Sachs, Jeffrey, and Felipe Larrain, “Macroeconomics in the Global Economy”, Harverter Wheatsheaf, New York, 1993. Tulus Tambunan, Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan Empiris, Jakarta: Putaka LP3ES, 2001. Salvatore, D., Twin deficits in the G-7 countries and global structural imbalances. Elsevier Journal of Policy Modeling, 2007. Wijayanto Samirin, Defisit Kembar: Lingkaran Setan Yang Menjerumuskan Availabel at: http:// beritamoneter.com/defisit-kembar-lingkaransetan-yang-menjerumuskan/ Sri Adiningsih dan Laksmi Yustika Devi, Dinamika Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia, Yogyakarta: Kanisus, 2012. Konsumsi Energi Listrik dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Aplikasi dan Model Stanley Fischer and William Easterly, The Eeconomics of the Government Budget Constraint, The Worlbank Reserach Observer, Vol 2 No., 5, Juli 1990. World Bank, Country Page and Key Indicators:Vietnam. World Bank East Asia and Pasific Economic Update 2012, Volume 1, 2012. World Economic Outlook (http://world-economicoutlook.findthedata.org/compare/2583-2584/ Indonesia-vs-Indonesia#/) Yusuf Suryanto Bappenas, Indonesia Email: [email protected]; [email protected] Abstract The purpose of this study is to investigate causal relationships between economic growth and electricity consumption in Indonesia. It uses time-series data spanning from 1971 to 2010. Vector autoregressive (VAR) model is used to understand the relationships. Using ADF and PP tests, it finds that the investigated variables are non stationary integrated order one or I(1). Engle-Granger cointegration as well as Johansen cointegration tests fail to reject not-cointegrated hypothesis. Finally, Granger noncausality methodology is employed and the results indicate that no causality between selected variables. Therefore, it can be concluded that economic growth does not support electricity consumption and vice versa. It implies that Indonesian government may impose conservation and economic growth polices simultaneously. Tujuan dari studi ini adalah untuk menyelidiki hubungan sebab-akibat/kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik di Indonesia. Studi ini 10 Edisi 03/Tahun XIX/2013 MAJALAH.indd Spread 10 of 44 - Pages(10, 79) menggunakan data time-series dari tahun 1971 sampai tahun 2010. Vector autoregressive (VAR) model digunakan untuk memahami hubungan dimaksud. Dengan menggunakan uji augmented dickey fuller (ADF) dan Phillips-Perron (PP), dan Kwiatkowski-Phillips-SchmidtShin (KPSS), studi ini menemukan bahwa variabel yang diselidiki adalah variabel non-stasioner terintegrasi orde 1 atau I(1). Uji Engle-Granger cointegration dan Johansen cointegration tidak dapat menolak notcointegrated hypothesis. Terakhir, metode Granger noncausality digunakan dan hasilnya mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara variabel terpilih. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mendukung konsumsi energi listrik dan sebaliknya. Hal ini berimplikasi bahwa pemerintah dapat menempuh kebijakan conservation and economic growth secara simultan. Keywords: konsumsi energi listrik, pertumbuhan ekonomi, vector autoregressive (VAR), kausalitas. Edisi 03/Tahun XIX/2013 79 31/12/2013 16:00:46 c. Kebijakan peningkatan kemampuan industri dalam negeri untuk mensuplai kebutuhan kelas menengah yang sedang tumbuh pesat, melalui percepatan upaya penguasaaan teknologi. d. Perumusan kebijakan diversifikasi negara tujuan Ekspor dan peningkatan ekspor barang bernilai tambah untuk meningkatkan nilai ekonomi e. Koordinasi kebijakan fiskal melalui subsidi dalam menyerap resiko suatu gejolak terhadap perekonomian secara keseluruhan. Untuk praktik di Indonesia, konsep ini antara lain terkait dengan peran subsidi BBM dan pengelolaan pasokan kebutuhan pokok (horticultura). Untuk subsidi kebutuhan pokok, kajian untuk kasus di Indonesia berimplikasi pengelolaan terhadap distribusi dan pasokan kebutuhan pokok oleh pemerintah menjadi sangat penting artinya dalam pengendalian inflasi di Indonesia. Biro Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2013, Berita Resmi Statistik No. 17/03/Th. XVI, 1 Maret 2013. Biro Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik: Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia. Availabel at: http:// www.bps.go.id/aboutus.php?news=1&nl=1. Brian Ng, Twin Deficits: An empirical analysis on the relationship between budget deficits and trade deficits in Argentina, USA: The College of New Jersey, 2007. Fleegler, Ethan, The Twin Deficits Revisited: A CrossCountry, Empirical Approach. Durham: Duke University, 2006. Hossain, A dan A. Chowdurry, Open Economy Macroeconomics Macroeconomics for Developing Countries. Edwar Elgar Publishing Limited. Cheltenham, UK, 1998. Daftar Pustaka http://beritamoneter.com/defisit-kembar-lingkaransetan-yang-menjerumuskan/ Anjum Aqeel and Mohammed Nishat, The Twin Deficits Phenomenon: Evidence from Pakistan, The Pakistan Development Review 39 : 4 Part II (Winter 2000). Anonim, Waspadai Jebakan “Twin Deficit”, http:// klikheadline.com/in/berita/waspadai-jebakantwin-deficit.html, diakses Mei 2013 Aviliani dan Iman Sugema dalam diskusi EC-Think. Avalibale at: http://www.metrotvnews.com/ metronews/read/2013/03/21/2/140365/ Defisit-Kembar-Ancaman-PerekonomianIndonesia Iskandar Simorangkir, Peranan Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal terhadap Perekonomian Indonesia, dalam Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter: Tantangan ke Depan. Yogyakarta: Kanisius, 2012. John Bluedron and Daniel Leigh, Revisiting the Twin Deficit Hypothesis: The Effect of Fiscal Consolidation on the current Account, 2003. Malahayati, Marrisa, Fenomena Twin Deficit pada Negara-Negara Asean, Bogor: FEM-IPB, 2011. A. Tony Priantono, Defisit Kembar, Kompas 18 Februari 2013 available at: http://psekp.ugm.ac.id/ artikel/id/13. Majed Bader, The Effect of the Twin Deficits on the Foreign Debt In Jordan: an Econometrical Study, Jordan: Hashemite University, 2006. Baharumshah, A. Z., Lau, E., and Khalid, A. M.,“Testing Twin Deficits Hypothesis: Using VARs and Variance Decomposition”, University Putra MalaysiaFaculty of Economics and Management, 2004. Mankiw, Gregory, Macroeconomics fifth edition. Worth Publisher, 2002. Bank Indonesia, Evaluasi Perekonomian Tahun 2012, Prospek 2013-2014, dan Kebijakan Bank Indonesia, Jakarta: Bank Indoensia, 2013. 78 Edisi 03/Tahun XIX/2013 MAJALAH.indd Spread 11 of 44 - Pages(78, 11) Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, Jakarta: Kementerian Keuangan RI, 2013. 1. Pendahuluan Salah satu isu utama di sektor energi saat ini adalah efisiensi pemanfaatan energi terkait dengan semakin meningkatnya harga energi dan dorongan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (green house gas emissions). Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang perlu lebih bijak dalam merespon isu tersebut. Hal ini mengingat bahwa konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat. Upaya untuk mengetahui hubungan sebab-akibat atau kausalitas (causality) diantara keduanya menjadi sangat penting. Arah (direction) dari hubungan kausalitas tersebut sangat menentukan kebijakan yang harus diambil. Sebagai contoh, apabila terdapat hubungan kausalitas dari konsumsi energi ke pertumbuhan ekonomi, maka kebijakan penghematan energi seharusnya tidak dilakukan karena dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian upaya untuk mengetahui hubungan kausalitas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang antara kedua variabel ekonomi tersebut sangat relevan untuk dilakukan. Terkait kausalitas antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi, Chen et al. (2007) menyatakan empat kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, hubungan kausalitas satu arah (uni-directional causality) dari konsumsi energi listrik ke pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi bahwa keterbatasan penggunaan energi listrik dapat berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi. Kedua, hubungan kausalitas satu arah dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi energi listrik yang berarti bahwa pertumbuhan ekonomi akan mendorong pemakaian energi listrik dan juga upaya konservasi pemanfaatan energi listrik tidak akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi. Ketiga, hubungan kausalitas timbal