BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Perbandingan Sosial Setiap individu baik disadari maupun tidak disadari secara terus menerus terlibat dalam perbandingan sosial. Setiap kali dihadapkan dengan informasi mengenai orang lain, mereka akan menghubungkan informasi tersebut dengan dirinya. Demikian juga, setiap kali individu ingin melakukan penilaian mengenai dirinya, mereka cenderung akan membandingkan dirinya dengan orang lain (Corcoran, Crusius & Mussweiler, 2011). 2.1.1 Definisi dan Motif Perbandingan Sosial Teori perbandingan sosial pertama kali dirumuskan oleh Festinger pada tahun 1950. Menurut Festinger (dalam Gibbons & Buunk,1999) perbandingan sosial adalah proses saling mempengaruhi dan perilaku bersaing dalam interaksi sosial yang ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri. Tujuan utama dari perbandingan sosial adalah untuk memperoleh informasi mengenai diri. Terdapat dua hal yang diperbandingkan dalam hubungan ini (Sarwono, 2011): a. Pendapat (opinion); b. Kemampuan (ability) Walaupun proses perbandingan untuk kedua hal tersebut sama, namun ada juga perbedaan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam perbandingan kemampuan terdapat dorongan searah menuju keadaan yang lebih baik atau kemampuan yang lebih tinggi yang tidak terdapat dalam perbandingan antar pendapat. Sehubungan dengan itu perbedaan kedua yang perlu diperhatikan adalah bahwa perubahan pendapat relatif lebih mudah terjadi dari pada perubahan kemampuan (Sarwono, 2011). Setiap orang memiliki dorongan untuk menilai pendapat dan kemampuannya sendiri dengan cara membandingkannya dengan pendapat atau kemampuan orang lain. Dengan cara itulah orang bisa mengetahui bahwa pendapatnya benar atau tidak dan seberapa jauh kemampuan yang dimilikinya (Sarwono, 2011). Dalam teori ini terdapat tiga motif yang mendasari proses perbandingan sosial, yaitu evaluation, improvement, dan enhancement. 7 8 1) Self-evaluation Baron & Byrne (2003) berpendapat bahwa manusia cenderung untuk mempertanyakan apakah dirinya baik atau buruk dengan cara melakukan selfevaluation, dan sumber informasi utama yang relevan dengan self evaluation adalah orang lain. Individu mengevaluasi dirinya dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain, karena tidak adanya perbandingan lain yang objektif (Festinger dalam Chan & Prendergast, 2007). Menurut Corcoran et al. (2011), untuk medapatkan selfknowledge yang akurat, biasanya individu akan menggunakan orang lain yang sejajar dan memiliki kesamaan dengan dirinya sebagai standar perbandingan, karena hanya orang-orang yang sama dengan dirinyalah yang dapat memberikan informasi untuk mengevaluasi diri. Definisi perbandingan sosial menurut Festinger dalam Chan & Prendergast (2007:216) adalah sebagai berikut: “Tendency of individuals to evaluate their own opinions and desire by comparing themselves to others” Dengan melihat pengertian diatas, keraguan yang ada pada individu untuk mencari tahu mana yang salah dan yang benar merupakan motif utama pada individu untuk melakukan perbandingan sosial. Seseorang memiliki kebutuhan dasar untuk mempertahankan kestabilan dan keakuratan pandangan dirinya. Oleh karena itu mereka mencari informative feedback mengenai karakteristik dan kemampuan yang mereka miliki, seseorang sangat mengandalkan standar objektif untuk melakukan selfevaluation, namun standard objektif tidak selalu tersedia atau perbandingan dengan standard terebut sulit untuk dicapai sehingga mengarahkan individu untuk melakukan perbandingan dengan orang lain (Festinger dalam Corcoran at al., 2011). 