LAPORAN RISET PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT KOTA BUKITTINGGI PADA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014 Kerjasama antara Komisi Pemilihan Umum Kota Bukittinggi dan Pusat Studi Politik Lokal & Otonomi Daerah Universitas Andalas Tahun Anggaran 2015 TIM PENELITI: Dr. Aidinil Zetra, SIP, MA Drs. Bakaruddin Rosyidi, MS Dr. Ferra Yanuar, SSi,MSc Mhd. Fajri, SIP Yamen Soni Aprizandra, SIP Meri Anggraini Arifin, SIP Kerjasama: Komisi Pemilihan Umum Kota Bukittinggi dengan Pusat Studi Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Andalas Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Puji syukur peneliti haturkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmatNya peneliti telah dapat melaksanakan penelitian “Perilaku Memilih Masyarakat Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014.” Penelitian ini bertujuan untuk memetaan persoalan partisipasi memilih masyarakat Kota Bukittinggi dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi pada pemilu 2014. Selain itu riset ini juga bertujuan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat diambil untuk menumbuhkan perilaku memilih yang rasional pada masyarakat Kota Bukittinggi. Perilaku memilih dalam riset ini diartikan sebagai proses penentuan keputusan seseorang untuk memilih (atau tidak memilih) partai atau kandidat tertentu dalam sebuah pemilihan umum. Sedangkan pemilih diartikan semua pihak yang menjadi tujuan utama kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan memberikan suaranya. Dengan mengetahui peta persoalan partisipasi memilih masyarakat dam perilaku memilih diharapkan program-program yang dirumuskan untuk menghasilkan pemilih yang lebih cerdas dan rasional dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi khususnya demokrasi elektoral akan lebih sistematis dan berorientasi pada pemecahan masalah publik ke depan. Meskipun substansi dan teknis pelaksanaan penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti Pusat Studi Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Komisi Pemilihan Umum Kota Bukittinggi i Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Andalas, namun keberhasilan penelitian ini sangat dipengaruhi oleh peran besar Komisi Pemilihan Umum Kota Bukittinggi, yang telah membiayai secara keseluruhan operasional penelitian ini. Karena itulah pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada Ketua dan Komisioner KPU Kota Bukittinggi, Staf KPU serta Pokja Riset Partisipasi dalam Pemilu KPU Kota Bukittinggi. Penghargaan yang sama disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pengumpulan data yaitu Mahasiswa S1 dan Magister Ilmu Politik, FISIP Universitas Andalas, dan pihak yang telah banyak memberikan informasi maupun fasilitas penelitian. Semoga kerjasamanya tetap akan terjalin pada masa yang akan datang. Harapan peneliti semoga hasil penelitian ini bermanfaat menjadi referensi dalam pengembangan khasanah akademik, masukan bagi KPU dalam perbaikan manajemen penyelenggaraan Pemilu baik di Kota Bukittinggi maupun di Daerah lain yang memiliki persoalan yang sama dalam peningkatan partisipasi pemilih masyarakat dan penciptakan pemilih yang rasional. Segala respon dan masukan akan bermanfaat bagi peneliti untuk kesempurnaan penelitian ini di masa yang akan datang. Terima kasih. Bukittinggi, Juli 2015 Ketua Peneliti Dr. Aidinil Zetra, SIP, MA KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 ii Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel i iii iv BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1 1 8 9 10 BAB II Kerangka Teoritis 2.1 Penelitian Terdahulu 2.2 Kerangka Teori 2.2.1 Pendekatan Sosiologi 2.2.2 Pendekatan Psikologi 2.2.3 Pendekatan Ekonomi 2.3.4 Sikap terhadap Politik Uang 2.2.5 Penilaian Terhadap Kinerja Pemerintah 2.3 Perilaku Memilih dan Partisipasi Politik 2.4 Hipotesis Penelitian 11 11 17 18 20 23 25 28 29 31 BAB III Metode Penelitian 3.1 Pendekatan dan Tipe Penelitian 3.2 Unit Analisis, Populasi dan Sampel 3.3 Sumber Data 3.2.1 Data Sekunder 3.2.2 Data Primer 3.4 Teknik Pengumpulan Data 3.4.1 Teknik Kuesioner 3.4.2 Teknik FGD 3.3.4 Teknik Dokumenter 3.5 Lokasi Penelitian, Informan dan Responden 3.6 Teknik Pengolahan Data 3.6.1 Metode Pengolahan Data 3.6.2 Perangkat Pengolahan Data 3.6.3 Analisis Data 3.7 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data 3.7.1 Mendeskripsikan, menginterpretasi, dan mengecek ulang hasil penelitian 3.7.2 Memisahkan secara tegas antara deskriptif, interpretasi dan penilaian hasil penelitian 34 34 35 37 37 38 38 38 39 39 39 39 40 40 41 41 41 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 iii 42 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 3.7.3 Memberikan umpan balik (feedback) 42 BAB IV Deskripsi Daerah Penelitian 4.1 Geografis Kota Bukittinggi 4.2 Wilayah Administratif 43 43 45 BAB V Perilaku Memilih Masyarakat Kota Bukittinggi 5.1 Identitas Responden 5.1.1 Komposisi Responden berdasarkan Umur 5.1.2 Komposisi Responden berdasarkan Jenis Kelamin 5.1.3 Komposisi Responden berdasarkan Negeri Asal 5.1.4 Komposisi Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan 5.1.5 Komposisi Responden berdasarkan Agama 5.1.6 Komposisi Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan 5.1.7 Komposisi Responden berdasarkan Suku Bangsa 5.1.8 Komposisi Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan 5.2 Pemetaan Partisipasi Memilih Pada Pemilu 2014 5.2.1 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Umur 5.2.2 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Kelamin 5.2.3 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Desa/Kelurahan 5.2.4 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendidikan 5.2.5 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Agama 5.2.6 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Pekerjaan 5.2.7 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendapatan 5.3 Motivasi Pemilih dalam Pemilu 2014 5.4 Alasan Golput pada Pemilu 2014 5.5 Minat Masyarakat Terhadap Demokrasi Elektoral 5.6 Sikap Masyarakat Terhadap Politik Uang 5.7 Penggunakan Hak Pilih Masyarakat 5.7.1 Penilaian Masyarakat terhadap Pelaksanaan Pemilu 2014 5.7.3 Yang perlu diperbaiki dalam Sosialisasi ke Depan 5.7.4 Jenis Pilkada Yang Diinginkan Warga ke depan 5.8 Perilaku Memilih Dalam Pemilu Legislatif 2014 5.8.1 Hubungan Sosio Demografi dengan Perilaku Memilih 5.8.2 Pengaruh Identifikasi Kepartaian terhadap Perilaku Memilih 5.8.3 Pengaruh Sikap Terhadap Politik Uang terhadap 52 52 53 53 53 54 55 55 56 57 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 57 58 51 51 60 61 62 62 64 66 68 69 71 71 74 74 74 75 80 81 iv Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 BAB VI Perilaku Memilih Pembahasan, Kesimpulan dan Rekomendasi 6.1 6.2 6.3 6.4 84 Pengantar Pembahasan Kesimpulan Rekomendasi Daftar Pustaka KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 84 85 89 90 93 v Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 DAFTAR TABEL Tabel 5.1 Komposisi Responden Berdasarkan Umur 52 Tabel 5.2 Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 53 Tabel 5.3 Komposisi Responden Berdasarkan Kecamatan 53 Tabel 5.4 Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 54 Tabel 5.5 Komposisi Responden berdasarkan Agama 55 Tabel 5.6 Komposisi Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan 55 Tabel 5.7 Komposisi Responden berdasarkan Suku Bangsa 56 Tabel 5.8 Komposisi Responden berdasarkan Pendapatan RumahTangga 57 Tabel 5.9 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Umur 58 Tabel 5.10 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Kelamin 59 Tabel 5.11 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Negeri Asal 60 Tabel 5.12 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendidikan 61 Tabel 5.13 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Agama 61 Tabel 5.14 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Pekerjaan 62 Tabel 5.15 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendapatan 63 Tabel 5.16 Motivasi Pemilih dalam Pemilu 2014 64 Tabel 5.17 Alasan Golput pada Pemilu 2014 67 Tabel 5.18 Minat Masyarakat terhadap Demokrasi Elektoral 69 Tabel 5.19 Sikap Masyarakat Terhadap Politik Uang 70 Tabel 5.20 Penilaian Masyarakat terhadap Pelaksanaan Pemilu 2014 71 Tabel 5.21 Penilaian Masyarakat terhadap Pelaksanaan Sosialisasi Pemilu 72 Tabel 5.22 Penilaian Masyarakat terhadap Aspek Sosialisasi Pemilu 73 Tabel 5.23 Jenis Pilkada Yang Diinginkan Warga ke depan 74 Tabel 5.24 Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat 83 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 vi Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 1.1. Latar Belakang Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, pemilu merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatan rakyat. Rakyat menjadi pihak yang menentukan dalam proses politik dengan memberikan suara mereka secara langsung. Melalui pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia , jujur dan adil secara tidak langsung rakyat dapat melakukan pertukaran pemerintahan dengan jalan damai berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Semenjak reformasi dan runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia telah hasil melaksanakan empat kali pemilu legislatif yaitu 1999, 2004, 2009 dan 2014. Berbeda dengan Pemilu sebelumnya kecuali Pemilu 19551, keempat pemilu ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai pemilu yang demokratis yang dilaksanakan secara relatif lebih jujur, adil, bebas dan kompetitif. 1 Pemilu 1955 dianggap oleh banyak pengamat sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia. Pemilu ini diikuti oleh 172 tanda gambar (partai nasional dan lokal, organisasi non partai politik, dan perseorangan) di seluruh Indonesia. (Pemilu ini dianggap relatif bebas dari campur tangan pemerintah. Namun sulit dibuktikan jika dikatakan Pemilu 1955 ini dikatakan bebas dari kecurangan karena pada masa itu belum dikenal adanya pengawas dan pemantau Pemilu. 1 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Kegiatan memilih dalam pemilu itu sendiri dapat dilakukan dengan mudah karena selain membutuhkan waktu yang tidak lama juga tidak memerlukan tenaga dan pikiran yang banyak. Namun proses sebelum membuat keputusan ketika memilih itu, mungkin lebih kompleks, membutuhkan wakru yang panjang dan dapat menimbulkan beberapa persoalan. Di antara persoalan yang sering muncul terkait dengan pemilu adalah berbagai pertimbangan pemilih dalam memilih kandidat, apakah berdasarkan kepribadian, partai yang diwakili atau isu yang diangkatnya. Namun terdapat juga pemilih yang tidak menghiraukan aspek calon dan isu karena mereka amat setia kepada partai tertentu. Hasil pemilu 2014 di Kota Bukittinggi menarik untuk diamati. Untuk pemilu anggota DPR dimenangkan oleh Partai Gerindra (32,14%) diikuti oleh Partai Demokrat 25,33%. Peroleh Gerindra ini jauh mengalahkan partaipartai yang relatif mapan dan calon yang lebih berpengalaman seperti Partai Golkar, PDIP, PPP atau partai yang basis pendukungnya umat Islam seperti PKS, PBB dan PAN. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut : Berbeda dengan pemilihan anggota DPRD Propinsi dimana perolehan suara Kota Bukittinggi diungguli oleh lima partai yang hampir berimbang pada lapisan pertama yaitu Gerindra dan Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS dan PPP. Sedangkan sisanya dibagi hampir merata berimbang oleh 7 partai 2 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 lainnya seperti PAN, PBB, PDIP, Hanura, Nasdem, PKB dan PKP seperti terlihat pada grafik berikut. Yang lebih menarik lagi adalah pada pemilu untuk pemilihan DPRD Kota Bukittinggi (Akumulasi Semua Daerah Pemilihan) terlihat PAN mampu masuk partai papan atas sedangkan PKS justru masuk partai lapisan kedua. Yang juga mengherankan adalah hasil perolehan suara Kota Bukittinggi Daerah Pemilihan Bukittinggi 2, Partai Gerindra hanya berada pada urutan kelima dengan perolehan suara hanya 3,85%, jauh diungguli oleh Partai Golkar (8,12%), PAN (5,27%), PPP (4,86%). Mengapa pada pemilihan DPRD Kota Bukittinggi perolehan Partai Gerindra tidak mendapat dukungan seperti halnya pada pemilihan DPR dan DPRD Propinsi? 3 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Kalau dilihat dari komposisi perolehan suara Partai Gerindra untuk pemilihan anggota DPR terlihat bahwa peroleh suara di antara calon yang ada tidak merata. Suara Partai Gerindra di Bukittinggi hanya menumpuk pada satu calon saja. Calon yang memperoleh suara mencolok adalah Ade Rezki Pratama, SE seorang pengusaha muda Kota Bukittinggi yang baru berumur 26 tahun. Perolehan suara Ade Rezki Pratama, SE 3.088 di Kecamatan Guguk Panjang, 4.960 di Kecamatan Mandiangin Kota Selayan dan 1.963 di Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh (Total peroleh suara di Kota Bukittinggi = 10.011 suara2. Perolehan ini sungguh fantastis jika dibandingkan dengan calon Gerindra yang lain, yang dilihat dari pengalaman politik lebih senior dan lebih dikenal publik. Drs. H. Sukri Bey, MM, MSi misalnya hanya memperoleh total suara di Kota Bukittinggi 761 suara. Padahal sebelumnya ia telah menjabat sebagai anggota DPR RI dari Partai Gerindra. Ia juga telah berpengalaman sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah DKI Jaya. Calon Gerindra lainnya adalah Drs. Endang Irzal Akt, MBA (2316) yang juga mantan Direktur PT Semen Padang dan pernah menjadi calon Guberbur Sumatera Barat tahun 2009 lalu. Ia tercatat sebagai Komisaris PT. Niagara Fantasy Island (MIFAN) Padang Panjang Sumbar sejak tahun 2009 2 4 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Apa yang mempengaruhi perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi pada pemilu 2014 lalu? Apakah ada hubungan perilaku memilih masyarakat dengan taktik kampanye calon seperti sering diungkap oleh media sosial bahwa banyak caleg mendulang suara melalui cara-cara transaksi pembelian suara (vote buying) seperti memberikan bantuan telor 2 mobil bak terbuka keliling kampung, memberikan hadiah berupa baju dan jilbab ke grup-grup yasinan, membagi-bagikan uang Rp.50.000 kepada masyarakat, mengajak manyarakat jalan-jalan dan gratis masuk tempat hiburan, atau membuat acara hiburan selama 3 malam berturut-turut dengan badendang, basaluang sambil bagi-bagi minuman kaleng dan amplop yang diisi uang Rp.20.000 atau memberi bantuan pembangunan jalan PPIP dan bantuan Rumah dan sebagainya3. Politik uang (voting buying) dalam Pileg 2014 telah menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Jimly Asshidiqie, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggambarkan bahwa praktek politik uang di Pileg 2014 adalah paling ‘masif’ sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Penelitian Ali Nurdin (2014) juga menyimpulkan bahwa praktik politik uang telah terjadi antara lain karena adanya persaingan yang sengit di antara kandidat dan pengawasan pemilu yang sangat lemah. Selain itu sikap masyarakat yang relatif permisif terhadap politik uang dan pengertian politik uang yang masih multitafsir ikut memberi kontribusi mengapa politik uang semakin marak terjadi di Indonesia. Politik uang cenderung dianggap sebagai hal yang biasa baik oleh kandidat pemilu maupun oleh masyakat pemilih. Yang menjadi persoalan adalah apakah fenomena politik uang tersebut juga terjadi di Kota Bukittinggi? Jika ya, apakah politik uang telah mempengaruhi perilaku memilih masyarakat dalam pemilu legislatif di Kota Bukittinggi tahun 2014 lalu? Seperti diungkap oleh Blog Gurutomo dengan alamat blognya http://gurutomo.blogspot.co.id /2014/04/jangan-mau-jadi-caleg-pks-lagi.html 3 5 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Bukittinggi sebagai salah satu Kota Wisata terkenal di Indonesia, dihuni oleh beragama suku, ras dan agama. Meskipun mayoritas penduduknya berasal dari suku bangsa Minangkabau, tetapi terdapat juga banyak suku bangsa lain yang menetap di Bukittinggi seperti Suku Batak, Jawa, Tamil dan Tiong-Hoa. Selain itu masyarakat Bukittinggi dilihat dari asal luhaknya cukup beragam yaitu Luhak Agam (Kurai dan Non-Kurai), Luak Limopuluh Kota, Luhak Tanah Datar, Rantau Pariaman, Pesisir, Padang, Pasaman dan sebagainya. Mayoritas penduduk Kota Bukittingi adalah beragama Islam yaitu 97,98 % dan selebihnya beragama Khatolik, Protestan, Budha dan Hindu. Apakah latar belakang sosiologis masyarakat Kota Bukittinggi seperti ini mempengaruhi perilaku memilih mereka dalam pemilu? Jika dilihat dari komposisi penduduk Kota Bukittinggi yang berjumlah 98.505 orang dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,04 % dan kepadatan ratarata 3.905 jiwa per-Km. dengan tingkat kesejahteraan relatif tinggi dengan mata pencarian umum sebagai pedagang, pegawai, pengusaha industri kecil dan kerajinan serta jasa-jasa lainnya dan sebagian kecil petani, dengan jumlah penduduk miskin 6,40 ribu (6,77%), dengan indeks kedalaman kemiskinan 0,9, dan angka melek huruf 99.944. Apakah status ekonomi masyarakat Kota Bukittinggi seperti tergambar di atas turut mempengaruhi perilaku memilih mereka dalam pemilu 2004 lalu? Persoalan lain yang menarik dikaji adalah Kota Bukittinggi memiliki kepadatan penduduk yang tinggi namun partisipasi politik khususnya partisipasi memilih mereka sangat rendah. Mengapa partisipasi masyarakat dalam dalam pemilu DPRD Kota Bukittinggi sangat rendah? Mengapa terjadi perbedaan partisipasi yang mencolok antara pemilu DPRD Kota Bukittinggi dengan Pemilu DPRD Propinsi dan DPR? Faktor apakah yang menyebabkab rendahnya partisipasi memilih Kota Bukittinggi? Kesulitan dalam menentukan pilihan ketika memilih dalam pemilu kemungkinan juga Sumber: Website Pemerintah Kota Bukittinggi: http://www.bukittinggikota.go.id/ diakses pada tanggal 25 Oktober 2015 4 6 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 disebabkan oleh kesibukan penduduk Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014. Jumlah masyarakat Kota Bukittinggi yang berpartisipasi dalam Pemilihan DPRD Kota Bukittinggi pada Pemilu 2014 lalu hanya 25,63% (Data KPU Kota Bukittinggi 2014). Sedangkan untuk pemilihan DPRD Propinsi dan DPR masing-masing 60,8%. Bahkan dari jumlah yang ikut memilih tersebut, terdapat sebanyak 881 suara atau 4,22 % kertas suara tidak sah. Terdapat berbagai sebab kertas suara tidak sah, yaitu karena rusak dan dikembalikan tanpa dicoblos. Rendahnya tingkat partisipasi pemilih ini dan banyaknya kertas suara yang tidak sah dalam pemilu 2014 di Kota Bukittinggi kemungkinan besar disebabkan pemilih tidak memahami mekanisme mencoblos sebagaimana mestinya dan berdasarkan peraturan atau pemilih merasa kesulitan dalam menentukan pilihannya karena tidak mengenal calon dan partai-partai yang baru didirikan. Berbeda dengan sebagian besar masyarakat Sumatera Barat yang melakukan pemilihan pada tahun 2014, warga Kota Bukittinggi banyak berprofesi sebagai pedagang, pengusaha industri kecil menengah. Karena tingkat kesibukan dan tingkat alinasi politik yang tinggi, ada kemungkinan sebelum memilih mereka tidak memiliki informasi yang memadai baik tentang partai, calon maupun isu yang diangkat oleh partai peserta pemilu. Terbatasnya informasi ini juga dapat disebabkan oleh banyak faktor: Pertama, kampanye parti politik di Kota Bukittinggi hampir tidak pernah dilakukan di pasar-pasar atau lokasi-lokasi industri rumah tangga. Ketidakadaan kampanye ini menyebabkan para pemilih tidak dapat mengetahui program, visi dan misi serta profil calon dan isu serta manifesto partai peserta pemilu. Padahal kampanye partai politik dan calon dalam pemilu dilakukan untuk meyakinkan para pemilih bukan anggota partai untuk mendapatkan dukungan sebesar-besarnya, dengan menawarkan program, visi dan misi partai dan calon yang ikut berkompetisi. Apakah mininnya pengetahuan masyarakat tentang calon dan partai mempengaruhi 7 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 perilaku memilih masyarakat dan mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilu. Banyak faktor-faktor yang biasa dijadikan tolak ukur atau indikator dalam melihat bagaimana partisipasi memilih dan perilaku memilih masyarakat dalam pemilu kondisi demografis seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan lain-lainnya. Hal-hal tersebut dapat menjadi faktor determinan atau pembeda dalam mempengaruhi fluktuasi partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu. Apakah perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi seperti tergambar di atas juga dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas? Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memilih di Kota Bukittinggi dalam Pemilu Legislatif 2014. Hasil riset dapat digunakan ununtuk memastikan program dan kebijakan kepemiluan di Kota Bukittinggi tidak spekulatif, tetapi dikonstruksi berlandaskan pada argumen empirik dan rasional dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk menghasilkan pemilih yang rasional dan hasil pemilu yang berkualitas. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini akan memfokuskan perhatian pada dua jenis pertanyaan penelitian yaitu pertanyaan yang bersifaf umum dan khusus. A. Pertanyaan Umum Pertanyaan umum adalah pertanyaan penelitian yang berhubungan dengan partisipasi memilih masyarakat Kota Bukittinggi, yaitu: 1. Apa motivasi pemilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014? 8 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 2. Bagaimana pemetaan partisipasi memilih masyarakat Kota Bukittinggi berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi budaya (umur, gender, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, tempat tinggal, kondisi ekonomi keluarga saat pemilu) 3. Apa faktor yang membedakan atau mempengaruhi partisipasi memilih masyarakat Kota Bukittinggi pada Pemilu Legislatif 2014 lalu? 4. Bagaimana sikap masyarakat Kota Bukittinggi terhadap Politik Uang dalam mendapatkan dukungan suara dalam pemilu? B. Pertanyaan Khusus Pertanyaan khusus adalah pertanyaan penelitian yang berhubungan langsung dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi, yaitu: 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam Pemilu Legislatif 2014? 2. Kebijakan apa yang dapat diambil untuk menumbuhkan perilaku memilih yang rasional pada masyarakat Kota Bukittinggi? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah: 1. Untuk pemetaan partisipasi memilih masyarakat Kota Bukittinggi berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi budaya (umur, gender, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, tempat tinggal, kondisi ekonomi keluarga saat pemilu) 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang membedakan atau mempengaruhi partisipasi memilih masyarakat Kota Bukittinggi pada Pemilu Legislatif 2014 lalu? 3. Untuk mengetahui sikap masyarakat Kota Bukittinggi terhadap Politik Uang dalam mendapatkan dukungan suara dalam pemilu? 9 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 4. Untuk menjelaskan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam Pemilu Legislatif 2014? 5. Untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat diambil untuk menumbuhkan perilaku memilih yang rasional pada masyarakat Kota Bukittinggi? 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mendapatkan manfaat secara umum yaitu sebagai berikut: Penelitian tentang perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu politik secara ilmiah, khususnya terhadap teori perilaku memilih (voting behavior) dan konsep politik uang (voting buying). Selanjutnya hasil penelitian ini dapat menjadi bahan rekomendasi kebijakan bagi KPU dan statekeholder pemilu dalam meningkatkan partisipasi politik dan menciptakan perilaku memilih yang rasional. 10 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 2.1. Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang perilaku memilih di Indonesia dan di berbagai negara. Namun sampai saat ini belum banyak kajian yang khusus meneliti tentang perilaku memilih di Kota Bukittinggi. Oleh karena itu kajian ini akan mencoba memaparkan secara ringkas kajian-kajian yang berhubungan dengan perilaku memilih di Indonesia. Setiap kajian mempunyai kekuatan sendiri dari segi analisis, kerangka teori, serta metode yang digunakan. Terdapat beberapa kajian yang berkaitan dengan topik ini antara lain dilakukan oleh Afan Gaffar (1992), Josep Kristiadi (1993), Liddle dan Saiful Mujani (1999), Aris Ananta (2004), Aidinil Zetra (2005) dan Ali Nurdin (2014) Afan Gaffar (1992) melakukan kajian tentang perilaku memilih masyarakat pedesaan di Jawa yang memperlihatkan pola pemilihan yang secara berkelanjutan memilih partai politik yang sama dalam beberapa kali pemilu. Kajian ini dilakukan melalui metode survei dengan jumlah responden sebanyak 570 orang dan paling kurang berumur 25 tahun atau sudah kawin pada pemilu 1982. Tempat kajian adalah Desa Brobanti Yogyakarta. Dalam menjelaskan persoalan kajian Afan Gaffar menggunakan pendekatan gabungan antara pendekatan sosiologi dan psikologi dengan memilih empat 11 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 variabel bebas yaitu: keyakinan sosial agama, identifikasi partai dan pilihan pendukung, pola kepemimpinan, serta kelas dan status sosial. Temuan yang dikemukakan Afan Gaffar adalah: Pertama terdapat kecenderungan seseorang untuk mendukung dan memilih partai politik tertentu dipengaruhi oleh identifikasi dirinya terhadap dua aliran, yaitu Santri dan Abangan. Mereka yang mengidentifikasikan diri dengan Santri secara kuat cenderung memilih partai Islam (PPP), sementara yang mengidentifikasikan diri dengan Abangan secara kuat cenderung memilih partai bukan Islam (PDI). Sedangkan golongan yang mengidentifikasikan diri dengan Santri dan Abangan secara sederhana cenderung memilih Golkar. Kedua, terdapat hubungan antara pola kepemimpinan dengan perilaku memilih. Responden yang dekat dengan birokrat desa kemungkinan besar memilih partai pemerintah yaitu Golkar dan mereka yang dekat dengan pemimpin agama cenderung untuk memilih partai Islam (PPP). Apabila dalam analisis variabel orientasi sosial dikontrol, terdapat hubungan antara dua variabel yaitu responden Abangan yang dekat dengan birokrat desa cenderung memilih Golkar dan hampir setengah responden Santri yang dekat dengan birokrat memilih PPP. Yang lebih penting lagi, kebanyakan responden Santri yang dekat dengan pemimpin agama memilih PPP. Ketiga, tidak terdapat terdapat hubungan antara kelas (dengan indikator yaitu tingkat pendidikan, pemilikan tanah dan jenis pekerjaan) dengan pemilihan. Keempat, berdasarkan analisis diskriminan didapati bahwa variabel yang paling kuat secara berurutan mempengaruhi perilaku memilih pemilih PDI adalah orientasi sosial agama, kepemimpinan, identifikasi partai dan kelas. Di antara pemilih Golkar, kepemimpinan adalah variabel yang paling kuat mempengaruhi pemilih, diikuti oleh orientasi sosial agama, identifikasi partai dan kelas. Sedangkan variabel paling kuat mempengaruhi perilaku pemilih partai Islam, adalah orientasi sosial agama, kemudian diikuti oleh identifikasi partai, kepemimpinan dan kelas. 12 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Selain itu, terdapat juga kajian empirik tentang perilaku pemilih dalam pemilu Indonesia yang dilakukan oleh Josep Kristiadi (1993). Kristiadi melakukan penelitian tentang perilaku memilih masyarakat desa dan kota dalam pemilu Indonesia pada era Orde Baru dari tahun 1971 hingga 1987. Pemilu ini menurut beliau dilakukan secara tidak kompetitif dalam suasana kehidupan budaya yang feudalistik, kesadaran politik masyarakat yang masih rendah, khususnya pemahaman masyarakat tentang makna pemilu. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah survei, dengan pengambilan sampel secara acak di dua kawasan yaitu Kraton, Kota Yograkarta (mewakili kawasan kota) sebanyak 300 orang dan Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara (mewakili kawasan desa) sebanyak 278 orang dari populasi yang berumur minimum 21 tahun dan pernah mencoblos dalam pemilu. Analisis data dilakukan dengan metode analisis regresi berganda, khi kuasa dua dan beta. Kajian Kristiadi (1993) menghasilkan beberapa kesimpulan: Pertama, meskipun selama dua dekade terakhir ini terjadi perubahan sosial ekonomi yang cepat, hubungan sosial antara pimpinan dan pengikut masih bersifat paternalistik. Hubungan sosial tersebut mempengaruhi perilaku pemilih dalam mendukung dan memilih partai tertentu dalam pemilu. Di antara para pemimpin masyarakat, birokrat adalah tokoh yang paling berpengaruh berbanding tokoh-tokoh masyarakat lainnya seperti tokoh agama, pimpinan adat (tradisional) dan sebagainya. Kedua, identifikasi partai masyarakat cenderung mengikuti identifikasi partai tokoh yang menjadi patronnya. Implikasinya, dukungan dan pilihan politik seseorang terhadap partai politik tertentu dalam pemilu dipengaruhi oleh persepsi responden tentang identifikasi partai tokoh yang menaunginya. Ketiga, struktur sosial dan media massa tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap perilaku memilih seseorang. Oleh karena itu, kepatuhan dan identifikasi partai adalah variabel yang berpengaruh terhadap perilaku memilih seseorang. 13 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Studi perilaku memilih mulai menjadi trend pasca reformasi 1998 dengan diberlakukannya pelaksanaan Pemilu, Pilpres dan Pilkada secara langsung. Pemilu 1999 merupakan Pemilu yang benar-benar dapat menjadi sarana pelaksana kedaulatan rakyat, yang dilaksanakan dalam iklim kontestasi terbuka dan demokratis, lepas dari bayang-bayang hegemoni rezim dan mobilisasi kekuasaan layaknya pada masa Orde Baru. Pasca Pemilu 1999, periode awal reformasi dilalui dengan proses amandemen terhadap UUD 1945. Hasil amandemen ini mengamanahkan penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dan menjadi stimulus bagi diterbitkannya undang-undang yang juga mengharuskan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. Liddle dan Saiful Mujani (1999) melakukan kajian tentang perilaku pemilih dalam pemilu Indonesia 1999. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei. Sampel kajian dipilih melalui metode random sampling berlapis sebanyak 2,488 orang yang terbagi kepada 26 propinsi dengan mempertimbangkan jumlah penduduk setiap propinsi, kawasan kotaluar kota dan gender. Unit pensampelan utama (Primary sampling unit) dalam kajian ini adalah desa atau kelurahan. Dalam kajiannya Liddle dan Mujani (1999) menganalisis hubungan antara perilaku pemilih dalam memilih partai politik atau calon tertentu dengan tujuh variabel bebas yaitu: agama, kelas sosial, suku bangsa, hubungan patron klien kepemimpinan, identifikasi partai serta evaluasi terhadap keadaan ekonomi pemilih dan ekonomi negara (retrospective voting). Dalam analisisnya beliau membatasi hanya pada partai-partai yang memperolehi dukungan undi lebih dari 1% dalam pemilu 1999 yaitu PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN, PBB, PK, (Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP) dan Partai Nahdlatul Umat (PNU). Temuan kajian Liddle dan Mujani (1999) menunjukkan bahwa perbedaan agama pemilih yang dibagikan kepada dua kategori yaitu Islam dan bukan Islam, mempunyai hubungan yang positif dengan perbedaan 14 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 perilaku memilih. Dengan kata lain, pemilih Muslim cenderung memilih partai Islam dan sebaliknya pemilih bukan Muslim cenderung memilih partai bukan Islam, namun kecenderungan ini relatif lemah. Menurut beliau hubungan yang lemah antara variabel agama dengan pilihan partai pemilih di Indonesia disebabkan oleh kenyataan bahwa penganut agama bukan Islam adalah minoritas (sekitar 13%), sementara pemilih yang beragama Islam majoritas (lebih dari 50%) memilih partai bukan Islam yaitu PDIP, Golkar dan PKP. Yang menarik dari kajian ini adalah, di satu sisi, persentase golongan santri relatif besar di antara masyarakat Muslim di Indonesia namun di sisi lain majoritas dari mereka tidak mendukung partai-partai Islam. Liddle dan Mujani (1999) menegaskan bahwa majoritas (63%) pemilih PDIP adalah santri. Mayoritas pemilih partai-partai Islam yang santri tentu lebih besar lagi, yaitu rata-rata di atas 85%. Dengan demikian temuan kajian Liddle dan Mujani (1999) menolak anggapan bahwa PDIP adalah partai abangan. Selain itu, temuan lain dari kajian tersebut adalah faktor kelas sosial, suku bangsa, hubungan patron klien, kepemimpinan, identifikasi partai serta evaluasi terhadap keadaan ekonomi pemilih dan ekonomi negara (retrospective voting) sejak krisis keuangan berlaku, tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dengan pilihan pemilih terhadap partai politik tertentu. Namun Liddle dan Mujani (1999) menambahkan bahwa variabel kedekatan secara emosional terhadap pemimpin atau tokoh nasional dari partai politik tertentu, ternyata mempunyai pengaruh yang signifikan dengan perilaku memilih dalam pemilu 1999. Oleh karena itu Liddle dan Mujani (1999) menyimpulkan bahwa kekuatan partai politik di Indonesia akan ditentukan sejauh mana partai-partai tersebut mampu melakukan rekrutmen terhadap tokoh-tokoh yang popular di mata pemilih. Kemampuan elit partai untuk membangun citra positif terhadap tokoh partai dan kemampuan untuk mensosialisasikan citra positif tersebut melalui media massa merupakan 15 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 faktor penting kepada perkembangan dan kekuatan partai pada masa yang akan datang. Aris Ananta (2004) adalah sarjana lain yang juga melakukan kajian tentang perilaku memilih masyarakat Indonesia dalam pemilu 1999. Kajian Aris Ananta menggunakan pendekatan kuantitatif, di mana pengumpulan data yang diperolehi melalui kaedah siasatan dengan unit analisis orang perorangan. Temuan kajian beliau menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara variabel agama dan suku bangsa responden dengan perilaku memilih mereka dalam pemilu 1999. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa terdapat perbedaan kekuatan pengaruh agama dan suku terhadap perilaku memilih berdasarkan kepada variabel antara yaitu latar belakang sosioekonomi responden. Yang termasuk variabel sosioekonomi dalam kajian ini ialah: tingkat pendidikan, tempat tinggal di kota atau di luar kota, pendapatan perkapita serta jumlah penduduk miskin di suatu kawasan pemilu. Aris Ananta et al. (2004) mengatakan bahwa tingkat pendidikan secara perlahan tetapi pasti akan menggantikan peranan agama dan suku dalam mempengaruhi pola pemilihan di Indononesia pada masa mendatang. Dengan semakin berkurangnya jumlah mereka yang berpendidikan rendah di satu pihak diikuti dengan semakin banyaknya bagian mereka yang terdidik di atas peringkat Sekolah Menengah, maka pengaruh agama dan suku juga akan semakin berkurang. Aidinil Zetra (2005) meneliti perilaku memilih buruh migran di beberapa negara. Ia menemukan perilaku memilih pekerja migran di pelbagai negara menunjukkan bahwa migrasi mempunyai hubungan dengan perilaku memilih pekerja migran. Hubungan tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa variabel penjelas seperti sistem politik dan ekonomi di negara tujuan migrasi, jumlah penduduk yang bermigrasi, kecenderungan 16 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 politik dan kekuatan identifikasi partai para migran sebelum bermigrasi, perode menetap di negara tujuan migrasi dan tingkat pendidikan pekerja migran. Dari kajian tentang perilaku memilih pemilu di Indonesia yang mulai berkembang pada tahun 1990-an, terlihat bahwa paling tidak terdapat tiga pendekatan utama yang digunakan oleh para sarjana untuk menganalisis perilaku memilih, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi dan pendekatan ekonomi. Ketiga pendekatan ini saling melengkapi dan tidak semestinya bertentangan. 2.2 Kerangka Teori Kajian tentang perilaku memilih seseorang dalam pemilu telah banyak dilakukan. Menurut kajian yang dilakukan J.Kristiadi (1993), penelitian mengenai fenomena tersebut pertama kali dilakukan oleh Siegfield tahun 1913, yang masih menggunakan taburan manual dan membuat peta politik berdasarkan keputusan pemilu. Kemudian penyelidikan ini semakin berkembang di antaranya dilakukan oleh Ogburn (1929),Tingsten (1937), Gougel (1951), yang mula mengembangkan motivasi dan persepsi seseorang yang berhubungan dengan perilaku memilih. (Kristiadi 1993:21) Sementara penyelidikan tentang perilaku memilih yang lebih memfokuskan perhatian pada individu yaitu melalui wawancara, dilakukan oleh Merriam dan Gasnel (1924) di Chicago. Kajian ini mempunyai pengaruh besar terhadap penyelidikan tentang pemilihan yang lebih bertumpu pada proses internal seseorang, antara lain dilakukan oleh Lazarsfeld dan kawankawan (1940) dan Campbell dan kawan-kawan (1940) Secara umum dalam sejarah kajian demokrasi Barat terdapat paling kurang tiga pendekatan utama dalam kajian tersebut, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi dan pendekatan ekonomi. Masing-masing pendekatan tersebut akan dihuraikan secara ringkas sebagai berikut: 17 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 2.2.1 Pendekatan Sosiologi Pendekatan sosiologi diawali oleh Biro Penerangan Ilmu Sosial Universitas Colombia (Colombia’s University Bureau of Applied Social Science) atau lebih dikenal dengan kelompok Kolombia atau aliran pemikiran Kolombia (Colombia School). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem berhirarki di mana status dan derjat tiap-tiap individu hubungan dengan perilaku memilih mereka. Analisis tentang kelompok yang terorganisasi (formal) seperti serikat buruh, gereja dan sebagainya, menurut pendukung pendekatan ini adalah sangat penting karena kelompok tersebut merupakan organisasi yang memiliki tujuan, kepemimpinan, aktivitas rutin, dan sistem komunikasi internal. Ciri-ciri inilah yang mempengaruhi persepsi individu atau kelompok terhadap lingkungannya. Selanjutnya, pendekatan ini memandang kelompok- kelompok kecil, seperti keluarga, kelompok bermain, kelompok pelajar adalah sebagai unit terkecil dari masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan ini biasanya membentuk peta masyarakat dan kemudian menggunakan peta tersebut sebagai dasar untuk memberikan dukungan terhadap partai tertentu. Kelompok Kolombia memulai kajiannya tentang pemilihan dalam pemilu Amerika Serikat tahun 1940 dan menerbitkan dua buku, yaitu The People’s Choise (1948) dan Voting (1952). Dalam buku tersebut diungkapkan bahwa perilaku memilih seseorang terhadap partai politik tertentu mepunyai hubungan yang kuat dengan status sosioekonomi (pendidikan, pendapatan dan kelas) agama dan tempat berdomisili (kota dan luar kota) (Niemi dan Weisberg 1976:11). Penulis buku ini menyimpulkan bahwa ciri-ciri sosial seseorang akan menentukan kecenderungan memilih: “A person’s think politically, as he is socially”. Jadi perilaku memilih ditentukan oleh faktorfaktor eksternal seseorang. 