KPU Kota Bukittinggi

advertisement
LAPORAN RISET
PERILAKU MEMILIH
MASYARAKAT KOTA BUKITTINGGI
PADA PEMILU LEGISLATIF
TAHUN 2014
Kerjasama antara
Komisi Pemilihan Umum Kota Bukittinggi dan
Pusat Studi Politik Lokal & Otonomi Daerah Universitas Andalas
Tahun Anggaran 2015
TIM PENELITI:
Dr. Aidinil Zetra, SIP, MA
Drs. Bakaruddin Rosyidi, MS
Dr. Ferra Yanuar, SSi,MSc
Mhd. Fajri, SIP
Yamen Soni Aprizandra, SIP
Meri Anggraini Arifin, SIP
Kerjasama:
Komisi Pemilihan Umum
Kota Bukittinggi dengan
Pusat Studi Politik Lokal dan Otonomi Daerah
Universitas Andalas
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Puji syukur peneliti haturkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmatNya peneliti telah dapat melaksanakan penelitian “Perilaku Memilih
Masyarakat Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014.” Penelitian ini bertujuan
untuk memetaan persoalan partisipasi memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memilih
masyarakat Kota Bukittinggi pada pemilu 2014. Selain itu riset ini juga
bertujuan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat diambil
untuk menumbuhkan perilaku memilih yang rasional pada masyarakat Kota
Bukittinggi.
Perilaku memilih dalam riset ini diartikan sebagai proses penentuan
keputusan seseorang untuk memilih (atau tidak memilih) partai atau kandidat
tertentu dalam sebuah pemilihan umum. Sedangkan pemilih diartikan semua
pihak yang menjadi tujuan utama kontestan untuk mereka pengaruhi dan
yakinkan agar mendukung dan memberikan suaranya.
Dengan mengetahui peta persoalan partisipasi memilih masyarakat
dam perilaku memilih diharapkan program-program yang dirumuskan untuk
menghasilkan pemilih yang lebih cerdas dan rasional dalam rangka
pengembangan kehidupan demokrasi khususnya demokrasi elektoral akan
lebih sistematis dan berorientasi pada pemecahan masalah publik ke depan.
Meskipun substansi dan teknis pelaksanaan penelitian ini dilakukan
oleh tim peneliti Pusat Studi Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas
Komisi Pemilihan Umum Kota Bukittinggi
i
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Andalas, namun keberhasilan penelitian ini sangat dipengaruhi oleh peran
besar Komisi Pemilihan Umum Kota Bukittinggi, yang telah membiayai secara
keseluruhan operasional penelitian ini. Karena itulah pada kesempatan ini
peneliti mengucapkan terima kasih kepada Ketua dan Komisioner KPU Kota
Bukittinggi, Staf KPU serta Pokja Riset Partisipasi dalam Pemilu KPU Kota
Bukittinggi. Penghargaan yang sama disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam pengumpulan data yaitu Mahasiswa S1 dan Magister
Ilmu Politik, FISIP Universitas Andalas, dan pihak yang telah banyak
memberikan informasi maupun fasilitas penelitian. Semoga kerjasamanya
tetap akan terjalin pada masa yang akan datang.
Harapan peneliti semoga hasil penelitian ini bermanfaat menjadi
referensi dalam pengembangan khasanah akademik, masukan bagi KPU dalam
perbaikan manajemen penyelenggaraan Pemilu baik di Kota Bukittinggi
maupun di Daerah lain yang memiliki persoalan yang sama dalam
peningkatan partisipasi pemilih masyarakat dan penciptakan pemilih yang
rasional. Segala respon dan masukan akan bermanfaat bagi peneliti untuk
kesempurnaan penelitian ini di masa yang akan datang.
Terima kasih.
Bukittinggi, Juli 2015
Ketua Peneliti
Dr. Aidinil Zetra, SIP, MA
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
ii
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
i
iii
iv
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1
1
8
9
10
BAB II
Kerangka Teoritis
2.1 Penelitian Terdahulu
2.2 Kerangka Teori
2.2.1 Pendekatan Sosiologi
2.2.2 Pendekatan Psikologi
2.2.3 Pendekatan Ekonomi
2.3.4 Sikap terhadap Politik Uang
2.2.5 Penilaian Terhadap Kinerja Pemerintah
2.3 Perilaku Memilih dan Partisipasi Politik
2.4 Hipotesis Penelitian
11
11
17
18
20
23
25
28
29
31
BAB III
Metode Penelitian
3.1 Pendekatan dan Tipe Penelitian
3.2 Unit Analisis, Populasi dan Sampel
3.3 Sumber Data
3.2.1 Data Sekunder
3.2.2 Data Primer
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Teknik Kuesioner
3.4.2 Teknik FGD
3.3.4 Teknik Dokumenter
3.5 Lokasi Penelitian, Informan dan Responden
3.6 Teknik Pengolahan Data
3.6.1 Metode Pengolahan Data
3.6.2 Perangkat Pengolahan Data
3.6.3 Analisis Data
3.7 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
3.7.1 Mendeskripsikan, menginterpretasi, dan mengecek
ulang hasil penelitian
3.7.2 Memisahkan secara tegas antara deskriptif, interpretasi
dan penilaian hasil penelitian
34
34
35
37
37
38
38
38
39
39
39
39
40
40
41
41
41
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
iii
42
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
3.7.3 Memberikan umpan balik (feedback)
42
BAB IV
Deskripsi Daerah Penelitian
4.1 Geografis Kota Bukittinggi
4.2 Wilayah Administratif
43
43
45
BAB V
Perilaku Memilih Masyarakat Kota Bukittinggi
5.1 Identitas Responden
5.1.1 Komposisi Responden berdasarkan Umur
5.1.2 Komposisi Responden berdasarkan Jenis Kelamin
5.1.3 Komposisi Responden berdasarkan Negeri Asal
5.1.4 Komposisi Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan
5.1.5 Komposisi Responden berdasarkan Agama
5.1.6 Komposisi Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan
5.1.7 Komposisi Responden berdasarkan Suku Bangsa
5.1.8 Komposisi Responden berdasarkan Tingkat
Pendapatan
5.2 Pemetaan Partisipasi Memilih Pada Pemilu 2014
5.2.1 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Umur
5.2.2 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Kelamin
5.2.3 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut
Desa/Kelurahan
5.2.4 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat
Pendidikan
5.2.5 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Agama
5.2.6 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis
Pekerjaan
5.2.7 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat
Pendapatan
5.3 Motivasi Pemilih dalam Pemilu 2014
5.4 Alasan Golput pada Pemilu 2014
5.5 Minat Masyarakat Terhadap Demokrasi Elektoral
5.6 Sikap Masyarakat Terhadap Politik Uang
5.7 Penggunakan Hak Pilih Masyarakat
5.7.1 Penilaian Masyarakat terhadap Pelaksanaan Pemilu
2014
5.7.3 Yang perlu diperbaiki dalam Sosialisasi ke Depan
5.7.4 Jenis Pilkada Yang Diinginkan Warga ke depan
5.8 Perilaku Memilih Dalam Pemilu Legislatif 2014
5.8.1 Hubungan Sosio Demografi dengan Perilaku Memilih
5.8.2 Pengaruh Identifikasi Kepartaian terhadap Perilaku
Memilih
5.8.3 Pengaruh Sikap Terhadap Politik Uang terhadap
52
52
53
53
53
54
55
55
56
57
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
57
58
51
51
60
61
62
62
64
66
68
69
71
71
74
74
74
75
80
81
iv
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
BAB VI
Perilaku Memilih
Pembahasan, Kesimpulan dan Rekomendasi
6.1
6.2
6.3
6.4
84
Pengantar
Pembahasan
Kesimpulan
Rekomendasi
Daftar Pustaka
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
84
85
89
90
93
v
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1
Komposisi Responden Berdasarkan Umur
52
Tabel 5.2
Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
53
Tabel 5.3
Komposisi Responden Berdasarkan Kecamatan
53
Tabel 5.4
Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
54
Tabel 5.5
Komposisi Responden berdasarkan Agama
55
Tabel 5.6
Komposisi Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan
55
Tabel 5.7
Komposisi Responden berdasarkan Suku Bangsa
56
Tabel 5.8
Komposisi Responden berdasarkan Pendapatan RumahTangga
57
Tabel 5.9
Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Umur
58
Tabel 5.10
Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Kelamin
59
Tabel 5.11
Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Negeri Asal
60
Tabel 5.12
Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendidikan
61
Tabel 5.13
Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Agama
61
Tabel 5.14
Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Pekerjaan
62
Tabel 5.15
Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendapatan
63
Tabel 5.16
Motivasi Pemilih dalam Pemilu 2014
64
Tabel 5.17
Alasan Golput pada Pemilu 2014
67
Tabel 5.18
Minat Masyarakat terhadap Demokrasi Elektoral
69
Tabel 5.19
Sikap Masyarakat Terhadap Politik Uang
70
Tabel 5.20
Penilaian Masyarakat terhadap Pelaksanaan Pemilu 2014
71
Tabel 5.21
Penilaian Masyarakat terhadap Pelaksanaan Sosialisasi Pemilu
72
Tabel 5.22
Penilaian Masyarakat terhadap Aspek Sosialisasi Pemilu
73
Tabel 5.23
Jenis Pilkada Yang Diinginkan Warga ke depan
74
Tabel 5.24
Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat
83
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
vi
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
1.1. Latar Belakang
Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, pemilu merupakan
salah satu perwujudan dari kedaulatan rakyat. Rakyat menjadi pihak yang
menentukan dalam proses politik dengan memberikan suara mereka secara
langsung. Melalui pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia , jujur dan adil
secara tidak langsung rakyat dapat melakukan pertukaran pemerintahan
dengan jalan damai berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Semenjak reformasi dan runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah
kepemimpinan Soeharto, Indonesia telah hasil melaksanakan empat kali
pemilu legislatif yaitu 1999, 2004, 2009 dan 2014. Berbeda dengan Pemilu
sebelumnya kecuali Pemilu 19551, keempat pemilu ini dinilai oleh banyak
pengamat sebagai pemilu yang demokratis yang dilaksanakan secara relatif
lebih jujur, adil, bebas dan kompetitif.
1
Pemilu 1955 dianggap oleh banyak pengamat sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia.
Pemilu ini diikuti oleh 172 tanda gambar (partai nasional dan lokal, organisasi non partai politik,
dan perseorangan) di seluruh Indonesia. (Pemilu ini dianggap relatif bebas dari campur tangan
pemerintah. Namun sulit dibuktikan jika dikatakan Pemilu 1955 ini dikatakan bebas dari
kecurangan karena pada masa itu belum dikenal adanya pengawas dan pemantau Pemilu.
1
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Kegiatan memilih dalam pemilu itu sendiri dapat dilakukan dengan
mudah karena selain membutuhkan waktu yang tidak lama juga tidak
memerlukan tenaga dan pikiran yang banyak. Namun proses sebelum
membuat keputusan ketika memilih itu, mungkin lebih kompleks,
membutuhkan wakru yang panjang dan dapat menimbulkan beberapa
persoalan. Di antara persoalan yang sering muncul terkait dengan pemilu
adalah berbagai pertimbangan pemilih dalam memilih kandidat, apakah
berdasarkan kepribadian, partai yang diwakili atau isu yang diangkatnya.
Namun terdapat juga pemilih yang tidak menghiraukan aspek calon dan isu
karena mereka amat setia kepada partai tertentu.
Hasil pemilu 2014 di Kota Bukittinggi menarik untuk diamati. Untuk
pemilu anggota DPR dimenangkan oleh Partai Gerindra (32,14%) diikuti oleh
Partai Demokrat 25,33%. Peroleh Gerindra ini jauh mengalahkan partaipartai yang relatif mapan dan calon yang lebih berpengalaman seperti Partai
Golkar, PDIP, PPP atau partai yang basis pendukungnya umat Islam seperti
PKS, PBB dan PAN. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut :
Berbeda dengan pemilihan anggota DPRD Propinsi dimana perolehan
suara Kota Bukittinggi diungguli oleh lima partai yang hampir berimbang
pada lapisan pertama yaitu Gerindra dan Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS
dan PPP. Sedangkan sisanya dibagi hampir merata berimbang oleh 7 partai
2
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
lainnya seperti PAN, PBB, PDIP, Hanura, Nasdem, PKB dan PKP seperti
terlihat pada grafik berikut.
Yang lebih menarik lagi adalah pada pemilu untuk pemilihan DPRD Kota
Bukittinggi (Akumulasi Semua Daerah Pemilihan) terlihat PAN mampu
masuk partai papan atas sedangkan PKS justru masuk partai lapisan kedua.
Yang juga mengherankan adalah hasil perolehan suara Kota
Bukittinggi Daerah Pemilihan Bukittinggi 2, Partai Gerindra hanya berada
pada urutan kelima dengan perolehan suara hanya 3,85%, jauh diungguli
oleh Partai Golkar (8,12%), PAN (5,27%), PPP (4,86%). Mengapa pada
pemilihan DPRD Kota Bukittinggi perolehan Partai Gerindra tidak mendapat
dukungan seperti halnya pada pemilihan DPR dan DPRD Propinsi?
3
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Kalau dilihat dari komposisi perolehan suara Partai Gerindra untuk
pemilihan anggota DPR terlihat bahwa peroleh suara di antara calon yang
ada tidak merata. Suara Partai Gerindra di Bukittinggi hanya menumpuk
pada satu calon saja. Calon yang memperoleh suara mencolok adalah Ade
Rezki Pratama, SE seorang pengusaha muda Kota Bukittinggi yang baru
berumur 26 tahun. Perolehan suara Ade Rezki Pratama, SE 3.088 di
Kecamatan Guguk Panjang, 4.960 di Kecamatan Mandiangin Kota Selayan dan
1.963 di Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh (Total peroleh suara di Kota
Bukittinggi = 10.011 suara2. Perolehan ini sungguh fantastis jika
dibandingkan dengan calon Gerindra yang lain, yang dilihat dari pengalaman
politik lebih senior dan lebih dikenal publik. Drs. H. Sukri Bey, MM, MSi
misalnya hanya memperoleh total suara di Kota Bukittinggi 761 suara.
Padahal sebelumnya ia telah menjabat sebagai anggota DPR RI dari Partai
Gerindra. Ia juga telah berpengalaman sebagai Kepala Badan Pengelola
Keuangan Daerah DKI Jaya. Calon Gerindra lainnya adalah Drs. Endang Irzal
Akt, MBA (2316) yang juga mantan Direktur PT Semen Padang dan pernah
menjadi calon Guberbur Sumatera Barat tahun 2009 lalu.
Ia tercatat sebagai Komisaris PT. Niagara Fantasy Island (MIFAN) Padang Panjang Sumbar
sejak tahun 2009
2
4
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Apa yang mempengaruhi perilaku memilih masyarakat Kota
Bukittinggi pada pemilu 2014 lalu? Apakah ada hubungan perilaku memilih
masyarakat dengan taktik kampanye calon seperti sering diungkap oleh
media sosial bahwa banyak caleg mendulang suara melalui cara-cara
transaksi pembelian suara (vote buying) seperti memberikan bantuan telor 2
mobil bak terbuka keliling kampung, memberikan hadiah berupa baju dan
jilbab ke grup-grup yasinan, membagi-bagikan uang Rp.50.000 kepada
masyarakat, mengajak manyarakat jalan-jalan dan gratis masuk tempat
hiburan, atau membuat acara hiburan selama 3 malam berturut-turut dengan
badendang, basaluang sambil bagi-bagi minuman kaleng dan amplop yang
diisi uang Rp.20.000 atau memberi bantuan pembangunan jalan PPIP dan
bantuan Rumah dan sebagainya3.
Politik uang (voting buying) dalam Pileg 2014 telah menjadi fakta yang
tidak
terbantahkan.
Jimly
Asshidiqie,
Ketua
Dewan
Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggambarkan bahwa praktek politik uang
di Pileg 2014 adalah paling ‘masif’ sepanjang sejarah pemilu di Indonesia.
Penelitian Ali Nurdin (2014) juga menyimpulkan bahwa praktik politik uang
telah terjadi antara lain karena adanya persaingan yang sengit di antara
kandidat dan pengawasan pemilu yang sangat lemah. Selain itu sikap
masyarakat yang relatif permisif terhadap politik uang dan pengertian politik
uang yang masih multitafsir ikut memberi kontribusi mengapa politik uang
semakin marak terjadi di Indonesia. Politik uang cenderung dianggap sebagai
hal yang biasa baik oleh kandidat pemilu maupun oleh masyakat pemilih.
Yang menjadi persoalan adalah apakah fenomena politik uang tersebut juga
terjadi di Kota Bukittinggi? Jika ya, apakah politik uang telah mempengaruhi
perilaku memilih masyarakat dalam pemilu legislatif di Kota Bukittinggi
tahun 2014 lalu?
Seperti diungkap oleh Blog Gurutomo dengan alamat blognya
http://gurutomo.blogspot.co.id /2014/04/jangan-mau-jadi-caleg-pks-lagi.html
3
5
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Bukittinggi sebagai salah satu Kota Wisata terkenal di Indonesia, dihuni
oleh beragama suku, ras dan agama. Meskipun mayoritas penduduknya
berasal dari suku bangsa Minangkabau, tetapi terdapat juga banyak suku
bangsa lain yang menetap di Bukittinggi seperti Suku Batak, Jawa, Tamil dan
Tiong-Hoa. Selain itu masyarakat Bukittinggi dilihat dari asal luhaknya cukup
beragam yaitu Luhak Agam (Kurai dan Non-Kurai), Luak Limopuluh Kota,
Luhak Tanah Datar, Rantau Pariaman, Pesisir, Padang, Pasaman dan
sebagainya. Mayoritas penduduk Kota Bukittingi adalah beragama Islam
yaitu 97,98 % dan selebihnya beragama Khatolik, Protestan, Budha dan
Hindu. Apakah latar belakang sosiologis masyarakat Kota Bukittinggi seperti
ini mempengaruhi perilaku memilih mereka dalam pemilu?
Jika dilihat dari komposisi penduduk Kota Bukittinggi yang berjumlah
98.505 orang dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,04 % dan kepadatan ratarata 3.905 jiwa per-Km. dengan tingkat kesejahteraan relatif tinggi dengan
mata pencarian umum sebagai pedagang, pegawai, pengusaha industri kecil
dan kerajinan serta jasa-jasa lainnya dan sebagian kecil petani, dengan
jumlah penduduk miskin 6,40 ribu (6,77%), dengan indeks kedalaman
kemiskinan 0,9, dan angka melek huruf 99.944. Apakah status ekonomi
masyarakat Kota Bukittinggi seperti tergambar di atas turut mempengaruhi
perilaku memilih mereka dalam pemilu 2004 lalu?
Persoalan lain yang menarik dikaji adalah Kota Bukittinggi memiliki
kepadatan penduduk yang tinggi namun partisipasi politik khususnya
partisipasi memilih mereka sangat rendah. Mengapa partisipasi masyarakat
dalam dalam pemilu DPRD Kota Bukittinggi sangat rendah? Mengapa terjadi
perbedaan partisipasi yang mencolok antara pemilu DPRD Kota Bukittinggi
dengan Pemilu DPRD Propinsi dan DPR? Faktor apakah yang menyebabkab
rendahnya
partisipasi
memilih
Kota
Bukittinggi?
Kesulitan
dalam
menentukan pilihan ketika memilih dalam pemilu kemungkinan juga
Sumber: Website Pemerintah Kota Bukittinggi: http://www.bukittinggikota.go.id/ diakses
pada tanggal 25 Oktober 2015
4
6
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
disebabkan oleh kesibukan penduduk Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014.
Jumlah masyarakat Kota Bukittinggi yang berpartisipasi dalam Pemilihan
DPRD Kota Bukittinggi pada Pemilu 2014 lalu hanya 25,63% (Data KPU Kota
Bukittinggi 2014). Sedangkan untuk pemilihan DPRD Propinsi dan DPR
masing-masing 60,8%. Bahkan dari jumlah yang ikut memilih tersebut,
terdapat sebanyak 881 suara atau 4,22 % kertas suara tidak sah. Terdapat
berbagai sebab kertas suara tidak sah, yaitu karena rusak dan dikembalikan
tanpa dicoblos. Rendahnya tingkat partisipasi pemilih ini dan banyaknya
kertas suara yang tidak sah dalam pemilu 2014 di Kota Bukittinggi
kemungkinan besar disebabkan pemilih tidak memahami mekanisme
mencoblos sebagaimana mestinya dan berdasarkan peraturan atau pemilih
merasa kesulitan dalam menentukan pilihannya karena tidak mengenal calon
dan partai-partai yang baru didirikan.
Berbeda dengan sebagian besar masyarakat Sumatera Barat yang
melakukan pemilihan pada tahun 2014, warga Kota Bukittinggi banyak
berprofesi sebagai pedagang, pengusaha industri kecil menengah. Karena
tingkat kesibukan dan tingkat alinasi politik yang tinggi, ada kemungkinan
sebelum memilih mereka tidak memiliki informasi yang memadai baik
tentang partai, calon maupun isu yang diangkat oleh partai peserta pemilu.
