Sindrom Diri Merasa Super

advertisement
MINGGU, 20 APRIL 2014
Sindrom Diri
Merasa Super
ANDA mungkin pernah mengalami, atau melihat seseorang dalam
lingkungan Anda, baik lingkungan pekerjaan atau sosial, yang
membuat Anda tak habis pikir dengan segala pembicaraan dan
tindakannya. Antara ucapan dan kenyataan tidaklah sama, ’jauh
lebih besar’ dan tidak sesuai dengan realita. Secara awam, kita
mungkin akan menganggapnya sebagai pembual, atau tukang
berkhayal. Ibaratnya, seperti seekor kucing yang sedang
bercermin, dan melihat refleksi dirinya adalah seekor singa.
S
eekor kucing yang melihat dirinya
sebagai seekor singa, merupakan
analogi paling sederhana untuk
menggambarkan sindrom grandiositas (grandiosity syndrome). Berdasarkan ungkapan Elsa F Ronningstam dalam bukunya,
“Identifying and Understanding the
Narcissistic Personality” (2005), sindrom
grandiositas merupakan perasaan yang tidak
realistis tentang kebesaran (merasa superior),
pandangan yang secara terus-menerus
meyakini bahwa dirinya lebih baik daripada
orang lain.
Hal ini, menurutnya, membawa rasa narsisistik, memandang rendah orang lain, atau
melihat mereka sebagai inferior. Sekaligus,
merujuk pada keunikan, paham yang merasa
bahwa beberapa orang memiliki kemiripan
satu sama lain, dan ini hanya bisa dimengerti
beberapa, atau segelintir orang yang (dianggap) sangat istimewa.
Jadi, grandiositas ada hubungannya
dengan sifat narsisistik? “Ada hubungannya,
hanya jika narsisistiknya sampai pada tingkat
delusional,” papar dr. Gunawan Laksmana,
SpKj. Sebelum lebih jauh membahas
hubungan antara grandiositas dengan narsisistik, saya akan membahas mengenai
grandiositas terlebih dulu.
Grandiosity merupakan kondisi seseorang yang memiliki ide/ gagasan/ pikiran
besar atau superior. “Namun hal ini belum
tentu menyimpang, karena dalam hal yang
positif, ini bisa berarti rasa optimis atau
memiliki visi yang besar,” jelas ahli kesehatan jiwa SMC Telogorejo Semarang ini.
Menurutnya, akan menjadi gangguan jiwa,
jika memiliki gejala yang tidak sesuai dengan
realita; ide/ gagasan/ pikirannya sudah tidak
realistis. Pada kasus yang berat, jika penderitanya mempunyai pikiran/ ide yang jelas
salah, namun tetap diyakini bahwa ia 100%
benar.
Contohnya, seseorang yang merasa mempunyai kedudukan/ jabatan tinggi dalam
pekerjaannya, padahal tidak sesuai dengan
realita. Atau seseorang yang merasa status
sosial/ ekonominya tinggi, padahal tidak
sesuai dengan kondisi sosial/ ekonomi
dirinya yang sebenarnya.
Bisa juga, jika Anda masih ingat, dari
yang sering ditayangkan televisi, seseorang
yang mengaku bahwa dirinya adalah nabi.
Penderitanya bisa dikatakan mengalami delusional (waham/ berkhayal), terlepas dari lingkungan religiusnya, karena hal ini tidak
sesuai dengan lingkungan masyarakat umum.
Narsisistik
Sindrom narsisistik atau Narcissistic
Personality Disorder (NPD) merupakan
sikap/ sifat mencintai diri sendiri, dan berusaha mendapatkan segala sesuatu untuk kepentingan dirinya sendiri. NPD merupakan gangguan kepribadian yang mana penderitanya
asyik dengan dirinya sendiri, merasa secara
berlebihan memiliki kecukupan personal,
kekuatan/ pengaruh, prestis dan kesombongan.
“Narsis belum tentu ada hubungannya
dengan grandiositas. Ada hubungannya jika
mereka delusif. Jika tidak sampai delusional,
itu (narsisistik) hanya kepribadian yang optimis,” imbuh dr. Gunawan.
