EKSTRAK FLAVONOID DAUN SALAM

advertisement
2
efektivitas ekstrak flavonoid daun salam
(Syzygium polyanthum Wight.) dalam
menginduksi apoptosis melalui pembentukan
koloni petite sel khamir (Saccharomyces
cereviceae) dan fragmentasi DNA. Hipotesis
penelitian ini adalah ekstrak flavonoid daun
Salam (Syzygium polyanthum Wight.) mampu
menginduksi pertumbuhan koloni petite sel
khamir (Saccharomyces cereviceae). Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi dan wawasan ilmiah tentang dosis
optimum dari ekstrak flavonoid daun salam
dalam mempengaruhi induksi apoptosis sel
khamir. Pengetahuan tersebut nantinya dapat
dijadikan sebagai informasi ilmiah dalam
pengembangan suplemen antioksidan terbaik
sebagai obat terapi penyakit kanker.
TINJAUAN PUSTAKA
Salam
Daun salam (Gambar 1) adalah jenis
tanaman obat yang pada umumnya
dipergunakan oleh masyarakat Indonesia
sebagai
bumbu
masakan.
Menurut
Tjitrosoepomo (1998) dan Steenis (2003),
tanaman salam digolongkan ke dalam ordo
Myrtales, famili Myrtaceae, genus Syzygium,
spesies
Syzygium
polyanthum
Wight.
Tanaman ini juga dikenal dengan nama
Eugenia polyantha Wight., ubar serai
(Melayu), serai kayu (Sumatera), gowok
(Sunda) dan manting (Jawa) (Hariana 2008).
Tanaman ini umumnya tersebar di daerah
Thailand ke arah selatan sampai Indonesia. Di
Pulau Jawa, tanaman ini tersebar dominan di
daerah Jawa Barat sampai Jawa Timur pada
ketinggian 5 meter sampai 1.000 meter di atas
permukaan laut. Tanaman salam dapat
tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan
dengan ketinggian 1800 meter. Populasi
tanaman ini banyak tumbuh di hutan maupun
rimba belantara (Dalimartha 2000), bahkan
seringkali masih dapat ditemukan pada
ketinggian 2000 m diatas permukaan laut
(PSB 2006).
Gambar 1 Daun salam (Syzygium polyanthum
Wight.).
Tanaman salam memiliki daun hijau yang
rimbun, pohon atau perdu, daun tunggal,
bersilang berhadapan, pada cabang mendatar
seakan-akan tersusun dalam 2 baris pada 1
bidang. Pada umumnya tanaman ini tidak
memiliki daun penumpu. Sementara itu,
bunga pada tanaman salam umumnya
berkelamin ganda, kelopak dan mahkota
masing-masing terdiri atas 4-5 daun kelopak
dan sejumlah daun mahkota yang sama, dan
kadang-kadang berlekatan. Benang sari
banyak,
kadang-kadang
berkelopak
berhadapan dengan daun-daun mahkota,
berwarna cerah, dan kadang-kadang menjadi
bagian dari bunga. Hal yang paling menarik
adalah bakal buah
yang tenggelam,
mempunyai 1 tangkai putik, beruang 1 sampai
banyak, dan dengan 1-8 bakal biji dalam tiap
ruang. Biji dengan sedikit atau tanpa
endosperm, lembaga lurus, bengkok atau
melingkar (Steenis 2003).
Penggunaan tanaman salam sebagai obatobatan tradisional dipilih karena secara
empiris mampu menurunkan lipid peroksida
di dalam darah. Kadar lipid darah yang tinggi
merupakan pemicu terbentuknya radikal bebas
yang merupakan inisiator dari berbagai
penyakit degenaratif (Handajani et al. 2010).
Hal tersebut mengindikasikan adanya
senyawa antioksidan pada salam yang mampu
menangkal radikal bebas. Hal tersebut
dibuktikan oleh penelitian Ekawati (2007),
bahwa ekstrak daun salam pada konsentrasi
1000 ppm secara in vitro menunjukkan
aktivitas antioksidan yang optimal yaitu
dengan rerata 67.39%. Sementara itu,
penelitian Syaefudin (2008) menunjukkan
bahwa ektrak etanol 70% daun salam
memiliki aktivitas antioksidan sebesar 70%.
