Kajian Histopatologi Pada Seekor Singa Afrika

advertisement
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seekor singa Afrika betina milik suatu penangkaran satwa liar ditemukan
mati dengan anamnesa adanya keputihan dari vulva dua hari sebelum
kematiannya. Secara umum, kondisi gizi singa tersebut masih baik namun mukosa
terlihat pucat. Pemeriksaan patologi anatomi (PA) dilakukan pada berbagai organ
yaitu jantung, trakea, paru-paru, hati, usus, limpa, ginjal dan uterus. Eksudat
purulen bercampur darah dengan volume  3L ditemukan pada lumen uterus.
Pemeriksaan pada lambung dan usus memperlihatkan adanya infestasi cacing
Acantocephala sp. dalam jumlah banyak (Bagian Patologi KRP-FKH IPB 2007).
Hasil pemeriksaan PA pada berbagai organ disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Perubahan Patologi Anatomi Organ Singa
Sistem Organ
Respirasi
Sirkulasi
Organ
Trakea
Paru-paru
Jantung
Limforetikuler
Digesti
Limpa
Usus
Hati
Reproduksi
Uterus
Urinaria
Ginjal
Perubahan
Hiperemia.
Kongesti, emfisema, anthracosis.
Hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan, serous
atrofi lemak koroner disertai perdarahan, degenerasi
miokard, endokarditis nodularis valvularis.
Peradangan.
Infestasi cacing Acantocephala sp. dalam jumlah banyak
pada lambung dan usus, infestasi ringan cacing pita pada
ileum, gastritis ulceratif hemoragika, enteritis
mukopurulenta.
Degenerasi, fibrosis multifokal, nekrosis dan perdarahan
multifokal.
Membesar disertai penebalan, beberapa bagian menipis
dan nekrosis, mukosa uterus mengalami peradangan
purulen disertai perdarahan, pada lumen ditemukan
eksudat purulen bercampur darah dengan volume  3L.
Kongesti.
Sumber: Bagian Patologi KRP-FKH IPB 2007.
Hasil pemeriksaan histopatologi organ paru-paru menunjukkan emfisema
pulmonum. Emfisema pada kasus ini terjadi karena rupturnya dinding alveol
sehingga ruang alveolar saling bergabung dan membesar. Emfisema pulmonum
pada hewan umumnya bersifat sekunder karena selalu terjadi setelah adanya
gangguan aliran udara. Berdasarkan daerah paru-paru yang terpengaruh, emfisema
diklasifikasikan menjadi emfisema alveolar dan emfisema interstitial. Emfisema
16
alveolar dikarakteristikkan dengan distensi dan rupturnya dinding alveolar,
sehingga membentuk gelembung udara dengan berbagai ukuran di parenkim paruparu. Emfisema interstitial terjadi saat akumulasi udara menembus dinding
alveolar dan dinding bronkhioli kemudian masuk ke jaringan ikat interlobular,
sehingga menyebabkan distensi dari septa interlobular (McGavin dan Zachary
2001). Ditemukannya dinding alveolar yang ruptur dan membesar pada jaringan
paru-paru singa secara mikroskopik menunjukkan adanya emfisema alveolar
(Gambar 4).
Pada hewan, emfisema umumnya terjadi sebagai lesio sekunder akibat
terhambatnya aliran udara atau sebagai lesio pada saat hewan mati. Emfisema
akibat kerusakan pulmonal umumnya terjadi pada hewan yang menderita
bronkopneumonia. Adanya eksudat pada bronkopenumonia menyumbat bronkus
dan bronkiolus sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara udara yang
masuk dan keluar dari paru-paru (McGavin dan Zachary 2001). Pada pemeriksaan
histopatologi paru-paru singa tidak ditemukan adanya eksudat maupun sel radang
pada bronkiolus sehingga emfisema yang ditemukan pada kasus ini diduga
merupakan lesio yang terjadi ketika hewan dalam keadaan moribun (sekarat).
Pada jaringan interstitium paru ditemukan pigmen karbon, yang
menunjukkan singa menderita anthracosis (Gambar 5). Anthracosis merupakan
akumulasi pigmen karbon yang masuk ke paru-paru melalui jalur inhalasi.
Umumnya hewan yang menderita anthracosis hidup di lingkungan yang berpolusi.
Secara mikroskopik, pigmen karbon terlihat sebagai bercak-bercak berwarna
hitam yang ditemukan di dinding alveolar atau fokus hitam pada peribronkial
(McGavin dan Zachary 2001).