18 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Kemudian kajian ini dikembangkan dengan menggabungkan variabel tersebut dalam suatu indeks yang disebut Index of Political Predisposition (IPP). Misalnya, penduduk beragama Protestan yang bertempat tinggal di desa dan mempunyai status sosioekonomi yang tinggi cenderung memilih Partai Republikan. Namun Niemi dan Wiesenberg (1976) mengkritik bahwa IPP tidak mampu menjelaskan mengapa pemeluk agama Protestan lebih ramai memilih partai Republikan berbanding pemeluk agama Katolik. Sementara di Asia, kajian yang dilakukan oleh Watanuki (1974) tentang perilaku memilih dalam pemilu di Jepang tahun 1960, menunjukkan bahwa kebanyakan pekerja Jepang memilih partai LDP (Liberal Democratic Party) yang konservatif. Beliau membagikan pekerja Jepang kepada beberapa kategori, yaitu: pekerja dengan skil dan pekerja tanpa skil, peniaga dan industri, petani dan nelayan. Beliau mendapatkan bahwa pekerja tanpa skil memilih Partai Sosialis dan Konservatif, yaitu 7 berbanding 5. Sedangkan pekerja dengan skil memilih partai sosialis dan konservatif yaitu 5 berbanding 3. Kategori lain yaitu pekerja sektor perniagaan dan sektor pembuatan, petani dan nelayan sebagai pendukung LDP dengan peroleh undi jauh lebih unggul berbanding Partai Sosialis, masing-masing 4 dan 5 berbanding 1. Kasus lain adalah tingkah laku memilih di India. Kajian yang dilakukan oleh Rajni Kothari (1974), mengungkapkan bahwa para pekerja luar kota di India tidak mempunyai kebiasaan memilih partai politik berdasarkan kelas. Tetapi perilaku memilih para pekerja India di kawasan kota pula, dipengaruhi oleh kedudukan sosioekonomi mereka. Rajni Kothari (1974) mengungkapkan bahwa Partai Marxis Komunis Radikal dan dua partai beraliran sosialis berhasil memperolehi dukungan 25.00% hingga 40.00% pekerja dengan skil dan tanpa skil di kawasan kota. Oleh karena itu, beliau menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku memilih para pekerja di India berdasarkan tempat tinggal, yaitu kota dan luar kota dan status 19 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 sosioekonomi. Di kawasan kota, faktor status sosioekonomi pekerja mempengaruhi perilaku memilih mereka. Sedangkan di kawasan luar kota, faktor status sosioekonomi tidak mempengaruhi pilihan partai pekerja. 2.2.2 Pendekatan Psikologi Pendekatan psikologi ini diperkenalkan oleh Pusat Penyelidikan dan Survei Universiti Michigan (University of Michigan’s Survey Research Centre). Menurut penggagasnya pendekatan psikologi dimaksudkan untuk melengkapi kekurangan pendekatan sosiologi. Salah satu kekurangan tersebut adalah dari segi metodologi, yaitu kesukaran dalam menentukan kriteria pengelompokan masyarakat. Misalnya menurut pendekatan sosiologi, pilihan pemilih terhadap partai tertentu dipengaruhi oleh kelas sosial ekonomi mereka, namun kasus di Britain menunjukkan kecenderungan pengaruh kelas sosial ekonomi terhadap perilaku memilih semakin lemah. Salah satu contoh dari kelemahan pendekatan psikologi ditunjukkan oleh temuan kajian Butler dan Stoke (1969) bahwa masyarakat kelas bawah di Britain ternyata tidak otomatis mendukung partai buruh. Pendekatan psikologi pada awalnya dikembangkan di Amerika Serikat melalui kajian Campbell et al. yang terkenal yaitu The American Voter (1960). Hasil kajian mereka menunjukkan bahwa pemilih Amerika tidak begitu peka dan berpengetahuan tentang politik sabagaimana yang diperkirakan. Selain itu beliau menemukan bahwa sebagian dari pemilih Amerika memilih partai politik yang tidak menggambarkan keinginan dan pilihan mereka. Pemilih Amerika memiliki kesetiaan yang panjang terhadap partai politik tertentu dan hal ini mempengaruhi sikap dan perilaku politik mereka di samping senantiasa memilih partai tersebut dalam setiap pemilu (Campbell et al. 1960:121). Faktor isu dan calon meskipun dapat mempengaruhi pilihan pemilih sewaktu pemilu, namun ia dianggap bersifat sementara dan tidak akan merusak kesetiaan dan identifikasi terhadap partai tersebut. 20 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Ghazali Mayudi (1999:27) menjelaskan bahwa walaupun aspek sikap terhadap calon, sikap terhadap isu dalam negeri, sikap terhadap isu luar negeri, sikap terhadap manfaat kelompok dan sikap terhadap partai sebagai pemerintah memainkan peran penting, tetapi yang mempengaruhi pilihan pemilih dan membentuk persepsi mereka tentang calon dan isu adalah identifikasi partai. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pendekatan psikologi menekankan pada tiga aspek, yaitu identifikasi partai seseorang terhadap partai politik tertentu, sikap terhadap calon dan sikap terhadap isu politik. Misalnya kalau seseorang mempunyai kecenderungan mengidentifikasikan diri dengan Partai X dan kemudian terpengaruh oleh calon serta isu yang diangkat, maka dalam pemilu kemungkinan besar akan memilih Partai X. Begitu pula sebaliknya, apabila pemilih mengidentifikasikan diri dengan Partai Y dan terpengaruh oleh calon dan isu yang ditimbulkan partai ini maka mereka akan cenderung memilih Partai Y. Namun apabila pemilih tidak mengidentifikasikan diri dengan partai politik tertentu, maka ia akan membuat pilihan dengan dipengaruhi oleh faktor calon dan isu. Bagaimana sebenarnya proses terbentuknya perilaku memilih tersebut? Niemi dan Weisberg (1976:12) menguraikan seperti apa yang dijelaskan oleh pendukung model psikologi ini bahwa proses terbentuknya perilaku memilih dengan istilah “Funnel of Causality”. Pengandaian ini dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena pemilihan yang dalam model terletak paling atas dari funnel (cerobong). Digambarkan bahwa dalam cerobong terletak poros yang mewakili dimensi masa. Kejadian-kejadian yang saling berinteraksi ini bergerak dalam dimensi masa tertentu yang dimulai dari mulut hingga ujung cerobong. Mulut cerobong adalah latar belakang sosial (agama, kaum dan suku), status sosial (pendidikan, pekerjaan dan kelas) dan latar belakang sosial orang tua (kelas dan dukungan partai). Semua unsur tadi mempengaruhi identifikasi partai yang merupakan tahap 21 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 berikutnya dari proses tersebut. Pada tahap selanjutnya identifikasi partai akan mempengaruhi sikap terhadap calon dan isu-isu politik. Sedangkan proses yang paling dekat dengan perilaku pemilih adalah kampanye sebelum pemilu maupun peristiwa-peristiwa yang diberitakan oleh media massa. Masing-masing unsur dalam proses tersebut akan mempengaruhi perilaku pemilih. Meskipun demikian menurut Niemi dan Weisberg kelompok Michigan lebih menumpukan perhatian kepada partai, calon dan isu dari latar belakang sosial dan komunikasi yang dekat dengan ujung cerobong. Dalam banyak kasus, di mana sikap terhadap isu dan calon sangat kuat, peranan identifikasi partai mungkin menurun atau kurang signifikan untuk menjelaskan perilaku pemilih. Namun dalam keadaan di mana individu tidak memiliki persepsi yang utuh terhadap isu dan calon, peranan identifikasi partai menjadi sangat besar. Dalam kasus ini, penulis The American Voter mengatakan bahwa: If some has little perception of the candidates, of the record the partaies, of public issues or questions of interest, his attitudes toward these things may play less important intervening role between party identification and the vote. Presumably, among people of relatively impoverished attitude who yet have a sense of partaisan loyalty, party identification has a more direct influence on behavior than it has among people with a well-elaborated view of what their choice concerns. (Campbell at al. 1960:136) Dari kenyataan di atas dapat diketahui bahwa kekuatan dan tujuan identifikasi partai sesungguhnya sangat penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku pemilih. Teori identifikasi partai yang dihasilkan oleh kelompok Michigan telah mencetuskan serangkaian kajian tentang pemilu baik mengokohkan maupun mengkritik serta melengkapi teori yang asli (Ghazali Mayudin 1999:31). Di antara kajian tersebut dilakukan oleh Butler dan Stokes (1969), Golberg (1969), Franklin (1984), Fiorina (1981) dan sebagainya. 22 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Kritik terhadap pendekatan ini adalah menyangkut hubungan antara sikap dan perilaku dengan proses pembuatan keputusan. Afan Gaffar (1992:9) misalnya mempersoalkan, manakah yang lebih dahulu antara sikap atau perilaku individu ketika ia membuat suatu keputusan? Selain itu, menurut Affan pendekatan psikologi dikritik karena terlalu menekankan perhatian kepada analisis di level mikro, yang akhirnya menyebabkan kesulitan dalam membuat kesimpulan dari analisis di peringkat mikro kepada analisis makro. Dengan kata lain, apakah sikap dan perilaku individu mencerminkan sikap dan perilaku kelompok. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang mendasar antara pendekatan sosiologi dan psikologi adalah: pendekatan sosiologi lebih melihat perilaku politik dari segi luaran diri seseorang dan kemudian menghubungkannya dengan perilaku memilih. Sementara pendekatan psikologi lebih melihat perilaku politik dari persepsi seseorang mengenai masalah-masalah politik. Perasaan, pengalaman dan penafsiran seseorang terhadap peristiwa-peristiwa politik menurut pendekatan psikologis secara signifikan mempengaruhi perilaku politik. 2.2.3 Pendekatan Ekonomi Dalam perkembangan selanjutnya, kedua pendekatan tersebut kurang memuaskan para sarjana yang meneliti perilaku memilih. Oleh karena itu, muncul pemikiran baru yang menggunakan pendekatan ekonomi atau sering disebut pendekatan rasional. Tokoh dalam pendekatan ini antara lain Downs dengan kajiannya “An Economic Theory of Democracy”(1957). Dalam buku ini Ia menekankan kepada dua pelaku politik utama yaitu partai politik dan pemilih dengan asumsi bahwa: Pertama, partai politik atau calon-calon yang berkompetisi dalam sistem demokrasi merencanakan kebijakan-kebijakan yang diyakini dapat memaksimumkan dukungan suara. Kedua, pemilih akan bertindak secara rasional untuk memaksimumkan utilitasnya atau kepuasan 23 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 yang diperolehi dari ganjaran dengan memilih partai yang dianggap dapat memenuhi kepentingannya (Downs 1957:295)1 Menurut teori ini, seseorang individu akan bertindak secara rasional apabila ia meminimumkan kosnya untuk mencapai suatu tujuan. Seorang pemilih akan memilih partai yang mempunyai perjuangan yang hampir sama dengan tujuannya. Dia akan mempertimbangan beberapa hal antara lain apakah keuntungan yang diperoleh seandainya partai yang didukung itu menang dan sebaliknya. Apakah kerugian yang akan ditanggung jika partai yang didukungnya kalah. Selain itu menurut Downs (1957) seorang individu yang rasional akan mempertimbangkan kemungkinan pilihannya dalam menentukan kemenangan atau kekalahan suatu partai. Jika seandainya partai yang ia dukung itu menang walaupun tanpa pilihnya ataupun partai akan kalah walaupun ia memilihnya, maka ia akan bertindak secara rasional dengan tidak ikut memilih. Ini karena tenaga dan waktunya untuk hadir di TPS tidak mempengaruhi keputusan pemilu ditempatnya. Partai yang ia dukung akan menang tanpa ia mengeluarkan biaya apapun. Kemenangan partai yang ia dukung adalah kemenangan kolektif, yakni ia juga dapat menikmati manfaat dari pembangunan yang dilakukan partai yang menang, seperti pembangunan jalan raya, sekolah-sekolah, rumah sakit dan lain-lain fasilitas publik, baik ia memilih ataupun tidak (Dawse dan Hughes 1972:301).2 Model ekonomi ini juga dapat menjelaskan perbedaan partisipasi politik yang terdapat antara kelas-kelas sosial (pendidikan, pendapatan, dan status pekerjaan). Individu yang berada pada kelas atas, yaitu mempunyai Berdasarkan kepada dua andaian tersebut, Downs (1957) telah membina 25 hipotesis iaitu 7 hipotesis berdasarkan pada andaian pertama, 15 hopotesis berdasarkan andaian kedua dan 3 hipotesis berdasarkan kepada kedua-dua andaian. Untuk keterangan lanjut mengenai hipotesis-hipotesis ini secara terperinci sila rujuk Downs (1957:295:300). 2 Ini bersamaan dengan hipotesis kedua belas yang dibentuk Downs (1957:298) yaitu setiap pemilih menyadari bahwa nilai suaranya dalam setiap pemilu adalah sangat kecil, oleh itu dorongan (insentif) setiap warga negara untuk mendapatkan informasi sebelum memilih adalah kecil. 1 24 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 tingkat pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang baik dan pendapatan yang tinggi, mempunyai kecenderungan untuk memperoleh, menilai serta membandingkan informasi yang ada. Individu yang berpendidikan tinggi memperoleh informasi baru secara mudah sebagai hasil status sosioekonominya. Oleh karena biaya partisipasi dalam politik bagi individu ini adalah rendah maka kadar partisipasi politik adalah diperkirakan tinggi (Dowse dan Hughes 1972:303-304). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan ekonomi mengasumsikan bahwa setiap individu yang melibatkan diri dalam politik akan memaksimumkan manfaat yang akan diperoleh dan meminimumkan biaya yang dikeluarkannya. Budge dan Farlie (1977:115116) menyebutkan individu dalam model ekonomi adalah seorang yang cost conscious, karena individu itu mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap biaya yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan sesuatu tindakan. 2.2.4 Politik Uang Praktik vote buying dianggap dapat membuat “underprovision of public goods” (Robinson and Verdier, 2003: 2), “damage the economy” (Baland and Robinson, dalam Schaffer, 2007: 114-126), “create incentives for politicians to promote underdevelopment” (Boix, 2007: 590), atau “undermine political equality and democracy” (Stokes, dalam Schaffer, 2007: 224-236). Sejauh ini belum ada kesepakatan di antara para ilmuwan politik mengenai hubungan politik uang dengan perilaku memilih, namun karena dilihat dari fenomena politik pada saat pemilu legislatif 2014 lalu dimana calon-calon yang unggul dalam pemilu 2014 adalah calon yang melakukan taktik politik uang sebagaimana tergambar pada latar belakang masalah penelitian ini. Menurut Kramon (2009: 1) seperti dikutip Nurdin (2014) sejauh ini belum ada kesimpulan yang meyakinkan bahwa vote-buying memiliki pengaruh nyata terhadap perilaku memilih. Menurut Nurdin penelitian 25 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 fenomena vote buying di Kenya, mempertanyakan apakah politik uang mempengaruhi perilaku politik, terutama dalam konteks pemilihan umum yang rahasia dan bersifat sukarela, mengingat hanya sedikit teori yang memiliki pandangan sama tentang hal tersebut. Nurdin mengutip Kramon yang mengatakan bahwa: “There is little theoretical convergence regarding the relationship of vote buying to voting behavior, partaicularly in the context of the secret ballot and voluntary voting. Does vote buying influence the political behavior of potential voters? And if so, why?” (Kramon, 2009: 1). Sarjana lain yang meneliti politik uang dan perilaku memilih adalah Stokes (2005). Dampak vote buying menurut Stokes masih perlu dipertanyakan karena sesungguhnya tidak ada daya paksa untuk memperoleh nilai tukar politik uang, mengingat pemungutan suara dilakukan secara rahasia dan sukarela. Pihak yang memberikan uang tidak pernah tahu secara persis apa yang dilakukan pemilih di bilik suara. Karena itu, Stokes menyimpulkan bahwa kaitan antara vote-buying dan perilaku memilih adalah sebuah teka-teki atau puzzling (2005: 14). Bratton (2008) menyatakan bahwa uang atau barang yang diberikan kepada pemilih tidak menjamin pemilih akan mendukung calon yang memberikan uang atau barang tersebut. Penelitiannya di Nigeria, menyimpulkan bahwa “compliance with the wishes of politicians is not assured” (Bratton, 2008: 15). Namun demikian, Bratton akhirnya mengatakan bahwa praktik vote-buying berdampak signifikan terhadap peningkatan partisipasi pemilih dan loyalitas partaisan. Pemilih yang menerima uang atau materi dari peserta pemilu merasa lebih aman pergi ke bilik suara pada hari pemilihan, namun belum tentu memilih sesuai permintaan pihak yang memberi uang atau materi. 26 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Pendapat yang mengatakan bahwa vote-buying memiliki pengaruh penting terhadap perilaku memilih disampaikan antara lain oleh Vicente. Nurdin (2014) mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan Vicente di Afrika Barat, menemukan bahwa praktik vote-buying terbukti membuat pemilihan umum lebih bergairah. Namun demikian, dalam penelitian berikutnya yang dilakukan bersama Wantchekon, Vicente menyimpulkan bahwa praktik vote--‐buying tidak selamanya “homogeneously effective” terhadap perilaku memilih, bahkan di antara pemilih miskin di daerah yang pembangunan ekonominya terhitung rendah. Mereka juga menyimpulkan bahwa “... indicate that the use (by politicians) and effects (on voters) of vote buying can be controlled with civic campaigns around elections” (Vicente dan Wantchekon, 2009: 18). Dalam penelitian di Afrika Barat tersebut, pendidikan politik diduga sebagai faktor yang menentukan terhadap efektif tidaknya politik uang dalam mempengaruhi preferensi pemilih. Semakin gencar kampanye sipil untuk meningkatkan kesadaran politik pemilih, maka tingkat efektivitas politik uang untuk mengubah perilaku memilih akan semakin lemah. Sebaliknya di tempat kesadaran politik masyarakatnya masih rendah, politik uang dapat menjadi alat yang efektif untuk mengubah preferensi dan pilihan politik pemilih. Nurdin (2014) dalam disertasinya mengatakan bahwa penelitian yang melihat adanya pengaruh politik uang terhadap perilaku memilih dilakukan oleh Schaffer (2002; 2005; 2007). Schaffer melakukan penelitian di beberapa negara Asia. Menurut Schaffer, respons pemilih terhadap politik uang dapat berbeda-beda di setiap masyarakat tergantung kepada karakteristik sosial dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Dikatakan, “vote buying carries different meanings in different historical and cultural contexts” (Schaffer, 2005: 1). Pemberian uang atau materi oleh kandidat pemilu kepada calon pemilih dapat dianggap sebagai sumbangan, penghargaan, upah, tebusan, 27 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 atau penawaran, tergantung kepada tata nilai dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian dampak praktik politik uang juga sangat ditentukan oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dari masing-masing masyarakat. Nurdin mencontohkan seorang tamu di Taiwan memiliki kebiasaan untuk memberikan hadiah kecil kepada tuan rumahnya. 2.2.5 Penilaian Terhadap Kinerja Pemerintah Teori utilitas dalam ekonomi adalah berdasarkan kepada asumsi bahwa seseorang individu akan memperoleh kepuasan dari penggunaan suatu barang atau jasa. Menurut Curry dan Wade (1968:5-6), semakin banyak jasa yang diperoleh dalam satu unit waktu tertentu, maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan yang dinikmati oleh seseorang. Konsep pelayanan dan kepuasan ini menurutnya dapat digunakan dalam menerangkan partisipasi seseorang dalam proses politik. Jika dalam bidang ekonomi seseorang mendapat utilitas melalui penggunaan suatu barang atau jasa, maka dalam politik juga diasumsikan pelaku politik mendapat utilitas melalui cara yang sama seperti yang dilakukan oleh seorang pelaku ekonomi. Mereka mencoba membuat pertukaran pemilihan untuk mendapatkan ganjaran yang lebih. Pemikiran tersebut hampir sama dengan pandangan Anthony Downs (1957) dalam bukunya An Economic Theory of Democracy menekankan perhatian kepada dua pelaku yaitu: pertama, partai politik atau calon-calon yang berkompetisi dalam sistem demokrasi menyarankan kebijakankebijakan yang diyakini dapat memaksimumkan suara yang diperoleh. Kedua, setiap individu pemilih, akan bertindak secara rasional untuk memaksimumkan kepuasan yang diperoleh dari ganjaran dengan memilih partai yang dianggap mampu memperjuangkan kepentingannya. Menurut teori ini seorang pemilih akan memilih partai yang memperjuangkan tujuannya. Pemilih akan mempertimbangkan apakah manfaat yang akan didapatkan seandainya partai yang didukungnya menang dan sebaliknya, 28 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 apakah biaya yang terpaksa ditanggungnya seandainya partai yang didukungnya itu kalah. Teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi pada pemilu 2014 dimana partai pemerintah yang sedang berkuasa seperti Partai Demokrat tidak lagi mendapat dukungan dari pemilih. Berdasarkan teori ini maka penilaian pemilih terhadap kinerja pemerintah dalam memulihkan keadaan ekonomi, keseriusan dalam membasmi korupsi, kolusi dan nepotisme, kesungguhan dalam melaksanakan agenda reformasi serta memperjuangkan kesejahteraan dan keselamatan masyarakat dan sebagainya akan menjadi faktor penentu dalam mendukung dan memilih partai pemerintah dalam Pemilu 2014. Sekiranya pemilih mempunyai penilaian yang positif terhadap kinerja pemerintah, besar kemungkinan mereka akan memilih partai-partai yang pemimpinnya sedang memerintah seperti Partai Demokrat yang merupakan partai yang diketuai Sosilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, jika penilaian pemilih negatif terhadap kinerja pemerintah maka kemungkinan mereka tidak akan mendukung partai tersebut. 