I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Semakin liberalnya perdagangan dunia akan menuntut peningkatan daya
saing produk Indonesia di pasar global. Kemampuan bersaing produk Indonesia
khususnya yang dihasilkan dari industri agro perlu dianalisis, dipahami
keterkaitannya dengan sektor hulu dan hilir serta perlu dirumuskan sumbersumber pertumbuhan dengan melakukan komparasi terhadap industri agro negaranegara lain.
Krugman dan Obstfeld (2006), menyampaikan bahwa kemakmuran
nasional dapat diperoleh melalui perdagangan internasional yang memberi
manfaat saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang menjual dan membeli.
Melalui perdagangan akan dihasilkan surplus produsen dan konsumen. Produsen
akan mendapat kesempatan menjual produk yang dihasilkannya ke lebih banyak
konsumen. Demikian juga konsumen bisa menikmati berbagai produk yang tidak
dihasilkannya.
Berbeda dengan Krugman dan Obstfeld (2006), Adams et al. (2004)
menegaskan bahwa keunggulan komparatif mungkin saja merupakan inti dari
teori perdagangan dan spesialisasi, tetapi tidak selalu berhubungan erat dengan
diskusi mengenai daya saing yang terjadi di dunia nyata. Contoh nyata adalah
fenomena ”mengapa China lebih kompetitif dibandingkan dengan negara
pengekspor di Asia Timur lainnya?
kompetitif di pasar dunia?”.
mengapa produk-produk China sangat
2
Menurut Porter (1990) kemakmuran suatu negara haruslah diusahakan.
Porter (1990) juga menegaskan bahwa kemakmuran negara bukanlah merupakan
sebuah warisan. Kemakmuran tidak tergantung dari melimpahnya sumberdaya
alam, tenaga kerja, tingkat suku bunga, ataupun nilai tukar mata uang asing,
seperti halnya yang diutarakan kaum ekonom klasik yang mengagungkan
pentingnya perdagangan. Daya saing negara tergantung dari kapasitas industri
negara tersebut untuk terus berinovasi dan berkembang.
Oleh karena itu
meskipun diyakini memberi banyak manfaat, sebagian orang berpandangan
skeptis tentang manfaat yang bisa didapatkan melalui perdagangan, khususnya
perdagangan internasional. Perdagangan internasional juga membuat khawatir
produsen dalam negeri atas keberadaan pasar dari barang yang diproduksinya,
oleh karena itu sejak jaman klasik sampai sekarang masih saja ada kesangsian,
tidakkah lebih baik kalau penduduk dari negara tertentu membeli produk yang
dihasilkan negaranya sendiri karena akan menciptakan lapangan kerja.
Perdagangan internasional yang mendorong terjadinya globalisasi ditandai
dengan semakin berkembangnya sistem inovasi teknologi informasi, perdagangan,
reformasi politik, transnasionalisasi sistem keuangan dan investasi. Indonesia
mengikuti arus perdagangan bebas internasional dengan menandatangani General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menghasilkan pembentukan World
Trade Organization (WTO) dan deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation
(APEC) tentang sistem perdagangan bebas dan investasi yang berlaku penuh pada
tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 bagi negara berkembang. Tak
kalah pentingnya, Indonesia bersama-sama negara di lingkungan ASEAN lainnya
3
telah sepakat membentuk perdagangan bebas ASEAN, yaitu ASEAN Free Trade
Area (AFTA) yang sudah mulai diberlakukan pada tahun 2002.
Melalui berbagai kesepakatan internasional tersebut, sudah tentu mau tidak
mau akan tercipta persaingan yang semakin ketat, baik dalam perdagangan
internasional maupun dalam upaya menarik investasi multinasional. Pertanyaan
besar yang muncul kemudian adalah mampukah Indonesia memanfaatkan
keterbukaan pasar internasional dan bersaing di pasar global?.
Kalau tidak
mampu, maka Indonesia hanya akan dimanfaatkan sebagai pasar produk dunia.
