Deteksi Molekuler Rice Tungro Baciliform Virus di Sulawesi Selatan

advertisement
Deteksi Molekuler Rice Tungro Baciliform Virus di Sulawesi Selatan Dengan
Menggunakan PCR Genomik dan Optimalisasinya
(Molecular Detection of Rice Tungro Bacilliform Virus in South Sulawesi,
Using Genomic PCR and Its Optimalization)
MUHAMMAD DANIAL RAHIM DAN A. NASRUDDIN
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin
Makassar, Sulawesi Selatan, 90245
J. Fitomedika. 7 (1): 55 - 61 (2010)
ABSTRACT The study was conducted to determine the pontential use of a genomic polymerase chain
reaction (Genomic PCR) technique for detecting the presence of Rice Tungro Baciliform Virus (RTBV)
particles in tungro-infected plants. Plant samples were collected from four districts in South Sulawesi:
Bulukumba, Bantaeng, Gowa, and Soppeng. Total DNAs of the samples were extracted using CTAB
method. A genomic PCR program and its modification (for optimalization) were performed to detect
RTBV particles by using specific oligonucleotide primers of RTBV ORF3. In all samples tested, DNA
fragments of the expected size were amplified from the 3’-terminus of RTBV DNA genomes. The size of
the amplified DNA fragments corresponding to the target gene were ca. 1.400 bp and 1.450 bp, which is
known as RTBV CP gene. The modified genomic PCR program provided more sensitive and accurate
results in detecting RTBV particles in the samples.
KEY WORDS Rice tungro baciliform virus (RTBV), tungro viruses, PCR, detection
Penyakit tungro adalah salah satu penyakit penting
yang menyebabkan kehilangan hasil pada tanaman
padi di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk
Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh dua jenis
virus tungro, yaitu rice tungro bacilliform virus
(RTBV) dan rice tungro spherical virus (RTSV).
Kedua virus tersebut ditularkan oleh wereng hijau,
Nephotettix virescens Dist. (Homoptera: Cicadellidae) secara semipersistent. Adapun RTSV bertindak sebagai virus pembantu (helper virus) yang
memungkinkan RTBV ditularkan oleh wereng hijau. Apabila tanaman terinfeksi oleh RTSV saja,
maka gejala penyakit yang muncul akan lebih ringan atau menampakkan gejala seperti kekurangan
unsur hara (Chettanachi et al. 1987, Hibino 1987).
Tanaman terserang oleh kedua virus tersebut
menampakkan gejala tungro yang khas berupa
kekerdilan tanaman yang diikuti oleh perubahan
warna daun menjadi kuning sampai jingga pada
tanaman terinfeksi (Hibino et al. 1978). Dengan
demikian RTBV sangat penting, karena keberadaannya dalam jaringan tanaman akan memperparah gejala serangan.
Rice tungro baciliform virus (RTBV) termasuk
dalam kelompok pararetrovirus dalam famili Caulimoviridae (Gambar 1). Genom RTBV merupakan
“doublestranded” DNA berbentuk melingkar deE-mail: [email protected]
ngan ukuran panjang 8 kb (Hull 1996). Partikel
virus terdiri dari empat open reading frames
(ORF) yang mengkode protein dengan berat molekul masing-masing 24, 12, 194, and 46 kDa
(Hay et al. 1991, Hibino et al. 1991, Qu et al.
1991). Adapun ORF3 yang mengkode polyprotein P194 terdiri dari empat domain yang memiliki fungsi berbeda, yakni sebagai pembentuk
selubung protein virus (CP, 37 kDa), pembentuk
enzim aspartate protease, reverse transcriptase,
dan ribonuclease H (Hull 1996).
Kesulitan yang dihadapi di dalam mengidentifikasi RTBV dengan hanya berdasarkan pada gejala luar tanaman sakit adalah sukarnya membedakan gejala yang disebabkan oleh RTBV dengan
dengan gejala yang disebabkan oleh virus lain pada tanaman padi. Untuk mengatasi kesulitan terse-
Gambar 1. Mikrografik elektron virion RTBV berukuran
panjang 200 nm dan organisasi genomnya yangterdiri dari
ORF1, ORF2, ORF3 dan ORF4 (Sumber: Joneset al. 1991).
