JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN-SISTEM POLITIK DAN PEMILU DI JEPANG Oleh Aswan Haryadi Abstrak Suasana kehidupan politik Jepang memunyai ciri khas tertentu, yang berbeda dengan negara-neagra demokrasi lainnya. Hal ini tampak pada sistem politik, sistem pemerintahan, dan adanya dominasi LDP dalam kehidupan politik dan pemerintahan Jepang. Kata Kunci: Sistem Pemerintahan-Politik, Pemilu Pendahuluan Dalam mencapai tujuan negara, setiap negara mempunyai tata cara tertentu yang tidak sama (berbeda) dengan negara lainnya. Tata cara tersebut, antara lain tercermin dalam sistem politik dan sistem pemerintahan, yang di dalamnya terdapat suasana kehidupan politik negara tersebut. Dari kedua sistem ini dapat dilihat pula bagaimana kebijakan suatu negara itu dibuat. Untuk mengontrol wilayah Jepang yang memiliki luas 377.815 km2 yang merupakan kumpulan dari 6.852 pulau, dan untuk mengurusi penduduk yang berjumlah sekitar 128 juta (2011), Jepang menyelenggarakan sistem pemerintahan modern yang merupakan adopsi dari berbagai negara, terutama negara-negara di Eropa. Namun, sistem pemerintahan tradisional Jepang merupakan adaptasi dari sistem pemerintahan di Cina. Jepang disebut Nippon atau Nihon dalam bahasa Jepang. Kata Nippon dan Nihon berarti "negara/negeri matahari terbit". Nama ini disebut dalam korespondensi Kekaisaran Jepang dengan Dinasti Sui di Cina, dan merujuk kepada letak Jepang yang berada di sebelah timur daratan Cina. Sebelum Jepang memiliki hubungan dengan Cina, negara ini dikenal sebagai Yamato. Di Cina pada zaman Tiga Negara, sebutan untuk Jepang adalah negara Wa. Kata Jepang dalam bahasa Indonesia kemungkinan berasal dari bahasa Cina, tepatnya bahasa Cina dialek Wu tersebut. Bahasa Melayu kuno juga menyebut negara ini sebagai Jepang (namun ejaan bahasa Malaysia sekarang: Jepun). Kata Jepang dalam bahasa Melayu ini kemudian dibawa ke Dunia Barat Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 431 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 oleh pedagang Portugis, yang mengenal sebutan ini ketika berada di Malaka pada abad ke-16. Mereka lah yang pertama kali memperkenalkan nama bahasa Melayu tersebut ke Eropa. Dokumen tertua dalam bahasa Inggris yang menyebut tentang Jepang adalah sepucuk surat dari tahun 1565, yang di dalamnya bertuliskan kata Giapan. Jepang terdiri dari 6.852 pulau yang membuatnya merupakan suatu kepulauan. Pulau-pulau utama dari utara ke selatan adalah Hokkaido, Honshu (pulau terbesar), Shikoku, dan Kyushu. Sekitar 97% wilayah daratan Jepang berada di keempat pulau terbesarnya. Sebagian besar pulau di Jepang bergunung-gunung, dan sebagian di antaranya merupakan gunung berapi. Gunung tertinggi di Jepang adalah Gunung Fuji yang merupakan sebuah gunung berapi. Penduduk Jepang berjumlah 128 juta orang, dan berada di peringkat ke-10 negara berpenduduk terbanyak di dunia. Tokyo secara de facto adalah ibu kota Jepang, dan berkedudukan sebagai sebuah prefektur. Tokyo Raya adalah sebutan untuk Tokyo dan beberapa kota yang berada di prefektur sekelilingnya. Sebagai daerah metropolitan terluas di dunia, Tokyo Raya berpenduduk lebih dari 30 juta orang. Menurut mitologi tradisional, Jepang didirikan oleh Kaisar Jimmu pada abad ke-7 SM. Kaisar Jimmu memulai mata rantai monarki Jepang yang tidak terputus hingga kini. Meskipun begitu, sepanjang sejarahnya, untuk kebanyakan masa kekuatan sebenarnya berada di tangan anggota-anggota istana, shogun, pihak Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 432 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 militer, dan memasuki zaman modern, di tangan perdana menteri. Menurut Konstitusi Jepang tahun 1947, Jepang adalah negara monarki konstitusional di bawah pimpinan Kaisar Jepang dan Parlemen Jepang. Pembahasan Sistem Pemerintahan Pada Masa Feodal Untuk memahami sistem pemerintahan modern di Jepang, analisa terhadap sistem pemerintahan tradisional perlu dilakukan. Sebelum mengalami modernisasi, pada masa feodal (1185-1603) pemerintahan Jepang menerapkan sistem pemerintahan yang menempatkan shogun sebagai pemimpin tertinggi yang memiliki kekuasaan penuh, sementara kaisar hanyalah sebagai boneka dengan sedikit kekuatan politik. Periode ini diawali oleh Minamoto no Yoritomo yang membangun model pemerintahan yang dikenal dengan sebutan bakufu atau pemerintahan shogunat. Shogunat yang pertama dikenal dengan nama Kamakura bakufu di Kamakura pada tahun 1192. Model pemerintahan shogunat terdiri dari dua divisi utama yaitu, divisi samurai dan divisi pengadilan/hukum. Sistem shogunat sebagai dasar pemerintahan pada masa Kamakura berangsur hilang pada akhir periode ini. Kaisar terakhir pada periode ini, Go-Daigo mengembalikan kekuasaan kepada kekaisaran karena menganggap shogunat gagal menghadapi serangan tentara Mongol (1268 dan 1281). Para shogunat tidak terlalu tertarik dengan hubungan luar negeri, dan mereka mengabaikan sinyal-sinyal rencana penyerangan tentara Kubilai Khan dari Mongolia. Dikembalikannya pemerintahan kepada kaisar menimbulkan ketidaksenangan kaum samurai. Pembaharuan yang dilakukan oleh Go-Daigo disebut Kenmu shinsei atau Restorasi Kenmu. Namun upaya Go-daigo untuk menempatkan kaisar sebagai pemimpin utama tampaknya kurang berhasil kaena pada tahun 1336 berdirinya Shogunat Ashikaga yang selanjutnya disebut Periode Muromachi. Ashikaga Takauji mendapat dukungan dari samurai yang menentang keputusan Go-Daigo. Ashikaga memerintah wilayah Jepang dari Kyoto. Adapun Kaisar Go-Daigo membangun markasnya di dekat Kota Nara. Pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh Oda Nobunaga seorang daimyō yang berhasil mengusir Ashikaga Yoshiaki, shogun terakhir Ashikaga bakufu dari Kyoto. Nobunaga merupakan daimyō yang kuat dan memiliki strategi kepemimpinan Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 433 ISSN 08532265 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) yang unik. Dia membangun Benteng Azuchi di daerah Shiga yang berdekatan dengan Danau Biwa dan Kyoto. Benteng ini berfungsi untuk mengawasi pergerakan musuh dan juga sebagai tempat perlindungan dari konflik yang terjadi di kota. Masa kepemimpinan Nobunaga beserta para daimyō yang meneruskannya, yaitu Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu merupakan periode menuju penyatuan wilayah Jepang yang tercapai pada tahun 1590. Namun, dari ketiganya, hanya Tokugawa Ieyasu yang berhasil mendapatkan gelar Sei-Taishogun, lalu mendirikan Shogunat Tokugawa pada tahun 1603. Sistem Pemeritahan Semi Modern Shogun Tokugawa Tokugawa pada dasarnya meneruskan sistem shogunat, dan juga mempertahankan sistem kasta/kelas-kelas dalam masyarakat Jepang sebagaimana yang dilakukan oleh Hideyoshi. Di bawah daimyō terdapat para tentara yang merupakan para samurai. Para samurai menduduki status sosial tertinggi setelah para daimyō. Samurai memiliki kelebihan yaitu dapat membuat sendiri nama keluarganya dan membawa dua pedang. Nama samurai pada masa itu