Ekspor produk Indonesia ke pasar internasional, khususnya produk
pertanian masih banyak bersifat produk tradisional dalam bentuk bahan baku (raw
material). Pelaku usaha agribisnis Indonesia dalam pasar internasional pasti akan
menghadapi pembeli besar berupa importir atau industri pengolahan lanjutan.
Posisi semacam ini cenderung menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah,
karena besarnya volume pembelian yang dilakukan oleh pasar industri dan
sedikitnya jumlah pembeli. Kelemahan ini semakin menumpuk karena adanya
kecenderungan atas homogenitas produk yang kita hasilkan dengan produk yang
dihasilkan oleh negara lain.
Posisi Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas dunia untuk
produk pertanian relatif kurang menguntungkan. Liberalisasi perdagangan produk
pertanian relatif berjalan lebih lambat karena negara-negara maju cenderung
bersikap konservatif untuk melindungi kepentingan petani di negaranya. Era
perdagangan bebas membuat perlindungan pada produk pertanian semakin sulit
dilakukan. Seiring dengan semakin liberalnya perdagangan produk pertanian,
Indonesia harus meningkatkan kemampuan bersaingnya di pasar global. Pasar
4
global bisa bermakna pasar internasional di negara lain dan pasar dalam negeri
yang sudah semakin dipenuhi dengan produk impor.
Melihat kondisi perekonomian Indonesia khususnya pada sektor pertanian,
dikhwatirkan dampak globalisasi akan memberi dampak negatif bagi Indonesia,
terutama kalau Indonesia tidak mampu menjadi pemasok bagi kebutuhan produkproduk vital seperti pangan. Indonesia harus mampu meningkatkan produksi
pertaniannya dengan lebih efisien dan mutu yang lebih baik.
Dalam publikasi The Global Competitiveness Report yang diterbitkan oleh
World Economic Forum pada tahun 2007, menunjukkan bagaimana daya saing
Indonesia dalam persaingan global. Pada tahun 2007 peringkat daya saing
Indonesia berdasarkan Growth Competitiveness Index berada di urutan ke 54 dari
131 negara. Prestasi Indonesia di 2007 tersebut relatif tidak mengalami kemajuan
dibandingkan prestasi tahun 2006 yang berada di urutan 50 dari 125 negara.
Peringkat Indonesia pada 2006 merupakan lompatan besar karena pada 2005
berada di peringkat 69 dari 117 negara.
Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, peringkat Competitiveness
Indonesia relatif masih rendah. Singapura ada di urutan ke-7, Malaysia di urutan
ke-21 dan Thailand di urutan ke-28. Rendahnya peringkat daya saing
perekonomian Indonesia merupakan sinyal atas perlunya dilakukan upaya-upaya
peningkatan daya saing, terutama pada sektor yang potensial dan memiliki
kontribusi penting terhadap perekonomian nasional.
Berdasarkan laporan World Bank (2007) mengenai
Agriculture for
Development, pertanian mempunyai peran penting sebagai dasar untuk
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Untuk mengembangkan
5
pertanian, beberapa instumen kebijakan pemerintah perlu diimplementasikan
seperti: meningkatkan aset rakyat miskin, meningkatkan produktivitas pertanian
dan perkebunan, dan menciptakan kesempatan di bisnis non-farm pertanian secara
umum. Pertanian dapat menjadi sumber pertumbuhan perekonomian nasional dan
menjadi pendorong utama dari industri berbasis pertanian atau industri agro.
Peningkatan daya saing, khususnya pada sektor industri agro perlu
mendapat perhatian karena punya potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia.
