PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK

advertisement
PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT
DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT CERAI
(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)
SKRIPSI
OLEH :
DWI KANTININGSIH
E1A009239
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PUEWOKERTO
2015
PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT
DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT CERAI
(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
OLEH :
DWI KANTININGSIH
E1A009239
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PUEWOKERTO
2015
I
ABSTRAK
Putusan Pengadilan Agama pada Pengadilan Agama Jambi atas perkara Nomor
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi tertanggal 17 Juli 2013 tentang “Gugat Cerai” antara seorang ibu
rumah tangga (istri) sebagai penggugat dan seorang laki-laki (suami ) sebagai tergugat, hakim
memberikan pertimbangan hukum bahwa penggugat tidak hadir dalam persidangan yang
telah ditentukan dan memberikan putusan gugatan penggugat Tidak Dapat Diterima (Niet
Onvankelijk Verklaard). Hal ini tidak sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam pasal 124
HIR/148 Rbg yang menyatakan bahwa jika penggugat tidak hadir pada hari sidang yang telah
ditentukan atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadiri persidangan maka hakim dapat
menjatuhkan putusan gugur. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik melakukan
penelitian dengan mengambil judul skripsi “PUTUSAN PENGADILAN YANG
MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT
CERAI (Suatu Tinjuan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)”.
Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan perundangundangan dan pendekatan analisis. Penelitian ini bertujun untuk mengetahui pertimbangan
hukum hakim dalam memutus Gugatan Tidak Dapat Diterima dalam perkara gugat cerai dan
untuk mengetahui akibat hukum terhadap Gugatan Yang Tidak Dapat Diterima dalam
perkara gugat cerai. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa majelis hakim
pengadilan agama jambi dalam memutus perkara Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi tidak
cermat karena pertimbangan hukum hakim atas ketidakhadiran penggugat dalam persidangan
yang telah ditentukan maka seharusnya hakim menggunakan pasal 124 HIR/ 148 Rbg yakni
menjatuhkan putusan Gugur bukan putusan Gugatan Tidak Dapat Diterima. Akibat hukum
dari Gugatan Tidak Dapat Diterima dalam perkara gugat cerai, maka penggugat dapat
mengajukan gugatan kembali ke persidangan dengan jalan memperbaiki atau menghilangkan
cacat formil yang terdapat pada gugatan.
Kata Kunci : Gugatan, Gugat Cerai, Putusan, Pengadilan Agama.
IV
ABSTRACT
Religion court decision in Jambi Religion Court in case number :
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi date 17July 2013 about divorce lawsuit between a housewife
(wife) as plaintiff and men as defendant, judges give legal consideration that plaintiff is
absent in process of court which has been determined and give decision that lawsuit from
plaintiff is unacceptable (Niet Onvankelijk Verklaard). It is not accordance with the
regulation in article 124 HIR/148 Rbg which is state : if plaintiff is absent in the day of court
that has been determined or does not sent representative to attend the court than judges can
give droped decision. Based on the description, author has interest to do research by take
title of the thesis “DECISION OF COURT WHICH STATES THAT LAWSUIT IS
UNACCEPTABLE IN DIVORCE LAWSUITCASE ( Judicial Review ofDecision Number :
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi).
The type of research is normative juridical with approaching method is statute
approach and analytical approach. This research has goal to know the legal considerations of
judges to make unacceptable lawsuit decision in divorce lawsuit case also to know legal
consequences of unacceptable lawsuit decision in divorce lawsuit case. Based on result of
research obtained conclusion that judges of Jambi Religion Court in decision making process
for case Number 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi were not meticulous because legal consideration
of the judges about plaintiff absence in process of court which has been determined, so
judges must use article 124 HIR/ 148 Rbg which givedroped decisionand it is not
unacceptable lawsuit decision. Legal consequences of unacceptable lawsuit decision in
divorce lawsuit case then plaintiff can resubmit the lawsuit to the court with fix or eliminate
formal defect in that lawsuit.
Key words : Lawsuit, Divorce Lawsuit, Judge Decision, Religion Court
V
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Alhamdulilah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
hukum (skripsi) berjudul “PUTUSAN PENGADILAN YANG
MENYATAKAN
GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT CERAI(Suatu
Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)”.
Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna
memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum pada universitas jenderal soedirman
purwokerto. Penulis sepenuhnya menyadari begitu banyak kekurangan dalam penulisan
hukum ini, untuk itu penulis dengan besar hati menerima saran dan kritik yang membangun.
Penulisan hukum (skripsi) ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bimbingan, arahan,
petunjuk, bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua pihak yang telah turut
membantu penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak Slamet Nurudin dan Ibu Karsiti serta Kakak dan adikku Tercinta Wan Prihat
Sasianto dan Dedi Akhmad Kurniawan yang telah memberikan dukungan baik moril
maupun materiil.
2.
Bapak Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman yang telah memimpin dengan bijaksana dalam meningkatkan kualitas
Fakultas Hukum, para mahasiswa dan para alumninya, sekaligus sebagai Pembimbing 1
yang telah meluangkan waktunya kepada penulis untuk membimbing, mengarahkan
VI
dan memberi masukan yang sangat berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat
penulis selesaikan.
3.
Bapak Sanyoto, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah meluangkan
waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono , S.H.,M.H.S, selaku Dosen Pembimbing II, atas
segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sampai selesainya skripsi
ini.
5.
Bapak Pranoto, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan
saran demi penyempurnaan skripsi ini.
6.
Bapak Haryanto Dwi Atmodjo, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik.
7.
Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang mana telah mengajarkan dan
membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
8.
Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
9.
Kementrian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi yang telah memberikan beasiswa penuh
kepada penulis sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi
Fakultas Hukum Unsoed hingga selesai.
10.
Teman-teman Paguyuban Mahasiswa Anak Transmigran (PMAT).
11.
Teman-teman Paguyuban Mahasiswa Anak Transmigran angkatan 2009.
12.
Teman-teman Unit Kerohanian Islam (UKI) Fakultas Hukum Unsoed.
13.
Teman-teman Keluarga Besar Mahasiswa Jambi (KBMJ).
14.
Keluarga besar Bapak Supardjo dan teman-teman wisma supardjo.
VII
15.
Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan serta bantuan yang telah
diberikan kepada penulis. Demikianlah semoga penulisan hukum (skripsi) ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, kalangan akademis, praktisi
serta masyarakat umum.
Purwokerto,
Februari 2015
Penulis,
Dwi Kantiningsih
VIII
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN. ............................................................................
iii
ABSTRAK........................................................................................................
iv
ABSTRACT................ .....................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
viii
BAB 1.
BAB II.
PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang ....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................
7
C. Tujuan Penelitian ................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian ............................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
10
A. Kompetensi Pengadilan Agama ............................................
10
1.
Kompetensi Relatif........................................................
10
2.
Kompetensi Absolut .....................................................
12
B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama ..........................
14
C. Gugatan ..............................................................................
16
1.
Pengertian Gugatan ......................................................
16
2.
Formulasi Surat Gugatan ..............................................
17
3.
Tata Cara Mengajukan Gugatan ...................................
17
4.
Perceraian ....................................................................
20
D. Tata Cara Panggilan ............................................................
21
IX
1.
Pengertian Panggilan ....................................................
21
2.
Tahap Pemanggilan ......................................................
23
E. Putusan Hakim ....................................................................
28
1. Pengertian Putusan ........................................................
28
2. Putusan Gugur ...............................................................
29
3. Putusan Verstek .............................................................
31
4. Putusan Contradictoir ....................................................
32
5. Kekuatan Putusan ..........................................................
34
6. Sifat Putusan .................................................................
35
7. Susunan Dan Isi Putusan ................................................
39
8. Putusan Pengadilan Agama ...........................................
40
METODE PENELITIAN ...........................................................
43
A. Tipe Penelitian ....................................................................
43
B. Metode Penelitian ...............................................................
43
C. Spesifikasi Penelitian ..........................................................
43
D. Sumber Bahan Hukum ........................................................
44
E. Metode Penyajian Hukum ...................................................
45
F. Metode analisa bahan hukum ..............................................
45
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...........................
50
A. Hasil Penelitian ...................................................................
50
B. Pembahasan ........................................................................
55
BAB V. PENUTUP ....................................................................................
71
A. Kesimpulan ..............................................................................
71
B. Saran ........................................................................................
72
BAB III.
BAB IV.
DAFTAR PUSTAKA
X
2
keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih, oleh karena itu dalam
pelaksanaan perkawinan memerlukan norma hukum yang mengaturnya.
Penerapan norma hukum dalam pelaksanaan perkawinan terutama diperlukan
dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing
anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.
Menurut Hukum Islam perkawinan (pernikahan) adalah suatu akad yaitu
akad yang menghalalkan pergaulan (hubungan suami isteri) dan membatasi hak
dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki dan seorang perempuan
yang dua-duanya bukan muhrim, artinya apabila seorang pria dan seorang
perempuan bersepakat diantara mereka untuk membentuk suatu rumah tangga,
maka hendaknya kedua calon suami isteri tersebut terlebih dahulu melakukan
akad nikah.1Menurut pandangan masyarakat, perkawinan merupakan tali ikatan
yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Guna
mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian masyarakat, perlu adanya landasan
yang kokoh dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat yang adil dan makmur,
hal ini dituangkan dalam suatu Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi
semua warga negara di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.2
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur tentang Perkawinan yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yaitu Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan
1
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undangundang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), hlm.11
2
Ibid, hlm. 12.
3
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 TentangKompilasi Hukum Islam (KHI)
serta peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan. Perkawinan mempunyai
tujuan antara lain membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1
Undang-Undang Perkawinan. Dengan demikian, maka sebenarnya tidak perlu
diragukan lagi, apakah sebenarnya yang ingin dicapai dalam perkawinan itu.
Namun karena keluarga atau rumah tangga itu berasal dari dua individu yang
berbeda, maka dari dua individu itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk
itu perlu penyatuan tujuan perkawinan demi tercapainya keluarga yang sakinah.
Tujuan perkawinan menurut Islam adalah menuruti perintah Allah untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah
tangga yang damai dan teratur.3 Hal ini senada dengan firman Allah dalam Al
Qur an Surat ar-Rum ayat 21 yang artinya: "Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya, Dia (Allah) menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum berfikir".
Di dalam mengarungi bahtera rumah tangga banyak sekali hal hal yang
harus dihadapi oleh pasangan suami isteri dan ketika Kondisi rumah tangga
mengalami perselisihan, pertengkaran serta suami istri sudah tidak dapat lagi di
damaikan maka perceraianlah yang kerap menjadi solusi terbaiknya. Undang3
Slamet Abidin Dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Hlm. 1218.
