Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, korupsi merupakan masalah utama yang menghantui pemerintah, instansi maupun organisasi baik dari sektor swasta maupun negeri. Menurut Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Lukman Hakim (dalam WBP, 2011), terdapat 4 faktor internal mengapa seseorang melakukan korupsi, yaitu faktor kebutuhan, dimana seseorang melakukan korupsi karena ingin mendapatkan sesuatu, namun dalam kondisi keuangan yang tidak memungkinkan, faktor tekanan, dimana seseorang melakukan tindak korupsi karena tidak mampu menolak dorongan dari lingkungan, faktor kesempatan, korupsi dilakukan karena adanya kesempatan untuk melakukannya, dan faktor rasionalisasi, dimana seseorang melakukan korupsi karena merasa kekayaan yang akan dimiliki merupakan hal yang wajar setimbang dengan jenjang posisi tertentu. Pada faktanya, korupsi, dimana merupakan hal yang dianggap melanggar hukum, seringkali dianggap sebagai perbuatan yang tidak melanggar etika dan dianggap normal. Budaya malu sendiri dianggap telah hilang, terutama pada koruptor, dimana mereka tanpa rasa malu menebar senyum pada kamera (Anti Corruption Clearing House, 2011). Selain rasa malu, para koruptor juga seringkali tidak merasa bersalah akan perbuatan mereka, seperti yang diungkapkan aktivis korupsi dari Indonesian Corruption Watch (ICW) bahwa para koruptor memberikan kesan bahwa perbuatannya bukan merupakan kejahatan pidana, padahal masyarakat menganggap bahwa perbuatan mereka melanggar norma (Haryanto, 2013). Korupsi sendiri dikatakan sebagai suatu kebanggan semu yang menutupi rasa malu dan bersalah dari tindakan tidak etis yang dilakukannya (Napitupulu, 2010). Dapat disimpulkan bahwa pelaku korupsi di Indonesia menandakan bahwa adanya defisiensi emosi moral berupa rasa malu dan bersalah ketika melakukan tindakan yang melanggar etika. Menurut Cohen, Insko, Panter, Wolf (2011) emosi moral penting untuk membatasi individu dalam berperilaku tidak etis dan anti sosial. Individu dengan emosi moral yang baik akan cenderung untuk berperilaku etis, seperti perilaku anti korupsi. Individu dengan emosi moral yang buruk akan cenderung untuk berperilaku secara tidak etis seperti korupsi. Cohen et al. (2011) turut mengatakan bahwa emosi 1 2 moral terbagi menjadi rasa malu (shame) dan rasa bersalah (guilt). Shame merupakan kecenderungan individu untuk merasa malu ketika melakukan suatu tindakan yang dianggap tidak etis, shame terdiri dari evaluasi diri negatif (Negative self evaluation atau NSE) dan menarik diri (withdrawal). Ketika seseorang memiliki kecenderungan rasa malu yang tinggi maka ketika ia melakukan kesalahan, ia akan cenderung mengevaluasi diri dan menarik diri dari lingkungan. Guilt terdiri dari evaluasi perilaku negatif (negative behavior evaluation) dan perbaikan diri (repairment). Ketika seseorang memiliki guilt yang tinggi maka ketika ia melakukan kesalahan, maka seseorang akan mengevaluasi perilaku negatif secara tinggi dan melakukan perbaikan atas kesalahan yang dilakukan secara tinggi pula. Sifat mengejar atau memperhatikan kesan diri disebut pemantauan diri (Selfmonitoring), dimana pemantauan diri berarti Sifat yang memperhatikan kesan orang lain terhadap diri sendiri disertai dengan usaha yang dilakukan untuk mendapatkan kesan tersebut secara maksimal (Santrock, 2004). Dapat dikatakan bahwa korupsi sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesan diri atau strata sosial di mata orang lain melalui materi dan kekuasaan. Millon (dalam Lengkong, 2007) turut mengemukakan bahwa individu dengan kecenderungan rasa malu dan bersalah yang rendah cenderung untuk bercitra diri tinggi, elegan mengagumkan,menjadi pusat perhatian dan terlihat pula cenderung memiliki sikap yang mengambang dan tidak tulus ketika melakukan sesuatu, serta cepat dalam mengubah sikap sesuai dengan tuntutan keadaan. Tingginya pemantauan diri ini mendorong individu memenuhi atau mencapai kesan terbaik dari orang orang disekitarnya, hal ini mendorong individu tersebut berperilaku menyimpang atau tidak etis berupa korupsi untuk mendapatkan materi maupun kekuasaan dengan tujuan mencapai prestige tersebut. Richmond (dalam Purnamasari, 2006) menemukan bukti bahwa kepribadian individu mempengaruhi perilaku etis. Richmond menginvestigasi hubungan paham Machiavellianisme yang membentuk suatu tipe kepribadian yang disebut sifat Machiavellian serta pertimbangan etis dengan kecenderungan perilaku individu dalam menghadapi dilema-dilema etika (perilaku