6 Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Rasa Malu dan

advertisement
Bab 2
Tinjauan Pustaka
2.1
Rasa Malu dan Bersalah
2.2.1 Definisi Kecenderungan Rasa Malu dan Bersalah
Perasaan malu dan bersalah muncul sebagai akibat dari perbuatan menyimpang
yang dilakukan seorang individu (Cohen, Insko, Panter, Wolf, 2011). Tangney
(2003) dalam Cohen et al. (2011) memaparkan bahwa rasa malu dan bersalah
merupakan emosi yang muncul dari kesadaran diri dari evaluasi dan introspeksi diri.
Rasa malu dan bersalah, muncul sebagai bentuk emosi yang berbeda pada individu.
Berdasarkan pandangan perilaku diri (self-behavior) yang dikemukakan oleh Tracy
dan Robins (2004) dalam Cohen et al. (2011), perasaan bersalah muncul ketika
seseorang membuat refleksi mengenai perilaku spesifik yang tidak sesuai atau
menyimpang dengan perilakunya sehingga mengakibatkan munculnya perasaan
negatif mengenai perilaku yang dilakukan. Sementara itu, rasa malu muncul ketika
seseorang membuat refleksi yang bersifat stabil dan global mengenai dirinya
sehingga mengakibatkan munculnya perasaan negatif mengenai diri secara global
(Cohen et al. 2011). Pandangan lainnya yang turut mengulas perbedaan mengenai
rasa malu dan bersalah adalah pandangan umum-pribadi (public-private) yang
dikemukakan oleh Combs, Campbell, Jackson, dan Smith (2010) dalam Cohen et al.
(2011). Pandangan ini melandaskan pandangan antropologi dalam pembahasannya.
Menurut pandangan ini, perasaan bersalah diasosiasikan dengan perasaan pribadi
bahwa seseorang telah melakukan hal yang salah dan bertentangan dengan hati
nuraninya. Sebaliknya, perasaan malu merupakan perasaan negatif yang muncul
ketika seseorang melakukan kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka
umum (Cohen et al. 2011).
2.2.1 Dimensi kecenderungan rasa malu dan bersalah
Cohen et al. (2011) menyatakan terdapat beberapa dimensi rasa malu dan
bersalah, yaitu:
Kecenderungan perasaan malu dan bersalah disusun oleh dua dimensi utama,
yaitu dimensi kecenderungan rasa malu (Shame) dan dimensi kecenderungan rasa
bersalah (Guilt) (Cohen et al. 2011). Setiap dimensi terdiri dari 2 indikator.
6
7
Dimensi kecenderungan perasaan bersalah memiliki 2 indikasi, yaitu evaluasi
perilaku negatif (Negative Self Evaluation) dan perbaikan diri (Repair). Hubungan
yang terjadi antara aspek evaluasi terhadap perilaku negatif dan perbaikan diri
menjelaskan bahwa individu dengan kecenderungan untuk mengevaluasi perilaku
yang negatif turut memiliki kecenderungan untuk melakukan perbaikan diri.
Dimensi rasa malu terdiri dua indikator, yaitu menarik diri (Withdrawal) dan
mengevaluasi
diri
secara
negatif.
(Negative
Self
Evaluation)
Indikator
pengevaluasian diri secara memiliki hubungan dalam arah yang negatif dengan
kedua indikator perasaan bersalah, yakni indikator repair dan Negative Self
Evaluation.
2.2.1 Faktor yang mempengaruhi rasa malu dan bersalah
Tangney dan Dearing (2002) dalam Cohen et al. (2011), memaparkan bahwa
kepribadian merupakan aspek yang mempengaruhi kecenderungan munculnya rasa
malu dan bersalah. Misalnya, individu dengan kepercayaan diri yang tinggi akan
cenderung merasa malu dibandingkan bersalah ketika melakukan perbuatan yang
menyimpang, seperti korupsi. Sebaliknya, individu dengan empati cenderung tinggi
akan cenderung merasa bersalah dibandingkan malu (Cohen et al. 2011).