Terbatasnya informasi ini juga dapat disebabkan oleh banyak faktor:
Pertama, kampanye parti politik di Kota Bukittinggi hampir tidak pernah
dilakukan di pasar-pasar atau lokasi-lokasi industri rumah tangga.
Ketidakadaan kampanye ini menyebabkan para pemilih tidak dapat
mengetahui program, visi dan misi serta profil calon dan isu serta manifesto
partai peserta pemilu. Padahal kampanye partai politik dan calon dalam
pemilu dilakukan untuk meyakinkan para pemilih bukan anggota partai
untuk mendapatkan dukungan sebesar-besarnya, dengan menawarkan
program, visi dan misi partai dan calon yang ikut berkompetisi. Apakah
mininnya pengetahuan masyarakat tentang calon dan partai mempengaruhi
7
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
perilaku memilih masyarakat dan mempengaruhi partisipasi masyarakat
dalam pemilu.
Banyak faktor-faktor yang biasa dijadikan tolak ukur atau indikator
dalam melihat bagaimana partisipasi memilih dan perilaku memilih
masyarakat dalam pemilu kondisi demografis seperti umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan lain-lainnya. Hal-hal tersebut dapat
menjadi faktor determinan atau pembeda dalam mempengaruhi fluktuasi
partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu. Apakah perilaku memilih
masyarakat Kota Bukittinggi seperti tergambar di atas juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor di atas?
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian ini sangat penting
dilakukan untuk mengetahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku memilih di Kota Bukittinggi dalam Pemilu Legislatif 2014. Hasil riset
dapat digunakan ununtuk memastikan program dan kebijakan kepemiluan di
Kota Bukittinggi tidak spekulatif, tetapi dikonstruksi berlandaskan pada
argumen empirik dan rasional dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk menghasilkan pemilih yang rasional dan hasil
pemilu yang berkualitas.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini akan memfokuskan
perhatian pada dua jenis pertanyaan penelitian yaitu pertanyaan yang
bersifaf umum dan khusus.
A. Pertanyaan Umum
Pertanyaan umum adalah pertanyaan penelitian yang berhubungan
dengan partisipasi memilih masyarakat Kota Bukittinggi, yaitu:
1. Apa motivasi pemilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam Pemilu
2014?
8
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
2. Bagaimana
pemetaan
partisipasi
memilih
masyarakat
Kota
Bukittinggi berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi budaya
(umur, gender, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, tempat tinggal,
kondisi ekonomi keluarga saat pemilu)
3. Apa faktor yang membedakan atau mempengaruhi partisipasi
memilih masyarakat Kota Bukittinggi pada Pemilu Legislatif 2014
lalu?
4. Bagaimana sikap masyarakat Kota Bukittinggi terhadap Politik Uang
dalam mendapatkan dukungan suara dalam pemilu?
B. Pertanyaan Khusus
Pertanyaan khusus adalah pertanyaan penelitian yang berhubungan
langsung dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi, yaitu:
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku memilih masyarakat
Kota Bukittinggi dalam Pemilu Legislatif 2014?
2. Kebijakan apa yang dapat diambil untuk menumbuhkan perilaku
memilih yang rasional pada masyarakat Kota Bukittinggi?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah:
1. Untuk pemetaan partisipasi memilih masyarakat Kota Bukittinggi
berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi budaya (umur, gender,
jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, tempat tinggal, kondisi
ekonomi keluarga saat pemilu)
2. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
membedakan
atau
mempengaruhi partisipasi memilih masyarakat Kota Bukittinggi
pada Pemilu Legislatif 2014 lalu?
3. Untuk mengetahui sikap masyarakat Kota Bukittinggi terhadap
Politik Uang dalam mendapatkan dukungan suara dalam pemilu?
9
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
4. Untuk menjelaskan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku
memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam Pemilu Legislatif
2014?
5. Untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat diambil
untuk menumbuhkan perilaku memilih yang rasional pada
masyarakat Kota Bukittinggi?
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mendapatkan manfaat secara umum
yaitu sebagai berikut:
Penelitian tentang perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi ini
diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu politik
secara ilmiah, khususnya terhadap teori perilaku memilih (voting behavior)
dan konsep politik uang (voting buying). Selanjutnya hasil penelitian ini
dapat menjadi bahan rekomendasi kebijakan bagi KPU dan statekeholder
pemilu dalam meningkatkan partisipasi politik dan menciptakan perilaku
memilih yang rasional.
10
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
2.1. Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang
perilaku memilih di Indonesia dan di berbagai negara. Namun sampai saat ini
belum banyak kajian yang khusus meneliti tentang perilaku memilih di Kota
Bukittinggi. Oleh karena itu kajian ini akan mencoba memaparkan secara
ringkas kajian-kajian yang berhubungan dengan perilaku memilih di
Indonesia. Setiap kajian mempunyai kekuatan sendiri dari segi analisis,
kerangka teori, serta metode yang digunakan. Terdapat beberapa kajian
yang berkaitan dengan topik ini antara lain dilakukan oleh Afan Gaffar
(1992), Josep Kristiadi (1993), Liddle dan Saiful Mujani (1999), Aris Ananta
(2004), Aidinil Zetra (2005) dan Ali Nurdin (2014)
Afan Gaffar (1992) melakukan kajian tentang perilaku memilih
masyarakat pedesaan di Jawa yang memperlihatkan pola pemilihan yang
secara berkelanjutan memilih partai politik yang sama dalam beberapa kali
pemilu. Kajian ini dilakukan melalui metode survei dengan jumlah responden
sebanyak 570 orang dan paling kurang berumur 25 tahun atau sudah kawin
pada pemilu 1982. Tempat kajian adalah Desa Brobanti Yogyakarta. Dalam
menjelaskan persoalan kajian Afan Gaffar menggunakan pendekatan
gabungan antara pendekatan sosiologi dan psikologi dengan memilih empat
11
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
variabel bebas yaitu: keyakinan sosial agama, identifikasi partai dan pilihan
pendukung, pola kepemimpinan, serta kelas dan status sosial.
Temuan yang dikemukakan Afan Gaffar adalah: Pertama terdapat
kecenderungan seseorang untuk mendukung dan memilih partai politik
tertentu dipengaruhi oleh identifikasi dirinya terhadap dua aliran, yaitu
Santri dan Abangan. Mereka yang mengidentifikasikan diri dengan Santri
secara kuat cenderung memilih partai Islam (PPP), sementara yang
mengidentifikasikan diri dengan Abangan secara kuat cenderung memilih
partai bukan Islam (PDI). Sedangkan golongan yang mengidentifikasikan diri
dengan Santri dan Abangan secara sederhana cenderung memilih Golkar.
Kedua, terdapat hubungan antara pola kepemimpinan dengan perilaku
memilih. Responden yang dekat dengan birokrat desa kemungkinan besar
memilih partai pemerintah yaitu Golkar dan mereka yang dekat dengan
pemimpin agama cenderung untuk memilih partai Islam (PPP). Apabila
dalam analisis variabel orientasi sosial dikontrol, terdapat hubungan antara
dua variabel yaitu responden Abangan yang dekat dengan birokrat desa
cenderung memilih Golkar dan hampir setengah responden Santri yang dekat
dengan birokrat memilih PPP. Yang lebih penting lagi, kebanyakan
responden Santri yang dekat dengan pemimpin agama memilih PPP. Ketiga,
tidak terdapat terdapat hubungan antara kelas (dengan indikator yaitu
tingkat pendidikan, pemilikan tanah dan jenis pekerjaan) dengan pemilihan.
Keempat, berdasarkan analisis diskriminan didapati bahwa variabel yang
paling kuat secara berurutan mempengaruhi perilaku memilih pemilih PDI
adalah orientasi sosial agama, kepemimpinan, identifikasi partai dan kelas. Di
antara pemilih Golkar, kepemimpinan adalah variabel yang paling kuat
mempengaruhi pemilih, diikuti oleh orientasi sosial agama, identifikasi partai
dan kelas. Sedangkan variabel paling kuat mempengaruhi perilaku pemilih
partai Islam, adalah orientasi sosial agama, kemudian diikuti oleh
identifikasi partai, kepemimpinan dan kelas.
12
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Selain itu, terdapat juga kajian empirik tentang perilaku pemilih
dalam pemilu Indonesia yang dilakukan oleh Josep Kristiadi (1993). Kristiadi
melakukan penelitian tentang perilaku memilih masyarakat desa dan kota
dalam pemilu Indonesia pada era Orde Baru dari tahun 1971 hingga 1987.
Pemilu ini menurut beliau dilakukan secara tidak kompetitif dalam suasana
kehidupan budaya yang feudalistik, kesadaran politik masyarakat yang masih
rendah, khususnya pemahaman masyarakat tentang makna pemilu. Metode
yang digunakan dalam kajian ini adalah survei, dengan pengambilan sampel
secara acak di dua kawasan yaitu Kraton, Kota Yograkarta (mewakili
kawasan kota) sebanyak 300 orang dan Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara
(mewakili kawasan desa) sebanyak 278 orang dari populasi yang berumur
minimum 21 tahun dan pernah mencoblos dalam pemilu. Analisis data
dilakukan dengan metode analisis regresi berganda, khi kuasa dua dan beta.
Kajian Kristiadi (1993) menghasilkan beberapa kesimpulan: Pertama,
meskipun selama dua dekade terakhir ini terjadi perubahan sosial ekonomi
yang cepat, hubungan sosial antara pimpinan dan pengikut masih bersifat
paternalistik. Hubungan sosial tersebut mempengaruhi perilaku pemilih
dalam mendukung dan memilih partai tertentu dalam pemilu. Di antara para
pemimpin masyarakat, birokrat adalah tokoh yang paling berpengaruh
berbanding tokoh-tokoh masyarakat lainnya seperti tokoh agama, pimpinan
adat (tradisional) dan sebagainya. Kedua, identifikasi partai masyarakat
cenderung mengikuti identifikasi partai tokoh yang menjadi patronnya.
Implikasinya, dukungan dan pilihan politik seseorang terhadap partai politik
tertentu dalam pemilu dipengaruhi oleh persepsi responden tentang
identifikasi partai tokoh yang menaunginya. Ketiga, struktur sosial dan media
massa tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap perilaku memilih
seseorang. Oleh karena itu, kepatuhan dan identifikasi partai adalah variabel
yang berpengaruh terhadap perilaku memilih seseorang.
13
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Studi perilaku memilih mulai menjadi trend pasca reformasi 1998
dengan diberlakukannya pelaksanaan Pemilu, Pilpres dan Pilkada secara
langsung. Pemilu 1999 merupakan Pemilu yang benar-benar dapat menjadi
sarana pelaksana kedaulatan rakyat, yang dilaksanakan dalam iklim
kontestasi terbuka dan demokratis, lepas dari bayang-bayang hegemoni
rezim dan mobilisasi kekuasaan layaknya pada masa Orde Baru. Pasca
Pemilu 1999, periode awal reformasi dilalui dengan proses amandemen
terhadap UUD 1945. Hasil amandemen ini mengamanahkan penyelenggaraan
pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dan menjadi
stimulus bagi diterbitkannya undang-undang yang juga mengharuskan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.
Liddle dan Saiful Mujani (1999) melakukan kajian tentang perilaku
pemilih dalam pemilu Indonesia 1999. Kajian ini dilakukan dengan
menggunakan metode survei. Sampel kajian dipilih melalui metode random
sampling berlapis sebanyak 2,488 orang yang terbagi kepada 26 propinsi
dengan mempertimbangkan jumlah penduduk setiap propinsi, kawasan kotaluar kota dan gender. Unit pensampelan utama (Primary sampling unit)
dalam kajian ini adalah desa atau kelurahan. Dalam kajiannya Liddle dan
Mujani (1999) menganalisis hubungan antara perilaku pemilih dalam
memilih partai politik atau calon tertentu dengan tujuh variabel bebas yaitu:
agama, kelas sosial, suku bangsa, hubungan patron klien kepemimpinan,
identifikasi partai serta evaluasi terhadap keadaan ekonomi pemilih dan
ekonomi negara (retrospective voting). Dalam analisisnya beliau membatasi
hanya pada partai-partai yang memperolehi dukungan undi lebih dari 1%
dalam pemilu 1999 yaitu PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN, PBB, PK, (Partai
Keadilan dan Pembangunan (PKP) dan Partai Nahdlatul Umat (PNU).
Temuan kajian Liddle dan Mujani (1999) menunjukkan bahwa
perbedaan agama pemilih yang dibagikan kepada dua kategori yaitu Islam
dan bukan Islam, mempunyai hubungan yang positif dengan perbedaan
14
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
perilaku memilih. Dengan kata lain, pemilih Muslim cenderung memilih
partai Islam dan sebaliknya pemilih bukan Muslim cenderung memilih partai
bukan Islam, namun kecenderungan ini relatif lemah. Menurut beliau
hubungan yang lemah antara variabel agama dengan pilihan partai pemilih di
Indonesia disebabkan oleh kenyataan bahwa penganut agama bukan Islam
adalah minoritas (sekitar 13%), sementara pemilih yang beragama Islam
majoritas (lebih dari 50%) memilih partai bukan Islam yaitu PDIP, Golkar
dan PKP.
Yang menarik dari kajian ini adalah, di satu sisi, persentase golongan
santri relatif besar di antara masyarakat Muslim di Indonesia namun di sisi
lain majoritas dari mereka tidak mendukung partai-partai Islam. Liddle dan
Mujani (1999) menegaskan bahwa majoritas (63%) pemilih PDIP adalah
santri. Mayoritas pemilih partai-partai Islam yang santri tentu lebih besar
lagi, yaitu rata-rata di atas 85%. Dengan demikian temuan kajian Liddle dan
Mujani (1999) menolak anggapan bahwa PDIP adalah partai abangan.
Selain itu, temuan lain dari kajian tersebut adalah faktor kelas sosial,
suku bangsa, hubungan patron klien, kepemimpinan, identifikasi partai serta
evaluasi terhadap keadaan ekonomi pemilih dan ekonomi negara
(retrospective voting) sejak krisis keuangan berlaku, tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan dengan pilihan pemilih terhadap partai politik
tertentu. Namun Liddle dan Mujani (1999) menambahkan bahwa variabel
kedekatan secara emosional terhadap pemimpin atau tokoh nasional dari
partai politik tertentu, ternyata mempunyai pengaruh yang signifikan dengan
perilaku memilih dalam pemilu 1999. Oleh karena itu Liddle dan Mujani
(1999) menyimpulkan bahwa kekuatan partai politik di Indonesia akan
ditentukan sejauh mana partai-partai tersebut mampu melakukan rekrutmen
terhadap tokoh-tokoh yang popular di mata pemilih. Kemampuan elit partai
untuk membangun citra positif terhadap tokoh partai dan kemampuan untuk
mensosialisasikan citra positif tersebut melalui media massa merupakan
15
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
faktor penting kepada perkembangan dan kekuatan partai pada masa yang
akan datang.
Aris Ananta (2004) adalah sarjana lain yang juga melakukan kajian
tentang perilaku memilih masyarakat Indonesia dalam pemilu 1999. Kajian
Aris Ananta menggunakan pendekatan kuantitatif, di mana pengumpulan
data yang diperolehi melalui kaedah siasatan dengan unit analisis orang
perorangan. Temuan kajian beliau menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara variabel agama dan suku bangsa responden dengan perilaku memilih
mereka dalam pemilu 1999. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa
terdapat perbedaan kekuatan pengaruh agama dan suku terhadap perilaku
memilih berdasarkan kepada variabel antara yaitu latar belakang
sosioekonomi responden. Yang termasuk variabel sosioekonomi dalam
kajian ini ialah: tingkat pendidikan, tempat tinggal di kota atau di luar kota,
pendapatan perkapita serta jumlah penduduk miskin di suatu kawasan
pemilu.
Aris Ananta et al. (2004) mengatakan bahwa tingkat pendidikan
secara perlahan tetapi pasti akan menggantikan peranan agama dan suku
dalam mempengaruhi pola pemilihan di Indononesia pada masa mendatang.
Dengan semakin berkurangnya jumlah mereka yang berpendidikan rendah di
satu pihak diikuti dengan semakin banyaknya bagian mereka yang terdidik di
atas peringkat Sekolah Menengah, maka pengaruh agama dan suku juga akan
semakin berkurang.
Aidinil Zetra (2005) meneliti perilaku memilih buruh migran di
beberapa negara. Ia menemukan perilaku memilih pekerja migran di
pelbagai negara menunjukkan bahwa migrasi mempunyai hubungan dengan
perilaku memilih pekerja migran. Hubungan tersebut dapat dijelaskan
dengan beberapa variabel penjelas seperti sistem politik dan ekonomi di
negara tujuan migrasi, jumlah penduduk yang bermigrasi, kecenderungan
16
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
politik dan kekuatan identifikasi partai para migran sebelum bermigrasi,
perode menetap di negara tujuan migrasi dan tingkat pendidikan pekerja
migran.
Dari kajian tentang perilaku memilih pemilu di Indonesia yang mulai
berkembang pada tahun 1990-an, terlihat bahwa paling tidak terdapat tiga
pendekatan utama yang digunakan oleh para sarjana untuk menganalisis
perilaku memilih, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi dan
pendekatan ekonomi. Ketiga pendekatan ini saling melengkapi dan tidak
semestinya bertentangan.
2.2 Kerangka Teori
Kajian tentang perilaku memilih seseorang dalam pemilu telah banyak
dilakukan. Menurut kajian yang dilakukan J.Kristiadi (1993), penelitian
mengenai fenomena tersebut pertama kali dilakukan oleh Siegfield tahun
1913, yang masih menggunakan taburan manual dan membuat peta politik
berdasarkan keputusan pemilu. Kemudian penyelidikan ini semakin
berkembang di antaranya dilakukan oleh Ogburn (1929),Tingsten (1937),
Gougel (1951), yang mula mengembangkan motivasi dan persepsi seseorang
yang berhubungan dengan perilaku memilih. (Kristiadi 1993:21)
Sementara penyelidikan tentang perilaku memilih yang lebih
memfokuskan perhatian pada individu yaitu melalui wawancara, dilakukan
oleh Merriam dan Gasnel (1924) di Chicago. Kajian ini mempunyai pengaruh
besar terhadap penyelidikan tentang pemilihan yang lebih bertumpu pada
proses internal seseorang, antara lain dilakukan oleh Lazarsfeld dan kawankawan (1940) dan Campbell dan kawan-kawan (1940)
Secara umum dalam sejarah kajian demokrasi Barat terdapat paling
kurang tiga pendekatan utama dalam kajian tersebut, yaitu pendekatan
sosiologi, pendekatan psikologi dan pendekatan ekonomi. Masing-masing
pendekatan tersebut akan dihuraikan secara ringkas sebagai berikut:
17
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
2.2.1 Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi diawali oleh Biro Penerangan Ilmu Sosial
Universitas Colombia (Colombia’s University Bureau of Applied Social Science)
atau lebih dikenal dengan kelompok Kolombia atau aliran pemikiran
Kolombia (Colombia School). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa
masyarakat merupakan suatu sistem berhirarki di mana status dan derjat
tiap-tiap individu hubungan dengan perilaku memilih mereka. Analisis
tentang kelompok yang terorganisasi (formal) seperti serikat buruh, gereja
dan sebagainya, menurut pendukung pendekatan ini adalah sangat penting
karena kelompok tersebut merupakan organisasi yang memiliki tujuan,
kepemimpinan, aktivitas rutin, dan sistem komunikasi internal. Ciri-ciri
inilah yang mempengaruhi persepsi individu atau kelompok terhadap
lingkungannya.
Selanjutnya,
pendekatan
ini
memandang
kelompok-
kelompok kecil, seperti keluarga, kelompok bermain, kelompok pelajar
adalah sebagai unit terkecil dari masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan ini
biasanya membentuk peta masyarakat dan kemudian menggunakan peta
tersebut sebagai dasar untuk memberikan
dukungan terhadap partai
tertentu.
Kelompok Kolombia memulai kajiannya tentang pemilihan dalam
pemilu Amerika Serikat tahun 1940 dan menerbitkan dua buku, yaitu The
People’s Choise (1948) dan Voting (1952). Dalam buku tersebut diungkapkan
bahwa perilaku memilih seseorang terhadap partai politik tertentu mepunyai
hubungan yang kuat dengan status sosioekonomi (pendidikan, pendapatan
dan kelas) agama dan tempat berdomisili (kota dan luar kota) (Niemi dan
Weisberg 1976:11). Penulis buku ini menyimpulkan bahwa ciri-ciri sosial
seseorang akan menentukan kecenderungan memilih: “A person’s think
politically, as he is socially”. Jadi perilaku memilih ditentukan oleh faktorfaktor eksternal seseorang.
18
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Kemudian kajian ini dikembangkan dengan menggabungkan variabel
tersebut dalam suatu indeks yang disebut Index of Political Predisposition
(IPP). Misalnya, penduduk beragama Protestan yang bertempat tinggal di
desa dan mempunyai status sosioekonomi yang tinggi cenderung memilih
Partai Republikan. Namun Niemi dan Wiesenberg (1976) mengkritik bahwa
IPP tidak mampu menjelaskan mengapa pemeluk agama Protestan lebih
ramai memilih partai Republikan berbanding pemeluk agama Katolik.