etis) Machiavellianisme sendiri adalah suatu paham bahwa politik merupakan merupakan suatu hal yang tidak bermoral dan segala cara dapat dihalalkan dengan menggunakan kekuatan dari politik untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (MerriamWebster dictionary, 2005). Individu dengan perilaku machiavellianisme 3 menunjukkan perilaku mengabaikan nilai-nilai moral seperti kebaikan, kejujuran,dan kejujuran, serta cenderung mementingkan hasil daripada proses. Individu dengan kecenderungan Machiavellianisme yang tinggi digambarkan sebagai individu yang adaptif, direktif, dan karismatik (Deluga dalam Dahling, 2009). Dalam situasi kerja pun individu dengan kecenderungan Machiavellianisme yang tinggi cenderung untuk mengambil keuntungan dari setiap kesempatan, mencuri dari individu lain, bahkan menyelewengkan kepercayaan dari atasan individu tersebut untuk mencuri (Fehr, Samson dan Paulhus dalam Dahling, 2009). Dapat disimpulkan bahwa Machiavellianisme merupakan paham yang membenarkan bahwa segala cara dapat digunakan atau dihalalkan untuk mencapai suatu tujuan atau pembenaran akan suatu hal. Hal senada turut diungkapkan oleh Millon(dalam Lengkong, 2007) bahwa individu dengan kecenderungan untuk berperilaku melanggar norma, hukum , cenderung mencari keuntungan untuk diri sendiri tanpa memperdulikan orang lain yang tinggi, serta sangat peka akan kebutuhan diri dan tidak memperhatikan kebutuhan orang lain yang tinggi akan cenderung tidak merasa malu dan bersalah dalam melaksanakan tindakan tidak etisnya. Peneliti menyimpulkan bahwa Self Monitoring dan machiavellianisme memiliki suatu kesamaan, yaitu berupa perilaku yang cenderung mengabaikan rasa malu dan bersalah dalam rangka mencapai tujuan pribadi. Pentingnya penelitian ini adalah untuk melihat apakah pemantauan diri dan Machiavellianisme mampu memprediksikan kecenderungan rasa malu dan bersalah yang dilakukan PNS dan Pegawai Swasta di DKI Jakarta, supaya dapat membantu penanganan tindakan anti korupsi di kemudian hari. 1.2 Rumusan Permasalahan A. Apakah Machiavellianisme mampu memprediksi kecenderungan rasa bersalah berupa Negative Behavior Evaluation ? B. Apakah Machiavellianisme mampu memprediksi kecenderungan rasa bersalah berupa Repair ? C. Apakah Machiavellianisme mampu memprediksi kecenderungan rasa malu berupa Negative Self Evaluation ? D. Apakah Machiavellianisme mampu memprediksi kecenderungan rasa malu berupa Withdrawal ? 4 E. Apakah Self-monitoring mampu memprediksi kecenderungan rasa bersalah berupa Negative Behavior Evaluation? F. Apakah Self-monitoring mampu memprediksi kecenderungan rasa bersalah berupa Repair ? G. Apakah Self-monitoring mampu memprediksi kecenderungan rasa malu berupa Negative Self Evaluation ? H. Apakah Self-monitoring mampu memprediksi kecenderungan rasa malu berupa Withdrawal ? I. Apakah Self-monitoring dan Machiavellianisme secara bersama sama mampu memprediksi kecenderungan rasa bersalah berupa Negative Behavior Evaluation ? J. Apakah Self-monitoring dan Machiavellianisme secara bersama sama mampu memprediksi kecenderungan rasa bersalah berupa Repair ? K. Apakah Self-monitoring dan Machiavellianisme secara bersama sama mampu memprediksi kecenderungan rasa malu berupa Negative Self Evaluation ? L. Apakah Self-monitoring dan Machiavellianisme secara bersama sama mampu memprediksi kecenderungan rasa malu berupa Withdrawal ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Mendapatkan gambaran kemampuan prediksi pemantauan diri dan Machiavellianisme terhadap kecenderungan rasa malu dan bersalah pada Pegawai di wilayah DKI Jakarta. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk memberikan manfaat sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis a) Memperkaya penelitian mengenai prediksi pemantauan diri dan Machiavellianisme terhadap kecenderungan rasa malu dan bersalah pada Pegawai di wilayah DKI Jakarta. 5 b) Memberi gambaran prediktif mengenai pemantauan diri dan Machiavellianisme terhadap kecenderungan rasa malu dan bersalah pada Pegawai di wilayah DKI Jakarta. c) Memperkaya penelitian-penelitian lain yang berhubungan. d) Menjadi studi awal (preliminary study) untuk penelitian selanjutnya. 1.4.2 Manfaat Praktis a) Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai prediksi pemantauan diri dan Machiavellianisme terhadap kecenderungan rasa malu dan bersalah pada Pegawai di wilayah DKI Jakarta. b) Menjadi referensi bagi pembaca dalam membina pemantauan diri dan Machiavellianisme untuk membangun perilaku anti korupsi.