101 BAB V PENUTUP Kesimpulan Sebagai upaya

advertisement
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai upaya dalam menangani konflik yang pecah baik antar negara
maupun konflik internal di suatu negara maka PBB dalam World Summit tahun
2005 menyepakati beberapa hal salah satunya adalah mengenai Responsibility to
Protect, sebuah prinsip dimana bahwa setiap negara wajib unutk melindungi
rakyatnya dari pemusnahan massal, kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan pembersihan etnis. Dan bahwa komunitas internasional sepakat
untuk untuk mengambil tindakan kolektif apabila suatu negara dianggap gagal
untuk melindungi rakyatnya dari empat jenis kejahatan tersebut.
Berdasarkan analisa mengenai prinsip Responsibility to Protect pada babbab sebelumnya, penulis berkesimpulan bahwa dalam penerapannya prinsip
Responsibility to Protect dapat dikatakan telah mengadaptasi konsep resolusi
konflik yang dikemukakan Johan Galtung sebagai upaya dalam memberikan
perlindungan bagi rakyat dan menangani terjadinya kekejaman massa. Bentukbentuk konsep resolusi konflik yang diterapkan dalam prinsip RtoP yang dapat
dilihat baik dalam tiga bentuk tanggung jawab RtoP maupun pilar-pilar prinsip
RtoP adalah sebagai berikut.
Pertama, konsep resolusi konflik dalam konteks peacemaking dapat dilihat
penerapannya dalam bentuk tanggung jawab untuk mencegah (responsibility to
101
prevent). Sama halnya dengan strategi peacemaking dalam resolusi konflik, RtoP
juga menerapkan pendekatan diplomasi dalam mencegah terjadinya kejahatan
kekejaman massa. Faktor penting dalam proses peacemaking seperti negosiasi,
mediasi, penerapan sanksi sosial, politik, dan ekonomi juga diterapkan dalam
tindakan pencegahan terjadinya kekejaman massal sebagai bentuk responsibility
to prevent. Dalam segi politik dan diplomasi langkah pencegahan meliputi
keterlibatan langsung Sekjen PBB, pemimpin-pemimpin pihak berkonflik,
pembentukan misi pencarian fakta (fact finding mission), dialog dan mediasi
melalui badan-badan resmi, pertimbangan internasional, dialog-dialog lanjutan
serta seminar-seminar pemecahan masalah. Upaya terakhir pada skala negatif
meliputi ancaman atau penerapan sanksi politik, isolasi diplomatik, pembatasan
keanggotaan organisasi, larangan perjalanan (travel ban) dan pembekuan asset
terhadap orang-orang yang menjadi target serta tindakan-tindakan lain. Dalam
segi ekonomi dilakukan melalui janji pendanaan baru atau investasi yang akan
menguntungkan atau dapat pula berupa ancaman terhadap perdagangan dan
adanya sanksi keuangan, penarikan investasi, ancaman penarikan dukungan IMF
atau Bank Dunia, dan pembatasan bantuan-bantuan lainnya. Dari segi hukum,
langkah-langkah pencegahan dapat dilakukan dengan tawaran mediasi, arbitrase,
atau ajudikasi. Selain itu juga dapat dilakukan penyebaran pengawasan terkait
pemenuhan hak-hak asasi manusia serta membantu meyakinkan masyarakat lokal
bahwa mereka sedang berada dalam situasi yang berisiko.
Berkaitan dengan penerapan peacemaking ini juga ditekankan dalam
penerapan pilar kedua dan ketiga RtoP yaitu bahwa masyarakat internasional
102
harus berkomitmen untuk membantu negara-negara yang dianggap gagal
menjalankan tanggung jawabnya dan adanya respon kolektif, tegas dan tepat dari
masyarakat internasional memberikan perlindungan yang dimaksud. Dalam hal ini
masyarakat internasional akan bekerja melalui PBB dan menggunakan cara damai
untuk membantu negara-negara tersebut menjalankan tanggung jawabnya untuk
melindungi. Cara-cara damai yang digunakan bisa dilakukan melalui pendekatan
diplomatik seperti negosiasi, mediasi, dan langkah-langkah diplomasi laninya.
