2 efektivitas ekstrak flavonoid daun salam (Syzygium polyanthum Wight.) dalam menginduksi apoptosis melalui pembentukan koloni petite sel khamir (Saccharomyces cereviceae) dan fragmentasi DNA. Hipotesis penelitian ini adalah ekstrak flavonoid daun Salam (Syzygium polyanthum Wight.) mampu menginduksi pertumbuhan koloni petite sel khamir (Saccharomyces cereviceae). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan ilmiah tentang dosis optimum dari ekstrak flavonoid daun salam dalam mempengaruhi induksi apoptosis sel khamir. Pengetahuan tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah dalam pengembangan suplemen antioksidan terbaik sebagai obat terapi penyakit kanker. TINJAUAN PUSTAKA Salam Daun salam (Gambar 1) adalah jenis tanaman obat yang pada umumnya dipergunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai bumbu masakan. Menurut Tjitrosoepomo (1998) dan Steenis (2003), tanaman salam digolongkan ke dalam ordo Myrtales, famili Myrtaceae, genus Syzygium, spesies Syzygium polyanthum Wight. Tanaman ini juga dikenal dengan nama Eugenia polyantha Wight., ubar serai (Melayu), serai kayu (Sumatera), gowok (Sunda) dan manting (Jawa) (Hariana 2008). Tanaman ini umumnya tersebar di daerah Thailand ke arah selatan sampai Indonesia. Di Pulau Jawa, tanaman ini tersebar dominan di daerah Jawa Barat sampai Jawa Timur pada ketinggian 5 meter sampai 1.000 meter di atas permukaan laut. Tanaman salam dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1800 meter. Populasi tanaman ini banyak tumbuh di hutan maupun rimba belantara (Dalimartha 2000), bahkan seringkali masih dapat ditemukan pada ketinggian 2000 m diatas permukaan laut (PSB 2006). Gambar 1 Daun salam (Syzygium polyanthum Wight.). Tanaman salam memiliki daun hijau yang rimbun, pohon atau perdu, daun tunggal, bersilang berhadapan, pada cabang mendatar seakan-akan tersusun dalam 2 baris pada 1 bidang. Pada umumnya tanaman ini tidak memiliki daun penumpu. Sementara itu, bunga pada tanaman salam umumnya berkelamin ganda, kelopak dan mahkota masing-masing terdiri atas 4-5 daun kelopak dan sejumlah daun mahkota yang sama, dan kadang-kadang berlekatan. Benang sari banyak, kadang-kadang berkelopak berhadapan dengan daun-daun mahkota, berwarna cerah, dan kadang-kadang menjadi bagian dari bunga. Hal yang paling menarik adalah bakal buah yang tenggelam, mempunyai 1 tangkai putik, beruang 1 sampai banyak, dan dengan 1-8 bakal biji dalam tiap ruang. Biji dengan sedikit atau tanpa endosperm, lembaga lurus, bengkok atau melingkar (Steenis 2003). Penggunaan tanaman salam sebagai obatobatan tradisional dipilih karena secara empiris mampu menurunkan lipid peroksida di dalam darah. Kadar lipid darah yang tinggi merupakan pemicu terbentuknya radikal bebas yang merupakan inisiator dari berbagai penyakit degenaratif (Handajani et al. 2010). Hal tersebut mengindikasikan adanya senyawa antioksidan pada salam yang mampu menangkal radikal bebas. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian Ekawati (2007), bahwa ekstrak daun salam pada konsentrasi 1000 ppm secara in vitro menunjukkan aktivitas antioksidan yang optimal yaitu dengan rerata 67.39%. Sementara itu, penelitian Syaefudin (2008) menunjukkan bahwa ektrak etanol 70% daun salam memiliki aktivitas antioksidan sebesar 70%. Jumlah tersebut menunjukkan persentase yang lebih tinggi dibandingkan vitamin E, yang hanya memiliki daya antioksidasi sebesar 66.47%. Menurut Sudarsono et al. (2002), senyawa antioksidan yang terkandung dalam daun salam terdiri atas tanin, flavonoid, saponin, triterpen, polifenol, alkaloid dan minyak atsiri. Senyawa-senyawa antioksidan ini bertujuan untuk menangkal radikal bebas yang menyebabkan timbulnya penyakit degeneratif seperti aterosklerosis (Alviani 2007) dan kanker (Artanti et al. 2009). Aktivitas flavonoid pada daun salam yang menyerupai mekanisme induksi vitamin E, memberikan pengaruh dalam penyembuhan penyakit degeneratif dengan cara menginduksi sinyal-sinyal untuk mengaktifkan enzim kaspase untuk merusak mitokondria sel. Rusaknya mitokondria kemudian 3 mengaktifkan mekanisme apoptosis dan menghambat proliferasi sel sehingga terbentuklah badan apoptosis (Reed 2000; Razik & Clidowski 2002). Mekanisme flavonoid tersebut mengakibatkan kerusakan (mutasi) organel dan mengakibatkan laju fermentasi etanol menjadi tinggi. Hasil mutasi tersebut menjadikan efek mutan yang disebut mutan petite (Hutter et al. 1998). Pengaruh lain yang terjadi yaitu adanya kerusakan membran (membrane blebbing) dan eksternalisasi fosfatidilserin. Flavonoid Flavonoid merupakan suatu senyawa yang terdapat di setiap bagian sel yang berfotosintesis pada kindom plantea. Senyawa ini berperan dalam reaksi terang selama katalisis transport elektron. Flavonoid disintesis dari asam amino aromatik, fenilalanin dan tirosin, lalu bergabung bersama unit asetat (Heldt 2005). Senyawa ini ditemukan pada buah, sayur, kacangkacangan, biji-bijian, akar, dan bunga. Selain itu flavonoid juga ditemukan pada teh, anggur, propolis, madu, dan hampir mewakili seluruh unsur umum makanan manusia. Di Amerika Serikat, asupan flavonoid diperkirakan mencapai 500-100 mg/hari, tetapi jumlahnya akan lebih tinggi pada orang yang mengonsumsi senyawa herbal yang mengandung flavonoid (Cushnie & Lamb 2005). Struktur dasar dari senyawa flavonoid (Gambar 2) yaitu cincin 2-fenil-benzol (A dan B) yang terhubung melalui cincin piran C. Flavonoid diklasifikasikan berdasarkan asal usul biosintetiknya. Beberapa jenis flavonoid seperti kalkon, flavon, flavan-3-ol dan flavan3,4-diol, seluruhnya merupakan turunan dari produk biosintesis yang tersimpan dalam jaringan tanaman. Jenis lain yang diketahui adalah antosianidin, proantosianidin, flavon, dan flavonol. Dua jenis tambahan dari senyawa ini yang sisi rantai 2-fenil dari flavonnya berisomerasi ke posisi 3 sehingga membentuk isoflavon dan isoflavonoid. Senyawa neoflavonoid dibentuk melalui isomerasi ke posisi 4 (Cushnie & Lamb 2005). Flavonoid memiliki banyak pengaruh dalam biokimia dan fisiologi tumbuhan, yaitu sebagai antioksidan, inhibitor enzim, prekursor senyawa toksik dan pigmen (Harbone 1987). Senyawa ini telah diketahui aktivitasnya sebagai anti-inflamasi, antioksidan, antialergi, hepatoprotektor, antitrombosit, antivirus, dan antikarsinogenik (Middleton et al. 2000). Gambar 2 Senyawa flavonoid (Cushnie & Lamb 2005) Sel Khamir Sel khamir (yeast) yang digunakan dalam penelitian ini merupakan golongan dari Saccharomyces cereviceae dan merupakan salah satu mikroorganisme yang termasuk dalam golongan fungi klasifikasi Ascomicetes dan basidiomicetes (Gandjar & Sjamsuridzal 2006). Bentuknya yang uniseluler juga membedakannya dari kapang (mould). Reproduksi vegetatif pada khamir terutama dengan