Jumlah tersebut menunjukkan persentase yang
lebih tinggi dibandingkan vitamin E, yang
hanya memiliki daya antioksidasi sebesar
66.47%. Menurut Sudarsono et al. (2002),
senyawa antioksidan yang terkandung dalam
daun salam terdiri atas tanin, flavonoid,
saponin, triterpen, polifenol, alkaloid dan
minyak atsiri. Senyawa-senyawa antioksidan
ini bertujuan untuk menangkal radikal bebas
yang menyebabkan timbulnya penyakit
degeneratif seperti aterosklerosis (Alviani
2007) dan kanker (Artanti et al. 2009).
Aktivitas flavonoid pada daun salam yang
menyerupai mekanisme induksi vitamin E,
memberikan pengaruh dalam penyembuhan
penyakit degeneratif dengan cara menginduksi
sinyal-sinyal untuk mengaktifkan enzim
kaspase untuk merusak mitokondria sel.
Rusaknya
mitokondria
kemudian
3
mengaktifkan mekanisme apoptosis dan
menghambat
proliferasi
sel
sehingga
terbentuklah badan apoptosis (Reed 2000;
Razik & Clidowski 2002). Mekanisme
flavonoid tersebut mengakibatkan kerusakan
(mutasi) organel dan mengakibatkan laju
fermentasi etanol menjadi tinggi. Hasil mutasi
tersebut menjadikan efek mutan yang disebut
mutan petite (Hutter et al. 1998). Pengaruh
lain yang terjadi yaitu adanya kerusakan
membran
(membrane blebbing)
dan
eksternalisasi fosfatidilserin.
Flavonoid
Flavonoid merupakan suatu senyawa yang
terdapat di setiap bagian sel yang
berfotosintesis pada kindom plantea. Senyawa
ini berperan dalam reaksi terang selama
katalisis transport elektron. Flavonoid
disintesis dari asam amino aromatik,
fenilalanin dan tirosin, lalu bergabung
bersama unit asetat (Heldt 2005). Senyawa ini
ditemukan pada buah, sayur, kacangkacangan, biji-bijian, akar, dan bunga. Selain
itu flavonoid juga ditemukan pada teh,
anggur, propolis, madu, dan hampir mewakili
seluruh unsur umum makanan manusia. Di
Amerika
Serikat,
asupan
flavonoid
diperkirakan mencapai 500-100 mg/hari,
tetapi jumlahnya akan lebih tinggi pada orang
yang mengonsumsi senyawa herbal yang
mengandung flavonoid (Cushnie & Lamb
2005).
Struktur dasar dari senyawa flavonoid
(Gambar 2) yaitu cincin 2-fenil-benzol (A dan
B) yang terhubung melalui cincin piran C.
Flavonoid diklasifikasikan berdasarkan asal
usul biosintetiknya. Beberapa jenis flavonoid
seperti kalkon, flavon, flavan-3-ol dan flavan3,4-diol, seluruhnya merupakan turunan dari
produk biosintesis yang tersimpan dalam
jaringan tanaman. Jenis lain yang diketahui
adalah antosianidin, proantosianidin, flavon,
dan flavonol. Dua jenis tambahan dari
senyawa ini yang sisi rantai 2-fenil dari
flavonnya berisomerasi ke posisi 3 sehingga
membentuk isoflavon dan isoflavonoid.
Senyawa neoflavonoid dibentuk melalui
isomerasi ke posisi 4 (Cushnie & Lamb 2005).
Flavonoid memiliki banyak pengaruh dalam
biokimia dan fisiologi tumbuhan, yaitu
sebagai
antioksidan,
inhibitor
enzim,
prekursor senyawa toksik dan pigmen
(Harbone 1987). Senyawa ini telah diketahui
aktivitasnya
sebagai
anti-inflamasi,
antioksidan,
antialergi,
hepatoprotektor,
antitrombosit, antivirus, dan antikarsinogenik
(Middleton et al. 2000).
Gambar 2 Senyawa flavonoid (Cushnie &
Lamb 2005)
Sel Khamir
Sel khamir (yeast) yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan golongan dari
Saccharomyces cereviceae dan merupakan
salah satu mikroorganisme yang termasuk
dalam golongan fungi klasifikasi Ascomicetes
dan basidiomicetes (Gandjar & Sjamsuridzal
2006). Bentuknya yang uniseluler juga
membedakannya dari kapang (mould).
