Pengaruh Peningkatan Jumlah Penduduk terhadap

advertisement
PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP
PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN
DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG
DIAR ERSTANTYO
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
RINGKASAN
DIAR ERSTANTYO. Pengaruh Peningkatan Jumlah Penduduk terhadap
Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Kenyamanan di Wilayah
Pengembangan Tegallega, Kota Bandung. Dibimbing oleh SETIA HADI.
Wilayah Pengembangan Tegallega terletak di bagian barat daya Kota
Bandung. Pada Wilayah Pengembangan Tegallega terdapat permasalahan
kependudukan, yaitu peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat. Implikasi
permasalahan penduduk tersebut adalah terjadinya alih fungsi lahan terbuka hijau
menjadi lahan terbangun, serta terdapatnya fenomena berkurangnya kenyamanan.
Pendekatan sistem dinamik digunakan untuk memudahkan dalam memahami
pengaruh permasalahan jumlah penduduk terhadap alih fungsi lahan dan
perubahan kenyamanan. Pendekatan sistem dinamik dapat membantu perumusan
alternatif kebijakan yang tepat untuk perencanaan Wilayah Pengembangan
Tegallega, Kota Bandung.
Pendekatan sistem merupakan basis model, yang dalam hal ini model
dibatasi pada proses peningkatan jumlah penduduk terhadap pengalihfungsian
lahan terbuka hijau (sawah, kebun campuran, rumput dan semak, serta tegakan
pohon). Indikator temperature humidity index (THI) sebagai standar kenyamanan
menggunakan variabel suhu udara dan kelembaban relatif, suatu area dikatakan
nyaman apabila memiliki rentang nilai THI antara 20-26 (Ayoade, 1983 dalam
Diena, 2009).
Pada analisis kependudukan dengan data jumlah penduduk tahun 1999
hingga tahun 2007 didapatkan kenaikan dari 408.779 jiwa menjadi 531.785 jiwa
dengan rata-rata proporsi kenaikan penduduk setiap tahun sebesar +3,34%.
Penghitungan ini didasarkan atas asumsi bahwa laju pertumbuhan penduduk pada
masa lalu akan berlanjut di masa yang akan datang. Kemudian penghitungan
tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk pada tahun 2009 menjadi sebesar
567.901 jiwa.
Pada hasil pengukuran lapang didapatkan suhu udara rata-rata terendah
adalah pada penutupan lahan badan air, yaitu sebesar 26,0oC, sedangkan suhu
udara rata-rata tertinggi sebesar 26,8oC berada pada lahan terbangun. Kelembaban
relatif rata-rata terendah sebesar 77,1% pada lahan terbangun dan tertinggi pada
lahan terbuka hijau sebesar 80,7%. Kemudian berdasarkan penghitungan data
pengukuran lapang didapatkan nilai THI berturut-turut dari yang paling rendah,
yaitu pada badan air (THI=25,0), lahan terbuka hijau (THI=25,3), dan lahan
terbangun (THI=25,6). Nilai THI pada lahan terbangun hampir mendekati nilai 26
yang berarti bahwa kenyamanan pada lahan terbangun hampir mencapai ambang
batas kenyamanan manusia. Begitu pula THI pada badan air dan lahan terbuka
hijau yang relatif tidak nyaman.
Perubahan penutupan lahan dianalisis melalui proses interpretasi dan
pengolahan citra Landsat ETM+ Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 1999,
2004 dan 2007 yang mengacu pada klasifikasi BPN. Dan proses tersebut
menghasilkan klasifikasi penutupan lahan menjadi enam kelas, yaitu badan air,
lahan sawah, lahan kebun campuran, lahan rumput dan semak, lahan tegakan
pohon, dan lahan terbangun.
Perubahan penutupan lahan dianalisis dengan metode trend sehingga
didapatkan proporsi penurunan tiap tahun dari yang tertinggi hingga terendah
berturut-turut, yaitu badan air sebesar -18,13%, lahan sawah sebesar -6,88%,
lahan kebun campuran sebesar -6,68%, lahan rumput dan semak sebesar -5,58%,
serta lahan tegakan pohon sebesar -1,85%. Namun, luas lahan terbangun terus
mengalami peningkatan, yaitu sebesar +2,52%. Pada tahun 1999 hingga tahun
2004 terjadi perubahan lahan terbuka hijau sebesar -5,52%, dan pada tahun 2004
hingga tahun 2007 sebesar -4,87%. Proporsi penurunan luas lahan terbuka hijau
tiap tahun adalah sebesar -4,70% sehingga dapat diprediksi bahwa pada tahun
2009 luas lahan terbuka hijau adalah sebesar 497,58 ha.
Analisis regresi dan analisis korelasi menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa setiap penambahan jumlah penduduk yang terjadi di Wilayah
Pengembangan Tegallega mengakibatkan penurunan baik pada luas tiap jenis
lahan terbuka hijau maupun luas lahan terbuka hijau keseluruhan. Terdapat pula
kecenderungan bahwa setiap pengurangan luas total lahan terbuka hijau
mengakibatkan peningkatan suhu udara dan kelembaban relatif di Wilayah
Pengembangan Tegallega. Selanjutnya, model disimulasikan untuk melihat
kondisi pada masa 25 tahun mendatang dan menghasilkan enam skenario yang
berbeda.
Pada Skenario 1, simulasi untuk 25 tahun mendatang menghasilkan jumlah
penduduk mencapai 1.291.171 jiwa, melebihi batas maksimal skala pelayanan
penduduk wilayah pengembangan dan luas total lahan terbuka hijau sebesar
322,55 ha. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 mencapai nilai
25,79. Nilai THI tersebut mengindikasikan bahwa kondisi Wilayah
Pengembangan Tegallega hampir mencapai ketidaknyamanan.
Pada Skenario 2, simulasi untuk 25 tahun mendatang menunjukkan jumlah
penduduk hanya dapat dipertahankan sesuai skala pelayanan penduduk wilayah
pengembangan hingga tahun ke-14, yaitu sebesar 983.420 jiwa. Luas total lahan
terbuka hijau hanya sebesar 268,64 ha pada tahun ke-25. Hal ini berimplikasi pada
nilai THI pada tahun ke-25 mencapai nilai 26,27. Nilai THI tersebut
mengindikasikan bahwa kondisi Wilayah Pengembangan Tegallega sudah dalam
kategori tidak nyaman.
Pada Skenario 3, ternyata jumlah penduduk pada tahun ke-25 masih di
bawah batas maksimal skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan, yaitu
sebesar 728.194 jiwa. Luas total lahan terbuka hijau juga masih dalam batas 15%,
yaitu sebesar 458,76 ha. THI pun berada pada nilai 24,56 yang berarti masih
dalam kategori nyaman.
Pada Skenario 4, simulasi untuk 25 tahun mendatang berhasil
mengendalikan jumlah penduduk sehingga pada tahun ke-25 terdapat sebesar
931.701 jiwa dan lahan terbuka hijau masih sebesar 409,54 ha. Namun, ternyata
nilai THI masih cukup tinggi pada tahun ke-25, yaitu 25,00.
Pada Skenario 5, simulasi untuk 25 tahun mendatang berhasil menekan
jumlah penduduk yaitu menjadi 823.993 jiwa. Lahan terbuka hijau juga masih
sebesar 435,61 ha. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 menurun
jika dibandingkan dengan skenario sebelumnya, yaitu sebesar 24,77.
Pada Skenario 6, ternyata hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang
menunjukkan jumlah penduduk mencapai 1.291.171 jiwa. Lahan terbuka hijau
hanya sebesar 322,55 ha dengan nilai THI tetap tinggi, yaitu sebesar 25,79.
Berdasarkan serangkaian skenario yang telah disimulasikan, skenario
terbaik yang dapat diterapkan sebagai rekomendasi kebijakan adalah Skenario 5.
Pada Skenario 5, diterapkan kebijakan penduduk bahwa laju pertumbuhan
penduduk ditekan hingga menjadi sebesar 1,50%. Diterapkan juga kebijakan
mengenai pemanfaatan ruang yang lebih ketat bahwa hanya lahan rumput dan
semak yang diizinkan untuk dikonversi, sebagai usaha pencapaian luas minimal
lahan terbuka hijau sebesar 15% luas wilayah.
PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP
PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN
DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG
DIAR ERSTANTYO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Skripsi
: Pengaruh Peningkatan Jumlah Penduduk terhadap Perubahan
Pemanfaatan Ruang dan Kenyamanan di Wilayah
Pengembangan Tegallega, Kota Bandung
Nama
: Diar Erstantyo
NIM
: A44051527
Disetujui
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, MS
NIP. 19600424 198601 1 001
Diketahui
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA
NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan dan
curahan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Pengaruh Peningkatan Jumlah
Penduduk terhadap Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pengembangan
Tegallega, Kota Bandung. Kegiatan penelitian ini bertujuan memenuhi syaratsyarat dan tugas akhir dalam menempuh studi di Departemen Arsitektur Lanskap,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak. Penghargaan
dan ucapan terima kasih penulis tujukan kepada
1
Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, masukan, dan nasihat dalam menyelesaikan penelitian ini;
2
Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, MAgr dan Dr. Ir. Afra DN Makalew,
MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran
membangun dalam menyempurnakan penelitian ini;
3
ayah dan ibu, serta kakak dan adik penulis atas doa, kasih sayang, motivasi,
dan perhatian yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian;
4
Kesatuan Bangsa dan Pelindungan Masyarakat Kota Bandung, Badan
Perencana Pembangunan Daerah Kota Bandung, Dinas Tata Ruang dan Cipta
Karya Kota Bandung, Badan Pusat Statistik Kota Bandung, Badan Meteorolgi
Klimatologi dan Geofisika Kota Bandung;
5
Riri Haerina Purnamasari atas motivasi, perhatian, pengertian, dan kasih
sayangnya yang telah diberikan;
6
Yosep Permata beserta keluarga atas kerja sama, pengorbanan dan
semangatnya selama penelitian;
7
teman-teman bimbingan Dr.Ir. Setia Hadi, M.S. (Yosep, Vabi dan Nando) atas
kerja sama, motivasi dan semangatnya;
8
teman-teman Arsitektur Lanskap Angkatan 42 (M, Otep, Bayu, Mamat, Hudi,
Dofir, Chan2, Boep, Iqbal, dan seterusnya);
9
teman-teman Arsitektur Lanskap Angkatan 36, Angkatan 37, Angkatan 38,
Angkatan 39, Angkatan 40, Angkatan 41, Angkatan 43, Angkatan 44 dan
Angkatan 45 atas ilmu dan canda tawa yang mengiringi selama studi;
10 teman-teman seluruh penghuni Kost Villa Merah atas persahabatan dan
kekeluargaan yang mengiringi selama studi;
11 berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
membantu baik materiil maupun spiritual dan baik secara langsung maupun
tidak langsung selama penyelesaian penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hasil penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis selalu terbuka atas segala kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kebaikan di masa mendatang. Pada akhirnya
penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua.
Bogor, Februari 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 12 September 1987. Penulis
adalah putra kedua dari tiga bersaudara pasangan Ayahanda Darto dan Ibunda Sri
Hadiyati.
Penulis lulus dari SMA Negeri 48 Jakarta pada tahun 2005, dan masuk
Institut Pertanian Bogor dengan Kurikulum Mayor-Minor melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di tahun yang sama. Penulis memilih
Mayor Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian dan Minor Manajemen
Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.
Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif
dalam kegiatan akademik dan kegiatan kemahasiswaan. Penulis mengikuti lomba
dan sayembara baik bidang Arsitektur Lanskap maupun bidang umum. Penulis
aktif dalam kepengurusan dan anggota Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap
(HIMASKAP). Penulis menjadi Asisten Mata Kuliah Rekayasa Lanskap selama
satu semester pada tahun 2009. Penulis juga pernah mengikuti beberapa kegiatan
proyek Arsitektur Lanskap. Sebagai tugas akhir di Departemen Arsitektur
Lanskap, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan
penelitian yang berjudul Pengaruh Peningkatan Jumlah Penduduk terhadap
Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Kenyamanan di Wilayah Pengembangan
Tegallega, Kota Bandung, di bawah bimbingan Dr. Ir. Setia Hadi, MS.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .....................................................................................
1.1 Tujuan ..................................................................................................
1.2 Manfaat ................................................................................................
1
2
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penduduk.............................................................................................. 4
2.2 Ruang ................................................................................................... 4
2.3 Kota ...................................................................................................... 5
2.4 Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan..................................... 6
2.5 Pengaruh Iklim terhadap Manusia ....................................................... 7
2.6 Model ................................................................................................... 8
2.7 Sistem Dinamik.................................................................................... 12
III. METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................................
3.2 Bahan dan Alat Penelitian....................................................................
3.3 Metode Penelitian ................................................................................
3.4 Batasan Penelitian ................................................................................
14
15
16
23
IV. KONDISI UMUM
4.1 Kondisi Fisik ........................................................................................
4.1.1 Wilayah Administrasi ..............................................................
4.1.2 Topografi..................................................................................
4.1.3 Kemiringan...............................................................................
4.1.4 Geologi.....................................................................................
4.1.5 Jenis Tanah...............................................................................
4.1.6 Hidrologi ..................................................................................
4.1.7 Klimatologi ..............................................................................
4.2 Kondisi Sosial ......................................................................................
4.3 Penggunaan Lahan ...............................................................................
4.4 Penutupan Lahan..................................................................................
24
24
25
26
26
27
28
28
30
31
31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan ...................................................
5.2 Hasil Pengukuran Aspek Klimatologi..................................................
5.3 Penghitungan Nilai Temperature Humidity Index (THI) .....................
5.4 Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan.....................................
5.5 Model Dinamik ....................................................................................
38
41
44
46
51
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan .............................................................................................. 72
6.2 Saran..................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 74
LAMPIRAN........................................................................................................ 76
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data .................................... 15
Tabel 4.1 Luas Wilayah Tiap Kecamatan di Wilayah Pengembangan
Tegallega ........................................................................................... 25
Tabel 4.2 Karakteristik Bentuk Wilayah Pengembangan Tegallega................. 25
Tabel 4.3 Luas Lahan Berdasarkan Kelas Kemiringan di Wilayah
Pengembangan Tegallega.................................................................. 26
Tabel 4.4 Sifat Tanah pada Wilayah Pengembangan Tegallega....................... 27
Tabel 4.5 Panjang dan Lebar Sungai yang Melintas di Wilayah
Pengembangan Tegallega.................................................................. 29
Tabel 4.6 Data Suhu Udara Rata-Rata dan Kelembaban Relatif Rata-Rata di
Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 1999 hingga 2007.......... 30
Tabel 4.7 Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada
Tahun 1992 dan Tahun 2007............................................................. 32
Tabel 4.8 Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada
Tahun 1999, Tahun 2004, dan Tahun 2007 ...................................... 32
Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah
Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007 ........................... 38
Tabel 5.2 Hasil Pengamatan dan Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban
Relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega ................................... 42
Tabel 5.3 Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Wilayah Pengembangan
Tegallega Periode Bulan November 2009 ........................................ 43
Tabel 5.4 Nilai THI di Wilayah Pengembangan Tegallega Berdasarkan Data
Hasil Pengukuran Lapang Bulan November 2009............................ 44
Tabel 5.5 Jumlah Penduduk dan Perubahan Penutupan Lahan di Wilayah
Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, dan
Tahun 2007........................................................................................ 48
Tabel 5.6 Jumlah Penduduk dan Perubahan Lahan Terbuka Hijau di Wilayah
Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, Tahun
2007, dan Tahun 2009....................................................................... 49
Tabel 5.7 Persamaan Fungsi Variabel Bebas (X) terhadap Variabel Terikat (Y)
dan Nilai Peluang Nyata (X) ............................................................. 54
Tabel 5.8 Koefisien Laju Desakan Tiap Jenis Lahan Terbuka Hijau akibat
Pertumbuhan Jumlah Penduduk per Tahun....................................... 57
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1
Kerangka Pikir Penelitian ...........................................................
