Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika Dina Ikrama Putri Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Clostridium difficile (C. difficile) adalah mikroorganisme Gram positif anaerob penghasil basil spora yang menjadi patogen penting dengan angka prevalensi 10-20% sebagai penyebab diare yang diinduksi antibiotika. Strain mutasi hipervirulensi, NAP1/BI/027 (North American Pulse-field gel electrophoresis type 1 /restriction endonuclease analysis BI/ribotype 027) teridentifikasi sebagai strain yang paling berpengaruh dalam patogenisitas infeksi C. difficile. Spora yang dihasilkan terdapat pada saluran cerna dari 2-3% individu dewasa sehat serta 70% bayi sehat. Spora tersebut mengeluarkan dua protein exotoksin (TcdA dan TcdB) yang akan menyebabkan kematian kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal, dan kolitis neutrofilik. Infeksi C. difficile dapat memicu berbagai macam respon tubuh bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik yang digunakan, keadaan epidemiologi, dan kondisi hospes. Dalam pengobatan lini pertama, digunakan metronidazole dan vankomisin oral untuk eradikasi untuk infeksi C. difficile. Sedangkan bila terjadi rekurensi kedua, maka akan sulit diobati karena adanya spora yang menetap pada usus dan ketidakmampuan hospes untuk mengaktifkan respon imun efektif terhadap toksin C. difficile. Pada kasus berat, prosedur transplantasi mikrobiota feses dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencegah komplikasi. Di sisi lain, penggunaan antibiotika untuk keperluan eradikasi infeksi juga perlu diperhatikan sebagai kunci penting lebih lanjut untuk mengurangi resiko infeksi C. difficile. Kata kunci: antibiotika, Clostridium difficile, diare Clostridium Difficile Infection On Antibiotic Associated Diarrhea Abstract Clostridium difficile (C. difficile) is an anaerobic Gram positive spore forming bacillus as important pathogen responsible for antibiotic associated diarrhea (AAD). The mutant hypervirulent strain, NAP1/BI/027 (North American Pulse-field gel electrophoresis type 1 /restriction endonuclease analysis BI/ribotype 027) is mostly responsible strain for C. difficile infection pathogenicity. Spores which is produced can be found in gastrointestinal tracts from 2-3% in healthy individuals and 70% in healthy infants. The spores release two protein exotoxins (TcdA and TcdB) that leading to colonocyte death, loss of intestinal barrier function, and neutrophilic colitis. C. difficile infection can trigger various system responses depend on antibiotic use, epidemiological setting and host condition. On the first line treatment, oral metronidazole and vancomycin are used for C. difficile infection eradication. If there is second recurrence can be difficult to cure, primarily because of the persistence of spores in the bowel and the inability of the patient to mount an effective immune response to C. difficile toxins. In severe cases, fecal microbial transplantation can be considered to prevent any complication. In the contrary, antibiotic use for eradication needs to be focused as important key to diminish C. difficile infection risks. Keywords: antibiotic associated diarrhea, Clostridium difficile Korespondensi: Dina Ikrama Putri, alamat Asrama Melati No. 3C, Jalur 2 Unila, Rajabasa, HP 081282090704, e-mail [email protected] Pendahuluan Clostridium difficile (C. difficile) merupakan bakteri Gram positif anaerob penghasil spora yang menjadi patogen penting dalam penyakit diare yang diinduksi antibiotika.1,2 Prevalensi angka kejadian infeksi C. difficile di negara-negara Asia bahkan sangat