Reproduksi vegetatif pada khamir terutama
dengan cara pertunasan (budding) sehingga
selnyapun bersifat diploid (Fröhlich et al.
2007). Sel tunggal khamir tumbuh dan
berkembang biak lebih cepat dibanding
dengan kapang yang tumbuh dengan
pembentukan filamen. Khamir sangat mudah
dibedakan dengan mikroorganisme lain. Sel
khamir mempunyai ukuran sel yang lebih
besar dan morfologi yang berbeda dari
protozoa (hewan bersel satu). Berbeda dengan
algae (ganggang), khamir mempunyai dinding
sel yang lebih kuat tetapi tidak melakukan
fotosintesis. Sel khamir secara efektif dapat
menguraikan komponen kimia serta lebih luas
permukaannya dan volume yang dihasilkan
lebih banyak (Gandjar & Sjamsuridzal 2006).
Sel
khamir
termasuk
organisme
kemoorganotrof,
karena
menggunakan
senyawa organik sebagai sumber energi dan
tidak membutuhkan cahaya untuk tumbuh.
Sumber utama yang dibutuhkan untuk
pertumbuhannya adalah gula heksosa seperti
glukosa dan fruktosa dan disakarida seperti
sukrosa dan maltosa (Granot et al. 2003).
Metabolisme sel khamir dilakukan dengan
pengubahan gula menjadi alkohol dan asamasam organik. Khamir juga termasuk
organisme
anaerob
obligat
karena
kemampuannya dalam memanfaatkan oksigen
pernafasan seluler dan anaerob fakultatif
karena tetap bisa hidup dalam kondisi 2006).
kekurangan oksigen (Gandjar & Sjamsuridzal
Sel khamir merupakan organisme eukariot
(Gershon & Gershon 2000) terbaik (Fröhlich
et al. 2007) yang banyak digunakan dalam
4
mempelajari penelitian induksi apoptosis
(Sauhoka 2005; Algiansyah 2009) karena
menunjukkan kemiripan dengan sel mamalia
(Tabel 1). Selain itu, mekanisme seluler dari
apoptosis pada khamir mudah dipelajari
(Matsuyama 1999; Fröhlich & Madeo 2001)
karena sekuen gennya telah diketahui secara
lengkap sejak tahun 1996 (Fröhlich et al.
2007) dan siklus sel khamir terjadi dengan
cepat (Hartono 2009).
Pada sel khamir, mekanisme apoptosis
dipicu oleh sejumlah sinyal biokimiawi yang
berasal dari ekstraselular dan intraselular
(Whitmarsh & Davis 1998). Sinyal
ekstraselular
berupa
hormon,
faktor
pertumbuhan, nitrit oksida (NO) (Meßmer et
al. 2001), dan sitokina. Sinyal intraselular
berasal dari respon glukokortikoid (analog
hormon yang diproduksi adrenal manusia,
terdiri atas glukosa dan steroid) akibat panas,
radiasi, infeksi virus, radikal bebas, dan
senyawa polifenol (Middleton et al. 2000;
Song et al. 2012; Sandur 2007).
Pada kondisi sel khamir normal, sel akan
berespirasi secara aerob melalui jalur
glikolisis di sitosol lalu menuju siklus Krebs
dan fosforilasi oksidatif di mitokondria. Sel
normal akan membentuk koloni normal yang
besar. Pada peristiwa induksi apoptosis,
koloni khamir akan berubah menjadi sel yang
yang berukuran sangat kecil yang disebut sel
petite (Gambar 3) (Madigan et al. 2000). Hal
tersebut terjadi karena adanya disfungsi
mitokondria
(kehilangan
kemampuan
berespirasi) akibat penurunan potensial
membran, rusaknya protein transport,
fragmentasi
DNA
dan
eksternalisasi
fosfatidilserin sehingga laju pertumbuhan selsel khamir menjadi lebih lambat dibandingkan
sel-selnya yang normal. Pada sel khamir juga
terjadi peristiwa Crabtree effect. Peristiwa ini
terjadi ketika adanya penumpukan asam
piruvat akibat adanya induksi glukosa
dalam
jumlah
tinggi.
Hal
tersebut
menghambat
siklus Krebs dan fosforilasi
oksidatif sehingga asam piruvat dialihkan
menuju fermentasi etanol oleh enzim alkohol
dehidrogenase (Alexander & Jeffries 1990).