4
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi
mengenai perceraian secara khusus namundidalam Pasal 39 ayat (2) UndangUndangTentang Perkawinan serta penjelasannya secara jelas menyatakan bahwa
perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah
ditentukan.Ada dua macam perceraian sesuai dengan Undang-Undang Tentang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 – 41, yaitu :
1.
Cerai gugat
Cerai gugat adalah terputusnya ikatan suami istri dimana dalam hal ini
sang istri yang melayangkan gugatan cerai kepada sang suami.
2.
Cerai talak
Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang mana dalam hal
ini sang suami memberikan talak kepada sang istri.
Alasan-alasan perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1
Tahun 1974 disebutkan dalam Pasal 39, Penjelasan Undang-Undang Perkawinan
yang diulangi dalam Pasal 19 peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam yang
mengatakan :
1.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
2.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.
5
3.
Salah satu pihak mendapat hukuman selama 5 tahun atau lebih berat
setelah perkawinannya berlangsung.
4.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri.
6.
Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam rumah tangga.
Dilihat dari Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, ada tambahan dua sebab
perceraian yaitu suami melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini relative
penting karena sebelumnya tidak ada.
Dalam perkara perceraian, Indonesia memiliki dua lembaga peradilan yang
dapat menyelesaikan permasalahan tersebut yaitu Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama. Bagi warga negara indonesia yang beragama non islam dapat
mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Negeri sedangkan warga negara
indonesia yang beragama islam dapat mengajukan gugatan cerai kepada
Pengadilan Agama dalam hal ini sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Dalam menyelesaikan perkara
perceraian ini hakim memiliki peran yang sangat penting karena hakim memiliki
tugas seperti yang telah termuat dalamUndang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa tugas
hakim dalam peradilan adalah membantu
dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat terciptanya peradilan yang sederhana, cepat,
6
dan biaya ringan. Tugas hakim pada pokoknya adalah menerima, memeriksa dan
mengadili sesuatu menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pengadilan Agama Jambi yang memeriksa dan mengadili perkara perdata
dengan Nomor Register 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi pada tanggal 17 Juli 2013
telah menjatuhkan putusan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk
Verklaart) atas permohonan gugat cerai yang diajukan oleh seorang ibu rumah
tangga ke Pengadilan Agama Jambiyang selanjutnya di sebut sebagai penggugat
kepada seorang laki-laki (suami dari ibu rumah tangga) yang selanjutnya di sebut
sebagai tergugat.
Duduk perkaranya bahwa antara Penggugat Dan Tergugat adalah suami istri
yang sah dan telah melangsungkan pernikahan di jawa pada tanggal 21 mei 1980,
yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA)
sebagaimana bukti berupa Buku Kutipan Akta Nikah tertanggal 23 mei 1980,
yang dikeluarkan oleh KUA SemendoPenggugat, Jawa timur. Pada awalnya
mereka hidup dengan baik selayaknya suami istri sehingga di karuniai seorang
anak. Namun pada tahun 2007 Tergugat pergi meninggalkan Penggugat tanpa
memberi tahu Penggugat kemana tujuan alamatnya sampai sekarang lebih kurang
6 tahun lamanya. Atas sikap dan/ atau perbuatan Tergugat tersebut, telah sangat
menderita lahir maupun bathin dan atas sikap dan/ atau perbuatan Tergugat
7
tersebut Tergugat telah melanggar kewajibannya dan melanggar sighat taklik talak
oleh sebab itu Penggugat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Jambi.
Dalam putusan Perkara Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi peneliti tertarik
meneliti putusan tersebut karenadi peroleh beberapa fakta hukum yaituTergugat
tidak dipanggil secara patut, Penggugat atau wakil kuasanyatidak hadir pada hari
sidang yang telah ditentukan dan berdasarkan berita acara panggilan relaas
ternyata Penggugat tidak bertempat tinggal sesuai dengan surat gugatan
penggugat. Berdasarkan peraturan yang termuat dalam Pasal 122 HIR/146 RBg,
Pasal 124 HIR/148 RBg dan Pasal 126 HIR/15o RBg Hakim dapat menjatuhkan
putusan gugur. Namun , pada kenyataannya Hakim Pengadilan Agama Jambi
telah menjatuhkan
putusanGugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk
Verklaart) atas permohonan gugat cerai yang dilakukan oleh Penggugat. Putusan
tersebut mendorong penulis untuk meneliti dan menulis skripsi dengan judul
“Putusan Pengadilan Yang Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima
Dalam Perkara Gugat Cerai (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan
Nomor: 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)”
B.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutus gugatan tidak dapat
diterima
dalam
perkara
gugat
cerai
pada
putusan
Nomor
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi ?
2.
Bagaimana akibat hukum terhadap gugatan yang tidak dapat diterima
dalam
perkara
gugat
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi ?
cerai
pada
putusan
Nomor
8
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah :
1.
Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutus
gugatan yang tidak dapat diterima dalam perkara gugat cerai dalam
putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi.
2.
Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan terhadap parapihak
dalam
perkara
gugat
cerai
pada
putusan
Nomor
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi.
D.
Kegunaan Penelitian
Penelitian mengenai gugatan tidak dapat diterima mempunyai kegunaan
untuk :
1.
Secara teoritis
a.
Memperluas pengetahuan dan menambah referensi mengenai
gugatan tidak dapat diterima.
b.
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan
terhadap kajian-kajian dibidang hukum acara perdata.
2.
Secara praktis
a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi
penulis dan dapat digunakan khususnya kepada hakim dalam
mempertimbangkan materi muatan gugatan.
9
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan
bagi para pihak dalam perkara, hakim, advokat, maupun
masyarakat mengenai gugatan yang tidak dapat diterima.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kompetensi Pengadilan Agama
Kompetensi
seringkali
disebut
juga
dengan
“kekuasaan”.
“kompetensi” berasal dari bahasa Belanda “competentie”, yang terkadang
diterjemahkan juga dengan “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut
dianggap semakna.
Berbicara tentang kompetensi peradilan dalam kaitannya dengan hukum
acara perdata, biasanya menyangkut dua hal yaitu :
1.
Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif diartikan sebagai kompetensi pengadilan
yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan
kompetensi Pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya,
misalnya antara Pengadilan Negeri Magelang dengan pengadilan
negeri Purworejo, antara Pengadilan Agama Muara Enim dengan
Pengadilan Agama Baturaja.4
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi
:
Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota
4
Rasyid Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.
11
kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya
atau kabupaten.
Pada
penjelasan
pasal
4
ayat
(1)
berbunyi
:
pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada
dikotamadya atau ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya
meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak
tertutup kemungkinan adanya pengecualian.
Sesuai dengan yang telah di uraikan di atas bahwasannya tiaptiapPengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau
dikatakan mempunyai “yurisdiksi relatif” tertentu, dalam hal ini
meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan
tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang.
Contoh, dikabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan
Agama, karena kondisi transportasi sulit. Yurisdiksi relatif ini
mempunyai arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan Agama
mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak
eksepsi tergugat.
Menurut teori umum hukum acara perdata peradilan umum
(tentang
tempat
mengajukan
mengajukan
gugatannya
ke
gugatan)
Pengadilan
,
apabila
Negeri
Penggugat
mana
saja,
diperbolehkan dan Pengadilan Negeri tersebut masih boleh memeriksa
dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari
pihak lawannya. Juga boleh saja orang (penggugat dan tergugat)
12
memilih untuk berperkara dimuka pengadilan negeri mana saja yang
mereka sepakati.Hal ini berlaku sepanjang tidak
tegas-tegas
dinyatakan lain. Pengadilan Negeri dalam hal ini, boleh menerima
pendaftaran perkara tersebut disamping boleh pula menolaknya.
Namun, dalam praktek, Pengadilan Negeri sejak dari semula sudah
tidak berkenan menerima gugatan/ permohonan semacam itu,
sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya
gugatan / permohonan itu di ajukan.
Ketentuan umum Peradilan Umum tersebut berlaku juga untuk
Pengadilan Agama sebagaimana ditunjuk oleh Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989.
Sebelum Peradilan Agama mempunyai kompetensi absolut yang
seragam diseluruh indonesia , Peradilan Agama tidak dapat menerima
ketentuan umum Peradilan Umum di atas, sebab suatu jenis perkara
yang misalnya enjadi kompetensi absolut Peradilan Agama di pulau
sumatera belum tentu juga menjadi kompetensi absolut Peradilan
Agama di pulau jawa, misalnya dalam perkara waris.
2.
Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut artinya kompetensi pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
13
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.5
Misalnya, Pengadilan Agama yang berkompetensi memeriksa dan
mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung
berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.
Banding dari Pengadilan Agama di ajukan Ke Pengadilan Tinggi
Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi.
Terhadap kompetensi absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan
untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk
kompetensi absolutnya atau bukan. Kalau jelas-jelas tidak termasuk
kompetensi absolutnya, pengadilan agama dilarang menerimanya. Jika
Pengadilan Agama menerimanya juga maka pihak tergugat dapat
mengajukan keberatan yang di sebut “eksepsi absolut” dan jenis
eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama gugatan
bahkan boleh diajukan kapan saja, malahan sampai ditingkat banding
atau ditingkat kasasi. Pada tingkat kasasi, eksepsi absolut ini termasuk
salah satu diantara tiga alasan yang membolehkan orang memohon
kasasi dan dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk
membatalkan putusan Pengadilan Agama yang telah melampaui batas
kompetensi absolutnya. 6
5
6
Ibid, Hal 27
Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2009
14
B.
Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping
sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi
wewenang oleh peraturan perundang-undangan negara untuk mewujudkan
hukum materiil islam dalam batas-batas kekuasaannya.
Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan perkara dan fungsinya (menegakkan hukum
dan keadilan) maka Peradilan Agama dahulunya, mempergunakan acara
yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga
acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal islam yang
belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara
Indonesia). Namun, kini setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 atas perubahan kedua Undang-Undang Nomor.
7 Tahun 1989, yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, maka
hukum acara Peradilan Agama menjadi kongkrit. Pasal 54 dari UndangUndang tersebut berbunyi:
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam undang-undang ini.
Menurut Pasal diatas, hukum acara Peradilan Agama sekarang
bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu : (1) yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas
15
Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan
Peradilan Umum.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti hukum acara
perdata peradilan umum, antara lain:
1.
HIR (Het Herziene Inlandsche Regelement) atau disebut juga RIB
(Regelement Indonesia Yang Di Perbaharui).
2.
RBg (Recht Regelement Buitegewesten) atau disebut juga Regelemen
untuk daerah seberang, maksudnya untuk luar jawa-madura.
3.