Seperti yang diungkapkan pada awal
tulisan, grandiositas-narsisistik meyakini
kalau dirinya lebih baik daripada orang lain,
serta merasa kalau dirinya hanya bisa
dimengerti oleh orang-orang yang (dianggap)
istimewa/ berbeda / mengerti dunianya. Dan
tentu saja, disertai khayalan/ delusi yang tidak
sesuai dengan realita.
Misalnya, seorang wanita yang bekerja
sebagai buruh pada sebuah perusahaan, dan
tinggal di daerah kumuh (dalam kehidupan
nyata). Dalam khayalannya, ia merupakan
pemilik dari perusahaan/ lembaga tertentu,
memiliki rumah mewah di tengah kota,
memiliki pengaruh kuat bagi masyarakat luas
melalui akun sosial medianya, dan memiliki
kehidupan sosial yang tinggi, alias hanya
bersosialisasi dengan masyarakat kelas atas.
Sedangkan seseorang yang memang
mengalami perubahan sosial/ ekonomi, lalu
menjadi arogan, pemilih dan meremehkan/
merendahkan orang lain, tanpa mengganggu
fungsi sosial dirinya sehari-hari, hanya merupakan respon dari kepribadian yang kurang
matang.
Grandiositas berkaitan dengan skizofrenia dan bipolar. Kasus yang paling banyak
adalah dari pasien skizofrenia, karena kesulitan/ ketidakmampuan mereka membedakan
mana yang realistik dan tidak. Ciri khasnya,
delusi tentang kebesaran ataupun delusi yang
aneh/ tidak wajar. Pada kasus penderita bipolar, grandiositas ditemui pada pasien bipolar
pada episode manik/ mania (ada dua jenis
bipolar, yakni manik/ mania dan depresif).
Pada episode maniak, penderitanya cenderung bersikap agresif, aktif, sangat prodiktif,
banyak berbicara, tidak bisa diam dan mudah
kehilangan fokus.
Hal yang paling melatarbelakangi
grandiositas adalah pola asuh. Pola asuh
orangtua yang terlalu dominan misalnya,
akan membentuk karakter anak menjadi pesimis. Meskipun bisa saja, grandiositas muncul karena pengaruh lingkungan, atau genetik
(Irma Mutiara Manggia- 11).
Terima Diri Apa Adanya
Superior dan Merendahkan Orang Lain
SIAPA tidak mengenal Farhat
Abbas, pengacara yang kerap warawiri di layar kaca dengan komentar
pedas terkait beberapa isu yang
sedang booming. Bahkan, di akun
Twitter miliknya yang kini sudah
dinonaktifkan, mantan suami Nia
Daniati itu kerap menulis komentar
bernada superior dan merendahkan
orang lain.
Akibat tingkah laku dirinya
yang kurang bisa menjaga lisan,
Farhat diperkarakan di jalur hukum
oleh musisi Ahmad Dhani. Perkara
ini berujung damai, Farhat meminta
maaf pada Dhani dan menutup akun
Twitter dirinya. Sebelum bertikai
dengan Dhani, Farhat juga pernah
bertikai dengan Coboy Junior, Arya
Wiguna, dan masih banyak lagi.
Kepribadian Farhat Abbas yang
sering menyombongkan diri dan
merendahkan orang lain tergolong
sebagai sindrom grandiositas atau
percaya diri berlebihan. Kini, ia pun
kerap muncul di infotainment lewat
berita kedekatan dirinya dengan
Regina, mantan juru bicaranya. Juga
lewat berita perseteruannya dengan
Ilal, mantan suami Regina. Saling
tuduh dan menjelek-jelekkan pun
mewarnai konflik segitiga antara
Farhat-Regina-Ilal.
Lewat statement yang sering ia
lontarkan di media, Farhat tergolong
narsistik. Ia kerap menyombongkan
diri sebagai orang pintar, berpendidikan, putra orang terpandang,
kaya raya dan lain-lain. Namun,
akhir-akhir ini pernyataannya seolah
terbantah dengan satu demi satu
bukti bahwa Farhat tidak ëísebesaríí
yang kerap dia ucapkan.
Jika merujuk pada pengertian
sindrom grandiositas yang merupakan perasaan tidak realistis tentang
kebesaran (merasa superior), pandangan yang secara terus menerus
meyakini bahwa dirinya lebih baik
daripada orang lain, bukan hal keliru
jika Farhat disebut terserang sindorm grandiositas. Narsistik pada
diri Farhat berebihan hingga
memandang rendah orang lain.