3
Gambar 3.1
Lokasi Penelitian......................................................................... 14
Gambar 3.2
Diagram Alur Penelitian ............................................................. 16
Gambar 3.3
Diagram Causal Loop (Diena, 2009) .......................................... 20
Gambar 3.4
Struktur Model Simulasi (Diena, 2009) ...................................... 22
Gambar 4.1
Contoh Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan
Tegallega ..................................................................................... 32
Gambar 4.2
Peta Administrasi Wilayah Pengembangan Tegallega ............... 34
Gambar 4.3
Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega
Tahun 1999 ................................................................................. 35
Gambar 4.4
Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega
Tahun 2004 ................................................................................. 36
Gambar 4.5
Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega
Tahun 2007 ................................................................................. 37
Gambar 5.1
Grafik Jumlah Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega
Menurut Kecamatan pada Tahun 1999-2007.............................. 40
Gambar 5.2
Grafik Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan
Tegallega Menurut Kecamatan pada Tahun 1999-2007 ............. 40
Gambar 5.3
Grafik Suhu Udara Rata-Rata Wilayah Pengembangan
Tegallega pada Tahun 1999-2007............................................... 45
Gambar 5.4
Grafik Kelembaban Relatif Rata-Rata Wilayah Pengembangan
Tegallega pada Tahun 1999-2007............................................... 46
Gambar 5.5
Grafik Nilai THI Wilayah Pengembangan Tegallega pada
Tahun 1999-2007 ........................................................................ 46
Gambar 5.6
Beberapa Lokasi Alih Fungsi Lahan di Wilayah
Pengembangan Tegallega............................................................ 50
Gambar 5.7
Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X)
terhadap Luas Sawah (Y) ............................................................ 51
Gambar 5.8
Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X)
terhadap Luas Kebun Campuran (Y) .......................................... 51
Gambar 5.9
Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X)
terhadap Luas Rumput dan Semak (Y) ....................................... 52
Gambar 5.10 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X)
terhadap Luas Pohon (Y) ............................................................ 52
Gambar 5.11 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X)
terhadap Luas Lahan Terbuka Hijau (Y) .................................... 52
Gambar 5.12 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas Lahan Terbuka Hijau
(X) terhadap Suhu Udara (Y)...................................................... 53
Gambar 5.13 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas Lahan Terbuka Hijau
(X) terhadap Kelembaban Relatif (Y)......................................... 53
Gambar 5.14 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu
Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario1.. 58
Gambar 5.15 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu
Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario 2. 59
Gambar 5.16 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega
Skenario 1 ................................................................................... 60
Gambar 5.17 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega
Skenario 2 ................................................................................... 61
Gambar 5.18 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu
Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario 3. 62
Gambar 5.19 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu
Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario 4. 63
Gambar 5.20 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega
Skenario 3 ................................................................................... 64
Gambar 5.21 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega
Skenario 4 ................................................................................... 65
Gambar 5.22 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu
Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario 5. 66
Gambar 5.23 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu
Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI Menurut Skenario 6. 67
Gambar 5.24 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega
Skenario 5 ................................................................................... 68
x
Gambar 5.25 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega
Skenario 6 ................................................................................... 69
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Jumlah Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega menurut
Kecamatan dan Luas Wilayah serta Kepadatan Penduduk Tiap
1 Km2 pada Tahun 1998 hingga 2007......................................... 77
Lampiran 2
Data Suhu Udara dan Kelembaban Relatif serta Hasil
Penghitungan Nilai THI menurut Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMKG) Kota Bandung Tahun 1999-2007................ 78
Lampiran 3
Hasil Ground Check Truth Pada Bulan Oktober 2009 dengan
Peta Penutupan Lahan 2007 ........................................................ 79
Lampiran 4
Lokasi Pengamatan dan Pengukuran Suhu Udara dan
Kelembaban Udara di Wilayah Pengembangan Tegallega......... 82
Lampiran 5
Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 1...................................... 84
Lampiran 6
Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 2...................................... 85
Lampiran 7
Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 3...................................... 86
Lampiran 8
Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 4...................................... 87
Lampiran 9
Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 5...................................... 88
Lampiran 10 Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 6...................................... 89
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota merupakan ruang yang memiliki berbagai macam elemen, baik
elemen fisik maupun elemen sosial. Elemen fisik dan sosial saling berkaitan
membentuk suatu ekosistem kota. Adakalanya hubungan antarelemen ini saling
menguntungkan, tetapi tidak jarang terjadi perkembangan satu elemen yang
dampaknya justru mengakibatkan elemen lainnya terdegradasi.
Penduduk memiliki peranan yang sangat penting dalam perubahan ruang
kota. Penduduk yang terus berkembang di suatu kota akan memiliki permintaan
kebutuhan lahan yang semakin tinggi. Namun, lahan sebagai elemen fisik
memiliki keterbatasan daya dukung yang bila sudah mencapai ambang batasnya,
tidak mampu lagi untuk menampung perkembangan elemen di dalamnya, dalam
hal ini penduduk.
Kebutuhan penduduk yang paling mendasar adalah lahan perumahan dan
lahan pekerjaan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan yang
sebagian besar awalnya merupakan lahan hijau dan kini menjadi lahan terbangun.
Lahan-lahan hijau selalu menjadi korban karena adanya anggapan bahwa lahan
hijau tidak termasuk dalam mekanisme ekonomi pasar, dan mempunyai nilai pasar
yang kalah oleh harga tanah (Irwan, 2008).
Jumlah penduduk dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali dapat
menyebabkan berkurangnya kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan yang baik
dapat berupa kondisi yang nyaman, sehat, dan estetis untuk penduduk. Menurut
Oliver (1981) dalam Irwan (2008), kenyamanan manusia dapat ditentukan secara
kuantitatif oleh indikator suhu dan kelembaban relatif.
Fakta yang terjadi saat ini adalah semakin banyaknya kota besar di
Indonesia yang tidak nyaman lagi untuk dihuni ataupun untuk beraktivitas. Hal ini
didukung oleh terjadinya kerusakan-kerusakan lingkungan di ruang kota, seperti
pemanasan pada bagian inti ruang kota, polusi udara, bising, hingga banjir yang
semakin meluas. Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia
yang sudah mengalami kerusakan lingkungan tersebut.
2
Penduduk Kota Bandung berdasarkan hasil Suseda tahun 2007 adalah
2.323.928 jiwa dengan rata-rata kepadatan penduduk 13.927,48 jiwa/km2. Jika
dilihat dari segi kepadatan penduduk menurut kecamatan, maka Kecamatan
Bojongloa Kaler pada Wilayah Pengembangan Tegallega merupakan daerah
terpadat di Kota Bandung, dengan kepadatan penduduk sebesar 39.240,26
jiwa/km2.
Kepadatan penduduk yang tinggi dengan dinamika penduduk yang statis
mengakibatkan akumulasi penduduk di Wilayah Pengembangan Tegallega
sehingga penduduk terpaksa melakukan alih fungsi lahan. Lahan terbuka hijau
yang terdiri dari lahan sawah, lahan kebun campuran, lahan rumput dan semak
serta lahan tegakan pohon menjadi objek alih fungsi lahan. Perubahan fungsi
lahan ini menimbulkan perubahan kenyamanan penduduk, yang dibatasi dengan
menggunakan indikator suhu udara dan kelembaban relatif.
Permasalahan
kepadatan
penduduk
pada
Wilayah
Pengembangan
Tegallega memiliki korelasi dengan permasalahan alih fungsi lahan yang terjadi
pada wilayah tersebut. Hubungan antara alih fungsi lahan terhadap kenyamanan
dapat dianalisis dengan mempertimbangkan indikator iklim mikro. Selanjutnya,
pendekatan sistem dinamik dapat digunakan untuk memudahkan dalam
memahami pengaruh jumlah penduduk terhadap alih fungsi lahan dan perubahan
kenyamanan. Berdasarkan serangkaian analisis tersebut diharapkan dapat
dirumuskan alternatif kebijakan yang tepat untuk perencanaan Wilayah
Pengembangan Tegallega pada masa yang akan datang. Kerangka pikir penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1.1.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah
1
mengetahui pengaruh peningkatan jumlah penduduk terhadap perubahan
pemanfaatan ruang dan kenyamanan di Wilayah Pengembangan Tegallega,
Kota Bandung, dan
2
menyusun
rekomendasi
kebijakan
pemanfaatan
Pengembangan Tegallega, Kota Bandung.
ruang
di
Wilayah
3
1.3 Manfaat
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dan pertimbangan
kepada Pemerintah Kota Bandung dan instansi pemerintah terkait dalam
perencanaan pembangunan Wilayah Pengembangan Tegallega pada khususnya
serta pembangunan Kota Bandung pada umumnya.
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penduduk
Penduduk adalah faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam
perencanaan wilayah. Jumlah penduduk dapat dianalisis berdasarkan berbagai
klasifikasi sesuai dengan kebutuhan untuk mendapatkan suatu informasi tertentu,
seperti banyaknya bahan konsumsi yang harus disediakan, jumlah fasilitas
pendidikan yang perlu disediakan, banyaknya perumahan yang perlu disediakan,
dan lain-lain. Di dalam konteks wilayah maka perencanaan adalah melihat ke
depan untuk suatu kurun waktu tertentu, misalnya 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun, atau
25 tahun, untuk melihat ke arah mana kondisi yang ada saat ini akan berkembang
dan menetapkan langkah-langkah baik untuk mengakomodasi perkembangan itu
kepada keadaan yang kita inginkan. Dengan demikian, jumlah penduduk
merupakan faktor yang sangat penting untuk diprediksi besarnya dan distribusinya
di masa yang akan datang (Tarigan, 2008).
Menurut Warpani (1984), penduduk adalah aspek utama perencanaan.
Perencanaan disusun untuk penduduk, oleh penduduk, dan ia adalah penduduk itu
sendiri. Perencanaan oleh penduduk, berarti perencanaan dibuat oleh penduduk
yang diwakili oleh pihak perencana atau berbentuk badan perencana. Dalam hal
ini penduduk berarti sebagai subjek. Perencanaan dibuat untuk penduduk, karena
penduduk akan merasakan akibat perencanaan itu. Karena itulah dalam seluruh
lingkup perencanaan, penduduk tidak mungkin terabaikan. Selain akan menerima
akibat perencanaan, penduduk juga dapat berbuat dan ‘diminta’ berbuat. Dengan
kata lain, penduduk merupakan salah satu objek perencanaan. Dalam hal inilah
makna perencanaan adalah penduduk.
2.2 Ruang
Kehidupan manusia tidak dapat terpisahkan dengan keberadaan ruang,
baik secara psikologis dan emosional (persepsi), maupun dimensional. Manusia
selalu berada dalam ruang, bergerak serta menghayati, berpikir dan juga
menciptakan ruang untuk menyatukan bentuk dunianya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa definisi ruang merupakan suatu wadah yang tidak nyata, tetapi dapat
5
dirasakan keberadaannya oleh manusia. Ruang dibentuk oleh tiga komponen yaitu
lantai, dinding, dan atap atau penutup (Hakim dan Utomo, 2003 ).
Menurut Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Pedesaan Ditjen Cipta Karya
Departemen Pekejaan Umum (1996) dalam Tarigan (2008), memberikan definisi
tentang ruang, yaitu wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang
udara; termasuk di dalamnya lahan atau tanah, air, udara, dan benda lainnya serta
daya dan keadaan, sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk
lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Dalam hal ruang yang berkaitan dengan kepentingan manusia, maka perlu
adanya batasan bahwa ruang adalah wadah pada lapisan atas permukaan bumi
termasuk apa yang ada di atasnya dan yang ada di bawahnya sepanjang manusia
masih dapat menjangkaunya. Dengan demikian, ruang adalah lapisan atas
permukaan bumi yang berfungsi menopang kehidupan manusia dan makhluk
lainnya, baik melalui memodifikasi atau sekadar langsung menikmatinya
(Tarigan, 2008).
2.3 Kota
Kota adalah populasi yang besar dan padat, merupakan pusat dari
ekonomi, sosial, dan aktifitas politik, memiliki posisi geografi yang tetap dan
kekuasaan pemerintahan khusus di dalamnya (Simonds, 1983). Sedangkan
menurut Branch (1995), kota diartikan sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu
penduduk atau lebih. Perkotaan diartikan sebagai area terbangun dengan struktur
dan jalan-jalan, sebagai suatu permukiman yang terpusat pada suatu area dengan
kepadatan tertentu yang membutuhkan sarana dan pelayanan pendukung yang
lebih lengkap dibandingkan dengan yang dibutuhkan di daerah pedesaan.
Watt (1973) serta Stearns dan Montag (1974) dalam Irwan (2008)
mengemukakan pengertian dari kota sebagai berikut
1
Kota adalah suatu areal tempat terdapatnya atau terjadinya pemusatan
penduduk dengan kegiatannya dan merupakan tempat konsentrasi penduduk
dan pusat aktivitas perekonomian (seperti industri, perdagangan, dan jasa).
6
2
Kota merupakan sebuah sistem, baik secara fisik maupun sosial ekonomi,
bersifat tidak statis yang sewaktu-waktu dapat menjadi takberaturan dan sulit
untuk dikontrol.
3
Kota mempunyai pengaruh terhadap lingkungan fisik seperti iklim, sejauh
mana pengaruh itu sangat bergantung pada perencanaannya.
Dalam perencanaan wilayah, sangat perlu untuk menetapkan suatu tempat
permukiman atau tempat berbagai kegiatan sebagai kota atau bukan. Hal ini
diperlukan karena kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga kebutuhan
fasilitasnya pun berbeda jika dibandingkan dengan daerah pedesaan atau
pedalaman (Tarigan, 2008). Menurut Pasal 1 Butir 25 UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai
kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
2.4 Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan
Arsyad (2000) mengemukakan bahwa penggunaan lahan diartikan sebagai
setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan
dikelompokkan menjadi dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian
(tegalan, sawah, kebun, hutan lindung, dan sebagainya) dan penggunaan lahan
bukan pertanian (permukiman, industri, rekreasi, dan sebagainya). Istilah
penutupan lahan mengacu pada penutupan tanah yang menjadi ciri suatu area
tertentu, yang umumnya merupakan pencerminan dari bentukan lahan dan iklim
lokal. Contoh dari penutupan lahan adalah hutan, tundra, savana, gurun pasir. Dan
menurut de Sherbinin (2002) dalam Putri (2006), penggunaan lahan merupakan
istilah yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan tanah oleh manusia
atau kegiatan mengubah tutupan lahan.
Perubahan penggunaan dan penutupan lahan terjadi disebabkan faktor
utama yaitu kebutuhan manusia untuk melanjutkan keberlangsungan hidupnya.
Menurut Meyer dan Turner (1994) dalam Hakim (2006), perubahan penggunaan
dan penutupan lahan merupakan suatu kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial-
7
ekonomi, politik dan budaya. Perubahan penggunaan lahan yang paling sering
terjadi pada kehidupan kota yang dinamis adalah konversi lahan konservasi,
terutama hutan menjadi area pertanian atau bahkan permukiman. Perubahan ini
bermanfaat di sisi kebutuhan manusia, namun merugikan di sisi lingkungan
karena kegiatan tersebut dapat menurunkan daya dukung lahan.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008, tentang
Pedoman
Perencanaan
Kawasan
Perkotaan,
pemanfaatan
lahan
adalah
penggunaan tanah untuk aktivitas atau kegiatan orang atau badan hukum yang
dapat ditunjukkan secara nyata. Perubahan pemanfaatan lahan adalah pemanfaatan
baru atas tanah, yang tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota. Perubahan pemanfaatan lahan dapat dilakukan
dengan berazaskan keterbukaan, persamaan, keadilan, pelestarian lingkungan dan
perlindungan hukum. Perubahan pemanfaatan lahan mengacu pada Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR) kabupaten/kota dengan tetap memperhatikan
keberlangsungan fungsi kawasan, daya dukung dan kesesuaian lahan secara
terpadu. Perubahan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan RDTR hanya
dapat dilakukan dengan pertimbangan keselarasan kebutuhan lahan untuk
kegiatan ekonomi dengan keberlangsungan lingkungan.
2.5 Pengaruh Iklim terhadap Manusia
Menurut Handoko (1995), di tiap tempat cuaca hari demi hari selalu
berubah. Setelah satu tahun perubahan tersebut biasanya membentuk pola siklus
tertentu. Setelah beberapa tahun (misalnya 30 tahun atau lebih) dari rata-rata tiap
nilai unsur-unsur cuaca akan mencerminkan sifat atmosfer yang disebut juga
sebagai iklim. Karakteristik iklim pada permukaan bumi menurut Lakitan (1994)
akan berbeda dari tempat ke tempat. Beberapa faktor yang menentukan perbedaan
iklim antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya di muka bumi adalah
1
posisi relatif terhadap garis edar matahari (posisi lintang),
2
keberadaan lautan,
3
pola arah angin,
4
rupa permukaan daratan bumi,
5
kerapatan dan jenis vegetasi.
8
Berdasarkan luas wilayah sasaran, iklim dapat dipilah menjadi iklim
makro, iklim meso, dan iklim mikro. Iklim makro meliputi wilayah yang sangat
luas, meliputi luasan satu zona iklim, kontinen, sampai pada bumi secara
keseluruhan (global). Iklim meso mengkaji tentang variasi dan dinamika iklim
dalam satu satuan zona iklim (intra-zona iklim). Iklim meso meliputi wilayah
sampai beberapa kilometer persegi, misalnya variasi iklim akibat keberadaan
danau atau kumpulan bangunan fisik di perkotaan. Variasi iklim dalam skala
terkecil termasuk dalam cakupan iklim mikro, misalnya keadaan udara di sekitar
atau di bawah kanopi pohon.
Secara fisiologis, iklim mempengaruhi kenyamanan termal manusia.
Pertukaran kalor manusia dengan lingkungannya tergantung dari suhu udara, suhu
permukaan yang berada di sekelilingnya, penyalur panas oleh permukaan tersebut,
kelembaban, dan gerak udara (Frick dan Mulyani, 2006). Menurut Irwan (2008),
tingkat kenyamanan seseorang selain pada faktor usia dan kebudayaan, juga
sangat ditentukan oleh suhu dan kelembaban (iklim mikro). Karena Lakitan
(1994) mengemukakan bahwa kondisi udara pada skala mikro akan berkontak
langsung dengan (dan mempengaruhi secara langsung) manusia. Manusia tanggap
terhadap dinamika atau perubahan-perubahan dari unsur-unsur iklim di sekitarnya.
Keadaan unsur-unsur iklim ini mempengaruhi tingkah laku dan metabolisme yang
berlangsung pada tubuh manusia.
