BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mitokondria Mitokondria merupakan salah satu organel yang mempunyai peranan penting dalam sel berkaitan dengan kemampuannya dalam menghasilkan energi bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam mitokondria berlangsung proses oksidasi zat-zat dalam makanan yang menghasilkan energi kimia dalam bentuk Adenosin Trifosfat (ATP) (Poedjiadi dan Supriyanti, 2005). Jumlah mitokondria dalam setiap sel berbeda tergantung pada jenis organisme dan jenis sel atau jaringan (Siti dkk., 2007). Contohnya, sel telur memiliki 100.000 mitokondria, sedangkan sel sperma hanya memiliki 50-100 mitokondria di bagian ekornya (Ngili, 2003). Sebagai organel penghasil energi, mitokondria banyak ditemukan pada sel-sel yang memiliki aktivitas metabolisme tinggi, seperti pada sel-sel bagian ekor sel sperma, sel otot jantung, dan sel-sel yang aktif membelah seperti epitelium, akar rambut serta epidermis kulit (Ngili, 2003). Mitokondria berbentuk bulat panjang dengan berbagai ukuran, mempunyai membran ganda, yaitu membran luar dan membran dalam. Membran dalam mitokondria membentuk lipatan-lipatan yang disebut kristae dan pada kristae ini terdapat enzim-enzim oksidase. Bagian dalam mitokondria terisi oleh zat kental yang disebut matriks (Poedjiadi dan Supriyanti, 2005), di dalam matriks ini 4 terdapat suatu DNA yang berbeda dengan DNA inti dan selanjutnya dikenal dengan DNA mitokondria (mtDNA). Secara lengkap struktur mitokondria ditunjukkan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1. Struktur mitokondria (Smelick, 2005) 2.2. DNA Mitokondria DNA mitokondria (mtDNA) merupakan DNA yang berbentuk lingkaran dengan panjang 16.569 pasang basa (pb) dan terletak di mitokondria. Urutan lengkap nukleotida mtDNA manusia pertama kali dipublikasikan oleh Anderson et al. pada tahun 1981. Genom mtDNA mengandung 37 gen yang terdiri dari gen penyandi 12S dan 16S, 22tRNA dan 13 protein sub unit kompleks enzim rantai respirasi (Anderson dalam Siti dkk., 2007). mtDNA memiliki jumlah copy yang banyak dalam tiap sel, tetapi jumlah copy tersebut sangat bervariasi tergantung jenis selnya. Peta daerah mtDNA ditunjukkan pada Gambar 2.2. 5 Gambar 2.2. Peta daerah DNA mitokondria manusia (Czarnecka et al., 2006) Secara umum, daerah mtDNA dapat dibedakan menjadi daerah pengkode (coding region) dan daerah bukan pengkode (non coding region) atau dikenal juga sebagai daerah D-loop. Coding region, merupakan daerah pengkode protein, tRNA atau rRNA. Adanya mutasi nukleotida pada daerah ini bisa menyebabkan terjadinya penyakit. Sedangkan non coding region merupakan daerah yang tidak mengkode dan mutasi nukleotida pada daerah ini tidak mengakibatkan terjadinya penyakit, atau dengan kata lain hanya menyebabkan terjadinya polimorfisme (Czarnecka et al., 2006). Analisis mtDNA menjadi objek kajian yang menarik dan penting untuk dipelajari. Hal ini disebabkan karena mtDNA memiliki karakteristik yang unik 6 jika dibandingkan dengan DNA inti. Karakteristik yang dimaksud diantaranya adalah: (a) Bentuknya yang melingkar sepanjang 16.569 pasang basa; (b) Memiliki jumlah kopi yang banyak; (c) Laju mutasi yang tinggi; dan (d) Bersifat maternal (Krings et al., 1997). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, salah satu karakteristik mtDNA adalah laju mutasinya yang tinggi. Hal tersebut antara lain disebabkan karena: Mitokondria menjadi tempat terjadinya reaksi fosforilasi oksidatif yang menghasilkan banyak radikal oksigen yang bersifat mutagen; pada mtDNA tidak ditemukan protein pertahanan seperti histon pada DNA inti (Richter et al., 1988); tidak dimilikinya proffreading oleh DNA Polymerase yang dapat mengkoreksi kesalahan-kesalahan selama proses replikasi. Karakteristik lain dari mtDNA adalah pola pewarisannya bersifat maternal. Chen et al. (2002) mengungkapkan bahwa pola urutan nukleotida mtDNA hanya diwariskan melalui garis keturunan ibu tanpa adanya kontribusi dari pihak ayah. Hal ini menyebabkan mtDNA anak akan identik dengan mtDNA ibunya. Sifat ini terjadi sebagai akibat tidak adanya rekombinasi antara mtDNA ayah dan ibu. Bukti sifat maternal mtDNA tersebut ditunjukkan oleh penelitian Giles et al. pada tahun 1980. Penelitian mtDNA pada daerah hipervariabel (HV) yang merupakan daerah paling polimorfik menunjukkan bahwa urutannya lestari secara maternal pada tujuh garis keturunan, baik untuk daerah HVI maupun daerah HVII (Ngili, 2003). Selain laju mutasi yang tinggi dan pola pewarisan yang bersifat maternal, karakteristik lain mtDNA adalah bentuknya yang melingkar sepanjang 16.569 7 pasang basa. Anderson dan koleganya telah menentukan urutan nukleotida mtDNA secara lengkap pada tahun 1981 yang selanjutnya disebut sebagai Cambridge Reference Sequence (CRS). Urutan ini kemudian direvisi oleh Andrew et al. pada tahun 1999 dan kemudian dijadikan referensi atau acuan bagi penelitian-penelitian mtDNA berikutnya dan biasa disebut revised Cambridge Reference Sequence (rCRS). 2.3. Daerah Hipervariabel I (HVI) mtDNA Manusia Daerah HVI merupakan salah satu daerah yang termasuk dalam daerah D-loop mtDNA manusia. Daerah D-loop (16024-372) ini adalah daerah yang tidak mengkode protein dan disebut control region (daerah kontrol). Selain HVI, pada D-loop terdapat daerah lain yaitu daerah hipervariabel II (HVII) yang berada pada urutan 57-372 (Ngili, 2003). Daerah HVI merupakan daerah yang menunjukkan tingkat polimorfis yang tinggi dan berada pada urutan 16024-16383 (Ngili, 2003). Tingkat polimorfisme yang tinggi pada daerah HVI menjadi salah satu penyebab penelitian terhadap daerah ini terus berkembang. Hingga tahun 1996 jumlah data urutan nukleotida daerah HVI yang telah dipublikasikan adalah sebanyak 4079 data (Handt et al., 1998). Gambar 2.3 menunjukkan peningkatan jumlah data urutan nukleotida daerah HVI dan HVII yang dipublikasikan dari tahun ke tahun hingga tahun 1996. 8 Gambar 2.3. Jumlah data urutan nukleotida daerah HVI dan HVII yang telah dipublikasi sampai tahun 1996 (Handt et al., 1998). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa daerah HVI ini memiliki laju mutasi yang tinggi. Salah satu mutasi yang mungkin terjadi adalah mutasi T16189C yang akan menimbulkan munculnya rangkaian poli-C pada urutan nukleotida daerah HVI. Mutasi tersebut menjadi salah satu tanda adanya heteroplasmi dalam sel sampel yang diteliti (Dwiyanti, 2006). Terjadinya heteroplasmi dapat mengganggu proses penentuan urutan nukleotida melalui direct sequencing sehingga urutan yang dihasilkan menjadi tidak lengkap. Heteroplasmi muncul jika di dalam sel terjadi pencampuran lebih dari satu tipe mtDNA (terdapat subpopulasi mtDNA) dengan proporsi yang relatif sama (Dwiyanti, 2006). Heteroplasmi dapat terjadi pada daerah yang mengkode dan pada daerah yang tidak