tidak sama dengan nama-nama orang Jepang pada masa sekarang yang hanya terdiri dari dua kata saja yaitu, nama keluarga dan nama sendiri. Orang-orang Jepang dewasa ini yang menggunakan nama keluarga samurai masih disegani oleh masyarakat Jepang. Para samurai bukanlah kalangan terpelajar, namun mereka memiliki konsep perilaku seorang ksatria, yang dikenal dengan istilah bushidō. Apabila seorang samurai melanggar bushidō, maka dia harus melakukan seppuku atau hara-kiri yaitu dengan menusuk perut mereka dengan pedangnya. Sekalipun kalangan samurai didominasi oleh kalangan laki-laki, terdapat pula wanita yang menjadi samurai. Kelas kedua setelah samurai adalah kalangan orang petani. Mereka dikelompokkan dalam beberapa kelas. Karena beras merupakan makanan pokok masyarakat Jepang, maka kestabilan negara/wilayah tergantung dari terpenuhinya pasokan beras dari petani. Oleh karena itu mereka dianggap penting. Namun, sayangnya kaum petani tetap tidak memperoleh penghasilan yang cukup untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah yang dimasuki oleh anak-anak samurai. Kelas ketiga diisi oleh para tukang besi dan tukang kayu yang akan membuat pedang-pedang para samurai. Adapun kelas keempat adalah para pedagang. Di antara semua kasta tersebut, kelas pedagang adalah kalangan yang paling memiliki Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 434 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 kesempatan untuk mendidik anak-anak mereka, sebab mereka yang mengendalikan peredaran uang dalam masyarakat. Sistem pemerintahan Tokugawa menempatkan kaisar sebagai penguasa tertinggi Jepang. Oleh karena itu kaisar yang berkedudukan di Kyoto berwenang mengeluarkan kebijakan dan selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh Tokugawa sebagai shogun yang pada waktu itu berkedudukan di Tokyo. Untuk kelancaran sistem tersebut, maka Tokugawa membentuk Kyōto Shoshidai yang bertugas menjadi penghubung antara shogunat dengan keluarga kekaisaran. Pemerintahan Tokugawa juga dikenal sebagai pemerintahan semi modern dan dikatator militer. Shogunat Tokugawa mulai membuka diri dengan asing sejak tahun 1600-an. Perdagangan dengan pedagang dari Eropa dan Cina dilakukan sebelum pada akhirnya diterapkannya kebijakan sakoku pada tahun 1653. Struktur pemerintahan Shogunat Tokugawa sangat kompleks, di bagian tertinggi setelah shogun terdapat tairō atau sesepuh yang berperan sebagai penasehat. Selain itu terdapat rōjū atau Menteri Senior yang membawahi pejabat- pejabat lain, terlibat dalam pembagian daerah, memberikan masukan kepada shogun, dan penghubung dengan keluarga kaisar. Intinya menteri senior bertanggung jawab terhadap semua bidang pemerintahan yang dalam sistem modern dipegang oleh para menteri dalam kabinet. Selain itu terdapat Dewan Wakadoshiyori beranggotakan 4 orang yang bertugas mengurusi keperluan hatamoto atau para samurai, dan gokenin atau daimyō . Lembaga lain yang dibentuk oleh shogunat Tokugawa adalah Soba yōnin yang berperan menghubungkan antara rōju dengan shogun. Di bawah Menteri Senior terdapat sejumlah orang yang bertugas menyelidiki kelompok masyarakat di bawah dan para daimyo serta istana kekaisaran apabila terjadi praktek administrasi yang salah, korupsi dan untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Mereka adalah oometsuke yang bertugas mengawasi para daimyō , dan metsuke yang mengawasi masyarakat awam di bawah para daimyō . Mereka bertanggung jawab kepada ryō ju dan wakadoshiyori. Adapun pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh 3 lembaga administrasi atau sanbugyō, yaitu jishabugyō , yang bertugas dalam urusan keagamaan (Buddha dan Shinto), kanjōbugyō mengontrol tenryou yang bertugas menangani masalah keuangan dan atau daerah kekuasaan shogun; dan machibugyō yang merupakan pelaksana pemerintahan di daerah/lokal. Petugas machibugyō memiliki Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 435 ISSN 08532265 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) cakupan tugas yang luas, mereka dapat bertugas sebagai walikota, kepala polisi, kepala pengadilan, kepala pemadam kebakaran, tetapi tidak bertanggung jawab untuk mengurusi para samurai. Shogunat Tokugawa juga berbeda dengan shogunat sebelumnya, karena inisiatifnya memberntuk lembaga gaikokubugyou yang bermarkas di Nagasaki dan Kanawaga. Lembaga ini bertugas untuk mengurusi hubungan dan kerjasama dengan negara-negara di dunia. Sistem Pemerintahan Modern Era Meiji Pemerintahan modern Jepang diawali pasca restorasi Meiji atau Meiji ishin. Shogun terakhir dalam keshogunan Tokugawa ke-15 yaitu, Tokugawa Yoshinobu menyerahkan kekuasaannya kepada kaisar pada tahun 1867. Namun ketidakpuasan Yoshinobu karena kekaisaran tidak memberikannya kedudukan yang penting pada akhirnya menimbulkan Perang Boshin pada tahun 1868-1869. Gejala penentangan pada keshogunan Tokugawa sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1866, ketika aliansi Satchou atau Satsuma Chōsuu dōmei yang merupakan gabungan antara Satsuma han dan Choushuu han, dua klan yang paling berkuasa pada akhir shogun Tokugawa. Aliansi dipelopori oleh Sakamoto Ryōma. Dalam Perang Boushin, pasukan dan antek-antek Yoshinobu berhasil ditaklukkan, dan hal ini menjadi awal sistem kekaisaran yang kuat di Jepang. Periode Meiji membawa Jepang pada keterbukaan pada dunia luar, terutama Eropa yang berakibat pada perubahan besar-besaran dalam sistem pemerintahannya. Hal yang pertama kali dilakukan adalah merombak sistem pemerintahan shogunat melalui penyusunan Seitaisho yang dilakukan oleh Fukuoka Takachika dan Sōjima Taneomi yang mengenyam pendidikan di Barat. Struktur pemerintahan pusat atau daijō kan yang dibentuk pada tahun 1868, merupakan kombinasi antara struktur pemerintahan pada periode Nara dan Heian dan sistem pemerintahan di barat. Daijō kan terdiri dari lembaga legislatif, lembaga eksekutif, urusan Shinto, keuangan, militer, hubungan luar negeri, dan urusan dalam negeri. Kementerian Kehakiman dibuat terpisah, sama seperti yang diterapkan di barat. Sistem pembagian daerah pada shogunat Tokugawa yang dibagi menjadi prefektur atau ken (県), dan municipal atau fu (府) yang dikontrol oleh Divisi Urusan Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 436 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 Dalam Negeri. Dan pada tahun 1871, bentuk pemerintahan daerah yang dikuasai oleh daimyō atau klan tertentu dihapuskan melalui haihanchiken (廃藩置県). Dengan peraturan ini, diperkenalkan sistem sentralisasi dengan pengontrolan penuh dari pemerintah pusat. Para daimyō diperintahkan untuk menyerahkan semua kekuasaan mereka kepada kaisar. Selanjutnya pemerintah pusat membentuk dewan perwakilan di setiap prefektur, municipal, kota dan desa. Adapun pemerintah pusat mengadakan reorganisasi pada tahun 1869 untuk memperkuat kekuasaan pusat, dengan membentuk Majelis Nasional sebagai lembaga tertinggi, membentuk Dewan Penasihat atau sangi dan delapan kementrian