sedikit yang telah dilaporkan.3,4 Strain mutasi hipervirulensi, NAP1/BI/027 (North American Pulse-field gel electrophoresis type 1 /restriction endonuclease analysis BI/ribotype 027) dipercaya sebagai strain yang menimbulkan wabah penyakit infeksi C. difficile di seluruh bagian dunia.5 Infeksi C. difficile dapat memicu berbagai macam respon tubuh yang beragam dari gejala asimtomatik, kolitis fulminan hingga diare rekuren.6 Variasi klinis tersebut biasanya lebih ditentukan karena faktor hospes dibandingkan faktor virulensi bakteri.6 Pengobatan awal infeksi C. difficile telah dikembangkan dengan baik, termasuk penghentian antibiotik yang dapat memicu adanya infeksi, terapi suportif cairan dan elektrolit, serta penggunaan antibiotik metronidazole atau vankomisin.7,8 Bila diare disebabkan oleh infeksi C. difficile, gejala klinis akan lebih berat dan fulminan, relaps, dan kolitis berat.9 Diare yang diinduksi antibiotika membutuhkan prosedur diagnostik yang meningkat, opname yang berkepanjangan dan meningkatnya biaya medis.10 Jumlah serangan Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|39 Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik yang digunakan, keadaan epidemiologi, dan kondisi hospes.9 Frekuensi yang meningkat ditemukan pada anak-anak dan usia lanjut, adanya penyakit penyerta, riwayat pembedahan dan obat-obatan yang bekerja pada motilitas usus merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko antibiotic associated diarrhea (AAD).11 Berdasarkan dari semua kasus AAD, 10 hingga 20% disebabkan adanya infeksi C. difficile.12 dewasa sehat serta 70% bayi sehat.13 C. difficile berkolonisasi pada usus besar dan mengeluarkan dua protein eksotoksin (TcdA dan TcdB). Transmisi penyakit melalui spora yang resisten terhadap panas, asam, dan antibiotik. Spora tersebar hampir di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan seperti lingkungan rumah sakit dan suplai makanan bagi pasien, sehingga memungkinkan terjadinya transmisi nosokomial pada 14 komunitas. Patogenesis dari C. difficile dapat dilihat pada Gambar 1 Isi C. difficile membentuk spora yang terdapat pada saluran cerna dari 2-3% individu Gambar 1. Patogenesis infeksi C. difficile15 Diare yang disebabkan oleh C. difficile diperantarai oleh TcdA dan TcdB yang akan menginaktivasi Rho guanosin trifosfat (Rho GTPase). Hal ini menyebabkan kematian kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal, dan kolitis neutrofilik. C. difficile tidak bersifat invasif, sehingga infeksi ekstra kolon sangat jarang terjadi.16 TcdA terdiri dari protein dengan berat molekul sekitar 400.000-600.000, dan mempunyai sifat enterotoksik yang dapat mengikat sel pada membran brush border. Akibat perlekatan ini terjadi erosi pada mukosa Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 40 usus dan merangsang pengeluaran cairan dari usus, selain itu toksin ini juga dapat menyebabkan perdarahan.17 TcdB dengan berat molekul sekitar 360.000-500.000 terbukti tidak aktif di usus, tetapi mempunyai kekuatan sitotoksin 1000 kali lebih kuat dibandingkan toksin A.15 Faktor resiko yang paling penting dalam infeksi C. difficile adalah adanya penggunaan antibiotik. Ampisilin, amoksisilin, sefalosporin, klindamisin dan flurokuinolon merupakan antibiotik tersering yang dapat menyebabkan infeksi C. difficile (Tabel 1). Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika Tabel 1. Golongan Antibiotik dan Hubungannya terhadap Infeksi Clostridium difficile15 Golongan Klindamisin Ampisilin Amoksisilin Sefalosporin Fluroquinolone Golongan penicillin lainnya Sulfonamida Trimetropim Trimethoprim– sulfamethoxazole Macrolides Aminoglikosida Bacitracin Metronidazole Teicoplanin Rifampin Kloramfenikol Tetrasiklin Karbapenem Daptomycin Tigecycline Hubungan dengan Infeksi C. Difficile Sangat umum Sangat umum Sangat umum Sangat umum Sangat umum Umum terbukti mampu menurunkan prevalensi infeksi C. difficile sebanyak 77% dalam 450 kasus pada rumah sakit di Skotlandia.22 Tabel 2. Tatalaksana Infeksi Clostridium difficile18 Derajat Karier asimtomatik Ringan Umum Umum Umum Umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Dalam sebuah penelitian, resiko infeksi C. difficile dalam sebuah wabah 10 kali lebih tinggi pada pasien diatas 65 tahun dan pasien muda.18 Mayoritas infeksi C. difficile didapatkan dari rumah sakit (hospitalacquired), tetapi infeksi community-acquired meningkat pada dekade akhir ini.19 Infeksi C. difficile kini didiagnosis dengan mendeteksi toksin pada feses menggunakan enzyme immunoassay atau mendeteksi DNA toksin pada feses yang belum terbentuk. Kultur feses untuk C. difficile membutuhkan suasana anaerobik yang sulit untuk disediakan di setiap waktu. Enzyme immunoassay tetap menjadi pilihan pertama dalam mendeteksi infeksi C. difficile karena hasilnya cepat dan mudah untuk dilakukan. Beberapa uji DNA juga mampu mendeteksi adanya strain BI/NAP1/027.20 Tidak tersedianya vaksin yang efektif, maka pengontrolan terhadap infeksi telah difokuskan pada pemilihan antibiotik, pencegahan dalam penularan di fasilitas layanan kesehatan dan probiotik. Meminimalkan penggunaan antibiotik telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian infeksi C. difficile.21 Dicegahnya penggunaan rutin antibiotik ceftriaxone dan siprofloksasin Sedang Berat Komplikasi Rekurensi pertama Rekurensi kedua dan selanjutnya Manifestasi klinis Tidak ada tanda dan gejala Diare ringan, afebris, nyeri abdomen ringan dan tidak ada abnormalitas hasil lab Diare sedang tanpa darah, nyeri abdomen sedang, nausea, muntah, dehidrasi, leukosit >15.000/mm3, meningkatnya kadar BUN dan nitrogen Diare berat berdarah, nyeri abdomen berat, muntah, ileus, suhu >38,90C, leukosit >20.000/mm3, kadar albumin <2,5 mg/dl Toxic megacolon, peritonitis, gangguan pernapasan, hemodinamik tidak stabil Tatalaksana Tidak ada indikasi pengobatan Hidrasi, Metronidazole oral (500 mg, 3 kali sehari) Rawat inap, hidrasi, Metronidazole oral (500 mg, 3 kali sehari) atau vankomisin oral (125 mg, 4 kali sehari selama 14 hari) Rawat inap, vankomisin secara oral atau nasogastric (500 mg 4 kali sehari) dengan atau tanpa metronidazole IV (500 mg 3 kali sehari) Konsultasi bedah untuk dilakukan subtotal colectomy atau diverting ileostomy Vankomisin oral (125 mg, 4 kali sehari selama 14 hari) atau fidaxomicin (200 mg, 2 kali sehari selama 10 hari). Transplantasi mikrobiota feses atau fidaxomicin (200 mg, 2 kali sehari selama 10 hari) Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|41 Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika Metronidazole dan vankomisin oral masih menjadi terapi obat lini pertama untuk infeksi C. difficile sejak tahun 1970. Walaupun sudah digunakan sejak lama, resistensi terhadap kedua obat tersebut belum tercatat hingga saat ini. Pada penderita dengan diare berat, vankomisin menjadi pilihan utama, tetapi untuk diare infeksi ringan hingga sedang, keduanya memiliki efektivitas yang sama.23 Meningkatnya kegagalan proses penyembuhan secara klinis dengan metronidazole pada strain BI/NAP1/027 juga dilaporkan pada dekade silam.24 Pengobatan rekurensi episode awal dengan menggunakan metronidazole atau vankomisin selama 10 hingga 14 hari terbukti efektif pada 50% pasien.25,26 Sedangkan bila terjadi rekurensi kedua, maka hal tersebut menjadi sulit diobati karena adanya spora yang menetap pada usus dan ketidakmampuan hospes untuk mengaktifkan respon imun efektif terhadap toksin C. difficile.27 Rekurensi kedua dapat diobati dengan fidaxomisin (200 mg, dua kali sehari selama 10 hari) atau pemberian regimen vankomisin dalam dosis yang dapat diturunkan atau dosis intermiten (Tabel 2). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fidaxomisin lebih efektif mencegah episode rekurensi berikutnya dibandingkan vankomisin setelah rekurensi awal.28 Mikrobiota kolon manusia yang berfungsi sebagai penghambat kolonisasi dalam melawan bakteri patogen menjadi kunci penting dalam patogenesis terjadinya infeksi C. difficile. Setelah pasien terpapar penggunaan antibiotik oral, terjadi penurunan yang cepat terhadap berbagai mikrobiota kolon yang akan berakhir selama beberapa bulan.29,30 Penghentian administrasi pemberian semua antibiotik merupakan jalan terbaik untuk mengeliminasi C. difficile dari kolon, sehingga mikrobiota kolon mampu kembali pulih secara cepat. Pemulihan tersebut membutuhkan waktu 12 minggu atau lebih lama di saat pasien mungkin mengalami relaps. Transplantasi mikrobiota feses merupakan prosedur yang pertama kali dilakukan pada tahun 1958, telah diakui menjadi penatalaksanaan yang aman dan efektif untuk kasus infeksi C. difficile. Komponen spesifik dalam mikrobiota feses yang mampu menghambat C. difficile tidak diketahui dengan jelas, tetapi filum Bakteriodes dan Firmicutes diketahui menjadi komponen yang terpenting untuk dilakukan transplantasi Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 42 dalam prosedur tersebut.31,32 Transplantasi feses melalui oral atau rektal dari pendonor sehat yang telah diuji terbukti efektif dalam mengobati 90% pasien dengan infeksi rekurensi C. difficile.33 Walaupun transmisi patogen yang tidak teridentifikasi atau tidak terdeteksi sangat memungkinkan, tidak ada laporan komplikasi infeksi berat yang berasal dari transplantasi mikrobiota feses yang telah dilakukan.34 Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa imunisasi menggunakan toksoid TcdA dan TcdB mampu secara efektif melindungi antitoksin IgG pada serum alami yang didapat pada pasien dengan keadaan C. difficile yang terkolonisasi. Hal tersebut menjadi program vaksinasi yang potensial pada manusia dalam melawan infeksi C. difficile.35 Imunisasi pasif dengan antibodi monoklonal terhadap toksin C. difficile juga mampu melindungi hospes terhadap angka rekurensi setelah infeksi akut khususnya pada pasien dengan resiko tinggi rekurensi.36 Ringkasan Clostridium difficile merupakan bakteri Gram positif anaerob penghasil spora yang resisten terhadap panas, asam dan antibiotik. Strain yang berperan penting dalam terjadinya penyakit ini adalah NAP1/BI/027 yang mampu memicu berbagai macam respon tubuh, beragam dari gejala asimtomatik, kolitis fulminan hingga diare rekuren. Gejala tersebut bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik yang digunakan, keadaan epidemiologi, kondisi hospes dan range umur pada anak-anak dan usia lanjut. Diare yang disebabkan oleh C. difficile diperantarai oleh TcdA dan TcdB yang akan menginaktivasi Rho guanosin trifosfat (Rho GTPase). Hal ini menyebabkan kematian kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal, dan kolitis neutrofilik. Ampisilin, amoksisilin, sefalosporin, klindamisin dan flurokuinolon merupakan antibiotik tersering yang dapat menyebabkan infeksi C. difficile. Pengobatan lini pertama menggunakan metronidazole dan vankomisin oral, hal ini sama dalam pengobatan