2.3 Perilaku Memilih dan Pertisipasi Politik Perilaku memilih merupakan bentuk dari partisipasi politik dan merupakan bentuk partisipasi yang paling elementer dari demokrasi. Partisipasi politik termasuk di dalamnya partisipasi dalam pemilu adalah tindakan seorang warga negara biasa yang dilakukan secara sukarela untuk mempengaruhi keputusan-keputusan publik (Verba dan Nie, 1972; Parry, 29 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Moyser, dan Day 1992). Partisipasi adalah tindakan bukan maksud, niat, sikap atau perkataan.3 Partisipasi politk dalam pemilu dalam bentuk keikutsertaan dalam mencoblos partai atau calon adalah salah satu bentuk dari partisipasi politik. Bentuk-bentuk lain dari partisipasi politik seperti kampanye partai politik, menyumbang dana kampanye, membantu kegiatan partai politik, ikut pawai partai politik, lobby dll. Bentuk partisipasi politik dalam Pemilu adalah yang paling lumrah dan biasanya dimanapun dalam demokrasi di dunia, paling banyak diikuti oleh warga negara4. Pertanyaan penting terhadap partisipasi politik dalam pemilu adalah mengapa seseorang memilih partai politik atau calon tertentu dan bukan partai politik dan calon yang lain. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilihan politiknya dalam Pemilu. Hal-hal ini kemudian yang melahirkan konsep perilaku memilih atau voting behavior. Perilaku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Dalam definisi ini mengandung nilai bahwa perilaku merupakan reaksi terhadap stimulus baik secara internal (psikologis) maupun eksternal (sosiologis). Sementar itu, memilih dimaksudkan sebagai proses dalam Pemilu, Pilpres atau Pilkada. Aidinil Zetra dalam penelitiannya tentang perilaku memilih buruh migran Indonesia di Malaysia mendefinisikan perilaku memilih sebagai proses penentuan keputusan seseorang untuk memilih (atau tidak memilih) partai atau kandidat tertentu dalam sebuah pemilihan umum5. Sementara, Ramlan Subakti mengartikan perilaku memilih adalah aktifitas pemberian Mujani, Op.Cit, Hal. 4. Ibid. Hal. 5. 5 Aidinil Zetra, 2005, Perilaku Memilih Buruh Migran Indonesia di Malaysia dalam Pemilu 2004. Tesis Master di National University of Malaysia. 3 4 30 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) di dalam suatu pemilihan umum. Pemilih diartikan semua pihak yang menjadi tujuan utama kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan memberikan suaranya6. Secara umum tidak ada perbedaan signifikan di antara ilmuwan terhadap definisi perilaku memilih. Perilaku memilih didefinisikan sebagai proses penentuan pilihan politik dalam pemilu. Maksud proses disini adalah adanya faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilihan politiknya, apakah memilih partai A atau partai B, apakah memilih kandidat A atau kandidat B. Faktor-faktor ini yang dalam definisi awal dimaknai sebagai rangsangan atau stimulus. 2.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis utama dalam penyelidikan ini adalah bahawa : H1 Terdapat hubungan yang signifikan antara Faktor Sosio : Demografi dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 H1.1 : Terdapat hubungan yang signifikan antara umur responden dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 H1.2 : Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin responden dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 H1.3 : Terdapat hubungan yang signifikan antara negeri asal responden dengan dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi 6 Ramlan Subakti. 1997. Partai, Pemilih, dan Demokrasi. Jakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 170. 31 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 dalam pemilu Legislatif 2014 H1.4 : Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan responden dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 H1.5 : Terdapat hubungan yang signifikan antara agama responden dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 H1.6 : Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan responden dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 H1.7 : Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan responden dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 H2 : Terdapat hubungan yang signifikan antara identifikasi kepartaian dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Terdapat hubungan yang signifikan antara penilaian terhadap H3 kondisi sosial ekonomi daerah perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014. H4 : Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap masyarakat terhadap politik uang daerah perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014. Hipotesis tersebut dapat digambarkan dalam bentuk hipotesis geometrik pada Gambar 1 sebagai berikut: 32 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Faktor Sosio Demografi Identifikasi Kepartaian Perilaku Memilih Penilaian terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Daerah Sikap terhadap Politik Uang Gambar 1: Model Hipotesis Geometrik 33 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 3.1. Pendekatan dan Tipe Penelitian Penelitian tentang perilaku memilih merupakan penelitian dalam tradisi/paradigma behavioralisme. Behavioralisme lahir karena adanya ketidakpuasan kalangan sarjana politik terhadap prosedur atau cara melakukan studi politik tradisional yaitu salah satunya ketidakpuasan terhadap analisis yang sifatnya semata-mata deskriptif1. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang dilengkapi dengan data-data kualitatif. Metode penelitian kuantitatif diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada menggunakan populasi atau instrumen sampel penelitian, tertentu, analisis pengumpulan data data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan2. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini adalah penelitian eksplanatif Penelitian Eksplanatif atau yang bersifat menjelaskan, yaitu penelitian yang dapat dilakukan kalau pengetahuan tentang masalahanya sudah cukup, artinya sudah ada beberapa teori tertentu dan sudah ada berbagai penelitian empiris yang menguji berbagai hipotesa tertentu sehingga terkumpul Gaffar, Op.Cit, Hal. 36 Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: CV. Alfabeta. Hal. 8 1 2 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 34 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 berbagai generalisasi empiris. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji berbagai hipotesa tertentu dengan maksud membenarkan atau memperkuat hipotesa itu. Mencari sebab-musabab dari suatu gejala. Menentukan sifat dari hubungan antara satu atau lebih gejala atau variabel terikat dengan satu atau lebih variabel bebas. Penelitian ini dimasudkan untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi. Secara khusus penelitian ini menjelaskan pengaruh faktor sosio-demografi, identifikasi kepartaian, faktor penilaian terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi dan politik uang terhadap perilaku memilih. Untuk memahami fenomena tersebut digunakan metode survei dengan mengumpulkan data empiris melalui kuesioner di lapangan. Alasan menggunakan metode survei karena unit analisisnya adalah individu yaitu pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif Tahun 2014. 3.2. Unit Analisis, Populasi dan Sampel Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu yang terdaftar dalam Pemilu Legislatif di Kota Bukittinggi pada tanggal 9 April 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah Populasi : DPT (79.481) Sampel : Metode pengambilan sample dengan rumus Slovin (n= N = jumlah populasi n = jumlah sampel yang dicari (d)2 = presisi (ditetapkan 5%) dengan tingkat kepercayaan 95% yaitu 0,05 Jadi Sampel = 380 orang KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 35 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi3. Sampel untuk penelitian kuantitatif dengan metode survey dipilih dari warga Kota Bukittinggi yang telah terdaftar dalam Pemilu 2014 baik menggunakan hak pilihnya maupun tidak. Teknik pemilihan sampel menggunakan teknik Probability Sampling dengan penggabungan beberapa metode berikut: Pemilihan Kecamatan dan Kelurahan total sampling Pengertian dari total sampling sendiri adalah memilih secara keseluruhan kecamatan dan kelurahan yang ada di daerah penelitian untuk dijadikan sebagai sample penelitian, hal ini dikarenakan sedikitnya jumlah kecamatan dan kelurahan yang ada di suatu daerah tempat penelitian atau melihat kepada tingkat populasi yang ada di kelurahan atau kecamatan yang ada didaerah tersebut. Pemilihan Rumah Tangga: Systematic Sampling Dalam pemilihan rumah tangga yang akan di pilih menjadi sample maka teknik systematic sampling menjadi pilihan yang digunakan, yaitu dimana teknik ini berupa penarikan sample dengan cara mengambil setiap kasus (nomor urut) yang kesekian dari daftar populasi. Penentuan Gender dengan Proporsional sampling Dalam menentukan gender pun digunakan proporsional sampling yaitu, Teknik ini menghendaki cara pengambilan sampel dari setiap sub populasi dengan memperhitungkan besar kecilnya sub populasi tersebut. Cara ini dapat memberi landasan generalisasi yang lebih dapat dipertanggung jawabkan dari pada apabila tanpa memperhitungkan besar kecilnya sub populasi dan setiap sub populasi. 3 Sugiyono, Op.Cit, Hal. 81 KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 36 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Pemilihan Responden Systematic Sampling Pada pemiliha responde makan penggunaan systematic sampling kembali digunakan yaitu, Prosedur ini berupa penarikan sample responden dengan cara mengambil setiap kasus (nomor urut) yang kesekian dari daftar populasi. Instrumen untuk mendapatkan data dalam penelitian ini digunakan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan untuk setiap responden. Kuesioner penelitian disusun dengan terlebih dahulu menyusun indikator disetiap variabel penelitian dengan tujuan agar setiap variabel dapat diukur secara tepat secara kuantitatif. Penyebaran kuesioner dilakukan oleh 10 enumerator yang telah terlebih dahulu dilatih yang dipimpin oleh satu orang koordinator dan 1 orang supervisor. Supervisor melakukan spot-check secara acak terhadap 20 responden untuk memastikan bahwa data diperoleh secara benar sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. 3.3 Sumber Data Sumber data dalam riset ini terdiri dari: 3.3.1 Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diambil tidak langsung kepada sumbernya. Rincian data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah: 1. Dokumen-dokumen yang terkait profil daerah penelitian yaitu Kota Bukittinggi seperti: 1) Kota Bukittinggi dalam Angka 2014. 2) Rencana Strategi (Renstra) (rencana-rencana strategik (strategic plans), sasaran strategik, inisiatif strategik dan target berjangka menengah). 3) Laporan eavaluasi hasil Pemilu 2014. KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 37 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 3.3.2 Data Primer Data primer adalah data yang diambil langsung oleh peneliti kepada sumbernya tanpa ada perantara. Rincian data primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: 1. Informasi tentang identitas responden 2. Informasi tentang partisipasi politik, partisipasi memilih masyarakat dalam pemilu 3. Informasi tentang minat politik, persepsi dan sikap masyarakat pemilih tentang politik uang dan sebagainya. 4. Informasi yang terkait dengan faktor-faktor mempengaruhi perilaku memilih (Sosio Demografi, Identifikasi Partai, Kinerja Pemerintah Daerah, Politik Uang) 3.4 Teknik Pengumpulan Data Oleh karena pendekatan penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif maka teknik pengumpulan data penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.4.1 Teknik Kuesioner Kuesioner bertujuan untuk mendapatkan data tentang identitas responden, persepsi, opini, dan sikap responden terhadap perilaku memilih, partisipasi politik, politik politik uang, identifikasi partai dan sebagainya 3.4.2 Teknik FGD FGD bertujuan untuk mendapatkan informasi tambahan dan pendalaman terhadap temuan yang menonjol dari deskripsi hasil kuesioner. Melalui FGD dikumpulkan juga informasi tentang pendapat peserta tentang pejelasan yang dapat diberikan secara kualitatif terhadap hasil penelitian. KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 38 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Selain itu juga dikumpulan pendapat peserta yang merupakan tokoh masyarakat terhadap upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan rasionalitas pemilih. 3.4.3 Teknik Dokumenter Teknik dokumenter yaitu teknik pengumpulan informasi dengan mempelajari sumber data tertulis untuk memperoleh data sekunder yang terkait dengan partisipasi masyarakat dalam pemilu, data data administratif Kota Bukittinggi seperti data jumlah penduduk, data jumlah pemilih, jumlah desa dan kelurahan, letak dan kondisi georafis dan sebagainya. 3.5 Lokasi Penelitian, Informan dan Responden Mengingat banyaknya aspek yang dikaji dan untuk menjangkau kedalaman masalah yang dikaji, maka dibutuhkan kesungguhan dalam proses penelitian mulai dari pengumpulan data sekunder sampai data primer. Oleh sebab itu riset ini hanya dibatasi di satu lokasi penelitian yaitu Kota Bukittinggi, Propinsi Sumatera Barat. 3.6 Teknik Pengolahan Data Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan dua tahapan waktu, pertama, pada saat bersamaan dengan kegiatan pengumpulan data berlangsung; dan kedua, dilakukan setelah pengumpulan data berakhir (Bogdan & Biklen, 1992). Tahapan pertama dilakukan untuk mencari fokus serta untuk memperoleh data-data awal dalam pengajuan pertanyaanpertanyaan selama di lapangan. Sedangkan analisis yang kedua berfungsi untuk mengantisipasi berbagai temuan yang layak dieksplorasi lebih mendalam setelah data terkumpul. Rangkaian alur ini ditempuh agar analisis data dapat dilakukan secara komprehensif serta mampu mengaktualisasikan KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 39 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 antara tujuan dan sasaran penelitian dengan berbagai kenyataan yang berkembang di lapangan. 3.6.1 Metode Pengolahan Data Data kuantitatif yang sudah terkumpul melalui survey diperiksa terlebih untuk memastikan data tidak ada yang tercecer atau tidak lengkap sehingga proses analisa data dapat dilakukan. Data dianalisa secara deskriptif analitik. Analisa data adalah: proses pengolahan, penyajian, interpretasi dan analisa data yang diperoleh dari lapangan, dengan tujuan agar data yang disajikan mempunyai makna, sehingga pembaca dapat mengetahui hasil penelitian (Martono,2010). Terdapat beberapa tahap yang peneliti lakukan untuk melakukan analisa data, yaitu : 1) Data coding atau pemberian kode, merupakan suatu proses penyusunan data mentah secara sistematis ke dalam bentuk yang mudah dibaca oleh mesin komputer. Dalam proses ini perlu membuat kode. 2) Data entering atau memasukkan data, merupakan proses pemindahan data yang telah diubah ke dalam kode angka ke dalam komputer. 3) Data cleaning atau pembersihan data, merupakan proses pengecekan untuk memastikan bahwa seluruh data yang telah dimasukkan ke komputer sudah sesuai dengan informasi yang sebenarnya. 4) Data Output atau penyajian data, merupakan tahap menyajikan hasil pengolahan data dengan bentuk yang mudah dibaca dan menarik. 5) Data Analyzing atau analisis data, merupakan tahap akhir dalam penelitian. Tahap ini mengharuskan peneliti untuk menginterpretasikan data yang sudah diperoleh selama pengumpulan data di lapangan. 3.6.2 Perangkat Pengolahan Data Data entry dan penghitungan hasil survei dilakukan dengan program SPSS 21.0. KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 40 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 3.6.3 Analisa Data Analisa data menggunakan metode analisis statistik deskripsi dan analisis statistik inferensial serta melibatkan beberapa analisis univariat seperti sebaran frekuensi, baik secara angka-angka mutlak maupun secara persentase, disertai dengan analisis multivariat, seperti analisis korelasi dan chi square. Analisis statistik yang digunakan adalah analisa statistik deskriptif seperti modus, median, rata-rata yang disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Kemudian hasil analisis dijabarkan melalui penjelasan kalimat secara rinci. Teknik analisis data untuk data kualitatif yakni data yang diperoleh dari hasil FGD dan dokumentasi digunakan teknik deskriptif kualitatif. Melalui teknik ini data yang telah dikumpulkan dalam bentuk transkrip FGD dan catatan lapangan, komentar peneliti, dokumen berupa Bukittinggi dalam angka, dan sebagainya kemudian diatur, diurutkan, diorganisasikan, dikode dan dikategorikan ke dalam satu pola, secara sistematik dan kemudian dinterpretasikan. 3.7mTeknik Pemeriksaan Keabsahan Data Beberapa hal yang peneliti lakukan untuk menjaga keabsahan data: 3.7.1. Mendeskripsikan, menginterpretasi, dan mengecek ulang hasil penelitian Mencatat semua kejadian yang penting secara deskriptif. Kejadian penting di sini maksudnya adalah semua kejadian yang menggambarkan kesukarelaan politik, dan partisipasi politik serta partisipasi memilih yang sesuai dengan kerangka konseptual. Untuk membantu membuat deskripsi kejadian-kejadian yang ditemui, peneliti dapat membuat gambar, foto, atau video yang menggambarkan kejadian penting tersebut. Ketika menemui kejadian yang penting, peneliti mencari berbagai informasi yang dapat menjelaskan fenomena kesukarelaan politik dari berbagai prespektif yang ada. Pandangan dari tokoh masyarakat yang KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 41 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 beragam sangat penting dalam rangka untuk memperoleh informasi yang holistik dan mencari interpretasi yang tepat terhadap fakta yang ditemui. 3.7.2 Memisahkan secara tegas antara deskriptif, interpretasi dan penilaian hasil penelitian Peneliti memisahkan dengan tegas mana yang merupakan fakta dan interpretasi terhadap fakta. Peneliti juga mencatat tanggapan, masukan dan saran yang diperoleh dari tokoh masyarakat, anggota dan staf KPU dalam FGD sebagaimana adanya sesuai dengan bahasa dan kata-kata mereka sendiri. Sehingga peneliti dapat menangkap nuansa dan konteks yang tepat dari pernyataan informan. Pemisahan seperti ini penting dan perlu dilakukan agar interpretasi dan kesimpulan yang dihasilkan dapat diverifikasi. 