Gangguan sirkulasi yang teramati pada jaringan paru-paru adalah kongesti,
hiperemia dan edema. Kongesti dan hiperemia terlihat dengan berkumpulnya
darah di kapiler-kapiler intersitium paru-paru. Kongesti paru seringkali
disebabkan oleh kegagalan jantung, dan bila berjalan lama akan berlanjut menjadi
edema pulmonum yang terlihat dengan adanya endapan protein dalam alveolar
(Gambar 5). Menurut McGavin dan Zachary (2001), kongesti yang berjalan lama
juga dapat menyebabkan penebalan jaringan interstitial sehingga menimbulkan
fibrosis interstitial ringan.
17
Gambar 4
Emfisema alveolar (panah) yang dicirikan oleh robek dan
menyatunya dinding alveolar. Pewarnaan HE, bar 200 µm.
c
a
b
Gambar 5
Alveol paru-paru singa yang mengalami edema (a), anthracosis di
interstitium (b) dan fibrosis ringan (c). Pewarnaan HE, bar 100 µm.
18
Pada pemeriksaan PA epikard jantung ditemukan lemak jantung yang
mencair atau disebut serous atrofi. Serous atrofi lemak terjadi pada hewan yang
mengalami anoreksia atau kondisi kelaparan, sehingga depo lemak tubuh
dimetabolisme untuk dijadikan sumber energi (McGavin dan Zachary 2001).
Hasil pemeriksaan PA jantung singa didiagnosa mengalami hipertrofi ventrikel
kiri dan dilatasi ventrikel kanan. Namun pada pemeriksaan histopatologi
ditemukan filamen otot jantung yang mengecil dan merenggang, yang
menandakan adanya atrofi miokard (Gambar 6). Pada bagian lain dari miokard
terlihat adanya proliferasi jaringan ikat dan sebagian sel-sel otot jantung
mengalami degenerasi hingga nekrosis (Gambar 7). Sitoplasma sel otot jantung
yang mengalami degenerasi terlihat berwarna lebih pudar dengan inti sel yang
masih baik. Nekrosis miokard ditandai oleh sel-sel otot yang berwarna lebih
merah, filamen yang mengecil sehingga memberi jarak satu dengan yang lain
disertai inti yang piknosis. Jaringan ikat atau jaringan parut terbentuk sebagai
pengganti sel-sel otot yang nekrosis. Menurut McGavin dan Zachary (2001), ciriciri nekrosis miokard antara lain inti yang piknosis dan serabut otot yang berjarak.
Jaringan ikat pada daerah nekrosis seringkali tampak membengkak dan berwarna
hipereosinofilik. Atrofi dan nekrosis miokard dapat disebabkan oleh berbagai
kausa diantaranya defisiensi nutrisi, bahan toksik kimia maupun tanaman,
iskemia, gangguan metabolisme, dan trauma fisik (Ross et al. 2003).
Pemeriksaan PA katup jantung menunjukkan adanya penebalan katup
disertai pembentukan nodul. Katup jantung secara histopatologi tampak menebal
dan mengalami degenerasi yang terlihat dari pudarnya serabut katup dan inti sel
piknosis. Beberapa lesio penyakit seperti kalsifikasi dan fibrosis dapat
menyebabkan degenerasi katup sehingga menyebabkan gangguan fungsi jantung
akibat insufiensi dan stenosis lubang katup (Ross et al. 2003).
Secara keseluruhan, perubahan-perubahan yang terjadi pada jantung singa
didiagnosa sebagai kardiomiopati. Istilah kardiomiopati digunakan untuk berbagai
kelainan pada miokard baik yang bersifat idiopatik maupun akibat kausa yang
telah diketahui. Perubahan yang biasanya ditemukan pada kardiomiopati adalah
kardiomegali yang disebabkan oleh dilatasi umum dan fibrosis (Jubb et al.
1992b).
19
Gambar 6
Atrofi miokard dicirikan oleh serabut otot yang mengecil dan
merenggang. Pewarnaan HE, bar 50 µm.
a
Gambar 7
b
Kardiomiopati yang ditandai dengan degenerasi hingga nekrosis
miokard (a) dan fibrosis (b). Pewarnaan HE, bar 100 µm.