Oliver (1981) dalam Irwan (2008) menyatakan rasa nyaman secara
kuantitatif dengan memperhitungkan besarnya suhu udara dan kelembaban udara
sehingga dihasilkan nilai temperature humidity index (THI). Ayoade (1983)
dalam Diena (2009) menyatakan bahwa indeks kenyamanan dalam kondisi
nyaman ideal bagi manusia Indonesia berada pada kisaran nilai THI 20-26.
2.6 Model
Suatu sistem terdiri atas elemen-elemen yang saling tergantung satu sama
lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Proses bekerjanya sangat
kompleks sehingga untuk melihat bekerjanya hubungan ini dalam keadaan yang
sebenarnya adalah sangat mustahil. Oleh karena itu, hubungan tersebut perlu
disederhanakan dengan jalan merangkumkan ke dalam suatu bentuk tertentu yang
9
disebut model. Dengan demikian untuk mempelajari sistem yang kompleks itu,
maka dibuat model (Gaspersz, 1990). Hal ini didukung pula oleh Hartrisari (2007)
yang menyatakan bahwa model merupakan penyederhanaan sistem. Model
disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit
dan hampir tidak mungkin untuk bekerja dalam keadaan sebenarnya. Oleh sebab
itu, model hanya memperhitungkan beberapa faktor dalam sistem dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tujuan umum dari suatu model menurut Gaspersz (1990) dapat dibagi
berdasarkan tujuan akademik dan tujuan manajerial.
1. Tujuan akademik
a. Sebagai alat untuk menjelaskan atau menggambarkan sekumpulan atau
suatu fakta karena belum ada teori.
b. Jika teori sudah ada, model digunakan sebagai alat untuk mencari
konfirmasi.
2. Tujuan manajerial
a. Sebagai alat dalam pengambilan keputusan.
b. Sebagai proses belajar.
c. Sebagai alat komunikasi agar seseorang melihat sesuatu dengan bahasa
yang sama.
Menurut Hartrisari (2007), model disusun untuk beberapa tujuan, yaitu
1
pemahaman proses yang terjadi dalam sistem sehingga model harus dapat
menggambarkan mekanisme proses yang terjadi dalam sistem dalam
kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai;
2
prediksi, dengan hanya model kuantitatif yang dapat melakukan prediksi;
3
menunjang pengambilan keputusan, jika model yang disusun berdasarkan
pemahaman proses serta mempunyai kemampuan prediksi.
Menurut Gaspersz (1990), model dapat diklasifikasikan berdasarkan
delapan kriteria berikut
1. Berdasarkan fungsi
a. Model deskriptif, yang menggambarkan kondisi-kondisi atau aktivitas
masa sekarang atau masa lalu, namun tidak berusaha untuk meramalkan
10
atau memberikan rekomendasi. Model ini memberikan suatu deskripsi dari
situasi tanpa memberikan ’resepnya’.
b. Model prediktif, yang memperkirakan atau memproyeksikan perilaku
sistem. Model ini mengusulkan konsekuensi dari berbagai strategi, dan
dapat meramalkan hasil dari keadaan tertentu.
c. Model normatif, yang menerangkan baik atau buruk performans sistem.
Model ini menunjukkan apa yang seharusnya dibuat untuk mencapai
tujuan sistem. Jenis model ini memilih jawaban atau penyelesaian terbaik
dari berbagai alternatif yang mungkin.
2. Berdasarkan struktur (morfologi)
a. Model ikonik, yang tepat sama dengan aslinya hanya skala yang berbeda.
Jadi skalanya berbeda dari sistem nyata yang dimodelkan. Model ini
memberikan tingkat kekonkretan yang tinggi yang tidak mungkin
diberikan oleh model lain, namun memiliki keterbatasan dalam
menggambarkan hubungan kausal (sebab-akibat).
b. Model analog, merupakan model yang memiliki fisik yang berbeda namun
mempunyai perilaku yang sama. Model ini menggunakan ciri dari suatu
sistem untuk menggambarkan ciri dari sistem lain.
c. Model simbolik, yang menggambarkan perilaku sistem dalam bentuk
simbol-simbol.
Model
ini
menggunakan
berbagai
simbol
untuk
menggambarkan aspek sistem nyata dan umumnya bersifat abstrak, sering
berbentuk matematik. Model ini sering lebih sulit dipahami karena tingkat
abstraksi yang lebih tinggi, namun lebih efektif dalam menentukan
pengaruh perubahan pada sistem konkret.
3. Berdasarkan dimensi
a. Model satu dimensi, yang merupakan model dengan satu variabel yang
mempengaruhi sistem konkret.
b. Model multidimensi, yang memiliki lebih dari dua variabel, yang
umumnya mengandung banyak variabel dalam model.
4. Berdasarkan aspek waktu
a. Model statik, yang merupakan model tanpa memperhitungkan faktor
waktu.
11
b. Model
dinamik,
yang
memperhitungkan
faktor
waktu
dalam
menggambarkan perilaku sistem nyata.
5. Berdasarkan aspek informasi
a. Model deterministik, di mana kejadian yang akan terjadi telah diketahui
secara pasti (peluang terhadap kejadian yang akan terjadi sama dengan
satu).
b. Model probabilistik, yang merupakan model beresiko, di mana keadaan
yang akan terjadi diketahui nilai kemungkinannya dan dapat digambarkan
secara probabilistik. Pembuat keputusan memilih strategi dengan nilai
harapan yang optimum.
c. Model tak pasti (uncertainty model), di mana kondisi yang akan datang
dan peluang yang berhubungan dengannya tidak diketahui. Pembuat
keputusan harus mampu menentukan keadaan yang relevan dengan
menggunakan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
6. Berdasarkan tingkat generalisasi
a. Model khusus, yang dibuat untuk tujuan khusus agar dapat diterapkan
pada masalah-masalah tertentu.
b. Model umum, yang dapat diterapkan pada situasi yang berbeda.
7. Berdasarkan derajat keterbukaan
a. Model terbuka, merupakan model yang memiliki satu atau lebih variabel
eksogen (ada interaksi dengan lingkungan). Model ini dapat dipandang
sebagai suatu sistem dari suprasistem tertentu.
b. Model tertutup, merupakan model yang memiliki semua variabel bersifat
endogen (diperoleh dari lingkungan internal dan dapat dikendalikan).
8. Berdasarkan derajat kuantifikasi
a. Model mental, merupakan model kualitatif yang masih berada dalam
pemikiran seseorang. Jika seseorang berpikir tentang sesuatu, maka itu
merupakan model mental. Tentu saja setiap orang akan merumuskan
model mental yang berbeda untuk fenomena yang sama.
b. Model verbal, merupakan model kualitatif yang telah dirumuskan secara
verbal atau secara tertulis dan umumnya mengikuti model mental. Dengan
demikian model verbal merupakan model mental yang telah dirumuskan
12
secara tertulis. Jadi model verbal berusaha mengomunikasikan model
mental tersebut.
c. Model kuantitatif, yang terbagi atas model-model: statistik, optimasi,
heuristik, simulasi. Model heuristik merupakan model yang tidak memiliki
pembuktian bahwa model tersebut paling optimal, tetapi saat model itu
dibangun dan dipakai belum ada model lain yang lebih baik daripada
model-model heuristik tersebut.
Menurut Hartrisari (2007), secara umum model dapat digolongkan dalam
dua kategori, yaitu
1
model fisik, merupakan model miniatur replika dari keadaan sebenarnya dan
2
model abstrak, yang juga disebut model mental merupakan model yang bukan
fisik, tetapi dapat menjelaskan kinerja dari sistem. Model abstrak dapat
digolongkan dalam dua jenis, yaitu yang bersifat kuantitatif dan kualitatif.
Model kuantitatif menggunakan perhitungan matematik dan bersifat numerik
sehingga dapat digunakan untuk keperluan prediksi. Sebaliknya, model
kualitatif bersifat deskriptif dan tidak menggunakan perhitungan kuantitatif.
Model kuantitatif dikelompokkan berdasarkan cara pemecahan permasalahan
yang dihadapi, yaitu yang bersifat induktif atau empirik dengan menggunakan
teknik statistik dan yang yang bersifat deduktif atau mekanistik dengan
persamaan matematik. Model empirik memberikan hubungan antara variabel
output dan input, tetapi tidak memberikan penjelasan proses atau bagaimana
mekanisme hubungan tersebut terjadi. Sebaliknya, model mekanistik
menjelaskan mekanisme proses yang terjadi tersebut.
2.7 Sistem Dinamik
Sistem adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan
terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu.
Kajian sistem akan berhadapan dengan permasalahan yang bersifat statik atau
dinamik. Permasalahan yang bersifat statik bersifat konstan, sedangkan yang
bersifat dinamik selalu berubah menurut waktu. Sistem dinamik merupakan
metode yang dapat menggambarkan proses, perilaku, dan kompleksitas dalam
sistem (Hartrisari, 2007).
13
Sistem dinamik adalah suatu model untuk mempelajari dan mengatur
sistem-sistem umpan-balik yang kompleks, seperti yang dapat ditemukan pada
bisnis dan sistem-sistem sosial yang lain. Faktanya, sistem dinamik telah
digunakan untuk memanggil secara praktis setiap jenis dari sistem umpan-balik.
Ketika sistem perintah telah diaplikasikan pada tiap jenis situasi, umpan-balik
adalah sebagai pendeskripsi yang membedakan di sini. Umpan balik mengacu
pada situasi dari X yang mempengaruhi Y dan Y pada gilirannya mempengaruhi
X, bisa jadi melewati suatu rantai dari sebab dan akibat (System Dynamics
Society, 2007 dalam Diena, 2009).
III. METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga bulan November tahun
2009. Lokasi penelitian meliputi seluruh Wilayah Pengembangan Tegallega, Kota
Bandung.
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian
15
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Data yang digunakan dalam kegiatan penelitian meliputi data fisik dan
data sosial. Jenis, sumber dan cara pengumpulan data yang dibutuhkan dalam
penelitian disajikan dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data
Jenis Data
Sumber Data
Cara
Pengumpulan
Data
Badan Perencana
Data wilayah
Pembangunan Daerah
administrasi
(Bappeda)
Studi pustaka
Kota Bandung
Data topografi,
kemiringan,
geologi, jenis tanah,
dan hidrologi
Fisik
Dinas Tata Ruang dan
Cipta Karya
Studi pustaka
Kota Bandung
Badan Meteorologi
Data klimatologi
Klimatologi dan
Geofisika (BMKG)
Studi pustaka dan
survei lapang
Kota Bandung
Data penggunaan
lahan
Sosial
Dinas Tata Ruang dan
Cipta Karya
Kota Bandung
Data penutupan
BIOTROP Training and
lahan
Information Center
Data kependudukan
Studi pustaka
Badan Pusat Statistik
(BPS) Kota Bandung
Studi pustaka dan
survei lapang
Studi pustaka
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut
1
Global Positioning System (GPS) sebagai alat untuk ground check truth,
2
kamera digital,
3
kalkulator scientific untuk mengolah data, dan
16
4
komputer dengan perangkat lunak ER Mapper 7, ERDAS Imagine 9.1, dan
ArcView 3.3 untuk mengolah citra dan peta, serta STELLA 9.0.2 untuk
pemodelan.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan sistem dinamik. Tahapan
penelitian diskan pada Gambar 3.2.
Persiapan
• Lokasi
• Alat
• Konsep
model
Inventarisasi
Analisis Data
Pemodelan
• Data primer
• Data
sekunder
• Jumlah
penduduk
• Suhu udara
dan
kelembaban udara
• THI
(temperature humidity
index)
• Penutupan
lahan
• Analisis
kebutuhan
• Formulasi
masalah
• Identifikasi
sistem
• Pemodelan
sistem
• Verifikasi dan
validasi
• Implementasi
Gambar 3.2 Diagram Alur Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan adalah persiapan, inventarisasi, analisis
data, dan pemodelan. Berikut merupakan penjelasan dari tiap-tiap tahapan
penelitian tersebut.
1. Persiapan
Tahap ini merupakan tahap awal untuk menentukan lokasi penelitian,
persiapan alat, dan penyusunan konsep model. Lokasi penelitian adalah di
Wilayah Pengembangan Tegallega meliputi lima wilayah kecamatan, yaitu
Kecamatan Bandung Kulon, Kecamatan Babakan Ciparay, Kecamatan Bojongloa
Kaler, Kecamatan Bojongloa Kidul, dan Kecamatan Astana Anyar. Lokasi
tersebut
dipilih
sebagai
objek
penelitian
karena
merupakan
wilayah
pengembangan di Kota Bandung yang memiliki permasalahan mengenai
17
kependudukan, tepatnya masalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk.
Terdapat
pula
fakta
bahwa
Kecamatan
Bojongloa
Kaler
di
Wilayah
Pengembangan Tegallega merupakan daerah terpadat di Kota Bandung, dengan
kepadatan penduduk sebesar 39.240,26 jiwa/km2. Konsep model yang digunakan
dalam penelitian ini adalah hubungan laju alih fungsi lahan terbuka hijau
(implikasi dari kepadatan penduduk) dengan perubahan suhu dan kelembaban.
2. Inventarisasi
Inventarisasi dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder yang
diperoleh dari berbagai instansi terkait (Tabel 3.1). Data yang diperoleh berupa
data spasial dan data tabular. Data spasial berupa citra Landsat ETM+ Wilayah
Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004, dan 2007, sedangkan data tabular
berkaitan dengan data jumlah penduduk, data klimatologi, serta data kondisi
umum Wilayah Pengembangan Tegallega.
Untuk melihat kesesuaian data sekunder dengan keadaan sebenarnya di
lapang, dilakukan pengumpulan data primer dengan melakukan survei lapang.
Survei lapang berupa pengecekan titik-titik koordinat di lapang untuk melihat
kesesuaian dengan peta, pengecekan lapang kondisi penutupan lahan saat ini,
pengumpulan data iklim mikro (suhu udara dan kelembaban udara), dan
perekaman kondisi visual yang berkaitan dengan penggunaan lahan pada saat ini.
3. Analisis data
Data jumlah penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun
1999 hingga tahun 2007 digambarkan dalam bentuk grafik untuk memperlihatkan
perubahannya tiap tahun dan dihitung laju pertumbuhannya tiap tahun, serta
diproyeksikan untuk tahun 2009 dengan menggunakan metode trend. Menurut
Tarigan (2008), metode trend bertujuan melihat kecenderungan pertumbuhan
suatu variabel di masa lalu dan melanjutkan kecenderungan tersebut untuk masa
yang akan datang sebagai proyeksi. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut
log
n
dengan
Pt
Po
= log (1 + r )
18
Pt
= Variabel
pada tahun t
Po
= Variabel
pada tahun dasar
r
= Rata-rata proporsi kenaikan variabel setiap tahun
n
= Selisih antara tahun dasar dengan tahun yagn diramalkan
Data suhu udara dan kelembaban relatif hasil pengukuran lapang
dibandingkan dengan data sekunder. Data suhu udara dan kelembaban relatif pada
tahun 1999 hingga tahun 2007 digambarkan dalam bentuk grafik untuk
memperlihatkan perubahannya tiap tahun.
Data suhu udara dan kelembaban relatif baik hasil pengukuran lapang
maupun data sekunder dihitung dengan indikator temperature humidity index
(THI),
serta
digambarkan
dalam
bentuk
grafik
untuk
memperlihatkan
perubahannya tiap tahun. Berikut merupakan rumus yang digunakan untuk
mendapatkan nilai THI
THI = 0,8T +
(RH × T )
500
dengan
THI
= Temperature humidity index
T
= Suhu udara (oC)
RH
= Kelembaban relatif (%) (Nieuwolt, 1982 dalam Diena, 2009)
Rentang nilai THI antara 20-26 merupakan nilai yang menyatakan suatu area
nyaman di wilayah Indonesia (Ayoade, 1983 dalam Diena, 2009).
Data penutupan lahan berdasarkan hasil pengolahan citra Landsat ETM+
Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004, dan 2007 dihitung laju
perubahannya tiap tahun, serta diproyeksikan untuk tahun 2009 dengan
menggunakan metode trend, kemudian dibandingkan hubungannya dengan
pertumbuhan jumlah penduduk pada tahun tersebut.
4. Pemodelan
Pemodelan untuk mengetahui pengaruh hubungan antara peningkatan
jumlah penduduk terhadap perubahan pemanfaatan ruang dan kenyamanan
menggunakan pendekatan sistem. Menurut Manetsch dan Park (1977) dalam
Hartrisari (2007), tahapan pendekatan sistem diawali dengan analisis kebutuhan,
19
formulasi masalah, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi,
serta implementasi.
a. Analisis kebutuhan
Penduduk memerlukan lahan untuk tempat tinggal dan tempat bekerja.