Ketersediaan pasokan bahan baku, tenaga kerja dan teknologi yang relatif
melimpah semestinya bisa dikembangkan lebih jauh. Dalam kaitan tersebut perlu
dilakukan studi lebih lanjut untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi
daya saing, mengukur daya saing dan merumuskan langkah-langkah dalam rangka
meningkatkan daya saing industri agro Indonesia. Selain itu perlu juga dilakukan
studi komparasi dengan negara-negara yang memiliki pembangunan industri agro
relatif lebih maju dari Indonesia, sehingga nantinya dapat ditemukan langkahlangkah untuk memajukan industri agro sebagai bagian dari upaya peningkatan
perekonomian Indonesia.
1.2.
Perumusan Masalah
Indonesia sebagai negara berkembang telah merumuskan strategi
pengembangan industri sejak akhir 1960-an. Pada tahap awal era industrialisasi,
Indonesia menggalakan industri yang mampu mengganti produk impor untuk
menstimulasi industri manufaktur. Selanjutnya pada pertengahan tahun 80-an,
pemerintah melakukan upaya untuk meningkatkan daya saing produk manufaktur
di dunia internasional. Berbagai langkah terus dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan daya saing industri manufaktur Indonesia, meskipun hasilnya
6
belum memadai. Terperosoknya perekonomian dalam krisis 1998 menjadi salah
satu indikator kegagalan peningkatan daya saing industri Indonesia.
Menurut penelitian yang dilakukan Asia Development Bank (ADB)
Institute (2003), daya saing berarti kemampuan perusahaan untuk bersaing.
Perusahaan memiliki strategi tersendiri untuk menurunkan biaya, meningkatkan
kualitas produk dan mendapatkan jaringan pemasaran.
Pentingnya strategi
berkompetisi adalah untuk pembelajaran dalam perusahaan, pembangunan
keterampilan, dan peningkatan teknologi. Perubahan teknologi yang cepat, jarak
ekonomi yang semakin mengecil, bentuk organisasi baru, hubungan yang ketat
antara rantai domestik dan kebijakan liberal merupakan tantangan bagi perusahaan
di negara berkembang.
Beberapa tantangan makroekonomi yang sedang terjadi bermuara pada
pemahaman mengenai bagaimana suatu perekonomian negara dikelola. Ada
delapan aspek mendasar yang perlu mendapatkan prioritas, yaitu: (1) perumusan
kebijakan dengan penekanan pada prioritas stabilitas versus pertumbuhan, (2)
penerapan kebijakan yang pro-pasar, (3) penguatan sistem keuangan, (4)
pematangan infrastruktur, (5) penajaman orientasi perdagangan luar negeri, (6)
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good governance), (7) penegakan
hukum, dan (8) penanganan terpadu masalah tenaga kerja dan otonomi daerah.
Pembangunan perekonomian khususnya sektor pertanian bisa dilakukan
melalui peningkatan nilai tambah dan kegiatan ekonomi pasca panen seperti
industri agro. Pengembangan industri agro sendiri membutuhkan keterpaduan
langkah pemerintah dan dunia usaha. Secara empiris pengembangan industri agro
akan memberi berbagai manfaat seperti: (1) meningkatkan nilai tambah produk
7
yang diterima petani sebagai produsen, (2) meningkatkan kualitas dan
produktivitas komoditas unggulan, (3) meningkatkan investasi swasta, (4)
meningkatkan peranan lembaga keuangan dalam pembiayaan, dan (5)
meningkatkan jumlah pelaku usaha yang bermitra dengan lembaga pertanian.
Pengembangan industri agro lebih lanjut membutuhkan peningkatan daya
saing di pasar domestik maupun internasional. Daya saing produk Indonesia
memang perlu mendapat perhatian, dan secara sistematis harus ditingkatkan
sebagai salah satu cara membangun perekonomian Indonesia. Oleh karena itu
dalam kaitan ini perlu diketahui ukuran daya saing industri agro Indonesia di
pasar internasional sebagai landasan untuk melakukan analisis daya saing dan
merumuskan upaya-upaya peningkatan daya saing dalam rangka pembangunan
daya saing dan perekonomian nasional.