yaitu, Kementerian Dalam Negeri, Kementrian Luar Negeri, Keuangan, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Urusan Rumah tangga kekaisaran, Kehakiman, Pekerjaan Umum, dan Pendidikan. Berdasarkan Konstitusi Meiji yang dirilis pada tahun 1889, dibentuk Imperial Diet atau Teikoku gikai pada tanggal 29 November 1890. Parlemen Imperial ini terdiri dari House of Representative (Majelis Rendah) dan House of Peers (Kizokuin). Anggota dari House of Representative dipilih langsung oleh Kaisar, dan adapun anggota Kizokuin dipilih dari keluarga kaisar. Kizokuin adalah bentuk tiruan dari the British House of Lords. Pada tahun 1869, pemerintah Meiji menciptakan silsilah kekeluargaan dalam kekaisaran dan kebangsawanan di Jepang, dengan menyatukan lembaga pengadilan (kuge=公家) dan para daimyou menjadi sebuah kelas bangsawan yang dikenal sebagai kazoku (家族). Pada peraturan imperial tahun 1884, kazoku dibagi menjadi lima golongan yang mirip dengan pembagian strata kerajaan di Inggris (European Prince (duke), marquis, count, viscount, baron). Anggota dari House of Peers adalah : 1. Putra Mahkota dari usia 18 tahun 2. Semua pangeran (shinnou) dan pangeran yang memiliki darah kekaisaran yang berusia di atas 20 tahun. 3. Semua pangeran dan marquis yang berusia di atas 25 tahun 4. 150 orang wakil yang dipilih berdasarkan ranking counts, viscounts, dan baron, yang berusia di atas 25 tahun 5. 150 anggota tambahan yang dipilih oleh Kaisar 6. 66 orang yang dipilih untuk mewakili 6000 orang pembayar pajak tertinggi. Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 437 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 Sistem Pemerintahan Monarki Konstitusional Perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan Jepang adalah tatkala dibentuk pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Dengan adanya desakan pembentukan konstitusi, maka model pemerintahan yang menempatkan personal yang berjasa sebagai pejabat tinggi negara, dihapuskan dan diganti dengan sistem pemilihan yang modern dan demokratis. Pada masa sebelum perang, diangkatnya seseorang menjadi shogun atau terbangunnya sebuah shogunat baru terjadi karena faktor kemenangan dalam peperangan antara pihak shogunat lama dengan oposisinya. Sebaliknya, pemerintahan kekaisaran berganti secara turun temurun dengan mempertahankan silsilah dan garis keturunan kekaisaran. Dengan adanya konstitusi, maka pemerintahan akan dikendalikan secara demokratis, dan pemilihan pejabat pemerintahan tidak lagi berdasarkan azas kekeluargaan dan atau akibat peperangan, tetapi diselenggarakan secara konstitusional. Konstitusi Jepang diberlakukan pada 3 Mei 1947, yang memuat delapan pasal pokok tentang kekaisaran, penolakan terhadap peperangan, hak dan kewajiban rakyat, lembaga legislatif negara, kabinet, pengadilan, keuangan, dan pemerintah lokal. Dengan terbentuknya konstitusi Jepang, model pemerintahan yang dipilih selanjutnya adalah Monarki konstitusional. Dalam model ini, kaisar adalah simbol negara dan pemersatu negara. Kaisar tidak memiliki kekuasaan yang berkaitan dengan pemerintahan, dan semua kegiatan kaisar adalah resmi dan merupakan seremonial yang memerlukan masukan dan nasehat dari parlemen. Selain itu, kaisar juga berperan sebagai duta diplomatik. Kaisar pertama di bawah sistem monarki konstitusi adalah Kaisar Akihito yang merupakan Kaisar ke-125 dan masih memegang tahta pada saat ini. Dia merupakan putra dari Kaisar Showa dan Permaisuri Kojun. Menempuh pendidikan di bidang Ilmu Politik dan Ekonomi di Universitas Gakushuin tetapi tidak mendapatkan gelar akademik dari institusi ini. Minatnya justru berkembang di bidang biologi kelautan, mengikuti jejak ayahnya. Banyak karya ilmiah yang ditulisnya tentang bidang ini, dan juga tulisannya tentang sejarah ilmu sains di jaman Meiji yang diterbitkan di Jurnal Science dan Nature. Dia diangkat menjadi kaisar pada 7 Januari 1989 setelah kematian ayahnya. Dan hari setelah pengangkatannya disebut sebagai Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 438 ISSN 08532265 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) Tahun Heisei atau Tahun Pembangunan Perdamaian. Beliau menikah dengan Putri Michiko, dan memiliki 3 orang anak, yaitu Pangeran Naruhito (Hiro no miya), Pangeran Akishino (Aya no miya), dan Putri Sayako (Nori no miya). Putra Mahkota adalah Pangeran Naruhito yang merupakan putra pertama Kaisar Akihito, lahir pada tahun 1960. Putra Mahkota juga merupakan lulusan program doktor di bidang sejarah di Universitas Gakushuin. Dan kemudian memperdalam bidang sejarah transportasi Sungai Thames pada abad ke-18 di Merton College, Cambridge University. Naruhito menikah dengan Owada Masako, putrid seorang diplomat, dan juga merupakan lulusan Harvard University bidang Ekonomi, lalu melanjutkan perkuliahan di Universitas Tokyo. Masako adalah seorang diplomat sebelum menikah dengan Pangeran Naruhito. Mereka memiliki seorang anak, Putri Aiko yang lahir pada 1 Desember 2001. Dalam konstitusi Jepang, pengganti kaisar atau putra mahkota adalah anak yang berjenis kelamin laki-laki. Oleh karena itu, status Putri Aiko sebagai putra mahkota dipermasalahkan. Dan karena istri putra kedua kaisar, Pangeran Akishino, pada tahun 2006 melahirkan seorang anak laki-laki (anak ketiga), Pangeran Hisahito Shinno, maka selama Pangeran Naruhito tidak memiliki anak laki-laki, putra mahkota akan berpindah ke Pangeran Hisahito. Semula PM Shinzo Abe pada tahun 2007 mengusulkan sebuah proposal tentang kemungkinan diangkatnya seorang putri untuk menjadi penerus tahta kekaisaran, namun sejak kelahiran Hisahito, proposal ini tampaknya akan ditentang, sehingga kekaisaran Jepang akan tetap mempertahankan tradisi lama, bahwa penerus kekaisaran adalah seorang putra mahkota. Sistem Parlementer Jepang Berdasarkan konstitusi Jepang, Parlemen adalah lembaga tertinggi negara dan lembaga yang berhak mengeluarkan kebijakan dan perundangan. Parlemen Jepang mengadopsi sistem parlemen dua kamar (bicameral) yang diterapkan di Inggris. Ada dua badan dalam Kokkai yaitu, Shugiin atau House of Representative (Majelis Rendah) dan Sangi in atau House of Councillors (Majelis Tinggi). Majelis Rendah terdiri dari 480 anggota yang memiliki masa jabatan 4 tahun dan langsung dipilih oleh rakyat. Masa 4 tahun tidaklah mutlak karena dapat dibubarkan oleh PM dengan mosi tidak percaya. Pemilih yang berhak memilih adalah warganegara Jepang yang berusia 20 tahun, dan yang berhak dipilih adalah Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 439 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 warganegara berusia 25 tahun, dengan persyaratan memiliki deposito sebesar 300 juta untuk calon tunggal di sebuah distrik atau yang dikenal sebagai shousenkyoku atau single-seat electoral district, dan 600 juta yen untuk calon yang berasal dari daerah pemilihan yang dikenal sebagai hireiku atau proportional representation constituency. Adapun tugas dan wewenang Majelis Rendah adalah : mengajukan usulan kebijakan, berperan dalam pemilihan PM, menetapkan anggaran keuangan, menerima pengunduran diri kabinet (PM dan menteri), dan masalah ratifikasi perjanjian. Dengan suara 2/3, Majelis Rendah dapat memveto keputusan Majelis Tinggi. Dari segi keluasan wewenang, Majelis Rendah memiliki wewenang yang lebih luas daripada Majelis Tinggi. Semisal terdapat rancangan perundangan yang diveto oleh Majelis Tinggi, Majelis Rendah dapat menganulirnya dengan melakukan pemungutan suara dengan hasil kesepakatan minimal 2/3 anggota yang hadir. Tetapi, Majelis Rendah dapat dengan mudah dibubarkan oleh PM, dan sangat sensitif dengan pendapat dan opini rakyat. Sementara Majelis Tinggi tidak dapat dibubarkan. Adapun majelis Tinggi memiliki masa jabatan 6 tahun yang dipilih per tiga tahun sekali. Majelis Tinggi merupakan bentuk terusan dari Kizokuin atau House of Peers yang diberlakukan pada masa Meiji berdasarkan Konstitusi Imperial Jepang (11 Februari 1889~3 Mei 1947). Keanggotaannya berjumlah 242 orang yang merupakan warganegara Jepang minimal berusia 30 tahun. Anggota Majelis Tinggi separuhnya dipilih dalam Pemilu, dengan komposisi, 73 dipilih dari perwakilan tunggal dari 47 prefektur yang ada di Jepang, dan 48 dipilih secara nasional dengan sistem perwakilan dengan proporsi tertentu. Sekalipun tidak memiliki wewenang sebesar Majelis Rendah, kabinet harus tetap memperhatikan pendapat Majelis Tinggi, terutama berkaitan dengan masalah amandemen Konstitusi, sebab hak suara kedua majelis adalah sama. Dan ada banyak contoh keputusan/kebijakan perundangan yang diputuskan secara bersama oleh kedua majelis. Kabinet atau naikaku di Jepang adalah kabinet yang merupakan koalisi dari partai-partai pemenang pemilu. Dipimpin oleh seorang PM yang dipilih dari partai pemenang pemilu. Pada umumnya menteri adalah sekaligus anggota parlemen. Menteri-menteri diangkat oleh PM berdasarkan persetujuan Parlemen. Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 440 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 Sistem politik Jepang Pada umumnya struktur ketatanegaraan meliputi dua suasana tata kehidupan politik, yaitu suasana kehidupan politik pemerintah (Suprastruktur politik/the government political sphere). Suasana tata kehidupan politik tersebut terjadi di negara-negara yang menganut sistem politik tidak absolut otoriter, yaitu pada negara-negara yang menganut faham demokrasi. Membicarakan sistem politik suatu negara, berarti membicarakan interaksi aktif yang erat, selaras, saling mengisi, saling memberi pengertian, antara komponen supra struktur politik, sehingga terdapat suasana kehidupan kenegaraan yang harmonis dalam menentukan kebijakan umum dan menetapkan keputusan politik. Dalam hal ini, masyarakat yang tercermin dalam komponen –komponen infra struktur politik berfungsi sebagai masukan (input) yang berwujud pernyataan kehendak dan tuntutan masyarakat (social demand); sedangkan supra struktur politik (pemerintah dalam arti luas) berfungsi sebagai output dalam hal menentukan kebijakan umum (public policy) yang berwujud keputusan-keputusan politik(political decision). Suasana kehidupan politik tersebut dapat dilihat dalam UUD/Konstitusi masing-masing negara (bila negara itu mempunyai UUD/Konstitusi). Jepang (sebagai salah satu negara demokrasi) juga mempunyai struktur ketatanegaraan sebagaimana tersebut di muka, yang meliputi supra struktur politik dan infra struktur politik. Hal ini dapat dilihat dalam Konstitusi 1947. Supra struktur politik, meliputi lembaga-lembaga kenegaraan atau Lembaga-lembaga Neagra atau alat –alat Perlengkap Negara. Dengan demikian, supra struktur politik Negara Jepang menurut Konstitusi 1947, meliputi : 1. Lembaga Legislatif (legislature), yaitu National Diet (Parlemen Nasional) 2. Lembaga Eksekutif (Executive), yaitu Cabinet (Dewan Menteri), yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. 3. Lembaga Judisiil (Judiciary), yaitu Supreme Court (Mahkamah Agung). Sedangkan Infra struktur politik meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan lembaga –lembaga kemasyarakatan, yang dalam aktivitasnya mempengaruhi (baik secara langsung maupun tidak langsung) lembaga-lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-masing. Infrastruktur ini terdiri dari lima 5 komponen/unsur, yaitu : 1. Partai politik (political party) Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 441 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 2. Golongan kepentingan (interest group), terdiri dari : a. Interest group asosiasi b. Interest group institusional c. Interest group non asosiasi d. Interest group yang anomik 3. Golongan penekan (pressure group) 4. Alat komunikasi politik (media political communication) 5. Tokoh politik (political figure) Jepang sebagai suatu negara yang menganut sistem politik demokrasi, tidak dapat meniadakan hidup dan berkembangnya partai politik, dengan kata lain adanya partai politik merupakan salah satu ciri bahwa Jepang merupakan negara demokrasi. Sampai saat ini, Jepang menganut sistem politik multi party (banyak partai), yaitu ada enam (6) partai besar : 1. Liberal Democratic Partay (jiyu Minshuto or Jiminto), yang banyak didukung oleh birokrat, pengusaha, dan petani. 2. The Japan Socialist Party (nippon S Hakaito), yang didukung oleh buruh(sayap kiri). 3. The Komneito (Clean Goverment Party), yang didukung para penganut agama Budha. 4. The Democatic Socialist Party (Minshato), yang didukung oleh buruh (sayap kanan). 5. The Japan Communist Party (Nihon Kyosanto), yang didukung oleh komunis. 6. The United Social Democratic Party (Shakai Minshu Rengo of Shminren), merupakan partai termuda dan terkecil di Jepang, merupakan sempalan JSP (sosialis sayap kanan). Lihat Kishimoto Koichi, 1982: 91-93) Sejak pasca Perang Dunia Kedua sampai sekarang ini, Partai Demokrasi Liberal (LDP) secara mayoritas berkuasa di Jepang. Perdana Menteri Jepang saat ini juga berasal dari Partai LDP, di samping itu banyak para anggota LDP yang duduk di Cabinet dan National Diet. Kehidupan partai politik Jepang sangat dipengaruhi oleh apa yang dinamakan hubatsu atau faksi. Hubatshu atau faksi merupakan bagian (sub-bagian) dari partai politik di Jepang. Misalnya lima (5) faksi yang ada dalam tubuh LDP, yang kalau Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 442 ISSN 08532265 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) diurutkan menurut kekuatannnya meliputi Faksi Takhesita, Faksi Matzuzuka, Faksi Komoto. Faksi-faksi yang merupakan bagian (sub bagian) dari partai politik ini sangat berperan dalam pemilihan ketua partai (LDP). Dan sudah bukan rahasia umum lagi bahwa ketua partai akan ditunjuk oleh DIET sebagai Perdana Menteri, yang kemudian diangkat/dilantik oeh Kaisar. Keadaan partai politik Jepang memang mempunyai karakteristik yang unik, yang berbeda dengan sistem kepartaian di negara industrilainnya seperti Amerika. Misalnya keberadaan partai konservatif (LDP) tidak berdasarkan