2.2.1 Dampak dari rasa malu dan bersalah
Schmader dan Lickel (2006) dalam Cohen, Wolf et al. (2011) mengatakan bahwa
sama seperti rasa bersalah, perasaan malu juga memiliki kecenderungan untuk
menimbulkan perbaikan perilaku, namun dapat juga menyebabkan seseorang
menjadi menarik diri.
2.2
Machiavellianisme
2.2.1 Definisi Machiavellianisme
Machiavellianisme merupakan gabungan dari beragam sikap dan perilaku
menipu dan manipulatif (Kessler, 2010)
Machiavellianisme sering juga diidentikkan sebagai istilah umum untuk suatu
sikap individu yang melakukan tindakan berupa mengambil setiap keutungan untuk
8
diri sendiri tanpa memperhatikan hak atau klaim dari individu atau masyarakat
(Kolb, 2008)
2.2.2 Variabel Machiavellianisme
Berdasarkan teori Dahling (2009) yang menyatakan bahwa perilaku
machiavellian terbagi menjadi 4 dimensi, yaitu :
1. Distrust of others – Persepsi dengan memandangan negatif akan motivasi
dan keinginan individu lain, dengan terfokus pada efek negatif dari
motivasi dan keinginan individu lain yang dapat mempengaruhi keinginan
pribadi.
2. Desire for status – Keinginan untuk mendapatkan indikator eksternal
akan kesuksesan, seperti posisi pekerjaan yang tinggi.
3. Desire for Control – Keinginan untuk berada pada posisi sebagai
pendominasi pada situasi – situasi interpersonal untuk meminimalisir
kemungkinan
individu
lain
memegang
kekuasaan
yang
dapat
membahayakan dirinya.
4. Amoral manipulation – Keinginan untuk melanggar nilai nilai moral dan
etika untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri dari kerugian
individu lain.
2.2.3 Penyebab dan Akibat Machiavellianisme
Dalam perkembangannya, timbulnya Machiavellianism merupakan dampak dari
beberapa hal, antara lain karena budaya dari organisasi itu sendiri (Singhapakdi,
1993), pengaruh dari atasan (Den Hartog, 2012), kepribadian individu, bagaimana
Locus of Control individu tersebut (Latif, 2000)
Sifat Machiavellianisme dalam diri individu juga menimbulkan berbagai akibat
pada kepribadian individu itu sendiri. Individu dengan tingkat Machiavellianisme
yang tinggi pada umumnya akan memiliki tingkat external locus of control yang kuat
(Latif, 2000), keterikatan terhadap pekerjaan rendah, dan kecenderungan berperilaku
etis yang lebih rendah (Singhapakdi, 1993).
9
2.3
Self – Monitoring
2.2.1 Definisi Pemantauan Diri (Self – Monitoring)
Snyder (dalam O’neill, 2011) mengemukakan bahwa pemantauan diri adalah
kemampuan individu untuk mengukur situasi sosial yang sedang dihadapi dan
menunjukkan perilaku yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Santrock (2004) berpendapat bahwa pemantauan diri adalah Sifat yang
memperhatikan kesan orang lain terhadap diri sendiri disertai dengan usaha yang
dilakukan untuk mendapatkan kesan tersebut secara maksimal
Dapat disimpulkan bahwa pemantauan diri merupakan sifat individu, dimana
individu cenderung untuk mendapatkan kesan baik akan dirinya dari lingkungan
sosialnya dengan menunjukkan tingkah laku yang diterima pada situasi sosial yang
sedang dialami.
2.2.1 Dimensi dari Self – Monitoring
Lennox dan Wolfe (1984) mengembangkan teori dari Snyder (1974) dan
mengatakan bahwa Self-monitoring terdiri dari 2 dimensi, yaitu:
a) Ability to modify Self Presentation, dimana hal tersebut
menggambarkan kemampuan seseorang untuk melakukan halhal yang dianggap mampu memberikan kesan diri yang
terbaik.
b) Sensitivity to expressive behavior of others, dimana hal
tersebut menggambarkan bagaimana tingkat sensitivitas
individu akan ekspresi dari individu lain mengenai dirinya
Hal ini menunjukkan bahwa individu dengan kecenderungan Self –
Monitoring yang tinggi cenderung lebih peka terhadap kesan individu lain terhadap
dirinya, sehingga hal ini turut mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk
berperilaku adaptif terhadap beragam kondisi yang memungkinkan baginya untuk
mendapatkan kesan terbaik dari individu lain.