mengkode. Pola panjang heteroplasmi mirip untuk individu-individu segaris keturunan ibu tetapi bervariasi untuk individu yang tidak segaris keturunan ibu (Malik et al. dalam Dwiyanti, 2006). Tingginya laju mutasi pada daerah HVI mtDNA dapat memberikan berbagai manfaat, diantaranya adalah di bidang forensik dan identifikasi 9 hubungan kekerabatan. Analisis forensik berupa tindakan identifikasi barang bukti, yang bertujuan untuk memperkirakan identitas seseorang seperti ras, umur, jenis kelamin, dan lain-lain (Ngili, 2005). Dalam analisis yang dimaksud, profil DNA sampel dibandingkan dan dicocokan dengan data-data profil DNA yang telah diketahui dari berbagai hasil penelitian sebelumnya. Pemanfaatan analisis daerah HVI mtDNA dalam identifikasi hubungan kekerabatan dapat dilakukan karena pola pewarisan mtDNA bersifat maternal. Selain itu telah dikemukakan sebelumnya bahwa pola panjang heteroplasmi yang mungkin terjadi mirip untuk individu-individu segaris keturunan ibu tetapi bervariasi untuk individu yang tidak segaris keturunan ibu. Karakteristik ini juga dapat membantu dalam perunutan hubungan kekerabatan suatu individu. 2.4. Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi rantai polimerase merupakan proses mengamplifikasi (memperbanyak) molekul DNA yang diinginkan secara in vitro (Gumilar, 2006). Produk amplifikasi tidak lain merupakan fragmen DNA yang diperpanjang oleh enzim DNA polimerase, ketika menempel pada salah satu untai templat DNA. Teknik PCR ditemukan oleh Kary B. Mullis pada pertengahan tahun 1980. Sebelum ditemukannya teknik ini, untuk memperbanyak molekul DNA dilakukan dengan teknik kloning. Untuk memperoleh hasil kloning diperlukan waktu beberapa hari. Sedangkan dengan menggunakan teknik PCR, proses amplifikasi DNA dapat dilakukan hanya dalam waktu beberapa jam saja. 10 Beberapa komponen yang harus ada agar proses PCR dapat berlangsung adalah: a) templat DNA; b) primer; c) deoksinukleotida (dNTP); d) enzim polimerase (Taq); dan e) buffer, Mg2+. Templat DNA adalah molekul DNA yang menjadi target amplifikasi. Pada proses PCR, hanya diperlukan templat dalam jumlah yang relatif sedikit. Primer merupakan oligonukleotida spesifik yang berfungsi untuk membatasi fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Dengan bantuan enzim DNA polimerase dan adanya variasi suhu, primer dapat menempel pada DNA templat dan menyalin informasi genetik berdasarkan templat tersebut. Deoksinukleotida (dNTP) berperan sebagai sumber monomer dalam proses polimerisasi fragmen yang teramplifikasi. dNTP terdiri atas dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP (Gumilar, 2007). Enzim polimerase merupakan katalis yang membantu proses perpanjangan primer yang menempel pada templat DNA. Proses yang terjadi dalam PCR dibagi menjadi tiga tahap, yaitu sebagai berikut: 1. Denaturasi Proses denaturasi berfungsi untuk membuka untai ganda DNA templat menjadi untai tunggal, sehingga memungkinkan terjadinya penempelan primer. Proses tersebut dapat dilakukan pada suhu tinggi, biasanya diatas 90°C. Hal yang dapat menjadi pertimbangan dalam penentuan suhu denaturasi adalah kandungan Guanine (G) dan Cytosine (C) yang ada dalam templat DNA. Makin tinggi proporsi G+C akan mengakibatkan suhu yang diperlukan untuk proses denaturasi juga makin tinggi. 