Meskipun organel mitokondria telah rusak,
di dalam media petite yang mengandung 0.1%
glukosa sebagai sumber energi. Hal tersebut
menyebabkan sel khamir masih
tetap
tumbuh meskipun dalam bentuk mutan petite
(Granot et al. 2003). Fenomena itu disebabkan
karena sifat anaerob fakultatif sel khamir
sehingga sel tetap dapat berespirasi secara
anaerob dan mendapatkan energi melalui
proses glikolisis. Energi pada sel khamir
normal tidak hanya diperoleh dari glikolisis,
tetapi juga berasal dari respirasi siklus Krebs
dan sistem transfer elektron (Granot & Snyder
1991; Granot et al. 2003; Murray et al. 2006;
Fröhlich et al. 2007). Perbedaan dalam
sumber energi tersebut menyebabkan sel
normal yang berukuran lebih besar dari sel
petite.
Tabel
1
Karakteristik sel khamir yang
homolog dengan sel mamalia
Sel Khamir
Karakteristik
Mamalia
(yeast)
Kerusakan
membran
Ya
Ya
(Membrane
blebbing)
Kondensasi
Ya
Ya
kromatin
Kerusakan
Ya
Ya
DNA
Enzim kaspase
Terikat
Bebas
dan Bebas
Mitokondria
Ya
Ya
Target
Pelepasan
Sitokrom c dari
Ya
Ya
Mitokondria
Perlindungan
Ya
Ya
dari Bcl-2
Pembentukan
Terikat
Sebagian
daerah berpori
sepenuhnya
Terikat
Sumber: Matsuyama et al. (1999)
Gambar 3 Perbedaan sel normal dan sel petite
(Granot et al. 2003).
Proliferasi, Apotosis dan Diferensiasi Sel
Jumlah sel pada suatu jaringan merupakan
fungsi kumulatif antara masuknya sel baru
dan keluarnya sel yang ada pada populasi.
Proses masuknya sel baru ke dalam populasi
jaringan
ditentukan
oleh
kecepatan
proliferasinya. Sel dapat meninggalkan
populasinya karena kematian (apoptosis)
ataupun karena berdiferensiasi menjadi sel
lain. Peningkatan jumlah sel dalam populasi
tertentu dapat terjadi karena peningkatan
proliferasi, penurunan apoptosis
atau
diferensiasi sel (Kumar et al. 2005).
5
Populasi sel yang aktif menjalankan siklus
sel atau berproliferasi akan menyebabkan
adanya pertumbuhan jaringan serta organ.
Secara mendasar, siklus sel adalah program
untuk pertumbuhan dan pembelahan sel.
Siklus sel melibatkan empat fase yaitu fase G1
(dan G0), S, G2, dan M. Berbagai fase ini
adalah kejadian yang berurutan dan hal
tersebut terjadi bila fase sebelumnya berjalan
baik. Mekanisme pengontrolan ini akan
menjamin
bahwa
pembelahan
sel
menghasilkan dua sel anak dengan informasi
genetik yang lengkap (Wargasetia 2008).
Apabila mekanisme apoptosis dalam tubuh
mengalami
kemunduran,
sedangkan
proliferasi mengalami percepatan yang
abnormal,
maka
hal
tersebut
akan
mengakibatkan kanker (Kruczynski & Hill
2001). Saat ini ada beberapa pendekatan yang
dilakukan
dalam pengembangan
obat
antikanker, salah satunya adalah menghambat
mekanisme apoptosis pada checkpoint (titik
kontrol) yaitu G1/S, S/G2 dan M dalam siklus
sel (Meiyanto et al. 2008; Wargasetia 2008),
karena pada titik kontrol fase tersebut
ditentukan pengontrolan pembelahan sel ke
fase selanjutnya.
Proliferasi sel distimulasi oleh faktor
pertumbuhan intrinsik, jejas, kematian dan
kerusakan sel, serta mediator biokimiawi dari
lingkungan. Kelebihan stimulus, kekurangan
inhibitor, kemunduran mekanisme apoptosis
dan percepatan proliferasi yang abnormal
akan menyebabkan pertumbuhan sel yang tak
terkontrol atau terjadinya kanker (Kruczynski
& Hill 2001; Kumar et al. 2005; Wargasetia
2008). Penginduksian pertumbuhan sel
dihubungkan dengan pemendekan siklus sel
pada fase G0 sampai sel memasuki siklus sel.
