Polemik Jumlah Kepemilikan Pesawat, Airmagz

advertisement
SPECIALReport
Polemik
Jumlah
Kepemilikan
Pesawat
Industri penerbangan
domestik nampaknya akan
terus menjadi pembicaraan.
Dan selalu saja memunculkan
pro dan kontra, mulai dari
kasus delay, kecelakaan
pesawat, hingga kebijakan
kepemilikan pesawat
udara yang diterapkan oleh
regulator.
K
ualifikasi modal besar bagi pelaku bisnis aviasi dengan
jumlah minimal kepemilikan pesawat menurut kelas
bisnisnya dianggap lebih menjamin terciptanya
penerbangan dengan keselamatan dan keamanan
yang optimal.
Menanggapi soal aturan tersebut, Sigit Sudarmadji seorang
Pegawai Negeri Sipil (PNS) menggugat ketentuan tersebut
dalam ringkasan perkara Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
29/PUU-XIII/2015 Ketentuan Jumlah Minimum Kepemilikan dan
Penguasaan Pesawat Udara dalam Usaha Angkutan Udara Niaga.
Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia
yang merasa dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan hak-hak
konstitusionalnya dengan berlakunya pasal 118 ayat (1) huruf
b dan ayat (2) UU 1/2009 tentang Penerbangan karena adanya
diskriminasi dengan diberlakukannya ketentuan tentang jumlah
minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara.
Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi
untuk menguji Undang-Undang adalah: Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a UndangUndang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
MK), menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945); Pasal 10 ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji
Undang-Undang terhadap UUD 1945; Pasal 29 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk: a. Menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan,
“Dalam hal suatu Undang-Undang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”.
Seperti apa bunyi pasal 118 tersebut? Perlu diketahui, bahwa
peraturan mengenai wajib kepemilikan pesawat dalam jumlah
tertentu merujuk pada Undang-Undang No. 1 tahun 2009
tentang Penerbangan. Ada kualifikasi-kualifikasi yang harus
dipenuhi oleh maskapai sebagai modal dasar. Pasal 118 ayat (1)
huruf b (1) Pemegang izin usaha angkutan udara niaga wajib
memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah tertentu.
Pasal 118 ayat (2): Pesawat udara dengan jumlah tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: (a) angkutan udara
niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5 (lima) unit pesawat
udara dan menguasai paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara
dengan jenis yang mendukung kelangsungan usa a sesuai
dengan rute yang dilayani; (b) angkutan udara niaga tidak
berjadwal memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara
dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara
dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai
dengan daerah operasi yang dilayani; dan (c) angkutan udara
niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 (satu)
unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit
pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan
usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani.
asang dilayani.
Gugatan itu Benar atau Main-Main?
Berkomentar soal itu, untuk menjawab apakah tindakan
pegawai negeri sipil (PNS) yang mengajukan gugatan terhadap
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UU
Penerbangan) dapat dibenarkan atau tidak, Andre Rahadian,
Partner Hanafiah Ponggawa & Partner (HPRP) menyatakan
maka perlu diperhatikan terlebih dahulu mengenai ketentuanketentuan berikut ini: (a) Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 jo. Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
Foto: Randy Christianto Putra
SPECIALReport
Danang Prihantoro
42 AIRMAGZ I Indonesia Aviation & Airport Magazine
AIRMAGZ Tahun I -I Edisi 05 I Juli 2015
43
SPECIALReport
SPECIALReport
“
Pemohon yang merupakan seorang warga negara Indonesia
(terlepas dari statusnya sebagai PNS) berhak untuk mengajukan
pengujian atas UU Penerbangan terhadap UUD 1945 apabila
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya UU Penerbangan.
Sebagai contoh pada 13
November 2012, Mahkamah
Konstitusi pernah mengabulkan
permohonan pengujian UndangUndang No. 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas (UU
Migas) terhadap UUD 1945 yang
diajukan oleh sejumlah organisasi
dan perorangan karena dianggap
bertentangan dengan UUD 1945
yang mengakibatkan beberapa
pasal dalam UU Migas dinyatakan
inkonstitusional dan dibubarkannya
Badan Pelaksana Minyak dan Gas
(BP Migas).