10
2.2.1 Penyebab dan Akibat dari Self – Monitoring
Tinggi atau rendahnya tingkat pemantauan diri seseorang pun dapat disebabkan
oleh banyak pihak, antara lain dukungan keluarga, kadar kelekatan pada keluarga,
dan perbedaan pandangan akan keluarga berdasarkan gender (Schoenrock, 1999).
Snyder dan Gangestad (2000) mengatakan bahwa seseorang dengan tingkat Selfmonitoring yang tinggi akan memiliki tingkat kepedulian akan diri yang tinggi
dengan menunjukkan perilaku yang dianggap sesuai dengan kondisi yang dialaminya
pada saat tersebut. Tingkat Self-monitoring yang tinggi akan memunculkan beberapa
perilaku, diantaranya seperti menunjukkan perilaku pragmatis dengan sempurna,
bersedia dan mampu untuk menunjukkan sesuatu dengan tujuan untuk membuat
orang lain terkesan. Di samping itu, individu dengan tingkat Self-monitoring yang
tinggi mempercayai bahwa penampilan mereka akan menjadi realita sosial yang ada,
serta pada umumnya mereka merupakan individu yang lebih fleksibel dalam hal
prinsip.
Dalam hal sosial, seseorang dengan tingkat Self-monitoring yang tinggi pada
umumnya akan membangun hubungan sosial dengan individu lain yang berhubungan
dengan tujuan dari aktivitasnya. Adapun individu lain yang dipilih untuk menjadi
partner sosialnya merupakan individu yang memiliki kemampuan terbaik dari
aktivitas yang menjadi tujuan orang tersebut.
11
2.4
Kerangka Berpikir
Pemantauan diri
(Self - Monitoring)
- Ability to
Modify Self
Presentation
- Sensitivity to
Expressive
Behavior to
Other
Machiavellianisme
- Distrust of
Other
- Amoral
Manipulation
- Desire for
Status
- Desire for
Control
Kecenderungan Rasa Malu
dan Bersalah
- Shame
o Negative self
Evaluation
o Withdrawal
- Guilt
o Negative
Behavior
Evaluation
o Repair
Self-monitoring atau pemantauan diri, dapat dikatakan sebagai suatu sifat
dimana individu menaruh perhatian secara khusus, dalam kuantitas tertentu terhadap
kesan akan dirinya menurut persepsi orang lain, dan melakukan cara cara tertentu
untuk menghasilkan kesan terbaik dari orang lain.(Snyder & Gangestad, 1986)
Individu dengan level Self-monitoring yang tinggi akan cenderung melakukan
hal-hal yang dianggap dapat memberikan citra diri yang baik, dan mencoba untuk
tidak terlibat dengan hal-hal yang dapat memberikan citra diri yang buruk.
Ketika terlibat dengan suatu hal yang dianggap memberikan citra buruk bagi
dirinya, dan diketahui oleh orang lain yang berkaitan dengan dirinya, individu
dengan tingkat Self-monitoring yang tinggi cenderung akan merasa malu (shame)
lebih dalam akibat perbuatannya tersebut dibandingkan dengan orang lain.
Menanggapi timbulnya perasaan malu tersebut, secara psikologis individu
tersebut akan merasa bersalah (guilt) dan mengembangkan perilaku introspeksi akan
perbuatannya (Rotenberg, Hewlett, & Siegwart, 2012).
Self – Monitoring sendiri diindikasikan dengan aspek perilaku Ability to Modify
Self Presentation dan Sensitivity to Expressive Behavior to Other.