Pemerintah memiliki tugas menyejahterakan masyarakat dengan memenuhi sarana
dan prasarana yang layak.
b. Formulasi masalah
Permasalahan kependudukan yang terjadi di Wilayah Pengembangan
Tegallega adalah peningkatan jumlah penduduk yang begitu pesat. Penduduk
berhak mendapatkan tempat tinggal dan tempat bekerja. Pemerintah wajib
menyediakan tempat tinggal dan tempat bekerja bagi penduduk. Lahan di Wilayah
Pengembangan
Tegallega
terbatas
sehingga
lahan
terbuka
hijau
pun
dialihfungsikan demi memenuhi kebutuhan penduduk. Lahan terbuka hijau
semakin berkurang dan mengakibatkan perubahan kenyamanan (peningkatan suhu
udara dan kelembaban relatif).
c. Identifikasi sistem
Untuk mempelajari hubungan antara ”pernyataan kebutuhan” dan
”pernyataan masalah” disusun diagram causal loop (Diena, 2009). Variabel yang
digunakan untuk mempelajari sistem adalah variabel jumlah penduduk, variabel
lahan terbuka hijau, dan variabel kenyamanan (suhu udara dan kelembaban
relatif). Diagram causal loop hubungan antara jumlah penduduk, luas lahan
terbuka hijau, suhu udara, kelembaban relatif, dan nilai temperature humidity
index dapat dilihat pada Gambar 3.3
20
Gambar 3.3 Diagram Causal Loop (Diena, 2009)
d. Pemodelan sistem, verifikasi, dan validasi
Berdasarkan diagram causal loop, diketahui bahwa jumlah penduduk
mempengaruhi setiap jenis lahan terbuka hijau. Luas lahan terbuka hijau
mempengaruhi suhu udara dan kelembaban relatif. Berdasarkan hubungan
tersebut disusun hubungan kuantitatif antarvariabel yang berkaitan, yang
direpresentasikan oleh aliran ’informasi’ pada diagram causal loop. Aliran
informasi tersebut menunjukkan persamaan matematik yang akan digunakan pada
model.
Pada tahap awal, diperlukan pembuatan diagram pencar untuk melihat
derajat korelasi antara variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). Menurut
Walpole (1995), analisis korelasi memiliki tujuan untuk mencoba mengukur
kekuatan hubungan antara dua variabel melalui sebuah bilangan yang disebut
koefisien korelasi. Koefisien korelasi dalam hal ini sebagai ukuran hubungan
linear antara dua variabel acak X dan Y, dan dilambangkan dengan r. Jadi, r
mengukur sejauh mana titik-titik menggerombol sekitar sebuah garis lurus. Jika
titik-titik menggerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan positif,
terdapat korelasi positif yang tinggi antara kedua variabel. Akan tetapi, jika titiktitik mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan negatif, antara kedua
21
variabel itu terdapat korelasi negatif yang tinggi. Korelasi antara kedua variabel
semakin menurun secara numerik dengan semakin memencarnya atau
menjauhnya titik-titik dari suatu garis lurus. Bila r mendekati -1 atau +1,
hubungan antara kedua variabel itu kuat dan dikatakan terdapat korelasi yang
tinggi antara keduanya. Berikut disajikan rumus koefisien korelasi linear (r) yaitu:
r=
n
⎛ n ⎞⎛ n ⎞
n∑ xi yi − ⎜ ∑ xi ⎟⎜ ∑ yi ⎟
i =1
⎝ i =1 ⎠⎝ i =1 ⎠
⎡ n 2 ⎛ n ⎞2 ⎤ ⎡ n 2 ⎛ n ⎞2 ⎤
⎢n∑ xi − ⎜ ∑ xi ⎟ ⎥ ⎢n∑ yi − ⎜ ∑ yi ⎟ ⎥
⎝ i =1 ⎠ ⎥⎦ ⎢⎣ i =1
⎝ i =1 ⎠ ⎥⎦
⎢⎣ i =1
Kemudian, berdasarkan diagram pencar, jika terdapat hubungan linear
antara kedua variabel, yang perlu dinyatakan secara matematik dengan sebuah
persamaan garis lurus yang disebut garis regresi linear. Sebuah garis lurus dapat
dituliskan dengan persamaan berikut
yˆ = a + bxˆ
dengan b dapat diperoleh dari rumus
n
⎛ n ⎞⎛ n ⎞
n∑ xi yi − ⎜ ∑ xi ⎟⎜ ∑ yi ⎟
⎝ i =1 ⎠⎝ i =1 ⎠
b = i =1
2
n
⎛ n ⎞
2
n∑ xi − ⎜ ∑ xi ⎟
i =1
⎝ i =1 ⎠
dan
a = y − bx
Berdasarkan diagram causal loop, analisis korelasi, dan analisis regresi
didapatkan persamaan fungsi jumlah penduduk dengan luas tiap jenis lahan
terbuka hijau, jumlah penduduk dengan luas lahan terbuka hijau keseluruhan,
serta luas lahan terbuka hijau keseluruhan dengan suhu udara dan kelembaban
relatif.
22
Kemudian berdasarkan data jumlah penduduk dan luas tiap jenis lahan
terbuka hijau pada tahun 1999, 2004, 2007, dan 2009 diperoleh laju pertumbuhan
penduduk tiap tahun dan koefisien laju desakan pengurangan luas tiap jenis lahan
terbuka hijau sebagai implikasi penambahan jumlah penduduk. Nilai-nilai laju
tersebut beserta persamaan regresi linear luas lahan terbuka hijau dengan suhu
udara dan kelembaban relatif digunakan dalam simulasi model dengan bantuan
program aplikasi komputer STELLA 9.0.2. Tahapan simulasi model yang
dilakukan adalah sebagai berikut
1) membuat model simulasi
2) memasukkan nilai koefisien dan fungsi persamaan pada model simulasi
(dalam 6 skenario berbeda),
3) membuat simulasi model untuk 25 tahun ke depan,
4) menentukan alternatif skenario yang terbaik.
Gambar 3.4
Struktur Model Simulasi (Diena, 2009)
Tahap perancangan skenario pada simulasi model menggunakan beberapa
Peraturan Pemerintah Daerah terkait dengan permasalahan kependudukan dan tata
ruang kota yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan skenario. Hal-hal
yang menjadi pertimbangan pembuatan skenario adalah sebagai berikut
23
1. Ruang lingkup skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan sebesar
450.000 jiwa hingga kurang dari 1.000.000 jiwa.
2. Kebijakan RUTRK Kotamadya Bandung tentang kependudukan untuk
pencapaian laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,77% (tahun 2003).
3. Pencapaian luas minimal lahan terbuka hijau sesuai RDTRK Wilayah
Pengembangan Tegallega sebesar 30% luas wilayah, sedangkan luas lahan
terbuka hijau saat ini sebesar 20%. Diasumsikan batas minimal lahan terbuka
hijau adalah 15% luas wilayah atau 371,19 ha.
e. Implementasi
Tahap implementasi diwujudkan dalam bentuk penyusunan kebijakan
berdasarkan skenario terbaik yang dihasilkan dari simulasi model mengenai
jumlah penduduk, luas lahan terbuka hijau, dan kenyamanan. Skenario yang
menjadi rekomendasi adalah skenario yang sesuai pada permasalahan di Wilayah
Pengembangan Tegallega dengan berbagai asumsi khusus.
3.4 Batasan Penelitian
1. Model dibatasi pada proses peningkatan jumlah penduduk terhadap
pengalihfungsian lahan terbuka hijau (sawah, kebun campuran, rumput dan
semak, serta tegakan pohon).
2. Indikator temperature humidity index (THI) sebagai standar kenyamanan
menggunakan variabel suhu udara dan kelembaban relatif.
3. Suatu area nyaman memiliki rentang nilai THI antara 20-26 (Ayoade, 1983
dalam Diena, 2009).
IV. KONDISI UMUM
4.1 Kondisi Fisik
4.1.1
Wilayah Administrasi
Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung
terletak pada 6o 49’ 58” hingga 6o 58’ 38” Lintang Selatan dan 107o 32’ 32”
hingga 107o 43’ 56” Bujur Timur dengan luas wilayah sebesar 16.729,650 ha.
Secara
administratif,
pengembangan,
Kota
yaitu
Bandung
Wilayah
terbagi
menjadi
Pengembangan
enam
Bojonagara,
Pengembangan Cibeunying, Wilayah Pengembangan
Tegallega,
wilayah
Wilayah
Wilayah
Pengembangan Karees, Wilayah Pengembangan Ujungberung, dan Wilayah
Pengembangan Gedebage.
Wilayah
perencanaan
mencakup
seluruh
Wilayah
Pengembangan
Tegallega. Wilayah Tegallega terletak di bagian Barat Daya Kota Bandung,
tepatnya pada 6o 53’ 13” hingga 6o 57’ 43” Lintang Selatan dan 107o 32’ 53”
hingga 107o 36’ 51” Bujur Timur. Luas areal Wilayah Pengembangan Tegallega
adalah 2.707,07 ha. Wilayah Pengembangan Tegallega memiliki batas-batas
wilayah administrasi, yaitu
a. Sebelah Utara
:
Wilayah
Pengembangan
Bojonagara
(Jalan
Jend.
Sudirman).
b. Sebelah Timur :
Wilayah Pengembangan Karees (Jalan Moch. Toha dan
Jalan Otto Iskandardinata).
c. Sebelah Selatan :
Kabupaten Bandung (TOL Padalarang-Cileunyi).
d. Sebelah Barat
Kota Cimahi.
:
Wilayah Pengembangan Tegallega terdiri atas lima wilayah kecamatan,
yaitu Kecamatan Bandung Kulon, Kecamatan Babakan Ciparay, Kecamatan
Bojongloa Kaler, Kecamatan Bojongloa Kidul, dan Kecamatan Astana Anyar.
Data mengenai luas wilayah tiap kecamatan di Wilayah Pengembangan Tegallega
dapat dilihat pada Tabel 4.1. Pembagian wilayah administrasi tiap kecamatan
secara spasial dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Tabel 4.1 Luas Wilayah Tiap Kecamatan di Wilayah Pengembangan Tegallega
Kecamatan
Luas (ha)
Astana Anyar
Bojongloa Kidul
Bojongloa Kaler
Babakan Ciparay
Bandung Kulon
295,26
622,93
326,81
735,32
726,75
Jumlah
2.707,07
Sumber: Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Bandung, 2004
4.1.2
Topografi
Ketinggian lahan Wilayah Pengembangan Tegallega berada antara 650-
980 m dari permukaan laut. Wilayah yang memiliki dataran paling tinggi berada
di sebelah Utara kaki Bukit Manglayang, sedangkan dataran paling rendah berada
di sebelah Selatan berdekatan dengan Jalan Soekarno-Hatta atau jalan kereta api.
Berdasarkan hasil observasi Kantor Pertanahan Kota Bandung di sepanjang
wilayah Utara, Tengah, hingga Selatan, dapat diidentifikasi bahwa Wilayah
Pengembangan Tegallega terletak di kaki Bukit Manglayang, dengan kondisi
topografi bergelombang dan curam di bagian Utara, landai di bagian Tengah, dan
datar di bagian Selatan.
Berdasarkan hasil survey instansi Kantor Pertanahan Kota Bandung,
bentuk Wilayah Pengembangan Tegallega dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
kelas, yaitu datar hingga berombak, berombak hingga berbukit, dan berbukit
hingga bergunung. Secara rinci persentase dari ketiga kelas bentuk wilayah
tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Karakteristik Bentuk Wilayah Pengembangan Tegallega
Dominasi Bentuk Wilayah
No
Kecamatan
Datar-berombak
(%)
50
Berombak-berbukit
(%)
43
Berbukit-bergunung
(%)
7
1
Bandung Kulon
2
Babakan Ciparay
50
43
7
3
Bojongloa Kidul
70
30
0
4
Bojongloa Kaler
50
43
7
5
Astana Anyar
70
30
0
Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, 2007
Bila dilihat pada tabel di atas, pada umumnya karakteristik topografi
Wilayah Pengembangan Tegallega merupakan daerah dataran hingga berombak.
Namun, terdapat pula sebagian wilayahnya yang terletak pada daerah perbukitan.
4.1.3
Kemiringan
Secara umum, kemiringan lahan Wilayah Pengembangan Tegallega
terbagi atas lima klasifikasi yaitu 0-3 %, 3-8 %, 8-15 %, 15-25 %, dan >25 %.
Hampir 80 persen wilayah Tegallega merupakan lahan potensial dengan
kemiringan 0-8 % membentuk dataran tinggi yang melandai ke bagian Selatan.
Sedangkan kemiringan lahan di atas 8 % berada di sekitar sungai atau kali. Secara
rinci persentase dari tiap kelas kemiringan lahan pada Wilayah Pengembangan
Tegallega dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Luas Lahan Berdasarkan Kelas Kemiringan di Wilayah Pengembangan
Tegallega
1
Kemiringan
(%)
0-3
2
3-8
Landai
262,59
9,7
3
8-15
Agak bergelombang
324,85
12,0
4
15-25
Bergelombang
240,93
8,9
5
>25
Curam
295,07
10,9
No
Datar
Luas
(ha)
1.583,63
Persentase
(%)
58,5
Klasifikasi
Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, 2007
4.1.4
Geologi
Menurut data instansional Bidang Fisik, Bappeda Kota Bandung,
teridentifikasi bahwa Wilayah Pengembangan Tegallega ditutupi oleh batuan
berumur kwarter dengan kondisi tanahnya merupakan hasil pelapukan dari satuan
vulkanik dan endapan banjir. Penyebaran dari satuan vulkanik terdapat di seluruh
Wilayah Pengembangan Tegallega. Satuan batuan vulkanik ini merupakan hasil
aktifitas gunung berapi yang tidak teruraikan. Satuan breksi hasil pelapukan
batuan berumur kuarter memiliki ciri-ciri yaitu warna coklat kehitaman,
komponen andesit dan basal, butirannya menyudut, massa dasar tufa kompak dan
kuat. Lava berwarna abu-abu kehitaman, bersifat andesit dan basaltis, kompak dan
kuat, serta kedap air.
Sedangkan penyebaran endapan banjir terdapat hanya pada lokasi bekas
genangan di Wilayah Pengembangan Tegallega, diantaranya yaitu pada sebagian
Kecamatan Bandung Kulon, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kecamatan Bojongloa
Kidul, dan Kecamatan Babakan Ciparay. Endapan Banjir yang berumur kuarter
ini terdiri dari bahan lempung.
4.1.5
Jenis Tanah
Berdasarkan karakteristik jenis tanah regional dapat diidentifikasi bahwa
Wilayah Pengembangan Tegallega didominasi oleh jenis tanah lempung lanauan
dengan jenis tanah yang terdiri dari endapan danau dan kipas alluvial, sehingga
tanahnya relatif subur untuk daerah pertanian khususnya tanaman pangan.
Berdasarkan karakteristik jenis tanahnya, Wilayah Pengembangan Tegallega
berada di antara dua zona sebaran jenis tanah, yaitu aluvium dan latosol. Rincian
karakteristik jenis tanah pada wilayah Pengembangan Tegallega dapat dilihat pada
Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Sifat Tanah pada Wilayah Pengembangan Tegallega
No
Sifat Tanah
Aluvial
Latosol
1 Tebal solum (kedalaman efektif)
<50 cm
130-150 cm
2 Warna tanah
Kelabu
Merah, coklat
kekuningan
3 Struktur tanah
Tidak berstruktur
Remah
4 Tekstur tanah
Liat berpasir
Liat
7-8
4,5-6,5
6 Permeabilitas
Lambat-sedang
Cepat-lambat
7 Bahaya erosi
Cukup peka
Peka
8 Sebaran kemiringan
0-8%
0-30%
9 Sebaran ketinggian
0-400 m
10-1000 m
<30%
3-9%
5 Keasaman (pH)
10 Kandungan bahan organik
Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, 2007
Berdasarkan tebal solumnya (kedalaman efektif), profil tanah wilayah
perencanaan bervariasi dari 50-150 cm dengan sebagian besar meliputi profil
tanah >90 cm. Profil ketebalan tanah ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan
tanah untuk mendukung tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan baik. Oleh karena itu,
wilayah perencanaan memiliki potensi tinggi untuk mendukung pengembangan
fungsi tata hijau.
4.1.6
Hidrologi
Wilayah Pengembangan Tegallega dilalui oleh tujuh aliran sungai, terdiri
dari sungai induk dan anak sungai yang seluruhnya mengalir dari Utara menuju
Selatan. Panjang sungai berkisar antara 3,5 hingga 28,0 km dengan lebar antara 2
hingga 6 m. Di wilayah ini sungai berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah
pabrik, pembuangan air hujan, dan sumber air irigasi sawah. Oleh sebab itu,
tingkat pencemaran di beberapa sungai menjadi sangat tinggi. Kondisi kualitas air
di Wilayah Pengembangan Tegallega umumnya cukup rawan dimana air tanah
dangkal berwarna kekuningan dan terasa kurang baik untuk langsung digunakan,
demikian pula kondisi kualitas air sungai. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
jenis industri yang berlokasi di sekitar Wilayah Pengembangan Tegallega. Sungaisungai ini umumnya tidak kering pada musim kemarau, hanya berkurang debit
aliran airnya. Data mengenai panjang dan lebar sungai di Wilayah Pengembangan
Tegallega dapat dilihat pada Tabel 4.5.