20
Hasil pemeriksaan histopatologi organ limpa menunjukkan adanya deplesi
pada folikel limfoid, yang terlihat dari renggangnya daerah pulpa putih sehingga
terbentuk ruang-ruang kosong. Bagian pulpa merah terlihat mengalami kongesti
yang ditandai dengan akumulasi eritrosit serta ditemukan infiltrasi sel radang
limfosit, makrofag, dan neutrofil. Hal ini menandakan limpa mengalami
peradangan atau splenitis. Akumulasi makrofag dan pigmen hemosiderin pada
pulpa merah menunjukkan adanya kongesti kronis di limpa yang dapat terjadi
akibat gangguan sirkulasi. Deplesi folikel limfoid pada limpa singa menunjukkan
kondisi imunosupresi yaitu terjadinya pengurangan pembentukan sel-sel
pertahanan (Jubb et al. 1992 a). Menurut McGavin dan Zachary (2001),
peradangan pada limpa atau splenitis dapat terjadi akibat kondisi septisemia atau
bakterimia dimana bakteri yang masuk ke pulpa merah limpa akan difagosit oleh
makrofag. Splenitis terlihat dari membesarnya ukuran limpa atau splenomegali
sebagai akibat dari kongesti akut limpa dan infiltrasi sel radang neutrofil.
Berdasarkan hasil pemeriksaan PA, pada usus dan lambung singa terjadi
infestasi cacing Acantocephala sp. dalam jumlah banyak. Acantocephala sp.
merupakan kelompok parasit obligat yang memanfaatkan arthropoda sebagai
inang perantara dan vertebrata sebagai inang definitif. Cacing ini memiliki
probosis yang bertanduk yang berfungsi untuk mengaitkan diri pada usus inang
vertebrata. Morfologi cacing ini berbentuk silindris dan tidak bersegmen (Near
2002). Singleton et al. (1993) melaporkan kejadian infestasi berat cacing
Acantocephala sp. pada tupai. Hasil pemeriksaan mikroskopik saluran digesti
tupai menunjukkan enteritis yang dicirikan oleh infiltrasi limfosit, makrofag, sel
plasma, dan eosinofil pada mukosa dan submukosa usus. Area perlekatan cacing
tersebut pada dinding usus halus ditandai dengan atrofi sel epitel dan infiltrasi
eosinofil, neutrofil, dan sel plasma.
Pemeriksaan histopatologi usus singa menunjukkan epitel penutup vili
yang mengalami desquamasi dan vili-vili yang tampak memendek. Pada bagian
mukosa usus ditemukan potongan badan cacing (Gambar 8). Keberadaan cacing
Acantocephala sp. pada usus singa selain mengakibatkan desquamasi epitel
penutup juga menyebabkan peradangan mukosa yang terlihat dari adanya infiltrasi
sel radang. Sel-sel radang yang teridentifikasi pada mukosa usus adalah sel
21
plasma, makrofag, limfosit, neutrofil, dan eosinofil. Desquamasi epitel penutup
dapat terjadi karena cacing Acantocephala sp berada pada lumen usus dan pada
lapis inilah cacing melekatkan probosis bertanduknya. Selain itu, kripta usus pada
lapis mukosa terlihat mengalami nekrosis, dan sebagian sel goblet aktif
menghasilkan mukus. Hasil pemeriksaan PA menunjukkan usus singa ini
mengalami enteritis dengan tipe eksudat mukopurulen yang ditunjukkan dengan
eksudat yang bersifat kental dan keruh dengan warna kekuningan. Menurut
Cheville (2006), eksudat purulen umumnya bercampur dengan fibrin dan mukus.
Secara mikroskopik, eksudat purulen akan penuh dengan sel radang neutrofil. Hal
ini sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologi usus singa yang banyak
mengandung sel radang neutrofil. Eksudat purulen yang bercampur dengan mukus
pada usus singa diakibatkan oleh rangsangan cacing.