12
Perilaku Ability to Modify Self Presentation sendiri merupakan kecenderungan
indvidu untuk menyesuaikan kesan akan dirinya dengan ekspektasi individu akan
dirinya. (Lennox, 1984)
Timbulnya reaksi berkelanjutan dari perilaku yang dianggap memberikan citra
negatif tersebut, akan mendorong individu untuk menghindari perilaku yang
dianggap menyimpang dan memberikan citra buruk tersebut. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa kecenderungan Ability to Modify Self Presentation pada
individu, akan berkorelasi secara positif dengan aspek perilaku Negative Behavior
Evaluation dan Negative Self Evaluation. Hubungan ini turut mempengaruhi aspek
perilaku Repair dan Withdrawal, sehingga individu dengan kecenderungan Ability to
Modify Self Presentation yang tinggi akan memiliki kecenderungan perilaku Repair
dan Withdrawal yang tinggi pula.
Aspek perilaku Sensitivity of Expressive Behavior to Other sendiri merupakan
kecenderungan individu dalam bentuk kepekaan akan ekspresi individu yang akan
dirinya, dimana hal tersebut berkaitan dengan penilaian individu tersebut dengan
dirinya (Lennox, 1984).
Individu dengan kecenderungan Sensitivity to Expressive Behavior yang tinggi
akan cenderung memperhatikan bagaimana penilaian individu lain akan dirinya,
dimana hal ini berarti individu dengan Sensitivity to Expressive Behavior yang tinggi
akan memiliki kecenderungan aspek perilaku Negative Behavior Evaluation dan
Negative Self Evaluation yang tinggi puladikarenakan kepekaan individu tersebut
dalam merasakan penilaian individu lain akan dirinya. Hubungan dalam arah positif
antara aspek Sensitivity to Expressive Behavior dengan aspek perilaku Negative
Behavior
Evaluation
dan
Negative
Self
Evaluation
turut
mempengaruhi
kecenderungan individu pada aspek perilaku Withdrawal dan Repair
Namun, menanggapi hal tersebut, penulis merasa bahwa pengaruh tingkat Selfmonitoring seseorang terhadap rasa malu dan bersalah seseorang masih harus dikaji
lebih lanjut mengingat bagaimana perasaan malu dan bersalah seseorang masih erat
terkait dengan konteks-konteks yang sifatnya subjektif misalnya : faktor lingkungan,
atau nilai-nilai yang dipelajari.
Sementara itu, dalam perilaku sehari-hari, perilaku menghalalkan segala cara
demi kepentingan pribadi merupakan hal yang umum terjadi. Dalam psikologi
sendiri Machiavellianism diartikan sebagai perilaku menghalalkan segala cara demi
memenuhi keinginan atau dorongan individu (Ruthman & will, 2011). Individu
13
dengan tingkat Machiavellianism yang tinggi juga dikatakan memiliki rasa menyesali
suatu tindakan yang dianggap menyimpang lebih rendah daripada orang lain.
Aspek perilaku Machiavellianisme sendiri dibagi menjadi 4 dimensi yaitu
Amoral Manipulation, Distrust of Others, Desire for Control, dan Desire for Status.
Aspek perilaku Amoral Manipulation sendiri merupakan kecenderungan
individu untuk mengabaikan standar moral dan etika, Distrust of Others merupakan
kecenderungan individu untuk menghindari individu lain dikarenakan adanya
persepsi negatif akan individu lain, Desire for Control merupakan kebutuhan
individu akan posisi sebagai pendominasi, dengan tujuan untuk menghindari dari
kemungkinan akan dominasi individu lain, dan Desire for Status yang merupakan
kebutuhan individu akan suatu status, dimana status dianggap merupakan lambing
dari kesuksesan. Hal ini menunjukkan bahwa individu dengan kecenderungan
Machiavellianisme yang tinggi, maka akan memiliki kecenderungan Negative
Behavior Evaluation dan Negative Self Evaluation yang rendah. Hal ini turut
mempengaruhi kecenderungan aspek perilaku Repair dan Withdrawal, dalam arah
yang negatif pula.
Dalam hal ini, ketika melakukan suatu tindakan yang menyimpang, individu
tersebut tidak akan terlalu merasa malu (shame) pada tindakan yang telah
dilakukannya.
Dapat disimpulkan, bahwa individu dengan tingkat Machiavellianism yang
tinggi akan memiliki korelasi negative dengan kecenderungan rasa malu dan bersalah
dari individu tersebut.
Download