56
JURNAL FITOMEDIKA
but berbagai pendekatan telah dikembangkan, misalnya implementasi bioteknologi berbasis biologi molekuler seperti teknik hibridisasi asam nukleat dengan menggunakan metode perpanjangan
rantai polimerasi (polymerase chain reaction, PCR)
(Takahashiet al. 1993).
Aplikasi PCR sangat membantu dalam pengelolaan penyakit tungro karena dapat digunakan
untuk: diagnosis penyakit tungro, deteksi dini infeksi virus tungro dan keberadaan vektor yang infektif, identifikasi dan karakterisasi strain virus,
deteksi munculnya strain virus tungro yang baru,
karakterisasi ketahanan varietas terhadap virus tungro, dan perakitan varietas tahan penyakit tungro melalui upaya pemuliaan konvensional dan rekayasa
genetik, seperti tanaman transgenik tahan tungro
(Praptana dan Yasin 2008).
Sampai saat ini, penggunaan teknik PCR genomik untuk mendeteksi secara dini keberadaan
virus tungro dan keragaman genetiknya belum
banyak dilaporkan. Padahal ini sangat penting
untuk mendukung kegiatan pengamatan dan peramalan timbulnya epidemik penyakit tungro pada
sentra pertanaman padi di Indonesia termasuk
Sulawesi Selatan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penelitian ini dilaksanakan untuk mendeteksi keberadaan RTBV pada tanaman padi yang terserang
penyakit tungro di empat Kabupaten di Sulawesi
Selatan dengan menggunakan teknik PCR genomik dengan oligonukleotida primer spesifik
terhadap poliprotein RTBV. Hasil penelitian ini
bermanfaat dalam melakukan diagnosis penyakit
tungro dan deteksi dini keberadaan sumber inokulum RTBV di pertanaman, pada ratun padi, di
penyemaian atau inang alternatif virus tungro seperti gulma-gulma di sekitar pertanaman padi pada daerah endemik tungro di Sulawesi Selatan.
Selain itu, hasil amplifikasi pita DNA dapat digunakan untuk analisis sekuens guna mengetahui
keragaman genetik RTBV yang menginfeksi tanaman padi dan yang berada pada inang alternatifmya.
Bahan dan Metode
Persiapan sampel tanaman
Pengambilan sampel tanaman dilakukan di
daerah sentra pertanaman padi yang diketahui sebagai daerah endemis virus tungro di Sulawesi Selatan, yakni Kabupaten Bulukumba, Bantaeng,
Soppeng, dan Gowa. Sampel yang diambil adalah
tanaman yang memperlihatkan gejala khas penyakit tungro, gejala ringan, dan tanaman sehat (Tabel 1).
Vol. 7, no. 1, AGUSTUS 2010: 55 - 61
Ekstraksi dan isolasi DNA RTBV
Ekstraksi DNA total tanaman untuk isolasi
DNA RTBV dilakukan dengan menggunakan buffer CTAB yang telah dikembangkan sesuai kebutuhan berdasarkan metode ekstraksi Murray dan
Thompson (1980). Daun tanaman sakit dan sehat
masing-masing 500 mg secara terpisah digerus
dengan menggunakan pestle danmortar yang ditambahkan nitrogen cair dan dihomogenasi dengan melakukan penambahan 2 mL of 2X buffer
CTAB [2% CTAB (w/v); 100 mM Tris-HCl pH
8.0; 20 mM EDTA pH 8.0; 1.4 M NaCl; 1%
PVP; dan 2% -mercaptoethanol. Homogenat tersebut di transfer ke tabung reaksi dan diinkubasi
selama 30 menit pada suhu 65C. Setelah proses
ekstraksi dengan menggunakan klorofom pada
volume yang sama, selanjutnya ditambahkan
larutan 0.1 dari volume 10% CTAB. Ekstraksi
kloroform diulang sebanyak tiga kali. Kemudian
DNA dipresipitasi dengan penambahan buffer
presiptitasi CTAB (1% CTAB; 50 mM Tris-HCl
pH 8.0; dan 10 mM EDTA pH 8.0) pada volume
yang sama dan diinkubasi pada suhu 65C selama 30 menit. Presiptitasi dissentrifus pada 1.000 g
selama 15 menit, pellet yang muncul di dinding
tabung dilarutkan pada 100 L buffer high-salt
TE (10 mM Tris-HCl pH 8.0; 1 mM EDTA pH
8.0; dan 1 M NaCl). Setelah itu DNA diuapkan
dengan menggunakan etanol, kemudian pellet dicuci dengan TE buffer berisi 0.01 mg/L RNase sebelum diinkubasikan pada suhu 37C selama satu
jam. Ribonuklease dihilangkan dengan cara ekstraksi menggunakan fenol+kloroform. Akhirnya pellet DNA yang dihasilkan dilarutkan dengan 200
L air steril (ddH2O) (Gambar 2).