cara pertunasan (budding) sehingga selnyapun bersifat diploid (Fröhlich et al. 2007). Sel tunggal khamir tumbuh dan berkembang biak lebih cepat dibanding dengan kapang yang tumbuh dengan pembentukan filamen. Khamir sangat mudah dibedakan dengan mikroorganisme lain. Sel khamir mempunyai ukuran sel yang lebih besar dan morfologi yang berbeda dari protozoa (hewan bersel satu). Berbeda dengan algae (ganggang), khamir mempunyai dinding sel yang lebih kuat tetapi tidak melakukan fotosintesis. Sel khamir secara efektif dapat menguraikan komponen kimia serta lebih luas permukaannya dan volume yang dihasilkan lebih banyak (Gandjar & Sjamsuridzal 2006). Sel khamir termasuk organisme kemoorganotrof, karena menggunakan senyawa organik sebagai sumber energi dan tidak membutuhkan cahaya untuk tumbuh. Sumber utama yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya adalah gula heksosa seperti glukosa dan fruktosa dan disakarida seperti sukrosa dan maltosa (Granot et al. 2003). Metabolisme sel khamir dilakukan dengan pengubahan gula menjadi alkohol dan asamasam organik. Khamir juga termasuk organisme anaerob obligat karena kemampuannya dalam memanfaatkan oksigen pernafasan seluler dan anaerob fakultatif karena tetap bisa hidup dalam kondisi 2006). kekurangan oksigen (Gandjar & Sjamsuridzal Sel khamir merupakan organisme eukariot (Gershon & Gershon 2000) terbaik (Fröhlich et al. 2007) yang banyak digunakan dalam 4 mempelajari penelitian induksi apoptosis (Sauhoka 2005; Algiansyah 2009) karena menunjukkan kemiripan dengan sel mamalia (Tabel 1). Selain itu, mekanisme seluler dari apoptosis pada khamir mudah dipelajari (Matsuyama 1999; Fröhlich & Madeo 2001) karena sekuen gennya telah diketahui secara lengkap sejak tahun 1996 (Fröhlich et al. 2007) dan siklus sel khamir terjadi dengan cepat (Hartono 2009). Pada sel khamir, mekanisme apoptosis dipicu oleh sejumlah sinyal biokimiawi yang berasal dari ekstraselular dan intraselular (Whitmarsh & Davis 1998). Sinyal ekstraselular berupa hormon, faktor pertumbuhan, nitrit oksida (NO) (Meßmer et al. 2001), dan sitokina. Sinyal intraselular berasal dari respon glukokortikoid (analog hormon yang diproduksi adrenal manusia, terdiri atas glukosa dan steroid) akibat panas, radiasi, infeksi virus, radikal bebas, dan senyawa polifenol (Middleton et al. 2000; Song et al. 2012; Sandur 2007). Pada kondisi sel khamir normal, sel akan berespirasi secara aerob melalui jalur glikolisis di sitosol lalu menuju siklus Krebs dan fosforilasi oksidatif di mitokondria. Sel normal akan membentuk koloni normal yang besar. Pada peristiwa induksi apoptosis, koloni khamir akan berubah menjadi sel yang yang berukuran sangat kecil yang disebut sel petite (Gambar 3) (Madigan et al. 2000). Hal tersebut terjadi karena adanya disfungsi mitokondria (kehilangan kemampuan berespirasi) akibat penurunan potensial membran, rusaknya protein transport, fragmentasi DNA dan eksternalisasi fosfatidilserin sehingga laju pertumbuhan selsel khamir menjadi lebih lambat dibandingkan sel-selnya yang normal. Pada sel khamir juga terjadi peristiwa Crabtree effect. Peristiwa ini terjadi ketika adanya penumpukan asam piruvat akibat adanya induksi glukosa dalam jumlah tinggi. Hal tersebut menghambat siklus Krebs dan fosforilasi oksidatif sehingga asam piruvat dialihkan menuju fermentasi etanol oleh enzim alkohol dehidrogenase (Alexander & Jeffries 1990). Meskipun organel mitokondria telah rusak, di dalam media petite yang mengandung 0.1% glukosa sebagai sumber energi. Hal tersebut menyebabkan sel khamir masih tetap tumbuh meskipun dalam bentuk mutan petite (Granot et al. 2003). Fenomena itu disebabkan karena sifat anaerob fakultatif sel khamir sehingga sel tetap dapat berespirasi secara anaerob dan mendapatkan energi melalui proses glikolisis. Energi pada sel khamir normal tidak hanya diperoleh dari glikolisis, tetapi juga berasal dari respirasi siklus Krebs dan sistem transfer elektron (Granot & Snyder 1991; Granot et al. 2003; Murray et al. 2006; Fröhlich et al. 2007). Perbedaan dalam sumber energi tersebut menyebabkan sel normal yang berukuran lebih besar dari sel petite. Tabel 1 Karakteristik sel khamir yang homolog dengan sel mamalia Sel Khamir Karakteristik Mamalia (yeast) Kerusakan membran Ya Ya (Membrane blebbing) Kondensasi Ya Ya kromatin Kerusakan Ya Ya DNA Enzim kaspase Terikat Bebas dan Bebas Mitokondria Ya Ya Target Pelepasan Sitokrom c dari Ya Ya Mitokondria Perlindungan Ya Ya dari Bcl-2 Pembentukan Terikat Sebagian daerah berpori sepenuhnya Terikat Sumber: Matsuyama et al. (1999) Gambar 3 Perbedaan sel normal dan sel petite (Granot et al. 2003). Proliferasi, Apotosis dan Diferensiasi Sel Jumlah sel pada suatu jaringan merupakan fungsi kumulatif antara masuknya sel baru dan keluarnya sel yang ada pada populasi. Proses masuknya sel baru ke dalam populasi jaringan ditentukan oleh kecepatan proliferasinya. Sel dapat meninggalkan populasinya karena kematian (apoptosis) ataupun karena berdiferensiasi menjadi sel lain. Peningkatan jumlah sel dalam populasi tertentu dapat terjadi karena peningkatan proliferasi, penurunan apoptosis atau diferensiasi sel (Kumar et al. 2005). 5 Populasi sel yang aktif menjalankan siklus sel atau berproliferasi akan menyebabkan adanya pertumbuhan jaringan serta organ. Secara mendasar, siklus sel adalah program untuk pertumbuhan dan pembelahan sel. Siklus sel melibatkan empat fase yaitu fase G1 (dan G0), S, G2, dan M. Berbagai fase ini adalah kejadian yang berurutan dan hal tersebut terjadi bila fase sebelumnya berjalan baik. Mekanisme pengontrolan ini akan menjamin bahwa pembelahan sel menghasilkan dua sel anak dengan informasi genetik yang lengkap (Wargasetia 2008). Apabila mekanisme apoptosis dalam tubuh mengalami kemunduran, sedangkan proliferasi mengalami percepatan yang abnormal, maka hal tersebut akan mengakibatkan kanker (Kruczynski & Hill 2001). Saat ini ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan obat antikanker, salah satunya adalah menghambat mekanisme apoptosis pada checkpoint (titik kontrol) yaitu G1/S, S/G2 dan M dalam siklus sel (Meiyanto et al. 2008; Wargasetia 2008), karena pada titik kontrol fase tersebut ditentukan pengontrolan pembelahan sel ke fase selanjutnya. Proliferasi sel distimulasi oleh faktor pertumbuhan intrinsik, jejas, kematian dan kerusakan sel, serta mediator biokimiawi dari lingkungan. Kelebihan stimulus, kekurangan inhibitor, kemunduran mekanisme apoptosis dan percepatan proliferasi yang abnormal akan menyebabkan pertumbuhan sel yang tak terkontrol atau terjadinya kanker (Kruczynski & Hill 2001; Kumar et al. 2005; Wargasetia 2008). Penginduksian pertumbuhan sel dihubungkan dengan pemendekan siklus sel pada fase G0 sampai sel memasuki siklus