Rsv (Regelement Op De Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman
jajahan belanda dahulu berlaku untuk Raad Van Justitie.
4.
BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Eropa.
5.
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Tentang Peradilan Umum.
Peraturan Perundang-Undangan tentang acara perdata yang sama-
sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama,
adalah:
1.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
2.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 , Tentang Mahkamah Agung.
3.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaannya.7
7
Roihan Rasyid, Op-Cit. Hal 20-21
16
C.
Gugatan
1.
Pengertian Gugatan
Menurut Darwan Prints, SH., gugatan adalah suatu upaya atau
tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk
melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian
yang diderita oleh penggugat melalui putusan pengadilan.
Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH., mengemukakan
bahwa gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan
memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrighting).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa gugatan adalah suatu
permohonan yang disampaikan kepada pengadilan yang berwenang
tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai
dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut.8 Dalam hal
gugatan kepada pengadilan selalu ada pihak penggugat atau
parapenggugat, tergugat atau para tergugat dan turut tergugat atau para
turut tergugat.
8
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama, 2006,
Prenanda Media Group, Jakarta, Hal. 1.
17
2.
Formulasi Surat Gugatan
Formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation) surat
gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan
dengan itu, dalam uraian ini akan dikemukakan berbagai ketentuan
formil yang wajib terdapat dan tercantum dalam surat gugatan. Syaratsyarat tersebut, akan ditampilkan secara berurutan sesuai dengan
sistematika yang lazim dan standar dalam praktik peradilan. Memang
benar, apa yang dikemukakan Prof.Soepomo. Pada dasarnya Pasal 118
HIR/ 142 RBg dan Pasal 120 HIR/144 RBg, tidak menetapkan syarat
formulasi atau isi gugatan.9 Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan
praktik, ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang
jelas fundamentum petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem
dagvaarding.
1.
Identitas para pihak (penggugat/ pemohon dan tergugat/
termohon :
9
a.
Nama (beserta bin/binti dan aliasnya),
b.
Umur,
c.
Agama,
d.
Pekerjaan
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradyana Paramita, Jakarta, 1993. Hal. 24
18
e.
Tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak
diketahui hendaknya ditulis, “Dahulu bertempat di....tetapi
sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia.’
f.
2.
Kewarganegaraan (jika perlu).10
Posita, yaitu penjelasan tentang keadaan/ peristiwa dan
penjelasan yang berhubugan dengan hukum yang dijadikan
dasar/ asalan gugat. Posita memuat :
a.
Alasan yang berdasarkan fakta/ peristiwa hukum.
b.
Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan
merupakan
keharusan.
Hakimlah
yang
harus
melengkapinya dalam putusan nanti.
3.
Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh penggugat/ pemohon
agar dikabulkan oleh hakim.
Ketua/ hakim dapat membantu Penggugat / Pemohon atau
kuasanya dalam hal mengajukan gugatan / permohonan (Pasal 143
RBg / Pasal 119 HIR).11
3.
Tata Cara Mengajukan Gugatan
Tata cara mengajukan gugatan di atur dalam Pasal 119 HIR atau
Pasal 143 RBg, yaitu :
1.
10
11
Gugatan ditujukan kepada ketua pengadilan
Mukti Arto, Op.Cit. Hal.40
Mukti Arto, Loc.Cit.Hal. 41.
19
Gugatan “dialamatkan” kepada ketua pengadilan dengan
permintaan, agar pengadilan:
a.
Menentukan hari persidangan, dan
b.
Memanggil penggugat dan tergugat, serta
c.
Memeriksa perkara yang diajukan penggugat kepada
tergugat.
2.
Gugatan disampaikan kepada kepaniteraan pengadilan.
Sekalipun gugatan ditujukan dan dialamatkan kepada ketua
pengadilan,
tetapi
penyampaiannya
dimaksukkan
kepada
panitera pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 121 ayat (1)
HIR atau Pasal 145 ayat (1) RBg.
3.
Pemohon wajib lebih dulu membayar ongkos perkara.
Lebih lanjut Pasal 121 ayat (4) HIR atau Pasal 145 ayat (4) RBg
menegaskan, salah satu syarat formal gugatan, agar penggugat
telah membayar “panjar” ongkos perkara. Selama penggugat
belum melunasi panjar ongkos perkara berdasar perhitungan
yang diperkirakan pengadilan, gugatan tidak boleh didaftar
dalam buku register perkara, dan gugatan dianggap belum ada.
Perhitungan panjar ongkos perkara yang disebut dalam
Pasal 121 ayat (4) HIR atau Pasal 145 RBg, berpatokan pada
“taksiran” biaya kantor kepaniteraan dan ongkos-ongkos
melakukan segala jenis panggilan dan pemberitahuan serta biaya
materai.
Memperhitungkan
biaya
pemanggilan
atau
20
pemberitahuan
didasarkan
kepada
keadaan
setempat.
Tergantung pada jarak pihak-pihak yang hendak dipanggil. Jika
jaraknya jauh, perhitungan sesuai dengan ongkos perjalanan
yang umum. Jangan diambil perhitungan biaya transportasi yang
mahal seperti taksi dan sebagainy, jika tempat itu dapat dicapai
dengan pengangkutan bis umum.
Ketentuan biaya perkara yang diatur dalam pasal HIR atau
RBg, diperjelas lagi dalam Undang-Undang Nomor 50 Thun
2009 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989. Dalam pasal ini dirinci apa saja yang menjadi dasar
perhitungan jumlah biaya perkara :
a.
Biaya kepaniteraan dan biaya materai yag diperlukan
untuk perkara itu ;
b.
Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya
pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu ;
c.
Biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan
setempat dan tindakan lain yang diperlukan oleh
pengadilan dalam perkara itu ;
d.
4.
Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain.
Perceraian
Perceraian adalah suatu kondisi dimana pasangan suami istri
yang telah melangsungkan pernikahan secara sah tidak dapat lagi
21
mempertahankan
perkawinannya
dengan
cara
mengajukan
permohonan cerai kepada pengadilan dikarenakan adanya sebab-sebab
tertentu sesuai dengan yang telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ada dua macam
perceraian yang disebutkan dalam Pasal 39-41 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :
a.
Cerai gugat
Cerai gugat adalah terputusnyaikatan suami istri dimana dalam
hal ini sang istri yang melayangkan gugatan cerai kepada suami.
b.
Cerai talak
Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang mana dalam
hal ini sang suami memberikan talak kepada istri.
D.
Tata Cara Panggilan
1.
Pengertian Panggilan
pengertian
panggilan
dalam
hukum
acara
perdata
:
menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada
pihak-pihak yag terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar
memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan
majelis hakim atau pengadilan. Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat
(1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya
panggilan yang dilakukan juru sita yang di anggap sah dan resmi.
Kewenangan juru sita ini, berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR/145
22
RBg di perolehnya lewat perintah ketua (Majelis hakim) yang
dituangkan
dalam
pemberitahuan.
penetapat
Pemanggilan
hari
sidang
atau
atau
panggilan
penetapan
(convocation,
convocatie) dalam arti sempit dan sehari-hari sering diidentikan,
hanya terbatas pada perintah menghadiri sidang pada hari yang
ditentukan. Akan tetapi, dalam hukum acara perdata, sebagaimana
dijelaskan Pasal 388 HIR, pengertian panggilan meliputi makna dan
cakupan yang lebih luas, yaitu :
a.
Panggilan sidang pertaa kepada penggugat dan tergugat;
b.
Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau
salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik
tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan yang sah;
c.
Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah
satu pihak berdasarkan Pasal 139 HIR (dalam hal mereka tidak
dapat mengahdirkan saksi yang penting ke persidangan);
d.
Selain daripada itu, panggilan dalam arti luas, meliputi juga
tindakan hukumpemberitahuan atau aanzegging (notification),
antara laian :
a)
Pemberitahuan putusan PT dan MA,
b)
Pemberitahuan permintaan banding kepada terbanding,
c)
Pemberitahuan memori banding dan kontra memori
banding, dan
23
d)
Pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi
kepada termohon kasasi.
Dalam hal ini, kepada seseorang disampaikan pesan atau
informasi agar dia tahu tentang sesuatu hal yang hendak dilakukan
oleh pihak lawan maupun suatu tindakan yang akan dilakukan
pengadilan. Dengan demikian, oleh karena arti dan cakupan panggilan
meliputi pemberitahuan, segala syarat dan tata cara yang ditentukan
undang-undang mengenai tindakan hukum pemanggilan, sama dan
berlaku sepenuhnya dalam pemberitahuan.12
2.
Tahap Pemanggilan
Setelah dilampaui tahap pengajuan gugatan, pembayaran biaya,
registrasi, penetapan hari majelis tentang hari sidang, tahap
selanjutnya tindakan pemanggilan pihak penggugat dan tergugat untuk
hadir didepan persidangan pengadilan (hearing) pada hari dan jam
yang ditentukan.
Terdapat berbagai permasalahan dan tindakan hukum yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan dan penerapan pemanggilan, seperti
yang dimaksud di bawah ini :
a.
Majelis Memerintahkan Panggilan
Setelah menerima pelimpahan berkas dari ketua PA, majelis
segera menetapkan hari sidang. Dalam penetapan diikuti
12
Yahya Harahap, Op.Cit Hal213-214
24
pencantuman perintah kepada panitera atau juru sita untuk
memanggil kedua belah pihak (penggugat dan tergugat), supaya
hadir didepan sidang pengadilan pada waktu yang ditentukan
untuk itu. Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR/ 145 RBg,
pemanggilan itu meliputi perintah agar para pihak juga
menghadirkan saksi-saksi mereka.13
b.
Yang Melaksanakan Panggilan
Untuk mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan
atau melakukan pemanggilan, merujuk kepada ketentuan Pasal
388, jo. Pasal 390 ayat (1) HIR, dan Pasal 1 v :
a)
Dilakukan oleh juru sita, sesuai dengan kewenangan relatif
yang di milikinya;
b)
Jika orang yang hendak dipanggil berada diluar yurisdiksi
relatif
yang
dimilikinya,
pemanggilan
dilakukan
berdasarkan ketentuan Pasal 5 Rv, yaitu mendelegasikan
pemanggilan kepada juru sita yang berwenang di wilayah
hukum tersebut.
Dari penjelasan di atas, kewenangan atau yurisdiksi relatif
juru sita, mengikuti yurisdiksi relatif PN tempatnya berfungsi.