Pemeriksaan
histopatologi jaringan hati singa menunjukkan hati
mengalami hepatopati, yang ditunjukkan dengan hepatosit yang mengalami
degenerasi lemak, degenerasi hidropis, dan ditemukan nekrosis multifokus dengan
pola nekrosis sentrolobular (Gambar 10, 11). Sinusoid hati tampak meluas dan
dipenuhi endapan protein yang berwarna merah dengan pewarnaan HE (Gambar
10). Selain itu ditemukan pula fokus-fokus nekrosis dengan hepatosit yang sudah
lisis serta banyaknya eritosit memenuhi sinusoid yang menandakan hati
mengalami kongesti pasif (Gambar 11). Kongesti pada sinusoid mengakibatkan
sel hepatosit tergencet sehingga atrofi, yang tampak sebagai bentuk hepatosit yang
tidak beraturan. Degenerasi hidropis pada hepatosit ditandai dengan adanya
kekeruhan pada sitoplasma, sedangkan degenerasi lemak ditandai dengan adanya
vakuola yang kecil dan jernih. Pada kedua jenis degenerasi tersebut inti masih
terlihat baik. Degenerasi lemak hati terjadi akibat kondisi hipoksemia sehingga sel
kekurangan oksigen. Proses degenerasi lemak terjadi akibat terhambatnya kerja
enzim pada retikulum endoplasmik yang berfungsi sebagai katalisator oksidasi
asam lemak sehingga mendukung sintesis dan akumulasi trigliserida. Pada
hipoksemia hati, daerah yang lebih dulu terpengaruh dan mengalami degenerasi
lemak adalah zona sentrolobular yaitu zona yang terdekat dengan vena sentralis
(Cheville 2006). Degenerasi hidropis hepatosit dapat disebabkan oleh hipoksia,
berbagai toksin, tumor, dan akumulasi pigmen empedu.
22
b
a
Gambar 8
Enteritis mukopurulenta pada usus singa yang didominasi
desquamasi sel epitel penutup (a) dan ditemukan potongan badan
cacing pada mukosa usus (b). Pewarnaan HE, bar 200 µm.
a
c
e
b
d
Gambar 9
Enteritis mukopurulenta pada usus singa dengan sel radang eosinofil
(a), neutrofil (b), limfosit (c), makrofag (d), dan sel plasma (e).
Pewarnaan HE, bar 10 µm.
23
Sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis tampak membesar
dengan sitoplasma yang bervakuola dan inti sel yang terdorong ke tepi (Jubb et al.
1992 a). Mekanisme terjadinya degenerasi hidropis umumnya melibatkan
kerusakan pada membran sel, kegagalan sel untuk menghasilkan energi, atau
gangguan enzim yang mengatur pompa ion natrium-kalium pada membran sel.
Hipoksia pada sel mengakibatkan berkurangnya produksi energi atau ATP
sehingga homeostatis sel terganggu. Pada keadaan ini, natrium dan air masuk ke
dalam sel akibat kerusakan pompa ion pada membran sel dan menyebabkan
tekanan osmotik meningkat sehingga sel membesar. Cisternae dari retikulum
endoplasmik menjadi membesar, ruptur, kemudian membentuk vakuola-vakuola
yang akhirnya sel mengalami degenerasi hidropis (McGavin dan Zachary 2001).
Nekrosis hepatosit dicirikan oleh sitoplasma hepatosit yang berwarna lebih
gelap dan inti sel yang piknosis hingga lisis. Menurut McGavin dan Zachary
(2001), nekrosis hepatosit dikarakteristikkan dengan sitoplasma yang membesar,
organel sel hancur dan robeknya membran plasma. Nekrosis pada sel hepatosit
biasanya diikuti dengan reaksi fibrosis jika peradangan bersifat kronis. Respon
hati lainnya terhadap peradangan adalah regenerasi dan hiperplasia buluh empedu.
Nekrosis hepatosit yang terjadi pada jaringan hati singa ini membentuk
nekrosis pola sentrolobular. Menurut Jubb et al. (1992 a), degenerasi maupun
nekrosa hati dapat membentuk pola nekrosis periasinar atau sentrolobular,
midzonal, periportal, parasentral, maupun nekrosa yang difus. Pada pola nekrosis
sentrolobular, sebagian besar nekrosis terjadi pada hepatosit yang berada di zona
sentrolobular yaitu zona yang mengelilingi vena sentralis. Zona sentrolobular
merupakan daerah yang terjauh dari arteri maupun vena portal, sehingga
merupakan zona terakhir yang mendapatkan oksigen dan nutrisi sehingga
hepatosit rentan terhadap hipoksia. Nekrosis sentrolobular umumnya disebabkan
oleh gangguan jantung yang menyebabkan kongesti pasif. Kongesti terlihat dari
adanya akumulasi eritrosit baik pada vena sentralis, venula maupun sinusoid.
Kongesti pasif yang berlangsung lama menyebabkan hepatosit mengalami
degenerasi lemak dan sinusoid meluas berisi eritrosit yang dikenal dengan hati biji
pala (Carlton dan McGavin 1995).
24
Gambar 10
Jaringan hati singa yang mengalami kongesti pasif menyebabkan
hepatosit atrofi dengan pola sentrolobular serta adanya endapan
protein di sinusoid. Pewarnaan HE, bar 100 µm.
c
b
a
Gambar 11
Kongesti pasif pada jaringan hati singa menyebabkan hepatosit
mengalami degenerasi hidropis (a), nekrosis (b) bahkan lisis (c).