rekurensi episode awal selama 10 hingga 14 hari, sedangkan untuk rekurensi selanjutnya dapat diberikan fidaxomisin atau regimen vankomisin. Terapi adjunctive pada kasus berat dapat dilakukan prosedur transplantasi mikrobiota usus menggunakan filum Bakteriodes dan Firmicutes. Di sisi lain, Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika pencegahan menggunakan imunisasi pasif toksoid TcdA dan TcdB yang melindungi antitoksin IgG pada serum alami yang didapat pada pasien masih dalam tahap dikembangkan. Simpulan Infeksi Clostridium difficile pada diare (associated antibiotic diarrhea/AAD) perlu diagnosis dan pengobatan yang sesuai untuk menghindari terjadinya komplikasi dan rekurensi penyakit. Penggunaan antibiotika untuk keperluan eradikasi infeksi juga perlu diperhatikan lebih lanjut untuk mengurangi resiko infeksi C. difficile. Daftar Pustaka 1. Kelly CP, LaMont JT. Clostridium difficile more difficult than ever. N Engl J Med. 2008; 359(18):1932-40. 2. Khanna S, Pardi DS, Aronson SL, Kammer PP, Orenstein R, St. Sauver JL, et al. The epidemiology of community-acquired Clostridium difficile infection: a population-based study. Am J Gastroenterol. 2012;107(1):89-95. 3. Ekma N, Yee LY, Aziz RA. Prevalence of Clostridium difficile infection in Asian countries. Rev Med Microbiol. 2012;23(1):1-4. 4. Collins DA, Hawkey PM, Riley TV. Epidemiology of Clostridium difficile infection in Asia. Antimicrob Resist Infect Control. 2013;2(1):21. 5. Vaishnavi C. Clinical spectrum & pathogenesis of Clostridium difficile associated diseases. Indian J Med Res. 2010; 131:487-99. 6. Yong Gil, Kim & Ik Byung, Jang. Current advances related to Clostridium difficile infection. Indian J Med Res. 2015; 141:172-4. 7. Gerding DN, Muto CA, Owens RC, Jr. Treatment of Clostridium difficile infection. Clin Infect Dis. 2008;46(Suppl 1):S32-42. 8. Surowiec D, Kuyumjian AG, Wynd MA, Cicogna CE. Past, present, and future therapies for Clostridium difficile associated disease. Ann Pharmacother. 2006; 40:2155-63. 9. Surawicz CM, Brandt LJ, Binion DG, Ananthakrishnan AN, Curry SR, Gilligan PH, et al. Guidelines for diagnosis, treatment, and prevention of Clostridium 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. difficile infections. Am J Gastroenterol. 2013; 108:478-98. Owens RC. Clostridium difficile-associated disease: changing epidemiology and implications for management. Drugs. 2007; 67:487-502. Surowiec D, Kuyumjian AG, Wynd MA, Cicogna CE. Past, present, and future therapies for Clostridium difficile associated disease. Ann Pharmacother. 2006;40:2155-63 Lowy I, Molrine DC, Leav BA, Blair BM, Baxter R, Gerding DN, et al. Treatment with monoclonal antibodies against Clostridium difficile toxins. N Engl J Med. 2010;362: 197-205. Aberra FN & Katz J. Clostridium Difficile Colitis [Internet]. Medscape Reference ; 2013 [diakses tanggal 25 April 2015]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/1 86458-overview#aw2aab6b2b1aa Rupnik, M. Is Clostridium difficileassociated infection a potentially zoonotic and foodborne disease. Clin Microbiol Infect. 2007; 13:457-9. Leffler, Daniel A. & Lamont, J. Thomas. Clostridium difficile Infection. The new england journal of medicine. 2015;372:16 O’Connor JR, Johnson S, Gerding DN. Clostridium difficile infection caused by the epidemic BI/NAP1/027 strain. Gastroenterology. 2009;136: 1913-24. Bauer, MP & van, Dissel JT. Alternative strategies for Clostridium difficile infection. Int J Antimicrob Agents. 