Pada fase G0 sampai memasuki siklus sel
terdapat penghambatan fisiologis untuk
terjadinya proliferasi sel. Pertumbuhan sel
dapat dicapai dengan memperpendek atau
memperpanjang siklus sel (Kumar et al. 2005;
Pecorico 2005).
Homeostasis
jaringan tidak
hanya
bergantung pada pertumbuhan dan proliferasi
sel tetapi juga pada mekanisme kematian sel
terprogram yang dikenal dengan apoptosis
(Evan & Litlewood 1998). Apoptosis
merupakan mekanisme penting untuk
mencegah proliferasi sel yang mengalami
kerusakan DNA dan apoptosis merupakan
salah satu kontrol dalam siklus sel. Kematian
sel dengan jalur apoptosis berbeda dengan
nekrosis. Pada apoptosis, kematian sel terjadi
secara terprogram akibat adanya sinyal
molekuler yang mendeaktivasi protein Bcl-2
sehingga
mengaktifkan
enzim-enzim
pendegradasi sel untuk kemudian difagositosis
oleh makrofag atau organel lisosom (Goldsby
et al. 2000). Pada peristiwa nekrosis, sel
mengalami kematian seketika akibat adanya
virus, senyawa toksik dan kecelakaan
sehingga merusak sel dan disertai dengan
reaksi inflamasi (Goepel 1996). Mekanisme
apoptosis terjadi ketika sel mengalami stres
misalnya kelaparan, kerusakan DNA akibat
radiasi ionisasi atau senyawa karsinogenik,
serta bisa disebabkan oleh aktivitas gen
penekan tumor dan radikal bebas (Pecorico
2005).
Jalur apoptosis diinduksi oleh regulasi
program intraselular. Sel mati akan
mengaktivasi enzim pada mitokondria untuk
mendegradasi DNA pada nukleus dan protein
sitoplasma pada sel itu sendiri (Madeo et al.
1999; Susin et al 1999). Mekanisme tersebut
nantinya
akan
dipergunakan
dalam
melenyapkan sel-sel rusak atau yang tidak
dapat menjalankan fungsinya, mencegah sel
kekurangan nutrien, dan mencegah penularan
virus. Apoptosis juga mencegah penyakit
kanker. Jika suatu sel gagal atau tidak mampu
melakukan apoptosis disebabkan oleh faktorfaktor tertentu seperti adanya radikal bebas
atau virus, sel akan terus membelah
(berproliferasi) dan berkembang menjadi sel
kanker (Macdonal 2004). Mekanisme
apoptosis dalam mencegah kanker yaitu
dengan
cara
mengeliminasi
sel-sel
preneoplastik dan neoplastik (jaringan yang
mengalami
keabnormalan
proliferasi)
(Lusiana 2010)
Pada beberapa studi yang mempelajari
senyawa flavonoid dalam tumbuhan herbal,
flavonoid diketahui sebagai salah satu pemicu
apoptosis dengan menginduksi spesises
oksigen reatif (ROS) melalui jalur intrinsik
(Gambar 4). ROS pemicu ini merupakan
produk sampingan degradasi asam lemak dan
asam amino di dalam peroksisom. Mula-mula
ROS mengirimkan stimuli kepada reseptor
apoptosis
(BH3)
untuk
mengaktifkan
serangkaian protein pemicu apoptosis yaitu
Bax dan Bak di dalam mitokondria. Hal
tersebut kemudian menyebabkan penurunan
potensial membran (membran menjadi
permeabel) sehingga terjadi penurunan jumlah
ion K+, dan pelepasan sitokrom C beserta
dengan faktor apoptosis lain (AIF,
EndonucleaseG, dan Smac/Diablo) untuk
mengaktifkan kaspase 9 dari pro kaspase 9.
Kaspase 9 kemudian mengaktifkan kaspase 3
sehingga terjadilah apoptosis (Wang 2001).
Selain jalur intrinsik, apoptosis juga
6
terjadi melalui jalur ekstrinsik dengan cara
menghambat TNF (Tumor Necrosis Factor).
TNF merupakan faktor transkripsi yang
berimplikasi pada sejumlah gen yang terlibat
dalam proliferasi sel, diferensiasi, sistem imun
dan respon pro-inflamasi. Mekanisme inhibisi
TNF mengaktifkan kaspase 8, dilanjutkan
dengan kaspase 10, dan kaspase 3. Kaspase 3
merupakan enzim kunci dalam apoptosis.