3.7.3 Memberikan Umpan Balik (feedback) Peneliti memberikan umpan balik (feedback) kepada tokoh masyarakat dan komisioner KPU serta staf mengenai temuan dan interpretasi yang dihasilkan dari serangkaian kegiatan penelitian lapangan yang dilakukan. Feedback ini penting untuk diberikan di samping sebagai suatu bentuk laporan dan pertanggungjawaban peneliti terhadap KPU yang memberikan pekerjaan juga sebagai salah satu cara untuk melakukan klarifikasi dan verifikasi terhadap temuan, interpretasi, dan kesimpulan yang dimiliki. Tentunya tidak semua temuan dapat dan perlu disampaikan kepada mereka. Namun setidaknya temuan awal yang sudah diverifikasi dapat disampaikan agar mereka dapat memahami apa yang menjadi perhatian peneliti dan bagaimana mereka dapat memanfaatkan temuan itu untuk memperbaiki tata kelola pemilu. KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 42 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 4.1 Geografis Kota Bukittinggi Kota Bukittinggi yang lazim disebut dengan “Kota Jam Gadang” dan “Kota Wisata” yang memiliki luas wilayah 25,239 Km2 merupakan salah satu dari tujuh Kota di Propinsi Sumatera Barat. Posisi Kota Bukittinggi secara geografis terletak antara 100020’ - 100025’ BT dan 00016’ – 00020’ LS dengan ketinggian sekitar 780 – 950 meter dari permukaan laut. Luas daerah lebih kurang 25,239 Km2, luas tersebut merupakan 0,06 persen dari luas Propinsi Sumatera Barat. Jarak Kota Bukittinggi dari ibu kota Propinsi Sumatera Barat adalah sekitar 90 km, dengan melalui jalan yang menanjak dan berliku, terutama di lokasi wisata alamLembah Anai yang terkenal dengan air terjunnya. Kota Bukittinggi terdiri dari 3 Kecamatan dan 24 Kelurahan, Wilayah yang membatasi wilayah Kota Bukittinggi semuanya berada dibawah pemerintahan Kabupaten Agam. Kecamatan terluas wilayahnya adalah Kecamatan Mandiangin Koto Selayan yaitu 12,156 Km2, dengan persentase luas kecamatan 48,16 % dan memiliki 9 kelurahan, kemudian di ikuti oleh Guguak Panjang sebagai kecamatan terluas kedua yaitu 6,831 Km2 dengan persentase luas kecamatan 27,707 % dan memiliki 7 kelurahan, kemudian 43 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 kecamatan terakhir yaitu Aur Birugo Tigo Baleh dengan luas 6,252 Km2 dan persentase luas kecamatan 24,77 % yang memiliki 8 kelurahan. Posisi perbatasan Kota Bukittinggi sebelah Utara berbatasan dengan Dengan Nagari Gadut dan Kapau Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Sebelah selatan berbatasan dengan Taluak IV suku Kecamatan Banahampu Kabupaten Agam. Sebelah Barat berbatasan Dengan Nagari Sianok, Guguk dan Koto Gadang Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam. Serta sebelah timur berbatasan Dengan Nagari Tanjung Alam, Ampang Gadang Kecamatan IV Angkat Kabupaten Agam. Letak Kota Bukittinggi sangat strategis bila dilihat dari segi lalu lintas angkutan darat antara Propinsi Sumatera Barat dengan Riau. Kota Bukittinggi merupakan pintu gerbang masuk dari arah Pekanbaru menuju Kota-kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Jarak Kota Bukittinggi ke Kota Pekanbaru 221 km dan dapat ditempuh selama ± 5,5 jam perjalanan dengan angkutan pribadi, sedangkan jarak ke Kota Padang sejauh 91 km, dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi selama ± 2 jam. Keadaan tofografi Kota Bukittinggi berupa Permukaan Bumi tidak rata, bergelombang dan berbukit, serta tanah di Kota Bukittinggi merupakan lapisan Tuff dari lereng Gunung Merapi, karena itu tanahnya subur. namun demikian luas daerah yang dimanfaatkan untuk pertanian sedikit sekali, hal ini disebabkan karena sebagian besar digunakan untuk pemukiman penduduk, hotel dan pasar. Lokasi pasar yang terluas terdapat di Kecamatan Guguk Panjang yaitu Pasar Simpang Aur Kuning, Pasar Atas dan Pasar Bawah. Dikota Bukittinggi juga terdapat sungai kecil, yaitu : Batang Tambuo di sebelah timur, Batang Sianok mengalir di sebelah barat. Batang Tambuo lebarnya 5-7 m melewati kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh dan Mandiangin Koto Senayan. Batang Sianok yang memiliki lebar 12-15 m melewati kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh dan Guguak Panjang. Sedangkan iklim yang ada di kota Bukittinggi dalam temperatur udaranya berkisar Max. 24,90 C 44 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Min 16,10 C, kelembaban udara berkisar Max. 90,8% Min 82,0% dan tekanan udara yang ada berkisar 22,C-25.C. Ditinjau dari segi penggunaannya, meski sebagian besar lahan di Kota Bukittinggi memang banyak digunakan untuk pemukiman penduduk, hotel dan pasar, membuat sedkitnya wilayah yang dijadikan untuk lahan pertanian sehingga terkesan minim, namum dalam segi pengolahan pertanian ada beberapa jenis pertanian yang meningkat dan menurun dari tahun ke tahun. Produksi jagung di Kota Bukittinggi tahun 2013 mengalami kenaikan produksi yang cukup signifikan sebesar 82,83 persen (163.27 ton) dibandingkan tahun 2012. Produksi bahan makanan pokok lainnya juga mengalami kenaikan seperti ketela rambat yang naik dari 739,68 ton tahun 2012 menjadi 1.213,40 ton tahun 2012. Sedangkan produksi sayuran mengalami penurunan untuk komoditas kacang tanah, cabe dan kangkung, sedangkan untuk komoditas tomat, bawang daun, buncis dan labu siam mengalami peningkatan produksi tahun 2013. 4.2 Wilayah Administrasi Tidak seperti pada daerah Kabupaten, pemerintahan desa diganti dengan pemerintahan nagari, di Kota Bukittinggi tetap dengan sistem pemerintahan yaitu kelurahan. Sejak dibentuknya kecamatan dan kelurahan jumlahnya tidak mengalami perubahan. Tahun 2013 jumlah Rukun Tetangga di Kota Bukittinggi sebanyak 338 RT dan 106 RW. Dengan jumlah Rukun Tetangga terbanyak yaitu di Kecamatan Mandiangin Koto Selayan sebanyak 138 RT dan 36 RW. Dengan keluarnya peraturan daerah pada tahun 2001, pemerintah daerah Kota Bukittinggi secara otonomi membawahi 65 Dinas/ Kantor/Unit Kerja dengan jumlah aparatur sebanyak 3.668 orang. Komposisi aparatur menurut tingkat pendidikan terdiri atas 2,67 persen tamat SD, 1,61 persen tamat SLTP, 18,65 persen tamat SLTA, 17,78 persen tamat DI-DIII dan tamat S1 53,95 persen serta S2/S3 sebanyak 5,34 persen. 45 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Jumlah aparatur Pemda Kota Bukittinggi mengalami penurunan sekitar 1,19 persen (berkurang 44 orang) dibandingkan dengan jumlah aparatur yang tercatat tahun 2012 yaitu dari 3.712 orang menjadi 3.668 orang pada tahun 2012. Penurunan SDM tersebut sebagai akibat adanya pegawai yang pensiun dan mutasi pegawai ke daerah lain. Pelayanan publik di Kota Bukittinggi berpusat pada Pemerintah Kota mengingat luas wilayah dan akses yang mudah terhadap berbagai tempat di Kota Bukittinggi, sehingga faktor ini relative tidak mempengaruhi aksesibilitas masyarakat miskin dalam memanfaatkan peluang-peluang ekonomi untuk menunjang kehidupannya. 4.3NPemilu Kota Bukittinggi Hasil rekapitulasi perhitungan suara pemilu 2014 tingkat KPU Kota Bukittinggi menghasilkan jumlah perolah suara terbanyak di peroleh oleh partai Gerindra sebanyak 15,99 % dengan jumlah kursi empat dan di isi oleh Asri Bakar, SH, Deddi Moeis, Herman Syofyan, Benny Yusrial, S.IP, disusul kemudian oleh partai Golkar dengan jumlah peroleh suara sebanyak 15,28 % dengan jumlah kursi yang diapat sebanyak empat dan di isi oleh Jusra, S.Sos, MM, H.Trismon, SH, Edison, SE, Jon Edwar, SE, pada peringkat ke tiga ditempati oleh Partai Demokrat dengan jumlah suara sebanyak 14,67 % dengan perolah kursi empat dan di isi oleh Rusdy Nurman, A.Md, Yontrimansyah, SE, Ir. Hj. Aisyah, Hj. Nursyida, A.Ma, Pd, dan disusul oleh partai PPP sebanyak 13,16 % pada tempat keempat dengan jumlah kursi yang didapatkan 3 dan di isi oleh Dedi Fatria, SH, Uneva Hariyanto, SH, Drs. Rismaidi, SH, kemudian PAN pada posisi kelima dengan jumlah suara 11,90 % dengan jumlah kursi yang dimenangkan sebanyak tiga kursi dan di isi oleh M. Syafri Syam, Muhammad Nur Idris, SH, Fauzan Haviz.1 1 KPU Kota Bukittinggi 46 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 4.4nPemerintahan Proses Perencanaan yang matang sangat diperlukan dalam proses pembangunan, agar pembangunan tersebut dapat berjalan lancar Untuk itu, pemerintah daerah menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah. Realisasi pendapataan pemerintah Kota Bukittinggi pada tahun 2015 diproyeksikan mencapai Rp 605.606.641.063 dengan rincian untuk proyeksi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 62.661.639.729, proyeksi dana perimbangan sebesar Rp 460.215.636.334 serta proyeksi lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar Rp 82.729.065.000. Sementara untuk total belanja daerah diproyeksikan sebesar Rp 658.706.641.063, dengan rincian belanja tidak langsung mencapai Rp 380.392.673.9100, serta belanja tidak langsung sebesar Rp 278.313.967.153 Untuk belanja daerah tidak langsung Pemko Bukittinggi paling banyak mengeluarkan biaya belanja pegawai yang mencapai Rp 359.512.622.742, disusul dengan belanja hibah sebesar Rp 17.455.219.800, belanja bantuan sosial sebesar Rp 1.407.012.700, belanja tidak terduga sebesar Rp1.400.000.000 serta belanja bantuan keuangan kepada provinsi/kabupaten/kota, pemerintahan desa dan partai politik sebesar Rp 617.818.668. Sementara untuk belanja langsung lebih banyak diproyeksikan untuk belanja pegawai yang mencapai Rp 55.158.139.050, disusul belanja barang dan jasa sebesar Rp 133.828.305.869 dan belanja modal sebesar Rp 89.327.522.234. Untuk pembiayaan disepakati sebesar Rp 53.100.000.000 dari penerimaan pembiayaan daerah yang berasal dari silpa tahun anggaran sebelumnya sebesar Rp 70.000.000.000. Sedangkan untuk pengeluaran pembiayaan daerah diproyeksikan sebesar Rp16.900.000.000 dengan rincian 47 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 pembentukan dana cadangan sebesar Rp10.000.000.000 serta penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah sebesar Rp 16.900.000.000. 2 4.5nPenduduk Penduduk mempunyai peran penting dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, penduduk merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Jumlah penduduk suatu daerah sangat dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian dan migrasi atau perpindahkan penduduk. Jumlah penduduk Kota Bukittinggi tahun 2013 adalah 118.260 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar adalah 1,88 persen pertahun. Penyebaran penduduk Kota Bukittinggi paling banyak adalah di Kecamatan Mandiangin Koto Selayan yaitu 40,98 persen. Tingginya tingkat penyebaran penduduk di kecamatan ini ditandai dengan banyaknya pembangunan perumahan baik yang dilakukan oleh perusahaan pengembang maupun oleh perorangan. Namun demikian Kecamatan Guguk Panjang masih menjadi Kecamatan dengan tingkat kepadatan paling tinggi yaitu 6.264 jiwa per Km2, diikuti Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh sebanyak 4.139 jiwa per Km2 dan Kecamatan Mandiangin Koto Selayan sebanyak 3.916 jiwa per Km2. 4.6nPertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk selalu cendrung bertambah, sehingga jika tidak diimbangi dengan persebaran penduduk yang merata dan laju pertumbuhan yang terkendali maka akan menimbulkan permasalahan baru. Laju pertumbuhan penduduk Kota Bukittinggi sedikit berfluktuasi. 2 Yuen Karnova Sekretaris Daerah Kota Bukittinggi, APBD Bukittinggi Tahun 2015 Defisit Rp53,1 Miliar, Web : http://rri.co.id/post/berita/126583/ekonomi/apbd_bukittinggi_tahun_2015_defisit_rp 531_miliar.html 48 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Saat ini Bukittingi merupakan kota terpadat di Provinsi Sumatera Barat, dengan tingkat kepadatan mencapai 4.400 jiwa/km². Jumlah angkatan kerja sebanyak 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran. Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil, dan Batak. Tingkat pertumbuhan penduduk yang dilansir dari Badan Pusat Statistik Kota Bukittinggi menggambarkan terjadi peningkatan penduduk dari tahun 1990 yang jumlah penduduknya 83.811 meningkat menjadi 118.260 pada tahun 2013. pertumbuhan penduduk yang paling tinggi terjadi pada tahun 2012-2013 yaitu berjumlah 3.845 dalam satu tahun. Dan pada tahun 2014 terjadi penurunan penduduk dari 118.260 menjadi 117.097 penduduk. Upaya menekan laju pertumbuhan penduduk terus dilakukan untuk menghindari ancaman ledakan penduduk di Kota Bukittinggi. Selain itu, dengan laju pertumbuhan penduduk yang terkendali, target untuk meningkatkan pendidikan, kesehatan serta pendapatan perkapita dapat lebih mudah direalisasikan Rasio ketergantungan adalah salah satu indicator kependudukan yang dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi rasio ketergantungan menunjuk-kan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif dan tidak produktif lagi. Rasio jenis kelamin adalah perbandingan antar jumlah penduduk pria dengan jumlah penduduk wanita pada suatu daerah dan pada waktu tertentu. Secara umum jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan penduduk laki-laki, hal ini akan terlihat dari rasio jenis kelamin (Sex Ratio) yang kurang dari 100. Pada tahun 2012 sex ratio penduduk Kota Bukittinggi adalah 93,50 persen, naik menjadi 93,87 persen tahun 2013. Berdasarkan data tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa setiap 100 orang perempuan berbanding laki-laki sebanyak 99 orang Jumlah rumah tangga di Kota Bukittinggi diperkirakan 28.616 rumah tangga pada tahun 2013. Selama kurun waktu 2010-2013 jumlah rata-rata anggota rumah tangga berkisar 4 orang, hal ini merupakan salah satu indikator yang 49 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 menunjukkan keberhasilan dari program pemerintah dalam upaya mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui program keluarga be rencana (KB). Sedangkan dalam pendataan Penduduk Wajib KTP (Kartu Tanda Penduduk) di Kota Bukittinggi yang telah memiliki KTP dirinci menurut Kecamatan yaitu sebanyak 83.791 jiwa. Pada tahun 2013 terjadi peningkatan dalam jumlah penduduk anak-anak dan dewasa di Kota Bukittinggi yaitu sebanyak 118.260 jiwa yang sebelumnya pada tahun 2012 sebanyak 114.415 jiwa, meningkat sebanyak 3.845 jiwa. Sedangkan jumlah populasi penduduk menurut agama dimayoritaskan oleh penduduk beragama islam sebanyak 115.244 jiwa. Pada tingkat umur pun, jumlah penduduk Kota bukittinggi sebagian besar berumur 20-24 tahun sebanyak 12.983 jiwa Tenaga kerja adalah salah satu faktor produksi turut menentukan tumbuh kembangnya perekonomian masyarakat. Pada tahun 2013 penduduk usia kerja (15 tahun keatas) di Kota Bukittinggi yang terdaftar tercatat 1.482 jiwa sebagai pecari kerja dan yang belum ditempatkan sebanyak 1.881 jiwa dan yang telah ditempatkan tahun ini sebanyak 488 jiwa. Persentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas menurut ijazah yang dimiliki yaitu, tamatan SMU/SMK/Mu sebanyak 37,24 persen, SLTP/MTs Sederajat sebanyak 21,02 persen, tidak punya ijazah sebanyak 16,73 persen, SD/MI Sederajat sebanyak 15,26 persen, Diploma IV/S1/S2/S3 sebanyak 6,94 persen dan tamatan Diploma I/II/III sebanyak 2,81 persen. Persentase pencari kerja di Kota bukittinggi sendiri banyak berasal dari tingkatan SLTA yaitu sebesar 60 persen, dan yang terendah terdapat pada tingkatan akademi sebanyak 10 persen. 4.7mSosial Pada bidang pendidikan di Kota Bukittinggi tahun 2013 jumlah SD Negeri sebanyak 45 unit dan SD Swasta 11 unit, terjadi perubahan jika 50 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya karena adanya penggabungan SD. Pada SLTP negeri tidak terjadi perubahan yaitu berjumlah 8 unit. Begitu juga dengan jumlah SLTA negeri juga tidak mengalami perubahan tetap berjumlah 5 unit. Jumlah mahasiswa perguruan tinggi / akademi negeri ataupun swasta pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 9.550 orang dari 14.271 orang tahun 2012, hal ini disebabkan karena perguruan tinggi STAIN pindah lokasi ke Kabupaten Agam. Sedangkan pada bidang kesehatan, Banyaknya Rumah Sakit di Kota Bukittinggi tidak mengalami perubahan yaitu 3 buah rumah sakit pemerintah dan 2 buah rumah sakit swasta. Jumlah pasien yang berkunjung ke Rumah Sakit pada tahun 2012 sebanyak 318.203 orang. Dari jumlah tersebut terdapat 23.927 orang pasien yang dirawat inap dengan berbagai jenis penyakit yang diderita, seperti Jantung, TBC, Stroke dll. Jumlah kunjungan ibu hamil pada tahun 2013 sebanyak 3.930 orang, terjadi penurunan jumlah kunjungan jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan tahun sebelumnya. Masih di bidang kesehatan, jumlah akseptor aktif KB pada tahun 2013 tercatat 11.287 orang turun dibandingkan tahun 2012 yang banyaknya 11.418 orang, dengan persentase realisasi sebesar 110,95 persen. 51 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 5.1 Identitas Responden Didalam bagian 5.1 ini akan dijelaskan identitas responden yang dikategorikan dalam beberapa hal seperti umur, jenis kelamin, sebaran desa tempat tinggal responden, pendidikan, agama, pekerjaan, suku bangsa dan rata-rata pendapatan rumah tangga responden. Dengan hal ini akan memberikan gambaran umum mengenai responden dan mewakili masyarakat Kota Bukittinggi secara keseluruhan berdasarkan pembagian sampel dari populasi. 5.1.1 Komposisi Responden berdasarkan Umur Tabel: 5.1 Komposisi Responden Berdasarkan Umur Umur Frekuensi 17-25 89 26-33 54 34-42 82 43-51 74 52-60 37 61-70 27 71-80 12 Total 375 Sumber: Data Primer 2015 % 24% 14% 22% 20% 10% 7% 3% 100% Persentase Komulatif 24% 38% 60% 80% 90% 97% 100% 52 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Dalam survei perilaku memilih masyarakat di Kota Bukittingi, dari 375 responden yang menjawab pertanyaan, sebanyak 24 % berumur antara 17-25 tahun dan posisi kedua dengan rentang umur 34-42 tahun yakni sebanyak 22 %. Hal ini menandakan bahwa komposisi responden dalam rentang umur di dominasi oleh pemilih muda yakni direntang umur kurang dari 40 tahun, yaitu 60%. 5.1.2 Komposisi Responden berdasarkan Jenis Kelamin Tabel: 5.2 Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Frekuensi % Persentase Komulatif Laki-laki 193 51% 51% Perempuan 187 49% 100% Jenis Kelamin Total 380 Sumber : Data Primer 2015 Dalam komposisi jenis kelamin responden, dapat diketahui bahwa sebanyak 51,0 % survei ini diikuti oleh responden berjenis kelamin laki-laki dan 49,0 % berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat pemerataan/keseimbangan antara responden laki-laki dengan perempuan dengan selisih perbedaan cuman 1 %. 5.1.3 Komposisi Responden berdasarkan Negeri Asal Tabel: 5.3 Komposisi Responden Berdasarkan Negeri Asal Negeri Asal Frekuensi % Kurai Kab. Agam Sumbar, selain Kurai & Agam Luar Sumbar Total Sumber : Data Primer 2015 150 91 40% 24% Persentase Komulatif 40% 64% 101 27% 91% 33 375 9% 100% 100% 53 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Dalam Survei perilaku memilih masyarakat di Kota Bukittinggi, sebanyak 375 responden tersebar dari Kurai, Kab.Agam, Sumbar, Selain Kurai & Agam serta luar Sumbar. Sebaran tersebut paling tinggi berada di Negeri Kurai yakni sebesar 40 % atau 150 orang sedangkan posisi terendah berasal dari luar Sumbar yakni sebesar 9 % atau 33 orang. Persebaran ini didasarkan kepada proposisi populasi secara keseluruhan. 5.1.4 Komposisi Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel: 5.4 Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Frekuensi Pendidikan SD 45 SLTP 56 SLTA 148 D1, D3, D4 60 S1 67 S2 ke atas 4 Total 380 Sumber : Data Primer 2015 % 12% 15% 39% 16% 18% 1% 100% Persentase Komulatif 12% 27% 66% 81% 99% 100% Berdasarkan komposisi responden menurut tingkat pendidikan, mayoritas secara umum di ikuti oleh responden berpendidikan SLTA yakni sebesar 39 % atau 148 orang dari 380 total secara keseluruhan. Posisi tamatan S1 dan D1, D3, D4 mendapat posisi kedua dan ketiga. Secara keseluruhan terdapat 74 % responden yang berpendidikan minimal SLTA. Tingkat pendidikan responden tentunya berpengaruh kepada pengetahuan masyarakat akan politik dan pemilihan umum. 54 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 5.1.5 Komposisi Responden berdasarkan Agama Tabel: 5.5 Komposisi Responden berdasarkan Agama Agama Frekuensi Islam Kristen Katolik Kristen Protestan Total Sumber : Data Primer 2015 370 4 6 380 Persentase Komulatif 97% 98% 100% % 97% 1% 2% Berkaitan dengan sebaran kepercayaan yang di anut/agama responden, dapat diketahui terdapat 3 agama responden yang mengikuti survei ini yakni Islam, Kristen katolik dan Kristen Protestan dengan masingmasing 97 %, 1 % dan 2 %. 