2) Self-improvement Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gibbons dan Buunk (1999) seseorang akan menggunakan informasi sosial untuk memfasilitasi self-improvement sesuai dengan hipotesanya, “unidirectional drive upward” dimana terdapat dorongan untuk melakukan perubahan yang searah, yaitu perubahan kearah yang lebih baik yang hanya terjadi dalam hal perbedaan kemampuan dan tidak terdapat dalam hal perbedaan pendapat. Hal tersebut merupakan alasan orang-orang membandingkan dirinya dengan orang lain untuk belajar lebih mengenai kemampuan yang dimiliki. Menurut Corcoran et al (2011) untuk memperoleh informasi dan petunjuk mengenai cara untuk melakukan 9 improvement, seseorang akan mencari perbandingan terutama dengan standar yang lebih tinggi, yaitu orang lain yang lebih baik dari dirinya. 3) Self-enhancement Motif berikutnya dari perbandingan sosial adalah self-enhancement. Menurut Gibbon dan Buunk (1999), tidak ada diskusi yang eksplisit dalam artikel Festinger mengenai self-enhancement, biasanya self-enhancement didefinisikan sebagai perbandingan yang ditujukan untuk meningkatkan self-esteem atau self-concept (Gibbons & Buunk, 1999). Sementara menurut Corcoran et.al., (2011) selfenhancement merupakan kebutuhan untuk mempertahankan self-image yang positif dan menyebabkan pemilihan standar perbandingan yang lebih rendah. Wills (1981) dalam Corcoran et.al., (2011) mengatakan bahwa orang-orang cenderung mencari standar perbandingan yang lebih rendah untuk meningkatkan pandangan diri mereka, tidak hanya membandingkan dengan orang lain, tetapi juga dengan diri sendiri di masa lalu. Selain itu perbandingan dengan standar yang lebih tinggi juga dapat memenuhi kebutuhan untuk meelakukan peningkatan karena memotivasi seseorang dan dapat memberikan informasi mengenai bagaimana membuat sebuah peningkatan (Bandura dalam Corcoran et.al.,2011). 2.1.2 Arah Perbandingan Sosial Menurut Baron dan Byrne (2003), terdapat dua tipe perbandingan sosial yaitu perbandingan sosial kebawah (downward social comparison) dan perbandingan sosial keatas (upward social comparison). Perbandingan sosial kebawah adalah proses membandingkan diri dengan orang lain yang lebih buruk dalam atribut-atribut tertentu. Sementara perbandingan sosial keatas adalah proses membandingkan diri dengan orang lain yang lebih baik dalam atribut-atribut tertentu. Menurut Buunk dan Gibbons (dalam Guimond, 2006) perbandingan sosial keatas cenderung memunculkan efek yang lebih positif dibandingankan dengan perbandingan sosial kebawah, dan perbandingan sosial kebawah cenderung untuk memunculkan efek yang lebih negatif daripada perbandingan sosial keatas. Efek positif atau negatif yang ditimbulkan dari perbandingan sosial keatas pada individu yang memiliki social comparison orientation tinggi menurut Buunk dan Gibbons (dalam Guimond, 2006) bergantung pada upaya yang dimiliki. Apabila perbandingan sosial 10 keatas dilakukan bersamaan dengan upaya yang kuat maka efek yang ditimbulkan akan menjadi positif, akan tetapi jika perbandingan sosial keatas dilakukan tanpa upaya yang kuat akan memunculkan efek yang negatif. Pada perbandingan sosial kebawah efek yang ditimbulkan menjadi negatif karena seseorang cenderung untuk menggambarkan situasi pada target perbandingan sebagai refleksi atas situasinya sendiri, dan secara tidak langsung ia melakukan selfevaluation terhadap situasi yang sedang dialami oleh target perbandingannya, sehingga memunculkan perasaaan khawatir dan terancam bahwa ia sama seperti target atau bahkan akan menjadi seperti target yang memiliki status lebih rendah. Selain itu, semakin tinggi tingkat burnout individu maka akan semakin negatif efek yang ditimbulkan dari perbandingan sosial kebawah. Akan tetapi kekhawatiran tersebut dapat dicegah dengan cara menjauhi secara kognitif target perbandingannya (Buunk dan Gibbons dalam Guimond, 2006). 