Deteksi RTBV dengan teknik PCR genomik
Amplifikasi DNA beberapa isolate. Amplipikasi DNA dari koleksi sampel BJ1, BJ2, BS1, BS2,
BR1, BR2, PR1dan PR2 dilakukan dengan PCR
genomik pada reaksi 100 L yang berisi 4 L
reaksi template DNA untuk masing-masing isolat
yang dideteksi , 1x buffer PCR, 200 M dNTPs,
1.5 mM MgCl2, 2.5 unit Takara Ex TaqTM Polymerase (Takara), dan masing-masing 0.2 M forTabel 1. Koleksi sampel yang digunakan untuk
deteksi keberadaan RTBV
No.
Tanaman
sampel
Berasal
dari daerah
Varietas
padi
1.
2.
3.
4.
BJ1 dan BJ2
BR1dan BR2
BS1 dan BS2
PR1 dan PR2
Bulukumba
Bantaeng
Soppeng
Gowa
Ciherang
Ciherang
Cisadane
Ciliwung
RAHIM DAN NASRUDDIN: Deteksi Molekuler RTBV di Sul-Sel
ward dan reverse primer. Amplifikasi dengan program PCR initial incubation pada 94C selama dua
menit, dan 25 kali putaran untuk denaturation pada
suhu 94C selama satu menit, annealing pada suhu
55C selama satu menit, dan extension pada suhu
72C dua menit serta final extension selama lima
menit pada suhu 72C. Primer forward yang digunakan untuk amplifikasi genomik RTBV adalah
BV-f and primer reverse adalah BV-r (Tabel 2).
Selanjutnya produk PCR dari masing-masing
isolat dialirkan pada 1.5% gel elekroforesis pada
voltase 100 volt selama 45 menit. Gel tersebut
diinkubasi pada zat pewarna yang berisi EtBr 1%
selama 30 menit, lalu dicuci dengan ddH2O.
Pengambilan gambar dilakukan menggunakan UV
transiluminator. Hasil ekstraksi dan isolasi DNA
total tanaman pada 1.5 % gel elektroforesis disa-jikan pada Gambar 3.
Optimalisasi sensitivitas PCR genomik. Optimalisasi PCR genomik untuk amplifikasi DNA
RTBV pada isolat-isolat yang sama dilakukan dengan modifikasi program PCR, yakni: initial incubation pada 940C selama satu menit, denaturation pada suhu 940C selama 30 detik, annealing pada suhu 550C selama 30 detik, dan extension pada suhu 720C selama satu menit dengan
35 kali putaran dan final extension 720C selama
dua menit dengan variasi volume template atau sintesis DNA yang digunakan (1 µL, 2 µL, dan 3
µL) dengan dua pasangan primer oligonukleotida
yang berbeda (BVf – BV-r dan BP5f – BP6r).
Proses elektroforesis dan pengambilan gambar hasil elekroforesis dilakukan dengan cara yang sama seperti pada metode yang digambarkan sebelumnya.
Hasil dan Pembahasan
Gejala Penyakit Virus Tungro
Hasil pengamatan pada beberapa daerah pertanaman padi di Bulukumba, Bantaeng, Soppeng
dan Gowa ditemukan adanya gejala serangan penyakit tungro. Gejala yang berkembang memperlihatkan kekerdilan dan menggundulnya area pertanaman. Selain itu, ditemukan pula tanaman yang
terindikasi terinfeksi virus tungro namun memperlihatkan gejala yang lebih ringan (Gambar 4).