5.1.6 Komposisi Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan Tabel: 5.6 Komposisi Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan Pekerjaan Guru/Dosen TNI/Polri Pegawai Pemda Pegawai Swasta Wiraswasta Kecil2an Pensiunan Ibu Rumah Tangga Bengkel/Jasa Service Buruh kasar/Pembantu Pedagang warung/kaki lima Sopir Pengusaha/Kontraktor Besar Kerja tidak tetap Pelajar/Mahasiswa Total Sumber : Data Primer 2015 Frekuensi % 11 4 25 35 94 4 80 4 14 26 1 6 7 64 375 3% 1% 7% 9% 25% 1% 21% 1% 4% 7% 0% 2% 2% 17% 100% Persentase Komulatif 3% 4% 11% 20% 45% 46% 67% 69% 72% 79% 79% 81% 83% 100% 55 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Dari data diatas dapat diketahui bahwa terdapat sebaran beragam dari pekerjaan responden. Mayoritas/posisi paling besar diikuti oleh responden yang berkerja sebagai Wiraswasta Kecil-kecilan yakni sebesar 94 orang atau 25 % . berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa semua tipe pekerjaan memiliki perwakilan responden/terdapat keterwakilan dalam survei ini. 5.1.7 Komposisi Responden berdasarkan Suku Bangsa Tabel: 5.7 Komposisi Responden berdasarkan Suku Bangsa Frekuensi % Minangkabau 334 88% Persetase Komulatif 88% Jawa 26 7% 95% Batak 11 3% 98% Sunda 4 1% 99% Melayu 5 1% 100% 380 100,0 Suku Bangsa Total Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan komposisi responden dari jenis suku bangsa, dapat diketahui bahwa mayoritas secara umum diikuti oleh responden bersuku bangsa Minangkabau yakni sebesar 88 %, diikuti posisi kedua oleh suku bangsa Jawa sebesar 7 %. Hal ini menandakan bahwa mayoritas suku bangsa di Kota Bukittinggi didiami oleh suku bangsa Minangkabau dan Jawa sebagai suku bangsa terbesar kedua. 56 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 5.1.8 Komposisi Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan Tabel 5.8 Komposisi Responden berdasarkan Pendapatan RumahTangga Pendapatan Frekuensi % Di bawah 500 ribu 500 rb - 999 ribu 1 juta - 1,499 juta 1,5 juta - 1,999 juta 2 juta - 2,499 juta 2.5 juta - 5 juta lebih dari 5 juta Total 20 75 101 80 40 49 5 370 5% 20% 27% 22% 11% 13% 1% 100% Persentase Komulatif 5% 26% 53% 75% 85% 99% 100% Sumber : Data Primer 2015 Berkaitan dengan kondisi ekonomi responden, terdapat 27 % responden berpenghasilan sebesar 1 – 1, 499 juta dan sebesar 22 % di rentang 1, 5 juta -1, 999 juta. Ekonomi berpenghasilan menengah keatas mendominasi dalam survei ini yakni sebesar 74 % responden berpenghasilan > 1 Juta. 5.2 Pemetaan Partisipasi Memilih Pada Pemilu Dalam bagian ini akan ditampilkan data temuan lapangan yang berkaitan dengan partisipasi pemilih. Tampilan data dalam bagian ini akan dikomparisikan antara identitas responden yang meliputi indikator umur, jenis kelamin, desa/kelurahan responden, tingkat pendidikan, agama dan pendapatan dengan indikator keikutsertaan responden dalam pemilu. 57 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 5.2.1 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Umur Tabel 5.9 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Umur Umur Apakah ikut dalam Pemilu 2014 Total Responden Ya 17-25 30 34% 26-33 36 66,7% 34-42 70 85,37% 43-51 65 87,84% 52-60 32 86,49% 61-70 24 88,89% 71-80 10 83,33% Total 267 71% Sumber : Data Primer 2015 Tidak 59 66,29% 18 33,3% 12 14,63% 9 12,16% 5 13,51% 3 11,11% 2 16,67% 108 29% 89 23,73% 54 14,40% 82 21,87% 74 19,73% 37 9,87% 27 7,20% 12 3,20% 375 100% Dari hasil analisis diperoleh nilai α= 0 kecil dari 0,05 berarti terdapat perbedaan partisipasi memilih berdasarkan umur responden. Jumlah responden terbanyak adalah kelompok umur 17 – 25 tahun yaitu 89 orang atau 23,73% dari total responden. Yang menariknya adalah kelompok umur dengan presentase partisipasi tertinggi terdapat pada responden dengan rentang umur 61-70 tahun yaitu 88,89 %, diikuti oleh rentang umur 43-51 tahun pada posisi kedua yaitu 87,84 % dan 52-60 tahun pada posisi ketiga yaitu 86,49 %. Sedangkan persentase pertisipasi memilih terendah berada pada kelompok umur paling muda yaitu pemilih pemula yaitu 34 %. Hal ini menginformasikan bahwa partisipasi yang tinggi lebih didominasi oleh pemilih dari kalangan tua dibandingkan dengan pemilih pemula dan pemilih muda. Temuan ini menjadi tantangan bagi semua kalangan baik para penyelenggara pemilu, pengurus partai politik, para pendidik, pengurus 58 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 organisasi kepemudaan untuk memberikan sosialisasi yang lebih gencar kepada kalangan pemula. Hal ini sangat penting dilakukan karena keberadaan pemilih pemula dalam pemilihan umum membawa dampak kepada pemilu itu sendiri disebabkan jumlah pemilih muda adalah jumlah terbesar dalam rentang umur pemilih di Kota Bukittinggi. Sehingga dari temuan ini terlihat bahwa pemilih muda adalah penyumbang angka golput tertinggi yaitu mencapai 66,29 % dari 59 orang responden yang golput. 5.2.2 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Kelamin Hasil analisis penelitian ini menemukan ternyata tidak ada perbedaan partisipasi memilih antara pemilih laki-laki dan perempuan di Kota Bukittinggi. Hal ini terbukti bahwa nilai α= 0,968 lebih besar dari 0,05. Tabel 5.10 menginformasikan bahwa antara pemilih perempuan dan pemilih lakilaki memiliki partisipasi politik yang sama dalam pemilihan umum di Kota Bukittinggi. Tingkat keikusertaan yang diterjemahkan sebagai partisipasi dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Tabel 5.10 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Kelamin Laki-laki Apakah ikut dalam Pemilu 2014 Ya Tidak 174 (90%) 19 (10%) 193 (51%) Perempuan 169 (90%) 18 (10%) 187 (49%) Total 270 (71%) 110 (29%) 380 (100%) Jenis Kelamin Total Sumber : Data Primer 2015 5.2.3 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Negeri Asal Temuan yang cukup mengejutkan adalah ternyata terdapat perbedaan partisipasi memilih berdasarkan Negeri yang ada di Kota Bukittinggi dan daerah-daerah lainnya yang berada di dalam dan luar Sumbar, meskipun 59 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 hubungannya tidak kuat. Nilai α= 0,004 lebih kecil dari 0,05, dengan koefisien kontigensinya (C) hanya 0,37,yaitu lebih kecil dari 0,5. Terdapat beberapa Negeri dan daerah lainnya yang memiliki angka partisipasi memilih yang rendah yaitu daerah yang berada di Luar Sumbar (9%) dan Kabupaten Agam (24%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.11. Tabel 5.11 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Negeri Asal Negeri Asal F % % Komulatif Kurai 150 40% 40% Kab. Agam 91 24% 64% Sumbar, selain Kurai & Agam 101 27% 91% Luar Sumbar 33 9% Total 375 100% 100% Sumber : Data Primer 2015 5.2.4 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendidikan Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan partisipasi memilih berdasarkan Tingkat Pendidikan, dengan nilai α= 0,006 lebih besar dari 0,05. Hubungan kedua variabel juga lemah terbukti dari Nilai Koefisien Kontigensinya hanya 0,139, yaitu lebih kecil dari 0,5. Dari Tabel 5.12 terlihat bahwa kelompok responden dengan tingkat pendidikan SLTA (39 %) penyumbang terbesar pemilih Kota Bukittinggi. Jadi di Kota Bukittinggi tingkat pendidikan seseorang bukanlah faktor penentu dari tinggi rendahnya tingkat partisipasi memilih masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut: 60 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Tabel 5.12 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendidikan Tingkatan Pendidikan Apakah ikut dalam Pemilu 2014 Ya Tidak SD 28 17 SLTP 38 18 SLTA 128 20 D1, D3, D4 30 30 S1 44 23 S2 ke atas 2 2 Total 270 110 Sumber : Data Primer 2015 Total 45 56 148 60 67 4 380 5.2.5 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Agama Berdasarkan data hasil penelitian, dapat diinformasikan bahwa faktor agama responden ternyata tidak berpengaruh terhadap keikutsertaan mereka dalam pemilihan umum. Hal itu dibuktikan dengan dengan nilai α= 0,06 lebih besar dari 0,05. Hubungan kedua variabel juga lemah terbukti dari Nilai Koefisien Kontigensinya hanya 0,139, yaitu lebih kecil dari 0,5. Tabel 5.13 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Agama Agama Islam Kristen Katolik Kristen Protestan Total Sumber : Data Primer 2015 Apakah ikut dalam Pemilu 2014 Ya Tidak 263 107 3 1 4 2 270 110 Total 370 4 6 384 5.2.6 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Pekerjaan Berdasarkan data hasil penelitian, terlihat bahwa terdapat perbedaan partisipasi memilih responden berdasarkan Jenis Pekerjaan dengan α= 0,735 (>0,05) namun hubungannya tidak signifikan (Nilai Koefisien Kontigensinya 61 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 hanya 0,262 (<0,5). Dengan kata lain, partisipasi pemilih di Kota Bukittinggi tidak signifikan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan seseorang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.14 berikut: Tabel 5.14: Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Jenis Pekerjaan Pekerjaan Guru/Dosen TNI/Polri Pegawai Pemda Pegawai Swasta Wiraswasta Kecil2an Pensiunan Ibu Rumah Tangga Bengkel/Jasa Service Buruh kasar/Pembantu Pedagang warung/kaki lima Sopir Pengusaha/Kontraktor Besar Kerja tidak tetap Pelajar/Mahasiswa Total Sumber : Data Primer 2015 Apakah ikut dalam Pemilu 2014 Ya Tidak 8 3 4 0 20 5 27 8 69 25 3 1 69 11 3 1 12 2 20 6 1 0 4 2 4 3 22 42 270 105 Total 11 4 25 35 94 4 80 4 14 26 1 6 7 64 375 5.2.7 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendapatan Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Tingkat Pendapatan seseorang ternyata tidak mempengaruhi partisipasi mereka dalam memilih dalam pemilu. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara satu jenis pekerjaan tertentu dengan pekerjaan lain dalam perilaku memilih. Hal ini terlihat dari hasil analisis diperoleh nilai α = 0,765 (>0,05) berarti tidak terdapat perbedaan partisipasi memilih berdasarkan tingkat pendapatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.15 berikut: 62 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Tabel 5.15 Perbedaan Partisipasi Pemilih Menurut Tingkat Pendapatan Pendapatan Rumah Tangga Di bawah 500 ribu 500 rb - 999 ribu 1 juta - 1,499 juta 1,5 juta - 1,999 juta 2 juta - 2,499 juta 2.5 juta - 5 juta lebih dari 5 juta Total Sumber : Data Primer 2015 Apakah ikut dalam Pemilu 2014 Ya Tidak 13 7 52 23 75 26 55 25 28 12 33 16 4 1 260 110 Total 20 75 101 80 40 49 5 370 Padan bagian 5.2 ini terdapat beberapa indikator yang dimana indikator tersebut dikomparasikan dengan indikator keikutsertaan responden dalam pemilihan umum. Indikator-indikator yang dipakai tersebut ialah umur, jenis kelamin, negeri asal, tingkat pendidikan, agama dan pendapatan. Dalam temuan di atas dapat digeneralisasikan beberapa hal yang berkaitan antar indikator. Terdapat dua indikator yang mempunyai perbedaan atau pengaruh dalam keikutsertaan pemilih dalam pemilu yakni indikator umur dan indikator asal Negeri (lemah). Sedangkan ke lima indikator lainnya tidak memiliki perbedaan atau pengaruh yakni jenis kelamin, tingkat pendidikan, agama, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan. Asumsi yang dapat diutarakan ialah indikator umur memiliki perbedaan di dalam setiap tingkatan/range nya terhadap keikutsertaannya dalam pemilihan umum di Kota Bukittinggi. Masing-masing kelompok umur memiliki pandangan sendiri terkait dengan pilihannya untuk ikut atau tidak dalam pemilihan umum. Lebih lanjut, faktor asal Negari di Kota Bukittinggi juga memiliki perbedaan dalam setiap negeri dan daerah-daerah di Sumbar terhadap ikut serta dalam pemilu. Setiap daerah dalam hal ini dapat dideskripsikan mempunyai faktor sendiri dalam lingkungan daerah asalnya yang berpengaruh kepada tingkatan partisipasi setiap masyarakat. 63 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Indikator umur dan indikator asal negeri tentunya dapat dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan oleh pihak terkait untuk meningkatkan partisipasi di Kota Bukittinggi, karena kedua indikator ini seperti yang diketahui di atas memiliki perbedaan dalam setiap tingkatan dan pengaruh terhadap partisipasi/keikusertaan masyarakat dalam pemilu. Hal ini tentunya juga tidak mengabaikan indikator-indikator lainnya yang dalam penelitian ini tidak memiliki perbedaan/pengaruh. 5.3 Motivasi Pemilih dalam Pemilu 2014 Banyak alasan/motivasi masyarakat untuk ikut memilih dalam pemilu seperti terlihat dari jawaban responden penelitian ini, yaitu : Motivasi tertinggi disebabkan oleh rasa kewajiban sebagai warga negara (38,8%), diikuti oleh karena pemilu merupakan hak warga negara (35,4%) dan diikuti selanjutnya karena ingin mengubah keadaan negara/daerah (19,5%). Setiap orang tentunya memiliki motivasi yang berbeda-beda didalam diri pemilih. Motivasi berkaitan dengan hal psikologi dalam setiap diri manusia, hal-hal ini mempunyai korelasi nantinya dengan wujud tindakan yang dapat diartikan sebagai perilaku. Perilaku dalam masing-masing individu nantinya yang akan menentukan keikusertaan nya dalam segala hal termasuk pemilu. Apa yang ditemukan di Kota Bukittingi tentunya dapat memberikan gambaran secara umum terkait dengan motivasi yang melatarbelakangi keikusertaanya dalam pemilu. Untuk lebih jelasnya variasi motivasi responden ikut pemilu dapat dilihat pada tabel 5.16 berikut: Tabel 5.16: Motivasi Pemilih dalam Pemilu 2014 Alasan Ikut Pemilu Karena ada bantuan materil non uang Mengubah Keadaan Negara Kewajiban sebagai Warga Negara Hak Warga Negara Frekuensi % Persentase Komulatif 65 24% 24% 49 18% 42% 51 19% 61% 43 16% 77% 64 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Karena Ingin Mendukung Calon Tertentu Ikatan kekeluargaan Agar rakyat mau berpartisipasi dalam pemilu Berkaca pada pengalaman pemilu sebelumnya yang efektif mengubah nasib rakyat Karena tidak efektifnya pemerintahan saat ini Lainnya Total Sumber : Data Primer 2015 34 13% 90% 10 4% 94% 14 5% 99% 2 1% 100% 1 0% 100% 1 270 0% 100% 100% Dari hasil analisis diperoleh fakta bahwa pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat perbedaan motivasi memilih berdasarkan tingkat hidup (α hitung = 0,327), jenis pekerjaan (α hitung = 0,99) dan tingkat pendidikan seseorang (α hitung = 0,223). Yang menarik adalah perbedaan motivasi memilih ditentukan umur (α hitung = 0,01), jenis kelamin (pada tingkat kepercayaan 90%,α hitung = 0,083), lokasi tempat tinggal (Negeri) (α hitung = 0,003) Koefisien Kontigensi 0,7 > 0,5 perbedaan kuat. Jadi antara pemilih muda dan pemilih tua memiliki motivasi yang berbeda dalam memilih. Dari jawaban responden muda (17-25) terlihat bahwa tidak ada di antara mereka yang memilih karena alasan yang tidak rasional seperti karena alasan kekeluargaan, karena mengharapkan bantuan materil. Berbesa dengan responden tua dimana masih ada beberapa responden yang beralasan karena faktor ingin mendukung calon yang punya ikatan kekeluargaan dan mengharapkan insentif berupa bantuan materil dari calon. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih pemula adalah pemilih yang lebih rasional dibandingkan pemilih tua. Hal ini mudah dipahami karena pemilih pemula adalah orang-orang yang independen dan terbebas dari vested interest tententu. 65 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 5.4 Alasan Golput pada Pemilu 2014 Golongan putih (Golput) merupakan salah satu indikator dalam survei ini. Dalam hal ini akan dilihat tentang apa alasan yang melatarbelakangi responden mengambil keputusan untuk golput. Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.17 terlihat bahwa terdapat 25 % responden mengatakan bahwa mereka memilih Golput karena mempunyai urusan lain yang mereka anggap lebih penting dari ikut mencoplos dalam pemilu. Setelah itu terdapat 22 % responden yang mengatakan bahwa mereka pesimis bahwa pemilu mampu merubah keadaan negara atau daerah. Selain itu terdapat 12 % responden mengatakan bahwa mereka tidak percaya kepada calon atau partai politik. Setelah dikomparasikan dengan beberapa indikator, terdapat perbedaan alasan golput berdasarkan golongan usia (α hitung = 0,042) dan lokasi tempat tinggal (Negeri) (α hitung = 0,002) Koefisien Kontigensi 0,872>0,5 yang memiliki perbedaan yang kuat. Sedangkan indikator lainnya tidak memiliki perbedaan dalam perilaku golput.1 Secara teoritis, golput merupakan refleksi dari keadaan diri manusia atas tindakannya. Hal ini tentunya berkaitan dengan kondisi yang terjadi terus-menurus dalam diri seseorang sehingga melahirkan tindakan untuk golput. Golput sangat erat kaitannya apatisme sosial. Keberadaan ini tentunya sangat tidak bagus dalam berkembang nya sebuah demokrasi. Oleh sebab itu temuan penelitian perlu mendapat perhatian serius dari para calon dan parpol. Calon dan parpol memiliki peran besar dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu dan hasil pemilihan. Adalah percuma dilakukan sosialisasi terus menerus dan dengan 1 Pada tingkat kepercayaan 95% tidak terdapat perbedaan alasan golput berdasarkan tingkat pendidikan (α hitung = 0,133); jenis kelamin (α hitung = 0,354);Jenis Pekerjaan (α hitung = 0,456); tingkat hidup(α hitung = 0,788), berdasarkan pekerjaan (α hitung = 0,99), suku bangsa (α hitung = 0,430); kondisi ekonomi (α hitung = 0,111). 