Dalam rangka peningkatan daya saing, Indonesia bisa belajar dari China
yang merupakan raksasa ekonomi dunia dengan pertumbuhan ekonomi luar biasa.
Saat ini kinerja perekonomian China yang berkembang pesat merupakan
fenomena yang spektakular dalam perekonomian dunia. Setelah pintu gerbang
ekonominya dibuka, China berhasil menjadi salah satu negara yang memiliki
kekuatan ekonomi paling besar dalam tatanan perekonomian dunia.
Perkembangan perekonomian China yang sangat pesat saat ini mendapat
perhatian seluruh negara di dunia, baik itu sebagai ancaman maupun peluang yang
baru. China dianggap sebagai ancaman karena terkenal dengan komoditaskomoditas ekspor yang berkualitas tinggi namun harganya relatif murah.
Murahnya produk China tidak hanya karena biaya input (terutama upah tenaga
kerja) yang rendah, namun China juga memberlakukan nilai tukar yang tetap
8
rendah (undervaluation of Yuan) terhadap mata uang dolar AS sebagaimana yang
dituding oleh negara Amerika Serikat. Selain itu, pemberlakuan tax duty juga
merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produk-produk ekspor China.
Sebagai negara yang berpenduduk paling besar di dunia, sekitar 1.3 milyar
dengan pendapatan per kapita antara 800-1 000 US$ (ADB, 2003), maka sudah
pasti pasar China memberi daya tarik tersendiri bagi investor dari negara-negara
lain. Ditambah lagi dengan pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat, yaitu ratarata per tahun antara 8 persen hingga 9 persen, data ini merupakan suatu indikasi
tentang adanya potensi pasar di China yang akan terus berkembang di masa
mendatang.
China juga menyadari bahwa kerjasama dengan negara-negara ASEAN
merupakan suatu terobosan penting yang dapat mendorong pertumbuhan
ekonominya lebih tinggi lagi di masa mendatang, yang diwujudkan dalam bentuk
kesepakatan untuk membentuk Free Trade Area (FTA) ASEAN–China.
Seandainya kerjasama ekonomi ini direalisasikan, pasti akan menjadikan blok
perdagangan bebas terbesar di dunia karena melibatkan hampir dua miliar
penduduk dengan kombinasi GDP lebih dari US $ 2 triliun.
Menurut hasil studi ASEAN–China Working Group on Economic
Cooperation
(2001),
FTA
ASEAN–China
diperkirakan
dapat
memberi
keuntungan bagi kedua belah pihak. Ekspor ASEAN ke China akan meningkat
sebesar 48 persen dan ekspor China ke ASEAN akan meningkat 55.1 persen. GDP
riil ASEAN diperkirakan bertambah sebesar US$5.4 miliar (0.9 persen) dan GDP
riil China akan meningkat sebesar US$ 2.2 miliar (0.3 persen). Kenaikan GDP
9
anggota ASEAN terbesar akan dinikmati oleh Vietnam (2.15 persen), sedangkan
Indonesia (1.12 persen) sedikit lebih rendah dari Malaysia (1.17 persen).
Selain menggunakan China sebagai benchmarking (pembanding dan
referensi) dalam peningkatan daya saing, Indonesia bisa juga berkaca pada
Thailand. Pada saat krisis ekonomi melanda negara-negara ASEAN, maka
Thailand dan Indonesia merupakan dua negara yang sama-sama paling parah
mengalami krisis. Pada periode tersebut, perekonomian Thailand menurun tajam
hingga -11 persen, sedangkan Indonesia mencapai -13 persen.
Pemulihan ekonomi terasa lebih cepat di negara Thailand dibandingkan
Indonesia. Sampai pada tahun 2003 misalkan, pertumbuhan ekonomi Thailand
telah kembali normal mencapai 7 persen, sementara pertumbuhan ekonomi
Indonesia sangat lambat, yaitu hanya 3 persen untuk tahun yang sama (ADB,
2003). Bahkan diperkirakan sampai dengan tahun 2009 pertumbuhan ekonomi
Indonesia hanya akan sebesar 6-7 persen per tahun, ini berarti Indonesia harus
menunggu 10 hingga 11 tahun lagi semenjak masa krisis agar laju pertumbuhan
ekonominya dapat menyamai Thailand di tahun 2003.