Pemanggilan yang dilakukan juru sita diluar yurisdiksi relatif
13
Ibid, Hal. 219
25
yang dimilikinya, merupakan pelanggaran dan pelampauan batas
wewenang (exceeding its power), dan berakibat :
a)
Pemanggilan dianggap tidak sah (illegal), dan
b)
Atas alasan, karena pemanggilan dilakukan oleh pejabat
juru sita yang tidak berwenang (unauthorized bailiff).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor
49 Tahun 2009, secara formil jabatan fungsional juru sita telah
merupakan salah satu subsistem dalam organisasi PN. Fungsi
utamanya, mambantu panitera melaksanakan pemanggilan,
pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.14
c.
Bentuk Panggilan
Berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3) Rv,
panggilan dilakukan dalam bentuk :
a)
Surat tertulis (in writing),
b)
Lazim disebut surat panggilan atau relaas panggilan
maupun berita acara panggilan, dan
c)
Panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral),
karena sulit membuktikan keabsahannya. Oleh karena itu,
panggilan dalam bentuk lisan tidak sah menurut hukum.
Sejauh mana cakupan, pengertian bentuk tertulis, perlu
diperhatikan perluasan jangkauan yang diatur dalam Pasal 2 ayat
14
Ibid, Hal. 219-220
26
(3) Rb sebagai pedoman. Pasal ini membenarkan bentuk tertulis,
meliputi :
d.
a)
Telegram, dan
b)
Surat mencatat.15
Isi Surat Panggilan Pertama Kepada Tergugat
Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 121 ayat (1) HIR/ 145
RBg dan Pasal 1 Rv yang menjelaskan, surat panggilan pertama
berisi :
a)
Nama yang dipanggil,
b)
Hari dan jam serta tempat tinggal,
c)
Membawa saksi-saksi yang diperlukan,
d)
Membawa segala surat-surat yang hendak digunakan, dan
e)
Penegasan, dapat enjawab gugatan dengan surat.
Isi surat panggilan bersifat kumulatif, bukan alternatif.
Sifat kumulatifnya adalah imperatif (memaksa) bukan fakultatif.
Oleh karena itu, salah satu saja lalai mencantumkannya,
mengakibatkan surat panggilan cacat hukum, dan dianggap tidak
sah.
Akan tetapi, untuk menghindari proses peradilan yang
terlampau bercorak sempit dan kaku, jika salah satu di antaranya
tidak tercantum, dapat ditolerir, asalkan kelalaian itu tidak
15
Ibid, Hal. 220
27
mengenai nama orang yang dipanggil dan hari, serta tempat
sidang. Kalau jamnya yang tidak disebut, masih bisa ditolerir
atas alasan, secara umum dan masuk akal sehat, semua orang
tahu
jam
persidangan
pengadilan
menurut
kebiasaan
berlangsung dari jam 9 sampai 14.
Bagaimana kalau yang dilalaikan itu mengenai mambawa
saksi, surat-surat atau penjelasan dapat menjawab gugatan
secara tertulis? Secara hukum kelalaian atas hal-hal tersebut,
dapat dikategorikan pelanggaran HAM (hak asasi manusia)
tergugat tanpa alasan, panggilan telah melenyapkan hak-hak
yang diberikan hukum kepadanya untuk membela dan
mempertahankan haknya didepan persidangan pengadilan.
Namun demikian, secara realitis, hal itu tidak mutlak mematikan
HAM
tergugat.
Karena,
haknya
untuk
menjawab,
menghadapkan saksi, dan menyampaikan dokumen, tetap
terbuka lebar, sejak proses persidangan dimulai. Oleh karena itu,
secara realitis dan objektif, kelalaian yang demikian tidak
mengakibatkan panggilan tidak sah.
Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formil, Pasal
121 ayat (2) HIR dan Pasal 1 Rv mewajibkan juru sita untuk :
a)
Melampiri surat panggilan dengan salinan surat gugatan,
dan
28
b)
E.
Salinan tersebut, dianggap gugatan asli.16
Putusan Hakim
1.
Pengertian Putusan
Menurut sistem HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan
Rbg (rechts reglement Buitengewesten) Hakim mempunyai peranan
aktif memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara.
Hakim berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang
mengajukan gugatannya ke pengadilan (Pasal 119 HIR-143 Rbg)
dengan maksud supaya perkara yang dimajukan itu menjadi jelas
persoalannya dan memudahkan Hakim dalam memeriksa perkara
itu.17
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim,
sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, di ucapkan di
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan
suatu perkara atau sengketa antara para pihak.18
Menurut Sudikno Mertokusumo putusan hakim adalah suatu
pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara
para pihak.
16
Ibid, Hal 221
Abdulkadir Mahmud, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1990.Hal 21.
18
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit . Hal. 175
17
29
Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang
telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk
putusan tertulis maupun lisan (Andi Hamzah, 1986: 485).
Menurut Darwan Prints, putusan merupakan hasil akhir dari
pemeriksaan perkara di pengadilan.19
2.
Putusan Gugur
Bentuk putusan ini diatur dalam Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg. Jika
penggugat tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan, atau
tidak menyuruh wakilnya untuk menghadiri padahal telah dipanggil
dengan patut, dalam kasus yang seperti itu :
•
Hakim
dapat
dan
berwenang
menjatuhkan
putusan
menggugurkan gugatan penggugat,
•
Berbarengan dengan itu, penggugat dihukum membayar biaya
perkara.
Akibat hukum yang timbul dari putusan tersebut, dijelaskan
dalam pasal 77 Rv:
1)
Pihak tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud Putusan
pengguguran gugatan yang didasarkan atas keinginan penggugat
menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind
vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan meskipun
pokok perkara secara formil. Artinya, putusan itu mengakhiri
19
Darwan Prints, Op.Cit.Hal 205
30
pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu
sebabnya undang-undang menyatakan pihak tergugat tidak dapat
diajukan perlawanan atau verzet.
2)
Terhadap putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan
perlawanan atau verzet. Terhadap putusan tersebut, tertutup hak
penggugat untuk mengajukan perlawanan atau verzet. Sifat
putusannya :
a.
Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula
mengikat kepada para pihak atau find and binding.
b.
Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga
tertutup upaya hukum, sehingga tidak dapat diajukan
banding atau kasasi.
3)
Penggugat dapat mengajukan gugatan baru Satu-satunya jalan
yang
dapat
ditempuh
penggugat
menghadapi
putusan
pengguguran gugatan, hanya:
a.
Mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara
yang sama, karena dalam putusan pengguguran gugatan
tidak melekat ne bis in idem, sehigga dapat lagi diajukan
sebagai perkara baru.
b.
Dan untuk itu, penggugat dibebani membayar biaya
perkara karena biaya yang semula telah dibayarkan untuk
gugatan yang digugurkan.
31
Mengenai hal ini telah dibahas secukupnya dalam uraian
pengguguran gugatan sebagai salah satu bagian dari pembahasan
ruang lingkup gugatan contentiosa.20
3.
Putusan Verstek
Bentuk putusan ini diatur dalam Pasal 125 ayat (1) HIR/149
RBg. Pasal ini memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan
putusan verstek :
•
Apabila pada sidang pertama pihak tergugat tidak hadir
menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah,
•
Padahal sudah di panggil oleh juru sita secara patut, kepadanya
dapat dijatuhkan putusan verstek.
Putusan
verstek
merupakan
kebalikan
pengguguran
gugatan yakni sebagai hukuman yang diberikan undang-undang
kepada tergugat atas keingkarannya menghadiri persidangan yang
ditentukan. Bentuk hukuman yang dikenakan kepada tergugat atas
keingkarannya yaitu :
1)
Dianggap mengakui dalil gugatan penggugat secara murni dan
bulat berdasarkan Pasal 174 HIR, Pasal 1925 KUH Perdata,
2)
Atas dasar anggapan pengakuan itu, gugatan penggugat
dikabulkan, kecuali jika gugatan itu tanpa hak atau tanpa dasar
hukum.
20
Yahya Harahap, Op.Cit. Hal. 873-874
32
Cuma, kepada penggugat yang dijatuhi putusan verstek, masih :
•
Diberi hak mengajukan perlawanan atau verzet,
•
Dan hal itu dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari
dari tanggal pemberitahuan putusan verstek kepada
tergugat.21
4.
Putusan Contradictoir
Bentuk putusan ini dikaitkan atau ditinjau dari segi kehadiran
para pihak pada saat putusan diucapkan. Ditinjau dari segi ini, terdapat
dua jenis putusan kontradiktor.
1)
Pada saat putusan diucapkan para pihak hadir Pada waktu
putusan dijatuhkan dan diucapkan hakim, pihak penggugat dan
tergugat atau kuasa mereka sama-sama datang menghadiri
persidangan namun
•
Kemungkinan pada sidang-sidang yang lalu, salah satu
pihak, penggugat atau tergugat pernah tidak datang
menghadiri persidangan,
•
Dan pada saat putusan diucapkan, kedua belah pihak
datang menghadiri persidangan maka bentuk putusan yang
dijatuhkan berbentuk kontradiktor.
21
Ibid, Hal. 874
33
Jadi yang menentukan apakah putusan
itu berbentuk
kontradiktor adalah faktor kehadiran para pihak pada saat
putusan diucapkan hakim.
2)
Pada saat putusan di ucapkan salah satu pihak tidak hadir.
Bentuk ini merupakan variabel dari putusan kontradiktor yang
pertama, dan rujukannya mengacu pada ketentuan Pasal 127
HIR/ 151 Rbg dengan tata cara sebagai berikut:
•
Baik pada sidang pertama maupun pada sidang-sidang
berikutnya, pihak yang bersangkutan selalu hadir dalam
persidangan atau mungkin juga pada salah satu sidang
tidak
hadir,
sehingga
hakim
menerapkan
proses
pemeriksaan op tegenspraak atau pada sidang-sidang yang
lain selalu hadir,
•
Akan tetapi pada saat putusan diucapkan, pihak tersebut
atau salah satu pihak tidak hadir, maka dalam kasus yang
seperti ini, putusan yang dijatuhkan adalah berbentuk
putusan kontradiktor, bukan putusan verstek.
Misalkan, pada saat putusan diucapkan, pihak tergugat
atau penggugat tidak hadir dalam persidangan, ketidakhadiran
itu tidak merubah putusan dari bentuk kontradiktor menjadi
verstek. Oleh karena itu, Pasal 127 HIR/ 151 RBg dan Pasal 81
Rv memperingatkan, terhadap putusan kontradiktor yang
dijatuhkan tanpa dihadiri salah satu pihak :
34
•
Tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet,
•
Upaya hukum yang dapat diajukan adalah permintaan
banding atau upaya hukum biasa.22
5.
Kekuatan Putusan
HIR (Het herziene indonesisch reglement) tidak mengatur
tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam
kekuatan:
a.
Kekuatan mengikat
Putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat artinya
mengikat kedua belah pihak (Pasal 1917 KUH Perdata).
Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa
teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan
mengikat daripada putusan.
b.
Kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuktian dituangkan putusan dalam bentuk
tulisan, yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk
dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang
mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau
pelaksanaannya. Arti putusan itu sendiri dalam hukum
22
Yahya Harahap, Loc.Cit, Hal. 874-875
35
pembuktian ialah bahwa dengan putusan itu telah diperoleh
suatu kepastian tentang sesuatu.
c.
Kekuatan eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu
persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini
tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya
saja,
melainkan
juga
realisasi
atau
pelaksanaannya
(eksekusinya) secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu
putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila
putusan itu tidak dapat direalisir atau dilaksanakan. Oleh karena
putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk
kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan
eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang
ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.
Bahwa kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan keTuhanan Yang
Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi putusanputusan pengadilan di Indonesia.
6.
Sifat Putusan
Menurut Darwan Prints, putusan diklasifikasikan sebagai berikut :
1)
Interlocotoir Vonis
36
Interlocotoir Vonis (putusan sela), adalah putusan yang belum
merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocotoir Vonis) itu
dapat berupa :
a.
Putusan Provisional (Tak Dim)
Putusan Provisionil (Tak Dim), adalah putusan yang
diambil segera mendahului putusan akhir tentang pokok
perkara; karena adanya alasan-alasan yang mendesak itu.
Misalnya dalam hal istri menggugat suaminya, dimana
gugatan pokoknya adalah “mohon cerai”, akan tetapi
sebelum itu karena suami yang digugat itu telah
melalaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada
istrinya itu, maka si suami tersebut terlebih dahulu
dihukum untuk membayar nafkah kepada istrinya itu,
sebelum putusan akhir terhadap gugatan cerai itu.
Demikian juga halnya mengenai mengizinkan seseorang
untuk berperkara secara cuma-Cuma (Pro Deo) sesuai
Pasal 235 HIR/Pasal 271 RBG, ditetapkan dengan putusan
Provisional.
b.
Putusan Prepatoir
Putusan
Prepatoir,
adalah
putusan
sela
guna
mempersiapkan putusan akhir. Misalnya putusan yang
menolak/ mengabulkan pengunduran sidang, karena alasan
yang tidak tepat/ tidak dapat diterima (AT. Hamid 1984:
37
209). Dalam praktek seringkali terjadi perbedaan pendapat
tentang pengunduran sidang antara penggugat dengan
tergugat, maka dalam keadaan demikian hakim harus
mengambil keputusan mengenai pengunduran sidang itu.
c.
Putusan Insidental
Putusan Insidental, adalah putusan sela yang diambil
secara insidental. Hal ini terjadi misalnya karena kematian
kuasa dari salah satu pihak (AT. Hamid 1984 : 269).
Terhadap putusan sela atau belum merupakan putusan
akhir, maka tidak dapat dimintakan banding secara
tersendiri. Oleh karena itu harus diajukan bersama-sama
dengan permohonan banding terhadap putusan akhir
(Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1974). Logika
pelarangan permohonan banding terhadap putusan sela
secara terpisah dari pokok perkara, adalah untuk
menghindarkan berlarut-larutnya perkara dipengadilan.
2)
Putusan Akhir
Putusan akhir dari suatu perkara, dapat berupa :
a.
Niet Onvankelijk Verklaart
Niet onvankelijk verklaart berarti tidak dapat diterima,
yakni putusan pengadilan yang menyatakan, bahwa
gugatan penggugat tidak dapat diterima. Adapun alasan-
38
alasan pengadilan mengambil keputusan menyatakan
suatu gugatan tidak dapat diterima, adalah :
a)
Gugatan tidak berdasar hukum;
b)
Gugatan tidak patut;
c)
Gugatan
itu
bertentangan
dengan
kesusilaan/
ketertiban umum;
b.
d)
Gugatannya salah;
e)
Gugatannya kabur;
f)
Gugatannya tidak memenuhi persyaratan;
g)
Objek gugatannya tidak jelas;
h)
Subjek gugatannya tidak lengkap;
i)
Dan lain-lain
Tidak berwengan mengadili
suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak
berwenang,
bukan
menyangkut
kompetensi
absolut
maupun kompetensi relatif, akan diputus oleh pengadilan
tersebut dengan menyatakan dirinya tidak mengadili
gugatan itu. Oleh karena itu gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima.
c.
Gugatan dikabulkan
Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya dipengadilan
akan dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Apabila
gugatan terbukti seluruhnya, maka gugatan akan hanya
39
terbukti sebagian, maka akan dikabulkan sebagian pula
sepanjang yang dapat dibuktikan itu. Adakalanya pula
suatu gugatan yang dikabulkan ternyata menjadi nihil, dan
tidak dapat dilaksanakan; karena adanya suatu kelemahan
dalam petitum gugatan yang kemudian dikabulkan oleh
pengadilan.
d.
Gugatan ditolak
Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya
didepan pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak.
Penolakan itu dapat terjadi untuk seluruhnya atau hanya
sebagian saja.23
7.
Susunan Dan Isi Putusan
Adapun di dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)
tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana putusan hakim
harus dimuat di dalam putusan diatur dalam Pasal. 183, 184, 187 HIR
(Pasal 194, 195, 198 rbg), 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,
27 RO, 61 Rv. menurut Sudikno Mertokusumo, suatu putusan hakim
terdiri dari 4 bagian, yaitu :
a.
Kepala Putusan
Setiap putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas
putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-
23
Darwan Prints, Op-Cit. hal. 206-209
40
Tuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberikan
kekuatan eksekutorial pada putusan.
b.
Identitas Para Pihak
Setiap perkara atau gugatan mempunyai sekurang-kurangnya 2
pihak, maka didalam putusan harus dimuat identitas para pihak
lain antara lain: nama, umur, alamat, dan nama pengacara kalau
ada.
c.
Pertimbangan
Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi menjadi 2 (dua),
yaitu pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwa dan
pertimbangan tentang hukumnya.
d.
Amar
Amar merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan
yang merupaka amar atau diktum. Ini berarti bahwa hukum,
merupakan tanggapan terhadap petitum.24
8.
Putusan Pengadilan Agama
Peranan hakim sebagai aparat kekuasaan kehakiman UndangUndang Nomor
50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, pada
prinsipnya tidak lain daripada melaksanakan fungsi peradilan sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dalam menjalankan fungsi
24
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit. Hal.220-225
41
peradilan ini, para hakim peradilan agama harus menyadari
sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan
keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam setiap putusan yang
hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan
suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Ketiga hal ini harus mendapat
perhatian yang seimbang secara profesional, meskipun dalam praktik
sangat sangat sulit untuk mewujudkannya. Hakim harus berusaha
semaksimal mungkin agar setiap putusan yang dijatuhkan itu
mengandung asas tersebut diatas. Jangan sampai ada putusan hakim
yang justru menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam kehidupan
masyarakat, terutama bagi pencari keadilan.
Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan
kepadanya, ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar.
Putusan itu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, guna
mengakhiri sengketa yang diperiksanya. Putusan hakim tersebut
disusun apabila pemeriksaan sudah selesai dan pihak-pihak yang
berperkara tidak lagi menyampaikan sesuatu hal kepada hakim yang
memeriksa perkaranya. Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari
suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang
dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.
Setiap putusan pengadilan agama harus dibuat oleh haki dalam
bentuk tulisan dan ditandatangani oleh hakim ketua dan hakim-hakim
42
anggota yang ikut memeriksa perkara sesuai dengan penetapan majelis
hakim yang dibuat oleh ketua pengadilan agama, serta ditandatangani
pula oleh panitera pengganti yang ikut sidang sesuai penetapan
panitera (Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970).
Apa yang diucapkan oleh hakim dalam sidang haruslah benar-benar
sama dengan apa yang tertulis, dan apa yang dituliskan haruslah
benar-benar sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang
pengadilan.
Putusan yang bersifat perdata, Pasal 178 ayat (2) HIR dan Pasal
189 ayat (2) RBg mewajibkan para hakim untuk mengadili semua
tuntutan sebagaimana tersebut dalam surat gugatan. Haki dilarang
menjatuhkan
putusan
terhadap
sesuatu
yang
tidak
dituntut
sebagaimana tersebut dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189
ayat (3) R.Bg. kecuali apabila hal-hal yang tidak dituntut itu
disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sebagaimana tersebut dlaam Pasal 41c Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 jo. Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintan Nomor 9
Tahun 1975 dan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam.
43
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis
Normatif yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang tertutup otonom,
terlepas dari perilaku kehidupan masyarakat dan mengabaikan norma hukum.25
Peneliti mencoba memfokuskan dan menjawab permasalahan dari segi kaca mata
hukum dan mengabaikan norma lain selain hukum.
B. Metode Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada didalam penelitian ini, pendekatan yang
dipergunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach) dan
Pendekatan Analitis (Analytical Approach).
C. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
prespektif26, yaitu menganalisis persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan
cara mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum.
25
26
Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1988. Hal 13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta, 2010, Hal.22.
44
D. Sumber Bahan Hukum
1.
Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan/ atau
dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan/ atau badan-badan
pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang
dilakukan secara resmi pula oleh aparat Negara. Dalam penelitian ini, bahan
hukum primer yang digunakan adalah:
a.
HIR (Het Herzine Indonesich Reglement),
b.
RBg (Recht Regelement Buitegewesten),
c.
KUH Perdata,
d.
Peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki kaitan dengan objek
penelitian (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Praturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor. 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989),
e.
Putusan Pengadilan Agama Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi.
2.
Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami
bahan hukum primer berupa literatur atau pustaka yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.
45
3.
Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan hukumm yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus (hukum), ensiklopedia.27
E. Metode Penyajian Hukum
Bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara teks normatif
yaitu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang disusun
secara logis dan sistematis. Keseluruhan bahan hukum yang diperoleh
dihubungkan sedemikian rupa satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan
pokok permasalahan yang diteliti untuk menjawab permasalahan yang ada.
F.Metode Analisa Bahan Hukum
Berdasarkan norma hukum yang tertulis saja tidak cukup untuk langsung
diterapkan dalam fakta hukum. Rumusan norma masih abstrak sehingga
diperlukan kegiatan penemuanHukum (rechtsvinding).
Hakim dalam menemukan hukum ada tiga metode yaitu penafsiran hukum
atau interpretasi, argumentasi dan konstruksi hukum.28
27
Amirudin, Dan H.Zainal, Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, Hal 32.
28
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hal. 76
46
1.
Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan yang gamblang mengenaiteks undang-undang agar
ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa
tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui
makna undang-undang.
Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa
metode yaitu secara:
a.
Metode interpretasi subsumtif adalah penerapan suatu teks perundangundangan terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf
penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar
menerapkan silogisme.
b.
Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara
penafsiran yang yang menafsirkan undang-undang menurut arti katakata (istilah) yang terdapat pada undang-undang. Hakim wajib menilai
arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.
c.
Metode interpretasi secara Sistematis atau Dogmatis yaitu penafsiran
yang
menafsirkan
peraturan
perundang-undangan
dihubungkan
dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan
keseluruhan sistem hukum. Karena, terbentuknya suatu undangundang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem
perundang-undangan yang berlakusehingga tidak mungkin ada satu
undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan
perundang-undangan lainnya.
47
d.
Metode interpretasi secara Historis yaitu menafsirkan undang-undang
dengan cara meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau
terjadinya peraturan undang-undang yang bersangkutan.
e.
Metode interpretasi secara Teleologis atau Sosiologis yaitu cara
penafsiran suatu ketentuan undang-undang untuk mengetahui makna
atau yang didasarkan pada tujuan kemasyarakatan.
f.
Interpretasi Komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran
dengan jalan membandingkan antara sistem hukum. Terutama bagi
hukum yang timbul dari perjanjian internasional.
g.
Interpretasi Antisipatif atau Futuristis yaitu cara penafsiran yang
menjelaskan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada
undang-undang yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu
dalam rancangan undang-undang.
h.
Interpretasi Restriktif adalah sebuah perkataan diberi makna sesuai
atau lebih sempit dari arti yang diberikan pada perkataan itu dalam
kamus atau makna yang dilazimkan dalam pada perkataan itu dalam
kamus atau makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.
i.
Interpretasi Ekstensif adalah sebuah perkataan diberi makna lebih luas
ketimbang arti yang diberikan pada perkataan itu menurut kamus atau
makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.
j.
Interpretasi Otentik atau secara resmi dilakukan oleh pembuat undangundang sendiri dengan mencantumkan arti beberapa kata yang
digunakan di dalam suatu peraturan. Hakim tidak diperkenankan
48
melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apayang telah
ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.
k.
Interpretasi Interdisipliner biasa dilakukan dalam suatu analisis
masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini
digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.
l.
Interpretasi Multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari
suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan
perkataan lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari
dari disiplin ilmu yang berbeda-beda.
m.
Interpretasi dalam Kontrak atau Perjanjian adalah menentukan makna
yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh
para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul
kareananya.
n.
Interpretasi dalam Perjanjian Internasional yaitu penafsiran dalam
perjanjian-perjanjian internasional, baik yang diatur dalam Konvensi,
pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan.
2.
Metode Argumentasi yaitu metode penemuan hukum yang diguanakan
hakim apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur
secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Metode dalam argumentasi:
a.
Metode Konstruksi Analogi (Argumentum Per Analogian) yaitu
merupakan metode penemuan hukum dengan cara memasukan suatu
perkara ke dalam lingkup pengaturan yang sebenarnya tidak
dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan.
49
b.
Argumentum a contratio atau sering disebut a contrario, yaitu
menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada
perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan
peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
c.
Penyempitan Hukum. Pada penyempitan hukum, peraturan yang
sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum
yang ksusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciriciri.
3.
Konstruksi Hukum yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau
membentuk pengertian (hukum) yang merupakan alat yang dipakai untuk
menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk
bahasa dan istilah yang baik.
Bahan hukum yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif,
dengan menggunakan interpretasi atau penafsiran. Hal ini dilakukan, karena pada
dasarnya baik hukum materill maupun hukum formil sudah memberikan
pengaturan hukum terhadap suatu hubungan hukum yang ada dalam masyarakat.
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
a.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi, yang akan diuraikan sebagai berikut:
1.
Para Pihak Yang Berperkara
1.1. Ibu Rumah Tangga (Istri), umur 60 tahun, agama islam,
pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal kota jambi,
selanjutnya disebut sebagai pihak Penggugat.
MELAWAN
1.2.
Laki-laki (Suami), umur 58 tahun, agama islam, pekerjaan
swasta, tempat tinggal di kota jambi, selanjutnya disebut sebagai
pihak Tergugat.
2.
Duduk Perkara
2.1. Dalam surat gugatan Penggugat Tertanggal 07 Maret 2013, yang
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jambi pada
tanggal 07 Maret 2013 mengemukakan sebagai berikut:
2.1.1.
Bahwa antara penggugat dan tergugat adalah suami istri
yang sah dan telah melangsungkan pernikahan di jawa
pada tanggal 21 Mei 1980, yang dicatat oleh Pegawai
Pencatat
Nikah
Kantor
Urusan
Agama
(KUA)
51
sebagaimana bukti berupa Buku Kutipan Akta Nikah,
yang dikeluarkan oleh KUA Semendo, Jawa Timur.
2.1.2.
Bahwa pada waktu akad nikah, penggugat berstatus
perawan sedangkan tergugat berstatus jejaka dan sesaat
setelah akad nikah, Tergugat mengucapkan sighat
taklik talak yang isinya sebagaimana tercantum di
dalam Buku Kutipan Akata Nikah;
2.1.3.
Bahwa setelah akad nikah Penggugat dan Tergugat
hidup bersama sebagai suami istri dengan bertempat
tinggal dirumah orangtua Penggugat di Jawa Timur
lebih kurang selama 2 (dua) tahun, kemudian pada
tahun 1982 pindah ke Jambi seperti alamat Penggugat
tersebut diatas, kemudian pisah;
2.1.4.
Bahwa selama ikatan pernikahan, Penggugat dan
Tergugat telah melakukan hubungan layaknya suami
istri (ba’da dukhul), dan telah dikaruniai seorang anak
bernama ANAK PENGGUGAT DAN TERGUGAT 1,,
umur 31 tahun, sudah berkeluarga;
2.1.5.
Bahwa keadaan rumah tangga Penggugat dengan
Tergugat sebenarnya berjalan rukun dan harmonis,
akan
tetapi
meninggalkan
pada
tahun
Penggugat
2007
tanpa
Tergugat
pergi
memberitahu
52
Penggugat kemana tujuan alamatnya sampai sekarang
lebih kurang 6 (enam) tahun lamanya;
2.1.6.
Bahwa selama kepergiaannnya tersebut, Tergugat tidak
pernah memberi nafkah wajib maupun kabar kepada
Penggugat tentang keberadaannya, sedangkan Tergugat
tidak meninglkan sesuatu yang dapat Penggugat
manfaatkan sebagai nafkah;
2.1.7.
Bahwa penggugat telah berusaha mencari Tergugat,
antara lain menanyakan kepada teman-temannya akan
tetapi mereka tidak mengetahuinya dimana Tergugat
berada;
2.1.8.
Bahwa atas sikap dan/atau perbuatan Tergugat tersebut,
Penggugat telah sangat menderita baik lahir maupun
bathin , dan oleh karenanya Penggugat tidak rela;
2.1.9.
Bahwa dengan demikian, Tergugat telah melanggar
sighat taklik talak yang pernah diucapkannya, dan oleh
sebab itu Penggugat mengajukan gugatan cerai ke
Pengadilan Agama Jambi;
2.2. Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Penggugat mohon agar
Ketua Pengadilan Agama jamb c/q Majelis Hakim untuk
memeriksa
dan
mengadili
perkara
ini
serta
menjatuhkan putusan sebagai berikut:
2.2.1.
Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
berkenan
53
2.2.2.
Memutuskan hubungan perkawinan Penggugat dan
Tergugat putus karena perceraian;
2.2.3.
Membebankan biaya perkara menurut hukum yang
berlaku;
2.3. Apabila majelis hakim berpendapat lain mohon putusan yang
seadil-adilnya;
2.4. Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal sidang yang telah
ditetapkan, Penggugat tidak hadir menghadap dipersidangan dan
tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakil atau kuasanya,
ternyata berdasarkan berita acara relaas panggilan tanggal 18
april 2013 Nomor: 0225/Pdt.G/2013/PA.Jambi yang dibacakan
dipersidangan, Penggugat tidak bertempat tinggal sesuai dengan
surat gugatan Penggugat;
2.5. Menimbang, bahwa oleh karena alamat Penggugat tidak jelas,
maka majelis berpendapat gugatan Pengguggat dinyatakan tidak
dapat diterima (NO);
2.6. Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian penetapat ini
cukuplah Pengadilan menunjuk kepada berita acara perkara ini
yang untuk selanjutnya dianggap termuat dan menjadi yang tak
terpisahkan dari penetapan ini;
54
3.
Tentang Pertimbangan Hukumnya
3.1. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat
adalah sebagaimana yang telah diuraikan di atas;
3.2. Menimbang, bahwa oleh karena alamat Penggugat tidak jelas
berdasarkan berita acara relaas panggilan, maka majelis
berpendapat perkara Nomor : 0225/ Pdt.G/2013/PA.Jambi
dinyatakan NO;
3.3. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) UndangUndang Nomor. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 terakhir dengan
perubahan Undang-Undang Nomor. 50 Tahun 2009, Maka biaya
perkara dibebankan kepada Penggugat;
3.4. Mengingat segala ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara
ini;
4.
Putusan
4.1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet
Ontvankelijk Verklaard);
4.2. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya
perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 241.000,- (dua
ratus empat puluh satu ribu rupiah).
55
b.
Pembahasan
1.
Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Gugatan Tidak Dapat
Diterima Dalam Perkara Gugat Cerai Pada Putusan Nomor.
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi
Proses penyelesaian perkara perdata melalui jalur pengadilan
diawali dengan pengajuan gugatan oleh pihak yang merasa haknya
terganggu atau dirugikan oleh pihak lain.Berdasarkan HIR dan RBg
yang berlaku, penggugat bebas merumuskan surat gugatannya, sebab
tidak diatur secara tegas oleh HIR dan RBg tentang syarat-syarat
pembuatan suatu gugatan. Akan tetapi di dalam prakteknya, ada
beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam merumuskan
sebuah gugatan.
Beberapa ketentuan tersebut memang harus diperhatikan dalam
merumuskan gugatan yang akan diajukan ke pengadilan yang
berwenang sebab sangat mempengaruhi kesempurnaan gugatan.
Sempurna tidaknya sebuah gugatan akan
berimplikasi terhadap
pertimbangan hakim dalam menilai sinkronisasi antara uraian yang
menjadi
dasar
gugatan dengan tuntutan yang dimohonkan ke
pengadilan. Semakin jelas sebuah gugatan semakin memudahkan
proses pemeriksaan. Kesempurnaan sebuah gugatan merupakan salah
satu langkah awal penggugat untuk meyakinkan majelis hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara tersebut terkait dalil yang diuraikan
56
dalam surat gugatan. Gugatan yang dikatakan sempurna adalah surat
gugatan dengan formulasi yang memenuhi syarat.
