Obor di Afrika Ditulis oleh Pancha W. Yahya Rabu, 29 April 2009 16:07 Seekor singa bersurai hitam mengendap-endap di balik semak siap untuk menerkam. Di hadapan singa itu tampaklah segerombol manusia bersiaga dengan tombak dan bedil di tangan mereka. Seorang pria yang adalah pemimpin rombongan terlihat mengambil ancang-ancang untuk menembaki singa jantan itu. Seketika itu jua terdengarlah suara tembakan berulang kali. Namun, singa itu bergeming. Melihat hal itu pria itu segera bersiap-siap untuk menembaki singa itu kembali. Tiba-tiba, singa itu melompat dan menerkamnya. Lalu singa itu mencabik lengan pemuda itu dengan gigi-giginya yang tajam. Tatkala sang raja rimba hendak menggigit bagian tubuh lain pemuda itu, salah seorang dari rombongan meletuskan senapan untuk mengalihkan perhatian singa itu. Untunglah, singa itu meninggalkan mangsanya yang tergeletak tak berdaya dan akhirnya mati ditombak oleh salah seorang anggota rombongan. Pemuda yang diterkam singa itu masih hidup meski tulang lengannya patah dan terluka parah dengan sebelas lubang yang menganga. Itulah sekelumit kisah mendebarkan yang dialami oleh David Livingstone dalam perjalanan misinya di benua Afrika. Pada usia remaja David Livingstone, yang berasal dari Skotlandia, merasa terpanggil untuk menjadi misionari di negeri Cina. Untuk itu, ia berniat membekali dirinya dengan pengetahuan medis dan teologi agar pelayanannya lebih efektif. Namun, karena keadaan ekonominya yang sulit, David Livingstone harus bekerja di pabrik kapas di desanya 14 jam sehari, 6 hari seminggu selama 13 tahun guna menabung untuk membiayai studinya. Akhirnya, David Livingstone mulai belajar ilmu kedokteran di Anderson College dan teologi di Congregational College, Glasgow dan menyelesaikan kedua pendidikan tersebut. Meski pada awalnya David Livingstone berkeinginan untuk menjadi misionaris di negeri Cina, rupanya Tuhan berkehendak lain. Karena hubungan yang kurang harmonis antara kerajaan Inggris dan Cina oleh sebab perang candu, maka tidak ada badan misi Inggris yang mengutus misionarisnya ke negeri Cina. Lalu Tuhan menuntun Livingstone untuk pergi ke benua Afrika. Akhirnya, pada tanggal 18 Desember 1840 di usianya yang ke 27, Livingstone berangkat ke benua yang dijuluki orang kuburan orang kulit putih itu. Di sana Livingstone menjelajahi tempat-tempat yang belum pernah ditemukan oleh dunia Barat. Ia menginjili suku-suku terasing di Afrika, juga mengobati banyak orang. Ia begitu rindu untuk memenangkan sebanyak mungkin orang Afrika, meski ia harus menghadapi bahaya binatang buas, penyakit malaria yang mematikan, gigitan maut lalat Tsetse, juga resiko dibunuh orang-orang Afrika. Semangatnya terus menggebu untuk memberitakan injil meski fisiknya tak lagi menginjinkan. Akhirnya, pada tanggal 27 April 1873, David Livingstone meninggal dunia. Jantungnya dikubur di Afrika dan jasadnya dibawa ke Inggris untuk dimakamkan di Westminster Abbey. Pancha Wiguna Yahya Jakarta, 16 Juli 2004 1/1