Deteksi RTBV dengan PCR genomik
Amplifikasi DNA partikel RTBV dengan pasangan primer oligonukleotida BV-f dan BV-r terdeteksi dengan adanya pita tunggal pada fragmen
sekitar 1.400 pasang basa. Hasil tersebut menunjukkan positif keberadaan partikel RTBV pada
57
Tabel 2. Primer oligonukleotida yang digunakan untuk amplifikasi PCR segmen spesifik poliprotein genomik RTBV
Nama
Primer
BV-f
5’ GGTCTTGGATGGATGGTAGA 3’
BV-r
5’ GCTGAGGTGCTACATAGGTT 3’
BP5-f
5’ GGATATGAACGCCGGTTGTGG 3'
BP6-r
5’ CGGAGACTGATTTATATGCTC 3'
Sekuens
tanaman isolat BR1, BS1, BS2, PR1 dan PR2, sedangkan pada tiga isolat lainnya yakni BJ1, BJ2
dan BR2 menunjukkan hasil negatif yang ditandai dengan tidak terdeteksinya pita DNA pada
fragmen fragmen 1.400 pb (Gambar 5).
Penggunaan metode PCR genomik yang sama, namun menggunakan pasangan primer BP5
dan BP6 yang dirancang berdasarkan data sekuens isolat G2 (accession number: AF113831)
(Kano et al. 1992) dari ORF3 poliprotein pada
fragmen sekitar 1.400 pasang basa pada isolatisolat BR1, BS1, BS2, PR1 dan PR2 (Gambar 6).
Optimalisasi dan sensivitas PCR genomik
Hasil pengujian menunjukkan bahwa deteksi
RTBV dengan modifikasi program PCR menggunakan pasangan primer BV-f dan BV-r memperlihatkan sensitivitas pita tunggal DNA RTBV
yang tampak pada fragmen 1.400 pasang basa pada masing-masing isolat virus tungro, namun sensivitas tersebut tidak dipengaruhi oleh kombinasi
volume DNA template yang digunakan (Gambar
7).
Akan tetapi pendeteksian dengan menggunakan pasangan primer BP5 dan BP6 dengan
program PCR genomik yang sama seperti pengujian di atas memberikan sensitivitas dan akurasi
pita tunggal pada fragmen 1.400 pasang basa
yang lebih baik dibanding dengan menggunakan
primer BV-f dan BV-r (Gambar 8).
Implementasi bioteknologi berbasis biologi
molekuler merupakan salah satu metode yang di-
Gambar 2. DNA total tanaman pada 1.5% gel
elektroforesis.
58
JURNAL FITOMEDIKA
Gambar 3. Hasil ekstraksi DNA total koleksi
tanaman contoh pasang basa juga memperlihatkan
hasil yang sama yaitu terdeteksinya pita DNA pada
fragmen sekitar 1.400.
yakini akan membantu pengendalian penyakit
tungro berdasarkan aspek biologi, ekologi dan epidemiologi penyakit. Oleh sebab itu di dalam
penelitian ini deteksi RTBV dari berbagai isolat
yang dikumpulkan dari beberapa daerah di Sulawesi Selatan dilakukan dengan penggunaan teknik PCR genomik dan optimalisasi penggunaannya dengan oligonukleotida primer spesifik pada
ORF3. Hal ini penting dilakukan karena teknik
molekuler atau teknologi DNA ini sangat bermanfaat dalam penelitian dan pengelolaan hama dan
penyakit tanaman.
Pasangan primer oligonukleotida yang digunakan pada penelitian ini (BV-f/BV-r dan BP5/
BP6) beradapada posisi nukelotida 2470 dengan
panjang untaian nukelotida antara 18 - 20 (sense)
dan komplementer dari untaian nukelotida pada
posisi 3940 (antisense) dari genomik RTBV sehingga amplifikasi DNA dengan PCR akan memperlihatkan pita DNA pada kisaran 1.500 pasang
basa. Oleh sebab itu, hasil deteksi PCR dan amplifikasi DNA RTBV terhadap contoh tanaman
yang memperlihatkan pita tunggal DNA pada
posisi 1.400 pasang basaseperti BR1, BS1, BS2,
PR1 dan PR2 serta amplifikasi DNA pada optimalisasi PCR genomik (Gambar 5 dan Gam-bar
6) menunjukkan pita DNA yang diharapkan terbentuk jika tanaman terinfeksi RTBV. Hasil ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Jones et al.