2.1.3 Frekuensi Perbandingan Sosial Peneliti membedakan dampak dari perbandingan sosial pada berbagai self-belief yang berbeda. Pertama, perbandingan sosial relevan dengan self-concept seseorang. Sebagai contoh jika seorang siswa mendapat nilai yang lebih baik dari pada temantemannya yang lain, dan merasa lebih kompeten pada beberapa pelajaran dibandingkan dengan teman-temannya, dengan begitu positif self-evaluation telah menjadi konsekuensi dari perbandingan tersebut. Artinya, nilai yang baik dan perbandingan kebawah mengarah pada self-concept yang positif. Sementara jika seorang siswa mendapat nilai yang lebih buruk dari pada teman-temannya, dan merasa kurang kompeten dalam beberapa pelajaran dibandingkan teman-temannya, berarti ia cenderung memiliki self-concept yang negatif (Wheeler dan Miyake dalam Mooller, 2009) Hal tersebut juga terjadi pada perbandingan keatas yang dapat meningkatkan self-concept ketika seseorang yakin bahwa mereka dapat memperbaiki performanya dan dapat menyamai target perbandingannya. Disisi lain, perbandingan kebawah dapat menurunkan self-concept ketika seseorang yakin bahwa mereka bisa sama buruknya seperti target perbandingannya (Mooller, 2009) 11 Frekuensi perbandingan keatas dan perbandingan kebawah dipengaruhi oleh tingkat kinerja seseorang. Kinerja yang baik dan suasana hati yang positif memprediksi perbandingan kebawah, sedangkan kinerja yang buruk dan suasana hati yang negatif memprediksi perbandingan sosial keatas (Mooller,2009) Menurut Buunk, Zurriaga, Roma dan, Subirats (2003) seseorang yang terusmenerus menilai dirinya dibandingkan dengan orang lain dapat lebih mudah merasa kekurangan atau tidak puas, terutama ketika mereka terlibat dalam perbandingan ke sosial keatas, karena hal ini akan memberikan mereka titik acuan yang tinggi terhadap situasi mereka sendiri. Dengan demikian, semakin tinggi frekuensi seseorang untuk terlibat dalam perbandingan dengan orang lain yang melakukan hal yang lebih baik dari diri kita sendiri, maka semakin besar kemungkinan peningkatan deprivasinya. 2.2 Definisi Emosi Moral 2.2.1 Rasa Malu Rasa malu merupakan salah satu bentuk dari emosi moral, dimana emosi moral dapat memotivasi munculnya perilaku etis dan mendorong individu untuk bertindak sesuai dengan standar yang diterima baik yang benar maupun yang salah (Cohen et al.,2011). Perasaan malu akan terjadi apabila terdapat stress yang muncul sebagai dampak dari pelanggaran yang telah dilakukan. Rasa malu merupakan emosi yang terjadi dari kesadaran diri sebagai hasil dari refleksi dan evaluasi diri, rasa malu juga merupakan pendorong munculnya regulasi diri (Tracy & Robins dalam Cohen et al.,2011). Menurut Gibert (2000), rasa malu umumnya merupakan perasaan yang menyakitkan yang diasosiasikan dengan persepsi terhadap atribut pribadi (seperti bentuk atau ukuran badan), karakteristik pribadi (seperti tidak rajin, tidak jujur, atau membosankan), dan keterlibatan terhadap suatu perilaku (seperti mencuri dan berbohong). Rasa malu dapat di definisikan sebagai keadaan dimana seseorang memiliki pandangan atau perasaan yang negatif atas sifat atau perilaku yang dimiliki. Rasa malu merupakan evaluasi yang berfokus pada aspek-aspek yang diyakini bahwa orang lain akan melakukan penolakan atau penyerangan jika kesalahan yang dilakukan diketahui oleh publik dan yang menjadi fokus pada rasa malu adalah diri (Gilbert, 2000) Definisi lain dari rasa malu dapat ditinjau berdasarkan dua pandangan. Pertama adalah perilaku diri (self-behavior), dimana rasa malu muncul ketika seseorang 12 membuat atribusi internal yang bersifat stabil dan global mengenai dirinya sehingga merujuk pada perasaan negatif mengenai diri secara global. Kedua adalah ditinjau berdasarkan pandangan umum-pribadi (Public-private), dalam pandangan ini perasaan malu merupakan perasaan negatif yang muncul ketika seseorang melakukan kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka umum (Cohen et al.,2011). Dari kedua pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa rasa malu merupakan perasaan atau penilaian negatif atas perilaku yang dilakukan 2.2.1.1 Indikator Rasa Malu Cohen et, al., (2011) berpendapat bahwa terdapat dua indikator pada rasa malu, yaitu menarik diri dan mengevaluasi diri secara negatif. Indikator mengevaluasi diri secara negatif berkorelasi dengan kedua indikator perasaan bersalah, yakni indikator perbaikan diri dan evaluasi perilaku negatif. Dimensi kecenderungan mengalami Shame dapat ditunjukkan dengan