balik (bidirectional causality/feedback) yang berarti bahwa kedua variabel ekonomi tersebut saling terkait. Terakhir, tidak ada hubungan kausalitas (no causality) yang berarti bahwa konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi tidak berkorelasi atau kebijakan konservasi ataupun ekspansi dalam penyediaan energi listrik tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Mengingat hal tersebut di atas, tujuan dari studi ini adalah untuk menyelidiki kembali hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik di Indonesia dan mendiskusikan implikasi kebijakan yang ditimbulkan. Dengan demikian makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baru dalam literatur ekonomi energi di Indonesia terkait dengan masih terbatasnya penggunaan studi ekononometrika sebagai dasar formulasi kebijakan pembangunan bidang energi pada umumnya dan bidang ketenagalistrikan pada khususnya. Hal baru yang disajikan dalam studi ini adalah penggunaan data yang lebih terkini dengan periode yang lebih panjang dibandingkan dengan studi yang telah ada sebelumnya. Selain itu, menurut pengetahuan penulis, studi ini adalah yang pertama menggunakan metode Toda-Yamamoto untuk uji kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik di Indonesia sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pembanding atas literatur yang telah ada sebelumnya. Selanjutnya, makalah ini disusun sebagai berikut. Bagian 1 berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang dan tujuan. Bagian 2 mengulas secara ringkas mengenai literatur yang telah ada, sedangkan Bagian 3 menjelaskan mengenai variabel dan data yang digunakan serta menerangkan mengenai metode yang digunakan. Bagian 4 melaporkan hasil estimasi. Terakhir, Bagian 5 menyajikan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan. 2. Studi Literatur Terdapat dua kelompok pendapat mengenai hubungan antara energi dan pertumbuhan ekonomi. Kelompok pertama berpendapat bahwa energi hanya merupakan input antara dalam proses produksi. Diyakini bahwa meskipun sumber daya energi terbatas, ekonomi tetap dapat tumbuh karena pengaruh perkembangan teknologi dan penggunaan faktor-faktor produksi lainnya secara lebih efisien termasuk diantaranya pemanfaatan energi terbarukan. Dengan kata lain kelompok ini mendukung neutrality hyphotesis atau conservation hyphotesis. Hipotesa tersebut berimplikasi bahwa keterbatasan ataupun hambatan atas suplai energi tidak akan menimbulkan dampak yang buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Sehingga pemerintah dapat secara simultan mengadopsi kebijakan konservasi energi dan pertumbuhan ekonomi. Edisi 03/Tahun XIX/2013 11 31/12/2013 16:00:48 Kelompok kedua berpendapat bahwa konsumsi energi merupakan faktor yang membatasi pertumbuhan ekonomi. Perkembangan teknologi dan input produksi lainnya tidak dapat menggantikan peran penting dari energi dalam proses produksi. Lebih lanjut, energi adalah faktor utama dalam proses produksi karena faktor lainnya seperti tenaga kerja (labor) dan kapital (capital) tidak dapat bekerja tanpa adanya energi. Kelompok ini mendukung growth hypothesis yang berarti bahwa gangguan ataupun hambatan pada suplai energi dapat memberikan dampak yang negatif kepada pertumbuhan ekonomi. Terkait hubungan kausalitas antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi, studi yang ada saat ini dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu studi multi negara (multi-country study) dan studi negara tunggal (single-country study). Studi multi-negara yang terkait dengan negara-negara di Asia tenggara diawali oleh Murry dan Nan (1996). Mereka menggunakan standar Granger method untuk menguji hubungan antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi yang diwakili oleh gross domestic product (GDP) di negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Dengan menguji data tahun 1970-1990 dihasilkan hubungan yang bervariasi. Khusus untuk Indonesia mereka menemukan bahwa konsumsi energi listrik mengikuti pertumbuhan ekonomi (electricity follows economic growth) dalam jangka pendek (short-run). Kesimpulan yang sama ditemukan oleh Yoo (2006) dengan menggunakan metode Hsiao’s version of Granger causality tests dengan data tahun 1971–2002 di empat negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN) yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura. Chen et al. (2007) menggunakan uji kausalitas Granger dan error correction model (ECM) menguji hubungan kausalitas di 10 negara Asia berdasarkan data tahun 1971-2001. Khusus Indonesia mereka menemukan uni-directional long-run causality dari konsumsi energi listrik ke GDP. Namun, mereka tidak menemukan bukti adanya shortrun causality di Indonesia. Untuk studi negara tunggal, Yoo dan Kim (2006) tidak hanya menyelidiki kausalitas konsumsi tenaga listrik dan pertumbuhan ekonomi tetapi juga kausalitas pembangkitan listrik dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode Hsiao’s version of Granger causality tests untuk periode waktu 1971-2002. Hasilnya adalah peningkatan GDP menyebabkan peningkatan pembangkitan listrik, namun tidak sebaliknya (uni-directional) dan peningkatan GDP juga menyebabkan peningkatan konsumsi tenaga listrik. Sebagai tambahan, Chandran et al. (2010) menyelidiki kausalitas antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi di Malaysia menggunakan data time-series untuk periode waktu 1971-2003. Mereka menggunakan metode autoregressive distribute lag (ARDL). Mereka menyimpulkan adanya kausalitas satu arah dari konsumsi energi listrik ke pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek (short-run) di Malaysia. Dari berbagai studi tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil uji kausalitas berbeda-beda atau tidak konklusif (inconclusive). Perbedaan hasil studi tersebut diakibatkan oleh beberapa hal seperti karakteristik masing-masing negara, sample periods, dan metodologi riset, serta variabel yang digunakan (Binh, 2011). yang menjerumuskan, serta dalam jangka panjang akan mengganggu stabilitas perekonomian suatu negara. Mengingat, dampak negatif twin deficit sangat membahayakan bagi stabilitas perekonomian Indonesia, baik jangka menengah maupun jangka panjang, maka diperlukan tindakan secara koordinatif dalam perumusan kebijakan moneter dan fiskal untuk mengantisipasi fenomena twin deficit yang berkepanjangan. Dalam rangka mengantisipasi dampak negatif defisit kembar yang berkepanjangan terhadap stabilitas ekonomi, maka diperlukan langkah-langkah sinkronisai kebijakan moneter dan fiskal, melalui: (1) pemberlakuan kebijakan moneter ketat yaitu kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan; (2) pengurangan pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif dan mengalihkannya pada pengeluaran untuk kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi biaya sosial akibat krisis ekonomi, dan (3) pemberlakuan kebijakan yang dapat memperbaiki kemampuan pengelolaan sektor publik dan swasta, termasuk upaya mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif, (4) menaikkan harga BBM, mengupayakan penghematan konsumsi BBM, mengurangi subsidi BBM, menghindari penyelundupan BBM, dan menekan impor BBM, (5) meningkatkan pendapatan pajak melalui penurunan tingkat kebocoran penarikan pajak serta memperluas tax base (jumlah pembayar pajak), (6) Mengupayakan peningkatan kemampuan industri dalam negeri untuk mensuplai kebutuhan kelas menengah yang sedang tumbuh pesat, dan (7). Pemerintah membantu swasta untuk negosiasi ulang pinjaman jangka pendek swasta menjadi pinjaman jangka menengah /panjang, sehingga dapat mengurangi kebutuhan valas. B. Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan kesimpulan di atas, dalam rangka meminimalisir terjadinya defisit kembar, serta mengurangi dampak defisit kembar yang berkepanjangan, maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter yang Besifat Jangka Pendek: a. Dalam jangka pendek, dengan pendekatan kurva IS-LM, jalan keluar yang dapat ditempuh untuk 12 Edisi 03/Tahun XIX/2013 MAJALAH.indd Spread 12 of 44 - Pages(12, 77) mengantisipasi dampak negatif dari twin defisit adalah dengan menghidupkan kembali produksi dan pendapatan nasional melalui ekspansi fiskal yang didukung dengan kebijakan dari otoritas moneter dengan cara menciptkan kondisi keseimbangan sektor moneter yang lebih bersifat elastis (sehingga kurve LM semakin datar). Kebijakan penurunan pajak akan mengakibatkan peningkatan produksi yang lebih besar yang mendorong peningkatan pendapatan dan mengurangi defisit fiskal dan defisit perdagangan. b. Perumusan kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan, dengan cara pemerintah membantu swasta untuk negosiasi ulang pinjaman jangka pendek swasta menjadi pinjaman jangka menengah /panjang, sehingga dapat mengurangi kebutuhan valas; c. Kebijakan efisiensi fiskal dengan cara pengurangan pengeluaran pada kegiatan-kegiatan tidak produktif dan mengalihkannya pada pengeluaran untuk kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi biaya sosial akibat krisis ekonomi. PenghemataN fiskal ini dibarengi dengan kebijakan moneter yang bersifat pengetatan terhadap penggunaan valas. d. Perumusan kebijakan kenaikan harga BBM, mengupayakan penghematan konsumsi BBM, mengurangi subsidi BBM, menghindari penyelundupan BBM, dan menekan impor BBM. Kebijakan pemerintah ini dibarengi dengan kebijakan dari otortas moneter yang bersifat penghematan dan pembatasan penggunaan Valas. Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter yang Besifat Jangka Menengah: a. Kebijakan peningkatan kemampuan pengelolaan sektor publik dan swasta (termasuk sektor pariwisata yang diperkirakan cukup berpotensi dalam menghimpun devisa), kebijakan mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatankegiatan yang kurang produktif, b. Kebijakan peningkatan pendapatan pajak melalui penurunan tingkat kebocoran penarikan pajak serta memperluas tax base (jumlah pembayar pajak), Edisi 03/Tahun XIX/2013 77 31/12/2013 16:00:49 datar). Kebijakan penurunan pajak akan mengakibatkan peningkatan produksi yang lebih besar dalam kondisi keseimbangan permintaan uang yang bersifat elasitis, karena akan mendorong peningkatan pendapatan yang optimal sehingga mampu mengurangi defisit fiskal dan defisit perdagangan. Kalau otoritas moneter salah dalam meresponse kebijakan fiskal yang bersifat ekspasif tersebut, sehingga mengakibatkan kurve LM semakin in-elastis, maka akan memberikan trade-off terhadap dampak perekonomian secara makro. Gambar 10: Efektifitas Kebijakan Moneter Gambar 10 di atas, mengilustrasikan bahwa, misalnya pemerintah akan mengambil kebijakan moneter yang bersifat ekspansif yang ditandai dengan bergesernya kurva LM dari LM0 ke LM1 (misalnya pemerintah akan meningkatkan jumlah uang yang beredar dengan cara: membeli surat berharga pemerintah atau menurunkan tingkat suku bunga bank sentral atau menurnkan ratio cadangan wajib) untuk meningkatkan output (pendapatan/pertumbuhan nasional), berdasarkan pendekatan kurve IS-LM, maka kebijakan moneter yang ekpansif tersebut akan TIDAK EFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan/posisi Keynesian, karena tidak ada perubahan pada Y (tetap di Y1); dan akan EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) bersifat intermadiate change, karena masih ada perubahan positif dari Y2 ke Y3; dan akan SANGAT EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan Klasik, karena perubahan pendapatan nasional paling optimal, dari Y4 ke Y5. Dalam konteks twin defisit, pemerintah juga dapat melakukan analisis melalui pendekatan IS-LM, untuk menentukan pilihan kebijakan mana (fiskal atau moneter) dan bagaimana kebijakaan tersebut dikoordinasikan agar dapat memberikan pareto optimal terhadap perekonomian secara makro. Misalnya, pemerintah akan mengurangi defisit fiskal dengan cara meningkatkan pendapatan nasional dan menghidupkan kembali produksi. Misalnya, otoritas fiskal mengambil tindakan dengan cara menurunkan tingkat pajak (tax). Kebijakan penurunan pajak, akan menggeser kurve IS ke kanan. Kebijakan penurunan tax ini harus diresponse oleh otoritas moneter dengan cara menciptkan kondisi keseimbangan sektor moneter yang lebih bersifat elastis (sehingga kurve LM semakin 76 Edisi 03/Tahun XIX/2013 MAJALAH.indd Spread 13 of 44 - Pages(76, 13) Tabel 1. Rekapitulasi hasil studi No. 1. 2. Authors Murry and Nan (1996) Yoo (2006) Countries Philippines Methodology Results 1970–1990 No causality 1970–1990 GDPàElectricity Singapore 1970–1990 ElectricityàGDP Malaysia 1970–1990 ElectricityßàGDP 1971–2002 GDPàElectricity (LR) Indonesia Indonesia Standard Granger causality test Time Period Hsiao’s version of Granger causality method No causality (SR) Malaysia 1971–2002 ElectricityßàGDP (SR) III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Singapore 1971–2002 ElectricityßàGDP (SR) A. Kesimpulan Thailand 1971–2002 GDPàElectricity (SR) 1971–2001 ElectricityàGDP 1971–2001 GDPàElectricity (SR) Fenomena defisit kembar yang terjadi pada tahun 2012 cenderung berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap USD. Data memperlihatkan bahwa pada tahun 2011 nilai rupiah masih memperlihatkan penguatan yang cukup baik pada level Rp. 8.776/1 USD. Namun, nilai rupiah kembali terdepresiasi ke level Rp. 9.384/1 USD pada tahun 2012 dan menyentuh level Rp. 9.694,9/USD pada Maret 2013. Defisit neraca transaksi berjalan sejak tahun 2012 ditengarai telah berimbas pada menurunnya pasokan valas. Karena pemerintah tidak mampu mengimbangi permintaan valas maka nilai rupiah terus terdepresiasi hingga tahun 2013. Pada tahun 2012, neraca transaksi berjalan mengalami defisit, sedangkan neraca arus modal mengalami surplus. Jadi sumber masalah utama pelemahan nilai tukar pada 2012 dan 2013 diperkirakan bersumber dari defisit neraca transaksi berjalan. Penyebab utama terjadinya defisit neraca transaksi berjalan pada tahun 2012, termasuk defisit keseimbangan primer, diperkirakan karena (1) turunnya permintaan barang dan jasa oleh negara lain karena krisis dan jatuhnya harga komoditas primer andalan ekspor (sawit dan batu bara); (2) naiknya impor minyak karena lifting minyak (produksi minyak mentah siap jual yg ditergetkan pemerintah) anjlok dari 900.000 barrel menjadi 830.000 barrel per hari; (3) tingginya impor barang modal, termasuk pembelian pesawat komersial; serta (4) kurs rupiah tak lagi kompetitif mendorong ekspor dan menahan impor. Apabila gejala twin defisit ini tidak segera diantisipasi, maka akan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD karena kurangnya pasokan valuta asing, dan dalam jangka menengah, bukannya tidak mungkin akan memunculkan kekawatiran dari para pengamat ekonomi, yaitu mendorong munculnya fenomena downward death spiral, lingkaran setan 3. Chen, Kuo, and Chen Indonesia (2007) Malaysia Granger causality test dan ECM Thailand 1971–2001 No causality (LR) Singapore 1971–2001 No causality (LR) GDPàElectricity (SR) Philippines 4. Yoo, Kim (2006) Indonesia 1971–2001 Hsiao’s version of Granger causality method GDPàElectricity (SR) GDPàElectricity (SR) 5. Chandran, Sharma, Malaysia ARDL method 1971-2003 ElectricityàGDP (SR) Madhavan (2010) Catatan: GDPàElectricity berarti bahwa hubungan kausalitas terjadi dari konsumsi energi listrik ke pertumbuhan ekonomi; ElectricityàGDP berarti bahwa hubungan kausalitas terjadi dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi energi listrik; ElectricityßàGDP berarti terjadi hubungan kausalitas dua arah; LR = long-run; SR= short-run. 3. Data, Model, dan Metodologi 3.1. Data Variabel yang digunakan dalam studi ini adalah real gross domestic product (GDP) sebagai representasi dari pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik (EC). Pemilihan kedua variabel tersebut konsisten dengan studi yang dilakukan oleh Chen et al. (2007). Data diperoleh dari World Development Indicators (WDI) yang disusun oleh Bank Dunia (the World Bank). Real GDP disajikan dalam satuan juta US$ untuk harga konstan tahun 2005 sedangkan konsumsi energi listrik direpresentasikan dalam satuan juta kWh atau GWh. Data time-series yang digunakan adalah antara tahun 1971-2010. Kedua variabel tersebut selanjutnya diubah dalam bentuk logaritma natural (LnGDP dan LnEC) yang dimaksudkan untuk mengurangi problem heteroskedastisitas dalam estimasi. Selain itu, differenced logarithms merepresentasikan pertumbuhan (growth) dari variabel tersebut. Penjelasan mengenai kedua variabel yang digunakan disajikan dalam Tabel 2. Edisi 03/Tahun XIX/2013 13 31/12/2013 16:00:50 Tabel 2. Deskripsi variabel No. 1. Variabel tax base (jumlah pembayar pajak), (6) Mengupayakan peningkatan kemampuan industri dalam negeri untuk mensuplai kebutuhan kelas menengah yang sedang tumbuh pesat, dan (7). membantu swasta untuk renegosiasi pinjaman jangka pendek swasta menjadi pinjaman jangka menengah/panjang, sehingga dapat mengurangi kebutuhan valas. Description LnGDP Logaritma natural dari real GDP. Real GDP dalam harga konstan 2005 dalam juta USD. Diperoleh dari Bank Dunia (http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD). 