Sementara di Asia, kajian yang dilakukan oleh Watanuki (1974)
tentang perilaku memilih dalam pemilu di Jepang tahun 1960, menunjukkan
bahwa kebanyakan pekerja Jepang memilih partai LDP (Liberal Democratic
Party) yang konservatif. Beliau membagikan pekerja Jepang kepada beberapa
kategori, yaitu: pekerja dengan skil dan pekerja tanpa skil, peniaga dan
industri, petani dan nelayan. Beliau mendapatkan bahwa pekerja tanpa skil
memilih Partai Sosialis dan Konservatif, yaitu 7 berbanding 5. Sedangkan
pekerja dengan skil memilih partai sosialis dan konservatif yaitu 5
berbanding 3. Kategori lain yaitu pekerja sektor perniagaan dan sektor
pembuatan, petani dan nelayan sebagai pendukung LDP dengan peroleh undi
jauh lebih unggul berbanding Partai Sosialis, masing-masing 4 dan 5
berbanding 1.
Kasus lain adalah tingkah laku memilih di India. Kajian yang dilakukan
oleh Rajni Kothari (1974), mengungkapkan bahwa para pekerja luar kota di
India tidak mempunyai kebiasaan memilih partai politik berdasarkan kelas.
Tetapi perilaku memilih para pekerja India di kawasan kota pula,
dipengaruhi oleh kedudukan sosioekonomi mereka. Rajni Kothari (1974)
mengungkapkan bahwa Partai Marxis Komunis Radikal dan dua partai
beraliran sosialis berhasil memperolehi dukungan 25.00% hingga 40.00%
pekerja dengan skil dan tanpa skil di kawasan kota. Oleh karena itu, beliau
menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku memilih para pekerja di
India berdasarkan tempat tinggal, yaitu kota dan luar kota dan status
19
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
sosioekonomi. Di kawasan kota, faktor status sosioekonomi pekerja
mempengaruhi perilaku memilih mereka. Sedangkan di kawasan luar kota,
faktor status sosioekonomi tidak mempengaruhi pilihan partai pekerja.
2.2.2 Pendekatan Psikologi
Pendekatan psikologi ini diperkenalkan oleh Pusat Penyelidikan dan
Survei Universiti Michigan (University of Michigan’s Survey Research Centre).
Menurut
penggagasnya
pendekatan
psikologi
dimaksudkan
untuk
melengkapi kekurangan pendekatan sosiologi. Salah satu kekurangan
tersebut adalah dari segi metodologi, yaitu kesukaran dalam menentukan
kriteria
pengelompokan
masyarakat.
Misalnya
menurut
pendekatan
sosiologi, pilihan pemilih terhadap partai tertentu dipengaruhi oleh kelas
sosial
ekonomi
mereka,
namun
kasus
di
Britain
menunjukkan
kecenderungan pengaruh kelas sosial ekonomi terhadap perilaku memilih
semakin lemah. Salah satu contoh dari kelemahan pendekatan psikologi
ditunjukkan oleh temuan kajian Butler dan Stoke (1969) bahwa masyarakat
kelas bawah di Britain ternyata tidak otomatis mendukung partai buruh.
Pendekatan psikologi pada awalnya dikembangkan di Amerika Serikat
melalui kajian Campbell et al. yang terkenal yaitu The American Voter (1960).
Hasil kajian mereka menunjukkan bahwa pemilih Amerika tidak begitu peka
dan berpengetahuan tentang politik sabagaimana yang diperkirakan. Selain
itu beliau menemukan bahwa sebagian dari pemilih Amerika memilih partai
politik yang tidak menggambarkan keinginan dan pilihan mereka. Pemilih
Amerika memiliki kesetiaan yang panjang terhadap partai politik tertentu
dan hal ini mempengaruhi sikap dan perilaku politik mereka di samping
senantiasa memilih partai tersebut dalam setiap pemilu (Campbell et al.
1960:121). Faktor isu dan calon meskipun dapat mempengaruhi pilihan
pemilih sewaktu pemilu, namun ia dianggap bersifat sementara dan tidak
akan merusak kesetiaan dan identifikasi terhadap partai tersebut.
20
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Ghazali Mayudi (1999:27) menjelaskan bahwa walaupun aspek sikap
terhadap calon, sikap terhadap isu dalam negeri, sikap terhadap isu luar
negeri, sikap terhadap manfaat kelompok dan sikap terhadap partai sebagai
pemerintah memainkan peran penting, tetapi yang mempengaruhi pilihan
pemilih dan membentuk persepsi mereka tentang calon dan isu adalah
identifikasi partai.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pendekatan psikologi
menekankan pada tiga aspek, yaitu identifikasi partai seseorang terhadap
partai politik tertentu, sikap terhadap calon dan sikap terhadap isu politik.
Misalnya kalau seseorang mempunyai kecenderungan mengidentifikasikan
diri dengan Partai X dan kemudian terpengaruh oleh calon serta isu yang
diangkat, maka dalam pemilu kemungkinan besar akan memilih Partai X.
Begitu pula sebaliknya, apabila pemilih mengidentifikasikan diri dengan
Partai Y dan terpengaruh oleh calon dan isu yang ditimbulkan partai ini maka
mereka akan cenderung memilih Partai Y. Namun apabila pemilih tidak
mengidentifikasikan diri dengan partai politik tertentu, maka ia akan
membuat pilihan dengan dipengaruhi oleh faktor calon dan isu.
Bagaimana sebenarnya proses terbentuknya perilaku memilih
tersebut? Niemi dan Weisberg (1976:12) menguraikan seperti apa yang
dijelaskan oleh pendukung model psikologi ini bahwa proses terbentuknya
perilaku memilih dengan istilah “Funnel of Causality”. Pengandaian ini
dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena pemilihan yang dalam model
terletak paling atas dari funnel (cerobong). Digambarkan bahwa dalam
cerobong terletak poros yang mewakili dimensi masa. Kejadian-kejadian
yang saling berinteraksi ini bergerak dalam dimensi masa tertentu yang
dimulai dari mulut hingga ujung cerobong. Mulut cerobong adalah latar
belakang sosial (agama, kaum dan suku), status sosial (pendidikan, pekerjaan
dan kelas) dan latar belakang sosial orang tua (kelas dan dukungan partai).
Semua unsur tadi mempengaruhi identifikasi partai yang merupakan tahap
21
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
berikutnya dari proses tersebut. Pada tahap selanjutnya identifikasi partai
akan mempengaruhi sikap terhadap calon dan isu-isu politik. Sedangkan
proses yang paling dekat dengan perilaku pemilih adalah kampanye sebelum
pemilu maupun peristiwa-peristiwa yang diberitakan oleh media massa.
Masing-masing unsur dalam proses tersebut akan mempengaruhi perilaku
pemilih. Meskipun demikian menurut Niemi dan Weisberg kelompok
Michigan lebih menumpukan perhatian kepada partai, calon dan isu dari
latar belakang sosial dan komunikasi yang dekat dengan ujung cerobong.
Dalam banyak kasus, di mana sikap terhadap isu dan calon sangat
kuat, peranan identifikasi partai mungkin menurun atau kurang signifikan
untuk menjelaskan perilaku pemilih. Namun dalam keadaan di mana individu
tidak memiliki persepsi yang utuh terhadap isu dan calon, peranan
identifikasi partai menjadi sangat besar. Dalam kasus ini, penulis The
American Voter mengatakan bahwa:
If some has little perception of the candidates, of the record the partaies,
of public issues or questions of interest, his attitudes toward these things
may play less important intervening role between party identification
and the vote. Presumably, among people of relatively impoverished
attitude who yet have a sense of partaisan loyalty, party identification
has a more direct influence on behavior than it has among people with
a well-elaborated view of what their choice concerns. (Campbell at al.
1960:136)
Dari kenyataan di atas dapat diketahui bahwa kekuatan dan tujuan
identifikasi partai sesungguhnya sangat penting dalam mempengaruhi sikap
dan perilaku pemilih.
Teori identifikasi partai yang dihasilkan oleh kelompok Michigan telah
mencetuskan serangkaian kajian tentang pemilu baik mengokohkan maupun
mengkritik serta melengkapi teori yang asli (Ghazali Mayudin 1999:31). Di
antara kajian tersebut dilakukan oleh Butler dan Stokes (1969), Golberg
(1969), Franklin (1984), Fiorina (1981) dan sebagainya.
22
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Kritik terhadap pendekatan ini adalah menyangkut hubungan antara
sikap dan perilaku dengan proses pembuatan keputusan. Afan Gaffar
(1992:9) misalnya mempersoalkan, manakah yang lebih dahulu antara sikap
atau perilaku individu ketika ia membuat suatu keputusan? Selain itu,
menurut Affan pendekatan psikologi dikritik karena terlalu menekankan
perhatian kepada analisis di level mikro, yang akhirnya menyebabkan
kesulitan dalam membuat kesimpulan dari analisis di peringkat mikro
kepada analisis makro. Dengan kata lain, apakah sikap dan perilaku individu
mencerminkan sikap dan perilaku kelompok.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang
mendasar antara pendekatan sosiologi dan psikologi adalah: pendekatan
sosiologi lebih melihat perilaku politik dari segi luaran diri seseorang dan
kemudian
menghubungkannya
dengan
perilaku
memilih.
Sementara
pendekatan psikologi lebih melihat perilaku politik dari persepsi seseorang
mengenai masalah-masalah politik. Perasaan, pengalaman dan penafsiran
seseorang terhadap peristiwa-peristiwa politik menurut pendekatan
psikologis secara signifikan mempengaruhi perilaku politik.
2.2.3 Pendekatan Ekonomi
Dalam perkembangan selanjutnya, kedua pendekatan tersebut kurang
memuaskan para sarjana yang meneliti perilaku memilih. Oleh karena itu,
muncul pemikiran baru yang menggunakan pendekatan ekonomi atau sering
disebut pendekatan rasional. Tokoh dalam pendekatan ini antara lain Downs
dengan kajiannya “An Economic Theory of Democracy”(1957). Dalam buku ini
Ia menekankan kepada dua pelaku politik utama yaitu partai politik dan
pemilih dengan asumsi bahwa: Pertama, partai politik atau calon-calon yang
berkompetisi dalam sistem demokrasi merencanakan kebijakan-kebijakan
yang diyakini dapat memaksimumkan dukungan suara. Kedua, pemilih akan
bertindak secara rasional untuk memaksimumkan utilitasnya atau kepuasan
23
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
yang diperolehi dari ganjaran dengan memilih partai yang dianggap dapat
memenuhi kepentingannya (Downs 1957:295)1
Menurut teori ini, seseorang individu akan bertindak secara rasional
apabila ia meminimumkan kosnya untuk mencapai suatu tujuan. Seorang
pemilih akan memilih partai yang mempunyai perjuangan yang hampir sama
dengan tujuannya. Dia akan mempertimbangan beberapa hal antara lain
apakah keuntungan yang diperoleh seandainya partai yang didukung itu
menang dan sebaliknya. Apakah kerugian yang akan ditanggung jika partai
yang didukungnya kalah.
Selain itu menurut Downs (1957) seorang individu yang rasional akan
mempertimbangkan
kemungkinan
pilihannya
dalam
menentukan
kemenangan atau kekalahan suatu partai. Jika seandainya partai yang ia
dukung itu menang walaupun tanpa pilihnya ataupun partai akan kalah
walaupun ia memilihnya, maka ia akan bertindak secara rasional dengan
tidak ikut memilih. Ini karena tenaga dan waktunya untuk hadir di TPS tidak
mempengaruhi keputusan pemilu ditempatnya. Partai yang ia dukung akan
menang tanpa ia mengeluarkan biaya apapun. Kemenangan partai yang ia
dukung adalah kemenangan kolektif, yakni ia juga dapat menikmati manfaat
dari
pembangunan
yang
dilakukan
partai
yang
menang,
seperti
pembangunan jalan raya, sekolah-sekolah, rumah sakit dan lain-lain fasilitas
publik, baik ia memilih ataupun tidak (Dawse dan Hughes 1972:301).2
Model ekonomi ini juga dapat menjelaskan perbedaan partisipasi
politik yang terdapat antara kelas-kelas sosial (pendidikan, pendapatan, dan
status pekerjaan). Individu yang berada pada kelas atas, yaitu mempunyai
Berdasarkan kepada dua andaian tersebut, Downs (1957) telah membina 25 hipotesis iaitu
7 hipotesis berdasarkan pada andaian pertama, 15 hopotesis berdasarkan andaian kedua
dan 3 hipotesis berdasarkan kepada kedua-dua andaian. Untuk keterangan lanjut mengenai
hipotesis-hipotesis ini secara terperinci sila rujuk Downs (1957:295:300).
2 Ini bersamaan dengan hipotesis kedua belas yang dibentuk Downs (1957:298) yaitu setiap
pemilih menyadari bahwa nilai suaranya dalam setiap pemilu adalah sangat kecil, oleh itu
dorongan (insentif) setiap warga negara untuk mendapatkan informasi sebelum memilih
adalah kecil.
1
24
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
tingkat pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang baik dan pendapatan yang
tinggi, mempunyai kecenderungan untuk memperoleh, menilai serta
membandingkan informasi yang ada. Individu yang berpendidikan tinggi
memperoleh
informasi
baru
secara
mudah
sebagai
hasil
status
sosioekonominya. Oleh karena biaya partisipasi dalam politik bagi individu
ini adalah rendah maka kadar partisipasi politik adalah diperkirakan tinggi
(Dowse dan Hughes 1972:303-304).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan
ekonomi mengasumsikan bahwa setiap individu yang melibatkan diri dalam
politik
akan
memaksimumkan
manfaat
yang
akan
diperoleh
dan
meminimumkan biaya yang dikeluarkannya. Budge dan Farlie (1977:115116) menyebutkan individu dalam model ekonomi adalah seorang yang cost
conscious, karena individu itu mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap
biaya yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan sesuatu tindakan.
2.2.4 Politik Uang
Praktik vote buying dianggap dapat membuat “underprovision of
public goods” (Robinson and Verdier, 2003: 2), “damage the economy”
(Baland and Robinson, dalam Schaffer, 2007: 114-126), “create incentives for
politicians to promote underdevelopment” (Boix, 2007: 590), atau “undermine
political equality and democracy” (Stokes, dalam Schaffer, 2007: 224-236).
Sejauh ini belum ada kesepakatan di antara para ilmuwan politik mengenai
hubungan politik uang dengan perilaku memilih, namun karena dilihat dari
fenomena politik pada saat pemilu legislatif 2014 lalu dimana calon-calon
yang unggul dalam pemilu 2014 adalah calon yang melakukan taktik politik
uang sebagaimana tergambar pada latar belakang masalah penelitian ini.
Menurut Kramon (2009: 1) seperti dikutip Nurdin (2014) sejauh ini
belum ada kesimpulan yang meyakinkan bahwa vote-buying memiliki
pengaruh nyata terhadap perilaku memilih. Menurut Nurdin penelitian
25
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
fenomena vote buying di Kenya, mempertanyakan apakah politik uang
mempengaruhi perilaku politik, terutama dalam konteks pemilihan umum
yang rahasia dan bersifat sukarela, mengingat hanya sedikit teori yang
memiliki pandangan sama tentang hal tersebut. Nurdin mengutip Kramon
yang mengatakan bahwa:
“There is little theoretical convergence regarding the relationship of vote
buying to voting behavior, partaicularly in the context of the secret ballot
and voluntary voting. Does vote buying influence the political behavior of
potential voters? And if so, why?” (Kramon, 2009: 1).
Sarjana lain yang meneliti politik uang dan perilaku memilih adalah
Stokes (2005). Dampak vote buying menurut Stokes masih perlu
dipertanyakan
karena
sesungguhnya tidak ada
daya
paksa untuk
memperoleh nilai tukar politik uang, mengingat pemungutan suara dilakukan
secara rahasia dan sukarela. Pihak yang memberikan uang tidak pernah tahu
secara persis apa yang dilakukan pemilih di bilik suara. Karena itu, Stokes
menyimpulkan bahwa kaitan antara vote-buying dan perilaku memilih
adalah sebuah teka-teki atau puzzling (2005: 14).
Bratton (2008) menyatakan bahwa uang atau barang yang diberikan
kepada pemilih tidak menjamin pemilih akan mendukung calon yang
memberikan uang atau barang tersebut. Penelitiannya di Nigeria,
menyimpulkan bahwa “compliance with the wishes of politicians is not
assured” (Bratton, 2008: 15). Namun demikian, Bratton akhirnya mengatakan
bahwa praktik vote-buying berdampak signifikan terhadap peningkatan
partisipasi pemilih dan loyalitas partaisan. Pemilih yang menerima uang
atau materi dari peserta pemilu merasa lebih aman pergi ke bilik suara pada
hari pemilihan, namun belum tentu memilih sesuai permintaan pihak yang
memberi uang atau materi.
26
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Pendapat yang mengatakan bahwa vote-buying memiliki pengaruh
penting terhadap perilaku memilih disampaikan antara lain oleh Vicente.
Nurdin (2014) mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan Vicente di
Afrika Barat, menemukan bahwa praktik vote-buying terbukti membuat
pemilihan umum lebih bergairah. Namun demikian, dalam penelitian
berikutnya yang dilakukan bersama Wantchekon, Vicente menyimpulkan
bahwa praktik vote--‐buying tidak selamanya “homogeneously effective”
terhadap perilaku memilih, bahkan di antara pemilih miskin di daerah yang
pembangunan ekonominya terhitung rendah. Mereka juga menyimpulkan
bahwa “... indicate that the use (by politicians) and effects (on voters) of
vote buying can be controlled with civic campaigns around elections” (Vicente
dan Wantchekon, 2009: 18).
Dalam penelitian di Afrika Barat tersebut, pendidikan politik diduga
sebagai faktor yang menentukan terhadap efektif tidaknya politik uang dalam
mempengaruhi preferensi pemilih. Semakin gencar kampanye sipil untuk
meningkatkan kesadaran politik pemilih, maka tingkat efektivitas politik
uang untuk mengubah perilaku memilih akan semakin lemah. Sebaliknya di
tempat kesadaran politik masyarakatnya masih rendah, politik uang dapat
menjadi alat yang efektif untuk mengubah preferensi dan pilihan politik
pemilih.
Nurdin (2014) dalam disertasinya mengatakan bahwa penelitian yang
melihat adanya pengaruh politik uang terhadap perilaku memilih dilakukan
oleh Schaffer (2002; 2005; 2007). Schaffer melakukan penelitian di beberapa
negara Asia. Menurut Schaffer, respons pemilih terhadap politik uang dapat
berbeda-beda di setiap masyarakat tergantung kepada karakteristik sosial
dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Dikatakan, “vote buying carries
different meanings in different historical and cultural contexts” (Schaffer,
2005: 1). Pemberian uang atau materi oleh kandidat pemilu kepada calon
pemilih dapat dianggap sebagai sumbangan, penghargaan, upah, tebusan,
27
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
atau penawaran, tergantung kepada tata nilai dalam masyarakat yang
bersangkutan. Dengan demikian dampak praktik politik uang juga sangat
ditentukan oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dari masing-masing
masyarakat. Nurdin mencontohkan seorang tamu di Taiwan memiliki
kebiasaan untuk memberikan hadiah kecil kepada tuan rumahnya.
2.2.5 Penilaian Terhadap Kinerja Pemerintah
Teori utilitas dalam ekonomi adalah berdasarkan kepada asumsi
bahwa seseorang individu akan memperoleh kepuasan dari penggunaan
suatu barang atau jasa. Menurut Curry dan Wade (1968:5-6), semakin
banyak jasa yang diperoleh dalam satu unit waktu tertentu, maka akan
semakin tinggi tingkat kepuasan yang dinikmati oleh seseorang. Konsep
pelayanan
dan
kepuasan
ini
menurutnya dapat
digunakan
dalam
menerangkan partisipasi seseorang dalam proses politik. Jika dalam bidang
ekonomi seseorang mendapat utilitas melalui penggunaan suatu barang atau
jasa, maka dalam politik juga diasumsikan pelaku politik mendapat utilitas
melalui cara yang sama seperti yang dilakukan oleh seorang pelaku ekonomi.
Mereka mencoba membuat pertukaran pemilihan untuk mendapatkan
ganjaran yang lebih.
Pemikiran tersebut hampir sama dengan pandangan Anthony Downs
(1957) dalam bukunya An Economic Theory of Democracy menekankan
perhatian kepada dua pelaku yaitu: pertama, partai politik atau calon-calon
yang berkompetisi dalam sistem demokrasi menyarankan kebijakankebijakan yang diyakini dapat memaksimumkan suara yang diperoleh.
Kedua, setiap individu pemilih, akan bertindak secara rasional untuk
memaksimumkan kepuasan yang diperoleh dari ganjaran dengan memilih
partai yang dianggap mampu memperjuangkan kepentingannya. Menurut
teori ini seorang pemilih akan memilih partai yang memperjuangkan
tujuannya. Pemilih akan mempertimbangkan apakah manfaat yang akan
didapatkan seandainya partai yang didukungnya menang dan sebaliknya,
28
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
apakah biaya yang terpaksa ditanggungnya seandainya partai yang
didukungnya itu kalah.
Teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih
masyarakat Kota Bukittinggi pada pemilu 2014 dimana partai pemerintah
yang sedang berkuasa seperti Partai Demokrat tidak lagi mendapat
dukungan dari pemilih. Berdasarkan teori ini maka penilaian pemilih
terhadap kinerja pemerintah dalam memulihkan keadaan ekonomi,
keseriusan dalam membasmi korupsi, kolusi dan nepotisme, kesungguhan
dalam melaksanakan agenda reformasi serta memperjuangkan kesejahteraan
dan keselamatan masyarakat dan sebagainya akan menjadi faktor penentu
dalam mendukung dan memilih partai pemerintah dalam Pemilu 2014.
Sekiranya pemilih mempunyai penilaian yang positif terhadap kinerja
pemerintah, besar kemungkinan mereka akan memilih partai-partai yang
pemimpinnya sedang memerintah seperti Partai Demokrat yang merupakan
partai yang diketuai Sosilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, jika penilaian
pemilih negatif terhadap kinerja pemerintah maka kemungkinan mereka
tidak akan mendukung partai tersebut.
2.3 Perilaku Memilih dan Pertisipasi Politik
Perilaku memilih merupakan bentuk dari partisipasi politik dan
merupakan bentuk partisipasi yang paling elementer dari demokrasi.
Partisipasi politik termasuk di dalamnya partisipasi dalam pemilu adalah
tindakan seorang warga negara biasa yang dilakukan secara sukarela untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan publik (Verba dan Nie, 1972; Parry,
29
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Moyser, dan Day 1992). Partisipasi adalah tindakan bukan maksud, niat,
sikap atau perkataan.3
Partisipasi politk dalam pemilu dalam bentuk keikutsertaan dalam
mencoblos partai atau calon adalah salah satu bentuk dari partisipasi politik.
Bentuk-bentuk lain dari partisipasi politik seperti kampanye partai politik,
menyumbang dana kampanye, membantu kegiatan partai politik, ikut pawai
partai politik, lobby dll. Bentuk partisipasi politik dalam Pemilu adalah yang
paling lumrah dan biasanya dimanapun dalam demokrasi di dunia, paling
banyak diikuti oleh warga negara4.
Pertanyaan penting terhadap partisipasi politik dalam pemilu adalah
mengapa seseorang memilih partai politik atau calon tertentu dan bukan
partai politik dan calon yang lain. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi
seseorang dalam menentukan pilihan politiknya dalam Pemilu. Hal-hal ini
kemudian yang melahirkan konsep perilaku memilih atau voting behavior.
Perilaku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai
tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Dalam
definisi ini mengandung nilai bahwa perilaku merupakan reaksi terhadap
stimulus baik secara internal (psikologis) maupun eksternal (sosiologis).
Sementar itu, memilih dimaksudkan sebagai proses dalam Pemilu, Pilpres
atau Pilkada.
Aidinil Zetra dalam penelitiannya tentang perilaku memilih buruh
migran Indonesia di Malaysia mendefinisikan perilaku memilih sebagai
proses penentuan keputusan seseorang untuk memilih (atau tidak memilih)
partai atau kandidat tertentu dalam sebuah pemilihan umum5. Sementara,
Ramlan Subakti mengartikan perilaku memilih adalah aktifitas pemberian
Mujani, Op.Cit, Hal. 4.
Ibid. Hal. 5.
5 Aidinil Zetra, 2005, Perilaku Memilih Buruh Migran Indonesia di Malaysia dalam Pemilu
2004. Tesis Master di National University of Malaysia.
3
4
30
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan
keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) di dalam
suatu pemilihan umum. Pemilih diartikan semua pihak yang menjadi tujuan
utama kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung
dan memberikan suaranya6.
Secara umum tidak ada perbedaan signifikan di antara ilmuwan
terhadap definisi perilaku memilih. Perilaku memilih didefinisikan sebagai
proses penentuan pilihan politik dalam pemilu. Maksud proses disini adalah
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menentukan
pilihan politiknya, apakah memilih partai A atau partai B, apakah memilih
kandidat A atau kandidat B. Faktor-faktor ini yang dalam definisi awal
dimaknai sebagai rangsangan atau stimulus.
2.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis utama dalam penyelidikan ini adalah bahawa :
H1
Terdapat hubungan yang signifikan antara Faktor Sosio
:
Demografi dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014
H1.1
:
Terdapat hubungan yang signifikan antara umur responden
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam
pemilu Legislatif 2014
H1.2
:
Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin
responden dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014
H1.3
:
Terdapat hubungan yang signifikan antara negeri asal responden
dengan dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
6
Ramlan Subakti. 1997. Partai, Pemilih, dan Demokrasi. Jakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 170.
31
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
dalam pemilu Legislatif 2014
H1.4
:
Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
responden dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014
H1.5
:
Terdapat hubungan yang signifikan antara agama responden
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam
pemilu Legislatif 2014
H1.6
:
Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan
responden dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014
H1.7
:
Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan
responden dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014
H2
:
Terdapat hubungan yang signifikan antara identifikasi kepartaian
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam
pemilu Legislatif 2014
Terdapat hubungan yang signifikan antara penilaian terhadap
H3
kondisi sosial ekonomi daerah perilaku memilih masyarakat Kota
Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014.
H4
:
Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap masyarakat
terhadap politik uang daerah perilaku memilih masyarakat Kota
Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014.
Hipotesis tersebut dapat digambarkan dalam bentuk hipotesis geometrik
pada Gambar 1 sebagai berikut:
32
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Faktor Sosio
Demografi
Identifikasi
Kepartaian
Perilaku Memilih
Penilaian terhadap
Kondisi Sosial
Ekonomi Daerah
Sikap terhadap
Politik Uang
Gambar 1: Model Hipotesis Geometrik
33
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
3.1. Pendekatan dan Tipe Penelitian
Penelitian tentang perilaku memilih merupakan penelitian dalam
tradisi/paradigma behavioralisme. Behavioralisme lahir karena adanya
ketidakpuasan kalangan sarjana politik terhadap prosedur atau cara
melakukan studi politik tradisional yaitu salah satunya ketidakpuasan
terhadap analisis yang sifatnya semata-mata deskriptif1. Oleh karena itu
penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang dilengkapi dengan
data-data kualitatif. Metode penelitian kuantitatif diartikan sebagai metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk
meneliti
pada
menggunakan
populasi
atau
instrumen
sampel
penelitian,
tertentu,
analisis
pengumpulan
data
data
bersifat
kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah
ditetapkan2.
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini adalah penelitian eksplanatif
Penelitian Eksplanatif atau yang bersifat menjelaskan, yaitu penelitian yang
dapat dilakukan kalau pengetahuan tentang masalahanya sudah cukup,
artinya sudah ada beberapa teori tertentu dan sudah ada berbagai penelitian
empiris yang menguji berbagai hipotesa tertentu sehingga terkumpul
Gaffar, Op.Cit, Hal. 36
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: CV. Alfabeta.
Hal. 8
1
2
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
34
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
berbagai generalisasi empiris. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menguji berbagai hipotesa tertentu dengan maksud membenarkan atau
memperkuat
hipotesa
itu.
Mencari
sebab-musabab
dari
suatu
gejala. Menentukan sifat dari hubungan antara satu atau lebih gejala atau
variabel terikat dengan satu atau lebih variabel bebas.
Penelitian ini dimasudkan untuk menjelaskan perilaku memilih
masyarakat Kota Bukittinggi. Secara khusus penelitian ini menjelaskan
pengaruh faktor sosio-demografi, identifikasi kepartaian, faktor penilaian
terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi dan politik uang
terhadap perilaku memilih. Untuk memahami fenomena tersebut digunakan
metode survei dengan mengumpulkan data empiris melalui kuesioner di
lapangan. Alasan menggunakan metode survei karena unit analisisnya adalah
individu yaitu pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif
Tahun 2014.
3.2. Unit Analisis, Populasi dan Sampel
Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu yang terdaftar dalam
Pemilu Legislatif di Kota Bukittinggi pada tanggal 9 April 2014. Populasi
dalam penelitian ini adalah
Populasi
: DPT (79.481)
Sampel
: Metode pengambilan sample dengan rumus Slovin
(n=
N
= jumlah populasi
n
= jumlah sampel yang dicari
(d)2 = presisi (ditetapkan 5%) dengan tingkat
kepercayaan 95% yaitu 0,05
Jadi Sampel = 380 orang
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
35
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi3. Sampel untuk penelitian kuantitatif dengan metode survey dipilih
dari warga Kota Bukittinggi yang telah terdaftar dalam Pemilu 2014 baik
menggunakan hak pilihnya
maupun tidak. Teknik pemilihan sampel
menggunakan teknik Probability Sampling dengan penggabungan beberapa
metode berikut:

Pemilihan Kecamatan dan Kelurahan total sampling
Pengertian dari total sampling sendiri adalah memilih secara
keseluruhan kecamatan dan kelurahan yang ada di daerah penelitian
untuk dijadikan sebagai sample penelitian, hal ini dikarenakan
sedikitnya jumlah kecamatan dan kelurahan yang ada di suatu daerah
tempat penelitian atau melihat kepada tingkat populasi yang ada di
kelurahan atau kecamatan yang ada didaerah tersebut.

Pemilihan Rumah Tangga: Systematic Sampling
Dalam pemilihan rumah tangga yang akan di pilih menjadi sample
maka teknik systematic sampling menjadi pilihan yang digunakan,
yaitu dimana teknik ini berupa penarikan sample dengan cara
mengambil setiap kasus (nomor urut) yang kesekian dari daftar
populasi.

Penentuan Gender dengan Proporsional sampling
Dalam menentukan gender pun digunakan proporsional sampling
yaitu, Teknik ini menghendaki cara pengambilan sampel dari setiap
sub populasi dengan memperhitungkan besar kecilnya sub populasi
tersebut.
Cara ini dapat memberi landasan generalisasi yang lebih dapat
dipertanggung jawabkan dari pada apabila tanpa memperhitungkan
besar kecilnya sub populasi dan setiap sub populasi.
3
Sugiyono, Op.Cit, Hal. 81
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
36
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014

Pemilihan Responden Systematic Sampling
Pada pemiliha responde makan penggunaan systematic sampling
kembali digunakan yaitu, Prosedur ini berupa penarikan sample
responden dengan cara mengambil setiap kasus (nomor urut) yang
kesekian dari daftar populasi.
Instrumen untuk mendapatkan data dalam penelitian ini digunakan
kuesioner yang berisi daftar pertanyaan untuk setiap responden. Kuesioner
penelitian disusun dengan terlebih dahulu menyusun indikator disetiap
variabel penelitian dengan tujuan agar setiap variabel dapat diukur secara
tepat secara kuantitatif.
Penyebaran kuesioner dilakukan oleh 10 enumerator yang telah terlebih
dahulu dilatih yang dipimpin oleh satu orang koordinator dan 1 orang
supervisor. Supervisor melakukan spot-check secara acak terhadap 20
responden untuk memastikan bahwa data diperoleh secara benar sesuai
dengan prosedur yang telah ditentukan.
3.3 Sumber Data
Sumber data dalam riset ini terdiri dari:
3.3.1 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diambil tidak langsung kepada
sumbernya. Rincian data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini
adalah:
1.
Dokumen-dokumen yang terkait profil daerah penelitian yaitu Kota
Bukittinggi seperti:
1) Kota Bukittinggi dalam Angka 2014.
2) Rencana Strategi (Renstra) (rencana-rencana strategik (strategic
plans), sasaran strategik, inisiatif strategik dan target berjangka
menengah).
3) Laporan eavaluasi hasil Pemilu 2014.
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
37
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
3.3.2 Data Primer
Data primer adalah data yang diambil langsung oleh peneliti kepada
sumbernya tanpa ada perantara. Rincian data primer yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah:
1. Informasi tentang identitas responden
2. Informasi tentang partisipasi politik, partisipasi memilih masyarakat
dalam pemilu
3. Informasi tentang minat politik, persepsi dan sikap masyarakat pemilih
tentang politik uang dan sebagainya.
4. Informasi yang terkait dengan faktor-faktor mempengaruhi perilaku
memilih (Sosio Demografi, Identifikasi Partai, Kinerja Pemerintah Daerah,
Politik Uang)
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Oleh karena pendekatan penelitian ini merupakan gabungan antara
penelitian kuantitatif dan kualitatif maka teknik pengumpulan data
penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.4.1 Teknik Kuesioner
Kuesioner bertujuan untuk mendapatkan data tentang identitas
responden, persepsi, opini, dan sikap responden terhadap perilaku memilih,
partisipasi politik, politik politik uang, identifikasi partai dan sebagainya
3.4.2 Teknik FGD
FGD bertujuan untuk mendapatkan informasi tambahan dan
pendalaman terhadap temuan yang menonjol dari deskripsi hasil kuesioner.
Melalui FGD dikumpulkan juga informasi tentang pendapat peserta tentang
pejelasan yang dapat diberikan secara kualitatif terhadap hasil penelitian.
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
38
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Selain itu juga dikumpulan pendapat peserta yang merupakan tokoh
masyarakat
terhadap
upaya-upaya
yang
dapat
dilakukan
dalam
meningkatkan rasionalitas pemilih.
3.4.3 Teknik Dokumenter
Teknik dokumenter yaitu teknik pengumpulan informasi dengan
mempelajari sumber data tertulis untuk memperoleh data sekunder yang
terkait dengan partisipasi masyarakat dalam pemilu, data data administratif
Kota Bukittinggi seperti data jumlah penduduk, data jumlah pemilih, jumlah
desa dan kelurahan, letak dan kondisi georafis dan sebagainya.
3.5 Lokasi Penelitian, Informan dan Responden
Mengingat banyaknya aspek yang
dikaji dan untuk menjangkau
kedalaman masalah yang dikaji, maka dibutuhkan kesungguhan dalam
proses penelitian mulai dari pengumpulan data sekunder sampai data
primer. Oleh sebab itu riset ini hanya dibatasi di satu lokasi penelitian yaitu
Kota Bukittinggi, Propinsi Sumatera Barat.
3.6 Teknik Pengolahan Data
Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan dua tahapan waktu,
pertama, pada saat bersamaan dengan kegiatan pengumpulan data
berlangsung; dan kedua, dilakukan setelah pengumpulan data berakhir
(Bogdan & Biklen, 1992). Tahapan pertama dilakukan untuk mencari fokus
serta untuk memperoleh data-data awal dalam pengajuan pertanyaanpertanyaan selama di lapangan. Sedangkan analisis yang kedua berfungsi
untuk mengantisipasi berbagai temuan yang layak dieksplorasi lebih
mendalam setelah data terkumpul. Rangkaian alur ini ditempuh agar analisis
data dapat dilakukan secara komprehensif serta mampu mengaktualisasikan
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
39
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
antara tujuan dan sasaran penelitian dengan berbagai kenyataan yang
berkembang di lapangan.
3.6.1 Metode Pengolahan Data
Data kuantitatif yang sudah terkumpul melalui survey diperiksa
terlebih untuk memastikan data tidak ada yang tercecer atau tidak lengkap
sehingga proses analisa data dapat dilakukan. Data dianalisa secara
deskriptif analitik. Analisa data adalah: proses pengolahan, penyajian,
interpretasi dan analisa data yang diperoleh dari lapangan, dengan tujuan
agar data yang disajikan mempunyai makna, sehingga pembaca dapat
mengetahui hasil penelitian (Martono,2010). Terdapat beberapa tahap yang
peneliti lakukan untuk melakukan analisa data, yaitu :
1) Data coding atau pemberian kode, merupakan suatu proses penyusunan
data mentah secara sistematis ke dalam bentuk yang mudah dibaca oleh
mesin komputer. Dalam proses ini perlu membuat kode.
2) Data entering atau memasukkan data, merupakan proses pemindahan
data yang telah diubah ke dalam kode angka ke dalam komputer.
3) Data cleaning atau pembersihan data, merupakan proses pengecekan
untuk memastikan bahwa seluruh data yang telah dimasukkan ke
komputer sudah sesuai dengan informasi yang sebenarnya.
4) Data Output atau penyajian data, merupakan tahap menyajikan hasil
pengolahan data dengan bentuk yang mudah dibaca dan menarik.
5) Data Analyzing atau analisis data, merupakan tahap akhir dalam
penelitian. Tahap ini mengharuskan peneliti untuk menginterpretasikan
data yang sudah diperoleh selama pengumpulan data di lapangan.
3.6.2 Perangkat Pengolahan Data
Data entry dan penghitungan hasil survei dilakukan dengan program SPSS
21.0.
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
40
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
3.6.3 Analisa Data
Analisa data menggunakan metode analisis statistik deskripsi dan
analisis statistik inferensial serta melibatkan beberapa analisis univariat
seperti sebaran frekuensi, baik secara angka-angka mutlak maupun secara
persentase, disertai dengan analisis multivariat, seperti analisis korelasi dan
chi square. Analisis statistik yang digunakan adalah analisa statistik deskriptif
seperti modus, median, rata-rata yang disajikan dalam bentuk distribusi
frekuensi dan persentase. Kemudian hasil analisis dijabarkan melalui
penjelasan kalimat secara rinci. Teknik analisis data untuk data kualitatif
yakni data yang diperoleh dari hasil FGD dan dokumentasi digunakan teknik
deskriptif kualitatif. Melalui teknik ini data yang telah dikumpulkan dalam
bentuk transkrip FGD dan catatan lapangan, komentar peneliti, dokumen
berupa Bukittinggi dalam angka, dan sebagainya kemudian diatur, diurutkan,
diorganisasikan, dikode dan dikategorikan ke dalam satu pola, secara
sistematik dan kemudian dinterpretasikan.
3.7mTeknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Beberapa hal yang peneliti lakukan untuk menjaga keabsahan data:
3.7.1. Mendeskripsikan, menginterpretasi, dan mengecek ulang hasil
penelitian
Mencatat semua kejadian yang penting secara deskriptif. Kejadian
penting di sini maksudnya adalah semua kejadian yang menggambarkan
kesukarelaan politik, dan partisipasi politik serta partisipasi memilih yang
sesuai dengan kerangka konseptual. Untuk membantu membuat deskripsi
kejadian-kejadian yang ditemui, peneliti dapat membuat gambar, foto, atau
video yang menggambarkan kejadian penting tersebut.
Ketika menemui kejadian yang penting, peneliti mencari berbagai
informasi yang dapat menjelaskan fenomena kesukarelaan politik dari
berbagai prespektif yang ada. Pandangan dari tokoh masyarakat yang
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
41
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
beragam sangat penting dalam rangka untuk memperoleh informasi yang
holistik dan mencari interpretasi yang tepat terhadap fakta yang ditemui.
3.7.2 Memisahkan secara tegas antara deskriptif, interpretasi dan
penilaian hasil penelitian
Peneliti memisahkan dengan tegas mana yang merupakan fakta dan
interpretasi terhadap fakta. Peneliti juga mencatat tanggapan, masukan dan
saran yang diperoleh dari tokoh masyarakat, anggota dan staf KPU dalam
FGD sebagaimana adanya sesuai dengan bahasa dan kata-kata mereka
sendiri. Sehingga peneliti dapat menangkap nuansa dan konteks yang tepat
dari pernyataan informan. Pemisahan seperti ini penting dan perlu dilakukan
agar interpretasi dan kesimpulan yang dihasilkan dapat diverifikasi.
3.7.3
Memberikan Umpan Balik (feedback)
Peneliti
memberikan
umpan
balik
(feedback)
kepada
tokoh
masyarakat dan komisioner KPU serta staf mengenai temuan dan
interpretasi yang dihasilkan dari serangkaian kegiatan penelitian lapangan
yang dilakukan. Feedback ini penting untuk diberikan di samping sebagai
suatu bentuk laporan dan pertanggungjawaban peneliti terhadap KPU yang
memberikan pekerjaan juga sebagai salah satu cara untuk melakukan
klarifikasi dan verifikasi terhadap temuan, interpretasi, dan kesimpulan yang
dimiliki. Tentunya tidak semua temuan dapat dan perlu disampaikan kepada
mereka. Namun setidaknya temuan awal yang sudah diverifikasi dapat
disampaikan agar mereka dapat memahami apa yang menjadi perhatian
peneliti dan bagaimana mereka dapat memanfaatkan temuan itu untuk
memperbaiki tata kelola pemilu.
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
42
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
4.1 Geografis Kota Bukittinggi
Kota Bukittinggi yang lazim disebut dengan “Kota Jam Gadang” dan
“Kota Wisata” yang memiliki luas wilayah 25,239 Km2 merupakan salah satu
dari tujuh Kota di Propinsi Sumatera Barat. Posisi Kota Bukittinggi secara
geografis terletak antara 100020’ - 100025’ BT dan 00016’ – 00020’ LS
dengan ketinggian sekitar 780 – 950 meter dari permukaan laut. Luas daerah
lebih kurang 25,239 Km2, luas tersebut merupakan 0,06 persen dari luas
Propinsi Sumatera Barat.
Jarak Kota Bukittinggi dari ibu kota Propinsi Sumatera Barat adalah
sekitar 90 km, dengan melalui jalan yang menanjak dan berliku, terutama di
lokasi wisata alamLembah Anai yang terkenal dengan air terjunnya.