Pasal 118/ 142 RBg dan Pasal 120 HIR/144 RBg, tidak
menetapkan syarat formulasi atau isi gugatan.29 Akan tetapi, sesuai
dengan perkembangan praktik, ada kecenderungan yang menuntut
formulasi gugatan yang jelas fundamentum petendi (posita) dan
petitum sesuai dengan sistem dagvaarding.
1.
Identitas para pihak (penggugat/ pemohon dan tergugat/
termohon :
a.
Nama (beserta bin/binti dan aliasnya),
b.
Umur,
c.
Agama,
d.
Pekerjaan
e.
Tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak
diketahui hendaknya ditulis, “Dahulu bertempat di....tetapi
sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia.’
f.
2.
Kewarganegaraan (jika perlu).30
Posita, yaitu penjelasan tentang keadaan/ peristiwa dan
penjelasan yang berhubugan dengan hukum yang dijadikan
dasar/ asalan gugat. Posita memuat :
a.
29
30
Alasan yang berdasarkan fakta/ peristiwa hukum.
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradyana Paramita, Jakarta, 1993. Hal. 24
Mukti Arto, Op.Cit, Hal.40
57
b.
Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan
merupakan
keharusan.
Hakimlah
yang
harus
melengkapinya dalam putusan nanti.
3.
Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh penggugat/ pemohon
agar dikabulkan oleh hakim.
Ketua/ hakim dapat membantu Penggugat / Pemohon atau
kuasanya dalam hal mengajukan gugatan / permohonan (Pasal 143
Rbg / Pasal 119 HIR).31
Gugatan yang syarat formilnya tidak terpenuhi maka gugatan
tersebut dapat di katakan cacat formil.Terdapat berbagai macam cacat
formil yang menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan
akhir dengan dictum menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet
Onvankelijk Verklaar). Cacat formil yang dapat di jadikan dasar oleh
hakim menjatuhkan putusan akhir yang bersifat negatif dalam bentuk
amar menyatakan gugatan tidak dapat diterima, antara lain sebagai
berikut :32
a.
Yang mengajukan gugatan adalah kuasa yang tidak didukung
oleh surat kuasa khusus berdasarkan syarat yang diatur dalam
Pasal 123 HIR jo. SEMA No.1 Tahun 1971 jo. SEMA No. 4
tahun 1996.
b.
31
32
Gugatan mengandung error in persona.
Mukti Arto.Loc.Cit.Hal 41.
Yahya Harahap, 2011, Op.Cit. Hlm 888
58
Kemungkinan
adanya
cacat
seperti
ini
bisa
berbentuk
sebagai berikut :33
a)
Diskualifikasi in person, yakni yang bertindak sebagai
penggugat tidak mempunyai hak dan kapasitas untuk
menggugat. Dalam kuasa yang demikian, penggugat
tidak memiliki persona standi in judicio di depan PN atau
terhadap perkara
tergugat
alasan
tersebut.
Dalam
hal
demikian,
dapat mengajukan exception in persona, atas
diskualifikasi in person,
yakni
orang
yang
mengajukan gugatan bukanlah orang yang berhak dan
mempunyai kedudukan hukum untuk itu.
b)
Gemis aanhoedanigheid,
yakni pihak
yang ditarik
sebagai tergugat keliru. Misalnya, terjadi perjanjian jual
beli antara A dan B. Kemudian A menarik C sebagai
tergugat
agar C memenuhi perjanjian. Dalam kasus
tersebut, tidakan menarik C
sebagai
pihak
tergugat
adalah keliru, karena C tidak mempunyai hubungan
hukum dengan A.
c)
Plurium litis consortium, yakni yang bertindak sebagai
penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak
lengkap. Masih ada orang yang harus ikut dijadikan
sebagai penggugat atau tergugat, baru sengketa yang
33
Ibid. Hlm. 438
59
dipersoalkan
dapat diselesaikan secara tuntas dan
menyeluruh.
b.
Gugatan di luar yurisdiksi absolut atau relatif pengadilan.
Apa yang disengketakan berada di luar kompetensi atau
yurisdiksi absolut
peradilan
yang bersangkutan,
karena
perkara yang disengketakan termasuk kewenangan absolut
peradilan lain. Kewenangan absolut merupakan kewenangan
mengadili berdasarkan badan pengadilan dalam memerikasa
jenis perkara tertentu. Misalnya, pengadilan tata usaha negara
untuk sengketa tata usaha negara, pengadilan negeri dan
pengadilan agama. Sedangkan kompetensi relatif merupakan
kewenangan mengadili berdasarkan
wilayah
hukumnya.
Misalnya, gugatan diajukan ke PN tempat tinggal tergugat
apabila objek sengketa adalah benda bergerak, untuk objek
sengketa yang merupakan benda tetap, gugatan diajukan ke
PN tempat benda tersebut berada, dan lain sebagainya.34
c.
Gugatan obscuur libel.
Mengandung cacat
obscuur libel
yaitu gugatan penggugat
kabur, tidak memenuhi syarat jelas dan pasti (duidelijke en
bepaalde conclusie) sebagaimana asas process doelmatigheid
(demi kepentingan beracara). Hal tersebut juga diatur dalam
34
Ibid. Hlm. 889
60
Pasal 8 Rv. Makna gugatan yang kabur memiliki spektrum yang
sangat luas, diantaranya bisa berupa :
a)
Dalil
gugatan
atau
fundamentum
petendi,
mempunyai dasar hukum yang jelas. Suatu
tidak
gugatan
dianggap kabur apabila dalil gugatan tidak menjelaskan
dasar
hukum
dan
peristiwa
yang melatarbelakangi
gugatan. Misalnya, gugatan tidak menjelaskan
sejak
kapan dan atas dasar apa penggugat memperoleh objek
sengketa. Tidak menjelaskan siapa saja yang berhak
atas
harta
warisan.
Hal tersebut
ditegaskan dalam
Putusan MA No. 239 K/SIP/1968, bahwa oleh karena
gugatan yang diajukan tidak berdasar hukum, harus
dinyatakan tidak dapat diterima bukan ditolak.
b)
Objek sengketa yang tidak jelas.
Kekaburan objek sengketa sering terjadi mengenai
tanah. Menurut M. Yahya Harahap, bahwa terdapat
beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek
gugatan mengenai tanah, yaitu :35
1.
Tidak disebutnya batas-batas objek sengketa.
Gugatan yang tidak menyebutkan batas objek
tanah sengketa
gugatan
35
Ibid. Hlm. 459
dinyatakan
tidak diterima.
obscuur
Namun,
libel,
dan
penerapan
61
mengenai hal itu haruslah hati-hati dan kasuistik.
Tidak dapat dilakukan secara generalisasi. Tidak
semua gugatan yang tidak menyebut batas-batas
secara rinci langsung dinyatakan kabur. Misalnya,
objek sengketa terdiri dari tanah yang memiliki
sertifikat. Dalam kasus demikian, penyebutan No.
sertifikat, secara inklusif meliputi penjelasan secara
terang dan pasti letak, batas dan luas tanah. Tidak
ada .
2.
Luas tanah berbeda dengan pemeriksaan setempat.
Penerapan mengenai perbedaan luas tanah yang
disebut dalam gugatan dengan hasil pemeriksaan
setempat
generalisasi
pun tidak
tetapi
bisa
dilakukan secara
perlu dilakukan
secara
kasuistik. Sebagaimana kasus yang terdapat dalam
Putusan MA No. 497 K/Pdt/1983. Dalam kasus
tersebut, MA berpendapat bahwa PT telah salah
dalam menerapkan hukum, karena menyatakan
gugatan cacat atas alasan terdapat perbedaan luas
yang mencolok mengenai ukuran tanah sengketa.
Dalam gugatan disebutkan luas tanah 1.300 m2 ,
sedangkan dalam hasil pemeriksaan setempat luas
tanah
adalah 8.900 m2, oleh karena
itu
objek
62
gugatan dikatakan kabur. Menurut MA, pendapat
PT
tersebut
menyebut
tidak
tepat
batas-batas
pemeriksaan setempat
sebab gugatan
tanah,
dan
batas-batas
telah
pada
itu
saat
disetujui
bersama oleh penggugat dan tergugat. Dengan
begitu kekeliruan penggugat tidak mengakibatkan
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima
alasan
obscuur
dengan
libel. MA berpendapat bahwa
penetapan dan pengabulan luas tanah yang lebih
besar (8.900 m2) dari yang disebut dalam gugatan
(1.300
m2) dalam perkara
melanggar
asas
ultra
tersebut,
petitum
tidak
partium yang
digariskan Pasal 178 Ayat (3) HIR, karena luas
yang dikabulkan masih dalam lingkup batas-batas
tanah sengketa yang disebut dalam gugatan.
3.
Tidak disebutnya letak tanah.
Mereka yang bersikap formalistic menghendaki
penyebutan dengan jelas desa, kecamatan, dan
kabupaten tempat tanah terletak. Apabila lalai
menyebutnya,
gugatan
dianggap obscuur
libel.
Hal tersebut ditegaskan dalam putusan MA No.
1149 K/SIP/1975. Namun, ketika telah disebutkan
No. Sertifikat dari objeksengketa tersebut, maka
63
secara inklusif didalam sertifikat, tercantum batas,
letak desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan luas
tanah.
4.
Tidak samanya batas dan luas tanah dengan
yang dikuasai tergugat.
Tanah yang dikuasai tergugat ternyata tidak sama
batasbatas dan luasnya dengan yang tercantum
dalam gugatan, oleh karena itu gugatan tidak
dapat
diterima. Sikap
tersebut tertuang
dalam
putusan MA No. 81K/SIP/1971.
c)
Petitum gugatan tidak jelas.Bentuk petitum yang tidak
jelas antara lain sebagai berikut :36
1.
Petitum tidak rinci.
Pada prinsipnya, petitum primair harus rinci.
Apabila petitum primair ada secara rinci, baru
boleh dibarengi dengan petitum subsidair secara
rinci
bono).
atau
berbentuk kompositur (ex aequo et
Pelanggaran
terhadap
hal
tersebut
mengakibatkan gugatan tidak jelas.
2.
Kontradiksi antara posita dengan petitum.
Posita
dengan
petitum
gugatan harus saling
mendukung. Tidak boleh saling bertentangan atau
36
Ibid. Hal. 452
64
kontradiksi. Sehubungan dengan itu, hal-hal yang
dapat dituntut dalam petitum,
harus
mengenai
penyelesaian sengketa yang didalilkan. Hanya yang
didalikan dalam posita yang dapat diminta dalam
petitum.
3.