2. LnEC Tabel 3 memperlihatkan bahwa kedua variabel memiliki tren dan intersep. Informasi ini akan digunakan dalam uji stationaritas (stationary test). Dari 40 observasi, rata-rata real GDP adalah 170 miliar USD sedangkan rata-rata konsumsi energi listrik adalah 48 ribu GWh. Kedua variabel memiliki positive skewnes yang menunjukkan bahwa kemungkinan kenaikan nilai lebih besar daripada penurunan. Tabel 3. Deskripsi Statistik dan Grafik GDP EC Mean 169816.6 48049.27 D. Pendekatan Kurva IS-LM dalam Memprediksi Efektifitas Koordinasi dan Interaksi antara Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Median 156791.2 31166.50 Maximum 377898.9 153832.0 Minimum 40581.26 1692.000 Std. Dev. 97623.17 46878.93 Skewness 0.407254 0.757499 40 40 Observations 3.2 Model dan Metodologi Studi ini menggunakan vector autoregressive (VAR) model sebagai basis uji kausalitas Granger (Granger Causality Test). Struktur dari sebuah model VAR dengan p-lag(s) atau VAR(p) adalah bahwa setiap variabel direpresentasikan sebagai fungsi linear dari p lag(s) variabel tersebut dan p lag(s) variabel lainnya. Dengan demikian semua variabel menjadi variabel dependent dan independent. Model VAR (p) secara umum adalah sebagai berikut. = + + (1) dimana, Xt adalah vektor dari variabel endogen dengan dimensi (n x 1). Xt-i adalah vektor dari lagged variabes. A0 = vektor dari variabel eksogen, termasuk konstanta (intersept) dan tren, Ai adalah koefisien matriks berdimensi (n x n), dan εt adalah vektor dari white noise residual, sedangkan p adalah jumlah lag(s) yang dipilih. Dalam uji kausalitas Granger (Granger-causality test), dinyatakan bahwa X2t menyebabkan (Grangercauses) X1t jika nilai lampau (past values) dari X2t membantu dalam memprediksikan X1t (Wooldridge, 2006). Dengan demikian, uji kausalitas Granger antara dua stationary variabel, pertumbuhan ekonomi (LnGDP) dan konsumsi energi listrik (LnEC), dapat dijelaskan dengan mengurai persamaan (1) sebagai berikut. 400,000 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 = 0 1980 1985 1990 1995 2000 Electriciy Power Consumption (in mill. kWh) Real GDP (in mill. US$) EC: Konsumsi Energi Listrik GDP: Real GDP Edisi 03/Tahun XIX/2013 MAJALAH.indd Spread 14 of 44 - Pages(14, 75) 2005 + + + , (2) 2010 = + + + , M I1 I1 I0 Daerah Klasik I0 S0 Diperoleh dari Bank Dunia (http://data.worldbank.org/indicator/EG.USE.ELEC.KH). 14 I0 R Logaritma natural dari konsumsi energi listrik. Konsumsi energi listrik dalam satuan juta kWh atau GWh. 1975 I1 (3) Persamaan (2) dan (3) memiliki empat kemungkinan hubungan sebab-akibat/kausalitas yaitu: (i) apabila Interaksi dan koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter dapat dianalisis dengan pendekatan kurve IS dan LM. Kurve IS menjelaskan bahwa keseimbangan pasar barang dan jasa terjadi ketika tingkat tabungan (saving/S), yang yang mewakili sisi penawaran barang dan jasa (agregat supply) sama dengan tingkat investasi (investment/I), yang mewakili sisi permintaan barang dan jasa (agregat demand). Kurve IS juga menyatakan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di di pasar barang dan jasa. Slope kurva IS bersifat negatif yang berarti semakin peningkatan tingkat suku bunga akan menurunkan output riil agregat dalam pasar banrang dan jasa. Sedangkan, kurve LM menjelaskan bahwa keseimbangan pasar uang-modal terjadi ketika permintaan uang (liquidity preference/L) sama dengan tingkat penawaran uang (money supply/L). Kurve LM juga menunjukkan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di pasar uang. Slope kurva LM bersifat positif yang berarti peningkatan suku bunga akan meningkatkan output riil agregat dalam pasar uang. Prinsip umum dari pendekatan IS-LM adalah bahwa keseimbangan umum ekonomi akan tercapai jika pasar barang-jasa dan pasar uang-modal secara simultan berada dalam kesimbangan. Melalui pendekatan kurve IS-LM, menurut para ekonom, efektifitas interaksi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, tergantung pada 3 situasi/keadaan, yaitu: (a) daerah Keynes, yang biasa disebut sebagai daerah liquidity trap, yaitu suatu kondisi pada kurve LM yang memiliki tingkat suku bunga yang sangat rendah sehingga tidak mungkin turun lagi; (b) daerah intermediate range, yaitu daerah yang menunjukkan kurva LM dipengaruhi oleh suku bunga; dan (c) daerah klasik, yang memiliki kurve LM tegak lurus, karena menurut faham klasik, permintaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga. Secara grafis dapat dijelaskan dapal gambar 9 sebagai berikut: S1 S1 L S1 S0 Y0 Daerah Keynes Y1 S0 Y0 Y1 Y0 ..Y1 Daerah Intermediate Range Y Gambar 9: Efeketifitas Kebijakan Fiskal Gambar 9 di atas mengisyaratkan pentingnya koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Dalam memprediksikan apakah suatu kebijakan fiskal (misalnya) akan efektif atau tidak untuk mempengaruhi suatu variabel makroekonomi, maka para penentu kebijakan perlu memperhatikan tindakan/kondisi/ kebijakan (yang terjadi atau yang akan diambil) oleh para penentu kebijakan lain (moneter). Sebagai ilustrasi, misalnya pemerintah akan mengambil kebijakan fiskal yang bersifat ekspansif yang ditandai dengan bergesernya kurva IS dari IS0 ke IS1 (misalnya menaikkan G/pengeluaran pemerintah, atau penurunan T/pajak) untuk meningkatkan output (pendapatan/ pertumbuhan nasional). Berdasarkan pendekatan kurve IS-LM, maka kebijakan fiskal yang ekspansif tersebut akan SANGAT EFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan/posisi Keynesian, karena perubahan Y0 ke Y1 paling optimal; dan akan EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) bersifat intermadiate change, karena masih ada perubahan positif dari Y0 ke Y1, dan akan TIDAK EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan Klasik, karena tidak merubah pendapatan nasional (Y). Begitu halnya dalam memprediksikan apakah langkah-langkah yang akan diambil oleh otoritas moneter akan efektif atau tidak dalam mempengaruhi berbagai kebijakan makroekonomi perlu juga mempertimbangkan parameter-parameter (slope) kondisi kesimbangan baik di sektor moneter (LM) itu sendiri maupun di sektor fiskal (IS). Gambar 10 berikut mengilustrasikan efektifitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi peningkatan output riil. Edisi 03/Tahun XIX/2013 75 31/12/2013 16:00:51 valuta asing di pasar domestik. Di samping itu, jumlah cadangan devisa yang meningkat dan imbal hasil rupiah yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan peer countries telah memberikan sinyal positif kepada investor mengenai ketahanan perekonomian Indonesia terhadap guncangan di pasar internasional. Sampai dengan akhir tahun 2009, rata-rata nilai tukar rupiah berada pada Rp10.399 per dolar AS atau mengalami pelemahan sekitar 7,4 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sumber: Diolah dari data BPS Gambar 8: Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap USD periode 2007 s.d. 2013 Proses transmisi pengaruh defisit anggaran terhadap defisit transaksi berjalan dapat dijelaskan dengan dua cara sebagai berikut: (a) Defisit anggaran berarti tabungan nasional yang lebih rendah yang menyebabkan pembiayaan investasi pinjaman luar negeri menyebabkan defisit transaksi berjalan yang lebih besar, dan (b) Defisit anggaran menyebabkan apresiasi mata uang nasional yang mempengaruhi secara negatif ekspor dan menyebabkan defisit perdagangan yang lebih besar16. C. Tinjauan tentang Pengalaman Indonesia dalam Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter. Tidak mudah memang melakukan praktek koordinasi kebijakan yang melibatkan 3 lembaga, yaitu BI, Kementerian Keuangan dan Menko Perekonomian. Dalam prakteknya sering terjadi ketidaksinkronan dalam peuncuran berbagai paket kebijakan, baik di bidang moneter maupun fiskal. Pengalaman pada tahun 2007, dengan terbitnya Instruksi Presiden No. 6/2007 tentang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan 16 Majed Bader, 2006, The Effect of the Twin Deficits on the Foreign Debt In Jordan: an Econometrical Study, Jordan: Hashemite University, pp. 23-24. 