keanggotaan organisasi dalam partai tetapi berdasarkan koalisi faksi-faksi (habatsu). Mengenai sebab-sebab LDP mendominasi suasana kehidupan politik dan pemerintah Jepang, akan dibahas pada bagian tersendiri. Golongan kepentingan (interest group) di Jepang, antara lain ialah kelompok perusahaan-perusahaan besar Jepang atau kelompok Big Business . Ada empat (4) asosiasi bisnis (business associations) khusus yang terutama / penting di Jepang, yaitu Keidanren (Federation of Economic Organizations), Nisho (Japan Chamber of Commerce and Industry), Keizai Doyukai (japan Committee for Economic Development), dan Nikkeiren (Federation of Employeres Organization). Di samping itu terdapat pula organisasi perusahaan swasta (yang bersifat prifat), yaitu Keiretsuka (semacam perusahaan yang mempunyai anak-anak perusahaan pembuat komponen), misalnya Mitsui group atau Mitshubishi group. Organisasi/asosiasi –asosiasi tersebut dapat dimasukkan sebagai interest asosiasi, yang mempunyai pengaruh dalam pembuatan kebijaksanaan di bidang bisnis dan industri Jepang. Karena situasi dan kondisi politik di Jepang (tempat interest group tersebut hidup dan berkembang ), maka interset group bisa berubah menjadi pressure group (golongan penekan), yaitu golongan yang bisa memaksakan kehendaknya kepada pihak penguasa. Sehingga kelompok Big Bussines tersebut dapat disebut sebagai golongan penekan (walau mungkin pada mulanya tidak ditujukan menjadi golongan penekan), sebab kelompok tersebut (infra struktur politik) dalam pelaksanaan SISTEM POLITIK Jepang dapat mempengaruhi supra struktur politik (khususnya pemerintah/eksekutif/cabinet) dalam pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan. Hal ini akan tampak pada policy making process yang nanti akan dibahas tersendiri. Tokoh-tokoh politik (political figure) Jepang yang mempunyai peran penting ialah mereka yang tergabung dalam partai politik, khususnya melalui faksa masingProgram Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 443 ISSN 08532265 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) masing. Di sampingtujuga mereka yang berkecimpung dalam big business. Tokohtokoh politik yang berkecimpung dalam salah satu partai politik tertentu dapat pula mengadakan hubungan dengan negara lain (antar partai), lebih –lebih pada negara yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Jepang. Satu komponen Infra Struktur politik, yang sangat penting sekali dalam sistem politik Jepang ialah Media Komunikasi Politik (media Political Communication). Media ini meliputi media cetak (yang berupa majalah-majalah dan koran) dan media siaran (yang berupa radio dan televisi). Media cetak merupakan media yang mempunyai peran penting dalam pembuatan kebijakan Jepang, dibandingkan dengan media cetak inilah dapat dikomunikasikan pendapat para pakar, para tokoh politik, dan pendapat para anggota masyarakat lainnya, yang pendapatnya/gagasannya tidak bisa/belum tersalurkan lewat faksi maupun partai. Di samping itu, melalui media cetak juga bisa pula digunakan untuk mengkomunikasikan kejelekan-kejelekan para tokoh politik, dan pendapat para pakar, para tokoh politik, dan pendapat para anggota masyarakat lainnya, yang pendapatnya/gagasannya tidak bisa/belum tersalurkan lewat faksi maupun partai. Di samping itu, melalui media cetak juga bisa pula digunakan untuk mengkomunikasikan kejelekan-kejelekan para tokoh politik lantaran suatu skandal sex/korupsi/suap. Melalui media cetak ini pulalah, program partai/faksi/pemerintah/organisasi masyarakat dan kejadian-kejadian dalam negeri maupun luar negeri dikomunikasikan kepada masyarakat (dimasyarakatkan). Informasi-informasi yang berasal dari media –media tersebut merupakan input/masukan yang penting dalam pembuatan kebijakan Jepang. Dominasi Liberal Democracy Party Sebagaimana disebutkan di muka, ada enam partai politik yang hidup dan berkembang di Jepang sampai saat ini. Salah satu partai tersebut Partai Demokrasi Liberal (LDP), sebagai partai terbesar dan secara mayoritas berkuasa di Jepang, yang para anggotannya banyak duduk di dalam Cabinet dan National Diet. LDP dibentuk pada tanggal 15 Nopember 1955, mellaui fusi/penggabungan dua partai konservatif yang ada pada saat itu, yaitu the Japan Democratic Party (Nihon Minshuto) yang dipimpin Hatoyama Ichiro dan the Liberal Party (Jiyuto) yang dipimpin Ogata Taketora (Periksa bagan “Major Postwar Political Parties” dalam Kishimoto Koichi, 1988:9). Fusi tersebut disusun dari faksi-faksi yang ada pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 444 ISSN 08532265 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) masing-masing partai konservatif itu. Sehingga merupakan konfederasi kekuatan konservatif yang fungsinya secara esensial sebagai suatu koalisi dari faksi-faksi. Pada waktu itu, fusi partai konservatif (LDP) dibagai menjadi tiga (3) faksi, yaitu : the Yoshida faction, the Ogata faction, dan the Ono faction (baca Khisimoto Koichi, 1988:94-95). Sejak tahun 19890 smapai sekarang, faksi-faksi dalam tubuh LDP meliputi faksi Miyazawa Kiichi, faksi Nikaido Sususmu, faksi Takeshita Noboru, faksi Nakasone, faksi Abe Shintaro, dan faksi Komoto (periksa bagan “Generalogy of LDP Factions” dalam Kishimoto Koichi, 1988 ;100). Masing-masing faksi tersebut, faksi yang selalu tetap aktif sepanjang periode ialah faksi Nakasone. Setelah adanya fusi konservatif tersebut (1995), LDP langsung memperoleh299(64%) kursi di House of Representative dan 118 kursi di House of Councillors (48%0. Pada tahun 1956 (Desember) bertambah lagi setelah adanya pendaftaran dari kelompok konservatif yang independent. Pada akhir tahun 1956 (Desember) bertambah lagi setelah adanya pendaftarandari kelompok konservatif yang indelendent. Pada akhir tahun 1987, LDP selalu menduduki mayoritas kursi di kedua kamar Diet. Dalam tiga kali pemilihan umum, yaitu pada masa kabinet Ohira I (1979), masa kabinet Nakasone I (1983), sejumlah calon LDP berhasil menduduki mayoritas dan partai dapat memperoleh mayoritas kursi Diet. Kemudian pada masa kabinet Kishi kabinet Ikeda, dan Satto kabinet, LDP memperoleh lebih 60% dari kursi di House of Representative. Tetapi sejak pelantikan Nakasone, hanya sekedar 50 sampai 55%. Dalam pemilihan bersama (Majelis Tinggi dan Majelis Rendah) tahun 1986, LDP memimpin dan memperoleh 60% suara. Ideologi dan politik LDP adalah fleksibel, sebagaimana diharapkan oleh suatu aliansi. Pada waktu didirikan, ciri-ciri/karakteristik LDP mash belum jelas/ masih samar-samar yaitu sebagai : 1. a national political party 2. an advocate of pacifism 3. a democatic party that “rejection both communism and class-oriented socialism” 4. a party that respects the parliementary system, 5. a prograssive party , and 6. a force aiming for the realization of welfare state (Kishimoto Koichi, 1988 : 95) Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 445 ISSN 08532265 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) Sebagai partai