Kota Bukittinggi terdiri dari 3 Kecamatan dan 24 Kelurahan, Wilayah
yang membatasi wilayah Kota Bukittinggi semuanya berada dibawah
pemerintahan Kabupaten Agam. Kecamatan terluas wilayahnya adalah
Kecamatan Mandiangin Koto Selayan yaitu 12,156 Km2, dengan persentase
luas kecamatan 48,16 % dan memiliki 9 kelurahan, kemudian di ikuti oleh
Guguak Panjang sebagai kecamatan terluas kedua yaitu 6,831 Km2 dengan
persentase luas kecamatan 27,707 % dan memiliki 7 kelurahan, kemudian
43
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
kecamatan terakhir yaitu Aur Birugo Tigo Baleh dengan luas 6,252 Km2 dan
persentase luas kecamatan 24,77 % yang memiliki 8 kelurahan.
Posisi perbatasan Kota Bukittinggi sebelah Utara berbatasan dengan
Dengan Nagari Gadut dan Kapau Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten
Agam. Sebelah selatan berbatasan dengan Taluak IV suku Kecamatan
Banahampu Kabupaten Agam. Sebelah Barat berbatasan Dengan Nagari
Sianok, Guguk dan Koto Gadang Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam. Serta
sebelah timur berbatasan Dengan Nagari Tanjung Alam, Ampang Gadang
Kecamatan IV Angkat Kabupaten Agam.
Letak Kota Bukittinggi sangat strategis bila dilihat dari segi lalu lintas
angkutan darat antara Propinsi Sumatera Barat dengan Riau. Kota
Bukittinggi merupakan pintu gerbang masuk dari arah Pekanbaru menuju
Kota-kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Jarak Kota Bukittinggi ke
Kota Pekanbaru 221 km dan dapat ditempuh selama ± 5,5 jam perjalanan
dengan angkutan pribadi, sedangkan jarak ke Kota Padang sejauh 91 km,
dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi selama ± 2 jam.
Keadaan tofografi Kota Bukittinggi berupa Permukaan Bumi tidak
rata, bergelombang dan berbukit, serta tanah di Kota Bukittinggi merupakan
lapisan Tuff dari lereng Gunung Merapi, karena itu tanahnya subur. namun
demikian luas daerah yang dimanfaatkan untuk pertanian sedikit sekali, hal
ini disebabkan karena sebagian besar digunakan untuk pemukiman
penduduk, hotel dan pasar. Lokasi pasar yang terluas terdapat di Kecamatan
Guguk Panjang yaitu Pasar Simpang Aur Kuning, Pasar Atas dan Pasar Bawah.
Dikota Bukittinggi juga terdapat sungai kecil, yaitu : Batang Tambuo di
sebelah timur, Batang Sianok mengalir di sebelah barat. Batang Tambuo
lebarnya 5-7 m melewati kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh dan Mandiangin
Koto Senayan. Batang Sianok yang memiliki lebar 12-15 m melewati
kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh dan Guguak Panjang. Sedangkan iklim yang
ada di kota Bukittinggi dalam temperatur udaranya berkisar Max. 24,90 C
44
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Min 16,10 C, kelembaban udara berkisar Max. 90,8% Min 82,0% dan tekanan
udara yang ada berkisar 22,C-25.C.
Ditinjau dari segi penggunaannya, meski sebagian besar lahan di Kota
Bukittinggi memang banyak digunakan untuk pemukiman penduduk, hotel
dan pasar, membuat sedkitnya wilayah yang dijadikan untuk lahan pertanian
sehingga terkesan minim, namum dalam segi pengolahan pertanian ada
beberapa jenis pertanian yang meningkat dan menurun dari tahun ke tahun.
Produksi jagung di Kota Bukittinggi tahun 2013 mengalami kenaikan
produksi yang cukup signifikan sebesar 82,83 persen (163.27 ton)
dibandingkan tahun 2012. Produksi bahan makanan pokok lainnya juga
mengalami kenaikan seperti ketela rambat yang naik dari 739,68 ton tahun
2012 menjadi 1.213,40 ton tahun 2012. Sedangkan produksi sayuran
mengalami penurunan untuk komoditas kacang tanah, cabe dan kangkung,
sedangkan untuk komoditas tomat, bawang daun, buncis dan labu siam
mengalami peningkatan produksi tahun 2013.
4.2 Wilayah Administrasi
Tidak seperti pada daerah Kabupaten, pemerintahan desa diganti
dengan pemerintahan nagari, di Kota Bukittinggi tetap dengan sistem
pemerintahan yaitu kelurahan. Sejak dibentuknya kecamatan dan kelurahan
jumlahnya tidak mengalami perubahan. Tahun 2013 jumlah Rukun Tetangga
di Kota Bukittinggi sebanyak 338 RT dan 106 RW. Dengan jumlah Rukun
Tetangga terbanyak yaitu di Kecamatan Mandiangin Koto Selayan sebanyak
138 RT dan 36 RW.
Dengan keluarnya peraturan daerah pada tahun 2001, pemerintah
daerah Kota Bukittinggi secara otonomi membawahi 65 Dinas/ Kantor/Unit
Kerja dengan jumlah aparatur sebanyak 3.668 orang. Komposisi aparatur
menurut tingkat pendidikan terdiri atas 2,67 persen tamat SD, 1,61 persen
tamat SLTP, 18,65 persen tamat SLTA, 17,78 persen tamat DI-DIII dan tamat
S1 53,95 persen serta S2/S3 sebanyak 5,34 persen.
45
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Jumlah aparatur Pemda Kota Bukittinggi mengalami penurunan
sekitar 1,19 persen (berkurang 44 orang) dibandingkan dengan jumlah
aparatur yang tercatat tahun 2012 yaitu dari 3.712 orang menjadi 3.668
orang pada tahun 2012. Penurunan SDM tersebut sebagai akibat adanya
pegawai yang pensiun dan mutasi pegawai ke daerah lain.
Pelayanan publik di Kota Bukittinggi berpusat pada Pemerintah Kota
mengingat luas wilayah dan akses yang mudah terhadap berbagai tempat di
Kota Bukittinggi, sehingga faktor ini relative tidak mempengaruhi
aksesibilitas masyarakat miskin dalam memanfaatkan peluang-peluang
ekonomi untuk menunjang kehidupannya.
4.3NPemilu Kota Bukittinggi
Hasil rekapitulasi perhitungan suara pemilu 2014 tingkat KPU Kota
Bukittinggi menghasilkan jumlah perolah suara terbanyak di peroleh oleh
partai Gerindra sebanyak 15,99 % dengan jumlah kursi empat dan di isi oleh
Asri Bakar, SH, Deddi Moeis, Herman Syofyan, Benny Yusrial, S.IP, disusul
kemudian oleh partai Golkar dengan jumlah peroleh suara sebanyak 15,28 %
dengan jumlah kursi yang diapat sebanyak empat dan di isi oleh Jusra, S.Sos,
MM, H.Trismon, SH, Edison, SE, Jon Edwar, SE, pada peringkat ke tiga
ditempati oleh Partai Demokrat dengan jumlah suara sebanyak 14,67 %
dengan perolah kursi empat dan di isi oleh Rusdy Nurman, A.Md,
Yontrimansyah, SE, Ir. Hj. Aisyah, Hj. Nursyida, A.Ma, Pd, dan disusul oleh
partai PPP sebanyak 13,16 % pada tempat keempat dengan jumlah kursi
yang didapatkan 3 dan di isi oleh Dedi Fatria, SH, Uneva Hariyanto, SH, Drs.
Rismaidi, SH, kemudian PAN pada posisi kelima dengan jumlah suara 11,90
% dengan jumlah kursi yang dimenangkan sebanyak tiga kursi dan di isi oleh
M. Syafri Syam, Muhammad Nur Idris, SH, Fauzan Haviz.1
1
KPU Kota Bukittinggi
46
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
4.4nPemerintahan
Proses Perencanaan yang matang sangat diperlukan dalam proses
pembangunan, agar pembangunan tersebut dapat berjalan lancar Untuk itu,
pemerintah daerah menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah. Realisasi
pendapataan pemerintah Kota Bukittinggi pada tahun 2015 diproyeksikan
mencapai Rp 605.606.641.063 dengan rincian untuk proyeksi Pendapatan
Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 62.661.639.729, proyeksi dana perimbangan
sebesar Rp 460.215.636.334 serta proyeksi lain-lain pendapatan daerah yang
sah sebesar Rp 82.729.065.000. Sementara untuk total belanja daerah
diproyeksikan sebesar Rp 658.706.641.063, dengan rincian belanja tidak
langsung mencapai Rp 380.392.673.9100, serta belanja tidak langsung
sebesar Rp 278.313.967.153
Untuk belanja daerah tidak langsung Pemko Bukittinggi paling
banyak
mengeluarkan
biaya
belanja
pegawai
yang
mencapai
Rp
359.512.622.742, disusul dengan belanja hibah sebesar Rp 17.455.219.800,
belanja bantuan sosial sebesar Rp 1.407.012.700, belanja tidak terduga
sebesar
Rp1.400.000.000
serta
belanja
bantuan
keuangan
kepada
provinsi/kabupaten/kota, pemerintahan desa dan partai politik sebesar Rp
617.818.668.
Sementara untuk belanja langsung lebih banyak diproyeksikan untuk
belanja pegawai yang mencapai Rp 55.158.139.050, disusul belanja barang
dan jasa sebesar Rp 133.828.305.869 dan belanja modal sebesar Rp
89.327.522.234. Untuk pembiayaan disepakati sebesar Rp 53.100.000.000
dari penerimaan pembiayaan daerah yang berasal dari silpa tahun anggaran
sebelumnya sebesar Rp 70.000.000.000. Sedangkan untuk pengeluaran
pembiayaan daerah diproyeksikan sebesar Rp16.900.000.000 dengan rincian
47
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
pembentukan dana cadangan sebesar Rp10.000.000.000 serta penyertaan
modal (investasi) pemerintah daerah sebesar Rp 16.900.000.000. 2
4.5nPenduduk
Penduduk mempunyai peran penting dalam proses pembangunan.
Oleh karena itu, penduduk merupakan salah satu modal dasar pembangunan.
Jumlah penduduk suatu daerah sangat dipengaruhi oleh faktor kelahiran,
kematian dan migrasi atau perpindahkan penduduk. Jumlah penduduk Kota
Bukittinggi tahun 2013 adalah 118.260 jiwa dengan laju pertumbuhan
penduduk sebesar adalah 1,88 persen pertahun. Penyebaran penduduk Kota
Bukittinggi paling banyak adalah di Kecamatan Mandiangin Koto Selayan
yaitu 40,98 persen. Tingginya tingkat penyebaran penduduk di kecamatan ini
ditandai dengan banyaknya pembangunan perumahan baik yang dilakukan
oleh perusahaan pengembang maupun oleh perorangan.
Namun
demikian
Kecamatan
Guguk Panjang masih menjadi
Kecamatan dengan tingkat kepadatan paling tinggi yaitu 6.264 jiwa per Km2,
diikuti Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh sebanyak 4.139 jiwa per Km2 dan
Kecamatan Mandiangin Koto Selayan sebanyak 3.916 jiwa per Km2.
4.6nPertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk selalu cendrung bertambah, sehingga jika
tidak diimbangi dengan persebaran penduduk yang merata dan laju
pertumbuhan yang terkendali maka akan menimbulkan permasalahan baru.
Laju pertumbuhan penduduk Kota Bukittinggi sedikit berfluktuasi.
2
Yuen Karnova Sekretaris Daerah Kota Bukittinggi, APBD Bukittinggi Tahun 2015 Defisit
Rp53,1 Miliar, Web :
http://rri.co.id/post/berita/126583/ekonomi/apbd_bukittinggi_tahun_2015_defisit_rp
531_miliar.html
48
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Saat ini Bukittingi merupakan kota terpadat di Provinsi Sumatera Barat,
dengan tingkat kepadatan mencapai 4.400 jiwa/km². Jumlah angkatan kerja
sebanyak 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan
pengangguran. Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat
juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil, dan Batak.
Tingkat pertumbuhan penduduk yang dilansir dari Badan Pusat Statistik
Kota Bukittinggi menggambarkan terjadi peningkatan penduduk dari tahun
1990 yang jumlah penduduknya 83.811 meningkat menjadi 118.260 pada
tahun 2013. pertumbuhan penduduk yang paling tinggi terjadi pada tahun
2012-2013 yaitu berjumlah 3.845 dalam satu tahun. Dan pada tahun 2014
terjadi penurunan penduduk dari 118.260 menjadi 117.097 penduduk.
Upaya menekan laju pertumbuhan penduduk terus dilakukan untuk
menghindari ancaman ledakan penduduk di Kota Bukittinggi. Selain itu,
dengan laju pertumbuhan penduduk yang terkendali, target untuk
meningkatkan pendidikan, kesehatan serta pendapatan perkapita dapat lebih
mudah direalisasikan Rasio ketergantungan adalah salah satu indicator
kependudukan yang dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara.
Semakin tinggi rasio ketergantungan menunjuk-kan semakin tingginya beban
yang harus ditanggung penduduk yang produktif dan tidak produktif lagi.
Rasio jenis kelamin adalah perbandingan antar jumlah penduduk pria
dengan jumlah penduduk wanita pada suatu daerah dan pada waktu
tertentu. Secara umum jumlah penduduk perempuan lebih banyak
dibandingkan penduduk laki-laki, hal ini akan terlihat dari rasio jenis
kelamin (Sex Ratio) yang kurang dari 100. Pada tahun 2012 sex ratio
penduduk Kota Bukittinggi adalah 93,50 persen, naik menjadi 93,87 persen
tahun 2013. Berdasarkan data tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa
setiap 100 orang perempuan berbanding laki-laki sebanyak 99 orang Jumlah
rumah tangga di Kota Bukittinggi diperkirakan 28.616 rumah tangga pada
tahun 2013. Selama kurun waktu 2010-2013 jumlah rata-rata anggota rumah
tangga berkisar 4 orang, hal ini merupakan salah satu indikator yang
49
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
menunjukkan keberhasilan dari program pemerintah dalam upaya
mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui program keluarga be
rencana (KB). Sedangkan dalam pendataan Penduduk Wajib KTP (Kartu
Tanda Penduduk) di Kota Bukittinggi yang telah memiliki KTP dirinci
menurut Kecamatan yaitu sebanyak 83.791 jiwa.
Pada tahun 2013 terjadi peningkatan dalam jumlah penduduk anak-anak
dan dewasa di Kota Bukittinggi yaitu sebanyak 118.260 jiwa yang
sebelumnya pada tahun 2012 sebanyak 114.415 jiwa, meningkat sebanyak
3.845 jiwa. Sedangkan jumlah populasi penduduk menurut agama
dimayoritaskan oleh penduduk beragama islam sebanyak 115.244 jiwa. Pada
tingkat umur pun, jumlah penduduk Kota bukittinggi sebagian besar
berumur 20-24 tahun sebanyak 12.983 jiwa
Tenaga kerja adalah salah satu faktor produksi turut menentukan tumbuh
kembangnya perekonomian masyarakat. Pada tahun 2013 penduduk usia
kerja (15 tahun keatas) di Kota Bukittinggi yang terdaftar tercatat 1.482 jiwa
sebagai pecari kerja dan yang belum ditempatkan sebanyak 1.881 jiwa dan
yang telah ditempatkan tahun ini sebanyak 488 jiwa.
Persentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas menurut ijazah
yang dimiliki yaitu, tamatan SMU/SMK/Mu sebanyak 37,24 persen,
SLTP/MTs Sederajat sebanyak 21,02 persen, tidak punya ijazah sebanyak
16,73 persen, SD/MI Sederajat sebanyak 15,26 persen, Diploma IV/S1/S2/S3
sebanyak 6,94 persen dan tamatan Diploma I/II/III sebanyak 2,81 persen.
Persentase pencari kerja di Kota bukittinggi sendiri banyak berasal dari
tingkatan SLTA yaitu sebesar 60 persen, dan yang terendah terdapat pada
tingkatan akademi sebanyak 10 persen.
4.7mSosial
Pada bidang pendidikan di Kota Bukittinggi tahun 2013 jumlah SD
Negeri sebanyak 45 unit dan SD Swasta 11 unit, terjadi perubahan jika
50
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
dibandingkan
dengan
kondisi
tahun
sebelumnya
karena
adanya
penggabungan SD. Pada SLTP negeri tidak terjadi perubahan yaitu berjumlah
8 unit. Begitu juga dengan jumlah SLTA negeri juga tidak mengalami
perubahan tetap berjumlah 5 unit. Jumlah mahasiswa perguruan tinggi /
akademi negeri ataupun swasta pada tahun 2013 mengalami peningkatan
menjadi 9.550 orang dari 14.271 orang tahun 2012, hal ini disebabkan
karena perguruan tinggi STAIN pindah lokasi ke Kabupaten Agam.
Sedangkan pada bidang kesehatan, Banyaknya Rumah Sakit di Kota
Bukittinggi tidak mengalami perubahan yaitu 3 buah rumah sakit pemerintah
dan 2 buah rumah sakit swasta. Jumlah pasien yang berkunjung ke Rumah
Sakit pada tahun 2012 sebanyak 318.203 orang. Dari jumlah tersebut
terdapat 23.927 orang pasien yang dirawat inap dengan berbagai jenis
penyakit yang diderita, seperti Jantung, TBC, Stroke dll. Jumlah kunjungan ibu
hamil pada tahun 2013 sebanyak 3.930 orang, terjadi penurunan jumlah
kunjungan jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan tahun sebelumnya.
Masih di bidang kesehatan, jumlah akseptor aktif KB pada tahun 2013
tercatat 11.287 orang turun dibandingkan tahun 2012 yang banyaknya
11.418 orang, dengan persentase realisasi sebesar 110,95 persen.
51
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
5.1 Identitas Responden
Didalam bagian 5.1 ini akan dijelaskan identitas responden yang
dikategorikan dalam beberapa hal seperti umur, jenis kelamin, sebaran desa
tempat tinggal responden, pendidikan, agama, pekerjaan, suku bangsa dan
rata-rata pendapatan rumah tangga responden. Dengan hal ini akan
memberikan
gambaran
umum
mengenai
responden
dan
mewakili
masyarakat Kota Bukittinggi secara keseluruhan berdasarkan pembagian
sampel dari populasi.
5.1.1 Komposisi Responden berdasarkan Umur
Tabel: 5.1 Komposisi Responden Berdasarkan Umur
Umur
Frekuensi
17-25
89
26-33
54
34-42
82
43-51
74
52-60
37
61-70
27
71-80
12
Total
375
Sumber: Data Primer 2015
%
24%
14%
22%
20%
10%
7%
3%
100%
Persentase
Komulatif
24%
38%
60%
80%
90%
97%
100%
52
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Dalam survei perilaku memilih masyarakat di Kota Bukittingi, dari
375 responden yang menjawab pertanyaan, sebanyak 24 % berumur antara
17-25 tahun dan posisi kedua dengan rentang umur 34-42 tahun yakni
sebanyak 22 %. Hal ini menandakan bahwa komposisi responden dalam
rentang umur di dominasi oleh pemilih muda yakni direntang umur kurang
dari 40 tahun, yaitu 60%.
5.1.2 Komposisi Responden berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel: 5.2 Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Frekuensi
%
Persentase
Komulatif
Laki-laki
193
51%
51%
Perempuan
187
49%
100%
Jenis Kelamin
Total
380
Sumber : Data Primer 2015
Dalam komposisi jenis kelamin responden, dapat diketahui bahwa
sebanyak 51,0 % survei ini diikuti oleh responden berjenis kelamin laki-laki
dan 49,0 % berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat
pemerataan/keseimbangan antara responden laki-laki dengan perempuan
dengan selisih perbedaan cuman 1 %.
5.1.3 Komposisi Responden berdasarkan Negeri Asal
Tabel: 5.3 Komposisi Responden Berdasarkan Negeri Asal
Negeri Asal
Frekuensi
%
Kurai
Kab. Agam
Sumbar, selain Kurai &
Agam
Luar Sumbar
Total
Sumber : Data Primer 2015
150
91
40%
24%
Persentase
Komulatif
40%
64%
101
27%
91%
33
375
9%
100%
100%
53
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Dalam Survei perilaku memilih masyarakat di Kota Bukittinggi,
sebanyak 375 responden tersebar dari Kurai, Kab.Agam, Sumbar, Selain
Kurai & Agam serta luar Sumbar. Sebaran tersebut paling tinggi berada di
Negeri Kurai yakni sebesar 40 % atau 150 orang sedangkan posisi terendah
berasal dari luar Sumbar yakni sebesar 9 % atau 33 orang. Persebaran ini
didasarkan kepada proposisi populasi secara keseluruhan.
5.1.4 Komposisi Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel: 5.4 Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat
Frekuensi
Pendidikan
SD
45
SLTP
56
SLTA
148
D1, D3, D4
60
S1
67
S2 ke atas
4
Total
380
Sumber : Data Primer 2015
%
12%
15%
39%
16%
18%
1%
100%
Persentase
Komulatif
12%
27%
66%
81%
99%
100%
Berdasarkan komposisi responden menurut tingkat pendidikan,
mayoritas secara umum di ikuti oleh responden berpendidikan SLTA yakni
sebesar 39 % atau 148 orang dari 380 total secara keseluruhan. Posisi
tamatan S1 dan D1, D3, D4 mendapat posisi kedua dan ketiga. Secara
keseluruhan terdapat 74 % responden yang berpendidikan minimal SLTA.