2009;33(Suppl 1):S51–6. Pépin J, Valiquette L, Cossette B. Mortality attributable to nosocomial Clostridium difficile-associated disease during an epidemic caused by a hypervirulent strain in Quebec. CMAJ. 2005;173:1037-42. Wilcox MH, Mooney L, Bendall R, Settle CD, Fawley WN. A case-control study of community-associated Clostridium difficile infection. J Antimicrob Chemother. 2008; 62: 388-96. Longtin Y, Trottier S, Brochu G. Impact of the type of diagnostic assay on Clostridium difficile infection and complication rates in a mandatory reporting program. Clin Infect Dis. 2013;56:67-73. Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|43 Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika 21. Vonberg RP, Kuijper EJ, Wilcox MH. Infection control measures to limit the spread of Clostridium difficile. Clin Microbiol Infect. 2008;14(Suppl 5): 2-20. 22. Dancer SJ, Kirkpatrick P, Corcoran DS, Christison F, Farmer D, Robertson C. Approaching zero: temporal effects of a restrictive antibiotic policy on hospitalacquired Clostridium difficile, extended-spectrum β-lactamaseproducing coliforms and meticillinresistant Staphylococcus aureus. Int J Antimicrob Agents. 2013; 41:137-42. 23. Zar FA, Bakkanagari SR, Moorthi KM, Davis MB. A comparison of vancomycin and metronidazole for the treatment of Clostridium difficile-associated diarrhea, stratified by disease severity. Clin Infect Dis. 2007; 45: 302-7. 24. Pépin J, Valiquette L, Gagnon S, Routhier S, Brazeau I. Outcomes of Clostridium difficile-associated disease treated with metronidazole or vancomycin before and after the emergence of NAP1/027. Am J Gastroenterol. 2007;102:2781-8. 25. Leffler DA, Lamont JT. Treatment of Clostridium difficile-associated disease. Gastroenterology. 2009;136:1899-912. 26. Hu MY, Katchar K, Kyne L. Prospective derivation and validation of a clinical prediction rule for recurrent Clostridium difficile infection. Gastroenterology. 2009; 136:1206-14. 27. Maroo S, Lamont JT. Recurrent Clostridium difficile. Gastroenterology. 2006;130: 1311-6. 28. Cornely OA, Miller MA, Louie TJ, Crook DW, Gorbach SL. Treatment of first recurrence of Clostridium difficile infection: fidaxomicin versus vancomycin. Clin Infect Dis. 2012;55(Suppl 2): S154S161. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 44 29. Dethlefsen L, Huse S, Sogin ML, Relman DA. The pervasive effects of an anti antibiotic on the human gut microbiota, as revealed by deep 16S rRNA sequencing. PLoS Biol. 2008; 6(11):280. 30. Jernberg C, Löfmark S, Edlund C, Jansson JK. Long-term ecological impacts of antibiotic administration on the human intestinal microbiota. ISME. 2007; 1:56-66 31. Antharam VC, Li EC, Ishmael A. Intestinal dysbiosis and depletion of butyrogenic bacteria in Clostridium difficile infection and nosocomial diarrhea. J Clin Microbiol. 2013;51:2884-92. 32. Song Y, Garg S, Girotra M. Microbiota dynamics in patients treated with fecal microbiota transplantation for recurrent Clostridium difficile infection. PLoS One. 2013;8(11):81330. 33. Kassam Z, Lee CH, Yuan Y, Hunt RH. Fecal microbiota transplantation for Clostridium difficile infection: systematic review and meta-analysis. Am J Gastroenterol. 2013;108:500-8. 34. van Nood E, Vrieze A, Nieuwdorp M. Duodenal infusion of donor feces for recurrent Clostridium difficile. N Engl J Med. 2013;368:407-15. 35. Siddiqui F, O’Connor JR, Nagaro K. Vaccination with parenteral toxoid B protects hamsters against lethal challenge with toxin A-negative, toxin B-positive clostridium difficile but does not prevent colonization. J Infect Dis. 2012;205:12833. 36. Lowy I, Molrine DC, Leav BA. Treatment with monoclonal antibodies against Clostridium difficile toxins. N Engl J Med. 2010;362:197-205.