74 Edisi 03/Tahun XIX/2013 MAJALAH.indd Spread 15 of 44 - Pages(74, 15) pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah, untuk pemulihan sektor riil dan pengembangan UKM. Namun, tidak ada respons yang visioner dari otoritas moneter atau BI atas Keppres itu. Bahkan langkah BI pada 2007, justru mengarahkan fokus perhatiannya ke potensi ekonomi daerah. Delapan arah kebijakan perbankan tahun 2007 tentang peningkatan peran intermediasi perbankan, malah mendorong bank umum fokus pada pengembangan potensi ekonomi daerah, dengan stimulus kredit perbankan. Muncul asumsi bahwa daerah menjadi target utama BI memaksimalkan penyaluran kredit perbankan, karena permintaan dan daya serap kredit di perkotaan sangat rendah. BI mungkin melihat sektor perkebunan dan pertanian di daerah lebih prospektif, karena harga komoditas perkebunan dan pertanian sedang bagus di pasar internasional. Namun, langkah itu tidak sinkron dengan target pemerintah yang ingin memulihkan sektor riil dan mengembangkan UKM di luar perkebunan dan pertanian. Kasus lain terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Produk-produk Tertentu, dengan tujuan meringankan biaya produksi agar produk akhirnya kompetitif. Namun, seminggu kemudian BI sudah keburu menaikkan BI Rate 0,25 basis poin, yang menyebabkan harga kredit modal kerja menjadi lebih mahal. Ketidaksinkronan antara kebijakan fiskal dan moneter ini perlu dihindari manakala pemerintah harus melakukan tindakan dalam mengantisipasi dampak negatif yang berkepanjangan dari munculnya defisit kembar. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter guna mengantisipasi dampak bruuk dari twin defisit dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1) menaikkan harga BBM, mengupayakan penghematan konsumsi BBM, mengurangi subsidi BBM, menghindari penyelundupan BBM, dan menekan impor BBM; (2) pemberlakuan kebijakan moneter ketat yaitu kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan, dan (3) pemberlakuan kebijakan yang dapat memperbaiki kemampuan pengelolaan sektor publik dan swasta, termasuk upaya mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif, (4), pengurangan pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif dan mengalihkannya pada pengeluaran untuk kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi biaya sosial akibat krisis ekonomi, (5) meningkatkan pendapatan pajak melalui penurunan tingkat kebocoran penarikan pajak serta memperluas parameter α12 statistically jointly significantt maka dinyatakan konsumsi energi listrik Granger-causes GDP atau terjadi kausalitas satu arah (unidirectional causality) dari konsumsi energi listrik ke GDP; (ii) apabila parameter α21 statistically jointly significant maka dinyatakan GDP Granger-causes konsumsi energi listrik atau terjadi kausalitas satu arah (unidirectional causality) dari GDP ke konsumsi energi listrik; (iii) apabila parameter α12 dan α21 statistically jointly significant maka dinyatakan GDP Granger-causes konsumsi energi listrik dan sebaliknya atau terjadi kausalitas dua arah (bidirectional causality/ feedback); dan (iv) apabila parameter α12 dan α21 statistically jointly insignificant maka dinyatakan GDP dan konsumsi energi listrik tidak memiliki hubungan kausalitas (no causality). Uji kausalitas Granger dalam persamaan di atas mensyaratkan penggunaan stationary variables. Untuk mengetahui apakah suatu variabel stationer atau tidak dilakukan uji unit root (unit root test). Uji unit root ini digunakan untuk menentukan orde integrasi (order of integration). Variabel dengan orde integrasi d atau I(d) berarti variabel tersebut menjadi stationer setelah dilakukan differencing sebanyak d kali. Orde integrasi sangat penting karena standar uji kausalitas Granger dengan menggunakan level data menjadi tidak valid apabila sebagian atau semua variabel yang digunakan adalah non-stationary. Jika variabel yang digunakan tidak terkointegrasi (not cointegrated) maka uji kausalitas harus dilakukan dengan menggunakan differenced data. Lebih lanjut Engle and Granger (1987) menyatakan bahwa jika non-stationary variabel dimaksud terkointegrasi (cointegrated) maka tidak hanya terdapat hubungan kausalitas dalam jangka pendek namun juga dalam jangka panjang yang tidak terdeteksi oleh model dengan differenced data. Dalam kasus ini, maka estimasi dilakukan menggunakan vector error correction model (VECM). VECM dari persamaan (2) dan (3) dapat disajikan sebagai berikut. = + = + , + , + + + + (4) + (5) dimana ECT adalah error correction term yang dihasilkan dari long-run relationship, π menunjukkan speed of adjustment atau deviasi dependent variabel dari long- run equilibrium. Jika parameter π statistically significant maka disimpulkan terdapat Granger-causality dalam jangka panjang. Sedangkan koefisien γ1 dan γ2 menunjukkan short-run causality. Konsep kointegrasi sendiri dapat diartikan sebagai pergerakan yang sama (keterkaitan) diantara dua atau lebih variabel-variabel ekonomi dalam jangka panjang (Yoo, 2006). Menurut Engle and Granger (1987), jika X dan Y adalah non-stationary, maka dapat diduga bahwa linear combination dari X dan Y adalah random walk. Namun apabila linear combination tersebut adalah stationary, maka dikatakan bahwa X dan Y terkointegrasi. Sebagai tambahan, kointegrasi hanya menunjukkan adanya hubungan kausalitas diantara variabel tetapi tidak mengindikasikan arah (direction) dari hubungan tersebut sehingga kointegrasi dapat digunakan sebagai cross-check atas hasil uji kausalitas1. Uji kointegrasi menurut Engle-Granger dapat dilakukan dalam dua langkah yaitu melakukan regresi dari variabel yang dimaksud untuk mendapatkan residual dan menguji stationaritas dari residual yang dihasilkan. Nonstationary residual dalam uji kointegrasi Engle-Granger berarti variabel yang diuji not-cointegrated. Johansen and Juselius (1990) menentukan jumlah persamaan kointegrasi berdasarkan dua uji likelihood ratio yaitu berdasarkan trace statistics dan maximum eigenvalue. Untuk tes dengan dua variabel (bivariate), null hyphotesis-nya adalah bahwa jumlah vektor kointegrasi adalah nol diuji melawan alternative hypothesis bahwa jumlah vektor kointegrasi dalah paling besar satu. Uji kausalitas Granger dalam studi ini dilakukan mengikuti metode Toda-Yamamoto (T-Y). Toda dan Yamamoto (1995) memodifikasi standar uji kausalitas Granger sehingga dapat digunakan untuk nonstationary variables namun dengan menggunakan level data. Metode T-Y lebih unggul untuk uji kausalitas karena dapat digunakan untuk variabel yang memiliki integrasi order (order of integration) yang berbeda-beda. Langkah yang perlu dilakukan dalam metode T-Y adalah sebagai berikut. (i) menentukan ode integrasi (order of integration) maksimum (m). Hal ini dilakukan melalui uji stationaritas (unit root test) misalnya dengan 1 Dave Giles, http://davegiles.blogspot.com/2011/04/testing-forgranger-causality.html Edisi 03/Tahun XIX/2013 15 31/12/2013 16:00:53 menggunakan tes augmented Dickey Fuller (ADF), Phillips-Perron (PP), atau Kwiatkowski-PhillipsSchmidt-Shin (KPSS). lags) dalam VAR model terpilih dan melakukan uji kausalitas Granger. (ii) jika variabel yang digunakan memiliki orde integrasi yang sama, lakukan uji kointegrasi dengan menggunakan pendekatan dua-langkah Granger (Granger two step approach) ataupun metodologi Johansen-Joselius. Uji kointegrasi dilakukan sebagai cross-check atas hasil uji kausalitas Granger yang dilakukan. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1. Hasil Uji Stationaritas (Unit Root Test) Studi ini menggunakan beberapa metode untuk uji stationaritas yaitu tes ADF, PP, dan KPSS. Metode tersebut dipilih agar mendapatkan hasil yang teguh (robust). Tes ADF dan PP berdasarkan pada null hypothesis bahwa variabel memiliki unit root (tidak stationer), sebaliknya tes KPSS menguji null hypothesis stationary. Hasil uji stationaritas disajikan dalam Tabel 4. (iii) susun model VAR(p) dan cek agar tidak missspecified (tidak ada serial correlation). Kemudian menambahkan maksimum integrasi order (m Tabel 4. Hasil Uji Stationaritas (Unit Root Tests) Null Hypothesis: Variable has a unit root ADF Test Level Variabel No trend LnGDP LnEC With trend Null Hypothesis: Variable is stationary PP Test Δ No trend dan diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun 2013 dengan perkiraan nilai defisit kesimbangan primer sebesar 36,9 trilyun rupiah. Kondisi perkembangan APBN dan kondisi surplus/defisit sejak tahun 2005 s.d. 2013 terlihat dalam Gambar 6. Sementara itu, gambaran tentang defisit APBN terhadap PDB tahun 2005 s.d. 2013 tercermin dalam Gambar 7. Level No trend With trend Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemenkeu, dan Bappenas Gambar 6: Perkembangan APBN dan Kondisi Surplus/Defisit 2005 s.d. 2013 Pertumbuhan subsidi yang cukup tinggi tersebut, antara lain disebabkan oleh: (1) perubahan parameter subsidi, antara lain harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price, ICP), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, volume BBM bersubsidi, kuantum raskin, jumlah rumah tangga sasaran (RTS), volume pupuk dan benih bersubsidi; dan (2) berbagai kebijakan Pemerintah antara lain berupa kebijakan penetapan harga BBM dalam negeri dan tarif tenaga listrik serta kebijakan dalam rangka mendukung program surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Tingginya peningkatan belanja pemerintah untuk komponen subsidi (khususnya subsisi energi) sejak tahun 2007 s.d. 2012 inilah yang diperkirakan ikut andil terjadinya defisit keseimbangan primer, yang pada tahun 2012 diperkirakan sebesar 72,3 trilyun rupiah, dan diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun 2013 dengan perkiraan nilai defisit kesimbangan primer sebesar 36,9 trilyun rupiah. Perkembangan realisasi belanja subsidi tahun 2007-2012 disajikan dalam Tabel 1 berikut: KPSS Test Δ No trend Level No trend With trend Δ No trend -2.191 -1.543 -4.323 -2.002 -1.658 -4.328 0.773* 0.174* 0.308 [0.213] [0.797] [0.002]* [0.285] [0.751] [0.002]* (0.463) (0.146) (0.463) -2.571 -0.107 -4.529 -2.413 -0.069 -4.450 0.760* 0.197* 0.534 [0.108] [0.993] [0.001]* [0.145] [0.994] [0.001]* (0.463) (0.146) (0.739)1 Catatan: Δ adalah first difference. Variabel dalam bentuk logaritma natural. Baris pertama adalah tes statistik dan baris kedua adalah probability value [ ] atau critical value ( ). * berarti null hypothesis (non stationary) di tolak pada level of significance 5%. Lag length menggunakan kriteria Schwarz Info Criterion. 1 adalah critical value pada level 1%. Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemenkeu, dan Bappenas Gambar 7: Gambaran Defisit APBN terhadap PDB tahun 2005 s.d. 2013 Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2013 4. Perkembangan Subsidi 2007-2013 Dari tabulasi di atas dapat disimpulkan bahwa kedua dataset (GDP dan konsumsi energi listrik) memiliki unit root atau I(1). Hasil ini sejalan dengan unit root test yang dilakukan oleh Chen et al. (2007) dan Yoo (2006) yang hanya menggunakan ADF test dan PP test. Selanjutnya perlu dilakukan uji kointegrasi untuk mencari kemungkinan adanya long-run relationship antara GDP dan konsumsi energi listrik. 16 Edisi 03/Tahun XIX/2013 MAJALAH.indd Spread 16 of 44 - Pages(16, 73) 1.2. Uji Kointegrasi (Cointegration Test) Hasil uji kointegrasi Engle-Granger disajikan dalam Tabel 5. Tes memasukkan intersep (konstan) dengan jumlah lag ditentukan secara otomatis menurut Schwarz criterion. Engle-Granger t-statistik dan z-statistik tidak dapat menolak (fail to reject) null hypothesis bahwa variabel tidak terkointegrasi (not cointegrated) dengan the significance level (tingkat signifikansi) 5 persen. Dalam rentang waktu 2007-2012, realisasi anggaran belanja untuk subsidi cukup berfluktuasi, rata-rata mengalami peningkatan sebesar 10,3 persen per tahun, atau secara nominal mengalami pertumbuhan sebesar Rp. 94,9 triliun/tahun. Subsidi energi (BBM dan Listrik) merupakan alokasi anggaran yang cukup besar. Realisasi anggaran belanja subsidi BBM dan Listrik, dalam rentang waktu 2007–2012 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp. 85,5 triliun atau tumbuh rata-rata 11,6 persen per tahun, yaitu dari Rp. 116,9 triliun (3,0 persen terhadap PDB) pada tahun 2007, dan diperkirakan mencapai Rp. 202,4 triliun (2,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2012. 5. Perkembangan Nilai Tukar rupiah terhadap USD periode 2007-2013 Pada kuartal I tahun 2009, depresiasi nilai tukar rupiah masih terus berlanjut hingga menyentuh level terendah pada 6 Maret 2009 sebesar Rp12.065 per dolar AS sebagai imbas kekhawatiran terhadap meluasnya krisis keuangan global. Namun, secara bertahap mulai kuartal II tahun 2009, nilai tukar rupiah mengalami penguatan hingga mencapai nilai tertinggi pada 8 Juni 2009 sebesar Rp9.985 per dolar AS. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut sejalan dengan kondisi fundamental perekonomian yang semakin membaik serta keseimbangan permintaan dan penawaran Edisi 03/Tahun XIX/2013 73 31/12/2013 16:00:54 Secara total neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar USD 1,7 milyar, memburuk dibandingkan dengan kinerja neraca perdagangan tahun 2011 yaitu surplus USD 26,1 milyar. Memburuknya kinerja neraca perdagangan tahun 2012 ini disebabkan oleh menurunnya kinerja neraca perdagangan migas dari surplus USD 0,8 milyar di tahun 2011 menjadi defisit USD 5,6 milyar pada tahun 2012. Selain itu, menurunnya surplus neraca perdagangan non migas dari USD 25,3 milyar pada tahun 2011 menjadi USD 4 milyar pada tahun 2012 juga mendukung memburuknya neraca perdagangan Indonesia di tahun 2012. Memburuknya kinerja neraca perdagangan indonesia pada tahun 2012 inilah yang ditengarai sebagai penyebab utama timbulnya defisit transaksi berjalan dan berujung pada munculnya fenomena defisit kembar (twin defisit) di Indonesia tahun 2012. Tabel 5. Hasil Uji Kointegrasi Engle-Granger Dependent LNEC LNGDP *MacKinnon (1996) p-values. Sumber: Diolah dari World Economic Outlook (http:// wo r l d - e co n o m i c - o u t l o o k . f i n d t h e d a t a . org/ compare/2583-2584/Indonesia-vsIndonesia#/) Gambar: 5. Perkembangan Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Periode 2000 s.d. 2012 taustatistic -2.570647 -2.584029 Prob.* 0.2694 0.2642 z-statistic -16.93082 -17.46085 Prob.* 0.0612 0.0531 Alternatif uji kointegrasi menurut Johansen cointegration approach juga dilakukan untuk memeriksa hubungan jangka panjang (long-run relationship) antara GDP dan konsumsi energi listrik. Tabel 6 menyajikan hasil uji kointegrasi dimaksud. Bukti yang mendukung kointegrasi tidak dapat ditemukan, dengan null hypothesis tidak ada kointegrasi ditolak pada tingkat signifikansi 5 persen baik untuk maximum eigenvalue maupun trace statistics. sangat menentukan karena jumlah lag yang tepat dapat menghilangkan serial correlation. Beberapa kriteria yang umumnya digunakan untuk menentukan lag length adalah Akaike information criterion (AIC), Schwarz information criterion (SC), dan Hannan-Quinn information criterion (HQ). Tabel 7 menampilkan lag length berdasarkan kriteria-kriteria tersebut. Ketiga kriteria tersebut memilih satu lag (p=1). Dalam studi ini jumlah lag yang digunakan adalah dua (p=2) untuk lebih meminimalisir serial correlation. Berdasarkan uji stabilitas dan uji serial correlation dengan LM-test, VAR (2) terbukti memenuhi syarat kestabilan dan juga bebas dari problem serial correlation. Dengan demikian model VAR (2) dapat digunakan untuk tes kausalitas dalam studi ini. Tabel 7. Seleksi Kriteria VAR Lag Order 3. Perkembangan APBN (Trilyun RP) 2005-2013 Tabel 6. Hasil Uji Kointegrasi Johansen 2. Data Empiris Perkembangan Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Periode 2000 s.d. 2012 Data yang diolah dari World Ecnomic Outlook memerlihatkan bahawa defisit transaksi berjalan di Indonesia tahun 2012 mencapai USD 3,89 Milyar atau sebesar 0,42% dari PDB. Defisit transaski berjalan ini merupakan merupakan hal yang pertama kali terjadi di Indonesia sejak tahun 2005. Penyebab utamanya defisit transaski berjalan ini adalah adanya surplus neraca perdagangan yang terus menyusut sehingga tidak dapat mengimbangi defisit neraca jasa dan neraca pendapatan yang semakin melebar. Tingginya impor BBM untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat juga ditengarai sebagai penyebab defisit transaski berjalan. Berdasarkan data, selama Januari – Juli 2012 ini, realisasi konsumsi BBM telah mencapai sekitar 25,6 juta kilo liter atau sekitar 64% dari kuota volume BBM tahun 2012. Defisit transaski berjalan juga telah menyebabkan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD yang cenderung melemah selama tahun 2012. Sejauh ini, Rupiah menunjukkan kinerja yang paling buruk jika dibandingkan dengan mata uang pada kawasan Asia Tenggara. Implikasi dari pelemahan Rupiah ini menyebabkan cadangan devisa tergerus dari sebesar USD111,99 milyar menjadi USD106,6 milyar pada Juli 2012 sebelum menjadi USD108,99 milyar pada Agustus 2012. Gambaran tentang perkembangan transaksi berjalan sejkat tahun 2000 s.d. 2012 terlihat dalam gambar 5 berikut. 