11 2. Annealing Annealing merupakan proses penempelan primer pada untai DNA yang telah terdenaturasi. Untuk proses ini diperlukan penentuan suhu dengan teliti. Karena jika suhu annealing terlalu tinggi, maka hal tersebut dapat mengakibatkan produk DNA yang dihasilkan ada dalam jumlah yang kecil. Jika suhu annealing terlalu rendah, dapat menyebabkan terjadinya penempelan yang tidak spesifik. Sehingga akibatnya bisa diperoleh fragmen DNA yang tidak diinginkan. 3. Extension (polimerisasi) Extension merupakan proses perpanjangan primer yang telah menempel pada templat DNA. Proses ini dikatalisis oleh enzim DNA polimerase. Pada tahap ini, hal yang dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan suhu extension adalah suhu optimum enzim polimerase yang digunakan. Ketiga proses tersebut akan terus berulang sesuai dengan siklus yang kita inginkan. Jumlah siklus yang akan dilakukan dapat ditentukan berdasarkan banyaknya copy DNA yang diinginkan. Secara kasar, jumlah copy DNA yang akan diperoleh dalam n siklus adalah 2n. 2.5. Elektroforesis Gel Agarosa Menurut Dinda (2008), elektroforesis merupakan proses pemisahan berdasarkan perbedaan migrasi molekul pada suatu medan listrik. Kecepatan migrasi molekul yang bergerak pada medan listrik tergantung pada muatan, bentuk dan ukuran. Hal itulah yang mendasari penggunaan elektroforesis untuk pemisahan makromolekul seperti protein dan asam nukleat. 12 Elektroforesis gel merupakan suatu teknik analisis penting dan sangat sering dipakai dalam bidang biokimia dan biologi molekular. Elektroforesis gel biasanya dilakukan untuk tujuan analisis, namun dapat pula digunakan sebagai teknik preparatif sebelum suatu molekul digunakan dalam metode-metode lain seperti spektrometri massa, PCR, kloning, sekuensing DNA, atau immuno-blotting yang merupakan metode-metode karakterisasi lebih lanjut (Dinda, 2008). Untuk memisahkan protein atau asam nukleat berukuran kecil, gel yang digunakan biasanya merupakan gel poliakrilamida. Sedangkan untuk memisahkan asam nukleat yang lebih besar (lebih besar dari beberapa ratus basa), gel yang digunakan adalah agarosa (dari ekstrak rumput laut) yang sudah dimurnikan. Agarosa adalah polimer linier yang diekstrak dari rumput laut dan dijual dalam bentuk tepung putih. Dalam pemakainnya, tepung putih agarosa dididihkan dalam bufer dan ketika dingin membentuk jeli (gel). Gel terbentuk karena pada saat dipanaskan di air, molekul agar-agar dan air bergerak bebas. Ketika didinginkan, molekul-molekul agar-agar mulai saling merapat, memadat dan membentuk kisi-kisi yang mengurung molekul-molekul air. Kisi-kisi ini dimanfaatkan dalam elektroforesis gel agarosa untuk menghambat pergerakan molekul obyek akibat perbedaan tegangan antara dua kutub. Elektroforesis gel agarosa dapat memisahkan DNA berdasarkan perbedaan ukuran, melalui migrasi DNA pada suatu media dalam pengaruh medan listrik (Widyasari dan Suhandono, 2007). Laju migrasi DNA pada elektroforesis gel ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya konsentrasi gel agarosa yang digunakan (Humana, 2007), ukuran molekul, serta voltase yang diterapkan 13 (Gumilar dkk., 2008). Beberapa komponen dalam elektroforesis gel agarosa ini antara lain: a) sampel DNA; b) agarosa (gel); c) Etbr; d) loading buffer; e) running buffer; f) marker; dan g) lampu UV (Gumilar dkk., 2008). 