adanya negative self evaluation dan withdrawal action. Keterkaitan antara kedua variabel ini dapat dijelaskan dengan individu yang memiliki kecenderungan negative self evaluation akan melakukan withdrawal action ketika pelanggaran dan kesalahan yang dilakukan telah diketahui oleh publik (Cohen et, al., 2011). Negative self evaluation adalah penilaian negatif yang dilakukan seseorang pada dirinya terhadap sifat atau perilaku yang yang dimiliki. (Cohen et al.,2011).Contohnya ketika seseorang merusak printer kantor dan tidak mengakuinya, sehingga membuatnya merasa sebagai orang yang tidak bertanggung jawab. Sementara Withdrawal Action adalah perilaku menarik diri yang dilakukan setelah kesalahan yang dilakukan diketahui oleh publik dan merupakan bentuk dari ketidak bertanggung jawaban atas kesalahn yang telah dilakukan (Cohen et al., 2011) Contoh dari withdrawal action adalah ketika individu tersebut berusaha untuk menghindari percakapan mengenai printer yang rusak tersebut 13 2.3 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Perbandingan Sosial (Arah dan Frekuensi) Emosi Moral Rasa Malu NSE WIT Berdasarkan fenomena dalam penelitian ini, perilaku tidak etis kerap kali terjadi di lingkungan perusahaan dan setiap individu memiliki peluang untuk melakukan perilaku tidak etis. Dinamika psikologis yang terjadi pada saat itu dapat dilihat dari aspek emosi moral yang dialami individu. Menurut Cohen et al. (2011), emosi moral dapat memprediksi munculnya perilaku tidak etis untuk tidak terjadi lagi. Salah satu bentuk emosi moral adalah rasa malu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tangney rasa malu merupakan emosi moral yang paling berkontribusi dalam memprediksikan perilaku tidak etis. Tinggi atau rendahnya rasa malu tidak begitu saja muncul pada diri seseorang melainkan karena adanya proses belajar yang diperoleh dari lingkungan. Proses belajar dari lingkungan itu dapat berupa pengalaman hidup seperti perbandingan sosial. Semakin tinggi kecenderungan individu untuk melihat posisinya diantara orang lain dalam hal kemampuan maupun opini dapat mempengaruhi dinamika rasa malu pada diri seseorang setelah melakukan perilaku tidak etis. Menurut Festinger (dalam Corcoran et al., 2011) motif dalam perbandingan sosial adalah peningkatan keadaan diri ketika individu melakukan perbandingan sosial keatas. Dorongan individu untuk terus melakukan peningkatan agar dapat menyamai targetnya, dapat tidak menemukan batas untuk berhenti. Secara tidak langsung situasi ini dapat memunculkan perasaan tidak puas atau deprivasi didalam dirinya, sehingga seseorang yang sering melakukan perbandingan sosial keatas akan mengabaikan rasa malu yang ada didalam dirinya setelah melakukan perilaku tidak etis. Mereka akan beranggapan bahwa rasa malu merupakan suatu hal yang tidak ada maknanya, yang terpenting untuknya adalah bisa setara dengan upward target meskipun harus melakukan perilaku tidak etis. 14 Misalnya individu A sering membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih baik. Ia melihat B yang memiliki usia dan pekerjaan yang sama dengan dirinya telah memiliki mobil pribadi, dengan begitu ia akan melakukan peningkatan di dalam dirinya untuk bisa menyamai targetnya. Setelah tercapai, individu A akan terus menemukan upward target yang ingin dicapai misalnya C yang memiliki dua mobil atau D yang memiliki tiga mobil, sehingga frekuensi perbandingan sosial yang tinggi tersebut menyebabkan A merasa tidak pernah puas akan apa yang telah dimiliki dan mendorong A untuk melakukan perilaku tidak etis seperti memanipulasi angka keuangan diperusahaan untuk dapat memenuhi perasaan tidak puas tersebut dan cenderung mengabaikan rasa malu yang dimilikinya, karena yang dipikirkan hanyalah bagaimana caranya agar ia dapat sama dengan target perbandingannya. Menurut Cohen et al. (2011) individu dengan rasa malu yang rendah ditandai dengan negative self evaluation yang rendah, kemudian diikuti dengan kecederungan withdrawal action.