4.1.7
Klimatologi
Berdasarkan survey instansional Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika Balai II Stasiun Geofisika Kelas I Kota Bandung, didapatkan beberapa
data mengenai tipe iklim, temperatur, kelembaban udara, curah hujan dan hari
hujan, kecepatan angin dan arah angin selama beberapa tahun terakhir, tepatnya
dari tahun 2000 hingga 2004. Tipe iklim Wilayah Pengembangan Tegallega
berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson adalah tipe B (basah). Untuk
temperatur udara rata-rata berkisar antara 22,90oC hingga 24,00oC. Suhu
minimum terendah tercatat 18,00oC pada bulan Agustus, sedangkan suhu
maksimum tercatat pada bulan Oktober sebesar 30,16oC. Kelembaban udara rata-
rata di Wilayah Pengembangan Tegallega tercatat terendah pada bulan Agustus
yaitu sebesar 69,6%, sedangkan tertinggi tercatat 81,0% pada bulan November.
Curah hujan yang terjadi di Wilayah Pengembangan Tegallega ini berkisar antara
39,2 mm hingga 282,0 mm. Curah Hujan terendah terjadi pada bulan Agustus,
sedangkan curah hujan tertinggi pada bulan Februari dan November. Untuk data
hari hujan tercatat berkisar anatara 4 hari hujan hingga 24 hari hujan per bulan.
Hari hujan terendah terjadi pada bulan Agustus, sedangkan hari hujan tertinggi
terjadi pada bulan Januari dan Maret. Dan untuk arah angin selama lima tahun
terakhir di Wilayah Pengembangan Tegallega secara umum menuju ke arah Barat.
Komponen Iklim yang dianalisis lebih lanjut dalam perencanaan adalah
suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata. Oleh karena itu, diperlukan
data mengenai suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata dari selang
waktu yang lebih panjang. Data suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif ratarata di Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 1999 hingga 2007 dapat dilihat
pada Tabel 4.6.
Tabel 4.5 Panjang dan Lebar Sungai yang Melintas di Wilayah Pengembangan
Tegallega
No
Nama Sungai
Muara
Panjang
(km)
Lebar Rata-rata
Hulu (m)
Hilir (m)
1 Cibeureum
Citarum
3,50
5
6
2 Kalimalang
Citarum
0,70
3
3
3 Cipanya
Citarum
1,90
1
2
4 Cicukang
Citarum
1,10
3
4
5 Cilimus
Citarum
1,50
2
3
6 Ciroyom
Citarum
1,80
5
7
7 Cikakak
Citarum
1,50
3
5
8 Citepus
Citarum
4,10
12
16
9 Cibojong
Citarum
1,60
4
4
10 Kalianggara
Citarum
1,20
3
5
11 Kaliranca
Citarum
0,30
3
3
12 Cikeueus
Citarum
1,07
3
4
Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, 2007
Tabel 4.6 Data Suhu Udara Rata-Rata dan Kelembaban Relatif Rata-Rata di
Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 1999-2007
Tahun
Suhu Udara Rata-rata (oC)
Kelembaban Relatif Rata-rata (%)
1999
22,9
77
2000
23,5
76
2001
23,1
78
2002
23,6
77
2003
23,6
76
2004
23,5
77
2005
23,4
82
2006
23,5
80
2007
23,5
81
Rata-rata
23,4
78
Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kota Bandung, 2007
4.2 Kondisi Sosial
Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek-aspek sosial pada
Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi
kependudukan adalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang menempati
suatu wilayah. Secara keseluruhan Wilayah Pengembangan Tegallega dihuni oleh
531.785 jiwa pada tahun 2007 menurut Badan Pusat Statistik Kota Bandung,
2007. Dengan jumlah penduduk tertinggi berada pada Kecamatan Babakan
Ciparay sebesar 137.392 jiwa dan jumlah penduduk terendah pada Kecamatan
Astana Anyar sebesar 70.648 jiwa. Namun, bila ditinjau dari luas wilayah tiap
kecamatan maka Kecamatan Bojongloa Kaler dengan luas wilayah hanya sebesar
3,03 km2 menjadi kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi,
bahkan tertinggi di Kota Bandung yaitu 39.240 jiwa/km2. Distribusi penduduk
Wilayah Pengembangan Tegallega selengkapnya tiap kecamatan dari tahun 1999
hingga tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 1.
4.3. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan menurut Arsyad (2000) dikelompokkan menjadi dua
golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian (tegalan, sawah, kebun, hutan
lindung, dan sebagainya) dan penggunaan lahan bukan pertanian (permukiman,
industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya). Hasil survey Instansional
Kantor Pertanahan Kota Bandung tahun 2007 mengklasifikasikan penggunaan
lahan pada Wilayah Pengembangan Tegallega secara garis besar meliputi
perumahan, perdagangan, jasa, pemerintahan, peribadatan, pendidikan, kesehatan,
gedung pertemuan, pariwisata atau rekreasi, pelayanan pemerintahan, prasarana
transportasi, industri dan pergudangan, ruang terbuka hijau, dan pertanian. Untuk
membandingkan perubahan penggunaan lahan di Wilayah Pengembangan
Tegallega pada tahun 1992 dan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 4.7. Dan
untuk menggambarkan kondisi penggunaan lahan pada saat ini dapat dilihat pada
Gambar 4.1.
4.4. Penutupan Lahan
Penutupan lahan Wilayah Pengembangan Tegallega diklasifikasikan
menjadi enam kelas, yaitu badan air, lahan sawah, lahan kebun campuran, lahan
rumput dan semak, lahan tegakan pohon dan lahan terbangun. Klasifikasi ini
merupakan hasil interpretasi dan pengolahan citra Landsat ETM+ Wilayah
Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004, dan 2007. Data mengenai luas tiap
kelas penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 4.8 dan persentase penutupan
lahan di wilayah Pengembangan Tegallega dapat dilihat pada Gambar 4.4. Peta
pentupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004, dan 2007
dapat dilihat berturut-turut pada Gambar 4.3, Gambar 4.4, dan Gambar 4.5.
Tabel 4.7 Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun
1992 dan Tahun 2007
Penggunaan Lahan
Perumahan
Perkantoran
Perdagangan
Jasa
Industri
Fasilitas
Terminal
Ruang Terbuka
Sawah
Kolam
Jumlah
Tahun 1992
(ha)
2.135.128
159.912
136.394
45.418
19.009
7.000
46.415
2.549.276
Tahun 2007
(ha)
1.310.200
436.600
99.500
226.200
80.800
181.600
186.400
28.600
2.549.900
Sumber: Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, 2007
Tabel 4.8 Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun
1999, Tahun 2004, dan Tahun 2007
Tahun 1999
Luas
(ha)
(%)
Badan air
109,19
4,40
Sawah
88,59
3,57
Kebun campuran
148,36
5,98
Rumput dan semak
336,39
13,57
Tegakan pohon
232,16
9,36
Lahan terbangun
1.565,09
63,11
JUMLAH
2.479,78 100,00
Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat, 2009
Klasifikasi Penutupan Lahan
Tahun 2004
Luas
(ha)
(%)
80,52
3,25
74,91
3,02
120,63
4,86
251,52
10,14
221,59
8,94
1.730,61
69,79
2.479,78 100,00
Tahun 2007
Luas
(ha)
(%)
22,03
0,89
50,09
2,02
85,37
3,44
212,47
8,57
199,94
8,06
1.909,89
77,02
2.479,78 100,00
Sawah
(Kecamatan Bojongloa Kidul)
Kebun campuran
(Kecamatan Babakan Ciparay)
Sungai
(Kecamatan Bojongloa Kidul)
Kolam
(Kecamatan Bojongloa Kidul)
Taman
(Kecamatan Astana Anyar)
Pemakaman
(Kecamatan Babakan Ciparay)
Pemukiman
(Kecamatan Bandung Kulon)
Perkantoran dan perdagangan
(Kecamatan Astana Anyar)
Gambar 4.1 Contoh Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega
Gambar 4.2 Peta Administrasi Wilayah Pengembangan Tegallega
Gambar 4.3 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 1999
Gambar 4.4 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 2004
Gambar 4.5 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Tahun 2007
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Penghitungan Aspek Kependudukan
Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada
Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi
kependudukan adalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang menempati
suatu wilayah. Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bandung, jumlah penduduk di
Wilayah Pengembangan Tegallega mengalami kenaikan setiap tahun, dari tahun
1999 sebesar 408.779 jiwa menjadi 531.785 jiwa di tahun 2007 atau dengan kata
lain dalam kurun waktu sembilan tahun terjadi penambahan jumlah penduduk
sebesar 123.006 jiwa. Berikut data mengenai jumlah penduduk dan kepadatan
penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1999 hingga tahun 2007.
Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan
Tegallega pada Tahun 1999-2007
Tahun
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah Penduduk
(jiwa)
408.779
491.254
494.943
503.750
516.259
517.271
520.646
525.945
531.785
Kepadatan Penduduk
(jiwa/ km2)
15.668
18.829
18.971
19.308
19.788
19.826
19.956
20.159
20.383
Luas Wilayah
(km2)
26,09
26,09
26,09
26,09
26,09
26,09
26,09
26,09
26,09
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2007
Berdasarkan penghitungan didapatkan rata-rata proporsi kenaikan
penduduk setiap tahun sebesar +3,34%. Namun, terdapat fenomena kenaikan
jumlah penduduk yang sangat signifikan pada tahun 2000, yaitu sebesar 82.475
jiwa dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada tahun 1999 merupakan
masa krisis yang melanda di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kota Bandung,
khususnya
Wilayah
Pengembangan
Tegallega.
Oleh
sebab
itu,
terjadi
kecenderungan adanya migrasi dari luar Wilayah Pengembangan Tegallega untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik, diantaranya dari Kabupaten Bandung
ataupun wilayah lain di Kota Bandung. Kenaikan jumlah penduduk ini berkorelasi
positif terhadap kenaikan tingkat kepadatan penduduk dengan pertimbangan
bahwa luas wilayah tetap, sehingga didapatkan kepadatan penduduk pada tahun
2007 sebesar 20.383 jiwa setiap 1 km2.
Berdasarkan data jumlah penduduk dari tahun 1999 hingga 2007, dengan
rata-rata proporsi kenaikan penduduk setiap tahun sebesar +3,34% maka dapat
diprediksi bahwa jumlah penduduk pada tahun 2009 mencapai nilai sebesar
567.901 jiwa. Penghitungan ini didasarkan atas asumsi bahwa laju pertumbuhan
penduduk pada masa lalu akan berlanjut di masa yang akan datang.
Bila ditinjau dari tiap kecamatan, jumlah penduduk dan kepadatan
penduduk pada Wilayah Pengembangan Tegallega belum terdistribusi secara
merata. Jumlah penduduk tertinggi pada tahun 2007 berada pada Kecamatan
Babakan Ciparay yaitu sebesar 137.392 jiwa dan jumlah penduduk terendah pada
tahun yang sama berada pada Kecamatan Astana Anyar yaitu sebesar 70.648 jiwa.
Namun, Kecamatan Babakan Ciparay memiliki luas wilayah terluas di Wilayah
Pengembangan Tegallega, yaitu sebesar 7,45 km2 sehingga kepadatan
penduduknya masih relatif sedang (<25.000 jiwa/km2 menurut standar Dinas
Pekerjaan Umum), yaitu sebesar 18.442 jiwa/km2. Kepadatan tertinggi pada tahun
2007 berada pada Kecamatan Bojongloa Kaler yang luas wilayahnya hanya 3,03
km2, yaitu sebesar 39.240 jiwa/km2 dengan jumlah penduduk sebesar 118.898
jiwa. Kecamatan Bojongloa Kidul merupakan kecamatan dengan kepadatan
penduduk terendah dari tahun 1999 hingga tahun 2007, yaitu sebesar 12.696
jiwa/km2 pada tahun 2007.
Distribusi penduduk di Wilayah Pengembangan Tegallega relatif tetap dari
tahun 1999 hingga tahun 2007, dengan proporsi kenaikan yang berbeda tiap
kecamatan. Berdasarkan penghitungan didapatkan rata-rata proporsi kenaikan
penduduk tiap kecamatan yaitu dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah
berturut-turut adalah Kecamatan Babakan Ciparay (+5,4%), Kecamatan Bandung
Kulon (+4,0%), Kecamatan Bojongloa Kidul (+3,3%), dan Kecamatan Bojongloa
Kaler (+3,0%). Sedangkan Kecamatan Astana Anyar mengalami trend proporsi
yang cenderung menurun yaitu sebesar (-0,9%). Berikut grafik mengenai jumlah
penduduk dan kepadatan penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega menurut
kecamatan pada tahun 1999 hingga tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 5.1 dan
Gambar 5.2.
Jumlah Penduduk
(jiwa)
140.000
Bandung Kulon
130.000
Babakan Ciparay
120.000
Bojongloa Kaler
Bojongloa Kidul
110.000
Astana Anyar
100.000
90.000
80.000
70.000
60.000
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 5.1 Grafik Jumlah Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega menurut
Kecamatan pada Tahun 1999-2007
Kepadatan Penduduk
(jiwa/km2)
40.000
Bandung Kulon
35.000
Babakan Ciparay
Bojongloa Kaler
30.000
Bojongloa Kidul
25.000
Astana Anyar
20.000
15.000
10.000
5.000
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 5.2 Grafik Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega
menurut Kecamatan pada Tahun 1999-2007
Namun, secara umum jumlah penduduk tertinggi relatif tetap berada pada
Kecamatan Babakan Ciparay dan kepadatan tertinggi relatif tetap berada pada
Kecamatan Bojongloa Kaler. Lokasi Kecamatan Bojongloa Kaler yang sangat
strategis, yaitu berada di pusat Wilayah Pengembangan Tegellega menjadi faktor
penyebab berpusatnya penduduk di kecamatan tersebut. Sedangkan kecamatan
dengan jumlah penduduk terendah berada pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan
Bojongloa Kidul dan Kecamatan Astana Anyar yang jumlahnya cenderung
berfluktuasi. Dan kepadatan penduduk terendah pun tetap berada pada Kecamatan
Bojongloa Kidul.
5.2
Hasil Pengukuran Aspek Klimatologi
Aspek klimatologi yang dilakukan pengamatan dan pengukuran adalah
suhu
udara
dan
kelembaban
udara.
Pengukuran
menggunakan
alat
termohgygrometer yang diletakkan pada suatu sangkar buatan dengan ketinggian
relatif sebesar 30 cm terhadap ketinggian permukaan tanah setempat. Penentuan
lokasi pengukuran suhu udara dan kelembaban udara berdasarkan pertimbangan
klasifikasi penutupan lahan yang dibagi menjadi tiga kelas lokasi, yaitu kelas
lahan terbuka hijau (tiga lokasi), kelas badan air (tiga lokasi), dan kelas lahan
terbangun (tiga lokasi). Lokasi pengukuran dapat dilihat pada (Lampiran 4).
Pengukuran dilakukan pada tiga waktu, yaitu pada pagi hari (Pukul 07.00 WIB),
siang hari (Pukul 13.00 WIB), dan pada sore hari (Pukul 18.00). Hasil pengukuran
dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan suhu udara rata-rata terendah
adalah pada penutupan lahan badan air yaitu sebesar 26,0oC, sedangkan suhu
udara rata-rata tertinggi sebesar 26,8oC berada pada lahan terbangun. Kelembaban
relatif rata-rata terendah sebesar 77,1% pada lahan terbangun dan tertinggi pada
lahan terbuka hijau sebesar 80,7%.
Pada lahan terbangun, suhu udara rata-rata cenderung lebih tinggi dan
kelembaban relatif rata-rata cenderung lebih rendah dibandingkan dengan badan
air dan lahan terbuka hijau. Hal ini disebabkan suhu udara dipengaruhi oleh suhu
permukaan bumi, di mana permukaan bumi merupakan permukaan penyerap
utama dari radiasi matahari sehingga permukaan bumi merupakan sumber panas
bagi udara di atasnya dan bagi lapisan tanah di bawahnya (Lakitan, 1994). Dalam
hal ini, permukaan bumi adalah lahan terbangun yang material penyusunnya dapat
berupa bangunan, jalan aspal, atau pun perkerasan beton. Material perkerasan
tersebut menyerap panas sepanjang hari (Miller, 1986 dalam Irwan, 2008) dan
memindahkan panas secara konduksi pada lapisan udara yang sangat tipis dekat
dengan permukaan (Handoko, 1995). Sedangkan kelembaban relatif rata-rata
cenderung rendah karena kurangnya pori-pori permukaan untuk evaporasi.
Suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata pada lahan terbuka
hijau dan badan air berbanding terbalik bila dibandingkan pada lahan terbangun.
Hal ini disebabkan pada kedua penutupan lahan tersebut memiliki material
penyusun berupa vegetasi dan air di mana bersifat mengandung banyak kadar uap
air yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses transpirasi dan evaporasi (Lakitan,
1994). Proses tersebut yang menjadi faktor rendahya suhu udara rata-rata dan
tingginya kelembaban relatif rata-rata pada badan air dan lahan terbuka hijau.
Tabel 5.2 Hasil Pengamatan dan Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban
Relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega
Sumber: Pengukuran Lapang Bulan November 2009
⎡ (a × 2 ) + b + c ⎤
⎥⎦
4
⎣
Keterangan: *) Nilai rata-rata = ⎢
a = hasil pengukuran Pukul 07.00 WIB
b = hasil pengukuran Pukul 13.00 WIB
c = hasil pengukuran Pukul 18.00 WIB
(Metode penghitungan mengacu pada metode BMKG)
Pengukuran suhu udara dan kelembaban relatif pada beberapa lokasi di
Wilayah Pengembangan Tegallega dilakukan pada Bulan November 2009.