“Terkait dengan argumentasi pemohon yang menyatakan
bahwa terdapat diskriminasi dengan pelaku usaha asing,
menurut saya dalam hal ini juga tidak terdapat diskriminasi
karena UU Penerbangan telah memberikan proteksi kepada
pelaku usaha nasional pada pasar domestik. Hal ini terlihat dari
Pasal 84 UU Penerbangan yang menyatakan bahwa kegiatan
usaha angkutan udara niaga dalam negeri (rute domestik)
hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga
nasional sehingga pasar rute domestik sepenuhnya dikuasai oleh
Foto: Adi Cahyadi
Foto: Randy Christianto Putra
Andre menegaskan dalam kasus
ini pemohon menyampaikan bahwa terdapat diskriminasi pelaku
usaha penerbangan dibandingkan pelaku usaha transportasi
lainnya seperti pelayaran karena dalam Undang-Undang No. 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak terdapat ketentuan yang
mengharuskan pengusaha untuk memiliki dan menguasai lebih
dari 1 kapal. “Namun, menurut saya argumentasi permohonan
yang disampaikan kurang tepat karena tugas Mahkamah
Konstitusi bukanlah untuk membandingkan suatu ketentuan
undang-undang dengan undang-undang lainnya.”
Foto: Theodorus Aji Baruno
“
TERKAIT DENGAN
ARGUMENTASI PEMOHON
YANG MENYATAKAN BAHWA
TERDAPAT DISKRIMINASI
DENGAN PELAKU USAHA
ASING, MENURUT SAYA
DALAM HAL INI JUGA TIDAK
TERDAPAT DISKRIMINASI
KARENA UU PENERBANGAN
TELAH MEMBERIKAN
PROTEKSI KEPADA PELAKU
USAHA NASIONAL PADA
PASAR DOMESTIK.
Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang terakhir kali
diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No. 1 Tahun 2013 (UU MK) yang menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar; (b) Pasal 51 ayat (1) UU MK
yang menyatakan bahwa per­orangan warga negara Indonesia
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang dapat
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi; (c) Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Andre Rahadian, Partner HPRP
44 AIRMAGZ I Indonesia Aviation & Airport Magazine
AIRMAGZ Tahun I -I Edisi 05 I Juli 2015
45
SPECIALReport
SPECIALReport
Gugatan Luluhkan Keputusan Regulator?
Lebih lanjut menurut Andre, pelaku usaha asing yang hendak
berusaha pada rute domestik diharuskan untuk mendirikan
perusahaan penananaman modal asing di Indonesia terlebih
dahulu dalam bentuk perseroan terbatas (PT).
Di dalam proses pengujian, terdapat beberapa rangkaian
persidangan yang harus dilakukan untuk mencapai putusan
akhir yang diawali dengan sidang pendahuluan untuk
pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
Proses pemeriksaan persidangan tersebutlah hakim konstitusi
akan memutus pengujian suatu undang-undang terhadap UUD
1945, dengan mempertimbangkan alasan pemohon serta
keterangan dari termohon atau lembaga negara yang terkait
dengan permohonan.
Dalam mendirikan PT yang bergerak di bidang penerbangan
niaga pelaku usaha asing dikenakan ketentuan pembatasan
kepemilikan modal asing sebesar 49 persen dan juga diharuskan
tunduk pada ketentuan kepemilikan dan pengusaan pesawat
udara yang diatur dalam Pasal 118 ayat (1) huruf b dan Pasal
118 ayat (2) UU Penerbangan. Sehingga dengan adanya
(i) perbedaan kegiatan usaha yang dapat dilakukan dan (ii)
persyaratan tambahan dalam mendirikan PT oleh pelaku usaha
asing, maka menurut saya tidak terdapat diskriminasi dengan
pelaku usaha asing.
Selanjutnya ketika memasuki pemeriksaan persidangan
hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti
yang diajukan, dan untuk kepentingan pemeriksaan, hakim
konstitusi memanggil para pihak yang berperkara untuk
memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta
keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait
dengan permohonan.
Andre yang juga menjadi ketua harian Masyarakat Hukum
Udara (MHU) ini menjabarkan melalui tentunya terlepas dari
analisa pada pertanyaan nomor 2 di atas, sebagai praktisi hukum
saya tidak dapat mengetahui secara pasti apakah Mahkamah
Konstitusi akan mengabulkan permohonan pemohon atas
pengujian Pasal 118 ayat (1) huruf b dan Pasal 118 ayat (2) UU
Penerbangan, karena semua akan bergantung kepada proses
persidangan di Mahkamah Konstitusi dan keyakinan hakim
dalam memutus.
Nah, apakah di luar negeri sempat terjadi hal serupa?
Sebagaimana penjelasan Andre, bahwa fungsi serupa dengan
Mahkamah Konstitusi juga dikenal di negara-negara lain dan
banyak kasus serupa terkait pengujian atas ketentuan undangundang. “Tapi, khusus terkait undang-undang penerbangan
atau aturan terkait kepemilikan pesawat udara di luar negeri,
saya tidak memiliki data apakah pernah terjadi kasus serupa.”
Foto: Istimewa
perusahaan usaha nasional,” jelasnya.
46 AIRMAGZ I Indonesia Aviation & Airport Magazine
AIRMAGZ Tahun I -I Edisi 05 I Juli 2015
47
Download