Akibatnya, publik cenderung
muak dengan Farhat, tak percaya
dan menganggap semua yang diucapkan pengacara tersebut hanya
bualan semata. Gangguan kepribadian grandiositas yang dialami
Farhat berbeda dengan narsistik.
Dalam buku Essentials Abnormal
Psychology karya V. Mark Durand
dan David H. Barlow, dijelaskan
bahwa gangguan kepribadian narsistik adalah gangguan yang melibatkan pola pervasive dari
grandiositis dalam fantasi atau perilaku; membutuhkan pujian dan
kurang memiliki empati.
Tipikal penderita gangguan
kepribadian grandiositas memiliki
pandangan berlebihan tentang
kemampuan mereka, serta melihat
dirinya lebih unggul dari orang lain.
Mereka membesar-besarkan prestasi mereka, mengharapkan orang lain
mengakui mereka senbagai superior. Gangguan ini dicirikan oleh
keterpusatan diri. Mereka menghendaki perhatian dan pemujaan yang
berlebihan bahwa dirinya spesial.
Penderita grandiositas sensitif
terhadap kritik dan sangat takut pada
kegagalan. Mereka akan merasa
depresi jika tidak mampu mewujudkan harapannya sendiri. Bagaimana
dengan hubungan interpersonal?
Tentu saja terhambat, sebab kurangnya empati, perasaan iri dan arogansi berlebihan. Serta ada tuntutan
yang tidak realistis agar orang lain
mengikuti keinginannya. Sifat ini
membuat penderita mengeksploitasi
orang lain untuk memperoleh
kekuasaan, sombong dan merendahkan orang lain. Ketika dihadapkan dengan orang lain yang lebih
sukses, penderita grandiositas akan
merasa iri hari dan arogan.
Para peneliti dan dokter percaya,
bahwa penderita grandiositas
sebenarnya adalah orang-orang
yang merasa harga diri mereka tidak
stabil dan rapuh di bawah semua
grandiositi mereka. Ini menjadi alasan mereka sering ëímengasyikkaníí
diri dengan apa yang orang pikirkan,
dan mengapa mereka sangat asyik
dengan khayalan atau delusional
akan penghargaan yang mengagumkan.
Penderita sindrom grandiositas
membutuhkan kekaguman dari
orang lain untuk melindungi perasaan dan harga diri mereka yang rapuh.
Kebayanyakan penderita sindrom
grandiositas didiagnosis dialami
oleh pria. Berdasarkan teori ahli
psikologi, beberapa penyebab sindrom grandiositas adalah akibat
depresi pada masa anak-anak.
Kohut, seorang penulis teori
psikologi mengatakan, gangguan ini
terjadi akibat kegagalan meniru
empati dari orang tua pada masa perkembangan awal anak. Kemudian,
anak terfiksasi di tahap perkembangan grandiose. Saat tumbuh
dewasa, ia terlibat dakam pencarian
figur ideal yang dianggap memenuhi kebutuhan empatinya, namun
tak pernah berhasil terpenuhi.
Di sisi yang lain, ahli teori psikodinamik yang berpengaruh seperti
Heinz Kohut setuju bahwa semua
anak yang melewati fase primitif
grandiositi selama apa yang mereka
pikirkan tentang semua kejadian dan
kebutuhan berputar di sekeliling
mereka. Agar anak tumbuh normal,
orang tua harus melakukan suatu
pencerminan terhadap anak, supaya
anak memiliki kepercayaan diri
yang normal dan perasaan harga diri.
Realita hidup diceritakan apa adanya, tidak dibesar-besarkan.
(Miftahun Nikmah-11)
SINDROM grandiositas yang tidak
realistis dengan kemampuan diri, disebabkan oleh kurang terima diri apa adanya. Beberapa peneliti mengatakan, pola
asuh dari orang tua yang terlalu dominan
bisa membentuk anak menjadi pesimis,
lalu ia tumbuh menjadi pribadi yang delusional atau berkhayal punya kemampuan
super.
Agar buah hati mengerti, serta tidak
terkena sindrom grandiositas, simak beberapa tips berikut:
Pertama, terima diri apa adanya.