Bila cara damai tersebut gagal, maka dimungkinkan untuk digunakan cara
kekerasan sebagaimana diatur dalam Bab VII Piagam.
Kedua, dalam konteks peacekeeping penerapan konsep resolusi konflik ini
dapat dilihat dalam bentuk tanggung jawab untuk bertindak/merespon.
Peacekeeping sebagaimana yang didefinisikan oleh Galtung sebagai proses
menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer yang
menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Berkaitan dengan hal
tersebut, dalam prinsip Responsibility to Protect juga mengenal adanya intervensi
sebagai mana yang pada umumnya dilakukan dalam peacekeeping. Hal tersebut
dilakukan dibawah pilar ketiga RtoP yaitu timely and decisive response, dimana
komunitas internasional di bawaah PBB harus segera melakukan tindakantindakan yang dianggap perlu dengan tegas dan tepat waktu guna mencegah dan
menghentikan kekejaman massal apabila suatu negara dianggap gagal dalam
melindungi rakyatnya dari kejahatan tersebut. Salah satu bentuk respon tersebut
adalah dengan melakukan intervensi baik secara koersif maupun non-koersif.
Tindakan koersif seperti intervensi militer hanya bisa diterapkan dalam
103
menghadapi kejahatan kekejaman massal yang mendesak dan bersifat aktual. Dan
perlu digaris bawahi bahwa upaya koersif tersebut merupakan bentuk upaya
terakhir (last resort) apabila negara gagal melindungi rakyatnya dan apabila
upaya-upaya damai yang telah diusahakan juga tidak berhasil. Mengenai
penggunaan kekuatan ini juga terdapat pada bentuk tanggung jawab kedua dalam
RtoP yaitu tanggung jawab untuk bertindak (responsibility to react).
Ketiga, pada tataran konsep resolusi konflik peace building dapat dilihat
penerapannya dalam bentuk tanggung jawab membangun kembali. Peace building
merupakan proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik, dan
ekonomi demi terciptanya perdamaian yang berkesinambungan. Dalam RtoP
konsep resolusi konflik pada tahap peacebuilding ini terakomodir dalam bentuk
tanggung jawab membangun kembali (responsibility to rebuild). Tindakan
responsibility to rebuild antara lain dapat dilakukan dengan memberikan bantuan
penuh terhadap pemulihan, rekonstruksi dan rekonsiliasi, terutama setelah
adanaya intervensi militer. Perhatian terbesar harus ditujukan kepada akar
penyebab intervensi dan apa yang berusaha diselesaikan atau dihindari oleh
intervensi tersebut. Dalam laporan ICISS merinci tiga sektor besar dalam proses
pembangunan kembali pasca-konflik yaitu dari sektor keamanan, sektor hukum
(keadilan dan kerukunan), dan sektor ekonomi (pembangunan).
Penjelasan mengenai penerapan prinsip responsibility to protect sebagai
resolusi konflik kemudian oleh penulis diperkuat dengan memberikan contoh
kasus konflik-konflik yang pecah yang mengarah pada terjadinya kekejaman
massa. Dalam kasus-kasus yang diangkat seperti di negara Darfur, Libya, dan
104
Suriah penerapan prinsip RtoP ini memang menghadapi beberapa kendala yang
mayoritas terpusat pada kegagalan Dewan Keamanan PBB dalam mencegah dan
menghentikan kekejaman massa sehingga dapat dikatakan bahwa dalam
penerapannya prinsip ini tidak optimal atau bahkan gagal. Untuk itu kedepan baik
dari pihak komunitas internasional maupun masyarakat internasional perlu untuk
lebih
meningkatkan
kesadaran
terhadap
pentingnya
RtoP
serta
dapat
meningkatkan strategi guna mencegah dan menghentikan apabila terjadi
kekejaman massa.
105
Download