72 Edisi 03/Tahun XIX/2013 MAJALAH.indd Spread 17 of 44 - Pages(72, 17) Selama periode 2005–2012, realisasi APBN memperlihatkan defisit yang cenderung meningkat. Pada periode 2005–2012, realisasi pendapatan negara dan hibah berada pada kisaran 15,1 hingga 19,8 persen terhadap PDB, realisasi belanja negara pada kisaran 16,2 sampai 19,9 persen, dan defisit fiskal berada pada kisaran 0,9 persen sampai dengan 2,4 persen terhadap PDB. Terdapat setidaknya 3 (tiga) gejolak eksternal yang berpengaruh terhadap peningkatan defisit APBN, yaitu: (1) Lonjakan drastis harga minyak mentah dunia hingga sempat menyentuh level psikologis USD 112,73 per barel pada tahun 2012. Pada tahun 2005, harga minyak masih berada pada posisi USD 53,66 per barel, dan terus melonjak hingga mencapai USD 111,555 per barel pada tahun 2011 dan USD 112,73 per barel pada tahun 2012; (2) lonjakan harga internasional beberapa produk dan bahan pangan, salah satunya kedelai, cabai, bawang, dan daging yang mengalami kenaikan dramatis hingga di atas 100%; dan (3) Perlambatan ekonomi Amerika Serikat dan Eropha, terutama disebabkan efek multiplier (ganda) krisis kredit keuangan. Sementara itu, Dari sisi penerimaan negara tercatat bahwa rata-rata pertumbuhan penerimaan negara selama kurun waktu 2006-2013 hanya tumbuh sebesar 14,3%/tahun; sedangkan, dari sisi belanja negara selama kurun waktu yang sama tumbuh sebesar 15,1 %. Tingginya peningkatan belanja pemerintah untuk komponen subsidi (khususnya subsisi energi) sejak tahun 2007 s.d. 2012 inilah yang diperkirakan ikut andil terjadinya defisit keseimbangan primer, yang pada tahun 2012 diperkirakan sebesar 72,3 trilyun rupiah, Hypothesized No. of Max eigenvalue CE(s) None 10.863 [0.161] At most 1 Trace 13.983 [0.083] 3.120 3.120 [0.077]* [0.077]* Catatan: Baris pertama adalah t-statistic, baris kedua adalah probability value. * berarti null hypothesis di tolak pada level of significance 5%. Jumlah lag yang digunakan adalah dua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel LnGDP dan LnEC tidak terkointegrasi (not cointegrated). Hal ini berarti bahwa tidak terjadi kausalitas dalam jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik. Hasil ini konsisten dengan studi yang dilakukan oleh Yoo (2006). Langkah selanjutnya adalah uji kausalitas yang dilakukan dengan mengikuti metode Toda-Yamamoto. 1.3. Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) Langkah pertama dalam uji kausalitas Granger adalah menyusun model VAR yang stabil dan tidak missspecified. Di sini banyaknya lag (lag length) menjadi Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 -13.12852 NA 0.007766 0.817758 0.904835 0.848456 1 118.1118 241.1985* 8.01e-06* -6.060100* -5.798870* -5.968004* 2 120.8143 4.674566 8.61e-06 -5.989964 -5.554581 -5.836471 3 123.2121 3.888309 9.45e-06 -5.903358 -5.293821 -5.688468 Catatan: * indicates lag order selected by the criterion. LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level). FPE: Final prediction error Tabel 8 menyajikan hasil uji kausalitas Granger berdasarkan T-Y prosedur. Null hypothesis bahwa GDP tidak mempengaruhi konsumsi energi listrik dan sebaliknya ditolak pada tingkat signifikansi 5 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara kedua variabel. Hal ini menunjukkan bahwa growth hypothesis ditolak untuk kasus Indonesia. Sebaliknya neutrality hypothesis dapat diterima sehingga kebijakan konservasi pemanfaatan energi listrik dapat dilaksanakan tanpa memberikan akibat yang buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Tabel 8. Uji Kausalitas Granger Dependent variable: LnEC Excluded Chi-sq df Prob. 1 0.3837 Dependent variable: LnGDP Excluded Chi-sq df Prob. LNGDP LNEC 0.758894 0.001477 1 0.9693 Kesimpulan GDP does not Granger-cause konsumsi energi listrik Kesimpulan Konsumsi energi listrik does not Granger-cause GDP Edisi 03/Tahun XIX/2013 17 31/12/2013 16:00:55 V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Tujuan dari makalah ini adalah menguji kembali hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik di Indonesia. Makalah ini menggunakan metodemetode yang umumnya digunakan untuk mengkaji hal dimaksud. Uji stationaritas dengan menggunakan ADF test menemukan bahwa kedua variabel tersebut memiliki unit root atau integrated order 1 (I(1)). Selanjutnya Engle-Granger cointegration method digunakan untuk menguji hubungan kausalitas jangka panjang (long run relationship). Hasilnya adalah tidak terjadi kointegrasi antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan dalam jangka panjang antara kedua variabel yang dikaji. Yoo (2006) menyatakan bahwa ketiadaan kointegrasi merupakan akibat dari lemahnya kaitan antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi dan juga kenyataan bahwa konsumsi listrik tidak bergantung (independen) pada pertumbuhan ekonomi. Metode Toda-Yamamoto digunakan untuk menguji hubungan kausalitas diantara variabel pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik. Uji kausalitas menunjukkan kedua variabel tidak memiliki hubungan kausalitas. Implikasi kebijakan dari tidak adanya kausalitas tersebut adalah bahwa pertumbuhan ekonomi tidak memberikan pengaruh ataupun dampak negatif terhadap konsumsi energi listrik dan juga sebaliknya. Dengan demikian upaya-upaya untuk effisiensi penggunaan energi listrik ataupun pengurangan konsumsi energi listrik melalui demand side management dapat dilakukan di Indonesia. Temuan di atas dapat dipahami melihat kenyataan bahwa konsumsi energi listrik di Indonesia dalam jumlah yang signifikan digunakan hanya untuk pemenuhan kebutuhan dasar (penerangan dan hiburan). Berdasarkan data statistik tahun 20112 penjualan energi listrik untuk rumah tangga, sosial dan penerangan jalan sebesar 72.174 GWh dari total penjualan 157.993 GWh atau mencapai sekitar 46 persen. Selain itu, belum semua penduduk Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan layanan energi yang memadai. Sebagai ilustrasi, rasio elektrifikasi Indonesia tahun 2011 baru mencapai sekitar 73 persen atau dengan kata lain 41 juta penduduk belum dapat menikmati listrik. 2 2012 Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia, Kementerian ESDM. 18 Edisi 03/Tahun XIX/2013 MAJALAH.indd Spread 18 of 44 - Pages(18, 71) Dengan demikian dapat dimaklumi apabila sampai saat ini konsumsi energi listrik tidak berdampak secara signifikan terhadap GDP mengingat masih terbatasnya pemanfaatan dan tingkat layanan energi. Penjelasan lainnya sebagai ditemukan oleh Yoo (2006) dan Shiu dan Lam (2004) adalah problema inefisiensi ataupun pemakaian energi listrik yang boros. Lebih lanjut, Chen et al. (2007) menyatakan intensitas3 energi listrik (electricity intensity) yang tinggi menunjukkan pemakaian energi listrik yang tidak efisien yang berarti adanya potensi untuk peningkatan efisiensi. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa intensitas energi listrik di Indonesia yang mencapai 0.85 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (0.75) dan Thailand (0.78). Kondisi ini mendukung kebijakan konservasi energi listrik yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambai dari pemanfaatan energi listrik yang sekaligus mengurangi konsumsi energi listrik dengan tanpa berdampak buruk baik pada pengguna maupun pada pertumbuhan ekonomi. Studi ini memiliki keterbatasan yang memerlukan perhatian yaitu kemungkinan adanya structural change/ break. Keberadaan structural break tersebut dapat mempengaruhi hasil uji unit root maupun uji kointegrasi. Uji unit root akan condong pada tidak dapat ditolaknya unit root hypothesis apabila data yang diuji sebenarnya adalah stationer dengan structural break. Standar uji Granger cointegration dan Johansen cointegration memiliki keterbatasan apabila digunakan pada variabel dengan structural break. Hasil uji akan cenderung menolak cointegration hypothesis. Hal tersebut didasari bahwa residuals hasil dari cointegration regressions tidak memperhitungkan adanya break. Keterbatasan lainnya adalah masih minimnya dataset. Diharapkan di masa depan studi ini dapat disempurnakan dengan memperhitungkan adanya structural break dengan rentang sampel penelitian yang lebih panjang. Tak kalah pentingnya adalah studi lebih lanjut dengan memperhitungkan pemanfaatan energi lainnya seperti bahan bakar minyak, gas, dan batubara sehingga kita dapat mengetahui dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sekaligus kita dapat menemukenali implikasi kebijakan untuk masing-masing sektor terkait. Hal lainnya adalah memperluas analisa dari yang berbasiskan bivariate model ke multi-variate model dimana beberapa variabel lainnya seperti harga, urbanisasi, eksport, dan sebagainya di tambahkan ke dalam estimasi. 