Tingkat pendidikan responden tentunya berpengaruh kepada pengetahuan
masyarakat akan politik dan pemilihan umum.
54
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
5.1.5 Komposisi Responden berdasarkan Agama
Tabel: 5.5 Komposisi Responden berdasarkan Agama
Agama
Frekuensi
Islam
Kristen Katolik
Kristen Protestan
Total
Sumber : Data Primer 2015
370
4
6
380
Persentase
Komulatif
97%
98%
100%
%
97%
1%
2%
Berkaitan dengan sebaran kepercayaan yang di anut/agama
responden, dapat diketahui terdapat 3 agama responden yang mengikuti
survei ini yakni Islam, Kristen katolik dan Kristen Protestan dengan masingmasing 97 %, 1 % dan 2 %.
5.1.6 Komposisi Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan
Tabel: 5.6 Komposisi Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan
Pekerjaan
Guru/Dosen
TNI/Polri
Pegawai Pemda
Pegawai Swasta
Wiraswasta Kecil2an
Pensiunan
Ibu Rumah Tangga
Bengkel/Jasa Service
Buruh kasar/Pembantu
Pedagang warung/kaki lima
Sopir
Pengusaha/Kontraktor Besar
Kerja tidak tetap
Pelajar/Mahasiswa
Total
Sumber : Data Primer 2015
Frekuensi
%
11
4
25
35
94
4
80
4
14
26
1
6
7
64
375
3%
1%
7%
9%
25%
1%
21%
1%
4%
7%
0%
2%
2%
17%
100%
Persentase
Komulatif
3%
4%
11%
20%
45%
46%
67%
69%
72%
79%
79%
81%
83%
100%
55
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Dari data diatas dapat diketahui bahwa terdapat sebaran beragam
dari pekerjaan responden. Mayoritas/posisi paling besar diikuti oleh
responden yang berkerja sebagai Wiraswasta Kecil-kecilan yakni sebesar 94
orang atau 25 % . berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa semua
tipe pekerjaan memiliki perwakilan responden/terdapat keterwakilan dalam
survei ini.
5.1.7 Komposisi Responden berdasarkan Suku Bangsa
Tabel: 5.7 Komposisi Responden berdasarkan Suku Bangsa
Frekuensi
%
Minangkabau
334
88%
Persetase
Komulatif
88%
Jawa
26
7%
95%
Batak
11
3%
98%
Sunda
4
1%
99%
Melayu
5
1%
100%
380
100,0
Suku Bangsa
Total
Sumber : Data Primer 2015
Berdasarkan komposisi responden dari jenis suku bangsa, dapat
diketahui bahwa mayoritas secara umum diikuti oleh responden bersuku
bangsa Minangkabau yakni sebesar 88 %, diikuti posisi kedua oleh suku
bangsa Jawa sebesar 7 %. Hal ini menandakan bahwa mayoritas suku bangsa
di Kota Bukittinggi didiami oleh suku bangsa Minangkabau dan Jawa sebagai
suku bangsa terbesar kedua.
56
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
5.1.8 Komposisi Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan
Tabel 5.8 Komposisi Responden berdasarkan Pendapatan
RumahTangga
Pendapatan
Frekuensi
%
Di bawah 500 ribu
500 rb - 999 ribu
1 juta - 1,499 juta
1,5 juta - 1,999 juta
2 juta - 2,499 juta
2.5 juta - 5 juta
lebih dari 5 juta
Total
20
75
101
80
40
49
5
370
5%
20%
27%
22%
11%
13%
1%
100%
Persentase
Komulatif
5%
26%
53%
75%
85%
99%
100%
Sumber : Data Primer 2015
Berkaitan dengan kondisi ekonomi responden, terdapat 27 %
responden berpenghasilan sebesar 1 – 1, 499 juta dan sebesar 22 % di
rentang 1, 5 juta -1, 999 juta. Ekonomi berpenghasilan menengah keatas
mendominasi dalam survei ini yakni sebesar 74 % responden berpenghasilan
> 1 Juta.
5.2 Pemetaan Partisipasi Memilih Pada Pemilu
Dalam bagian ini akan ditampilkan data temuan lapangan yang
berkaitan dengan partisipasi pemilih. Tampilan data dalam bagian ini akan
dikomparisikan antara identitas responden yang meliputi indikator umur,
jenis kelamin, desa/kelurahan responden, tingkat pendidikan, agama dan
pendapatan dengan indikator keikutsertaan responden dalam pemilu.
57
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
5.2.1 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Umur
Tabel 5.9 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Umur
Umur
Apakah ikut dalam Pemilu 2014
Total
Responden
Ya
17-25
30
34%
26-33
36
66,7%
34-42
70
85,37%
43-51
65
87,84%
52-60
32
86,49%
61-70
24
88,89%
71-80
10
83,33%
Total
267
71%
Sumber : Data Primer 2015
Tidak
59
66,29%
18
33,3%
12
14,63%
9
12,16%
5
13,51%
3
11,11%
2
16,67%
108
29%
89
23,73%
54
14,40%
82
21,87%
74
19,73%
37
9,87%
27
7,20%
12
3,20%
375
100%
Dari hasil analisis diperoleh nilai α= 0 kecil dari 0,05 berarti terdapat
perbedaan partisipasi memilih berdasarkan umur responden. Jumlah
responden terbanyak adalah kelompok umur 17 – 25 tahun yaitu 89 orang
atau 23,73% dari total responden. Yang menariknya adalah kelompok umur
dengan presentase partisipasi tertinggi terdapat pada responden dengan
rentang umur 61-70 tahun yaitu 88,89 %, diikuti oleh rentang umur 43-51
tahun pada posisi kedua yaitu 87,84 % dan 52-60 tahun pada posisi ketiga
yaitu 86,49 %. Sedangkan persentase pertisipasi memilih terendah berada
pada kelompok umur paling muda yaitu pemilih pemula yaitu 34 %. Hal ini
menginformasikan bahwa partisipasi yang tinggi lebih didominasi oleh
pemilih dari kalangan tua dibandingkan dengan pemilih pemula dan pemilih
muda. Temuan ini menjadi tantangan bagi semua kalangan baik para
penyelenggara pemilu, pengurus partai politik, para pendidik, pengurus
58
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
organisasi kepemudaan untuk memberikan sosialisasi yang lebih gencar
kepada kalangan pemula. Hal ini sangat penting dilakukan karena
keberadaan pemilih pemula dalam pemilihan umum membawa dampak
kepada pemilu itu sendiri disebabkan jumlah pemilih muda adalah jumlah
terbesar dalam rentang umur pemilih di Kota Bukittinggi. Sehingga dari
temuan ini terlihat bahwa pemilih muda adalah penyumbang angka golput
tertinggi yaitu mencapai 66,29 % dari 59 orang responden yang golput.
5.2.2 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Kelamin
Hasil analisis penelitian ini menemukan ternyata tidak ada perbedaan
partisipasi memilih antara pemilih laki-laki dan perempuan di Kota
Bukittinggi. Hal ini terbukti bahwa nilai α= 0,968 lebih besar dari 0,05. Tabel
5.10 menginformasikan bahwa antara pemilih perempuan dan pemilih lakilaki memiliki partisipasi politik yang sama dalam pemilihan umum di Kota
Bukittinggi. Tingkat keikusertaan yang diterjemahkan sebagai partisipasi
dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin.
Tabel 5.10 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Kelamin
Laki-laki
Apakah ikut dalam Pemilu
2014
Ya
Tidak
174 (90%)
19 (10%)
193 (51%)
Perempuan
169 (90%)
18 (10%)
187 (49%)
Total
270 (71%)
110 (29%)
380 (100%)
Jenis Kelamin
Total
Sumber : Data Primer 2015
5.2.3 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Negeri Asal
Temuan yang cukup mengejutkan adalah ternyata terdapat perbedaan
partisipasi memilih berdasarkan Negeri yang ada di Kota Bukittinggi dan
daerah-daerah lainnya yang berada di dalam dan luar Sumbar, meskipun
59
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
hubungannya tidak kuat. Nilai
α= 0,004 lebih kecil dari 0,05, dengan
koefisien kontigensinya (C) hanya 0,37,yaitu lebih kecil dari 0,5. Terdapat
beberapa Negeri dan daerah lainnya yang memiliki angka partisipasi memilih
yang rendah yaitu daerah yang berada di Luar Sumbar (9%) dan Kabupaten
Agam (24%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.11.
Tabel 5.11 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Negeri Asal
Negeri Asal
F
%
% Komulatif
Kurai
150
40%
40%
Kab. Agam
91
24%
64%
Sumbar, selain Kurai &
Agam
101
27%
91%
Luar Sumbar
33
9%
Total
375
100%
100%
Sumber : Data Primer 2015
5.2.4 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendidikan
Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan partisipasi memilih berdasarkan Tingkat Pendidikan, dengan nilai
α= 0,006 lebih besar dari 0,05. Hubungan kedua variabel juga lemah terbukti
dari Nilai Koefisien Kontigensinya hanya 0,139, yaitu lebih kecil dari 0,5. Dari
Tabel 5.12 terlihat bahwa kelompok responden dengan tingkat pendidikan
SLTA (39 %) penyumbang terbesar pemilih Kota Bukittinggi. Jadi di Kota
Bukittinggi tingkat pendidikan seseorang bukanlah faktor penentu dari tinggi
rendahnya tingkat partisipasi memilih masyarakat. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut:
60
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Tabel 5.12 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkatan
Pendidikan
Apakah ikut dalam Pemilu 2014
Ya
Tidak
SD
28
17
SLTP
38
18
SLTA
128
20
D1, D3, D4
30
30
S1
44
23
S2 ke atas
2
2
Total
270
110
Sumber : Data Primer 2015
Total
45
56
148
60
67
4
380
5.2.5 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Agama
Berdasarkan data hasil penelitian, dapat diinformasikan bahwa
faktor agama responden ternyata tidak berpengaruh terhadap keikutsertaan
mereka dalam pemilihan umum. Hal itu dibuktikan dengan dengan nilai
α= 0,06 lebih besar dari 0,05. Hubungan kedua variabel juga lemah terbukti
dari Nilai Koefisien Kontigensinya hanya 0,139, yaitu lebih kecil dari 0,5.
Tabel 5.13 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Agama
Agama
Islam
Kristen Katolik
Kristen Protestan
Total
Sumber : Data Primer 2015
Apakah ikut dalam
Pemilu 2014
Ya
Tidak
263
107
3
1
4
2
270
110
Total
370
4
6
384
5.2.6 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Pekerjaan
Berdasarkan data hasil penelitian, terlihat bahwa terdapat perbedaan
partisipasi memilih responden berdasarkan Jenis Pekerjaan dengan α= 0,735
(>0,05) namun hubungannya tidak signifikan (Nilai Koefisien Kontigensinya
61
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
hanya 0,262 (<0,5). Dengan kata lain, partisipasi pemilih di Kota Bukittinggi
tidak signifikan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan seseorang. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.14 berikut:
Tabel 5.14: Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Pekerjaan
Pekerjaan
Guru/Dosen
TNI/Polri
Pegawai Pemda
Pegawai Swasta
Wiraswasta Kecil2an
Pensiunan
Ibu Rumah Tangga
Bengkel/Jasa Service
Buruh kasar/Pembantu
Pedagang warung/kaki lima
Sopir
Pengusaha/Kontraktor Besar
Kerja tidak tetap
Pelajar/Mahasiswa
Total
Sumber : Data Primer 2015
Apakah ikut dalam
Pemilu 2014
Ya
Tidak
8
3
4
0
20
5
27
8
69
25
3
1
69
11
3
1
12
2
20
6
1
0
4
2
4
3
22
42
270
105
Total
11
4
25
35
94
4
80
4
14
26
1
6
7
64
375
5.2.7 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendapatan
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Tingkat Pendapatan
seseorang ternyata tidak mempengaruhi partisipasi mereka dalam memilih
dalam pemilu. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara satu jenis
pekerjaan tertentu dengan pekerjaan lain dalam perilaku memilih. Hal ini
terlihat dari hasil analisis diperoleh nilai α = 0,765 (>0,05) berarti tidak
terdapat perbedaan partisipasi memilih berdasarkan tingkat pendapatan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.15 berikut:
62
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Tabel 5.15 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendapatan
Pendapatan
Rumah Tangga
Di bawah 500 ribu
500 rb - 999 ribu
1 juta - 1,499 juta
1,5 juta - 1,999 juta
2 juta - 2,499 juta
2.5 juta - 5 juta
lebih dari 5 juta
Total
Sumber : Data Primer 2015
Apakah ikut dalam
Pemilu 2014
Ya
Tidak
13
7
52
23
75
26
55
25
28
12
33
16
4
1
260
110
Total
20
75
101
80
40
49
5
370
Padan bagian 5.2 ini terdapat beberapa indikator yang dimana
indikator
tersebut
dikomparasikan
dengan
indikator
keikutsertaan
responden dalam pemilihan umum. Indikator-indikator yang dipakai
tersebut ialah umur, jenis kelamin, negeri asal, tingkat pendidikan, agama
dan pendapatan. Dalam temuan di atas dapat digeneralisasikan beberapa hal
yang berkaitan antar indikator.
Terdapat dua indikator yang mempunyai perbedaan atau pengaruh
dalam keikutsertaan pemilih dalam pemilu yakni indikator umur dan
indikator asal Negeri (lemah). Sedangkan ke lima indikator lainnya tidak
memiliki perbedaan atau pengaruh yakni jenis kelamin, tingkat pendidikan,
agama, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan.
Asumsi yang dapat diutarakan ialah indikator umur memiliki
perbedaan di dalam setiap tingkatan/range nya terhadap keikutsertaannya
dalam pemilihan umum di Kota Bukittinggi. Masing-masing kelompok umur
memiliki pandangan sendiri terkait dengan pilihannya untuk ikut atau tidak
dalam pemilihan umum. Lebih lanjut, faktor asal Negari di Kota Bukittinggi
juga memiliki perbedaan dalam setiap negeri dan daerah-daerah di Sumbar
terhadap ikut serta dalam pemilu. Setiap daerah dalam hal ini dapat
dideskripsikan mempunyai faktor sendiri dalam lingkungan daerah asalnya
yang berpengaruh kepada tingkatan partisipasi setiap masyarakat.
63
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Indikator umur dan indikator asal negeri tentunya dapat dijadikan
dasar dalam mengambil kebijakan oleh pihak terkait untuk meningkatkan
partisipasi di Kota Bukittinggi, karena kedua indikator ini seperti yang
diketahui di atas memiliki perbedaan dalam setiap tingkatan dan pengaruh
terhadap partisipasi/keikusertaan masyarakat dalam pemilu. Hal ini
tentunya juga tidak mengabaikan indikator-indikator lainnya yang dalam
penelitian ini tidak memiliki perbedaan/pengaruh.
5.3
Motivasi Pemilih dalam Pemilu 2014
Banyak alasan/motivasi masyarakat untuk ikut memilih dalam pemilu
seperti terlihat dari jawaban responden penelitian ini, yaitu : Motivasi
tertinggi disebabkan oleh rasa kewajiban sebagai warga negara (38,8%),
diikuti oleh karena pemilu merupakan hak warga negara (35,4%) dan diikuti
selanjutnya karena ingin mengubah keadaan negara/daerah (19,5%). Setiap
orang tentunya memiliki motivasi yang berbeda-beda didalam diri pemilih.
Motivasi berkaitan dengan hal psikologi dalam setiap diri manusia, hal-hal ini
mempunyai korelasi nantinya dengan wujud tindakan yang dapat diartikan
sebagai perilaku. Perilaku dalam masing-masing individu nantinya yang akan
menentukan keikusertaan nya dalam segala hal termasuk pemilu. Apa yang
ditemukan di Kota Bukittingi tentunya dapat memberikan gambaran secara
umum terkait dengan motivasi yang melatarbelakangi keikusertaanya dalam
pemilu. Untuk lebih jelasnya variasi motivasi responden ikut pemilu dapat
dilihat pada tabel 5.16 berikut:
Tabel 5.16: Motivasi Pemilih dalam Pemilu 2014
Alasan Ikut Pemilu
Karena ada bantuan materil
non uang
Mengubah Keadaan Negara
Kewajiban sebagai Warga
Negara
Hak Warga Negara
Frekuensi
%
Persentase
Komulatif
65
24%
24%
49
18%
42%
51
19%
61%
43
16%
77%
64
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Karena Ingin Mendukung Calon
Tertentu
Ikatan kekeluargaan
Agar rakyat mau berpartisipasi
dalam pemilu
Berkaca pada pengalaman
pemilu sebelumnya yang efektif
mengubah nasib rakyat
Karena tidak efektifnya
pemerintahan saat ini
Lainnya
Total
Sumber : Data Primer 2015
34
13%
90%
10
4%
94%
14
5%
99%
2
1%
100%
1
0%
100%
1
270
0%
100%
100%
Dari hasil analisis diperoleh fakta bahwa pada tingkat kepercayaan 95%
tidak terdapat perbedaan motivasi memilih berdasarkan tingkat hidup (α
hitung = 0,327), jenis pekerjaan (α hitung = 0,99) dan tingkat pendidikan
seseorang (α hitung = 0,223). Yang menarik adalah perbedaan motivasi
memilih ditentukan umur (α hitung = 0,01), jenis kelamin (pada tingkat
kepercayaan 90%,α hitung = 0,083), lokasi tempat tinggal (Negeri) (α hitung
= 0,003) Koefisien Kontigensi 0,7 > 0,5 perbedaan kuat.
Jadi antara pemilih muda dan pemilih tua memiliki motivasi yang
berbeda dalam memilih. Dari jawaban responden muda (17-25) terlihat
bahwa tidak ada di antara mereka yang memilih karena alasan yang tidak
rasional seperti karena alasan kekeluargaan, karena mengharapkan bantuan
materil. Berbesa dengan responden tua dimana masih ada beberapa
responden yang beralasan karena faktor ingin mendukung calon yang punya
ikatan kekeluargaan dan mengharapkan insentif berupa bantuan materil dari
calon. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih pemula adalah pemilih yang lebih
rasional dibandingkan pemilih tua. Hal ini mudah dipahami karena pemilih
pemula adalah orang-orang yang independen dan terbebas dari vested
interest tententu.
65
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
5.4
Alasan Golput pada Pemilu 2014
Golongan putih (Golput) merupakan salah satu indikator dalam survei
ini. Dalam hal ini akan dilihat tentang apa alasan yang melatarbelakangi
responden mengambil keputusan untuk golput. Berdasarkan data yang
disajikan pada tabel 5.17 terlihat bahwa terdapat 25 % responden
mengatakan bahwa mereka memilih Golput karena mempunyai urusan lain
yang mereka anggap lebih penting dari ikut mencoplos dalam pemilu. Setelah
itu terdapat 22 % responden yang mengatakan bahwa mereka pesimis
bahwa pemilu mampu merubah keadaan negara atau daerah. Selain itu
terdapat 12 % responden mengatakan bahwa mereka tidak percaya kepada
calon atau partai politik.
Setelah dikomparasikan
dengan
beberapa indikator,
terdapat
perbedaan alasan golput berdasarkan golongan usia (α hitung = 0,042) dan
lokasi tempat tinggal (Negeri) (α hitung = 0,002) Koefisien Kontigensi
0,872>0,5 yang memiliki perbedaan yang kuat. Sedangkan indikator lainnya
tidak memiliki perbedaan dalam perilaku golput.1
Secara teoritis, golput merupakan refleksi dari keadaan diri manusia
atas tindakannya. Hal ini tentunya berkaitan dengan kondisi yang terjadi
terus-menurus dalam diri seseorang sehingga melahirkan tindakan untuk
golput. Golput sangat erat kaitannya apatisme sosial. Keberadaan ini
tentunya sangat tidak bagus dalam berkembang nya sebuah demokrasi.
Oleh sebab itu temuan penelitian perlu mendapat perhatian serius
dari para calon dan parpol. Calon dan parpol memiliki peran besar dalam
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu dan hasil
pemilihan. Adalah percuma dilakukan sosialisasi terus menerus dan dengan
1
Pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat perbedaan alasan golput berdasarkan
tingkat pendidikan (α hitung = 0,133); jenis kelamin (α hitung = 0,354);Jenis Pekerjaan (α
hitung = 0,456); tingkat hidup(α hitung = 0,788), berdasarkan pekerjaan (α hitung =
0,99), suku bangsa (α hitung = 0,430); kondisi ekonomi (α hitung = 0,111).
66
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
skala luas namun parpol dan politisi tidak berbenah diri dengan cara
memperbaiki kualitas, kapabilitas, dan integritas diri. Peserta FGD
mengusulkan untuk mengatasi hal ini, disarankan ke depan untuk
persyaratan pencalonan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif diwajibkan
memiliki standar kompetensi tertentu yang diakuai oleh sebuah lembaga
yang independen dan kredibel. Dengan demikian diharapkan partai politik
akan menjalankan fungsi utamanya yaitu fungsi pendidikan politik dan
rekrutmen politik, yang selama ini nyaris tidak terdengar.
Selanjutnya, temuan data di Kota Bukittinggi ini dapat dijadikan
sebagai dasar pijakan bagi KPU untuk melihat permasalahan golput yang
terjadi dan menyusun berbagai program sosialisasi dan pendidikan politik ke
depan.
Tabel 5.17 Alasan Golput pada Pemilu 2014
Alasan Golput
Tidak yakin dapat mengubah
keadaan bangsa
Tidak tahu kualitas calon
Bukan Kewajiban WN tapi Hak
Tdk percaya dg calon/partai
Karena ada urusan penting yg lebih
Penting
Tidak terdaftar dlm Pemilu 2014
Katena tidak cukup usia
Tidak ada bantuan barang/jasa
Pemilu tidak efektif mengubah
nasib
Rakyat
Tidak Sempat Pulang untuk Pemilu
Total
Sumber : Data Primer 2015
Frekuensi
%
Persentase
Komulatif
24
22%
22%
12
3
13
11%
3%
12%
33%
35%
47%
27
25%
72%
6
7
1
5%
6%
1%
77%
84%
85%
7
6%
91%
10
121
9%
100,0
100%
67
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
5.5 Minat Masyarakat Terhadap Demokrasi Elektoral
Pada bagian 5.5 ini dijelaskan terkait pandangan masyarakat terhadap
demokrasi elektoral. Dalam data tabel 5.17 dikomparasikan antara minat
masyarakat akan demokrasi elektoral dengan indikator-indikator yang
dipakai dalam survei ini. Dalam semua indikator, terdapat perbedaan
pandangan masyarakat akan demokrasi elektoral dari semua indikator yang
dipakai.
Dari data di bawah, juga dapat diketahui bahwa mayoritas masyarakat
yaitu 64 % mempunyai minat terhadap demokrasi eletoral, walaupun
sebagian hanya kadang-kadang mengikuti perkembangan pemilu baik aturan
maupun dinamika pencalonan kepala daerah. Hanya 36 % responden yang
tidak memiliki minat terhadap demokrasi elektoral. Secara teoritis,
pemilihan umum merupakan sebuah tolak ukur utama dalam demokrasi
elektoral. Bagaimana negara dapat menjalankan sistem multi partai yang
kompetitif dan hak pilih yang bersifat universal dalam memilih eksekutif dan
legislatif. Penekanan yang paling penting adalah terkait dengan kontestasi
dan partisipasi oleh masyarakat dalam pemilihan umum.
Temuan ini merupakan harapan yang baik bagi semua kalangan yang
mendukung berkembangnya demokrasi prosedural di Indonesia. Minat
masyarakat yang masih ada terhadap pemilu harus terus dipelahara dan
ditingkatkan meskipun dari dapatan sebelumnya menunjukkan bahwa
sebahagian pemilih mulai pesimis. Hal ini tentu menjadi tanggungjawab
semua
pihak termasuk KPU, Parpol, Lembaga pendidikan, Tokoh
masyarakat, pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat
sipil media massa dan sebagainya.
Dari hasil analisis data dapat diketahui bahwa tinggi rendahnya minat
masyarakat Kota Bukittingi terhadap perkembangan demikrasi elektoral atau
pemilu di Indonesia ditentukan oleh beberapa faktor yaitu:
1) Tingkat Pendidikan (α hitung = 0,005);
2) Tempat Tinggal (asal negeri) (α hitung = 0,000);
68
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
3) Jenis Pekerjaan (α hitung = 0,089) dengan tingkat kepercayaan 90%),
umur (α hitung = 0,086);
4) Tingkat Pendapatan Ekonomi (α hitung = 0,016)
5) Kondisi Ekonomi (α hitung = 0,003)
Untuk
lebih jelasnya gambaran tentang minat masyarakat Kota
Bukittingi terhadap perkembangan demokrasi elektoral di Indonesia dan di
daerah dapat dilihat Tabel 5.18 berikut:
Tabel 5.18 Minat Masyarakat Terhadap Demokrasi Elektoral
Minat
Masyarakat
Ya
Tidak
Frekuensi
%
140
137
37%
36%
Persentase
Komulatif
37%
73%
103
27%
100%
380
Sumber : Data Primer 2015
100%
Kadang-kadang
Total
5.6
Sikap Masyarakat Terhadap Politik Uang
Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau
janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya
untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu
pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang
atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye.
Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus
partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang
dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain
beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik
69
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang
bersangkutan.
Penelitian ini menemukan fakta yang cukup mengagetkan. Terdapat
58 % responden dapat menerima politik uang. Ada yang mengatakan
“Terima dulu uangnya, soal pilihan urusan nanti” sebanyak 19 %, terima
uangnya dan mereka akan memilih orangnya sebanyak 21 % dan terima
uangnya tetapi tidak pilih orangnya yaitu 4 %. Meskipun terdapat cukup
banyak yang menolak politik uang yaitu 42 % namun kenyataan ini sangat
memprihatinkan. Jika dibiarkan tentu akan merusak sendi-sendi demokrasi.
Menurut peserta FGD dari tokoh agama bahwa politik uang jelas
merendahkan martabat rakyat.
Tabel 5.19 Sikap Masyarakat terhadap politik Uang
Sikap Masyarakat
Frekuensi
Menolak krn haram
158
Terima tapi tidak
16
memilih orangnya
Terima dan saya pilih
80
orangnya
Terima dulu, soal
72
pilihan urusan lain
Bersedia ikut
membagi2kan
35
uang/barang nya
Alasan lain
14
Total
375
Sumber : Data Primer 2015
42%
Persentase
Komulatif
42%
4%
46%
21%
68%
19%
87%
9%
96%
4%
100%
100%
%
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat beberapa faktor
pembeda yang mempengaruhi Sikap Masyarakat terhadap Politik Uang yaitu:
1. Jenis Pekerjaan (α hitung = 0,089) dengan tingkat kepercayaan 90%),
2. Tingkat Pendapatan Ekonomi (α hitung = 0,016) dan
3. Kondisi Ekonomi keluarga (α hitung = 0,003)
70
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Dari temuan tersebut diketahui bahwa ternyata perilaku politik uang
tidak menyebar secara merata di wilayah Kota Bukittinggi. Faktor yang lebih
mendominan terlihat ke bagaimana jenis pekerjaan, tingkat pendapatan
ekonomi dan kondisi ekonomi masyarakat itu sendiri.
5.7 Penggunakan Hak Pilih Masyarakat
Dalam bagian 5.7 ini akan dijelaskan temuan data terkait dengan
kendala masyarakat dalam penggunaan hak pilihnya, penilaian masyarakat
terkait pelaksanaan pemilu dan sosialisasi pemilu serta pandangan
masyarakat terhadap pelakasanaan pemilu kedepan dan jenis pemilu yang
diinginkan masyarakat kedepannya.
5.7.1mPenilaian Masyarakat terhadap Pelaksanaan Pemilu 2014
Tabel 5.20: Penilaian Masyarakat terhadap Pelaksanaan Pemilu 2014
Penilaian Masyarakat
Jujur dan adil
Banyak politik uangnya
Banyak kecurangan
Kurang sosialisasi
Total
Sumber : Data Primer 2015
Frekuensi
%
153
150
26
46
375
41%
40%
7%
12%
100%
Persentase
Komulatif
41%
81%
88%
100%
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui penilaian masyarakat
terhadap pelaksanaan pemilu 2014 mayoritas masih negatif yaitu 59 %
mengatakan pemilu masih diwarnai oleh politik uang (40 %), kecurangan (7
%) dan kurangnya sosialisasi (12 %). Ini menjadi perhatian bagi calon dan
parpol yang menjadi peserta pemilu. Karena menurut masyarakat yang
utama memperbaiki kualitas pemilu adalah para peserta pemilu dengan
menghilangkan politik uang (40 %) dan kecurangan (7 %). Sedang KPU
diharapkan juga meningkatkan sosialisasi (12%).
71
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
5.7.2 Penilaian Masyarakat terhadap Penyelenggaraan Sosialisasi
Pemilu
Tabel 5.21: Penilaian Masyarakat terhadap
Pelaksanaan Sosialisasi Pemilu
Penilaian Masyarakat
Frekuensi
%
Sosialisasi
Pendataan pemilih
Pembentukan badan
penyelenggara
(PPS/KPPS/PPL/Panwascam
Pendaftaran calon
Kampanye
Lainnya
Total
Sumber : Data Primer 2015
165
70
44%
19%
Presentase
Kumulatif
44%
63%
25
7%
69%
43
50
22
375
11%
13%
6%
100%
81%
94%
100%
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui mengenai pilihan masyarakat
terkait pelaksanaan pemilu. 44 % memilih terkait dengan sosialisasi dan
posisi kedua dengan 19 % dengan pendataan pemilih. Ini menunjukkan
bahwa dalam penyelenggaraan pemilu, aspek yang perlu ditingkatkan dan
yang paling dirasakan masyarakat adalah sosialisasi. Bukan berarti aspek lain
lain dapat diketepikan.
5.7.3nYang perlu Diperbaiki dalam Pemilu ke depan
Mengenai aspek-aspek sosialisasi itu sendiri yang perlu ditingkatkan,
masyarakat menilai hampir semua aspek harus menjadi perhatian KPU
karena dinilai masih sedang, kecuali aspek kesadaran untuk mencoblos
dalam Pemilu dinilai masyarakat sudah tinggi. Dari temuan pada tabel 5.22
terdapat indikasi bahwa perhatian KPU masih tertumpu pada upaya
meningkat kesadaran masyarakat untuk ikut memilih pada hari H pemilu.
Sementara tema-tema dan materi yang terkait dengan penyelenggaraan
Pemilu, informasi mengenai tahapan dan program Pemilu belum begitu
diketahui oleh masyarakat.
72
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Tabel 5.22: Penilaian terhadap Pelaksanaan Sosialisasi
No
Indikator
Nilai
Derajat
Informasi mengenai tahapan
3,18
Sedang
dan program Pemilu
Tema dan materi tentang
2
3,03
Sedang
penyelenggaraan Pemilu
Pemahaman dan pengetahuan
3
3,25
Sedang
tentang Pemilu
Pemahaman & pengetahuan
4
tentang tahapan & program
3,26
Sedang
Pemilu
Pemahaman & pengetahuan
5
tentang tata cara penggunaan
3,44
Sedang
hak politik & hak pilih
Kesadaran untuk berperan
6
serta dalam setiap tahapan
3,59
Sedang
pemilu
Kesadaran untuk mencoblos
7
3,74
Tinggi
dalam Pemilu
Sumber : Data Primer 2015
Keterangan: Rendah: 1,00 – 2,33 sedang: 2,34 – 3,67 tinggi 3,68-5,00
1
5.7.4 Jenis Pilkada Yang Diinginkan Warga ke depan
Baru-baru ini mucul keinginan pemerintah untuk mengembalikan
pilkada kepada mekanisme pemilihan oleh DPRD. Paling tidak ada tiga alasan
yang dikemukakan. Pertama Masyarakat Kota Bukittinggi yang diwakili
rasponden penelitian ini ternyata masih mendukung pelaksanaan pemilihan
kepala daerah secara langsung dibandingkan dengan dipilih oleh DPRD. Hasil
survei menunjukkan bahwa sebanyak 297 responden atau 79 % menyatakan
setuju dengan pemilu yang dipilih langsung oleh masyarakat dan hanya 14 %
yang setuju kepala daerah dipilih oleh DPRD serta 7 % menyatakan tidak
tahu.
Peserta FGD menyatakan tanggapannya tentang hal ini. Menurut
mereka mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat harus tetap
dipertahankan meskipun ada beberapa catatan yang harus diperbaiki dari
73
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
proses penyelenggaraannya. “Jika ada tikus dilumbung padi usir saja
tikusnya, jangan lumbungnya yang dibakar”, kata salah seorang peserta.
Kelemahan yang harus diperbaiki dari pilkada, menurut informan adalah
biaya pelaksanaan pilkada yang terlalu tinggi harus dihemat, politik uang
harus dihilangkan, sistem rekrutmen calon kepala daerah harus terbuka dan
seleksinya diperketat dengan persyaratan tambahan yaitu memiliki standar
kompetensi dan standar moral dan integritas yang diuji oleh lembaga yang
benar-benar kredibel. Terakhir adalah masalah keamanan akibat sengketa
pilkada perlu ditingkatkan.
Tabel 5.23: Jenis Pilkada Yang Diinginkan Warga ke depan
Jenis Pilkada
Dipilih langsung oleh rakyat
seperti sekarang
Dipilih oleh DPRD
Tidak tahu
Total
Sumber : Data Primer 2015
5.8
Frekuensi
%
Presentase
Kumulatif
297
79%
79%
53
25
375
14%
7%
100%
93%
100%
Perilaku Memilih Masyarakat dalam Pemilu Legislatif 2014
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa dalam
penelitian ini perilaku memilih didefinisikan sebagai proses penentuan
keputusan seseorang untuk memilih (atau tidak memilih) partai atau
kandidat tertentu dalam sebuah pemilihan umum2. Berikut akan diuji
hubungan antara variabel bebas yaitu Sosio Demografi, Identifikasi
Kepartaian, Penilaian terhadap Kondisi sosial ekonomi Daerah dan Sikap
terhadap Politik Uang dengan variabel terikat yaitu Perilaku Memilih dalam
Pemilu Legislatif 2014.
Aidinil Zetra, 2005, Perilaku Memilih Buruh Migran Indonesia di Malaysia dalam Pemilu
2004. Tesis Master di National University of Malaysia.
2
74
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
5.8.1 Hubungan Sosio Demografi dengan Perilaku Memilih
Pendekatan sosiologis percaya bahwa perilaku memilih masyarakat
ditentukan oleh faktor sosio demografinya seperti umur, jenis kelamin,
agama, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan sebagainya. Beberapa
penelitian terdahulu seperti yang telah dipaparkan pada bab 2 yakni Affan
Gaffar dan JB. Kristiadi menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor
sosiologis yang siginifikan dan paling berpengaruh terhadap perilaku
memilih masyarakat Indonesia yaitu faktor agama, kedaerahan dan
etnik/suku.
Berikut akan dipaparkan hasil pengujian hipotesis 1penelitian ini:
H01
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Faktor Sosio
:
Demografi dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014
Ha1
Terdapat hubungan yang signifikan antara Faktor Sosio
Demografi dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014
5.8.1.1
Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Kelompok Umur
H01.1
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan
:
perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu
Legislatif 2014
Ha1.1
Terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan perilaku
memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif
2014
Hipotesis Ho1.1 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara variabel umur responden dengan variabel perilaku memilih mereka
dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0.000
lebih kecil dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,25 (< 0.5). Dengan
75
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol 1.1 ditolak. Dengan kata
lain terdapat hubungan antara kelompok umur masyarakat Kota Bukittinggi
dengan perilaku memilih mereka dengan kekuatan hubungan yang lemah.
Artinya, terdapat perbedaan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
berdasarkan kelompok umur. Temuan ini menguatkan teori Franklin (1984)
yang mengatakan bahwa kesetiaan dan dukungan seseorang terhadap partai
politik tertentu tidak bersifat stabil tetapi selalu berubah berdasarkan umur
dan tingkat kedewasaannya. Ketika seseorang beranjak dewasa, biasanya
menjelang umur 25 tahun, ia akan meninjau kembali dan menyesuaikan
dukungan partainya dengan partai yang memperjuangkan keinginan mereka.
5.8.1.2
Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Jenis Kelamin
H01.2
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin
:
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam
pemilu Legislatif 2014
Ha1.2
Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu
Legislatif 2014
Hipotesis Ho1.2 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara variabel jenis kelamin responden dengan perilaku memilih mereka
dalam pemilu 2014 di Kota Bukittinggi. Hasil analisis khi kuadrat
menunjukkan nilai α = 0,586 lebih besar dari 0,005, koefisien kontigensi (C) =
0,027 lebih kecil dari 0.5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
hipotesis nol 1.2 diterima. Dengan kata lain tidak terdapat hubungan antara
jenis kelamin pemilih dengan perilaku memilih mereka dalam pemilu
legislatif 2014 di Kota Bukittinggi. Artinya, tidak terdapat perbedaan perilaku
memilih masyarakat Kota Bukittinggi berdasarkan dilihat dari segi jenis
kelamin masyarakat.
76
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
5.8.1.3 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Negeri Asal
H01.3
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara negeri asal
:
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam
pemilu Legislatif 2014
Ha1.3
Terdapat hubungan yang signifikan antara negeri asal dengan
perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu
Legislatif 2014
Hipotesis Ho 1.3 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara variabel Negeri Asal responden dengan perilaku memilih mereka
dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0.949
lebih besar dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,03 (< 0.5). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol 1.3 diterima. Dengan kata
lain tidak terdapat hubungan antara negeri asal pemilih dengan perilaku
memilih mereka dalam pemilu legislatif 2014 di Kota Bukittinggi. Hal ini
dapat diartikan warga Kota Bukittinggi dalam menggunakan hak pilih tidak
didasarkan kepada sentimen kedaerahan. Orang Kurai belum tentu akan
memilih memilih calon asli Kurai, orang Agam belum tentu akan memilih
calon yang berasal dari Agam, dan seterusnya.
5.8.1.4 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Tingkat Pendidikan
H01.4
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
:
pendidikan dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014
Ha1.4
Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam
pemilu Legislatif 2014
77
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Hipotesis Ho 1.4 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara variabel tingkat pendidikan responden dengan perilaku memilih
mereka dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α =
0,001 lebih kecil dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,659 (>0.5). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol 1.4 Ditolak. Dengan kata
lain terdapat hubungan antara tingkat pendidikan pemilih dengan perilaku
memilih mereka. Terdapat perbedaan yang signifikan pilihan masyarakat
terhadap calon dan partai antara golongan yang berpendidikan tinggi dengan
berpendidikan rendah.
5.8.1.5 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Agama
H01.5
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara agama dengan
:
perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu
Legislatif 2014
Ha1.5
Terdapat hubungan yang signifikan antara agama dengan
perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu
Legislatif 2014
Hipotesis Nol 1.5 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara variabel agama responden dengan perilaku memilih mereka dalam
pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0,655 lebih
besar dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,078(< 0.5). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa Hipotesis Nol 1.5 Diterima. Dengan kata lain tidak
terdapat hubungan antara Agama pemilih dengan perilaku memilih mereka
dalam pileg 2014 di Kota Bukittinggi.
5.8.1.6 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Jenis Pekerjaan
H01.6
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Jenis Pekerjaan
:
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam
pemilu Legislatif 2014
78
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Ha1.6
Terdapat hubungan yang signifikan antara Jenis Pekerjaan
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam
pemilu Legislatif 2014
Hipotesis Nol 1.6 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara variabel Jenis Pekerjaan responden dengan perilaku memilih mereka
dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0,242
lebih besar dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,197 lebih kecil dari 0.5.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hipotesis Nol 1.6 Diterima.
Dengan kata lain tidak terdapat hubungan antara jenis pekerjaan pemilih
dengan pilihan mereka terhadap partai dan calon pada Pileg 2014 lalu di
Kota Bukittinggi. Jenis Pekerjaan masyarakat ternyata bukan menjadi faktor
pembeda dalam menentukan pilihan dalam pemilu.
5.8.1.7 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Tingkat Pendapatan
H01.7
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Tingkat
:
Pendapatan
dengan
perilaku
memilih
masyarakat
Kota
Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014
Ha1.7
Terdapat hubungan yang signifikan antara Tingkat Pendapatan
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam
pemilu Legislatif 2014
Hipotesis Nol 1.7 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara variabel tingkat pendapatan responden dengan perilaku memilih
mereka dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α =
0,920 lebih besar dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,070 lebih kecil dari
0.5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hipotesis Nol 1.7 Diterima.
Dengan kata lain tidak terdapat hubungan antara Tingkat Pendapatan
Pemilih dengan perilaku memilih. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa
pilihan masyarakat Kota Bukittinggi dalam Pileg 2014 tidak berbeda jika
dilihat dari tingkat pendapat mereka.
79
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
5.8.2. Pengaruh Identifikasi Kepartaian terhadap Perilaku Memilih
Apakah pemilih di Kota Bukittinggi menjatuhkan pilihan mereka
terhadap partai politik pada Pileg 2014 lalu sesuai dengan identifikasi
partainya? Berdasarkan data penelitian ini tampaknya jawaban responden
terhadap pertanyaan ini adalah Ya. Sebanyak 90.9% responden yang
mengatakan bahawa mereka yang merasa dekat dengan parti Islam memilih
partai Islam pada pemilu 2014 dan yang lainnya yaitu 9.1% pemilih partai
sekular. Di antara mereka yang merasa dekat dengan parti sekular, sebanyak
75.0% memilih partai sekular dan hanya 25.0% yang memilih parti Islam.
Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara identifikasi partai
dengan perilaku memilih dapat dilakukan pengujian hipotesis nol 3 sebagai
berikut:
H02
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Identifikasi
:
Kepartaian dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014
Ha2
Terdapat hubungan yang signifikan antara Identifikasi Kepartaian
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam
pemilu Legislatif 2014
Hipotesis Nol 2 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara variabel Identifikasi Kepartaian masyarakat dengan perilaku memilih
mereka dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α =
0,003 lebih kecil dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,3 (<. 0.5). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol 2 Ditolak. Dengan kata lain
terdapat hubungan antara identifikasi kepartaian dan perilaku memilih
mereka dengan kekuatan hubungan yang sedang.