sel. Pada fase G0 sampai memasuki siklus sel terdapat penghambatan fisiologis untuk terjadinya proliferasi sel. Pertumbuhan sel dapat dicapai dengan memperpendek atau memperpanjang siklus sel (Kumar et al. 2005; Pecorico 2005). Homeostasis jaringan tidak hanya bergantung pada pertumbuhan dan proliferasi sel tetapi juga pada mekanisme kematian sel terprogram yang dikenal dengan apoptosis (Evan & Litlewood 1998). Apoptosis merupakan mekanisme penting untuk mencegah proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA dan apoptosis merupakan salah satu kontrol dalam siklus sel. Kematian sel dengan jalur apoptosis berbeda dengan nekrosis. Pada apoptosis, kematian sel terjadi secara terprogram akibat adanya sinyal molekuler yang mendeaktivasi protein Bcl-2 sehingga mengaktifkan enzim-enzim pendegradasi sel untuk kemudian difagositosis oleh makrofag atau organel lisosom (Goldsby et al. 2000). Pada peristiwa nekrosis, sel mengalami kematian seketika akibat adanya virus, senyawa toksik dan kecelakaan sehingga merusak sel dan disertai dengan reaksi inflamasi (Goepel 1996). Mekanisme apoptosis terjadi ketika sel mengalami stres misalnya kelaparan, kerusakan DNA akibat radiasi ionisasi atau senyawa karsinogenik, serta bisa disebabkan oleh aktivitas gen penekan tumor dan radikal bebas (Pecorico 2005). Jalur apoptosis diinduksi oleh regulasi program intraselular. Sel mati akan mengaktivasi enzim pada mitokondria untuk mendegradasi DNA pada nukleus dan protein sitoplasma pada sel itu sendiri (Madeo et al. 1999; Susin et al 1999). Mekanisme tersebut nantinya akan dipergunakan dalam melenyapkan sel-sel rusak atau yang tidak dapat menjalankan fungsinya, mencegah sel kekurangan nutrien, dan mencegah penularan virus. Apoptosis juga mencegah penyakit kanker. Jika suatu sel gagal atau tidak mampu melakukan apoptosis disebabkan oleh faktorfaktor tertentu seperti adanya radikal bebas atau virus, sel akan terus membelah (berproliferasi) dan berkembang menjadi sel kanker (Macdonal 2004). Mekanisme apoptosis dalam mencegah kanker yaitu dengan cara mengeliminasi sel-sel preneoplastik dan neoplastik (jaringan yang mengalami keabnormalan proliferasi) (Lusiana 2010) Pada beberapa studi yang mempelajari senyawa flavonoid dalam tumbuhan herbal, flavonoid diketahui sebagai salah satu pemicu apoptosis dengan menginduksi spesises oksigen reatif (ROS) melalui jalur intrinsik (Gambar 4). ROS pemicu ini merupakan produk sampingan degradasi asam lemak dan asam amino di dalam peroksisom. Mula-mula ROS mengirimkan stimuli kepada reseptor apoptosis (BH3) untuk mengaktifkan serangkaian protein pemicu apoptosis yaitu Bax dan Bak di dalam mitokondria. Hal tersebut kemudian menyebabkan penurunan potensial membran (membran menjadi permeabel) sehingga terjadi penurunan jumlah ion K+, dan pelepasan sitokrom C beserta dengan faktor apoptosis lain (AIF, EndonucleaseG, dan Smac/Diablo) untuk mengaktifkan kaspase 9 dari pro kaspase 9. Kaspase 9 kemudian mengaktifkan kaspase 3 sehingga terjadilah apoptosis (Wang 2001). Selain jalur intrinsik, apoptosis juga 6 terjadi melalui jalur ekstrinsik dengan cara menghambat TNF (Tumor Necrosis Factor). TNF merupakan faktor transkripsi yang berimplikasi pada sejumlah gen yang terlibat dalam proliferasi sel, diferensiasi, sistem imun dan respon pro-inflamasi. Mekanisme inhibisi TNF mengaktifkan kaspase 8, dilanjutkan