Gambar 4. Gejala khas penyakit tungro yang
ditemukan di pertanaman. (A) Daun memelintir
dengan warna kuning- jingga, (B) Gejala kerdil diikuti
dengan perubahan warna daun menjadi kuning-jingga.
Vol. 7, no. 1, AGUSTUS 2010: 55 - 61
Gambar 5. Autoradiografi amplifikasi DNA
RTBV pada 1,5% gel elektroforesis.
(1991) bahwa ukuran panjang ORF3 “polyprotein”
RTBV berkisar pada 5.043 pasang basa yang
pada sekuens genomik lengkapnya berada pada
posisi kisaran nukleotida 993 sampai 6026, sehingga dengan penggunaan spesifik primer ORF3
RTBV akan dapat mendeteksi beberapa protein
atau gen yang berada dalam area ORF3 seperti
gen movement protein (MP), coat protein (CP)
replicase dan RNase ac-tivity yang memiliki ukuran panjang yang berbeda-beda. Lebih lanjut dijelaskan oleh Gina et al. (2001) bahwa amplifikasi DNA ORF3 dengan fragmen sekitar 1780
pasang basa menunjukkan ukuran CP RTBV.
Berdasarkan deteksi PCR genomik RTBV pada isolat-isolat yang memperlihatkan pita tunggal
tersebut pada fragmen 1.400 pasang basa dapat
dikatakan bahwa hasil amplifikasi DNA tersebut
adalah gen CP dari genom RTBV dan diduga
isolat-isolat tersebut memiliki kesamaan genetik.
Hasil ini didukung oleh laporan dari Cabautan et
al. (1991) yang menunjukkan bahwa RTBV dari
isolate Ic (Accession number: AF113832.1) urutan untaian nukelotida pada kisaran posisi 2741
sampai 3941 adalah daerah gen polyprotein (ORF3) yang berhimpitan antara MP dan CP. Lebih
lanjut Shukla dan Ward (1989) mengemukakan
bahwa urutan untaian nukleotida CP dapat digunakan sebagai dasar untuk membedakan isolat atau strain virus. Coat protein dari berbagai strain
virus mungkin saja dapat berbeda dengan adanya
sedikit penggantian se- jumlah asam amino (Matthews 1985, Van Regenmortel 1982). Hal tersebut
menunjukkan adanya keragaman genetik dari
RTBV yang memungkinkan terjadinya perbedaan
virulensi dan efisiensi penularan virus tungro di
pertanaman (Hibino 1996).
Hasil tersebut di atas juga sejalan dengan penampakan gejala tanaman terinfeksi tungro di rumah kaca yang menunjukkan bahwa amplipikasi
dengan PCR yang hanya mendeteksi pita RTBV
akan memperlihatkan penampakan gejala diskolorisasi warna daun dan terjadi kekerdilan tanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian Azzam dan
Chancellor (2002) yang menunjukkan bahwa we-
RAHIM DAN NASRUDDIN: Deteksi Molekuler RTBV di Sul-Sel
59
Gambar 6. Amplifikasi pita DNA RTBV pada
1,5% gel elektroforesis.
Gambar 8. Pita tunggal DNA genomik RTBV pada
1.5 % gel elektroforesis.
reng hijau (Nephotettix virescens) sebagai vektor
virus tungro yang makan pada tanaman terinfeksi tungro akan dapat menularkan partikel virus RTBV dan RTSV sekitar 90%, menularkan
partikel RTBV saja sekitar 5% dan menularkan
RTSV saja berkisar 10%. Hal tersebut diduga
berkaitan dengan adanya karakteristik atau spesifikasi penularan virus tungro oleh serangga wereng hijau atau terdapat keragaman genetik diantara partikel virus tungro di setiap lokasi endemik. Hal tersebut menunjukkan bahwa deteksi
virus tungro dengan menggunakan teknik PCR
dengan primer spesifik untuk virus tungro, terutama RTBV, menunjukkan sensitivitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan deteksi menggunakan
teknik enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) (Takahashi et al. 1993). Modifikasi program
PCR genomik dengan menggunakan pasangan
primer spesifik yang dilakukan pada penelitian
ini memberikan hasil sensivitas dan akurasi pita
DNA RTBV yang terdeteksi lebih akurat dan
tampak lebih baik (Gambar 7 dan 8).