terbesar dan terkuat di Jepang, dalam tubuh LDP ada konflikkonflik kepentingan antar faksi dalam memperjuangkan kepentingannya/ pandangannya masing-masing. Hal ini biasanya terjadi pada waktu pemilihan pemimpin/ketua LDP, yang berdasarkan kekuatan relatif masing-masing faksi. Masing-masing faksi mempunyai pengembangan organisasi yang maju, yang antara lain meliputi kebijakan dan hubungan publik. Akan tetapi dalam menghadapi kelompok-kelompok lain/partai lain, faksi –faksi LDP akan bersatu menyatakan suara LDP (bukan suara faksi), sehingga ada yang mengatakan LDP sebagai koalisis faksi-faksi. Walaupun banyak tantangan–tantangan dan tugas-tugas yang berat, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional (luar negeri) di bidang perdagangan, keamanan dan kerjasama politik, LDP tetap merupakan partai terkuat dan terbesar serta sangat berperan dalam perumusan kebijakan di Jepang sejak terbentuknya (tahun 1955) sampai sekarang. Walaupun ada isu yang tidak baik terhadap LDP, tetapi tetap menang dalam pemilu, sebab pemilu menggunakan sistem distrik) tersebut, faksi mempunyai peranan yang sangat penting sekali, sebab faksi mampu menjamin hubungan antara partai dengan para pemilih(yang tidak lain para pendukung faksi). Dalam pemilihan umum (anggota Diet) ini, para calon anggota Diet dari LDP dalam Distrik yang sama saling bersaing satu sama lain untuk merebut kursi parlemen (Diet). Para calon anggota Diet tersebut, tidak dapat mengandalkan semata-mata pada dukungan partai tetapi harus mencari dukungan dari faksi-faksi dan kelompok-kelompok perseorangan/individu. Dengan demikian, adanya sistem distrik dan faksi-faksi dalam tubuh LDP merupakan alat permainan untuk mempertahankan dan meningkatkan dominasi LDP (sebagai partai konservatif) dalam Diet. Sistem Pemerintahan Jepang Jepang membatasi menganut sistem kekuasaan Kaisar negara monarki Jepang. Sebagai konstitusional yang kepala negara sangat seremonial, kedudukan Kaisar Jepang diatur dalam konstitusi sebagai "simbol negara dan pemersatu rakyat". Kekuasaan pemerintah berada di tangan Perdana Menteri Jepang dan anggota terpilih Parlemen Jepang, sementara kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat Jepang. Kaisar Jepang bertindak sebagai kepala negara dalam urusan diplomatik. Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 446 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 Parlemen Jepang adalah parlemen dua kamar yang dibentuk mengikuti sistem Inggris. Parlemen Jepang terdiri dari Majelis Rendah danMajelis Tinggi. Majelis Rendah Jepang terdiri dari 480 anggota dewan. Anggota majelis rendah dipilih secara langsung oleh rakyat setiap 4 tahun sekali atau setelah majelis rendah dibubarkan. Majelis Tinggi Jepang terdiri dari 242 anggota dewan yang memiliki masa jabatan 6 tahun, dan dipilih langsung oleh rakyat. Warganegara Jepang berusia 20 tahun ke atas memiliki hak untuk memilih. Kabinet Jepang beranggotakan Perdana Menteri dan para menteri. Perdana Menteri adalah salah seorang anggota parlemen dari partai mayoritas di Majelis Rendah. Partai Demokrat Liberal (LDP) berkuasa di Jepang sejak 1955, kecuali pada tahun 1993. Pada tahun itu terbentuk pemerintahan koalisi yang hanya berumur singkat dengan partai oposisi. Partai oposisi terbesar di Jepang adalah Partai Demokratik Jepang. Perdana Menteri Jepang adalah kepala pemerintahan. Perdana Menteri diangkat melalui pemilihan di antara anggota Parlemen. Bila Majelis Rendah dan Majelis Tinggi masing-masing memiliki calon perdana menteri, maka calon dari Majelis Rendah yang diutamakan. Pada praktiknya, perdana menteri berasal dari partai mayoritas di parlemen. Menteri-menteri kabinet diangkat oleh Perdana Menteri. Kaisar Jepang mengangkat Perdana Menteri berdasarkan keputusan Parlemen Jepang[, dan memberi persetujuan atas pengangkatan menteri-menteri kabinet. Perdana Menteri memerlukan dukungan dan kepercayaan dari anggota Majelis Rendah untuk bertahan sebagai Perdana Menteri. Bentuk Parlemen Jepang Kokkai adalah nama parlemen Jepang. Parlemen Jepang terdiri dari dua majelis:Majelis Rendah Jepang ( shūgi'in) dan Majelis Tinggi Jepang ( sangi'in). Kedua majelis dipilih secara langsung melalui sistem pemilihan paralel. Di samping memutuskan undang-undang, Kokkai bertanggung jawab memilih Perdana Menteri Jepang. Menurut Konstitusi Jepang, Kokkai adalah "aparatur kekuasaan negara tertinggi" dan "satu-satunya aparatur negara yang menciptakan undang-undang" di Jepang. Selain undang-undang, anggota parlemen juga bertugas dalam menyetujui anggaran negara dan meratifikasi perjanjian negara. Jumlah anggota tidak ditetapkan. Majelis Rendah mempunyai 480 anggota (sejak tahun1996) yang bertugas selama empat tahun. Meskipun begitu, majelis ini Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 447 ISSN 08532265 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) dapat dibubarkan kapanpun juga jika sang perdana menteri memutuskan untuk mengadakan pemilu sebelum berakhirnya masa tugas. Majelis Tinggi mempunyai 242 anggota yang bertugas selama enam tahun. Keanggotaan parlemen terbuka kepada warga Jepang yang berusia sekurangnya 25 tahun (untuk Majelis Rendah) dan 30 tahun (untuk Majelis Tinggi). Kaisar Akihito adalah Kaisar Jepang yang sekarang. Kaisar Akihito naik takhta sebagai kaisar ke-125 setelah ayahandanya, Kaisar Hirohito mangkat pada 7 Januari 1989. Upacara kenaikan tahta Kaisar Akihito dilangsungkan pada 12 November 1990. Putra Mahkota Naruhito, menikah dengan Putri Mahkota Masako yang berasal dari kalangan rakyat biasa, dan dikaruniai anak perempuan bernama Aiko (Putri Toshi). Adik dari Putra Mahkota Naruhito bernama Pangeran Akishino, menikah dengan Kiko Kawashima yang juga berasal dari rakyat biasa. Pangeran Akishino memiliki dua anak perempuan (Putri Mako dan Putri Kako), serta anak laki-laki bernamaPangeran Hisahito. Partai Politik dan Pemilu di Jepang Sejak diberlakukannya konstitusi baru pada tahun 1947, terdapat tiga partai besar yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum, yaitu Partai Liberal (Jiyuto), Partai Sosialis (Shakaito) dan Partai Demokrat (Minshuto). Pada tahun 1955, dua partai berhaluan konservatif kanan, Jiyuto dan Minshuto, melebur menjadi satu partai yang dominatif hingga tahun 1993, Partai Demokrat Liberal (Jiyu Minshuto, Jiminto, Liberal Democratic Party atau LDP). Sejak periode ini, dikenal istilah Sistem 1955 (gojugonen taisei). Sistem Pemilihan Umum Tahun 1955 Sebuah sistem yang mengatur partai politik atau sistem partai di dalam sebuah negara dapat didefinisikan sebagai pola organisasi, identitas pemilih, dan sekumpulan kebijakan elektoral yang memiliki karakteristik dan hasilnya yang membuatnya berbeda dengan sistem partai yang lain. Berangkat dari definisi ini, sistem partai politik di Jepang mungkin dapat dinyatakan memiliki keunikan dan karakteristiknya tersendiri. Keunikan dan karakteristik dari sistem partai politik di Jepang lebih kepada langkah partai agar dapat sedemikian dominan di dalam percaturan politik Jepang. Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 448 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 Dominasi LDP di dalam dinamika politik di Jepang memang tidak dapat dilepaskan dari sistem partai politik tahun 1955. Sistem ini mengatur kehidupan politik Jepang pasca-Perang Dunia Kedua. Pendudukan Amerika Serikat di Jepang pasca-Perang Dunia Kedua memang memiliki dilemanya tersendiri. Dilema ini khususnya berhubungan dengan kehidupan politik Jepang yang harus menjadi sangat bergantung dengan keinginan politik Amerika Serikat di negaranya dan wilayah Asia Timur dan Tenggara secara keseluruhan. SCAP dan GHQ ketika itu melarang semua anggota parlemen petahana di Jepang sebelum Perang Dunia Kedua untuk kembali menduduki posisinya. Hal ini menciptakan sebuah peta politik yang kembali menjadi sangat mentah dan mementalkan kekuatan politik terdahulu di Jepang. Pemilu pertama pasca-Perang Dunia Kedua diikuti hingga 267 partai politik. Sebenarnya tidak ada perubahan sistem partai politik di Jepang antara era sebelum dengan sesudah Perang Dunia Kedua, mengingat sistem partai politik Jepang sudah menjadi rigid sejak era Demokrasi Taisho. Hal ini merupakan akibat dari tidak dapat terbentuknya konsensus dalam menentukan sistem partai politik yang ideal di masa pendudukan Amerika Serikat, sehingga sistem pemilihan umum yang digunakan masih menggunakan sistem partai politik yang lama. Akan tetapi yang membuat tahun 1955 menjadi sangat penting adalah terbentuknya kekuatan dua partai di Jepang pada tahun itu. Kekuatan dua partai inilah yang sebelumnya belum pernah terjadi di Jepang bahkan di era sebelum Perang Dunia Kedua. Pada dasarnya Jepang memang merupakan sebuah negara multi-partai, namun dua partai ini merupakan partai politik yang paling dominan saat itu. Di dalam sistem pemilihan umum tahun 1955, kebijakan elektoral yang digunakan ialah penggunaan metode single non-transferable vote (SNTV). Penggunaan metode ini berarti di dalam setiap distrik sebuah partai politik diharuskan untuk mencalonkan lebih dari satu calon. Pemilihannya akan sangat difokuskan kepada pemilihan calon-calon individu ini ketimbang kepada partai politik itu sendiri. Banyak pengamat yang beranggapan partai LDP sangatlah diuntungkan dengan sistem ini dikarenakan posisi partai ini sebagai pemerintah sangat memudahkan bagi anggota-anggotanya dikenal oleh masyarakat Jepang ketimbang partai Sosialis yang kurang dikenal individu-individu anggotanya. Kiprah Dominan LDP Sebelum 1993 Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 449 ISSN 08532265 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) Melalui sistem yang telah berlangsung sejak tahun 1955, LDP memiliki kemampuan sebagai partai yang hegemonik dalam tatanan pemerintahan Jepang selama 38 tahun, sebelum akhirnya dikalahkan melalui koalisi partai-partai lawan yang berhasil meraih kursi mayoritas pada tahun 1993, ditambah skandal-skandal yang mencoreng nama baik LDP sebagai partai yang sukses mengangkat Jepang dari ‘puing-puing’ sisa Perang Dunia kedua. Kiprah LDP selama 38 tahun di pemerintahan Jepang yang sangat dominatif ini acapkali membuat istilah baru yang dinamakan ichi to-ni bun’no ichi seito-sei (sistem satu-setengah partai), mengingat hasil perolehan suara yang didapatkan oleh LDP tidak dapat ditandingi oleh partai lain, meskipun sudah berkoalisi, dan hanya menghasilkan setengah dari hasil suara LDP. Hal ini juga didukung oleh sistem SNTV yang mampu menjadikan partai-partai diluar LDP menjadi kurang dominan selama 38 tahun. Di sisi lain, LDP telah membentuk sebuah jaringan kuat yang dinamakan tetsu no sankaku chitai atau segitiga besi yang dihuni oleh partai berkuasa LDP dengan keiretsu (pebisnis) dan birokrasi sebagai penopangnya. Hegemonic party system atau one-party dominant system akhirnya tercipta di dalam pola politik Jepang. Hegemonic party system tercipta ketika ada satu partai politik yang berhasil memenangkan hampir seluruh atau bahkan seluruh pemilihan umum yang telah diselenggarakan suatu negara dalam kondisi yang kompetitif. Dalam kasus perpolitikan di Jepang, Partai Liberal Demokrat yang berdiri dari fusi antara dua partai konservatif, Partai Liberal dan Partai Demokrat pada tahun 1955, berhasil menguasai pemerintahan selama 38 tahun dengan cara yang legitimatif, setidaknya dalam perspektif demokrasi. Kemunduran Dominasi LDP dan Reformasi Sistem Pemilihan Umum Tahun 1993 Dimensi politik yang sangat memusatkan perhatiannya pada pertumbuhan ekonomi, ternyata memiliki dampak buruknya bagi LDP. Kemajuan ekonomi di Jepang di masa 1960-1980an ternyata telah membawa banyak elit politik LDP menjadi korup dan banyak melakukan persekongkolan dengan kalangan pengusaha. Kebiasaan para elit politik LDP ini mulai terlihat dengan jelas oleh masyarakat Jepang pada tahun 1980an yang mulai mendorong keinginan masyarakat untuk tidak lagi mempertahankan dominasi LDP di dalam kokkai. Masyarakat Jepang yang sebelumnya bersifat konservatif dan mengedepankan Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 450 ISSN 08532265 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) status-quo, kini berubah dan mendukung adanya reformasi dan berakhirnya dominasi LDP. Kecurigaan masyarakat semakin menjadi-jadi ketika terbongkarnya skandalskandal yang menyangkut anggota-anggota LDP. Merosotnya dominasi LDP mulai menjadi kenyataan pada tahun 1989 di saat kekalahan LDP pada pemilihan majelis tinggi di parlemen. Pada tahun ini pula partai Sosialis Jepang mulai merestrukturisasi sistem internalnya. Puncaknya pada tahun 1993 LDP untuk pertama kalinya tidak mampu meraih kursi lebih dari empat puluh persen di kokkai. Hal ini juga disebabkan oleh banyaknya faksi-faksi yang terdapat di dalam LDP. Jadi dapat dilihat bagaimana ketika Shakai Minshuto mulai memperkuat struktur internalnya, justru LDP yang jatuh menuju jurang perpecahan di antara habatsuhabatsu yang ada. Habatsu-habatsu yang ada di dalam LDP ini pun perlahan-lahan mulai menunjukkan tanda-tanda perpecahan. Perpecahan di dalam LDP terbukti di kala pasca-pemilihan umum tahun 1993, menghasilkan tiga partai politik baru yang dibentuk oleh para anggota-anggota LDP terdahulu. Partai-partai tersebut adalah Shinshinto (New Frontier Party atau NFP, yang pada tahun 1998 menjadi Minshuto atau DPJ), Shinseito dan Shinto Sakigake. Reformasi Pemilihan Umum Jepang Reformasi pemilihan umum di Jepang banyak dinyatakan sebagai bentuk kejenuhan rakyat dan partai politik di Jepang dengan dinamika politik yang sangat statis dengan hanya satu partai dominan LDP. Kejenuhan ini apalagi disebabkan oleh banyaknya tindak korupsi yang dilakukan oleh para elit pemerintahan yang dipimpin oleh LDP. Berubahnya peta kekuatan partai politik di Jepang kemudian mulai memunculkan ide untuk mereformasi sistem partai politik di Jepang. Meskipun LDP masih merupakan pemegang kursi mayoritas dan pemimpin