Masa lalu buruk bisa menimbulkan kenangan tak terlupakan. Dendam akibat masa
lalu buruk membuat Anda bekerja keras
agar bisa sukses di masa depan. Setelah
sukses, muncullah perasaan superior, ada
keinginan agar dipuja dan dikagumi secara
berlebihan. Sindrom grandiositas juga tak
baik bagi kesehatan, sebab jika dibiarkan
terus menerus bisa mengganggu kejiwaan.
Jika Anda bisa menerima diri apa adanya, lebih ikhlas terhadap segala takdir,
maka hidup akan lebih damai sesuai realita. Ketika sudah bisa menerima diri apa
adanya, Anda pun tak akan menuntut lebih
dari buah hati. Seberapapun kemampuan
anak, Anda tinggal mengarahkan.
Kedua, didik anak agar selalu jujur.
Tak mudah menjadi orang tua, sebab Anda
punya kewajiban mendidik anak. Agar
anak tidak tumbuh menjadi grandiositas,
tanamkan kejujuran sejak dini pada anak.
Apapun yang terjadi, beri dukungan pada
anak. Jangan memaksanya agar terus
berprestasi dan menghukum anak jika dia
tak berprestasi.
Lebih baik jujur meski pahit daripada
manis tapi khalayan belaka. Dengan demikian, anak akan mengatakan sesuai realita,
dan jika ia terbiasa jujur, kemungkinan ia
tumbuh menjadi pribadi yang grandiositas
akan kecil.
Ketiga, siapkan lingkungan yang baik
untuk anak. Sindrom grandiositas bisa
tumbuh karena pengaruh lingkungan.
Lebih baik menyekolahkan anak di lingkungan yang sesuai dengan kemampuan
ekonomi. Saat anak bersekolah di lingkungan ekonomi lebih mampu,
dikhawatirkan ia menjadi pesimis, lalu
membual tentang kemampuan ekonomi
dirinya yang sebenarnya.
Keempat, orang tua memberi contoh
pada anak. Sebuah peribahasa berbunyi,
buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Apa
yang dilakukan orang tua akan dicontoh
oleh
buah hati mereka.
Agar anak tak tumbuh jadi pribadi
grandiositas, orang tua pun harus mencontohkan percaya diri yang normal dan
perasaan harga diri. Selain itu, orang tua
harus menunjukkan empati terhadap
anaknya dan tidak melakukan penilaian
yang berlebihan yang tidak realistis.
Jika tips di atas untuk para orang tua
yang sedang mendidik buah hati agar tak
tumbuh menjadi pribadi dengan sindrom
grandiositas, berikut ini adalah tips agar
Anda terhindar dari grandiositas:
Pertama, penderita grandiositas bisa
diidentifikasi dari kegemaran menceritakan prestasi yang dilebih-lebihkan.
Adalah wajar jika seseorang berbangga
hati dengan prestasi yang dimilikinya.
Boleh saja narsis dengan prestasi, namun
upayakan agar bercerita apa adanya tanpa
ëíbumbuíí alias sesuatu yang dilebihlebihkan. Agar cerita yang Anda sampaikan tetap sama, selalu ingat bahwa
sekali Anda berbohong, Anda akan terus
berbohong untuk menutupi kebohongan
yang pertama.
Kedua, kasus penderita grandiositas
selain merasa superior, ia kerap merendahkan orang lain. Sebagai manusia, pasti
memiliki kekurangan dan kelebihan.
Seseorang yang kesuksesannya di bawah
Anda, belum tentu hina, sebab ia punya
sesuatu yang lebih dari yang Anda miliki.
Jagalah selalu lisan agar tidak merendahkan orang lain, sebab jika Anda demikian, musuh Anda akan terus bertambah.
Dan, musuh Anda adalah orang pertama yang akan menertawakan Anda jika
terjatuh. Jadi, usahakan agar tak merendahkan orang lain, baik lewat perkataan
maupun status atau komentar di sosial
media. Lebih baik menyibukkan diri
dengan bekerja, mengurus keluarga,
ataupun melakukan kebahagiaan diri
sendiri daripada mengurusi orang lain.
Ketiga, jangan terlalu sering mengekspos keunggulan diri. Biarkan sesekali
Anda mengagumi diri Anda sendiri tanpa
perlu orang lain mengetahuinya. Jika
orang lain mengetahui prestasi Anda dari
mulut orang lain, tanpa Anda bercerita,
maka kekaguman orang lain akan muncul
dengan sendirinya. (Miftahun Nikmah11)
Download