dengan kaspase 10, dan kaspase 3. Kaspase 3 merupakan enzim kunci dalam apoptosis. Serangkaian mekanisme enzim yang terjadi melalui kedua alur tersebut mengakibatkan kerusakan DNA pada inti sel, kemudian dilanjutkan dengan fragmentasi inti sel. Kerusakan ini berujung pada pembentukan badan apoptosis yang memberikan sinyalsinyal kepada makrofag untuk selanjutnya difagositosis (Shi et al. 2003; Song et al. 2012) atau didaur ulang di dalam lisosom jika kerusakannya mash bisa diperbaiki (Abeliovich & Klionsky 2001). Beberapa studi yang umumnya dilakukan untuk mengidentifikasi sel yang mengalami efek hambat proliferasi dan apoptosis, diantaranya melalui ciri morfologisnya. Ciri morfologis ditunjukkan dengan kondisi utuhnya membran plasma, selnya berkerut (pyknosis), inti selnya terfragmentasi (karyorrhexis) (Macdonal et al. 2004), kerusakan membran (membrane blebbing), eksternalisasi fosfatidilserin (Madeo et al. 1999) dan terkadang sel pecah menjadi beberapa vesikel yang disebut badan apoptosis (Cotran et al. 1999). Sel yang mati tersebut akan segera dimakan oleh makrofag sebelum terjadi kebocoran sel yang akan menyebabkan reaksi inflamasi yang berujung pada peristiwa nekrosis (Macdonal et al. 2004 ; Reed 2000). Deteksi Apotosis melalui Uji Fragmentasi DNA DNA genom merupakan seluruh materi genetik yang dimiliki oleh suatu organisme termasuk di dalamnya DNA yang berinteraksi dengan protein dan RNA (Weaver & Hedrick 1997). DNA didapatkan melalui proses isolasi dan biasanya dimanfaatkan untuk berbagai penelitian genetika seperti analisis keragaman genetik, kloning gen, maupun deteksi sel apoptosis. Pada umumnya deteksi sel apoptosis dilakukan pada sel kanker (Darzynkiewicz 1992) atau sel khamir (Granot et al. 2003) yang telah diinduksi oleh ekstrak herbal atau senyawa kimia sintetik. Sel khamir yang telah diinduksi akan berubah menjadi sel petite dan akan dideteksi hasil fragmentasi DNAnya dengan menggunakan prinsip elektroforesis. Isolasi DNA pada sel khamir Gambar 4 Mekanisme induksi apoptosis di dalam sel khamir melalui jalur intrinsik (Wang 2001). menggunakan protokol „Bust and Grab‟ yang dipublikasikan oleh Harju et al. (2004) untuk mendapatkan sel khamir yang optimum pada konsentrasi 200 ng–3 µg. Isolasi DNA khamir membutuhkan glass beads dan enzim lisis dalam jumlah yang tinggi sehingga biaya yang dikeluarkan relatif mahal. Metode ini hanya membutuhkan bufer lisis dan pengulangan proses freezing-thawing. Metode freezingthawing dilakukan dengan melakukan inkubasi sel ke dalam larutan ekstrim dingin (nitrogen cair bersuhu -196°C), kemudian dipindahkan langsung ke larutan panas (95°C). Perlakuan tersebut dilakukan untuk merusak membran sel khamir sehingga DNA mudah diekstraksi (Borochov et al. 1987). DNA sel petite yang didapatkan dari hasil isolasi kemudian diuji fragmentasi menggunakan elektroforesis dengan gel agarosa sebagai media migrasi. Pada hasil elektroforesis DNA, elektroforegram positif ditunjukkan dengan adanya fragmentasi DNA berupa smear (bayangan) tipis berwarna keputihan, dengan bobot molekul yang rendah (Granot et al. 2003; Darzynkiewicz et al. 1992). Hal tersebut disebabkan adanya aktivitas endonuklease pada sel petite yang terapoptosis. Uji fragmentasi DNA ini merupakan salah satu uji lanjutan untuk mendeteksi hasil induksi apoptosis setelah uji frekuensi petite dengan menggunakan cawan