80
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Hubungan antara identifikasi kepartaian dengan perilaku memilih
menjadi semakin jelas jika dilihat dari segi tingkat kekuatan identifikasi
partai. Responden yang mempunyai identifikasi partai yang kuat terhadap
partai Islam kemungkinan besar akan memilih parti Islam dan sebaliknya
responden yang mengidentifikasikan dirinya secara kuat kepada partai
sekuler akan cenderung memilih partai sekuler. Pemilih yang memiliki
identifikasi partai yang lemah memiliki kecenderungan untuk pindah
kesetiaannya kepada partai lain. Terdapat 50.0% responden yang
mempunyai identifikasi partai yang lemah terhadap PDIP (partai sekuler)
memilih partai Islam yaitu PKB dan PKS masing-masing 25.0%. Begitu juga
terdapat responden yang mempunyai identifikasi partai yang lemah terhadap
PPP (parti Islam) pada Pileg 2014 ternyata memilih PDIP dan Golkar (partai
sekuler) masing-masing 50.0%.
5.8.3. Pengaruh Sikap Terhadap Politik Uang terhadap Perilaku
Memilih
H0 3
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap terhadap
:
Politik
Uang
dengan
perilaku
memilih masyarakat
Kota
Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014
Ha 3
Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap terhadap Politik
Uang dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014
Hipotesis No 3 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara variabel Sikap terhadap Politik Uang dengan perilaku memilih
masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat
menunjukkan nilai α = 0,002 lebih kecil dari 0,005, koefisien kontigensi (C) =
0.821 (>0.5). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol 3
Ditolak. Dengan kata lain terdapat hubungan antara sikap terhadap politik
81
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
uang para pemilih dengan perilaku memilih mereka dengan kekuatan
hubungan yang kuat.
5.8.4. Pengaruh Penilaian Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah
terhadap Perilaku Memilih
H0 4
Tidak terdapat pengaruh Penilaian Kondisi Sosial Ekonomi
:
Daerah terhadap Perilaku Memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014
Ha 4
Terdapat pengaruh Penilaian Kondisi Sosial Ekonomi Daerah
terhadap Perilaku Memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam
pemilu Legislatif 2014
Hipotesis No 4 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara variabel Penilaian masyarakat terhadap kondisi sosial ekonomi
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu 2014.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai α= 0,03 kecil dari 0,05 dengan
Koefisien Kontigensinya (C) hanya 0,25, yaitu lebih kecil dari 0,5 dapat
disimpulkan bahwa Ho 4 ditolak dan Ha 4 diterima. Berarti terdapat
hubungan yang signifikan antara penilaian masyarakat terhadap kondisi
sosial ekonomi masyarakat Kota Bukittinggi terhadap perilaku memilih
warga dalam pemilu legislatif 2014.
Menurut teori pilihan rasional atau pendekatan ekonomi, pemilih
dalam pemilu akan mempertimbangkan apa manfaat yang akan didapatkan
seandainya partai atau kandidat yang didukungnya menang dan sebaliknya,
apakah resiko yang terpaksa ditanggungnya seandainya partai yang
didukungnya itu kalah. Pemilih akan mempertimbangkan apakah manfaat
yang akan didapatkan seandainya partai yang didukungnya menang dan
sebaliknya, apakah biaya yang terpaksa ditanggungnya seandainya partai
yang didukungnya itu kalah. Penilaian masyarakat terhadap kinerja
pemerintah daerah dapat diukur dari persepsi masyarakat terhadap masalah
82
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
sosial ekonomi masyarakat yang sedang dialami masyarakat saat ini. Apakah
penilaian terhadap masalah sosial ekonomi ini mempengaruhi perilaku
memilih masyarakat di Kota Bukittinggi?
Penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah terlefleksi
dari penilaian masyarakat terhadap kondisi sosial ekonomi muncul selama
pemerintahan. Gambaran penilaian responden terhadap kondisi sosial
ekonomi yang ada di Kota Bukitinggi adalah sebagai berikut:
Tabel 5.24: Penilaian terhadap Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat
Persentase
Masalah Utama
Frekuensi
%
Kumulatif
Kelangkaan pupuk
12
3%
3%
Mahalnya biaya berobat
24
6%
9%
Susahnya lapangan pekerjaan
110
29%
38%
Masalah korupsi/KKN
4
1%
39%
Kurangnya kepercayaan kepada
42
11%
51%
pimpinan daerah
Kurangnya rasa aman &
12
3%
54%
rendahnya ketertiban
Kelangkaan air bersih
35
9%
63%
Terjadinya/ancaman banjir
1
0%
63%
Sarana/prasarana transportasi
7
2%
65%
Mahalnya harga sembako
37
10%
75%
Mahalnya biaya pendidikan
7
2%
77%
Tidak tegaknya hukum dengan
15
4%
81%
adil
Masalah listrik
24
6%
87%
Kesembrautan lalu lintas
35
9%
96%
Lainnya
15
4%
100%
Total
356
100,0
Sumber : Data Primer 2015
83
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
6.1 Pengantar
Bab ini akan mendiskusikan hasil temuan penelitian ini serta
memberikan justifikasi terhadap hipotesis yang ditolak dan diterima. Selain
itu bagian ini juga akan menjawab dan menjelaskan beberapa masalah
penelitian yang telah dikemukakan di depan. Sumber pembahasan yang
dilakukan adalah mengacu kepada temuan seperti tabel-tabel, frekuensi dan
persentase serta dibuat perbandingan dengan penelitian terdahulu yang
relevan. Kemungkinan yang mempengaruhi hasil penelitian juga didiskusikan
untuk menarik kesimpulan penelitian.
Selanjutnya implikasi dan rekomendasi akan dikemukakan sebagai
panduan bagi pihak-pihak yang berminat untuk melakukan penelitian terkait
dan sebagai rujukan bagi stakeholder pemilu baik KPU, Bawaslu, partai
politik maupun masyarakat .
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
84
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
6.2. Pembahasan
6.2.1 Sosial Demografi dan Perilaku Memilih
Faktor sosial demografi dalam penelitian ini dibagikan menjadi 6 sub
variabel yaitu umur, jenis kelamin, negeri asal, tingkat pendidikan, agama,
jenis pekerjaan, dan tingkat penTemuan. Temuan penelitian ini menunjukkan
bahwa selain umur dan tingkat pendidikan, faktor sosio demografi tidak
mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku memilih. Artinya,
pilihan terhadap partai dan calon masyarakat Kota Bukittinggi dalam Pileg
2014 tidak begitu dipengaruhi oleh faktor sosio demografi mereka, kecuali
kelumpok umur dan tingkat pendidikan.
Penelitian ini juga menemukan bahwa faktor status sosial ekonomi
dengan sub variabel tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan ternyata tidak
mempengaruhi perilaku memilih. Hal ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan sarjana Barat yang tergabung dalam kelompok Kolombia, seperti
Paul Lazarsfield dan kawan-kawan (1968) yang mengatakan bahwa perilaku
memilih seseorang terhadap partai politik tertentu dipengaruhi secara
signifikan oleh faktor-faktor latar belakang sosioekonomi. Begitu juga
penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Augus
Campbell dan rakan-rakan (1960), yang juga menunjukkan adanya hubungan
antara status sosioekonomi dengan perilaku memilih di Amerika Serikat.
Selain itu penelitian ini juga menemukan hasil yang berbeza dengan
penelitian-penelitian tentang perilaku memilih di British seperti yang
dilakukan oleh Butler dan Stokes (1969) dan Rose (1974:700) atau
penelitian di Netherlands oleh Arend Lijphart (1974) yang mengatakan
bahwa status sosioekonomi mempengaruhi dukungan seseorang terhadap
partai dan perilaku memilihnya.
Namun jika dibandingkan dengan hasil penelitian di Indonesia seperti
yang dilakukan oleh Afan Gaffar (1992), dan Kristiadi (1993), temuan
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
85
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
penelitian ini tampaknya selaras. Afan Gaffar (1992) menemukan bahwa
tidak terdapat hubungan antara perilaku memilih masyarakat desa di Jawa
dengan status sosial dan ekonomi mereka. Begitu juga Kristiadi (1993)
mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara struktur sosial
pemilih pedesaan dan perkotaan di Jawa dengan pilihan partai mereka.
Dengan demikian, meskipun periode penelitian antara penelitian Afan Gaffar
dan Kristiadi dengan penelitian ini sudah lebih dari dua dekade, namun
perilaku pemilih masyarakat Indonesia masih menunjukkan kecenderungan
yang sama, yaitu tidak dipengaruhi oleh status sosial ekonomi mereka.
6.2.2 Partisipasi dalam Pemilu
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi responden
dalam menggunakan hak pilih dalam pemilu sangat beragam, yaitu pertama
karena pemilih menyadari bahwa menggunakan hak suara dalam pemilu
adalah menjadi tanggungjawab mereka sebagai warganegara di negara yang
demokratis. Kedua, karena mereka menginginkan perubahan ke arah kondisi
yang lebih baik. Ketiga karena ingin partai yang mereka dukung keluar
sebagai pemenang. Dari data tersebut dapat ketahui bahwa meskipun
sebagian besar responden mempunyai penilaian negatif terhadap kinerja
pemerintah dengan mengatakan banyaknya masalah sosial ekonomi yang
dihadapi oleh masyarakat, namun masih banyak responden yang mempunyai
kesadaran tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warganegara. Selain
itu mereka tampak masih mempunyai harapan bahwa pemilu akan
menghasilkan perubahan. Mereka mempunyai keyakinan bahwa tindakan
mereka baik secara individu atau kolektif berpengaruh dalam menghasilkan
perubahan politik ke arah yang lebih baik atau dikenal juga dengan political
efficacy (K. Prewitt 1968: 225)
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
86
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Namun sangat disayangkan, niat baik untuk berpartisipasi memilih
tersebut tidak didukung oleh informasi yang memadai. Karena selain
kesibukan bekerja hampir tidak ada waktu untuk memikirkan masalah
politik. Selain itu wakga Bukittinggi yang kebanyakan bekerja sebagai
pedagang, pengusaha konveksi, pegawai, petani , dan sebagainya, mereka
mengaku kesulitan mendapatkan informasi yang lengkap tentang calon dan
partai politik peserta pemilu. Kebanyakan kampanye yang dilakukan oleh
calon dan partai politik tidak menyediakan informasi yang lengkap dan
mendalam. Oleh sebab itu, sebagian besar pemilih mengatakan bahwa dalam
membuat keputusan memilih salah satu calon atau parti politik dalam pemilu
2014 tidak didasarkan kepada pertimbangan visi, misi dan program partai
serta kemampuan dan integritas calon yang akan mewakili mereka di
legislatif.
6.2.3 Penilaian Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah dan Perilaku
Memilih
Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar responden memiliki
penilaian yang negatif terhadap prestasi pemerintah daerah dan dinamika
politik lokal. Penilaian yang negatif ini kemungkinan besar disebabkan
karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah dan
DPRD memenuhi janji-janji mereka dan memperbaiki keadaan ekonomi
daerah dan khususnya dalam menyediakan lapangan pekerjaan untuk
rakyatnya.
Selain itu penilaian negatif terhadap pemerintah daerah kemungkinan
besar juga disebabkan karena kegagalan pemerintah dalam memecahkan
masalah-masalah sosial dan ekonomi seperti sempitnya lapangan pekerjaan,
mahalnya harga sembako, langkanya air bersih, sembrautnya lalu lintas.
Oleh karena itu tidak mengherankan apabila penelitian ini
menemukan bahwa faktor penilaian terhadap keadaan sosial ekonomi
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
87
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
daerah telah mempengaruhi perilaku memilih dalam pemilu. Bahkan telah
mempengaruhi keputusan masyarakat untuk tidak menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu. Dengan dengan demikian dapat dipahami mengapa
tingkat partisipasi memilih di Daerah Pemilihan Bukittinggi I pada Pemilihan
DPRD Kota Bukittinggi hanya mencapai 25%, daerah pemilihan Bukittinggi 2
hanya 22,22% dan daerah pemilihan Bukittinggi 3 hanya 12, 96%.
6.2.4 Identifikasi Partai dan Perilaku Memilih
Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang sedang
antara perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dengan identifikasi
partai mereka. Masyarakat yang memiliki identifikasi kepartaian yang kuat
terhadap PKS kemungkinan besar akan memilih PKS dan sebaliknya
masyarakat yang mengidentifikasikan dirinya secara kuat kepada PDIP akan
cenderung memilih PDIP. Masyarakat yang memiliki identifikasi kepartaian
yang lemah memiliki kecenderungan untuk berpindah kesetiaannya kepada
partai lain. Semakin kuat pemilih mengidentifikasikan dirinya kepada salah
satu partai tertentu semakin besar kemungkinan mereka memilih partai
tersebut.
Hasil penelitian ini mendukung temuan penelitian yang dilakukan
oleh Afan Gaffar (1992) di Brobanti Yogyakarya yang mengatakan bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara identifikasi parti dengan perilaku
memilih. Afan Gaffar menemukan bahwa responden yang memiliki
identifikasi partai yang kuat kepada partai Islam kemungkinan besar akan
memilih parti Islam, dan mereka yang mempunyai identifikasi yang kuat
kepada partai bukan Islam kemungkinan besar akan memilih partai bukan
Islam. Identifikasi kepartaian yang lemah akan cenderung merubah
kesetiaannya. Affan menyimpulkan bahwa semakin kuat pemilih pedesaan di
Jawa mengidentifikasikan dirinya kepada partai tertentu, semakin besar
kemungkinan mereka memilih partai tersebut.
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
88
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Terkait dengan partisipasi politik masyarakat dalam memberikan
dukungan kepada partai politik ditemukan rata-rata tingkat partisipasi
politik masyarakat rendah. Kebanyakan masyarakat Kota Bukittinggi tidak
pernah terlibat dalam aktivitas mendukungh partai tertentu. Bagi
masyarakat yang pernah terlibat dalam kegiatan politik kebanyakan bentuk
keterlibatan mereka hanyalah sebatas menggunakan hak suara dalam pemilu
dan menghadiri kampanye calon dan partai.
6.3 Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan
di
atas
jika
dihubungkan
dengan
permasalahan utama penelitian sebagaimana dikemukakan pada bahagian
terdahulu, dapat disimpulkan :
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara umur dan tingkat pendidikan
dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu
Legislatif 2014
2. Tidak terdapat hubungan antara faktor sosio demografi dengan sub
variabel jenis kelamin,
negeri asal, agama, jenis pekerjaan, tingkat
pendapatan dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi
dalam pemilu Legislatif 2014.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara perlakuan memilih dengan
variabel identifikasi kepartaian masyarakat Kota Bukittinggi pada
pemilu legislatif pada tahun2014. Pemilih yang mengidentifikasikan
dirinya secara kuat dengan partai tersebut punya peluang yang besar
untuk memilih partai tersebut. Identifikasi parti yang lemah memiliki
kecenderungan untuk berpindah kesetiaannya kepada partai lain.
Semakin kuat pemilih mengidentifikasikan dirinya kepada salah satu
parti tertentu semakin besar kemungkinan mereka memilih partai
tersebut.
4. Terdapat hubungan antara sikap terhadap Politik Uang dengan perilaku
memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014.
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
89
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Namun tidak ada jaminan bahwa orang menerima politik uang akan
mendukung partai atau calon yang memberikan uang atau barang
kepada pemilih.
5. Terdapat pengaruh penilaian terhadap kondisi sosial ekonomi Daerah
terhadap perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu
Legislatif 2014. Masyarakat yang menilai negatif terhadap kondisi sosial
dan ekonomi daerah cenderung tidak memilih calon atau partai yang
pemimpinnya sedang memerintah.
6.4. Rekomendasi Penelitian
Berdasarkan temuan hasil penelitian maka penelitian ini merumuskan
rekomendasi sebagai berikut:
Pertama, karena tingginya tingkat golput di kalangan pemilih pemula
maka peneliti merekomendasikan nahwa perlu dilakukan pendidikan politik
(civic education) yang lebih terstruktur dan kontinu bagi kaum muda untuk
meningkatkan kebanggaan kaum muda terhadap bangsanya dan partisipasi
pemilih pemula dalam pelaksanaan pemilu. Pendidikan politik untuk pemilih
pemula selama ini cendrung diperoleh dari media massa atau media sosial
yang sering menampilkan sisi buruk dari perilaku elite politik, dan ini
mempengaruhi minat pemilih pemula. Beberapa program yang lebih kreatif
dan inovatif dapat dibuat seperti lomba kesenian, karya tulis tentang pemilu,
lomba membuat poster pemilu atau lomba debat politik dan pemilu yang
dilakukan di kalangan pelajar untuk menggali ekspresi mereka tentang
pemilu dan politik. Pemilih pemula sebagian besar saat ini gemar
menggunakan teknologi informasi, misalnya internet ataupun telepon
genggam, dll. Media TI dapat dimanfaatkan untuk menarik atau
memengaruhi mereka agar lebih responsif atau proaktif mengikuti proses
pemilihan. Melalui media ini diharapkan para pemilih pemula dapat
mengetahui apa, siapa, bagaimana, kapan dan dimana pemilihan akan
dilaksanakan.
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
90
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
Kedua, Karena terdapat perbedaan motivasi memilih masyarakat
berdasarkan tingkat hidup, tingkat pendidikan sesorang, umur jenis kelamin,
Lokasi tempat tinggal (Kelurahan/Desa), maka disarankan program
sosialisasi pemilu harus disesuaikan dengan target audien sosialisasi itu
sendiri dengan kemasan acara yang menarik sesuai dengan prinsip-prinsip,
strategi dan taktik kampanye komunikasi publik. Selain itu itu, karena
kegiatan sosialisasi merupakan tanggungjawab semua pihak dalam konteks
kesukarelaan politik maka KPU perlu membangun lebih banyak lagi jaringan
dan kerjasama dengan berbagai pihak untuk melaksanakan kegiatan
sosialisasi sehingga kegiatan ini semakin luas. Di antara institusi yang dapat
diajak bekerjasama adalah partai politik, sekolah, perguruan tinggi, lembaga
kursus, LSM, Pemerintah daerah dan jajarannya sampai ke desa dan
kelurahan, media massa, tokoh masyarakat seperti ninik mamak, alim ulama,
cerdik pandai, bundo kanduang, pemuda dan sebagainya.
Ketiga, untuk mengurangi angka golongan putih (Golput) hasil kajian
ini menunjukkan bahwa persoalan golput bukan persoalan yang sederhana
hanya sekedar persoalan teknis atau kurangnya sosialisasi tetapi lebih dari
itu, ia menyangkut persoalan ideologi. Untuk mengurangi golput para politisi
dan pemimpin yang dipilih melalui pemilu harus mampu meyakinkan
pemilih bahwa mereka adalah pemimpin pilihan rakyat yang amanah dan
mampu merubah keadaan negara dan daerah. Karena kebanyakan alasan
orang memilih golput adalah karena masyarakat tidak yakin pemilu mampu
merubah keadaan. Selain itu alasan golput adalah masyarakat merasa urusan
mereka lebih penting, ini perlu pendidikan politik untuk menumbuhkan
kesadaran masyarat.
Keempat, Karena mayoritas responden menghalakan politik uang
dan politik uang ternyata mampu mempengaruhi perilaku memilih, maka hal
ini jelas membutuhkan proses pendidikan moral dan etika, sosialisasi dan
penyadaran tidak hanya mengangkut aspek pengetahuan tentang pemilu
tetapi juga menyangkut aspek afektif yaitu keyakinan tentang resiko dan
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
91
Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014
dampak negatif politik uang terhadap kehidupan orang banyak dan
berjangka panjang. Untuk itu diperlukan peran aktif semua pihak seperti
pemimpin agama, pemimpin adat, para pendidik mulai sekolah dasar sampai
perguruan tinggi, orang tua, pemimpin pemerintahan dan lain-lain dalam
memberikan teladan kepada masyarakat.
Kelima, temuan bahwa partisipasi politik warga rata-rata berada
pada peringkat sedang, maka perlu upaya serius untuk meningkatkan
kembali partisipasi dan kesukarelaan politik dari pemimpin masyarakat baik
formal maupun informal dari pusat sampai ke desa/kelurahan, nagari
terutama untuk memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat. Karena keadaan
sosial ekonomi masyarakat ini mempengaruhi tingkat kesukarelaan politik
warga masyarakat. Perbaikan kondisi ekonomi ini harus diiringi oleh suatu
gerakan bersama untuk menumbuhkan kembali semangat kesetiakawanan
sosial, semangat berani berkorban, keiklasan, saling bantu membantu,
menggalakkan kegiatan sosial (philanthropy) atau pengabdian kepada
masyarakat, meningkatkan partisipasi politik, kegiatan advokasi atau
kampanye.
KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015
92
PoLokDa
S T U D I E S
C E N T E R
email : [email protected]
Alamat : Gedung Jurusan Ilmu Politik FISIP UNAND
Limau Manis Padang, Sumatera Barat
Download