Menurut Lakitan (1994), suhu maksimum tertinggi umumnya tercapai pada
sekitar Bulan Oktober (akhir musim kemarau) dan suhu minimum terendah
tercapai pada Bulan Juli dan Agustus. Oleh karena itu, Bulan November termasuk
awal musim hujan dengan suhu udara dan kelembaban relatif cenderung tidak
ekstrim. Untuk pembanding data hasil pengukuran lapang dapat dilihat data Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Bandung pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Wilayah Pengembangan
Tegallega Periode Bulan November 2009
Tanggal
Suhu Udara Rata-rata (oC)
Kelembaban Relatif Rata-rata (%)
1
24,3
73
2
24,6
71
3
21,9
76
4
25,1
72
5
25,2
69
6
23,8
75
7
24,2
78
8
24,5
73
9
25,2
71
10
24,2
83
11
23,0
88
12
22,4
91
13
23,5
83
14
24,6
77
15
24,3
81
16
23,8
84
17
21,8
90
18
22,1
89
19
22,8
87
20
21,2
94
21
21,8
90
22
21,3
94
23
23,5
66
24
23,0
79
25
22,5
84
26
23,0
86
27
23,4
85
28
23,8
84
29
23,6
84
30
22,6
84
Rata-rata
23,4
81
Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kota Bandung, 2009
Menurut data BMKG Kota Bandung, suhu udara rata-rata pada Bulan
November sebesar 23,4oC dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 81%.
Perbedaan nilai suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata antara hasil
pengukuran lapang dengan data BMKG Kota Bandung disebabkan letak stasiun
pengukuran BMKG Kota Bandung yang berada di wilayah dengan beda
ketinggian relatif besar dengan Wilayah Pengembangan Tegallega. Dengan
demikian, suhu udara dan kelembaban udara berdasarkan hasil pengukuran lapang
lebih bersifat mikro untuk mewakili kondisi Wilayah Pengembangan Tegallega.
5.3
Penghitungan Nilai Temperature Humidity Index (THI)
Penghitungan aspek klimatologi meliputi unsur suhu udara dan
kelembaban relatif dilakukan untuk mendapatkan nilai Temperature Humidity
Index (THI) sebagai indikator kenyamanan manusia. Berikut hasil penghitungan
nilai THI berdasarkan data pengukuran lapang dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Nilai THI di Wilayah Pengembangan Tegallega Berdasarkan Data
Hasil Pengukuran Lapang Bulan November 2009
Sumber: Hasil Penghitungan Data Pengukuran Lapang Bulan November 2009
Berdasarkan penghitungan data pengukuran lapang didapatkan nilai THI
berturut-turut dari yang paling rendah yaitu pada badan air (THI=25,0), lahan
terbuka hijau (THI=25,3), dan lahan terbangun (THI=25,6). Nilai THI pada lahan
terbangun hampir mendekati nilai 26 yang berarti bahwa kenyamanan pada lahan
terbangun hampir mencapai ambang batas kenyamanan manusia. Begitu pula THI
pada badan air dan lahan terbuka hijau yang relatif kurang nyaman.
Bila meninjau data suhu udara dan kelembaban relatif berdasarkan data
BMKG Kota Bandung, menunjukkan pada tahun 1999 hingga tahun 2007
(Lampiran 2) terjadi fluktuasi baik pada suhu udara, maupun kelembaban relatif.
Secara teori, semakin tinggi suhu udara berbanding terbalik dengan semakin
turunnya kelembaban relatif. Namun, trend perubahan dari tahun ke tahun
cenderung meningkat, baik suhu udara maupun kelembaban relatif. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh faktor radiasi matahari yang intensitasnya relatif tinggi, sehingga
proses penguapan air ke atmosfer cenderung tinggi menyebabkan kelembaban
relatif cenderung tinggi pula. Kemudian fenomena peningkatan ini terjadi pula
pada nilai THI yang berfluktuasi pada rentang nilai terendah 21,84 hingga nilai
tertinggi 22,62. Berikut perbandingan suhu udara, kelembaban relatif, dan nilai
THI pada Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1999 hingga tahun 2007
dapat dilihat pada Gambar 5.3, Gambar 5.4, dan Gambar 5.5. Selanjutnya data
aspek klimatologi ini akan dilakukan analisis lebih lanjut dalam kaitan hubungan
dengan perubahan penutupan lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega.
23,8
Suhu Udara (oC)
23,5
23,3
23,0
22,8
1999
2000
2001
2002
Suhu Udara Rata-rata
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Linear (Suhu Udara Rata-rata)
Gambar 5.3 Grafik Suhu Udara Rata-Rata Wilayah Pengembangan Tegallega
pada Tahun 1999-2007
Kelembaban Relatif (%)
83
81
79
77
75
1999
2000
2001
2002
2003
Kelembaban Relatif Rata-rata
2004
2005
2006
2007
Tahun
Linear (Kelembaban Relatif Rata-rata)
Gambar 5.4 Grafik Kelembaban Relatif Rata-Rata Wilayah Pengembangan
Tegallega pada Tahun 1999-2007
22,75
Nilai THI
22,50
22,25
22,00
21,75
1999
2000
2001
2002
Nilai THI Rata-rata
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Linear (Nilai THI Rata-rata)
Gambar 5.5 Grafik Nilai THI Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun
1999-2007
5.4
Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan
Penggunaan lahan pada suatu wilayah tidak dapat dipisahkan dengan
penutupan lahan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh manusia dalam
memanfaatkan lahan sehingga penampakan permukaan lahan memiliki ciri
tertentu. Penutupan lahan menurut Badan Pertanahan Nasional
(BPN)
diklasifikasikan menjadi kelas perkampungan, sawah, tegalan atau kebun, ladang
berpindah, alang dan semak belukar, dan lain-lain.
Penutupan lahan dapat diinterpretasi melalui penginderaan jauh.
Berdasarkan proses interpretasi dan pengolahan citra Landsat ETM+ Wilayah
Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004 dan 2007 yang mengacu pada
klasifikasi
BPN,
penutupan
lahan
Wilayah
Pengembangan
Tegallega
diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu badan air, lahan sawah, lahan kebun
campuran, lahan rumput dan semak, lahan tegakan pohon dan lahan terbangun.
Data perubahan penutupan lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun
1999, tahun 2004, dan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 5.5.
Berdasarkan
hasil
pengolahan
citra
Landsat
ETM+
Wilayah
Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004, dan 2007 didapatkan luas total
Wilayah Pengembangan Tegallega seluas 2.479,78 Ha. Luasan ini berbeda
dibandingkan dengan hasil observasi dinas pemerintahan terkait. Badan Perencana
Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung menyampaikan bahwa luas total
Wilayah Pengembangan Tegallega adalah seluas 2.707,07 Ha, menurut Dinas
Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung seluas 2.549,90 Ha, dan berdasarkan
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung seluas 2.609 Ha. Hal ini disebabkan
oleh metode dan alat untuk penghitungan luasan antara hasil penelitian dengan
hasil observasi tiap-tiap dinas pemerintahan tersebut berbeda, sehingga terdapat
perbedaan dalam proses pengolahan peta dan hasilnya pun menjadi berbeda satu
sama lain. Sedangkan hasil klasifikasi penutupan lahan dari citra Landsat ETM+
menunjukkan nilai akurasi (Overall Classification Accuracy) sebesar 85,71%, hal
ini menunjukkan bahwa hasil klasifikasi memiliki validitas yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Luas badan air, sawah, kebun campuran, rumput dan semak, dan tegakan
pohon mengalami penurunan dari tahun 1999 hingga tahun 2007. Proporsi
penurunan tiap tahun dari yang tertinggi hingga terendah berturut-turut yaitu
badan air sebesar -18,13%, lahan sawah sebesar -6,88%, lahan kebun campuran
sebesar -6,68%, lahan rumput dan semak sebesar -5,58% dan lahan tegakan
pohon sebesar -1,85%. Namun, luas lahan terbangun terus mengalami
peningkatan, yaitu sebesar +2,52%. Peningkatan luas lahan terbangun ini
merupakan implikasi dari peningkatan jumlah penduduk, di mana kebutuhan
perumahan, lapangan perkerjaan, dan lahan untuk beraktifitas lainnya cenderung
meningkat. Bila dilihat pada Tabel 5.5, terdapat peningkatan jumlah penduduk
sebesar 14.514 jiwa hanya dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu dari tahun 2004
hingga tahun 2007. Hal ini pun berkorelasi pada peningkatan luas lahan terbangun
sebesar +7,23% di tahun yang sama.
Tabel 5.5 Jumlah Penduduk dan Perubahan Penutupan Lahan di Wilayah
Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, dan Tahun
2007
Tahun
1999
2004
2007
Jumlah Penduduk
408.779
517.271
531.785
(jiwa)
Klasifikasi
Luas
Luas
Luas
Penutupan Lahan
(Ha)
(%)
(Ha)
(%)
(Ha)
(%)
Badan air
109,19
4,40
80,52
3,25
22,03
0,89
Sawah
88,59
3,57
74,91
3,02
50,09
2,02
Kebun campuran
148,36
5,98
120,63
4,86
85,37
3,44
Rumput dan semak
336,39
13,57
251,52
10,14
212,47
8,57
Tegakan pohon
232,16
9,36
221,59
8,94
199,94
8,06
Lahan terbangun
1.565,09
63,11 1.730,61
69,79 1.909,89
77,02
Jumlah
2.479,78
100,00 2.479,78
100,00 2.479,78
100,00
Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat, 2009 dan dan Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2007
Lahan terbangun merupakan hasil konversi kelas penutupan lahan lainnya,
seperti konversi badan air menjadi lahan terbangun (perumahan) di Kecamatan
Astana Anyar dan Bojongloa Kidul atau pun konversi sawah, kebun campuran,
serta rumput dan semak menjadi lahan terbangun (industri) di Pinggiran
Kecamatan Bandung Kulon dan Babakan Ciparay. Selain itu, perubahan luas
penutupan lahan ini juga disebabkan oleh terjadinya alih fungsi antar kelas
penutupan lahan. Tidak semua kelas lahan terbuka hijau berubah menjadi lahan
terbangun, tetapi terdapat sebagian yang berubah menjadi kelas lahan hijau
lainnya, seperti adanya badan air yang mengering sehingga berubah menjadi
rumput dan semak. Selanjutnya rumput dan semak diolah penduduk menjadi
lahan kebun campuran di tahun-tahun berikutnya. Berikut contoh-contoh
perubahan penggunaan lahan yang berimplikasi pada perubahan penutupan lahan
di Wilayah Pengembangan Tegallega yang didokumentasikan pada tahun 2009
pada Gambar 5.8.
Perubahan penutupan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas
utama, yaitu lahan terbangun, badan air, dan lahan terbuka hijau. Lahan terbuka
hijau terdiri dari sawah, kebun campuran, rumput dan semak, serta tegakan pohon.
Berikut data perubahan penutupan lahan terbuka hijau di Wilayah Pengembangan
Tegallega pada tahun 1999, tahun 2004, tahun 2007, dan tahun 2009 dapat dilihat
pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Jumlah Penduduk dan Perubahan Lahan Terbuka Hijau di Wilayah
Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, Tahun 2007
,dan Tahun 2009
Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat, 2009 dan Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2007
Keterangan: * = prediksi
Berdasarkan Tabel 5.6, menunjukkan perubahan luas total lahan terbuka
hijau dari tahun ke tahun. Pada tahun 1999 hingga tahun 2004 terjadi perubahan
lahan terbuka hijau sebesar -5,52%, dan pada tahun 2004 hingga tahun 2007
sebesar -4,87%. Proporsi penurunan luas lahan terbuka hijau tiap tahun adalah
sebesar -4,70%, sehingga dapat diprediksi bahwa pada tahun 2009 luas lahan
terbuka hijau adalah sebesar 497,58 Ha, dengan kata lain hanya tersisa lahan
terbuka hijau seluas 20,07% dari total luas Wilayah Pengembangan Tegallega.
Perubahan lahan terbuka hijau ini yang akan dianalisis lebih lanjut dalam
kaitannya dengan peningkatan jumlah penduduk.
(a) Perumahan di Kelurahan Pelindung Hewan, Kecamatan Astana Anyar
(Konversi Badan Air serta Rumput dan Semak)
(b) Penyiapan Lahan Pergudangan dan Industri di Kelurahan Cirangrang,
Kecamatan Babakan Ciparay (Konversi Sawah dan Kebun Campuran)
(c) Penyiapan Lahan Industri di Kelurahan Gempolsari, Kecamatan Bandung
Kulon (Konversi Kebun Campuran serta Rumput dan Semak)
Gambar 5.6 Beberapa Lokasi Alih Fungsi Lahan di Wilayah Pengembangan
Tegallega
5.5
Model Dinamik
Model dinamik berdasarkan diagram causal loop, menunjukkan bahwa
jumlah penduduk mempengaruhi luas tiap jenis lahan terbuka hijau yang secara
langsung mempengaruhi pula luas total lahan terbuka hijau di Wilayah
Pengembangan Tegallega. Selanjutnya, luas lahan terbuka hijau mempengaruhi
suhu udara dan kelembaban relatif.
Tahap pengujian kesesuaian model dilakukan untuk melihat apakah
persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar. Persamaan-persamaan
antarvariabel yang digunakan dalam model digambarkan dalam diagram pencar.
Diagram pencar antarvariabel dapat dilihat pada Gambar 5.7, Gambar 5.8,
Gambar 5.9, Gambar 5.10, Gambar 5.11, Gambar 5.12, dan Gambar 5.13.
100
Sawah
Luas Sawah (Ha)
80
Linear
(Sawah)
60
40
20
0
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Gambar 5.7 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap
Luas Sawah (Y)
Luas Kebun Campuran (Ha)
160
Kebun
Campuran
Linear (Kebun
Campuran)
120
80
40
0
0
Gambar 5.8
100000
200000
300000
400000
500000
600000
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap
Luas Kebun Campuran (Y)
Luas Rumput dan Semak (Ha)
360
Rumput dan
Semak
Linear
(Rumput dan
Semak)
270
180
90
0
0
100000
Gambar 5.9
200000
300000
400000
500000
600000
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap
Luas Rumput dan Semak (Y)
240
Luas Pohon (Ha)
Pohon
Linear
(Pohon)
220
200
180
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Gambar 5.10 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap
Luas Pohon (Y)
Luas Lahan Terbuka Hijau (Ha)
900
Lahan
Terbuka
Hijau
800
Linear
(Lahan
Terbuka
Hijau)
700
600
500
400
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Gambar 5.11 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap
Luas Lahan Terbuka Hijau (Y)
30,00
Suhu Udara
Rata-rata
Linear (Suhu
Udara Ratarata)
o
Suhu Udara ( C)
27,50
25,00
22,50
20,00
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Luas Lahan
Terbuka Hijau
(Ha)
Gambar 5.12 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas Lahan Terbuka Hijau (X)
terhadap Suhu Udara (Y)
Kelembaban
Relatif Ratarata
Kelembaban Relatif (%)
81,00
Linear
(Kelembaban
Relatif Ratarata)
79,50
78,00
76,50
75,00
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Luas Lahan
Terbuka Hijau
(Ha)
Gambar 5.13 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas Lahan Terbuka Hijau (X)
terhadap Kelembaban Relatif (Y)
Berdasarkan diagram pencar, diketahui bahwa hubungan linear antara
jumlah penduduk dengan luas tiap jenis lahan terbuka hijau dan luas lahan terbuka
hijau keseluruhan memiliki nilai negatif. Hal ini berarti setiap penambahan jumlah
penduduk akan mengurangi baik luas sawah, kebun campuran, rumput dan semak,
maupun tegakan pohon sehingga keseluruhan lahan terbuka hijau akan mengalami
penurunan. Begitu pula pada hubungan linear antara luas lahan terbuka hijau
dengan suhu udara dan kelembaban relatif yang memiliki nilai negatif. Luas lahan
terbuka hijau yang semakin berkurang mengindikasikan terjadinya peningkatan
suhu udara dan kelembaban relatif. Selanjutnya, hubungan linear antara variabel
bebas dan variabel terikat tersebut menghasilkan persamaan fungsi yang dapat
dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7 Persamaan Fungsi Variabel Bebas (X) terhadap Variabel Terikat (Y)
dan Nilai Peluang Nyata (X)
Hubungan
Variabel Terikat (Y)
Variabel Bebas (X)
Luas Sawah
Luas Kebun Campuran
Luas Rumput dan Semak
Luas Pohon
Luas Lahan Terbuka Hijau
Suhu Udara
Kelembaban Udara
Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk
Luas Lahan Terbuka Hijau
Luas Lahan Terbuka Hijau
Persamaan Fungsi
y = 204,61 - 0,0003x
y = 339,15 - 0,0005x
y = 718,59 - 0,0009x
y = 332,59 - 0,0002x
y = 1599,3 - 0,0019x
y = 29,406 - 0,0085x
y = 88,367 - 0,015x
Nilai
Peluang
Nyata
0,10193
0,07222
0,01344*
0,11223
0,04526*
0,24222
0,08112
Keterangan: *) Nyata pada α = 5%
Terdapat nilai peluang nyata variabel X yang menunjukkan signifikansi
pengaruhnya terhadap variabel Y. Pada selang kepercayaan 5% terdapat hubungan
yang nyata pengaruhnya, yaitu pengaruh jumlah penduduk terhadap luas rumput
dan semak dengan nilai 1,34% serta pengaruh jumlah penduduk terhadap luas
lahan terbuka hijau keseluruhan dengan nilai 4,52%. Sedangkan pengaruh jumlah
penduduk baik terhadap luas sawah (dengan nilai 10,19%), luas kebun campuran
(dengan nilai 7,22%), maupun terhadap luas tegakan pohon (dengan nilai 11,22%)
cenderung tidak signifikan pada selang kepercayaan 5%. Begitu pula pada
pengaruh luas lahan terbuka hijau terhadap suhu udara dan pengaruh luas lahan
terbuka hijau terhadap kelembaban udara dengan nilai berturut-berturut, yaitu
24,22% dan 8,11%. Dengan demikian, tidak semua variabel X berpengaruh nyata
pada selang kepercayaan 5%, yang berarti peluang terjadinya penerimaan
kebenaran hipotesis bahwa ternyata hipotesis tersebut salah cenderung tinggi.