2.6. Sekuensing Sekuensing DNA merupakan suatu metode untuk menentukan urutanurutan basa nukleotida (A, C, G dan T) dalam suatu gen dan asam nukleat (Na’im, 1996). Metode sekuensing DNA yang pertama dikenal adalah metode yang dikembangkan oleh Allan Maxam dan Walter Gilbert pada tahun 1977. Pada metode Maxam-Gilbert, degradasi DNA terjadi secara kimiawi. Dalam metode ini diperlukan DNA untai ganda, tetapi tidak diperlukan primer karena bukan sintesis untai baru. Pemotongan untai DNA terjadi secara kimia, sehingga reagen kimia tertentu harus ditambahkan ke dalam sistem reaksi (Gumilar dkk., 2008). Namun ternyata metode Maxam-Gilbert ini memiliki beberapa kekurangan, diantaranya: (a) memerlukan banyak DNA murni; (b) melalui banyak tahapan pemurnian intermediet; dan (c) hanya bisa diterapkan untuk pembacaan DNA dengan untai yang relatif pendek (Cummings, 2007). Sehingga dewasa ini metode sekuensing Maxam-Gilbert sudah jarang digunakan karena ditemukannya metode lain yang jauh lebih praktis, yaitu metode dideoksi yang dikembangkan oleh Fred Sanger dan A. R. Coulson pada tahun 1980. Prinsip dasar pada metode dideoksi Sanger ini adalah terjadinya terminasi rantai nukleotida sebagai akibat adanya nukleotida dideoksi (ddNTP) (Gumilar, 2007). Sekuensing DNA menggunakan metode dideoksi dilakukan pada empat tabung yang terpisah. Setiap tabung mengandung DNA polimerase, campuran 14 deoksinukleotida dari empat jenis basa (dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP), serta dalam jumlah sedikit masing-masing satu jenis dideoksinukleotida (ddATP, ddCTP, ddGTP, atau ddTTP) yang dilabeli dengan fosfor radioaktif (1P32) (Susanto, 2008). Dideoksinukleotida ini struktur molekulnya mirip dengan deoksinukleotida, hanya tak punya gugus OH untuk mengikat dNTP berikutnya. Enzim DNA polymerase akan mengkatalis reaksi polimerasi, tetapi reaksi akan terhenti jika yang terikat adalah dideoksinukleotida, sehingga dngan demikian akan terbentuklah fragmen-fragmen yang panjangnya berbeda yang diakhiri dengan ddATP, ddCTP, ddGTP, dan ddTTP pada masing-masing tabung reaksi (Helianti, 2005). Untuk melihat ukuran fragmen-fragmen hasil sekuensing tersebut dilakukan elektroforesis sehingga akan terjadi perbedaan migrasi sesuai dengan ukurannya masing-masing. Setelah ukurannya diketahui, dilakukan pengurutan fragmen mulai dari yang paling pendek hingga yang paling panjang. Urutan basa DNA yang dicari adalah urutan yang komplementer dengan hasil sekuensing tersebut (Susanto, 2008). Metode sekuensing yang ditemukan oleh Sanger ini selanjutnya dikenal sebagai metode dideoksi Sanger, atau ada pula yang menyebutnya sebagai metode chain termination. Dalam perkembangan selanjutnya, ilmuwan mulai melakukan otomatisasi metode Sanger, sehingga sekuensing tidak lagi dilakukan secara manual, dan dapat lebih cepat. Helianti (2005) mengatakan bahwa saat ini sekuensing asam nukleat dapat dilakukan secara otomatis dengan suatu alat yang disebut nucleic acid sequencer. 15 2.7. GenBank GenBank adalah suatu basis data yang dapat diakses secara umum yang memiliki urutan-urutan nukleotida dari 260.000 organisme lebih. Urutan-urutan nukleotida tersebut umumnya diperoleh dari hasil penelitian individual dan beberapa dari hasil penelitian sekuensing berskala besar. Hingga bulan Februari 2008 terdapat 85.759.586.764 basa dari 82.853.685 data yang tersimpan di GenBank. Salah satu cara untuk memperoleh data dari GenBank adalah menggunakan NCBI e-utilities dengan mengakses situs www.ncbi.nlm.nih.gov. 16