Dari
kemampuan
Thailand
yang
dapat
memulihkan
kondisi
perekonomiannya dengan lebih cepat, maka tidaklah berkelebihan jika Indonesia
mempelajari pengalaman Thailand sehingga proses pemulihan ekonominya
berlangsung cepat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pada saat
mencetuskan triple track strategy juga merujuk pada negara Thailand yang telah
lebih dahulu mengeluarkan dual track strategy yang juga dikenal sebagai
Thaksinomic.
10
Melihat berbagai kondisi aktual yang telah diuraikan di atas, maka sudah
sepantasnya dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi, khususnya untuk
komoditas industri agro, Indonesia perlu merujuk kepada China yang begitu cepat
dapat menempatkan dirinya sebagai salah satu super power perekonomian dunia
saat ini dan Thailand yang mampu memulihkan perekonomian dengan cepat.
Selain latar belakang pemikiran tersebut di atas, pada penelitian ini
komparasi daya saing industri agro Indonesia dengan negara Thailand dan China
juga karena pertimbangan Thailand bisa merepresentasikan kekuatan industri agro
di antara negara-negara ASEAN, sementara China merupakan benchmark daya
saing industri agro di Asia dan bahkan dunia.
Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah
diantaranya sebagai berikut:
1.
Bagaimana posisi daya saing industri agro Indonesia dibandingkan dengan
beberapa negara lain yang menjadi referensi utama bagi Indonesia,
khususnya Thailand dan China?
2.
Seberapa jauh keterkaitan sektor industri agro Indonesia dengan
perekonomian negara Thailand dan China?
3.
Faktor-faktor apa saja yang menjadi sumber pertumbuhan struktural sektor
industri agro di negara-negara Indonesia, Thailand dan China?
1.3.
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis posisi daya
saing industri agro Indonesia melalui analisis input-output antar negara di Asia,
khususnya antara Indonesia, Thailand dan China. Sementara secara lebih spesifik,
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
11
1.
Mengukur perubahan daya saing industri agro Indonesia, Thailand dan
China.
2.
Menganalisis
keterkaitan
sektor
industri
agro
Indonesia
dengan
perekonomian negara Thailand dan China.
3.
Menghitung dan menganalisis faktor-faktor pertumbuhan struktural sektor
industri agro negara-negara Indonesia, Thailand dan China.
1.4.
Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan potret daya saing yang dapat
digunakan sebagai parameter untuk menilai kekuatan saing sektor bisnis di
Indonesia, dengan aplikasi pada produk industri agro. Selain itu studi ini juga
dapat memberikan gambaran mengenai besarnya pengaruh eksternal terhadap
perkembangan komoditi industri agro domestik. Ditambah lagi, hasil studi ini
mampu menjelaskan faktor-faktor pertumbuhan struktural sektor industri agro.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kegiatan penelitian ini akan memberi
implikasi kebijakan utama berupa rekomendasi peningkatan daya saing sektor
industri agro, yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai masukan dalam
perumusan kebijakan di bidang perindustrian, pertanian dan perdagangan.
Hasil penelitian yang dikemukakan diharapkan dapat memberikan
kontribusi dan manfaat bagi pihak-pihak sebagai berkut:
1.
Para pelaku industri agro akan memperoleh gambaran mengenai peluang,
ancaman, kekuatan dan kelemahannya dalam bersaing dengan industri
sejenis di China dan Thailand. Dari gambaran tersebut diharapkan muncul
pemikiran tentang upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh pelaku bisnis
industri agro Indonesia dalam meningkatkan daya saingnya.
12
2.