Gugatan yang diajukan mengandung unsur ne bis in
idem.Sesuai dengan Pasal 1917 KUHPerdata,
apabila yang digugat telah pernah diperkarakan
dengan kasus serupa dan putusan tentang itu telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (res judicata)
maka tidak boleh diajukan kembali untuk kedua
kalinya.37
d)
Gugatan Masih Prematur.
Sifat atau keadaan prematur melekat pada batas waktu
untuk menggugat sesuai dengan jangka waktu yang
disepakati dalam perjanjian atau dengan kata lain,
gugatan yang diajukan masih terlampau dini.
e)
Gugatan telah daluwarsa.
Pasal
1941
KUHPerdata,
selain
merupakan
dasar
untuk memperoleh hak, juga menjadi dasar hukum untuk
membebaskan (release) seseorang dari perikatan apabila
telah lewat jangka waktu tertentu. Jika gugatan yang
37
Ibid.Hal.890
65
diajukan penggugat telah melampaui batas waktu yang
ditentukan undang-undang untuk menggugatnya, berarti
tergugat telah terbebas untuk memenuhinya.
Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata gugat cerai
dengan
Nomor
Register
Perkara
:225/Pdt.G/2013/PA.Jambi
ditemukan sebuah fakta dalam perkara ini dapat dilihat dalam
pertimbangan hakim pengadilan agama bahwa ternyata berdasarkan
berita acara relaas panggilan tanggal 18 April 2013 Nomor
:0225/Pdt.G/2013/PA.Jambi yang dibacakan dipersidangan, alamat
penggugat tidak jelas.
Berdasarkan pertimbangan hakim diatas dapat dianalisa, bahwa
permohonan gugat cerai yang di ajukan oleh penggugat tidak
memenuhi syarat formil yaitu tidak dicantumkannya alamat penggugat
dalam surat gugatan Penggugat maka surat gugatan Penggugat
tersebut menjadi cacat formil.
Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata gugat cerai
dengan
Nomor
Register
Perkara
:
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi
ditemukan sebuah fakta dalam perkara ini mengenai ketidak hadiran
Penggugat dalam persidangan yang telah ditentukan.
Ketidak hadiran penggugat dalam persidangan yang telah
ditentukan oleh majelis hakim dikarenakan alamat penggugat tidak
jelas. Penggugat hanya menuliskan dalam surat gugatannya bahwa
tempat tinggalnya berada di Kota Jambi tanpa menuliskan alamat
66
lengkapnya. Seperti yang kita ketahui bahwasannya kota jambi itu
adalah sebuah kota yang wilayahnya sangat luas yang berada di
Provinsi Jambi. Akibat dari penggugat tidak menuliskan alamat
tempat tinggalnya dengan jelas dalam surat gugatan penggugat,
Hakim dapat memberikan Putusan Gugatan tidak dapat diterima (Niet
Onvankelijk Verklaart) karena surat gugatan penggugat tidak
memenuhi syarat formil sebuah gugatan.Namun, karena dalam kasus
ini yang menjadi pertimbangan hakim adalah ketidak hadiran
Penggugat dalam persidangan seperti yang tercantum dalam putusan
perkara
Nomor.
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi.
Hakim
harusnya
memberikan putusan gugur bukan putusan gugatan tidak dapat
diterima (niet Onvankelijk Verklaart).
Pasal 124 HIR/ 148 RBg. Jika penggugat tidak hadir pada hari
sidang yang telah ditentukan, atau tidak menyuruh wakilnya untuk
menghadiri padahal telah dipanggil dengan patut, dalam kasus yang
seperti itu :
•
Hakim
dapat
dan
berwenang
menjatuhkan
putusan
menggugurkan gugatan penggugat,
•
Berbarengan dengan itu, penggugat dihukum membayar biaya
perkara.
Akibat hukum yang timbul dari putusan tersebut, dijelaskan dalam
pasal 77 Rv:
67
1.
Pihak tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud Putusan
pengguguran gugatan yang didasarkan atas keinginan penggugat
menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind
vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan meskipun
pokok perkara secara formil. Artinya, putusan itu mengakhiri
pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu
sebabnya undang-undang menyatakan pihak tergugat tidak dapat
diajukan perlawanan atau verzet.
2.
Terhadap putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan
perlawanan atau verzet. Terhadap putusan tersebut, tertutup hak
penggugat untuk mengajukan perlawanan atau verzet. Sifat
putusannya :
a.
Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula
mengikat kepada para pihak atau find and binding.
b.
Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga
tertutup upaya hukum, sehingga tidak dapat diajukan
banding atau kasasi.
3.
Penggugat dapat mengajukan gugatan baru Satu-satunya jalan
yang
dapat
ditempuh
penggugat
menghadapi
putusan
pengguguran gugatan, hanya:
a.
Mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara
yang sama, karena dalam putusan pengguguran gugatan
68
tidak melekat ne bis in idem, sehigga dapat lagi diajukan
sebagai perkara baru.
b.
Dan untuk itu, penggugat dibebani membayar biaya
perkara karena biaya yang semula telah dibayarkan untuk
gugatan yang digugurkan.38
Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata gugat cerai
dengan
Nomor
Register
Perkara
:
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi
ditemukan fakta hukum bahwa hakim langsung memberikan putusan
Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk Verklaart) setelah
melakukan panggilan relaas tanggal 18 April 2013 kepada penggugat
tanpa memanggilnya sekali lagi untuk hadir dalam persidangan. Hal
ini tidak sesuai dengan Pasal 126 HIR/150 RBg yang menyatakan
bahwa sebelum menjatuhkan putusan, Hakim dapat memanggil sekali
lagi pihak yang tidak hadir untuk hadir dalam persidangan selanjutnya
yang telah ditentukan waktu dan tanggalnya.
Berdasarkan hal yang telah di uraikan diatas dapat kita ketahui
bahwa mengenai pertimbangan hukum hakim atas ketidak hadiran
Penggugat dalam persidangan yang telah ditentukan pada putusan
Nomor:225/Pdt.G/2013/PA.Jambi, hakim seharusnya memberikan
putusan gugur karena penggugat telah dipanggil secara patut untuk
hadir dalam persidangan namun tidak hadir dan tidak pula menyuruh
wakil atau kuasanya untuk hadir. Hal ini sesuai dengan Pasal 124
38
Yahya Harahap.Op.Cit.Hal 873-874
69
HIR/148 RBg yang mengatakan bahwa ketika penggugat tidak hadir
dalam persidangan setelah di panggil secara patut oleh majelis hakim
maka akan di putus gugur.
2.
Akibat Hukum Terhadap Gugatan Yang Tidak Dapat Diterima
Dalam
Perkara
Gugat
Cerai
Pada
Putusan
Nomor.
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi
Mendasarkan kepada pembahasan rumusan masalah yang
pertama, yang pada intinya bahwa hakim seharusnya menjatuhkan
putusan gugur karena ketidak hadiran penggugat dalam persidangan
yang telah ditentukan. Akan tetapi, majelis hakim pengadilan Agama
jambi berpendapat lain dan menjatuhkan putusan terhadap perkara
Nomor. 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi yang amarnya sebagaimana data
4.1. dan 4.2. Didalam hukum acara perdata dikenal suatu adagium
bahwa hakim tidak dapat dipersalahkan oleh putusan yang dijatuhkan
walaupun itu nyata-nyata dalam penerapan hukum yang termuat
dalam pertimbangannya keliru/tidak tepat atau dengan kata lain
putusan hakim harus dianggap benar (res judicato pro veritate
habetur).
Akibat dari putusan hakim yang menyatakan Gugatan Tidak
Dapat Diterima (Niet Onvankelijk Verklaart) dalam perkara perdata
gugat
cerai
dengan
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi,
Nomor
Penggugat
Register
dapat
Perkara:
mengajukan
70
gugatannyakembali ke Pengadilan Agama Jambi setelah memperbaiki
gugatannya.
71
BAB V
PENUTUP
A.
SIMPULAN
1.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jambi dalam memutus perkara
Nomor. 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi tidak cermat karena pertimbangan
hukum hakim atas ketidakhadiran Penggugat dalam persidangan yang
telah dipanggil secara patut makaseharusnya hakim menggunakan
Pasal 124 HIR/148 RBg yakni menjatuhkan putusan gugur dan
membebankan kepada penggugat untuk membayar ongkos perkara
bukan putusan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk
Verklaart) .
2.
Akibat hukum dari gugatan tidak dapat diterima pada putusan perkara
Nomor.
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi,
mengajukan
gugatan
kembali
ke
maka
penggugat
persidangan
dengan
dapat
jalan
memperbaiki atau menghilangkan cacat formil yang terdapat pada
gugatan.
72
B.
SARAN
1.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jambihendaknya lebih cermat dan
teliti dalam memberikan pertimbangan hukum dan memutus suatu
perkara dalam perkara gugat cerai.
2.
Hakim harus memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai yaitu
ilmu hukum, pandai, cermat dan memiliki kompetensi sebagai hakim
agar putusan yang dihasilkan tidak salah atau keliru.
3.
Penggugat yang hendak mengajukan gugatan ke pengadilan harus
melengkapi syarat formil gugatan serta mengikuti dengan serius
persidangan yang berlangsung.
73
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR
Abdul Manan, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Prenanda Media Group.
Bakri A. Rahman Dan Ahmad Sukardja, 1981, Hukum Perkawinan Menurut
Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Perdata/Bw,
Jakarta: Hidakarya Agung.
Cholil Mansyur, 1994, Sosiologi Masyarakat Kota Dan Desa, Surabaya: Usaha
Nasional.
Halim, Ridwan, 1996, Hukum Acara Perdata (Dalam Tanya Jawab), Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Harahap, M. Yahya, 2004, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan. Jakarta:
Sinar Grafika.
Ibrahim, Johnny,2005,
Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Surabaya: Bayu Media.
Mertokusumo, Sudikno, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:
Liberty.
Merzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Media
Group.
Mukti Arto, 1996, Praktek-Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
74
Prints, Darwan, 1997,Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata,
Cetakan Ketiga Revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Slamet Abidin Dan Aminuddin, 1999, Fiqih Munakahat 1, Bandung: Pustaka
Setia.
Rasyid Roihan, 2001, Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Pt Rajagrafindo
Persada.
Rony Hanintijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri.
Jakarta: Ghalila Indonesia.
Soekanto Soerjono, Mamudji Sri, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Sutiyoso, Bambang,2007, Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: Uii Press.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
..............,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaannya
..............,
Kompilasi Hukum Islam
75
WEBSITE
http://ahmadefendy.blogspot.com/2010/03/pengertian-perceraian.html
pada tanggal 21 maret 2014
http://fyoonamyart.blogspot.com/2012/10/perceraian-definisi-faktorpenyebab.html diakses pada tanggal 27 maret 2014
diakses
Download