan air Tetap Sungai Badan air Badan air Tetap Sungai Badan air Badan air Tetap Sungai Badan air Badan air Tetap Sungai Badan air Badan air Tetap Perdagangan Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Pasar Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Pasar Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Perdagangan Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Pasar Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Perdagangan Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Perdagangan Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Perkantoran Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Perkantoran Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Perkantoran Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Pemukiman Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Pemukiman Lahan terbangun Rumput dan semak Berubah Pemukiman Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Pemukiman Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Pemukiman Lahan terbangun Lahan terbangun Tetap Lanjutan Lampiran 3. No. 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 Hasil Ground Check Truth pada Bulan Oktober 2009 dengan Peta Penutupan Lahan 2007 Koordinat Universal Transverse Mercator (UTM) 48 M 783603 9232103 48 M 784926 9230757 48 M 784946 9231837 48 M 784034 9233316 48 M 786008 9230785 48 M 786243 9230065 48 M 787667 9231083 48 M 787963 9230597 48 M 787048 9230509 48 M 787671 9232097 48 M 787143 9232967 48 M 786375 9233658 48 M 786189 9234028 48 M 784791 9234168 48 M 783801 9233445 48 M 784832 9234325 48 M 782780 9233138 48 M 782343 9233222 48 M 781714 9233819 48 M 783410 9232673 48 M 783548 9231875 48 M 783612 9231126 Penggunaan Lahan Bulan Oktober 2009 Penutupan Lahan Bulan Oktober 2009 Peta Penutupan Lahan Tahun 2007 Keterangan Kebun campuran Kebun campuran Kebun campuran Tetap Kebun campuran Kebun campuran Kebun campuran Tetap Kebun campuran Kebun campuran Kebun campuran Tetap Taman Tegakan pohon Tegakan pohon Tetap Rumput dan semak Rumput dan semak Badan air Berubah Pemakaman Tegakan pohon Tegakan pohon Tetap Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Lapangan golf Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Pemakaman Tegakan pohon Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Tegakan pohon Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Rumput dan semak Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Lanjutan Lampiran 3. No. 45 46 47 48 49 50 51 Hasil Ground Check Truth pada Bulan Oktober 2009 dengan Peta Penutupan Lahan 2007 Koordinat Universal Transverse Mercator (UTM) 48 M 785448 9231199 48 M 782320 9233161 48 M 782311 9233441 48 M 781983 9233631 48 M 781370 9234004 48 M 786121 9230499 48 M 783535 9234394 Penggunaan Lahan Bulan Oktober 2009 Penutupan Lahan Bulan Oktober 2009 Peta Penutupan Lahan Tahun 2007 Keterangan Pemakaman Tegakan pohon Tegakan pohon Tetap Sawah Sawah Sawah Tetap Sawah Sawah Sawah Tetap Sawah Sawah Sawah Tetap Sawah Sawah Sawah Tetap Sawah Sawah Sawah Tetap Sawah Sawah Sawah Tetap Lampiran 4. Lokasi Pengamatan dan Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban Udara di Wilayah Pengembangan Tegallega Lanjutan Lampiran 4. Lokasi Pengamatan dan Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban Udara di Wilayah Pengembangan Tegallega Keterangan: 1. LTH 1 4. BA 1 7. LT 1 2. LTH 2 5. BA2 8. LT 2 3. LTH3 6. BA3 9. LT3 Lampiran 5. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 1 Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal Lampiran 6. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 2 Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal Lampiran 7. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 3 Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal Lampiran 8. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 4 Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal Lampiran 9. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 5 Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal Lampiran 10. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 6 Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal