View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A.
Konsep Resolusi Konflik
Konsep resolusi konflik telah menjadi konsep yang begitu kompleks dalam
ranah hubungan internasional, terutama bagi penstudi hubungan internasional
dewasa ini. Penggunaan istilah konflik dan resolusi konflik seringkali
membingungkan, karena istilah yang sama digunakan dengan cara yang berbeda
di dalam kepustakaan akademis dan dalam penggunaan
secara umum. Pada
dasarnya, pengertian dari resolusi konflik dapat kita lihat berdasarkan pengertian
konflik itu sendiri. Konflik bukanlah suatu hal yang baru dalam kehidupan
manusia. Konflik sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial. Ketika manusia berinteraksi dengan manusia lainnya, akan ada
ditemukan perbedaan paham, pandangan akan suatu hal atau bahkan perbedaan
kepentingan antar individu yang berinteraksi tersebut.
Konflik yang terjadi dalam kehidupan manusia dapat berskala kecil atau
bahkan dapat bersifat destructive (desktruktif). Beberapa macam konflik yang
bersifat destruktif adalah beberapa konflik yang merupakan perang sipil yang
terjadi antar kelompok dalam suatu negara, antara pemerintah dengan kelompok
separatis atau bahkan antar negara. Konflik bersifat destruktif ketika konflik
tersebut telah memasuki tahapan kekerasan. Pada dasarnya, konflik memiliki
berbagai macam pengertian. Boulding18 menggambarkan konflik sebagai suatu
situasi dimana adanya perebutan atau pertentangan antar kelompok dan kompetisi
18
Ho Won Jeong, op cit., hal. 5.
21
internasional diantara kepentingan dan nilai yang mewarnai dinamika kekuasaan.
Defenisi lainnya yang dijelaskan oleh Lulofs dan Cahn19, bahwa situasi konflik
digambarkan dengan perasaan dimana tujuan yang ingin dicapai tidak sama dan
usaha untuk mengontrol masing-masing pilihan lawan, yang pada umumnya
merugikan perasaan dan prilaku lawan. Pada akhirnya, mempertaruhkan
hubungan itu sendiri dan bagaimana hubungan ditetapkan.
Dalam perkembangannya, Danrendorf20 menjelaskan bahwa konflik pada
dasarnya diasosiasikan dengan ketegangan yang melingkupi keputusan dalam
berbagai macam pilihan, kadangkala dimanifestasikan didalam konfrontasi antara
kekuatan sosial. Dikarenakan pengertian konflik yang sangat luas tersebut,
beberapa aktor mencoba memberikan defenisi konflik yang lebih spesifik, guna
mendapatkan pemahaman yang lebih mudah akan konflik itu sendiri.
Ketika para praktisi kadangkala menggunakan istilah konflik ‘conflict’ dan
perselisihan ‘dispute’ sebagai dua istilah yang bersinonim, John W. Burton21
menjelaskan bahwa konflik digambarkan dalam konteks dari tantangan serius
untuk menegakkan norma, hubungan, dan peraturan dari pembuatan keputusan.
Dilain pihak, istilah perselisihan diaplikasikan untuk memanajemen isu dan
kontrol dari ketidakpuasan yang berhubungan dengan implementasi dari kebijakan
khusus. Sehingga, sengketa dapat menjadi respon ketidakadilan keputusan mutlak
tanpa mempertanyakan legitimasi sumber pembuatan keputusan dari nilai
dominan dan prosedur institusional yang dibangun. Setelah membahas pengertian
konflik itu sendiri, maka penulis meras perlu untuk melihat batasan dari konflik
19
Ibid, hal. 6.
Ibid.
21
Ibid.
20
22
itu sendiri. Holsti22 memberikan batasan bahwa konflik meliputi tindakan
ancaman dan hukuman yang bersifat diplomatik, propaganda, komersial, atau
militer yang diambil oleh pihak yang menentang terhadap yang lain.
Konflik pada dasarnya disebabkan oleh dua hal yaitu kemajemukan
horizontal dan kemajemukan vertikal. Kemajemukan horizontal merupakan
struktur masyarakat yang majemuk secara kultural seperti suku bangsa, daerah,
agama, dan ras. Kemajemukan horizontal juga melingkupi kemajemukan secara
sosial (dalam arti perbedaan profesi) dan perbedaan tempat tinggal (dalam arti
desa dan kota). Hal ini menyebabkan konflik karena masing-masing pihak
mempertahankan identitas dan karakteristik budaya dari ancaman budaya lain.
Konflik yang disebabkan oleh kemajemukan horizontal dapat diminimalisir
apabila ada nilai yang disepakati dan dipatuhi bersama. Konflik vertikal
merupakan struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut pemilikan kekayaan,
pengetahuan dan kekuasaan. Hal ini dapat menyebabkan konflik apabila
kesenjangan yang terbentuk antar kelompok masyarakat semakin jauh. Distribusi
kekayaan dan kekuasaan yang pincang akan menyebabkan perbedaan kepentingan
dan berakhir dengan konflik.23
Di satu sisi konflik berdimensi positif tetapi di sisi lain ketika konflik
melibatkan instrumen-instrumen kekerasan maka konflik dapat berdimensi
negatif. Setelah membahas tentang pengertian konflik, maka kita akan lebih
mudah membahas tentang resolusi konflik. Setidaknya ada tiga pandangan
berbeda dalam melihat konflik dan kemungkinan penyelesaiannya. Pertama,
pandangan yang berangkat dari asumsi bahwa selama ada antagonisme di dalam
22
K.J. Holsti, op cit., hal. 170.
Awaluddin Nur, Peluang dan Kendala Penyelesaian Konflik Palestina-Israel Pasca Perang
Teluk Kedua 1990-1995, Skripsi, 1996, hal. 23.
23
23
masyarakat maka selama itu pula konflik selalu terjadi sehingga merupakan
bagian tidak terpisahkan dari masyarakat. Oleh karena itu, langkah maksimal yang
dapat dilakukan untuk menghadapi konflik ini adalah pengaturan atau manajemen
konflik (conflict management). Kedua, pandangan yang berangkat dari asumsi
bahwa manifestasi konflik cenderung merugikan masyarakat. Maka sikap yang
sebaiknya dilakukan ialah upaya membasmi konflik. Tetapi persoalannya, di
dalam jangka pendek konflik kemungkinan dapat dibasmi dengan cara-cara
kekerasan, tetapi untuk jangka panjang konflik masih memiliki kemungkinan
untuk kembali terjadi. Ketiga, pandangan yang berangkat dari asumsi bahwa
dengan lebih merujuk pada sebab-sebab konflik, maka dalam jangka panjang
struktur hubungan dari pihak-pihak yang bertikai dapat diselesaikan. Tradisi
pandangan inilah yang lebih dikenal dengan istilah resolusi konflik (conflict
resolution).24
Setelah mendapat pemahaman tentang pengertian konflik dan resolusi
konflik, perlu diketahui apa saja yang menjadi akar permasalahan dari konflik
tersebut. Perbedaan nilai, pandangan, kekuatan dan kepentingan oleh berbagai
aktor menyebabkan terjadinya konflik. Eskalasi konflik kemudian terjadi dalam
keadaan mispersepsi ataupun miskomunikasi. Dilain pihak, faktor ekonomi dan
perebutan sumber daya alam lainnya dapat menjadi faktor utama yang
menyebabkan konflik itu sendiri dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia. Berbicara dalam konteks hubungan internasional, Ross25 mengatakan
bahwa adanya percampuran antara faktor sosial-ekonomi, budaya dan isu politik
dalam kelompok minoritas dapat menyebabkan konflik.
24
25
Vinsensio Dugis, op cit., hal. 53-54.
Ho Won Jeong, op cit., hal. 15.
24
Dalam konteks hubungan internasional, konflik dapat dibagi menjadi dua
kategori yaitu external conflict (konflik eksternal) dan internal conflict (konflik
internal). Pengkategorian konflik ini berdasarkan tingkatan dari konflik tersebut,
dimana lebih ditekankan dari negara yang terlibat. External conflict melibatkan
lebih dari satu negara sedangkan internal conflict terjadi dalam suatu negara.
Konflik kontemporer tidak hanya terjadi antar negara di dunia, melainkan di
dalam suatu negara yang merefleksikan melemahnya struktur negara, runtuhnya
kedaulatan dan ikatan lokal dalam sistem negara.26
Keadaan konflik yang berbicara masalah kelompok-kelompok sosial
memiliki kompleksitas tersendiri. Hal dikarenakan masing-masing kelompok yang
terlibat dalam konflik memiliki keinginan dalam meningkatkan pengaruhnya
dalam negara dan mencapai tuntutan masing- masing kelompok. Keadaan tersebut
menimbulkan suatu konflik yang penyelesaiannya membutuhkan rentang waktu
yang tidak singkat. Keadaan konflik menjadi semakin rumit ketika sebuah
kelompok memiliki dominasi dan kekuatan yang lebih daripada kelompok
lainnya.
Kelompok-kelompok minoritas yang menjadi sumber konflik, kemudian
dapat diklasifikasikan sebagai sebuah konflik etnis (salah satu contoh konflik).
Dalam konflik jenis ini, konflik biasanya terjadi akibat bantahan dan penolakan
terhadap akses pengambilan keputusan serta penolakan untuk melakukan
pembagian yang adil terhadap kekuasaan dalam institusi politik. Lebih jauh lagi,
identifikasi ketidakadilan yang memiliki hubungan erat dengan ekonomi,
26
Hugh Miall, op cit., hal. 49.
25
perbedaan etnis, serta pengambilan keputusan yang tidak adil mampu dengan
mudah menyebabkan eskalasi konflik.
Ketidakpuasan terhadap kekuasaan politik, tidak meratanya pengembangan
ekonomi, dan adanya asumsi diskriminasi yang disebabkan oleh perbedaan
kelompok etnis, merupakan beberapa faktor utama terjadinya konflik etnis.
Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa latar belakang terjadinya sebuah konflik
biasanya tidak hanya disebabkan oleh satu alasan tertentu melainkan adanya
hubungan antara dua atau bahkan lebih alasan yang akan mempersulit
penyelesaian konflik itu sendiri. Hal ini tidak hanya berlaku pada konflik yang
terjadi antar etnis, tetapi juga dapat terjadi antar kelompok dalam suatu negara
atau bahkan antar pemerintah dan kelompok separatis di sebuah daerah.
Ramsbotham27 memaparkan tentang tahap-tahap terjadi konflik, yaitu:
1. Situasi damai yang stabil, yakni tingkatan tertinggi stabilitas politik dan
legitimasi rezim.
2. Situasi tekanan politik, yakni timbulnya tingkatan hambatan sistemik dan
meningkatnya perpecahan sosial politik.
3. Konflik politik dengan kekerasan, yakni tekanan naik menjadi ‘krisis
politik’ karena ada ‘erosi legitimasi politik pemerintahan nasional’ yang
secara kasar dikuantifikasikan dalam artian jumlah orang-orang yang
terbunuh, termasuk konflik dengan jumlah seratus orang.
4. Konflik dengan intensitas lebih tinggi, kekerasan dan konflik bersenjata
terbuka diantara kelompok-kelompok faksional. Penindasan rezim dan
27
Ibid, hal. 23.
26
pemberontakan, dengan jumlah korban yang meninggal dunia 100-999
orang.
5. Konflik dengan intensitas tertinggi berupa perang diantara kelompok yang
berseteru dan atau kerusuhan massal dan pemindahan sektor-sektor
penduduk sipil dengan seribu penduduk atau lebih terbunuh.
Konflik yang terjadi secara berkepanjangan akan menimbulkan kerugian
materi, ketidakstabilan eksistensi negara dan memakan korban jiwa yang tidak
sedikit. Hal ini yang menyebabkan pihak-pihak yang terlibat ingin menyelesaikan
konflik tersebut, salah satu jalannya melalui resolusi konflik. Ketika
menyelesaikan konflik yang terjadi dengan menggunakan resolusi konflik maka
tahap pertama yang dibutuhkan adalah pemahaman akan konflik apa yang akan
diselesaikan. Pada dasarnya, tahap ini terdiri dari empat bagian, yaitu: parties,
goals, issues, dan interests.28 Parties (aktor-aktor yang terlibat) merupakan hal
pertama yang perlu untuk diketahui. Mengetahui aktor yang terlibat dalam konflik
tersebut melingkupi; aktor (kelompok) yang memiliki posisi yang kuat dalam
konflik tersebut, siapa yang kemungkinan akan menjadi korban dengan adanya
konflik tersebut, aktor-aktor yang menjadi pelaku dalam sebuah konflik pada
umumnya memiliki struktur komando yang pada awalnya harus kita ketahui.
Karena dalam sebuah sebuah konflik ada aktor yang menjalankan perintah dan
ada juga aktor yang memberikan perintah kepada anggota kelompoknya. Dalam
hal ini, individu, kelompok atau bahkan institusi tertentu dapat memegang
peranan yang signifikan dalam sebuah konflik.
28
Ho Won Jeong, op cit., hal. 21.
27
Goals (target) adalah faktor kedua yang harus diperhatikan dalam
penyelesaian sebuah konflik. Target yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah
tuntutan yang diberikan dan ingin dicapai oleh masing-masing kelompok yang
bersengketa. Target ini dapat berbentuk tuntutan terhadap wilayah, politik,
ekonomi, dan banyak hal lainnya. Proses dari pembuatan target kadangkala tidak
bersifat terus terang atau rasional, khususnya ketika kedua kelompok yang
berkonflik tidak dapat merumuskan atau mengidentifikasikan motivasi dan apa
yang sebenarnya mereka inginkan. Dalam banyak konflik yang terjadi, target yang
ingin dicapai oleh sebuah aktor bersifat dinamis dan sangat bergantung terhadap
sumber daya yang dimiliki aktor tersebut.
Issues (persoalan) merupakan unsure atau bagian pertentangan yang dialami
oleh aktor-aktor yang terlibat langsung dengan konflik. Pada dasarnya persoalan
memiliki hubungan yang erat dengan berbagai perbedaan-perbedaan yang ada,
sehingga perbedaan itulah yang sering dianggap sebagai persoalan utama yang
menimbulkan konflik. Ruang lingkup persoalan yang dimaksud biasanya dari segi
persoalan ekonomi, aspirasi sosial, individu atau kelompok. Penyelesaian konflik
sangat bergantung pada pengklasifikasian persoalan yang terjadi antara dua pihak
atau lebih yang terlibat dalam konflik, agar dapat menentukan persoalan inti dan
persoalan
turunan
yang
seharusnya
bukan
merupakan
prioritas
dalam
penyelesaian konflik tersebut.
Pada akhirnya, hal yang tidak kalah penting yang perlu diketahui ketika
menyelesaikan suatu konflik yaitu interests (kepentingan). Kepentingan
melingkupi aspek politik, ekonomi, dan aspirasi sosial dari individu atau
kelompok tertentu. Aspirasi yang dimaksud adalah hal-hal yang diinginkan oleh
28
kelompok tersebut. Pertentangan kepentingan mungkin dihasilkan oleh kompetisi
sosial yang melingkupi komponen menang kalah. Kepentingan ini menjadi alasan
kelompok tersebut berkonflik dari awal, dan merupakan dasar tercapainya sebuah
penyelesaian konflik yang mampu disetujui oleh kedua belah pihak. Kerumitan
dalam resolusi konflik muncul ketika adanya situasi untuk menentukan apa saja
yang didapat oleh aktor A dan aktor B serta aktor yang terlibat lainnya akan
mendapatkan apa. Situasi ini akan mendasari mengapa terjadi perselisihan, lebih
lanjut lagi masing-masing aktor akan berusaha untuk bernegosiasi dengan aktor
lain dan berusaha untuk mendapatkan bagian lebih banyak daripada aktor lainnya.
Sehingga, keberhasilan resolusi konflik pada tahap ini bergantung pada fasilitasi
kepentingan aktor-aktor yang terlibat.
Apabila kita mengibaratkan konflik yang terjadi antara kelompok A dan
kelompok B baik yang terjadi dalam suatu negara atau antar negara di dunia
sebagai perebutan akan suatu hal seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I, maka
pilihan kelima yang direkomendasikan merupakan pilihan yang paling tepat untuk
menyelesaikan konflik tersebut. Pilihan kelima yang dimaksudkan adalah
penghargaan yang tinggi bagi kepentingan diri sendiri dan kepentingan pihak lain.
Ini mengimplikasikan penegasan yang kuat terhadap kepentingan sendiri, tetapi
juga menyadari aspirasi dan kebutuhan pihak lain dan secara bersama-sama
berusaha untuk mencari penyelesaian masalah yang sifatnya menguntungkan bagi
kedua belah pihak.29
Dalam
resolusi
konflik,
banyak
bergantung
terhadap
mekanisme
penyelesaian konflik tersebut. Dalam konteks ilmu hubungan internasional,
29
Hugh Miall, op cit., hal. 9.
29
terdapat beberapa sifat dari resolusi konflik itu sendiri, menurut Oliver
Ramsbotham, Hugh Miall, Dan Tom Voodhouse30, yakni:
a. Multilevel: resolusi konflik harus menyertakan semua tingkatan konflik,
yakni
konflik
antar-individu,
antar-kelompok,
dan
antar
aktor
internasional, regional, dan nasional.
b. Multidisciplinary: pada dasarnya resolusi konflik meyertakan beberapa
ilmu termasuk ilmu politik, hubungan internasional, pembahasan tentang
strategi pendekatan dan penyelesaian konflik, hingga ilmu psikologi. Hal
ini dikarenakan konflik merupakan sebuah masalah multidimensional
yang melibatkan banyak ilmu.
c. Multicultural: konflik antar manusia merupakan fenomena yang
mendunia
dan
menggambarkan
peningkatan
hubungan
budaya
lokal/global maka diperlukan usaha yang bersifat kooperatif antar negara
untuk menyelesaikan konflik yang akan berdampak baik secara langsung
maupun tidak langsung pada negara yang terletak secara geografis
disekitar negara yang sedang berkonflik.
d. Both analytic and normative: merupakan sebuah analisis dalam hal
mentransformasikan sebuah keadaan yang menggambarkan kekerasan
yang menuju keadaan yang lebih aman. Transformasi yang dimaksud
adalah transformasi sosial dan politik.
e. Both theoretical and practical: resolusi konflik seharusnya merupakan
gabungan antara teori yang dibahas dan dapat diimplementasikan.
30
Oliver Ramsbotham, op cit., hal.8.
30
Apabila kita melihat beberapa sifat yang telah dijelaskan diatas, maka
muncullah beberapa mekanisme dan model penyelesaian konflik. Secara umum,
model resolusi konflik dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: model resolusi
konflik asimetris (asymmetric conflict) dan model resolusi konflik simetris
(symmetric conflict). Model resolusi konflik yang akan digunakan oleh penulis
terfokus pada model resolusi konflik asimetris. Konflik asimetris merupakan
konflik yang terjadi antara sebuah kekuatan besar melawan kekuatan kecil,
misalnya konflik antara pemerintah dan kelompok pemberontak, atau konflik
antara mayoritas dan minoritas.31 Keadaan yang digambarkan dalam situasi
konflik seperti ini terbilang sangatlah unik. Hal ini dikarenakan seringkali
kekuatan di atas yang memiliki sumber daya jauh lebih besar, cenderung akan
menang. Pada akhirnya cara terbaik untuk menyelesaikan konflik jenis ini adalah
melakukan perombakan dan perubahan struktur sesuai dengan aspirasi dari
kelompok yang melakukan pemberontakan.
Pengaplikasian resolusi konflik dalam upaya penyelesaian konflik antar
kelompok memiliki kerumitan tersendiri dan bukan proses yang mudah. Dalam
banyak kebudayaan, konflik digambarkan sebagai sesuatu yang sangat
kompleksitas dan memiliki tingkat kerumitan yang sangat tinggi. Dalam
pengaplikasiannya dibutuhkan tingkat kooperatif antara kelompok yang
berkonflik
serta
waktu
yang
tidak
singkat.
Duffey32
mendeskripsikan
penyelesaian konflik layaknya ‘melepaskan sesuatu yang tersangkut di jala’. Pada
akar konflik terhadap ikatan hubungan problematik, kepentingan yang
diperselisihkan dan pandangan yang berbeda. Menguraikan ikatan ini adalah
31
Johan Galtung dan Charles Webel, Handbook on Peace and Conflict Studies, Routledge, USA,
2007, hal. 36.
32
Hugh Miall op cit., hal. 252.
31
sebuah proses yang tidak mudah. Keberhasilannya tergantung pada bagaimana
ikatan
tersebut
diikat
dan
urut-urutan
langkah
untuk
melepaskannya.
Ditambahkan oleh Fisher dan Keasley33 bahwa waktu dan koordinasi untuk
mereka yang bertugas untuk metransformasi sangat penting. Mereka perlu
mengembangkan energi dan momentum yang memadai untuk mengatasi
hambatan dan sifat konflik yang cenderung untuk tetap bertahan.
Para teoritisi pendukung resolusi konflik (conflict resolution) umumnya
berargumen bahwa dalam konflik-konflik komunal dan identitas, pihak-pihak
yang bertikai sangat sulit melakukan kompromi terhadap kebutuhan-kebutuhan
yang dianggapnya sangat fundamental. Meski demikian, kelompok teoritis ini
meyakini tentang kemungkinan berubahnya konflik jika pihak-pihak yang bertikai
ini dibantu untuk mengeksplor, menganalisis, mempertanyakan kembali untuk
kemudian mengkerangka-ulang posisi-posisi dan kepentingan-kepentingannya
atas konflik yang tengah dialami.
Karena itu, teoritisi pendukung resolusi konflik (conflict resolution)
menekankan pentingnya campur tangan dari pihak-pihak lain yang potensial
bekerjasama dengan pihak-pihak yang berkonflik dalam rangka memperkuat
pikiran-pikiran dalam kerangka hubungan-hubungan baru antar pihak-pihak yang
berkonflik. Intinya, resolusi konflik (conflict resolution) melihat kembali akarakar
penyebab
konflikdan
mengidentifikasi
solusi-solusi
kreatif
yang
kemungkinan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik terlewatkan dari komitmenkomitmen penyelesaian yang pernah dilakukan.34
33
34
Ibid, hal. 252.
Vinsensio Dugis, op cit., hal. 68-69.
32
Berdasarkan pemaparan resolusi konflik (conflict resolution) di atas, analisis
penelitian akan fokus terhadap resolusi konflik dalam kaitannya dengan
penyelesaian konflik yang ditempuh oleh Pemerintah Kolombia dan Kelompok
Separatis FARC-EP. Penulis akan menggunakan konsep resolusi konflik (conflict
resolution) dalam menganalisa kasus penyelesaian konflik dalam penelitian ini.
Dengan kata lain, penulis akan berusaha untuk menganalisis efektifitas resolusi
konflik (conflict resolution) dalam penyelesaian konflik antara Pemerintah
Kolombia dan Pihak Separatis FARC-EP.
B.
Konsep Negosiasi
Konflik yang pada dasarnya tidak hanya memakan korban yang sifatnya
materi melainkan korban jiwa. Konflik juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri
bagi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik itu sendiri baik secara langsung
maupun tidak langsung. Konflik secara khusus akan berdampak langsung pada
pihak-pihak yang terlibat konflik. Secara umum, konflik dapat berdampak secara
tidak langsung bagi keamanan yang sifatnya bukan hanya pada region tertentu
melainkan pada dunia. Hal ini yang mendasari pihak yang berkonflik akan
menempuh cara-cara yang dimungkinkan untuk penyelesaian konflik tersebut.
Pada umumnya cara penyelesaian konflik terbagi atas dua, yaitu: 35 cara
penyelesaian secara damai , yaitu bahwa pihak-pihak yang telah bermufakat untuk
mencari penyelesaian secara persahabatan dan penyelesaian dengan paksaan atau
dengan kekerasan, yaitu dimana penyelesaian dipaksakan dengan kekerasan. Pada
pembahasan kali ini, penulis lebih memfokuskan penyelesaian konflik dengan
35
J.G. Starke, An Introduction To International Law, terj. Justitia Study Group, Bandung, Justitia
Study Group, 1986, hal. 264.
33
damai yang membutuhkan komunikasi.
Karena disadari bahwa dalam
penyelesaikan konflik yang terjadi, hal dasar yang dibutuhkan adalah
meningkatkan komunikasi antar pihak yang berkonflik. Komunikasi yang
dimaksudkan penulis pada pembahasan kali ini adalah komunikasi formal. Tanpa
komunikasi formal, satu-satunya jalan yang dapat dilakukan pemerintah untuk
saling memberikan penilaian terhadap maksud atau kehendak mengubah sasaran
ialah dengan melakukan tindakan yang meningkatkan kemungkinan terjadinya
perang.
Secara umu, cara yang dapat ditempuh pihak-pihak yang berkonflik secara
damai dapat dikelompokkan kedalam empat bagian, yaitu:36
1. Negosiasi langsung, berarti perundingan antara pihak-pihak yang
berkonflik yang dalam prosesnya dapat saja melibatkan pihak lain di luar
pihak-pihak yang terlibat langsung dalam konflik.
2. Mediasi (Mediation), merupakan bentuk penyelesaian konflik yang
terjadi ketika terdapat pihak lain yang hadir dan berfungsi sebagai
penengah.
3. Arbitrasi (Arbitration), penyelesaian konflik melalui arbitrasi terjadi
ketika, peran pihak ketiga berada pada posisi yang lebih menentukan
proses perundingan, yang dimungkinkan karena kewibawaan atau
kekuatan lain semisal politik dan ekonomi yang dimiliki oleh pihak
ketiga, serta legitimasi yang dipunyai.
4. Pengadilan, merupakan bentuk penyelesain konflik yang hamper sama
dengan arbitrasi. Perbedaan mendasar antara arbitrasi dan pengadilan
36
Vinsensio Dugis, op cit., hal. 56-66.
34
terletak pada sifat otonom dan daya paksa yang dimiliki oleh pengadilan.
Tanpa harus mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak yang
bertikai,
pengadilan
dapat
menggunakan
kekuasaannya
untuk
menyelesaikan konflik.
Penyelesaian konflik antara Pemerintah Kolombia dan Pihak Separatis
FARC-EP yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan memakan
korban jiwa dan kerugian materi yang tidak sedikit, menjadi dasar kepada kedua
belah pihak untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini melalui jalur damai
yaitu melalui negosiasi yang menggunakan peran mediator.
Sebelum membahas lebih jauh tentang negosiasi dan perannya dalam
penyelesaian konflik, penulis merasa perlu untuk membahas pengertian dari
negosiasi. Zartman37 mendefenisikan bahwa negosiasi adalah sebuah proses
dimana beberapa kelompok menggabungkan pandangan mereka yang berbeda
mengenai suatu hal menjadi satu hasil yang disetujui. Kelompok tersebut setuju
untuk duduk dalam proses negosiasi karena mereka menyadari akan mendapat
hasil yang lebih baik dalam penyelesaian konflik daripada terus bergelut dalam
perang. Pentingnya komunikasi formal untuk menanggulangi konflik atau
menyelesaikan konflik, dapat dilihat dari seringnya usaha “pihak ketiga” yang
bertindak sebagai perantara mengajak pihak yang bermusuhan membicarakan
konflik yang berlangsung di antara mereka. Upaya demikian dilakukan dengan
pertimbangan bahwa selama pihak yang bermusuhan melakukan perundingan,
tindakan provokatif dapat dihindarkan.38
37
I. William Zartman & Guy Olivier Faure, Escalation and Negotiation in International Conflicts,
New York, Cambridge University Press, 2005, hal. 4.
38
K.J. Holsti, op cit., hal. 603.
35
Apabila kita melihat lebih jauh bahwa ada kecenderungan psikologis
tertentu lazim mengelilingi setiap konflik atau krisis yang serius. Berikut ini
adalah beberapa sikap yang paling lazim dan pada akhirnya sikap tersebut dapat
mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan oleh pembuat kebijakan tersebut antara
lain:
a. Kecurigaan. Kecurigaan ditujukan terhadap lawan, kehendaknya, dan
motif- motif yang mendasari tindakannya.
b. Perluasan masalah. Perluasan masalah merupakan sikap yang bias
menghinggapi para pengambil kebijaksanaan pada waktu mereka
berhadapan dengan situasi konflik atau krisis.
c. Tingkat urgensi. Perasaan para pengambil kebijakan bahwa situasi yang
dihadapi dalam tahapan krisis pada konflik internasional dianggap
sangat urgen.
d. Keterbatasan alternative tindakan. Dalam situasi yang dirasakan bersifat
urgen serta banyak ketidakpastian sekitar motivasi dan tindakan negara
lawan, para pengambil kebijaksanaan memandang bahwa mereka hanya
memiliki sedikit sekali alasan untuk melakukan tindakan disbanding
dengan alternatif yang dimiliki negara lawan.
e. Konflik sebagai titik balik hubungan. Para pengambil kebijakan dapat
memandang krisis atau konflik sebagai titik balik hubungan antara dua
negara, ataupun sebagai titik balik perubahan sejarah dunia.
f. Prioritas pandangan terhadap ancaman. Dalam krisis, persepsi terhadap
ancaman jauh lebih menonjol daripada persepsi terhadap negara lawan.39
39
Ibid, hal. 599-601.
36
Dengan adanya komunikasi langsung diharapkan masing-masing pihak yang
berkonflik dapat meminimalisir
gambaran psikologis yang disebut diatas,
mengutarakan
mencoba
tuntutan
mereka,
mencari
jalan
terbaik
untuk
menyelesaikan konflik dan pada akhirnya dapat membangun hubungan baru yang
lebih baik.
Dalam berbagai literatur, kata ‘negosiasi’ berasal dari ungkapan Bahasa
Latin, ‘negotiates’ yang berasal pula dari kata ‘negotiare’ yang mempunyai arti
‘untuk melakukan bisnis’.40 Pendefenisian negosiasi apabila dilihat dalam Oxford
Dictionary41 mendefenisikan bahwa ‘negotiation is discussion aimed at reaching
an agreement’. Pengertian negosiasi dalam International Relations Political
Dictionary: Fifth Edition42 dijelaskan bahwa negosiasi adalah teknik diplomasi
untuk mewujudkan perdamaian dalam proses penyelesaian perbedaan dan
pencapaian kepentingan nasional masing-masing pihak. Tujuan dari negosiasi
yang dimaksud dalam konteks ini bersifat jangka panajang bagi pemulihan
hubungan kedua belah pihak. Lebih lanjut lagi, George M. Hartmann43
mendefenisikan bahwa ‘negotiation is the process of communication by which two
parties, each with other own viewpoint and objectives, attempt to reach a
mutually satisfactory agreement on a matter of common concern’.
Berdasarkan pengertian dari negosiasi yang telah dijelaskan diatas, maka
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa negosiasi adalah suatu proses duduk
bersama dalam penyelesaian konflik antar dua atau lebih pihak untuk mencari
40
Patrice Lumumba, 2012, Negosiasi Dalam Hubungan Internasional, Makassar, Kretakupa Print,
hal. 5.
41
Oxford
Dictionaries
on
line,
Negotiation,
diambil
dari
http://oxforddictionaries.com/definition/english/negotiation?q=negotiations diakses pada tanggal
27 Maret 2013.
42
Lawrence Ziring, Jack C. Plano, & Roy Olton, International Relations Political Dictionary:
Fifth Edition, California, ABC-CLIO, 1995, hal. 265.
43
Ibid, hal. 7.
37
jalan keluar yang lebih baik sehingga dapat meminimalisir kerugian yang
ditimbulkan baik yang bersifat materi dan korban jiwa. Kesimpulan lain yang
dapat ditarik berdasarkan pengertian negosiasi diatas, negosiasi dimaksudkan
untuk memperbaiki hubungan antar pihak yang berkonflik sehingga, pada masa
yang akan datang pihak yang berkonflik tersebut akan memiliki hubungan yang
lebih baik dari sebelumnya.
Pembahasan tentang proses negosiasi sebagai salah satu bentuk komunikasi
formal dalam penyelesaian konflik dalam ranah internasional, diharapkan dapat
membangun rasa percaya antar pihak yang melakukan negosiasi yang pada
akhirnya dapat membantu dalam mengubah pandangan (perceptions) masingmasing pihak dalam melihat konflik yang terjadi. Dengan adanya negosiasi juga
sebagai jalur yang tepat untuk melakukan tawar-menawar yang berhubungan
dengan strategi yang tepat yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik ini,
melihat resiko yang akan muncul apabila konflik ini terus berlangsung bagi kedua
belah pihak, keuntungan komparatif (comparative advantages) yang akan didapat
oleh kedua belah pihak apabila konflik ini berhasil diselesaikan, dan dasar yang
akan dibangun untuk memulai hubungan yang baru yang lebih baik antar kedua
belah pihak.44 Dengan adanya rasa percaya yang didapat dari proses negosiasi,
para aktor yang terlibat dalam proses tersebut diharapkan menunjukkan sikap
bahwa mereka juga membutuhkan pihak lain untuk merumuskan kebijakan yang
akan digunakan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Ketika menyelesaikan suatu konflik melalui proses negosiasi yang terjadi
antar pihak yang bertikai tidak dapat ditempuh lagi, maka diperlukan adanya
44
Ho Won Jeong, op cit., hal. 40.
38
peran pihak ketiga. Keterlibatan pihak ketiga dalam proses penyelesaian konflik
dinamakan mediasi. Sebelum membahas lebih jauh tentang peran dari mediator
dalam penyelesaian suatu konflik, maka akan lebih baik jika mengetahui arti dari
mediasi itu sendiri. Bentuk penyelesaian konflik melalui mediasi terjadi ketika
terdapat pihak lain yang hadir dan berfungsi sebagai penengah. Di dalam
penyelesaian konflik melalui mediasi, pihak ketiga (mediator) terutama berfungsi
sebagai fasilitator yang pada prinsipnya memfasilitasi upaya-upaya pihak yang
terlibat konflik memperkecil perbedaan sikap dan memperbesar kemungkinan
menemukan kesepakatan terhadap kontradiksi atas konflik dimana para pihak
terlibat.
Sebelum membahas lebih jauh tentang peran mediator, penulis merasa perlu
untuk menjelaskan arti dari mediasi itu sendiri. Defenisi mediasi oleh National
Alternative Dispute Resolution Advisory Council45, sebagai berikut:
Mediasi adalah sebuah proses dimana pihak-pihak yang bertikai dengan
bantuan dari seorang praktisi resolusi pertikaian mengidentifikasi isu-isu
yang
dipersengketakan,
mengembangkan
pilihan-pilihan,
mempertimbangkan alternatif dan upaya untuk mencapai sebuah
kesepakatan. Dalam hal ini sang mediator tidak memiliki peran menentukan
dalam kaitannya dengan isi/materi persengketaan atau hasildari resolusi
persengketaan tersebut tapi mediator dapat memberikan saran/menentukan
sebuah proses mediasi untuk mengupayakan sebuah resolusi/penyelesaian.
Sulitnya proses memulai komunikasi antar pihak-pihak yang terlibat konflik
pada bentuk penyelesaian konflik melalui negosiasi langsung, pada banyak kasus
penyelesaian konflik menjadi faktor meningkatnya penyelesaian konflik melalui
mediasi yang menggunakan peran pihak ketiga. Karena perannya sebagai
fasilitator, mediasi pihak ketiga dapat saja memberikan saran-saran tetapi posisi
45
M. Mukhsin Jamil, dkk.2007. Mengelola Konflik Membangun Damai. Semarang. Walisongo
Mediation Centre, hal.16.