Tampak sinusoid melebar penuh dengan eritrosit. Pewarnaan HE,
bar 50 µm.
25
Hasil pemeriksaan histopatologi ginjal singa menunjukkan adanya
perubahan baik pada parenkim maupun interstitium. Glomerulus ditemukan
mengalami edema yang ditandai oleh adanya endapan protein di glomerular tuft
hingga ke ruang Bowman (Gambar 12). Selain itu ditemukan pula beberapa
glomerulus yang mengalami nekrotik, yang terlihat dari inti kapiler yang piknotis.
Di banyak lapang pandang ditemukan tubulus yang mengalami degenerasi
hidropis dan nekrosis. Nekrosis tubulus ditunjukkan dengan epitel sitoplasma
yang berwarna eosinofilik dan inti yang piknosis. Pada tubulus yang mengalami
nekrosis, terlihat epitel tubulus terlepas dari membran basalnya (Gambar 13).
Degenerasi hidropis pada epitel tubulus ginjal merupakan bentuk lanjut
dari pembengkakan sel secara akut akibat cairan yang masuk ke dalam sitoplasma
(Cheville 2006). Perubahan lain pada tubulus singa adalah adanya endapan
protein di lumennya, namun hanya ditemukan pada beberapa tubulus saja
(Gambar 12). Endapan protein menunjukkan adanya gangguan reabsorpsi protein
oleh tubulus. Kerusakan epitel tubulus dapat berasal dari infeksi yang terbawa
sirkulasi darah, infeksi ascending, toksin, dan iskemia (McGavin dan Zachary
2001).
Perubahan pada intersitium ginjal berupa pendarahan, kongesti, edema dan
pembentukan jaringan ikat atau fibrosis yang ditemukan sepanjang korteks dan
medulla (Gambar 13). Kongesti dan hemoragi ditemukan hampir di seluruh
kapiler ginjal, sedangkan edema ditemukan di sekitar tubulus distalis yang
nekrosis. Hemoragi merupakan lesio yang bersifat akut yang umum terjadi, selain
edema dan peradangan. Selain itu ditemukan multifokus fibrosis di sekitar tubulus
distalis (Gambar 13) serta di bagian medula ginjal. Hasil pemeriksaan ginjal juga
memperlihatkan adanya infiltrasi sel radang antara lain limfosit, makrofag, dan sel
plasma. Hal ini mengindikasikan ginjal singa mengalami peradangan kronis.
Namun adanya pendarahan pada radang kronis ginjal menandakan telah terjadi
peradangan akut pada ginjal tersebut. Dengan demikian ginjal singa didiagnosa
mengalami nefritis interstitialis kronis aktif, karena selain ditemukan fibrosis
ditemukan juga pendarahan di interstitiumnya.
Menurut McGavin dan Zachary (2001), nefritis interstitial kronis ditandai
dengan meningkatnya jaringan ikat pada interstitium ginjal serta menghilangnya
26
tubulus ginjal akibat atrofi. Nefritis interstitial kronis sering dijumpai pada hewan
domestik seperti anjing dan kucing sebagai proses penuaan. Saat nefritis
interstitial kronis sudah berlangsung parah, lesio ini dapat dimanifestasikan secara
klinis sebagai kegagalan ginjal kronis atau uremia. Adanya sindrom uremia pada
singa diketahui dengan terbentuknya gastritis ulceratif et hemoragika pada
lambung yang teramati pada pemeriksaan PA. Menurut Stone et al. (1988), pada
pemeriksaan biopsi ginjal 27 ekor anjing yang menderita pyometra menunjukkan
prevalensi tinggi terjadinya nefritis tubulointerstitialis dengan lesio pada
glomerulus yang tidak spesifik. Hal ini menguatkan diagnosa nefritis
tubulointerstitialis yang dialami singa ini dapat disebabkan oleh pyometra.