Berdasarkan analisis korelasi didapatkan nilai koefisien korelasi yang
menggambarkan kekuatan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel yang diukur adalah jumlah penduduk, suhu udara dan kelembaban udara,
serta luas kelas lahan terbuka hijau. Nilai koefisien korelasi dilambangkan dengan
r, yang menggambarkan suatu ukuran hubungan linear antara variabel bebas dan
veriabel terikat (Walpole, 1995). Berdasarkan pengukuran seluruh hubungan
variabel bebas dan variabel terikat didapatkan nilai r negatif mendekati -1, yaitu
jumlah penduduk terhadap luas sawah (r
luas kebun campuran (r
semak (r
=
=
=
-0,8980), jumlah penduduk terhadap
-0,9277), jumlah penduduk terhadap luas rumput dan
-0,9865), jumlah penduduk terhadap luas pohon (r = -0,8877), jumlah
penduduk terhadap luas lahan terbuka hijau (r = -0,9547), luas lahan terbuka hijau
terhadap suhu udara (r
kelembaban udara (r
=
=
-0,7577), dan luas lahan terbuka hijau terhadap
-0,9188). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi
negatif yang tinggi antara variabel bebas terhadap variabel terikat.
Analisis regresi menghasilkan persamaan regresi linear dan nilai koefisien
determinansi (R2). Nilai R2 menunjukkan kemampuan model menerangkan
keragaman nilai variabel Y. Jika nilai R2 semakin besar berarti model semakin
mampu menerangkan perilaku variabel Y. Seluruh nilai R2 menunjukkan nilai
cenderung mendekati +1, yaitu jumlah penduduk terhadap luas sawah (R2
0,8065), jumlah penduduk terhadap luas kebun campuran (R2
penduduk terhadap luas rumput dan semak (R2
=
=
=
0,8608), jumlah
0,9733), jumlah penduduk
terhadap luas pohon (R2 = 0,7881), jumlah penduduk terhadap luas lahan terbuka
hijau (R2
=
0,9115), luas lahan terbuka hijau terhadap suhu udara (R2 = 0,5742),
dan luas lahan terbuka hijau terhadap kelembaban udara (R2
=
0,8443), yang
berarti bahwa hampir 100% di antara keragaman nilai-nilai variabel Y dapat
dijelaskan oleh hubungan linearnya dengan variabel X.
Persamaan
fungsi
dan
nilai
koefisien
korelasi
yang
dihasilkan
menunjukkan terdapat kecenderungan bahwa setiap penambahan jumlah
penduduk yang terjadi di Wilayah Pengembangan Tegallega mengakibatkan
penurunan baik pada luas tiap jenis lahan terbuka hijau maupun luas lahan terbuka
hijau keseluruhan. Terdapat pula kecenderungan bahwa pada setiap pengurangan
luas total lahan terbuka hijau mengakibatkan peningkatan suhu udara dan
kelembaban relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega.
Kemudian untuk tahap perancangan skenario pada simulasi model
memerlukan landasan sebagai acuan dalam penentuan input pada masing-masing
variabel. Oleh karena itu, terdapat beberapa Peraturan Pemerintah Daerah terkait
dengan permasalahan kependudukan dan tata ruang kota yang digunakan sebagai
acuan dalam pembuatan skenario. Hal-hal yang menjadi pertimbangan pembuatan
skenario adalah batasan jumlah penduduk sesuai ruang lingkup skala pelayanan
penduduk wilayah pengembangan, laju pertumbuhan penduduk sesuai kebijakan
RUTRK Kotamadya Bandung, dan batasan pencapaian luas minimal lahan
terbuka hijau sesuai RDTRK Wilayah Pengembangan Tegallega.
Skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan merupakan batasan
jumlah penduduk yang dapat diakomodasi sesuai sarana dan prasarana wilayah
pengembangan, yaitu sebesar 450.000 jiwa hingga kurang dari 1.000.000 jiwa.
Oleh karena itu, diasumsikan jumlah penduduk tidak melebihi batasan tersebut
pada tahun simulasi berakhir.
Laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,77% yang pernah dicapai pada
tahun 2003 menjadi batasan pada simulasi. Setiap skenario dilakukan perlakuan
berbeda pada laju pertumbuhan penduduknya, yaitu diasumsikan terdapat laju
aktual dan laju prediksi.
Proporsi lahan terbuka hijau di Wilayah Pengembangan Tegallega saat ini
hanya sebesar 20% luas wilayah maka pencapaian luas minimal lahan terbuka
hijau sesuai RDTRK Wilayah Pengembangan Tegallega sebesar 30% luas wilayah
cenderung sulit direalisasikan. Asumsi yang digunakan pada simulasi adalah batas
minimal lahan terbuka hijau adalah 15% luas wilayah atau 371,19 ha. Oleh karena
itu, diharapkan pada masa simulasi berakhir luas lahan terbuka hijau masih berada
di atas 371.19 ha.
Proses simulasi model menggunakan program aplikasi komputer STELLA
9.0.2 yang dapat membantu pembuatan konstruksi model simulasi serta dalam
running model simulasinya. Model disimulasikan untuk melihat kondisi pada
masa 25 tahun mendatang dengan skenario yang berbeda. Berdasarkan struktur
model simulasi, terdapat laju penambahan dan laju pengurangan pada setiap
variabel. Laju penambahan dan pengurangan dipengaruhi koefisien laju desakan
pada tiap variabel. Dalam hal ini, laju desakan luasan tiap jenis lahan terbuka
hijau dipengaruhi oleh penambahan penduduk setiap tahun. Selanjutnya, mengacu
pada empat pertimbangan skenario dan hasil penghitungan pada Tabel 5.6
didapatkan koefisien laju desakan tiap jenis lahan terbuka hijau akibat
pertumbuhan jumlah penduduk per tahun yang dapat dilihat pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8 Koefisien Laju Desakan Tiap Jenis Lahan Terbuka Hijau akibat
Pertumbuhan Jumlah Penduduk per Tahun
Skenario
Ke-
Laju
Pertumbuhan
Penduduk per
Tahun
1
2
3
4
5
6
0,0334
0,0400
0,0100
0,0200
0,0150
0,0334
Koefisien Desakan Tiap Jenis Lahan Terbuka Hijau
Sawah
Kebun
Campuran
Rumput
dan
Semak
Pohon
Total
0,0873
0,0873
0,0873
0,2163
0,0000
0,0000
0,1494
0,1494
0,1494
0,2784
0,0000
0,0000
0,3807
0,3807
0,3807
0,5097
1,0000
1,0000
0,3871
0,3871
0,3871
0,0000
0,0000
0,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
Berdasarkan hasil running model simulasi, dihasilkan enam skenario
untuk melihat kondisi pada masa 25 tahun mendatang di Wilayah Pengembangan
Tegallega. Penjelasan mengenai tiap skenario diuraikan satu per satu.
1. Skenario 1
Pada Skenario 1, diasumsikan bahwa laju pertumbuhan penduduk sebesar
3,34%, sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) saat ini. Peningkatan
jumlah penduduk ini mengakibatkan adanya konversi lahan yang diasumsikan
bahwa seluruh kelas lahan terbuka hijau diizinkan untuk dikonversi sehingga
terjadi desakan pengurangan luas tiap jenis lahan terbuka hijau.
Berdasarkan hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang, jumlah penduduk
mencapai 1.291.171 jiwa, jumlah yang melebihi batas maksimal skala pelayanan
penduduk wilayah pengembangan dan luas total lahan terbuka hijau sebesar
322,55 ha. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 mencapai nilai
25,79.
Nilai
THI
tersebut
mengindikasikan
bahwa
Pengembangan Tegallega hampir mencapai tidak nyaman.
kondisi
Wilayah
Gambar 5.14 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara,
Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 1
Berdasarkan grafik Skenario 1, luas lahan terbuka hijau (LTH) menurun
sejak tahun pertama simulasi sehingga hanya dapat dipertahankan hingga tahun
ke-19 untuk batas minimal lahan terbuka hijau 15% luas wilayah, yaitu sebesar
378,45 ha. Nilai THI cenderung beranjak naik seiring dengan naiknya suhu udara
dan kelembaban udara. Hasil simulasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar
5.19. Peta penutupan lahan hasil Skenario 1 ini merupakan hasil pengolahan Peta
Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 2007 yang
menggambarkan kondisi penutupan lahan pada tahun ke-25 simulasi yang bersifat
ilustrasi dan tidak merepresentasikan kondisi penutupan lahan sebenarnya.
2. Skenario 2
Pada Skenario 2, diasumsikan bahwa terjadi ledakan jumlah penduduk
dengan LPP sebesar 4,00%. Diasumsikan pula bahwa seluruh jenis lahan terbuka
hijau diizinkan untuk dikonversi sehingga diprediksi terjadi desakan pengurangan
luas tiap jenis lahan terbuka hijau secara besar-besaran.
Berdasarkan hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang, jumlah penduduk
hanya dapat dipertahankan sesuai dengan skala pelayanan penduduk wilayah
pengembangan hingga tahun ke-14, yaitu sebesar 983.420 jiwa. Luas total lahan
terbuka hijau hanya sebesar 268,64 ha pada tahun ke-25. Hal ini berimplikasi pada
nilai THI pada tahun ke-25 yang mencapai nilai 26,27. Nilai THI tersebut
mengindikasikan bahwa kondisi Wilayah Pengembangan Tegallega sudah dalam
kategori tidak nyaman.
Gambar 5.15 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara,
Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 2
Berdasarkan grafik Skenario 2, suhu udara dan kelembaban udara
mengalami kenaikan lebih signifikan jika dibandingkan dengan Skenario 1. LTH
menurun lebih cepat sejak tahun pertama simulasi hingga hanya dapat
dipertahankan hingga tahun ke-16 mengacu batas minimal lahan terbuka hijau
15% luas wilayah, yaitu sebesar 377,60 ha. Ilustrasi penutupan lahan hasil
Skenario 2 dapat dilihat pada Gambar 5.20.
Gambar 5.16 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 1
Gambar 5.17 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 2
3. Skenario 3
Pada Skenario 3, diasumsikan bahwa terjadi penyusutan jumlah penduduk
akibat migrasi ke luar wilayah dengan LPP hanya sebesar 1,00%. Diasumsikan
pula bahwa seluruh jenis lahan terbuka hijau diizinkan untuk dikonversi sehingga
terjadi pula desakan pengurangan luas tiap jenis lahan terbuka hijau.
Ternyata dengan laju pertumbuhan penduduk hanya sebesar 1,00%,
jumlah penduduk pada tahun ke-25 masih di bawah batas maksimal skala
pelayanan penduduk wilayah pengembangan, yaitu sebesar 728.194 jiwa. Luas
total lahan terbuka hijau juga masih dalam batas 15%, yaitu sebesar 458,76 ha.
Nilai THI pun berada pada 24,56 yang berarti masih dalam kategori nyaman.
Gambar 5.18 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara,
Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 3
Berdasarkan grafik Skenario 3, suhu udara dan kelembaban udara tetap
mengalami kenaikan, tetapi kenaikannya diimbangi dengan penurunan LTH
secara tidak signifikan. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 3 dapat dilihat
pada Gambar 5.23.
4. Skenario 4
Pada Skenario 4, dilakukan pengendalian jumlah penduduk dengan LPP
sebesar 2,00%, dan dilaksanakan kebijakan bahwa lahan tegakan pohon tidak
diizinkan untuk dikonversi sehingga hanya lahan sawah, lahan kebun campuran,
serta lahan semak dan rumput yang dijinkan untuk dikonversi.
Kebijakan penduduk berhasil mengendalikan jumlah penduduk sehingga
pada tahun ke-25 terdapat sebesar 931.701 jiwa dan lahan terbuka hijau masih
sebesar 409,54 ha. Namun, ternyata nilai THI masih cukup tinggi pada tahun ke25, yaitu sebesar 25,00.
Gambar 5.19 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara,
Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 4
Berdasarkan grafik Skenario 4, LTH tetap mengalami akumulasi
penurunan karena desakan pengurangan yang seharusnya terjadi pada lahan
tegakan pohon terdistribusi pada lahan sawah, lahan kebun campuran, serta lahan
semak dan rumput. Nilai kelembaban udara mengalami kenaikan lebih cepat di
awal tahun simulasi jika dibandingkan suhu udara, tetapi pada akhirnya suhu
udara mengalami kenaikan yang cukup signifikan di tengah tahun simulasi
sehingga nilai THI tetap masih relatif tinggi. Ilustrasi penutupan lahan hasil
Skenario 4 dapat dilihat pada Gambar 5.24.
Gambar 5.20 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 3
Gambar 5.21 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 4
5. Skenario 5
Pada Skenario 5, dilakukan pengendalian jumlah penduduk kembali
dengan penekanan lebih tinggi sehingga LPP sebesar 1,50% dan diterapkan
kebijakan mengenai pemanfaatan ruang yang lebih ketat, yakni hanya lahan
rumput dan semak yang diizinkan untuk dikonversi.
Berdasarkan hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang, jumlah penduduk
berhasil ditekan, yaitu sebesar 823.993 jiwa dan lahan terbuka hijau juga masih
sebesar 435,61 ha. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 yang
menurun jika dibandingkan dengan skenario sebelumnya, yaitu sebesar 24,77.
Gambar 5.22 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara,
Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 5
Berdasarkan grafik Skenario 5, penurunan luas LTH terhadap kenaikan
suhu udara dan kelembaban udara berjalan dengan kecenderungan yang relatif
sama. Proteksi pada lahan sawah, lahan kebun campuran, dan lahan tegakan
pohon menyebabkan korelasi yang positif terhadap tingkat kenyamanan yang
dapat ditunjukkan melalui indikator nilai THI yang menurun jika dibandingkan
dengan skenario sebelumnya. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 5 dapat
dilihat pada Gambar 5.27.
6. Skenario 6
Pada Skenario 6, kebijakan mengenai pengendalian jumlah penduduk tidak
diterapkan, sehingga LPP sesuai pada kondisi aktual, yaitu 3,34%. Akan tetapi
kebijakan mengenai pemanfaatan ruang tetap dilaksanakan dengan ketat, yakni
hanya lahan rumput dan semak yang diizinkan untuk dikonversi.
Ternyata hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang menunjukkan jumlah
penduduk ysng mencapai 1.291.171 jiwa dan lahan terbuka hijau hanya sebesar
322,55 ha sehingga nilai THI tetap tinggi, yaitu sebesar 25,79. Hasil ini serupa
dengan Skenario 1 dan terjadi karena proporsi desakan yang seharusnya mendesak
tiap-tiap kelas lahan terbuka hijau kini mendesak secara akumulatif pada rumput
dan semak sehingga total luas lahan terbuka hijau yang terkonversi tetap sama
jumlahnya. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 6 dapat dilihat pada Gambar
5.28.
Gambar 5.23 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara,
Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 6
Gambar 5.24 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 5
Gambar 5.25 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 6
Berdasarkan enam skenario simulasi model yang telah dibuat dapat
dikategorikan skenario menurut sifatnya. Pada Skenario 1 dan Skenario 2
merupakan skenario agresif, yakni perlakuan yang diterapkan lebih bersifat tanpa
pengawasan sehingga prediksi kerusakan pada pemanfaatan ruang dan
kenyamanan terjadi sebelum masa simulasi berakhir. Skenario 3 dan Skenario 6
merupakan skenario semiagresif karena perlakuan yang diterapkan bersifat
pengawasan parsial. Prediksi kerusakan pada pemanfaatan ruang dan kenyamanan
terjadi bervariasi, dengan Skenario 3 berhasil sampai masa simulasi berakhir dan
Skenario 6 tidak berhasil. Kemudian Skenario 4 adalah skenario terkendali,
dengan perlakuan bersifat pengawasan penuh. Namun, ternyata hasil prediksi dari
Skenario 4 belum memuaskan. Skenario 5 merupakan skenario yang bersifat
konservasi, yakni perlakuan bersifat pengawasan dengan batasan yang lebih ketat.
Berdasarkan serangkaian skenario yang telah disimulasikan, skenario terbaik yang
dapat diterapkan sebagai rekomendasi kebijakan adalah Skenario 5. Skenario ini
menghasilkan prediksi jumlah penduduk sebesar 823.993 jiwa, lahan terbuka
hijau sebesar 435,61 ha dan nilai THI sebesar 24,77 pada tahun ke-25. Nilai THI
ini menunjukkan kategori nyaman.