39
fasilitator pihak ketiga ini bukan sebagai pengambil keputusan dari konflik yang
ada. Pada tahap awal, kredibilitas muncul karena adanya indikasi ketidakbiasaan
sikap mediator dalam melihat konflik atau pengalaman mediator di masa lalu. Hal
ini dianggap sebagai salah satu kunci yang dapat digunakan mediator sehingga dia
dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik.46
Berdasarkan kekuatan dan peran utama yang dilakukannya maka
keterlibatan pihak ketiga atau mediator dapat diklasifikasikan lagi menjadi
beberapa macam, yaitu:47
1. Mediasi murni (Pure Mediation), tugas mediator murni adalah untuk
memfasilitasi negosiasi langsung mengenai isu-isu terpenting dengan
tujuan menciptakan penyelesaian masalah secara permanen. Mediator
murni menggunakan kredibilitas serta pengalaman yang telah dimiliki
untuk mendorong kedua pihak yang terlibat di dalam konflik untuk
menciptakan pemecahan atas ketidaksepakatan mereka yang telah
direncanakan sebelumnya.
2. Konsiliasi (Conciliation), merujuk pada peran mediasi dimana pihak
ketiga sebagai mediasi (konsiliator) menyediakan jalur-jalur komunikasi
bagi pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Langkah ini umumnya
digunakan pada awal perencanaan berlangsungnya proses negosiasi.
3. Fasilitasi (Facilitation), peran mediasi yang dilakukan pihak ketiga di
dalam proses ini terbatas pada membawa wakil-wakil kedua pihak yang
bertikai secara bersama-sama. Fasilitator memimpin pertemuanpertemuan antara kedua belah pihak dalam rangka menyelidiki persepsi
46
Vinsensio Dugis, op cit., hal. 63.
Peter Harris dan Ben Reilly, Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiator,
Stockhol, IDEA, 1998, hal. 106-108.
47
40
bersama dan mendorong berlangsungnya komunikasi secara aman dan
tidak mengancam. Unsure netralitas dalam proses ini penting untuk
diperhatikan.
4. Mediasi dengan Kekuasaan (Power Mediation), di dalam kasus ini
mediator mempunyai kekuasaan sehingga potensial membujuk kedua
pihak yang bertikai agar taat terhadap kesepakatan. Bujukan tersebut
umunya dilakukan dengan pemberian insentif dan hukuman agar pihakpihak yang bertikai bersedia taat kepada apa yang disepakati. Mediasi
dengan kekuasaan ini umumnya dilakukan oleh negara-negara besarr
dan institusi-institusi internasional yang berpengaruh di dalam sejumlah
konflik-konflik internasional yang melibatkan negara-negara.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, maka untuk merealisasikan resolusi
konflik (conflict resolution), maka sesungguhnya yang diimplementasikan adalah
kombinasi antara model negosiasi dan mediasi. Hal ini terjadi oleh karena
negosiasi sebenarnya bukan persoalan yang mudah untuk diadakan tanpa adanya
bantuan dari pihak ketiga. Seperti halnya yang telah ditulis sebelumnya, negosiasi
seringkali menjadi mustahil dapat berlangsung pada konflik yang bersifat
asimetris atau suatu konflik yang diwarnai oleh perbedaan-perbedaan yang
mencolok di antara pihak-pihak yang terlibat. Persepsi pihak yang merasa lebih
kuat acapkali merupakan dorongan dan kekuatan baginya untuk tidak mau
melakukan perundingan. Sebaliknya juga demikian, pihak yang berada pada
posisi lebih lemah acapkali menggunakan posisi tersebut sebagai model untuk
41
mengajukan persyaratan yang dalam proses seringkali memperumit upaya-upaya
penyelesaian konflik.48
Cara penyelesaian konflik yang ditempuh oleh Pemerintah Kolombia dan
Pihak Separatis FARC-EP dalam usaha penyelesain konflik yang berkepanjangan
antara kedua belah pihak adalah melalui negosiasi yang melibatkan peran pihak
ketiga (mediator). Pemerintah Kolombia dan Pihak Separatis FARC-EP
menyadari bahwa apabila kedua belah pihak bersikeras untuk tetap menempuh
jalur kekerasan dalam usaha penyelesaian konflik hanya akan menimbulkan
kerugian yang lebih besar baik secara materi maupun korban jiwa.
Penulis akan fokus pada peranan pihak ketiga dalam negosiasi penyelesaian
konflik sebagai salah satu bentuk atau cara yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi antara Pemerintah Kolombia dan Pihak
Separatis FARC-EP. Di lain pihak, penulis akan berusaha untuk melihat alasanalasan yang mendasari negara-negara yang bertindak sebagai mediator bersedia
ikut terlibat dalam proses penyelesaian konflik ini. Pada akhirnya, penulis akan
berusaha untuk melihat peluang dan tantangan yang dihadapi oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam usaha untuk menyelesaikan konflik ini dan mewujudkan
perdamaian di Negara Kolombia.
48
I. William Zartman, ed., Elusive Peace, Negotiating An End to Civil Wars, Washington D.C.,
Brookings Institution, 1995, hal. 29.
42
Download