Hasil pemeriksaan histopatologi endometrium uterus singa menunjukkan
kelenjar uterus yang berdilatasi dan sebagian kelenjar membentuk sistik yang
berisi eksudat. Epitel kelenjar yang membentuk sistik mengalami hiperplasia
sehingga terlihat sel epitel yang saling menumpuk (Gambar 14). Pada
pemeriksaan PA ditemukan eksudat purulen di lumen uterus. Eksudat ini berasal
dari sekresi kelenjar yang membentuk sistik, kemudian sistik tersebut pecah dan
eksudatnya menggenangi lumen uterus. Hiperplasia sistik endometrial yang
ditemukan pada uterus singa ini serupa dengan bentuk hiperplasia sistik yang
pernah dilaporkan pada kasus pyometra, baik pada individu singa lain maupun
pada spesies mamalia lain. Migliorisi et al. (2010) melaporkan kasus hiperplasia
sistik endometrial pada seekor singa Afrika berusia 13 tahun. Sistik endometrial
yang dilaporkan oleh Agnew et al. (2004) pada spesies gajah juga menunjukkan
bentuk yang serupa yaitu kelenjar yang mengalami sistik dikelilingi epitel yang
berlapis. Tipe epitel pada kelenjar adalah epitel kuboid sampai epitel silindris
rendah. Perubahan patologi pada kasus pyometra dugong juga ditemukan
pembesaran uterus dengan eksudat berwarna coklat kehijauan. Mukosa uterus
menunjukkan bercak hemoragi dengan pus yang menutupi mukosa (Chansue et al.
2006).
27
a
b
c
d
Gambar 12
Ginjal singa mengalami nefritis tubulointerstitialis, yang dicirikan
oleh edema glomerulus (a), serta degenerasi (b), nekrosis (c) dan
adanya endapan protein di lumen tubulus (d). Pewarnaan HE, bar
50 µm.
Gambar 13
Nefritis tubulointerstitialis kronis yang dicirikan dengan adanya
fibrosis, pendarahan dan edema (panah), serta tubulus distalis
nekrosis yang dicirikan oleh inti piknotis serta epitel yang terlepas
dari membran basal. Pewarnaan HE, bar 50 µm.
28
Lesio lain yang teramati pada endometrium uterus selain pendarahan
adalah ditemukannya sel radang limfosit, makrofag, sel plasma, dan neutrofil. Sel
radang ini juga ditemukan pada bagian perimetrium dan miometrium. Adanya
infiltrasi sel radang dan pendarahan menunjukkan peradangan pada uterus yang
bersifat kronik aktif. Keberadaan sel radang neutrofil menandakan adanya infeksi
bakteri pada uterus. Beberapa bagian dari miometrium mengalami nekrosa dengan
inti sel yang piknosis. Pada daerah yang nekrosa, telah terjadi proliferasi jaringan
ikat yang mengisi di antara serabut otot miometrium (Gambar 15). Miometrium
juga mengalami hemoragi dan kongesti. Adanya bagian miometrium yang
mengalami nekrosis menyebabkan uterus mudah ruptur.
Hasil pemeriksaan histopatologi dinding uterus berupa penyimpangan
struktur mukosa dengan adanya hiperplasia kelenjar dan proliferasi jaringan ikat.
Makrofag, limfosit, dan sel plasma ditemukan di sekitar proliferasi jaringan ikat,
sedangkan neutrofil ditemukan seiring dengan kongesti vena uterus. Adanya
akumulasi eksudat bercampur darah pada lumen uterus dan terbentuknya
hiperplasia sistik endometrial menandakan singa mengalami pyometra.
Hasil pemeriksaan histopatologi sampel organ singa secara keseluruhan
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Perubahan Histopatologi Organ Singa
Sistem Organ
Respirasi
Organ
Paru-paru
Sirkulasi
Limforetikuler
Digesti
Jantung
Limpa
Usus
Hati
Uterus
Ginjal
Reproduksi
Urinaria
Perubahan
pulmonum,
edema
Emfisema
anthracosis
Kardiomiopati
Peradangan
Enteritis mukopurulenta
Hepatopati, kongesti pasif
Pyometra
Nefritis tubulointerstitial kronik aktif
pulmonum,
29
Gambar 14
Pyometra pada singa dicirikan oleh akumulasi eksudat pada
hiperplasia sistik endometrial. Pewarnaan HE, bar 200 µm. (Gambar
inset: Hiperplasia epitel kelenjar uterus, bar 25 µm).
a
b
Gambar 15
Pyometra pada singa dicirikan oleh nekrosa miometrium (a) dengan
proliferasi jaringan ikat dan infiltrasi sel-sel radang (b). Pewarnaan
HE, bar 100 µm.