Hal tersebut memungkinkan terjadi karena
metode diagnosis secara molekuler berdasarkan
hibridisasi asam nukleat menggunakan PCR dengan teknik modifikasinya telah membuktikan
bahwa bahan genetik yang diekspresi dan produk
ekspresi gen dapat diisolasi. Selain itu, PCR merupakan salah satu teknik diagnosis secara moleku-
ler dengan prinsip penggandaan DNA secara in
vitro. Proses PCR berjalan berdasarkan cara replikasi DNA dengan bantuan enzim DNA polimerase dan perubahan sifat fisik DNA terhadap suhu
yang terjadi secara simultan dari primer yang komplementer dengan DNA target (Innis et al. 1990).
Oleh sebab itu, modifikasi program PCR terhadap
suhu, putaran annealing dan waktu memungkinkan kesesuaian amplifikasi DNA berlangsung dengan baik dan akan memberikan sensivitas yang
lebih tinggi dan akurat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan template DNA tidak
berpengaruh terhadap akurasi dan sensivitas pita
yang terdeteksi. Hal tersebut dapat dimengerti
karena untuk setiap aplikasi PCR hanya dibutuhkan sejumlah 0.5 mg/mL asam nukleat untuk
terjadinya perpanjangan polimerase. Hal ini menunjukkan pula bahwa diagnosis secara molekuler menggunakan PCR mempunyai spesifisitas
dan sensitifitas tinggi terhadap patogen (genus,
spesies, strain, patogen baru) (Gurr et al. 1992),
sehingga penggunaannya lebih akurat dan efisien.
Gambar 7.Amplifikasi genomik poliprotein RTBV pada
pita tunggal.
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman padi yang berasal dari Bantaeng, Soppeng,
Gowa dan Bulukumba yang memperlihatkan gejala penyakit terbukti terinfeksi oleh virus tungro.
Hasil deteksi keberadaan RTBV dengan PCR genomik menunjukkan bahwa isolat BR1, BS1,
BS2, PR1 dan PR2 membawa partikel RTBV
dengan adanya pita tunggal DNA hasil amplifikasi pada ukuran fragmen 1.400 pasang basa yang
merupakan gen coat protein (CP). Selain itu, optimalisasi program PCR genomik memberikan akumulasi pita tunggal DNA tunggal yang lebih
akurat dan sensitif dengan volume satu mikro liter template DNA. Dengan demikian teknik deteksi molekuler ini sangat potensial digunakan
untuk mendeteksi dini RTBV dan upaya pengembangan pengendaliannya secara terpadu.
60
JURNAL FITOMEDIKA
Ucapan Terima Kasih
Kami mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Universitas Hasanuddin melalui Lembaga
Penelitian yang telah memberikan bantuan berupa dukungan pembiayaan untuk penelitian ini
melalui DIPA UNHAS 2009.
Daftar Pustaka
Azzam, O. and T.C.B. Chancellor. 2002. The
biology, epidemiology and management of rice
tungrodisease in Asia. Plant Disease. 86:88100.
Chettanachit, D., W. Rattanakarn, and J.
Hongkajorn. 1987. Studies of Factors
Causing Variation of Varietal Reaction to
Yellow Orange Leaf Virus, Annual Report
of Division of Plant Pathology and Microbiology, Deparlment of Agriculture, Bangkok.
pp.78-87.
Gina, M.A. V. Marama, G. O. Romero, R. S.
Sebastian, and N. B. Bajet.2001. Cloning of
Rice Tungro Bacilliform Virus (RTBV) Coat
Protein (CP) Gene. Philippines J. Biotech.
Vol. 12: No 1-2.
Gurr, S.J., M.J. McPherson, and D.J. Bowles.
1992. Molecular plant pathology. Vol. I.A
practical approach. Oxford Univ. Press, New
York. 213 p.
Hay, J.M., M. C. Jones, M. L. Blakebrough.