Pemerintah akan mendapat masukan dalam merumuskan kebijakan
pengembangan industri agro yang lebih efektif dalam mendorong
pertumbuhan ekonomis.
1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini mencakup kinerja daya saing
industri agro dan faktor-faktor pembentuknya dengan membandingkan antara
Indonesia, Thailand dan China. Adapun industri agro yang digunakan dalam
kajian ini adalah agroindustri atau industri berbasis pertanian, yaitu industri yang
menggunakan bahan baku produk-produk pertanian. Selain itu metode penelitian
yang digunakan dalam kajian ini adalah model Input-Output antarnegara.
Memperhatikan latar belakang dan permasalahan seperti yang telah
diuraikan, maka penelitian akan menghadapi beberapa keterbatasan sebagai
berikut: (1) karena bersifat lintas sektor dan antar negara, penyajian data kinerja
daya saing industri agro Indonesia, Thailand dan China dihitung secara khusus
dengan menghadapi sejumlah keterbatasan data, (2) luasnya keterkaitan dengan
sektor dan negara lain akan meningkatkan kesulitan merumuskan kebijakan
koordinatif yang efektif.
Penggunaan model Input-Output sebagai instrumen pengkajian dan
analisis juga diduga mengandung banyak asumsi dan keterbatasan yang perlu
selalu mendapat perhatian. Agar model Input-Output dapat diterapkan dalam
mengukur dampak ekonomi, maka harus diketahui beberapa asumsi yang
menyertainya, antara lain: (1) keseluruhan kegiatan ekonomi di suatu
negara/daerah dibagi habis ke dalam sektor antar industri dan sektor permintaan
akhir, (2) output suatu sektor digunakan baik sebagai input di sektor lain dan
13
sektor permintaan akhir maupun input di sektor sendiri, (3) masing-masing sektor
hanya memproduksi satu produk yang homogen, agar struktur teknis tiap sektor
menjadi lebih mudah untuk dimengerti, (4) harga, permintaan konsumen dan
penyediaan faktor adalah ditentukan (given), (5) perbandingan antara output input
dan skala (return to scale) bersifat konstan, (6) di dalam sistem produksi, tidak
terdapat ekonomi dan dis-ekonomi eksternal, dan (7) kombinasi input diterapkan
dalam proporsi yang ditentukan secara ketat, artinya proporsi input senantiasa
bersifat linear terhadap outputnya.
Asumsi-asumsi yang dikemukakan di atas telah memunculkan beberapa
kelemahan (weaknesses) dari model Input-Output (Cooper, 1993): (1) model
menganggap tidak ada pembatasan pada supply, (2) fungsi produksi dan konsumsi
bersifat linear, pola pengeluaran antar industri tetap, (3) harga relatif antara harga
input dan harga output juga berlaku konstan, dan (4) parameter-parameter model
yang bersifat konstan mengakibatkan pengukuran dampak ekonomi berlaku linier.
Selain itu, oleh karena input-output yang diaplikasikan dalam studi ini
bersifat statis menyebabkan berbagai fenomena mengenai perubahan-perubahan
perilaku ekonomi yang dinamis tidak dapat direkam dengan baik. Namun
demikian, di balik semua keterbatasan tersebut, untuk saat ini hanya model inputoutput antarnegara saja yang mampu mendeskripsikan secara komprehensif
mengenai keterkaitan ekonomi antara suatu negara dengan negara lain, baik itu
backward linkage maupun forward linkage, sehingga nantinya dapat ditelusuri
bagaimana
dampak
perekonomian
perekonomian negara lain.
domestik
di
suatu
negara
terhadap
Semuanya ini dapat dikaji melalui satu kesatuan
matriks yang terintegrasi baik itu secara sektoral maupun antarnegara, dimana hal
14
ini merupakan salah satu kelebihan dari penggunaan model input-output
antarnegara yang tidak ditemukan pada model-model ekonomi lainnya.
Download