Serangkaian mekanisme enzim yang terjadi
melalui kedua alur tersebut mengakibatkan
kerusakan DNA pada inti sel, kemudian
dilanjutkan dengan fragmentasi inti sel.
Kerusakan ini berujung pada pembentukan
badan apoptosis yang memberikan sinyalsinyal kepada makrofag untuk selanjutnya
difagositosis (Shi et al. 2003; Song et al.
2012) atau didaur ulang di dalam lisosom jika
kerusakannya
mash
bisa
diperbaiki
(Abeliovich & Klionsky 2001).
Beberapa studi yang umumnya dilakukan
untuk mengidentifikasi sel yang mengalami
efek hambat proliferasi dan apoptosis,
diantaranya melalui ciri morfologisnya. Ciri
morfologis ditunjukkan dengan kondisi
utuhnya membran plasma, selnya berkerut
(pyknosis),
inti
selnya
terfragmentasi
(karyorrhexis) (Macdonal et al. 2004),
kerusakan membran (membrane blebbing),
eksternalisasi fosfatidilserin (Madeo et al.
1999) dan terkadang sel pecah menjadi
beberapa vesikel yang disebut badan apoptosis
(Cotran et al. 1999). Sel yang mati tersebut
akan segera dimakan oleh makrofag sebelum
terjadi kebocoran sel yang akan menyebabkan
reaksi inflamasi yang berujung pada peristiwa
nekrosis (Macdonal et al. 2004 ; Reed 2000).
Deteksi Apotosis melalui Uji Fragmentasi
DNA
DNA genom merupakan seluruh materi
genetik yang dimiliki oleh suatu organisme
termasuk di dalamnya DNA yang berinteraksi
dengan protein dan RNA (Weaver & Hedrick
1997). DNA didapatkan melalui proses isolasi
dan biasanya dimanfaatkan untuk berbagai
penelitian genetika seperti analisis keragaman
genetik, kloning gen, maupun deteksi sel
apoptosis. Pada umumnya deteksi sel
apoptosis dilakukan pada sel kanker
(Darzynkiewicz 1992) atau sel khamir (Granot
et al. 2003) yang telah diinduksi oleh ekstrak
herbal atau senyawa kimia sintetik. Sel khamir
yang telah diinduksi akan berubah menjadi sel
petite dan akan dideteksi hasil fragmentasi
DNAnya dengan menggunakan prinsip
elektroforesis.
Isolasi
DNA pada
sel
khamir
Gambar 4 Mekanisme induksi apoptosis di
dalam sel khamir melalui jalur
intrinsik (Wang 2001).
menggunakan protokol „Bust and Grab‟ yang
dipublikasikan oleh Harju et al. (2004) untuk
mendapatkan sel khamir yang optimum pada
konsentrasi 200 ng–3 µg. Isolasi DNA khamir
membutuhkan glass beads dan enzim lisis
dalam jumlah yang tinggi sehingga biaya yang
dikeluarkan relatif mahal. Metode ini hanya
membutuhkan bufer lisis dan pengulangan
proses freezing-thawing. Metode freezingthawing dilakukan dengan melakukan
inkubasi sel ke dalam larutan ekstrim dingin
(nitrogen cair bersuhu -196°C), kemudian
dipindahkan langsung ke larutan panas
(95°C). Perlakuan tersebut dilakukan untuk
merusak membran sel khamir sehingga DNA
mudah diekstraksi (Borochov et al. 1987).
DNA sel petite yang didapatkan dari hasil
isolasi
kemudian
diuji
fragmentasi
menggunakan elektroforesis dengan gel
agarosa sebagai media migrasi. Pada hasil
elektroforesis DNA, elektroforegram positif
ditunjukkan dengan adanya fragmentasi DNA
berupa smear (bayangan) tipis berwarna
keputihan, dengan bobot molekul yang rendah
(Granot et al. 2003; Darzynkiewicz et al.
1992). Hal tersebut disebabkan adanya
aktivitas endonuklease pada sel petite yang
terapoptosis. Uji fragmentasi DNA ini
merupakan salah satu uji lanjutan untuk
mendeteksi hasil induksi apoptosis setelah uji
frekuensi petite dengan menggunakan cawan
Download