koalisi pemerintahan pasca-pemilhan umum tahun 1993, posisi LDP sudah semakin melemah dan kemudian menjadi tidak berdaya dalam menolak tuntutan untuk mereformasi sistem partai politik. Akhirnya, pada tahun itu pula shugi-in kokkai meloloskan berbagai undang-undang untuk mereformasi sistem pemilihan umum. Sistem yang baru ini memiliki tiga tujuan utama yaitu, mengurangi biaya kampanye dan kemungkinan terjadinya korupsi, menggantikan sistem pemilihan Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 451 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 yang individu-sentris menjadi partai-sentris, dan juga untuk menciptakan alternatif baru di dalam sistem parlementarian Jepang. Jika melihat dari tujuan yang hendak dibawa, implikasi yang akan terjadi tentu dapat ditebak akan mengubah metode pemilihan umum menjadi lebih terpusat lepada posisi partai politik. Reformasi di dalam metode pencalonan di dalam pemilihan umum memang terjadi, namun tidak sepenuhnya reformasi ini terjadi. Dengan berbagai macam kompromi politik dengan banyak kekuatan-kekuatan partai politik, akhirnya sistem yang dipilih ialah memperkecil wilayah kandidat meskipun tetap bersifat individual (Single-member District atau SMD) dan menambahkan satu jenis pencalonan lagi yaitu perwakilan proporsional yang ditujukan untuk terbentuknya kelompok oposisi yang baik. Sistem ini disebut mixed member sistem yang meletakan kekuatan pencalonan untuk dipecah menjadi dua bentuk. Dalam perjalanannya, sistem ini berhasil mengurangi dominasi LDP dan memperkuat posisi oposisi di Jepang. Hasil pemilihan umum sejak pemilihan umum tahun 1993 hingga 2009 juga membawa LDP tidak pernah lagi mencapai hasil di atas empat puluh persen pada pemilu majelis rendah hingga kini. Posisi oposisi yang kuat ini kemudian terbukti mampu membuat dinamika politik di Jepang menjadi sangat dinamis dan seringkali berhasil menjatuhkan para perdana menteri dari LDP. Hingga pada akhirnya pada tahun 2009, DPJ, partai politik oposisi paling kuat mampu memenangkan pemilihan umum dan menjadi partai berkuasa. Posisi ini memang membuat partai politik menjadi sangat rentan dengan posisinya, namun kondisi ini justru juga membawa dampak positif dengan semakin memperkuat posisi kepengurusan pusat partai dan melemahkan faksi-faksi yang ada. Melemahnya faksi-faksi tersebut juga didorong oleh semakin bersatunya faksifaksi yang ada di dalam setiap partai politik. Apalagi kehadiran sistem SMD dan Proportional Representation (PR) di dalam sistem pemilihan umum 1993, telah mempersulit munculnya pengaruh habatsu di dalam setiap pemilihan umum. Dampak reformasi sistem pemilihan umum ini juga mempengaruhi tingkatan anggota parlemen yang terpilih kembali. Meskipun dengan sistem 1955, tingkatan anggota parlemen yang terpilih kembali sudah tinggi dengan tingkatan 82%, setelah reformasi dilaksanakan tingkatan ini justru lebih meningkat. Dapat dimengerti fenomena ini disebabkan oleh metode SMD dan PR yang berusaha memperkuat posisi partai politik ketimbang individu yang pada gilirannya membawa partai politik juga semakin mempertahankan elit-elitnya untuk tetap duduk di parlemen. Dengan Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 452 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 implikasi ini, pemerintahan koalisi pun semakin sering terjadi pasca-reformasi sistem pemilu 1993 bila dibandingkan sebelum 1993. Penutup Ditinjau dari faktor historis, perjalanan demokrasi di Jepang sudah berjalan seiringan dengan Restorasi Meiji itu sendiri. Kerap kali demokrasi di Jepang dihambat oleh militeristik, sebelum akhirnya ‘dilindungi’ oleh konstitusi baru, Heiwa Kenpo, yang menjanjikan demokrasi yang tidak akan terinterupsi. Akan tetapi, bukan berarti tidak terdapat oligarkisme di dalam masyarakat Jepang, karena ‘segitiga besi’ yang dihuni oleh partai berkuasa, LDP dengan birokrasi dan pebisnis sebagai penopang menjadikan partai-partai oposisi dikerdilan selama tiga dekade lebih. Perubahan kini telah terlihat di Jepang sejak kekalahan LDP, namun kita mungkin tidak dapat berharap bahwa segitiga besi ini akan hilang, karena di dalam negara yang menghargai harmonitas dan hierarki sosial, kasus semacam itu tidak akan mudah hilang dalam masyarakat. Menjadi sebuah perjalanan yang unik bagi negara di demokrasi di dunia ketika sebuah partai berkuasa lebih dari tiga dekade tanpa interupsi. Kasus semacam ini juga tidak menjadi monopoli bagi negara-negara Asia saja, mengingat kasus serupa juga terjadi di Italia dan Israel. Dengan kekalahan LDP pada pemilihan umum tahun 1993, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam sistem perpolitikan dan pemilihan umum di Jepang. Meskipun demikian, LDP juga masih berkuasa selama satu dekade ke depan, meskipun harus berkoalisi, sebelum akhirnya terkalahkan oleh DPJ yang berhasil memenangkan pemilihan umum tahun 2009 atas hasil dari resesi ekonomi yang menimpa Jepang sebagai salah satu negara industri maju di dunia. Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 453 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12, NO.2 (JULI-DESEMBER 2013) ISSN 08532265 Daftar Bacaan: 1. Andrew Gordon, Post War Japan as History. (California: University of California Press, 1993), hlm. 420-432. 2. Duiker, William J.; Jackson J. Spielvogel (2006). World History, Volume II. Cengage Learning. pp. 463, 474. ISBN 0495050547., attributed to C.Nakane and S.Oishi, eds., Tokugawa Japan (Tokyo, 1990), p.14. 3. Ellis S. Krauss dan Robert Pekkanen, Explaining Party Adaptation to Electoral Reform: The Discreet Charm of the LDP? dalam The Journal of Japanese Studies, Volume 30, Number 1, Winter 2004, hal. 11-12 4. Frances McCall Rosenbluth dan Michael F. Thies, Japan Transformed: Political Change and Economic Restructuring. (Princeton dan Oxford: Princeton University Press), hal. 98. 5. Jose Antonio Crespo. The Liberal Democratic Party in Japan: Conservative Domination dalam International Political Science Review, Vol. 16, No. 2, Party Government: The Search for a Theory (Apr., 1995), hal. 202 6. Kamakura sekarang terletak di Kota Kamakura Prefektur Kanagawa 7. Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Democracy in East Asia. (Baltimore dan London: The Johns Hopkins University Press, 1998), hal.88. Bagian yang dicetak tebal merupakan undang-undang yang terkait dengan partai politik dan pemilihan umum di Jepang. 8. Mahendra Prakash, Coalition Experience in Japanese Politics: 1993-2003. (New Delhi: Jawaharlal Nehru University Press, 2004), hal. 38. 9. Michael Gallagher & Paul Mitchell, The Politics of Electoral System. (Oxford: Oxford University Press, 2005), hal. 281. 10. Ronald J. Hrebenar, Japan’s New Party System. (Colorado: Westview Press, 2000), hal. 4-5. 11. Robert A. Scalapino dan Junnosuke Masumi, Parties and Politics in Contemporary Japan. (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press, 1962), hal. 37. Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 454