66 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 skala luas namun parpol dan politisi tidak berbenah diri dengan cara memperbaiki kualitas, kapabilitas, dan integritas diri. Peserta FGD mengusulkan untuk mengatasi hal ini, disarankan ke depan untuk persyaratan pencalonan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif diwajibkan memiliki standar kompetensi tertentu yang diakuai oleh sebuah lembaga yang independen dan kredibel. Dengan demikian diharapkan partai politik akan menjalankan fungsi utamanya yaitu fungsi pendidikan politik dan rekrutmen politik, yang selama ini nyaris tidak terdengar. Selanjutnya, temuan data di Kota Bukittinggi ini dapat dijadikan sebagai dasar pijakan bagi KPU untuk melihat permasalahan golput yang terjadi dan menyusun berbagai program sosialisasi dan pendidikan politik ke depan. Tabel 5.17 Alasan Golput pada Pemilu 2014 Alasan Golput Tidak yakin dapat mengubah keadaan bangsa Tidak tahu kualitas calon Bukan Kewajiban WN tapi Hak Tdk percaya dg calon/partai Karena ada urusan penting yg lebih Penting Tidak terdaftar dlm Pemilu 2014 Katena tidak cukup usia Tidak ada bantuan barang/jasa Pemilu tidak efektif mengubah nasib Rakyat Tidak Sempat Pulang untuk Pemilu Total Sumber : Data Primer 2015 Frekuensi % Persentase Komulatif 24 22% 22% 12 3 13 11% 3% 12% 33% 35% 47% 27 25% 72% 6 7 1 5% 6% 1% 77% 84% 85% 7 6% 91% 10 121 9% 100,0 100% 67 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 5.5 Minat Masyarakat Terhadap Demokrasi Elektoral Pada bagian 5.5 ini dijelaskan terkait pandangan masyarakat terhadap demokrasi elektoral. Dalam data tabel 5.17 dikomparasikan antara minat masyarakat akan demokrasi elektoral dengan indikator-indikator yang dipakai dalam survei ini. Dalam semua indikator, terdapat perbedaan pandangan masyarakat akan demokrasi elektoral dari semua indikator yang dipakai. Dari data di bawah, juga dapat diketahui bahwa mayoritas masyarakat yaitu 64 % mempunyai minat terhadap demokrasi eletoral, walaupun sebagian hanya kadang-kadang mengikuti perkembangan pemilu baik aturan maupun dinamika pencalonan kepala daerah. Hanya 36 % responden yang tidak memiliki minat terhadap demokrasi elektoral. Secara teoritis, pemilihan umum merupakan sebuah tolak ukur utama dalam demokrasi elektoral. Bagaimana negara dapat menjalankan sistem multi partai yang kompetitif dan hak pilih yang bersifat universal dalam memilih eksekutif dan legislatif. Penekanan yang paling penting adalah terkait dengan kontestasi dan partisipasi oleh masyarakat dalam pemilihan umum. Temuan ini merupakan harapan yang baik bagi semua kalangan yang mendukung berkembangnya demokrasi prosedural di Indonesia. Minat masyarakat yang masih ada terhadap pemilu harus terus dipelahara dan ditingkatkan meskipun dari dapatan sebelumnya menunjukkan bahwa sebahagian pemilih mulai pesimis. Hal ini tentu menjadi tanggungjawab semua pihak termasuk KPU, Parpol, Lembaga pendidikan, Tokoh masyarakat, pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat sipil media massa dan sebagainya. Dari hasil analisis data dapat diketahui bahwa tinggi rendahnya minat masyarakat Kota Bukittingi terhadap perkembangan demikrasi elektoral atau pemilu di Indonesia ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: 1) Tingkat Pendidikan (α hitung = 0,005); 2) Tempat Tinggal (asal negeri) (α hitung = 0,000); 68 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 3) Jenis Pekerjaan (α hitung = 0,089) dengan tingkat kepercayaan 90%), umur (α hitung = 0,086); 4) Tingkat Pendapatan Ekonomi (α hitung = 0,016) 5) Kondisi Ekonomi (α hitung = 0,003) Untuk lebih jelasnya gambaran tentang minat masyarakat Kota Bukittingi terhadap perkembangan demokrasi elektoral di Indonesia dan di daerah dapat dilihat Tabel 5.18 berikut: Tabel 5.18 Minat Masyarakat Terhadap Demokrasi Elektoral Minat Masyarakat Ya Tidak Frekuensi % 140 137 37% 36% Persentase Komulatif 37% 73% 103 27% 100% 380 Sumber : Data Primer 2015 100% Kadang-kadang Total 5.6 Sikap Masyarakat Terhadap Politik Uang Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik 69 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan. Penelitian ini menemukan fakta yang cukup mengagetkan. Terdapat 58 % responden dapat menerima politik uang. Ada yang mengatakan “Terima dulu uangnya, soal pilihan urusan nanti” sebanyak 19 %, terima uangnya dan mereka akan memilih orangnya sebanyak 21 % dan terima uangnya tetapi tidak pilih orangnya yaitu 4 %. Meskipun terdapat cukup banyak yang menolak politik uang yaitu 42 % namun kenyataan ini sangat memprihatinkan. Jika dibiarkan tentu akan merusak sendi-sendi demokrasi. Menurut peserta FGD dari tokoh agama bahwa politik uang jelas merendahkan martabat rakyat. Tabel 5.19 Sikap Masyarakat terhadap politik Uang Sikap Masyarakat Frekuensi Menolak krn haram 158 Terima tapi tidak 16 memilih orangnya Terima dan saya pilih 80 orangnya Terima dulu, soal 72 pilihan urusan lain Bersedia ikut membagi2kan 35 uang/barang nya Alasan lain 14 Total 375 Sumber : Data Primer 2015 42% Persentase Komulatif 42% 4% 46% 21% 68% 19% 87% 9% 96% 4% 100% 100% % Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat beberapa faktor pembeda yang mempengaruhi Sikap Masyarakat terhadap Politik Uang yaitu: 1. Jenis Pekerjaan (α hitung = 0,089) dengan tingkat kepercayaan 90%), 2. Tingkat Pendapatan Ekonomi (α hitung = 0,016) dan 3. Kondisi Ekonomi keluarga (α hitung = 0,003) 70 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Dari temuan tersebut diketahui bahwa ternyata perilaku politik uang tidak menyebar secara merata di wilayah Kota Bukittinggi. Faktor yang lebih mendominan terlihat ke bagaimana jenis pekerjaan, tingkat pendapatan ekonomi dan kondisi ekonomi masyarakat itu sendiri. 5.7 Penggunakan Hak Pilih Masyarakat Dalam bagian 5.7 ini akan dijelaskan temuan data terkait dengan kendala masyarakat dalam penggunaan hak pilihnya, penilaian masyarakat terkait pelaksanaan pemilu dan sosialisasi pemilu serta pandangan masyarakat terhadap pelakasanaan pemilu kedepan dan jenis pemilu yang diinginkan masyarakat kedepannya. 5.7.1mPenilaian Masyarakat terhadap Pelaksanaan Pemilu 2014 Tabel 5.20: Penilaian Masyarakat terhadap Pelaksanaan Pemilu 2014 Penilaian Masyarakat Jujur dan adil Banyak politik uangnya Banyak kecurangan Kurang sosialisasi Total Sumber : Data Primer 2015 Frekuensi % 153 150 26 46 375 41% 40% 7% 12% 100% Persentase Komulatif 41% 81% 88% 100% Berdasarkan data di atas, dapat diketahui penilaian masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu 2014 mayoritas masih negatif yaitu 59 % mengatakan pemilu masih diwarnai oleh politik uang (40 %), kecurangan (7 %) dan kurangnya sosialisasi (12 %). Ini menjadi perhatian bagi calon dan parpol yang menjadi peserta pemilu. Karena menurut masyarakat yang utama memperbaiki kualitas pemilu adalah para peserta pemilu dengan menghilangkan politik uang (40 %) dan kecurangan (7 %). Sedang KPU diharapkan juga meningkatkan sosialisasi (12%). 71 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 5.7.2 Penilaian Masyarakat terhadap Penyelenggaraan Sosialisasi Pemilu Tabel 5.21: Penilaian Masyarakat terhadap Pelaksanaan Sosialisasi Pemilu Penilaian Masyarakat Frekuensi % Sosialisasi Pendataan pemilih Pembentukan badan penyelenggara (PPS/KPPS/PPL/Panwascam Pendaftaran calon Kampanye Lainnya Total Sumber : Data Primer 2015 165 70 44% 19% Presentase Kumulatif 44% 63% 25 7% 69% 43 50 22 375 11% 13% 6% 100% 81% 94% 100% Berdasarkan data di atas, dapat diketahui mengenai pilihan masyarakat terkait pelaksanaan pemilu. 44 % memilih terkait dengan sosialisasi dan posisi kedua dengan 19 % dengan pendataan pemilih. Ini menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan pemilu, aspek yang perlu ditingkatkan dan yang paling dirasakan masyarakat adalah sosialisasi. Bukan berarti aspek lain lain dapat diketepikan. 5.7.3nYang perlu Diperbaiki dalam Pemilu ke depan Mengenai aspek-aspek sosialisasi itu sendiri yang perlu ditingkatkan, masyarakat menilai hampir semua aspek harus menjadi perhatian KPU karena dinilai masih sedang, kecuali aspek kesadaran untuk mencoblos dalam Pemilu dinilai masyarakat sudah tinggi. Dari temuan pada tabel 5.22 terdapat indikasi bahwa perhatian KPU masih tertumpu pada upaya meningkat kesadaran masyarakat untuk ikut memilih pada hari H pemilu. Sementara tema-tema dan materi yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu, informasi mengenai tahapan dan program Pemilu belum begitu diketahui oleh masyarakat. 72 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Tabel 5.22: Penilaian terhadap Pelaksanaan Sosialisasi No Indikator Nilai Derajat Informasi mengenai tahapan 3,18 Sedang dan program Pemilu Tema dan materi tentang 2 3,03 Sedang penyelenggaraan Pemilu Pemahaman dan pengetahuan 3 3,25 Sedang tentang Pemilu Pemahaman & pengetahuan 4 tentang tahapan & program 3,26 Sedang Pemilu Pemahaman & pengetahuan 5 tentang tata cara penggunaan 3,44 Sedang hak politik & hak pilih Kesadaran untuk berperan 6 serta dalam setiap tahapan 3,59 Sedang pemilu Kesadaran untuk mencoblos 7 3,74 Tinggi dalam Pemilu Sumber : Data Primer 2015 Keterangan: Rendah: 1,00 – 2,33 sedang: 2,34 – 3,67 tinggi 3,68-5,00 1 5.7.4 Jenis Pilkada Yang Diinginkan Warga ke depan Baru-baru ini mucul keinginan pemerintah untuk mengembalikan pilkada kepada mekanisme pemilihan oleh DPRD. Paling tidak ada tiga alasan yang dikemukakan. Pertama Masyarakat Kota Bukittinggi yang diwakili rasponden penelitian ini ternyata masih mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dibandingkan dengan dipilih oleh DPRD. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 297 responden atau 79 % menyatakan setuju dengan pemilu yang dipilih langsung oleh masyarakat dan hanya 14 % yang setuju kepala daerah dipilih oleh DPRD serta 7 % menyatakan tidak tahu. Peserta FGD menyatakan tanggapannya tentang hal ini. Menurut mereka mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat harus tetap dipertahankan meskipun ada beberapa catatan yang harus diperbaiki dari 73 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 proses penyelenggaraannya. “Jika ada tikus dilumbung padi usir saja tikusnya, jangan lumbungnya yang dibakar”, kata salah seorang peserta. Kelemahan yang harus diperbaiki dari pilkada, menurut informan adalah biaya pelaksanaan pilkada yang terlalu tinggi harus dihemat, politik uang harus dihilangkan, sistem rekrutmen calon kepala daerah harus terbuka dan seleksinya diperketat dengan persyaratan tambahan yaitu memiliki standar kompetensi dan standar moral dan integritas yang diuji oleh lembaga yang benar-benar kredibel. Terakhir adalah masalah keamanan akibat sengketa pilkada perlu ditingkatkan. Tabel 5.23: Jenis Pilkada Yang Diinginkan Warga ke depan Jenis Pilkada Dipilih langsung oleh rakyat seperti sekarang Dipilih oleh DPRD Tidak tahu Total Sumber : Data Primer 2015 5.8 Frekuensi % Presentase Kumulatif 297 79% 79% 53 25 375 14% 7% 100% 93% 100% Perilaku Memilih Masyarakat dalam Pemilu Legislatif 2014 Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa dalam penelitian ini perilaku memilih didefinisikan sebagai proses penentuan keputusan seseorang untuk memilih (atau tidak memilih) partai atau kandidat tertentu dalam sebuah pemilihan umum2. Berikut akan diuji hubungan antara variabel bebas yaitu Sosio Demografi, Identifikasi Kepartaian, Penilaian terhadap Kondisi sosial ekonomi Daerah dan Sikap terhadap Politik Uang dengan variabel terikat yaitu Perilaku Memilih dalam Pemilu Legislatif 2014. Aidinil Zetra, 2005, Perilaku Memilih Buruh Migran Indonesia di Malaysia dalam Pemilu 2004. Tesis Master di National University of Malaysia. 2 74 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 5.8.1 Hubungan Sosio Demografi dengan Perilaku Memilih Pendekatan sosiologis percaya bahwa perilaku memilih masyarakat ditentukan oleh faktor sosio demografinya seperti umur, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan sebagainya. Beberapa penelitian terdahulu seperti yang telah dipaparkan pada bab 2 yakni Affan Gaffar dan JB. Kristiadi menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor sosiologis yang siginifikan dan paling berpengaruh terhadap perilaku memilih masyarakat Indonesia yaitu faktor agama, kedaerahan dan etnik/suku. Berikut akan dipaparkan hasil pengujian hipotesis 1penelitian ini: H01 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Faktor Sosio : Demografi dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Ha1 Terdapat hubungan yang signifikan antara Faktor Sosio Demografi dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 5.8.1.1 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Kelompok Umur H01.1 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan : perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Ha1.1 Terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Hipotesis Ho1.1 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel umur responden dengan variabel perilaku memilih mereka dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0.000 lebih kecil dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,25 (< 0.5). Dengan 75 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol 1.1 ditolak. Dengan kata lain terdapat hubungan antara kelompok umur masyarakat Kota Bukittinggi dengan perilaku memilih mereka dengan kekuatan hubungan yang lemah. Artinya, terdapat perbedaan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi berdasarkan kelompok umur. Temuan ini menguatkan teori Franklin (1984) yang mengatakan bahwa kesetiaan dan dukungan seseorang terhadap partai politik tertentu tidak bersifat stabil tetapi selalu berubah berdasarkan umur dan tingkat kedewasaannya. Ketika seseorang beranjak dewasa, biasanya menjelang umur 25 tahun, ia akan meninjau kembali dan menyesuaikan dukungan partainya dengan partai yang memperjuangkan keinginan mereka. 5.8.1.2 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Jenis Kelamin H01.2 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin : dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Ha1.2 Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Hipotesis Ho1.2 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel jenis kelamin responden dengan perilaku memilih mereka dalam pemilu 2014 di Kota Bukittinggi. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0,586 lebih besar dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,027 lebih kecil dari 0.5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol 1.2 diterima. Dengan kata lain tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin pemilih dengan perilaku memilih mereka dalam pemilu legislatif 2014 di Kota Bukittinggi. Artinya, tidak terdapat perbedaan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi berdasarkan dilihat dari segi jenis kelamin masyarakat. 76 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 5.8.1.3 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Negeri Asal H01.3 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara negeri asal : dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Ha1.3 Terdapat hubungan yang signifikan antara negeri asal dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Hipotesis Ho 1.3 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel Negeri Asal responden dengan perilaku memilih mereka dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0.949 lebih besar dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,03 (< 0.5). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol 1.3 diterima. Dengan kata lain tidak terdapat hubungan antara negeri asal pemilih dengan perilaku memilih mereka dalam pemilu legislatif 2014 di Kota Bukittinggi. Hal ini dapat diartikan warga Kota Bukittinggi dalam menggunakan hak pilih tidak didasarkan kepada sentimen kedaerahan. Orang Kurai belum tentu akan memilih memilih calon asli Kurai, orang Agam belum tentu akan memilih calon yang berasal dari Agam, dan seterusnya. 5.8.1.4 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Tingkat Pendidikan H01.4 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat : pendidikan dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Ha1.4 Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 77 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Hipotesis Ho 1.4 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel tingkat pendidikan responden dengan perilaku memilih mereka dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0,001 lebih kecil dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,659 (>0.5). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol 1.4 Ditolak. Dengan kata lain terdapat hubungan antara tingkat pendidikan pemilih dengan perilaku memilih mereka. Terdapat perbedaan yang signifikan pilihan masyarakat terhadap calon dan partai antara golongan yang berpendidikan tinggi dengan berpendidikan rendah. 5.8.1.5 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Agama H01.5 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara agama dengan : perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Ha1.5 Terdapat hubungan yang signifikan antara agama dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Hipotesis Nol 1.5 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel agama responden dengan perilaku memilih mereka dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0,655 lebih besar dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,078(< 0.5). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hipotesis Nol 1.5 Diterima. Dengan kata lain tidak terdapat hubungan antara Agama pemilih dengan perilaku memilih mereka dalam pileg 2014 di Kota Bukittinggi. 5.8.1.6 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Jenis Pekerjaan H01.6 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Jenis Pekerjaan : dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 78 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Ha1.6 Terdapat hubungan yang signifikan antara Jenis Pekerjaan dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Hipotesis Nol 1.6 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel Jenis Pekerjaan responden dengan perilaku memilih mereka dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0,242 lebih besar dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,197 lebih kecil dari 0.5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hipotesis Nol 1.6 Diterima. Dengan kata lain tidak terdapat hubungan antara jenis pekerjaan pemilih dengan pilihan mereka terhadap partai dan calon pada Pileg 2014 lalu di Kota Bukittinggi. Jenis Pekerjaan masyarakat ternyata bukan menjadi faktor pembeda dalam menentukan pilihan dalam pemilu. 5.8.1.7 Perbedaan Perilaku Memilih Berdasarkan Tingkat Pendapatan H01.7 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Tingkat : Pendapatan dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Ha1.7 Terdapat hubungan yang signifikan antara Tingkat Pendapatan dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Hipotesis Nol 1.7 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel tingkat pendapatan responden dengan perilaku memilih mereka dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0,920 lebih besar dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,070 lebih kecil dari 0.5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hipotesis Nol 1.7 Diterima. Dengan kata lain tidak terdapat hubungan antara Tingkat Pendapatan Pemilih dengan perilaku memilih. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pilihan masyarakat Kota Bukittinggi dalam Pileg 2014 tidak berbeda jika dilihat dari tingkat pendapat mereka. 79 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 5.8.2. Pengaruh Identifikasi Kepartaian terhadap Perilaku Memilih Apakah pemilih di Kota Bukittinggi menjatuhkan pilihan mereka terhadap partai politik pada Pileg 2014 lalu sesuai dengan identifikasi partainya? Berdasarkan data penelitian ini tampaknya jawaban responden terhadap pertanyaan ini adalah Ya. Sebanyak 90.9% responden yang mengatakan bahawa mereka yang merasa dekat dengan parti Islam memilih partai Islam pada pemilu 2014 dan yang lainnya yaitu 9.1% pemilih partai sekular. Di antara mereka yang merasa dekat dengan parti sekular, sebanyak 75.0% memilih partai sekular dan hanya 25.0% yang memilih parti Islam. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara identifikasi partai dengan perilaku memilih dapat dilakukan pengujian hipotesis nol 3 sebagai berikut: H02 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Identifikasi : Kepartaian dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Ha2 Terdapat hubungan yang signifikan antara Identifikasi Kepartaian dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Hipotesis Nol 2 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel Identifikasi Kepartaian masyarakat dengan perilaku memilih mereka dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0,003 lebih kecil dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0,3 (<. 0.5). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol 2 Ditolak. Dengan kata lain terdapat hubungan antara identifikasi kepartaian dan perilaku memilih mereka dengan kekuatan hubungan yang sedang. 80 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Hubungan antara identifikasi kepartaian dengan perilaku memilih menjadi semakin jelas jika dilihat dari segi tingkat kekuatan identifikasi partai. Responden yang mempunyai identifikasi partai yang kuat terhadap partai Islam kemungkinan besar akan memilih parti Islam dan sebaliknya responden yang mengidentifikasikan dirinya secara kuat kepada partai sekuler akan cenderung memilih partai sekuler. Pemilih yang memiliki identifikasi partai yang lemah memiliki kecenderungan untuk pindah kesetiaannya kepada partai lain. Terdapat 50.0% responden yang mempunyai identifikasi partai yang lemah terhadap PDIP (partai sekuler) memilih partai Islam yaitu PKB dan PKS masing-masing 25.0%. Begitu juga terdapat responden yang mempunyai identifikasi partai yang lemah terhadap PPP (parti Islam) pada Pileg 2014 ternyata memilih PDIP dan Golkar (partai sekuler) masing-masing 50.0%. 