Pemanfaatan ruang sebagai lahan terbangun memerlukan persyaratanpersyaratan tertentu untuk menunjang kelayakannya, seperti topografi dan
kemiringan lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua lahan dapat
dimanfaatkan sebagai lahan terbangun sehingga tidak semua lahan terbuka hijau
pula dapat dikonversi menjadi lahan terbangun. Lahan terbuka hijau yang
diizinkan untuk dikonversi menjadi lahan terbangun di Wilayah Pengembangan
Tegallega sebagian besar tidak memerlukan persyaratan khusus. Hal ini
disebabkan topografi dan kemiringan lahan yang relatif datar di sebagian besar
Wilayah Pengembangan Tegallega. Namun, perlakuan ini belum tentu dapat
diimplementasikan pada wilayah lain karena perbedaan karakteristik masingmasing wilayah.
Secara umum, Wilayah Pengembangan Tegallega termasuk dalam kategori
cenderung kurang nyaman walaupun berdasarkan nilai THI tergolong nyaman.
Kategori nyaman tidak hanya berdasarkan indikator suhu udara dan kelembaban
udara, tetapi terdapat banyak faktor yang mendukung untuk menjadikan suatu area
nyaman bagi manusia. Faktor-faktor pendukung kenyamanan dapat berupa, antara
lain, kadar kebersihan udara dari debu, kadar kebisingan, intensitas angin,
intensitas matahari serta kerapatan dan ketinggian bangunan. Hal ini dapat ditinjau
dari pemanfaatan ruang yang terdapat di lapangan, yakni kurang jelasnya zonasi
pemanfaatan ruang sehingga banyak terdapat pemanfaatan ruang campuran
(mixed land use) seperti pada Kelurahan Gempolsari, Kecamatan Bandung Kulon,
yang terdiri dari lahan perumahan berdampingan dengan lahan industri
berpolutan. Namun, pemanfaatan ruang homogen juga dapat menyebabkan
ketidaknyamanan secara fisik dan estetis bila kerapatan dan ketinggian
antarbangunan tidak diperhatikan, seperti pada Kelurahan Jamika, Kecamatan
Bojongloa Kaler, yang terdiri perumahan padat penduduk. Selain itu, sirkulasi
transportasi yang tidak lancar juga menyebabkan ketidaknyamanan, di antaranya
lalu lintas di Jalan Kopo (Kecamatan Bojongloa Kidul) dan di Jalan Otto
Iskandardinata (Kecamatan Astana Anyar), yang berupa akumulasi asap
kendaraan, bising, panas, dan bahkan ketidaknyamanan secara psikologi.
Permasalahan-permasalahan ini sebaiknya ditinjau kembali pada saat perencanaan
tata ruang wilayah sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan
kebijakan mengenai pemanfaatan ruang Wilayah Pengembangan Tegallega.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Model pengaruh peningkatan jumlah penduduk terhadap perubahan
pemanfaatan ruang dan kenyamanan di Wilayah Pengembangan Tegallega dapat
dijelaskan dari struktur model dinamik. Model dinamik ini menjelaskan bahwa
laju pertumbuhan penduduk tiap tahun dapat meningkatkan jumlah penduduk,
dengan setiap pertambahan penduduk tiap tahun memiliki peranan dalam
pengalihan lahan terbuka hijau. Komposisi tiap jenis lahan terbuka hijau
mendukung keberlangsungan eksistensi lahan terbuka hijau secara keseluruhan,
dalam hal ini terdapat komposisi lahan sawah, lahan kebun campuran, lahan
rumput dan semak, serta lahan tegakan pohon pada Wilayah Pengembangan
Tegallega. Hubungan antara jumlah penduduk dan jumlah luas lahan terbuka hijau
berimplikasi pada peningkatan suhu udara dan kelembaban udara sebagai
indikator kenyamanan.
Skenario terbaik yang dapat diterapkan sebagai rekomendasi kebijakan
adalah Skenario 5. Pada Skenario 5, diterapkan kebijakan penekanan laju
pertumbuhan penduduk hingga menjadi sebesar 1,50%, dan pemanfaatan ruang
yang lebih ketat, yaitu hanya lahan rumput dan semak yang diizinkan untuk
dikonversi, untuk mencapai luas minimal lahan terbuka hijau sebesar 15% luas
wilayah. Konversi lahan rumput dan semak diasumsikan yakni seluruh lahan
rumput dan semak berada pada kemiringan lahan 0-3% sehingga diizinkan untuk
dimanfaatkan sebagi lahan terbangun. Skenario ini menghasilkan prediksi jumlah
penduduk sebesar 823.993 jiwa, lahan terbuka hijau sebesar 435,61 ha dan nilai
THI sebesar 24,77 pada tahun ke-25. Nilai THI ini menunjukkan kategori
nyaman.
6.2 Saran
Kebijakan pemanfaatan ruang yang dapat menjadi alternatif dalam
perencanaan Wilayah Pengembangan Tegallega mendatang adalah pengendalian
konversi lahan terbuka hijau dengan kebijakan penyediaan kembali lahan terbuka
73
hijau setiap melakukan konversi sehingga terdapat keberimbangan dalam laju
pembangunan lahan terbangun dengan laju penghijauan lingkungan.
Jika dilihat Wilayah Pengembangan Tegallega yang sudah mampat, sabuksabuk hijau dapat diterapkan sebagai upaya untuk menambah luas lahan terbuka
hijau yang semakin berkurang. Penghijauan ini disebut dengan biotop
interconnection atau penghijauan jalan. Hal ini merupakan program yang
cenderung realistis untuk diterapkan. Diharapkan besarnya partisipasi dari
pemerintah dan penduduk untuk mempertahankan keberadaan lahan terbuka hijau
pada Wilayah Pengembangan Tegallega.
Untuk kebijakan penduduk dalam hal ini dapat berupa pembatasan angka
kelahiran dengan menegakkan program keluarga berencana (KB), pembatasan izin
migrasi dan menetap bagi pendatang, ataupun penerapan program transmigrasi
penduduk ke luar Wilayah Pengembangan Tegallega.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Bandung. 2004. Rencana Tata
Ruang Wilayah Tahun 2013. Bandung: Bappeda.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. 2007. Kota Bandung dalam Angka Tahun
1999-2007. Bandung: BPS.
Branch MC. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif, Pengantar dan Penjelasan
(Terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 293 hal.
Departeman Dalam Negeri. 2007. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Jakarta: Depdagri.
Departeman Dalam Negeri. 2008. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan. Jakarta:
Depdagri.
Diena AL. 2009. Pengaruh Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan terhadap
Kenyamanan di Suburban Bogor Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung. 2007. Rencana Detail Tata
Ruang Kota Wilayah Pengembangan Tegallega Kota Bandung.
Bandung: Bappeda.
Frick H dan Mulyani TH. 2006. Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius. 208 hal.
Gaspersz V. 1990. Analisis Kuantitatif untuk Perencanaan. Bandung: Penerbit
Tarsito.
Hakim DR. 2006. Analisis Temporal dan Spasial Perubahan Ruang Terbuka Hijau
di Kabupaten Purwakarta. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Hakim R. dan Utomo H. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap
Prinsip-Unsur dan Aplikasi Disain. Jakarta: Bumi Aksara.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: Pustaka Jaya. 192 hal.
Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Permodelan untuk Industri
dan Lingkungan. Bogor: SEAMEO BIOTROP. 125 hal.
75
Irwan ZD. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lanskap Hutan Kota. Jakarta: Bumi
Aksara. 179 hal.
Lakitan B. 1994. Dasar-Dasar Klimatologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 175
hal.
Putri P. 2006. Identifikasi Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung
dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis. [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Simonds JO 1983. Landscape Architecture: A Manual of Site Planning and
Design. New York: McGraw-Hill Book Co. 331p.
Tarigan R. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah: Edisi Revisi. Jakarta:
Bumi Aksara. 274 hal.
Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: Gramedia. 515 hal.
Warpani S. 1984. Analisis Kota dan Daerah. Bandung: Penerbit ITB. 154 hal.
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Tahun
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Jumlah Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega Menurut
Kecamatan dan Luas Wilayah serta Kepadatan Penduduk Tiap 1
Km2 pada Tahun 1998 hingga 2007
Kecamatan
Bandung Kulon
Babakan Ciparay
Bojongloa Kaler
Bojongloa Kidul
Astana Anyar
Jumlah
Bandung Kulon
Babakan Ciparay
Bojongloa Kaler
Bojongloa Kidul
Astana Anyar
Jumlah
Bandung Kulon
Babakan Ciparay
Bojongloa Kaler
Bojongloa Kidul
Astana Anyar
Jumlah
Bandung Kulon
Babakan Ciparay
Bojongloa Kaler
Bojongloa Kidul
Astana Anyar
Jumlah
Bandung Kulon
Babakan Ciparay
Bojongloa Kaler
Bojongloa Kidul
Astana Anyar
Jumlah
Bandung Kulon
Babakan Ciparay
Bojongloa Kaler
Bojongloa Kidul
Astana Anyar
Jumlah
Jumlah Penduduk
(jiwa)
89.811
88.238
92.694
62.192
75.844
408.779
118.807
119.975
112.245
70.419
69.808
491.254
121.613
120.911
110.822
72.720
68.877
494.943
123.585
123.253
113.834
73.142
69.936
503.750
126.860
126.114
115.590
75.848
71.847
516.259
127.079
126.376
115.830
76.008
71.978
517.271
Luas Wilayah
(km2)
6,46
7,45
3,03
6,26
2,89
26,09
6,46
7,45
3,03
6,26
2,89
26,09
6,46
7,45
3,03
6,26
2,89
26,09
6,46
7,45
3,03
6,26
2,89
26,09
6,46
7,45
3,03
6,26
2,89
26,09
6,46
7,45
3,03
6,26
2,89
26,09
Kepadatan Penduduk
(jiwa/ km2)
13.903
11.844
30.592
9.935
26.244
15.668
18.391
16.104
37.045
11.249
24.155
18.829
18.826
16.230
36.575
11.617
23.833
18.971
19.131
16.544
37.569
11.684
24.199
19.308
19.638
16.928
38.149
12.116
24.861
19.788
19.672
16.963
38.228
12.142
24.906
19.826
Lanjutan
Lampiran 1.
Tahun
2005
2006
2007
Lampiran 2.
Jumlah Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega Menurut
Kecamatan dan Luas Wilayah serta Kepadatan Penduduk Tiap 1
Km2 pada Tahun 1998 hingga 2007
Kecamatan
Bandung Kulon
Babakan Ciparay
Bojongloa Kaler
Bojongloa Kidul
Astana Anyar
Jumlah
Bandung Kulon
Babakan Ciparay
Bojongloa Kaler
Bojongloa Kidul
Astana Anyar
Jumlah
Bandung Kulon
Babakan Ciparay
Bojongloa Kaler
Bojongloa Kidul
Astana Anyar
Jumlah
Jumlah Penduduk
(jiwa)
125.929
127.151
118.948
74.626
73.992
520.646
125.936
133.224
117.445
78.280
71.060
525.945
125.369
137.392
118.898
79.478
70.648
531.785
Luas Wilayah
(km2)
6,46
7,45
3,03
6,26
2,89
26,09
6,46
7,45
3,03
6,26
2,89
26,09
6,46
7,45
3,03
6,26
2,89
26,09
Kepadatan Penduduk
(jiwa/ km2)
19.494
17.067
39.257
11.921
25.603
19.956
19.495
17.882
38.761
12.505
24.588
20.159
19.407
18.442
39.240
12.696
24.446
20.383
Data Suhu Udara dan Kelembaban Relatif serta Hasil
Penghitungan Nilai THI Menurut Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMKG) Kota Bandung Tahun 1999-2007
Tahun
Suhu Udara
Rata-rata (oC)
Kelembaban Relatif
Rata-rata (%)
THI
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
22,91
23,52
23,11
23,56
23,57
23,53
23,38
23,47
23,52
77
76
78
77
76
77
82
80
81
21,84
22,41
22,10
22,45
22,42
22,46
22,54
22,51
22,62
Lampiran 3.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Hasil Ground Check Truth pada Bulan Oktober 2009 dengan Peta
Penutupan Lahan 2007
Koordinat
Universal Transverse
Mercator (UTM)
48 M 786130
9230781
48 M 786738
9229705
48 M 786260
9230057
48 M 781854
9233730
48 M 785517
9229710
48 M 787756
9231186
48 M 787328
9231963
48 M 783493
9231641
48 M 785531
9231800
48 M 785684
9233298
48 M 785211
9229810
48 M 786963
9232236
48 M 786283
9232763
48 M 787290
9233933
48 M 786579
9229943
48 M 786562
9231361
48 M 786842
9232663
48 M 784917
9231425
48 M 787713
9231791
48 M 787325
9232155
48 M 787070
9231983
48 M 785899
9234021
Penggunaan Lahan
Bulan Oktober
2009
Penutupan Lahan
Bulan Oktober
2009
Peta Penutupan
Lahan Tahun
2007
Keterangan
Kolam
Badan air
Badan air
Tetap
Kolam
Badan air
Badan air
Tetap
Kolam
Badan air
Badan air
Tetap
Sungai
Badan air
Badan air
Tetap
Sungai
Badan air
Badan air
Tetap
Sungai
Badan air
Badan air
Tetap
Sungai
Badan air
Badan air
Tetap
Perdagangan
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Pasar
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Pasar
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Perdagangan
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Pasar
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Perdagangan
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Perdagangan
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Perkantoran
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Perkantoran
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Perkantoran
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Pemukiman
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Pemukiman
Lahan terbangun
Rumput dan
semak
Berubah
Pemukiman
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Pemukiman
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Pemukiman
Lahan terbangun
Lahan terbangun
Tetap
Lanjutan
Lampiran 3.
No.
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
Hasil Ground Check Truth pada Bulan Oktober 2009 dengan Peta
Penutupan Lahan 2007
Koordinat Universal
Transverse Mercator
(UTM)
48 M 783603
9232103
48 M 784926
9230757
48 M 784946
9231837
48 M 784034
9233316
48 M 786008
9230785
48 M 786243
9230065
48 M 787667
9231083
48 M 787963
9230597
48 M 787048
9230509
48 M 787671
9232097
48 M 787143
9232967
48 M 786375
9233658
48 M 786189
9234028
48 M 784791
9234168
48 M 783801
9233445
48 M 784832
9234325
48 M 782780
9233138
48 M 782343
9233222
48 M 781714
9233819
48 M 783410
9232673
48 M 783548
9231875
48 M 783612
9231126
Penggunaan Lahan
Bulan Oktober
2009
Penutupan Lahan
Bulan Oktober
2009
Peta Penutupan
Lahan Tahun
2007
Keterangan
Kebun campuran
Kebun campuran
Kebun campuran
Tetap
Kebun campuran
Kebun campuran
Kebun campuran
Tetap
Kebun campuran
Kebun campuran
Kebun campuran
Tetap
Taman
Tegakan pohon
Tegakan pohon
Tetap
Rumput dan
semak
Rumput dan semak
Badan air
Berubah
Pemakaman
Tegakan pohon
Tegakan pohon
Tetap
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan semak
Rumput dan semak
Lapangan golf
Rumput dan semak
Rumput dan
semak
Rumput dan semak
Pemakaman
Tegakan pohon
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan semak
Rumput dan semak
Rumput dan semak
Rumput dan semak
Rumput dan semak
Rumput dan semak
Rumput dan semak
Rumput dan semak
Rumput dan semak
Rumput dan semak
Rumput dan semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Tegakan pohon
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Rumput dan
semak
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Lanjutan
Lampiran 3.
No.
45
46
47
48
49
50
51
Hasil Ground Check Truth pada Bulan Oktober 2009 dengan Peta
Penutupan Lahan 2007
Koordinat Universal
Transverse Mercator
(UTM)
48 M 785448
9231199
48 M 782320
9233161
48 M 782311
9233441
48 M 781983
9233631
48 M 781370
9234004
48 M 786121
9230499
48 M 783535
9234394
Penggunaan Lahan
Bulan Oktober
2009
Penutupan Lahan
Bulan Oktober
2009
Peta Penutupan
Lahan Tahun
2007
Keterangan
Pemakaman
Tegakan pohon
Tegakan pohon
Tetap
Sawah
Sawah
Sawah
Tetap
Sawah
Sawah
Sawah
Tetap
Sawah
Sawah
Sawah
Tetap
Sawah
Sawah
Sawah
Tetap
Sawah
Sawah
Sawah
Tetap
Sawah
Sawah
Sawah
Tetap
Lampiran 4. Lokasi Pengamatan dan Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban Udara di Wilayah Pengembangan Tegallega
Lanjutan
Lampiran 4. Lokasi Pengamatan dan Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban Udara di Wilayah Pengembangan Tegallega
Keterangan:
1. LTH 1
4. BA 1
7. LT 1
2. LTH 2
5. BA2
8. LT 2
3. LTH3
6. BA3
9. LT3
Lampiran 5. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 1
Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal
Lampiran 6. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 2
Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal
Lampiran 7. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 3
Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal
Lampiran 8. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 4
Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal
Lampiran 9. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 5
Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal
Lampiran 10. Tabel Hasil Simulasi Model Skenario 6
Keterangan: Warna Tebal Menunjukkan Umur Pencapaian Simulasi Optimal
Download