30
Ovulasi pada singa diinduksi oleh rangsangan kopulasi selama masa
estrus, namun terkadang dapat terjadi secara spontan. Oleh karena itu, ovulasi
pada singa bukanlah ovulasi spontan melainkan ovulasi refleks seperti halnya
pada kucing domestik (Schramm et al. 1994). Pada hewan dengan tipe ovulasi
yang diinduksi oleh kopulasi, kebuntingan palsu (pseudopregnancy) dapat terjadi
saat sel telur tidak berhasil difertilisasi atau terjadi kopulasi steril. Saat
kebuntingan palsu terjadi, corpus luteum berkembang dan persisten sehingga fase
progestasional atau fase luteal dalam masa estrus berlanjut walaupun tidak terjadi
fertilisasi (Paape et al. 1975). Selama fase ini, kadar progesteron yang diproduksi
meningkat dan endometrium menunjukkan perubahan praimplantasi yang sama
seperti saat terjadi kebuntingan yang sesungguhnnya (Verhage et al. 1976).
Progesteron mempengaruhi endometrium dengan meningkatkan ukuran dan
jumlah kelenjar endometrium serta meningkatan sekresinya. Akibatnya kelenjar
endometrium berdilatasi dan mengalami hiperplasia epitel. Sekresi kelenjar yang
berlebihan mengakibatkan terbentuknya kista sehingga menjadi hiperplasia sistik
endometrial (Feldman dan Nelson 2004).
Perubahan uterus berupa hiperplasia sistik endometrial merupakan salah
satu predisposisi timbulnya infeksi sekunder pada uterus yang mengarah pada
pyometra. Berbagai rute infeksi pada uterus telah dilaporkan yaitu secara
hematogenik, limfogenik, dan rute ascenden. Pernah dilaporkan juga bahwa
peradangan pada vesika urinaria berkorelasi dengan timbulnya pyometra
(Fransson 2003). Disamping itu progesteron juga memiliki aktivitas sebagai
imunosupresan dengan menghambat proliferasi sel limfosit dan sel T-killer,
sehingga mendukung pertumbuhan bakteri di uterus. Setelah terjadi hiperplasia
sistik endometrial yang disertai dengan adanya infeksi sekunder, maka uterus
mengalami peradangan berupa endometritis purulenta kronis dengan akumulasi
pus di lumen uterus yang disebut pyometra (Fransson 2003). Keberadaan sel
radang di uterus singa pada kasus ini menunjukkan adanya peradangan uterus atau
endometritis, dan sel radang neutrofil yang ditemukan mengkonfirmasi
peradangan disebabkan oleh adanya infeksi bakteri.
Gejala klinis pyometra tidak terbatas hanya pada saluran reproduksi saja.
Gejala klinis yang paling sering dilaporkan termasuk anoreksia, lethargi,
31
polidipsia, poliurinaria, dan keluarnya nanah dari vagina. Umumnya, bakteri yang
menginfeksi uterus pada pyometra adalah Escherichia coli namun pernah juga
diisolasi bakteri lain seperti Klebsiella, Streptococci, Staphylococci, dan
Pseudomonas. E. coli dan bakteri gram negatif lainnya menghasilkan endotoksin
atau lipopolisakarida. Lipopolisakarida merupakan komponen dinding sel bakteri
yang dapat dilepas saat bakteri tumbuh maupun saat bakteri mati (Fransson dan
Ragle 2003). Bakteri di uterus ataupun toksin yang dihasilkannya dapat masuk ke
pembuluh darah dan ikut bersikulasi ke seluruh tubuh. Interaksi sistemik antara
mikroorganisme dan produknya (toksin) dengan sel inang menghasilkan sindrom
klinis yang disebut dengan sepsis. Terlepas dari kausa yang spesifik, sepsis
mengakibatkan beberapa gangguan sistemik termasuk gangguan homeostatis,
suhu tubuh abnormal, hipoksia pada sel-sel, koagulasi intravaskular atau
disseminated intravascular coagulation (DIC), kegagalan fungsi berbagai organ,
dan kematian (McGavin dan Zachary 2001).
Berbagai kerusakan organ singa pada kasus ini disebabkan oleh sepsis
yang ditimbulkan oleh bakteri yang mengakibatkan pyometra. Diagnosa sepsis
diindikasikan oleh adanya hemoragi pada hampir seluruh organ yang diperiksa
secara histopatologi yaitu paru-paru, hati, ginjal, limpa dan uterus. Hemoragi
dapat terjadi karena ketidaknormalan fungsi atau keutuhan dari satu atau lebih
faktor yang mempengaruhi homeostatis yaitu endotel, pembuluh darah, trombosit,
dan faktor koagulasi. Gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan
hemoragi dapat terjadi akibat trauma, endotoksemia dan bakterimia. Penurunan
jumlah trombosit (trombositopenia) dan gangguan fungsi trombosit juga
menyebabkan hemoragi. Selain itu, hemoragi juga dapat disebabkan oleh DIC
yang merupakan hasil dari pembekuan darah secara luas pada arteri dan kapiler.