1991. An analysis of the sequence of an infectious clone of rice tungro baciliform virus, a plant pararetrovirus. Nucleic Acids
Res. Vol.19: 26l5-2621.
Hibono, T., K. Ishikawa, H. Omura. 1991.
Characterization of rice tungro bacilliform
and rice tungro spherical viruses, Phytopathology: Vol. 81: 1130-1132.
Hibino, H., M. Roechan, and S. Sudarisman.
1978. Association of two types of virus
particles with penyakit habang (tungro disease)
of rice in Indonesia. Phytopathology 68:
1412-1416.
Hibino, H. 1987. Rice tungro virus disease:
current research and prospects. Proc. of the
Workshop on Rice Tungro Virus. Maros Research Institute for Food Crops.2-6 p.
Hibino, H. 1996.Biology and epidemiology of
rice viruses. Ann. Rev. Phytopathol. 34 : 275297.
Hull, R. 1996. Molecular biology of rice tungro
viruses, Annu. Rev. Phyopathol. Vol. 34:275297.
Innis, M.A., D.H. Gelfald, J.J. Sninsky, and T.
J. White. 1990. PCR protocols: aguide to
Vol. 7, no. 1, AGUSTUS 2010: 55 - 61
methods and applications. T.J. White (Ed.).
Academic Press, Inc. USA.
Jones, M., K. Gourh, I. Dasrupta, B. L. Subba
Rao, J. Clief, R. Qu, P. Shen, M.
Kaniewska, M. Blakkebrough, J. W.
Davies, R. N. Beachy, and R. Hull. 1991.
Rice tungro disease is caused by an RNA and
a DNA viruses. J. Gen. Virol. 72: 757-761.
Matthews, R.E.F., 1985. Viral taxonomy for the
nonvirologist.Ann. Rev. Microbiol. 39 : 451474.
Murray, M.G. and W. F. Thompson. 1980.
Rapid isolation of high molecular weight
plant DNA. Nucleic Acid Res. 8 : 4321-4325.
Praptana, R.H. dan M. Yasin. 2008. Peranan
bioteknologi dalam pengelolaan penyakit
tungro. Iptek Tanaman Pangan. 3 (1): 98-103.
Qu, R., M. Bhattacharya, G. S. Laco, A. De
Kochko, B. L. Subba
Rao, M. B.
Kaniewska, J. S. Elmer, D. F. Rochester,
C. S. Smith, and R. N. Beachy. 1991.
Characterization ofthe genome of rice tungro
bacilliform virus: comparison with commelina
yellow mottle virus and caulimoviruses.
Virology. 185: 354-364.
Raga, I.N., W. Murdita, M.P.L. Tri, S.W. Edi,
dan Oman, 2004. Sistem surveillance
antisipasi ledakan penyakit tungro di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Status Program
Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan
Produksi Padi Nasional. Makassar, 7-8
September 2004.
Shukla, D.D. and C. W. Ward. 1989. Identification and classification of potyviruses on
the basis of coat protein sequence data and serology. Archives of Virology. 106: 171–220.
Sumardiyono, Y.B., S. Hartono, dan I.
Suswanto.2004. Interaksi RTV dengan
wereng hijau dan penyakit tungro pada padi.
Prosiding Seminar Nasional Status Program
Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan
Produksi Padi Nasional.Makassar, 7-8 September 2004.
Takahashi, Y., F.R. Tiongco, P.Q. Cabauatan, H.
Koganezawa, H. Hibino, and T. Omura,
1993.Detection rice tungro bacilliform virus
by polymerase chain reaction for assessing
mild infection of plants and viruliferous vector
leafhoppers.Phytopathology 83 : 655-659.
Van Regenmortel, M.H.V., 1982. Serology and
immunochemistry of plant Kruses. Academic
Press, New York.
Widiarta, I.N., Burhanuddin, A. A. Daradjat,
dan A. Hasanuddin. 2004. Status dan program penelitian pengendalian terpadu penyakit
RAHIM DAN NASRUDDIN: Deteksi Molekuler RTBV di Sul-Sel
tungro. Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7-8
September 2004.
61
Diterima tanggal 5 Januari 2010, setujui untuk dipublikasi tanggal 21 Mei 2010.
Download