5.8.3. Pengaruh Sikap Terhadap Politik Uang terhadap Perilaku Memilih H0 3 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap terhadap : Politik Uang dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Ha 3 Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap terhadap Politik Uang dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Hipotesis No 3 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel Sikap terhadap Politik Uang dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu 2014. Hasil analisis khi kuadrat menunjukkan nilai α = 0,002 lebih kecil dari 0,005, koefisien kontigensi (C) = 0.821 (>0.5). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol 3 Ditolak. Dengan kata lain terdapat hubungan antara sikap terhadap politik 81 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 uang para pemilih dengan perilaku memilih mereka dengan kekuatan hubungan yang kuat. 5.8.4. Pengaruh Penilaian Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah terhadap Perilaku Memilih H0 4 Tidak terdapat pengaruh Penilaian Kondisi Sosial Ekonomi : Daerah terhadap Perilaku Memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Ha 4 Terdapat pengaruh Penilaian Kondisi Sosial Ekonomi Daerah terhadap Perilaku Memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 Hipotesis No 4 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara variabel Penilaian masyarakat terhadap kondisi sosial ekonomi dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu 2014. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai α= 0,03 kecil dari 0,05 dengan Koefisien Kontigensinya (C) hanya 0,25, yaitu lebih kecil dari 0,5 dapat disimpulkan bahwa Ho 4 ditolak dan Ha 4 diterima. Berarti terdapat hubungan yang signifikan antara penilaian masyarakat terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Kota Bukittinggi terhadap perilaku memilih warga dalam pemilu legislatif 2014. Menurut teori pilihan rasional atau pendekatan ekonomi, pemilih dalam pemilu akan mempertimbangkan apa manfaat yang akan didapatkan seandainya partai atau kandidat yang didukungnya menang dan sebaliknya, apakah resiko yang terpaksa ditanggungnya seandainya partai yang didukungnya itu kalah. Pemilih akan mempertimbangkan apakah manfaat yang akan didapatkan seandainya partai yang didukungnya menang dan sebaliknya, apakah biaya yang terpaksa ditanggungnya seandainya partai yang didukungnya itu kalah. Penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah dapat diukur dari persepsi masyarakat terhadap masalah 82 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 sosial ekonomi masyarakat yang sedang dialami masyarakat saat ini. Apakah penilaian terhadap masalah sosial ekonomi ini mempengaruhi perilaku memilih masyarakat di Kota Bukittinggi? Penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah terlefleksi dari penilaian masyarakat terhadap kondisi sosial ekonomi muncul selama pemerintahan. Gambaran penilaian responden terhadap kondisi sosial ekonomi yang ada di Kota Bukitinggi adalah sebagai berikut: Tabel 5.24: Penilaian terhadap Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat Persentase Masalah Utama Frekuensi % Kumulatif Kelangkaan pupuk 12 3% 3% Mahalnya biaya berobat 24 6% 9% Susahnya lapangan pekerjaan 110 29% 38% Masalah korupsi/KKN 4 1% 39% Kurangnya kepercayaan kepada 42 11% 51% pimpinan daerah Kurangnya rasa aman & 12 3% 54% rendahnya ketertiban Kelangkaan air bersih 35 9% 63% Terjadinya/ancaman banjir 1 0% 63% Sarana/prasarana transportasi 7 2% 65% Mahalnya harga sembako 37 10% 75% Mahalnya biaya pendidikan 7 2% 77% Tidak tegaknya hukum dengan 15 4% 81% adil Masalah listrik 24 6% 87% Kesembrautan lalu lintas 35 9% 96% Lainnya 15 4% 100% Total 356 100,0 Sumber : Data Primer 2015 83 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 6.1 Pengantar Bab ini akan mendiskusikan hasil temuan penelitian ini serta memberikan justifikasi terhadap hipotesis yang ditolak dan diterima. Selain itu bagian ini juga akan menjawab dan menjelaskan beberapa masalah penelitian yang telah dikemukakan di depan. Sumber pembahasan yang dilakukan adalah mengacu kepada temuan seperti tabel-tabel, frekuensi dan persentase serta dibuat perbandingan dengan penelitian terdahulu yang relevan. Kemungkinan yang mempengaruhi hasil penelitian juga didiskusikan untuk menarik kesimpulan penelitian. Selanjutnya implikasi dan rekomendasi akan dikemukakan sebagai panduan bagi pihak-pihak yang berminat untuk melakukan penelitian terkait dan sebagai rujukan bagi stakeholder pemilu baik KPU, Bawaslu, partai politik maupun masyarakat . KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 84 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 6.2. Pembahasan 6.2.1 Sosial Demografi dan Perilaku Memilih Faktor sosial demografi dalam penelitian ini dibagikan menjadi 6 sub variabel yaitu umur, jenis kelamin, negeri asal, tingkat pendidikan, agama, jenis pekerjaan, dan tingkat penTemuan. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa selain umur dan tingkat pendidikan, faktor sosio demografi tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku memilih. Artinya, pilihan terhadap partai dan calon masyarakat Kota Bukittinggi dalam Pileg 2014 tidak begitu dipengaruhi oleh faktor sosio demografi mereka, kecuali kelumpok umur dan tingkat pendidikan. Penelitian ini juga menemukan bahwa faktor status sosial ekonomi dengan sub variabel tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan ternyata tidak mempengaruhi perilaku memilih. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan sarjana Barat yang tergabung dalam kelompok Kolombia, seperti Paul Lazarsfield dan kawan-kawan (1968) yang mengatakan bahwa perilaku memilih seseorang terhadap partai politik tertentu dipengaruhi secara signifikan oleh faktor-faktor latar belakang sosioekonomi. Begitu juga penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Augus Campbell dan rakan-rakan (1960), yang juga menunjukkan adanya hubungan antara status sosioekonomi dengan perilaku memilih di Amerika Serikat. Selain itu penelitian ini juga menemukan hasil yang berbeza dengan penelitian-penelitian tentang perilaku memilih di British seperti yang dilakukan oleh Butler dan Stokes (1969) dan Rose (1974:700) atau penelitian di Netherlands oleh Arend Lijphart (1974) yang mengatakan bahwa status sosioekonomi mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai dan perilaku memilihnya. Namun jika dibandingkan dengan hasil penelitian di Indonesia seperti yang dilakukan oleh Afan Gaffar (1992), dan Kristiadi (1993), temuan KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 85 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 penelitian ini tampaknya selaras. Afan Gaffar (1992) menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara perilaku memilih masyarakat desa di Jawa dengan status sosial dan ekonomi mereka. Begitu juga Kristiadi (1993) mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara struktur sosial pemilih pedesaan dan perkotaan di Jawa dengan pilihan partai mereka. Dengan demikian, meskipun periode penelitian antara penelitian Afan Gaffar dan Kristiadi dengan penelitian ini sudah lebih dari dua dekade, namun perilaku pemilih masyarakat Indonesia masih menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu tidak dipengaruhi oleh status sosial ekonomi mereka. 6.2.2 Partisipasi dalam Pemilu Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi responden dalam menggunakan hak pilih dalam pemilu sangat beragam, yaitu pertama karena pemilih menyadari bahwa menggunakan hak suara dalam pemilu adalah menjadi tanggungjawab mereka sebagai warganegara di negara yang demokratis. Kedua, karena mereka menginginkan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik. Ketiga karena ingin partai yang mereka dukung keluar sebagai pemenang. Dari data tersebut dapat ketahui bahwa meskipun sebagian besar responden mempunyai penilaian negatif terhadap kinerja pemerintah dengan mengatakan banyaknya masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat, namun masih banyak responden yang mempunyai kesadaran tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warganegara. Selain itu mereka tampak masih mempunyai harapan bahwa pemilu akan menghasilkan perubahan. Mereka mempunyai keyakinan bahwa tindakan mereka baik secara individu atau kolektif berpengaruh dalam menghasilkan perubahan politik ke arah yang lebih baik atau dikenal juga dengan political efficacy (K. Prewitt 1968: 225) KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 86 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Namun sangat disayangkan, niat baik untuk berpartisipasi memilih tersebut tidak didukung oleh informasi yang memadai. Karena selain kesibukan bekerja hampir tidak ada waktu untuk memikirkan masalah politik. Selain itu wakga Bukittinggi yang kebanyakan bekerja sebagai pedagang, pengusaha konveksi, pegawai, petani , dan sebagainya, mereka mengaku kesulitan mendapatkan informasi yang lengkap tentang calon dan partai politik peserta pemilu. Kebanyakan kampanye yang dilakukan oleh calon dan partai politik tidak menyediakan informasi yang lengkap dan mendalam. Oleh sebab itu, sebagian besar pemilih mengatakan bahwa dalam membuat keputusan memilih salah satu calon atau parti politik dalam pemilu 2014 tidak didasarkan kepada pertimbangan visi, misi dan program partai serta kemampuan dan integritas calon yang akan mewakili mereka di legislatif. 6.2.3 Penilaian Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah dan Perilaku Memilih Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar responden memiliki penilaian yang negatif terhadap prestasi pemerintah daerah dan dinamika politik lokal. Penilaian yang negatif ini kemungkinan besar disebabkan karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah dan DPRD memenuhi janji-janji mereka dan memperbaiki keadaan ekonomi daerah dan khususnya dalam menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya. Selain itu penilaian negatif terhadap pemerintah daerah kemungkinan besar juga disebabkan karena kegagalan pemerintah dalam memecahkan masalah-masalah sosial dan ekonomi seperti sempitnya lapangan pekerjaan, mahalnya harga sembako, langkanya air bersih, sembrautnya lalu lintas. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila penelitian ini menemukan bahwa faktor penilaian terhadap keadaan sosial ekonomi KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 87 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 daerah telah mempengaruhi perilaku memilih dalam pemilu. Bahkan telah mempengaruhi keputusan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Dengan dengan demikian dapat dipahami mengapa tingkat partisipasi memilih di Daerah Pemilihan Bukittinggi I pada Pemilihan DPRD Kota Bukittinggi hanya mencapai 25%, daerah pemilihan Bukittinggi 2 hanya 22,22% dan daerah pemilihan Bukittinggi 3 hanya 12, 96%. 6.2.4 Identifikasi Partai dan Perilaku Memilih Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang sedang antara perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dengan identifikasi partai mereka. Masyarakat yang memiliki identifikasi kepartaian yang kuat terhadap PKS kemungkinan besar akan memilih PKS dan sebaliknya masyarakat yang mengidentifikasikan dirinya secara kuat kepada PDIP akan cenderung memilih PDIP. Masyarakat yang memiliki identifikasi kepartaian yang lemah memiliki kecenderungan untuk berpindah kesetiaannya kepada partai lain. Semakin kuat pemilih mengidentifikasikan dirinya kepada salah satu partai tertentu semakin besar kemungkinan mereka memilih partai tersebut. Hasil penelitian ini mendukung temuan penelitian yang dilakukan oleh Afan Gaffar (1992) di Brobanti Yogyakarya yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara identifikasi parti dengan perilaku memilih. Afan Gaffar menemukan bahwa responden yang memiliki identifikasi partai yang kuat kepada partai Islam kemungkinan besar akan memilih parti Islam, dan mereka yang mempunyai identifikasi yang kuat kepada partai bukan Islam kemungkinan besar akan memilih partai bukan Islam. Identifikasi kepartaian yang lemah akan cenderung merubah kesetiaannya. Affan menyimpulkan bahwa semakin kuat pemilih pedesaan di Jawa mengidentifikasikan dirinya kepada partai tertentu, semakin besar kemungkinan mereka memilih partai tersebut. KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 88 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Terkait dengan partisipasi politik masyarakat dalam memberikan dukungan kepada partai politik ditemukan rata-rata tingkat partisipasi politik masyarakat rendah. Kebanyakan masyarakat Kota Bukittinggi tidak pernah terlibat dalam aktivitas mendukungh partai tertentu. Bagi masyarakat yang pernah terlibat dalam kegiatan politik kebanyakan bentuk keterlibatan mereka hanyalah sebatas menggunakan hak suara dalam pemilu dan menghadiri kampanye calon dan partai. 6.3 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas jika dihubungkan dengan permasalahan utama penelitian sebagaimana dikemukakan pada bahagian terdahulu, dapat disimpulkan : 1. Terdapat hubungan yang signifikan antara umur dan tingkat pendidikan dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014 2. Tidak terdapat hubungan antara faktor sosio demografi dengan sub variabel jenis kelamin, negeri asal, agama, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara perlakuan memilih dengan variabel identifikasi kepartaian masyarakat Kota Bukittinggi pada pemilu legislatif pada tahun2014. Pemilih yang mengidentifikasikan dirinya secara kuat dengan partai tersebut punya peluang yang besar untuk memilih partai tersebut. Identifikasi parti yang lemah memiliki kecenderungan untuk berpindah kesetiaannya kepada partai lain. Semakin kuat pemilih mengidentifikasikan dirinya kepada salah satu parti tertentu semakin besar kemungkinan mereka memilih partai tersebut. 4. Terdapat hubungan antara sikap terhadap Politik Uang dengan perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014. KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 89 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Namun tidak ada jaminan bahwa orang menerima politik uang akan mendukung partai atau calon yang memberikan uang atau barang kepada pemilih. 5. Terdapat pengaruh penilaian terhadap kondisi sosial ekonomi Daerah terhadap perilaku memilih masyarakat Kota Bukittinggi dalam pemilu Legislatif 2014. Masyarakat yang menilai negatif terhadap kondisi sosial dan ekonomi daerah cenderung tidak memilih calon atau partai yang pemimpinnya sedang memerintah. 6.4. Rekomendasi Penelitian Berdasarkan temuan hasil penelitian maka penelitian ini merumuskan rekomendasi sebagai berikut: Pertama, karena tingginya tingkat golput di kalangan pemilih pemula maka peneliti merekomendasikan nahwa perlu dilakukan pendidikan politik (civic education) yang lebih terstruktur dan kontinu bagi kaum muda untuk meningkatkan kebanggaan kaum muda terhadap bangsanya dan partisipasi pemilih pemula dalam pelaksanaan pemilu. Pendidikan politik untuk pemilih pemula selama ini cendrung diperoleh dari media massa atau media sosial yang sering menampilkan sisi buruk dari perilaku elite politik, dan ini mempengaruhi minat pemilih pemula. Beberapa program yang lebih kreatif dan inovatif dapat dibuat seperti lomba kesenian, karya tulis tentang pemilu, lomba membuat poster pemilu atau lomba debat politik dan pemilu yang dilakukan di kalangan pelajar untuk menggali ekspresi mereka tentang pemilu dan politik. Pemilih pemula sebagian besar saat ini gemar menggunakan teknologi informasi, misalnya internet ataupun telepon genggam, dll. Media TI dapat dimanfaatkan untuk menarik atau memengaruhi mereka agar lebih responsif atau proaktif mengikuti proses pemilihan. Melalui media ini diharapkan para pemilih pemula dapat mengetahui apa, siapa, bagaimana, kapan dan dimana pemilihan akan dilaksanakan. KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 90 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 Kedua, Karena terdapat perbedaan motivasi memilih masyarakat berdasarkan tingkat hidup, tingkat pendidikan sesorang, umur jenis kelamin, Lokasi tempat tinggal (Kelurahan/Desa), maka disarankan program sosialisasi pemilu harus disesuaikan dengan target audien sosialisasi itu sendiri dengan kemasan acara yang menarik sesuai dengan prinsip-prinsip, strategi dan taktik kampanye komunikasi publik. Selain itu itu, karena kegiatan sosialisasi merupakan tanggungjawab semua pihak dalam konteks kesukarelaan politik maka KPU perlu membangun lebih banyak lagi jaringan dan kerjasama dengan berbagai pihak untuk melaksanakan kegiatan sosialisasi sehingga kegiatan ini semakin luas. Di antara institusi yang dapat diajak bekerjasama adalah partai politik, sekolah, perguruan tinggi, lembaga kursus, LSM, Pemerintah daerah dan jajarannya sampai ke desa dan kelurahan, media massa, tokoh masyarakat seperti ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang, pemuda dan sebagainya. Ketiga, untuk mengurangi angka golongan putih (Golput) hasil kajian ini menunjukkan bahwa persoalan golput bukan persoalan yang sederhana hanya sekedar persoalan teknis atau kurangnya sosialisasi tetapi lebih dari itu, ia menyangkut persoalan ideologi. Untuk mengurangi golput para politisi dan pemimpin yang dipilih melalui pemilu harus mampu meyakinkan pemilih bahwa mereka adalah pemimpin pilihan rakyat yang amanah dan mampu merubah keadaan negara dan daerah. Karena kebanyakan alasan orang memilih golput adalah karena masyarakat tidak yakin pemilu mampu merubah keadaan. Selain itu alasan golput adalah masyarakat merasa urusan mereka lebih penting, ini perlu pendidikan politik untuk menumbuhkan kesadaran masyarat. Keempat, Karena mayoritas responden menghalakan politik uang dan politik uang ternyata mampu mempengaruhi perilaku memilih, maka hal ini jelas membutuhkan proses pendidikan moral dan etika, sosialisasi dan penyadaran tidak hanya mengangkut aspek pengetahuan tentang pemilu tetapi juga menyangkut aspek afektif yaitu keyakinan tentang resiko dan KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 91 Riset Perilaku Pemilih Kota Bukittinggi dalam Pemilu 2014 dampak negatif politik uang terhadap kehidupan orang banyak dan berjangka panjang. Untuk itu diperlukan peran aktif semua pihak seperti pemimpin agama, pemimpin adat, para pendidik mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi, orang tua, pemimpin pemerintahan dan lain-lain dalam memberikan teladan kepada masyarakat. Kelima, temuan bahwa partisipasi politik warga rata-rata berada pada peringkat sedang, maka perlu upaya serius untuk meningkatkan kembali partisipasi dan kesukarelaan politik dari pemimpin masyarakat baik formal maupun informal dari pusat sampai ke desa/kelurahan, nagari terutama untuk memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat. Karena keadaan sosial ekonomi masyarakat ini mempengaruhi tingkat kesukarelaan politik warga masyarakat. Perbaikan kondisi ekonomi ini harus diiringi oleh suatu gerakan bersama untuk menumbuhkan kembali semangat kesetiakawanan sosial, semangat berani berkorban, keiklasan, saling bantu membantu, menggalakkan kegiatan sosial (philanthropy) atau pengabdian kepada masyarakat, meningkatkan partisipasi politik, kegiatan advokasi atau kampanye. KPU Kota Bukittinggi Tahun 2015 92 PoLokDa S T U D I E S C E N T E R email : [email protected] Alamat : Gedung Jurusan Ilmu Politik FISIP UNAND Limau Manis Padang, Sumatera Barat