DIC dapat diinisiasi akibat kerusakan endotel sehingga terjadi peningkatan dalam
penggunaan trombosit. Penyakit-penyakit yang disertai dengan DIC antara lain
endotoksemia, infeksi virus hepatitis pada anjing, dirofilariasis, dan penyakit
neoplastik tertentu seperti hemangiosarkoma atau leukimia (McGavin dan
Zachary 2001). Lesio DIC pada berbagai organ singa terlihat dari adanya trombus
yang berupa plasma darah dan fibrin pada kapiler-kapiler maupun pembuluh
darah lain.
32
Salah satu organ yang rentan terhadap sepsis adalah jantung. Menurut
Merx dan Weber (2007), sepsis menyebabkan disfungsi pada miokard dengan
mekanisme penurunan kontraktilitas dan terganggunya penyesuaian miokard.
Disfungsi miokard terjadi akibat beberapa faktor seperti iskemia secara luas dan
beredarnya substansi kimia dalam darah yang masuk ke jantung seperti toksin.
Kerusakan pada miokard dapat mengarah kepada gagal jantung kongestif.
Kardiomiopati pada jantung singa kasus ini menyebabkan kegagalan jantung baik
pada jantung kanan maupun kiri.
Gagal jantung dapat terjadi akibat penyakit pada jantung (akibat
kongenital, kerusakan pada miokard atau vaskular) ataupun akibat beban kerja
yang berlebihan karena adanya penyakit pada paru-paru, ginjal, dan vaskular.
Kelainan paru-paru seperti emfisema pada kasus ini menyebabkan darah balik dari
paru-paru yang masuk ke jantung menjadi sedikit. Hal ini mengakibatkan
penurunan daya kontraksi jantung yang selanjutnya menyebabkan berkurangnya
aliran darah ke berbagai organ melalui arteri dan tertahannya darah yang
seharusnya kembali ke jantung melalui vena sehingga terjadi kongesti. Kongesti
pada berbagai organ seperti paru-paru, hati, ginjal yang disebabkan oleh
kegagalan jantung mengakibatkan iskemia pada sel-sel parenkim. Sel yang
mengalami iskemia selanjutnya akan mengalami degenerasi hingga nekrosa.
Kegagalan fungsi jantung, hemoragi, dan DIC menyebabkan hipoksia dan
iskemia jaringan secara sistemik sehingga terjadi kegagalan organ umum. Organ
yang sangat sensitif terhadap efek ini meliputi jantung, otak, ginjal, paru-paru, dan
hati. Sel yang rusak akibat iskemia memproduksi energi secara anaerobik
(glikolisis), mengakibatkan glikogen habis secara cepat, akumulasi asam laktat,
dan kekurangan ATP. Tanpa ATP yang cukup, pompa ion pada membran sel
gagal untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit, integritas membran, dan
sintesis protein. Masuknya natrium dan air ke dalam sel menyebabkan sel
membengkak dan mengalami penurunan fungsi (McGavin dan Zachary 2001).
Gagal jantung kiri mengakibatkan kongesti dan edema pulmonar,
sedangkan gagal jantung kanan menyebabkan kongesti dan edema pada hati dan
limpa (McGavin dan Zachary 2001). Menurut Jubb et al. (1992 b), gagal jantung
kanan mengakibatkan hati membesar dan kongesti dengan perubahan mikroskopik
33
meliputi dilatasi sinusoid dan atrofi atau degenerasi hingga nekrosa jaringan
parenkim hati di sekitar vena sentralis. Perubahan ini sesuai dengan hasil
pemeriksaan histopatologi hati singa sehingga menguatkan diagnosa terjadinya
gagal jantung pada singa.
Kematian singa pada kasus ini disebabkan oleh kegagalan jantung akibat
adanya kerusakan pada miokard berupa nekrosa miokard atau kardiomiopati.
Sepsis dan gagal jantung menyebabkan kegagalan berbagai organ parenkim
seperti paru-paru, hati, dan ginjal yang terlihat dengan adanya kongesti, edema,
dan nekrosa sel-sel parenkim. Kerusakan pada berbagai organ ini menyebabkan
peningkatan beban kerja jantung untuk menyalurkan darah. Kompensasi dari
kelebihan kerja pada jantung terlihat dari jantung yang mengalami dilatasi dan
hipertrofi.
Download