3 Didefinisikan sebagai jumlah konsumsi energi listrik per GDP. Y = C + S + T ............ (2) dimana: Y= Pendapatan Nasional, C = Konsumsi, S = Tabungan Swasta Domestik, T= Pajak. Jika persamaan (1) dan (2) disusun kembali maka: C+I+G+(X – M) = C+S+T, sehingga X-M= C+S+T-C-I-G, jika disederhanakan hasilnya: X-M= S+T-I-G atau X-M= (S-I) + (T-G).... .....(3). Persamaan (3) ini disebut sebagai hubungan twin deficit, yang menyatakan bahwa defisit yang terjadi pada current account ( X < M) akan diikuti oleh budget deficit pemerintah (T < G). Menurut Hossain dan Chowdurry, twin deficit ini hanya berlaku apabila gap antara investasi sektor swasta dan tabungan (S - I) diasumsikan tetap.14 defisit sebsar USD 1,7 milyar, dan hingga pada Januari s.d. Mei 2013 masih menunjukkan adanya defisit neraca perdangan Indonesia sebesar USD 2,5 milyar15. Total ekspor Indonesia periode Januari-Mei 2013 sebesar USD 76,3 Milyar didominasi oleh ekspor non migas sebesar USD 62,8 Milyar (83,33%), dan sisanya sebesar USD 13,5 Milyar (17,67%) berasar dari ekspor migas. Sementara itu, total impor periode Januari s.d. Mei 2013 sebesar USD 78,8 Milyar didominasi oleh impor non migas sebesar USD 60,2 Milyar (76,42%), dan sisanya sebesar USD 18,6 Milyar (23,58%) merupakan impor migas. Impor jenis mesin dan peralatan mekanik, dan jenis mesin dan peralatan listrik masih mendominasi nilai impor pada tahun 2013 dengan kontribusi masing-masing sebesar 18,64% dan 12,9% dari total impor Januari-Mei 2013. Perkembangan neraca perdagangan Indonesia Periode 2000 s.d. Mei 2013 terlihat pada Gambar 3 berikut: B. Analisis Praktis Twin Defisit Isu yang lebih penting adalah apa yang mesti pemerintah harus lakukan ketika defisit anggaran pemerintah dan defisit transaksi berjalan muncul secara bersamaan serentak. Fenomena ini disebut sebagai defisit kembar, yang muncul pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Akibatnya, hal ini membuat keyakinan baru di kalangan ekonom bahwa defisit anggaran pemerintah menyebabkan defisit transaksi berjalan. Dengan kata lain, pemerintah dapat mengurangi defisit eksternal (current account) dengan mengendalikan yang domestik (anggaran pemerintah). Dengan demikian, neraca transaksi berjalan distabilkan dengan mengurangi pengeluaran pemerintah dan menaikkan pajak atau dengan mengendalikan defisit anggaran pemerintah.mengenai defisit kembar, khususnya tentang dampak defisit kembar dan analisis hubungan antara defisit fiskal dan defisit current account, akhirakhir ini menjadi bahan telaahan yang menarik untuk dianalisis oleh para peneliti dibidang ekonomi. Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemnekeu, dan Bappenas Gambar 3: Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia Periode 2000 s.d. Mei 2013 Sementara itu, kalau kita perhatikan pada sisi impor, terlihat bahwa impor Migas sejak tahun 2009 hingga 2012 memperlihatkan trend yang cenderung meningkat. Perkembangan Impor Migas dan Non Migas (USD) 2006 s.d. Jan-Mei 2013 terlihat pada Gambar 4 berikut: 1. Data Empiris Perkembangan Ekspor, Impor dan Defisit/Surplus Neraca Perdagangan Indonesia (Milyar USD) Neraca perdagangan Indonesia sejak tahun 2000 s.d. tahun 2011 memperlihatkan adanya surplus perdagangan dengan rata-rata setiap tahun sebesar USD 26,367 Milyar. Namun, sejak tahun 2012, neraca perdagangan internasional Indonesia mengalami Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemenkeu, dan Bappenas Gambar 4: Impor Migas dan Non Migas (Juta USD) 2006 s.d. Jan-Mei 2013 14 Hossain, A dan A. Chowdurry, 1998. Open Economy Macroeconomics Macroeconomics for Developing Countries. Edwar Elgar Publishing Limited. Cheltenham, UK 15 Biro Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik: Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia. Availabel at: http://www.bps.go.id/ aboutus.php?news=1&nl=1. Edisi 03/Tahun XIX/2013 71 31/12/2013 16:00:56 A. Analisis Teoretis Fenomena Twin Defisit 1. Konsep Pendapatan Nasional Mankiw, dalam Marrisa Mahalayati (2011), menjelaskan bahwa berdasarkan model pengeluaran total Keynessian (Keynessian Total Expenditure Model) faktor-faktor yang merupakan komponen pendapatan nasional adalah : 1) Konsumsi, 2) Investasi, 3) Belanja Pemerintah (Government Purchase), dan 4) ekspor bersih11. Keempat faktor tersebut mempengaruhi permintaan agregat (aggregate demand) dan memiliki dampak untuk tingkat harga dan tingkat pendapatan nasional. 2. Konsep Neraca Transaksi Berjalan (Current Account) Current account atau neraca transaksi berjalan merupakan bagian dari neraca pembayaran internasional yang mencakup arus pembayaran jangka pendek (mencatat transaksi ekspor-impor barang dan jasa). Ekspor barang-barang dan jasa yang diperlakukan sebagai kredit, impor barang-barang dan jasa diperlakukan sebagai debit. Net investment income tingkat bunga dan dividen diperlakukan sebagai jasa karena mencerminkan pembayaran untuk penggunaan modal. Net transfer (transfer unilateral), yang meliputi bantuan luar negeri, pemberianpemberian dan pembayaran lain antar pemerintah dan antar pihak swasta. Komposisi transaksi berjalan mencakup neraca perdagangan dan neraca barang dan jasa. Transaksi berjalan umumnya digunakan untuk menilai neraca perdagangan. Secara sederhana, neraca Perdagangan merupakan selisih/perbedaan antara ekspor dan impor. Jika ekpsor lebih rendah dari impor, maka yang terjadi adalah defisit neraca perdagangan. Sebaliknya, jika impor lebih rendah dari ekspor, yang terjadi adalah surplus. Sedangkan neraca jasa adalah neraca perdagangan ditambah jumlah pembayaran bunga kepada para investor luar negeri dan penerimaan dividen dari investasi di luar negeri, serta penerimaan dan pengeluaran yang berhubungan dengan pariwisata dan transaksi ekonomi lainnya. Konsep Anggaran Pemerintah (Government Budget) Anggaran pemerintah (Government Budget) yang biasa disebut sebagai Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBP) adalah selisih antara penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak dengan pengeluaran 11 Malahayati, Marrisa, 2011, Fenomena Twin Deficit pada Negara-Negara Asean, Bogor: FEM-IPB, pp. 6-13. 70 Edisi 03/Tahun XIX/2013 MAJALAH.indd Spread 19 of 44 - Pages(70, 19) pemerintah. Pemerintah mengalami surplus anggaran (budget surplus) apabila penerimaan pemerintah lebih besar dibandingkan pengeluarannya, sebaliknya pemerintah mengalami defisit anggaran (budget deficit) jika pengeluaran pemerintah lebih besar dibandingkan penerimaannya. Fischer dan Easterly (1990) mengatakan bahwa defisit anggaran pemerintah (budget deficit) dapat dibiayai melalui empat sumber, antara lain: 1) Mengambil cadangan mata uang asing , 2) Melalui pinjaman domestik dengan cara menjual surat berharga kepada masyarakat, 2) Melalui pinjaman luar negeri, 3) Melakukan pencetakan uang, atau perpaduan antara ketiga sumber tersebut.12 Seluruh sumber permbiayaan defisit anggaran pemerintah tersebut memiliki risiko masing-masing. Pembiayaan defisit anggaran pemerintah dengan pinjaman domestik mengakibatkan suku bunga riil domestik meningkat sehingga investasi domestik akan turun. Sedangkan, sumber pembiayaan defisit dengan menggunakan cadangan mata uang asing atau melalui sumber pinjaman luar negeri dapat menyebabkan kurs domestik menguat (terapresiasi) sehingga daya saing produk domestik menurun dan dapat berakibat turunnya ekspor. Fenomena ini menyebabkan menurunnya net expor sehingga berdampak pada penurunan cadangan mata uang asing di dalam negeri dan pelunasan hutang yang tidak berkesinambungan (unsustainable external indebtedness). 3. Hubungan antara current account defict dengan Government bugdet deficit Aqeel dan Nishat (2000) menyatakan bahwa hubungan antara current account dan budget deficit dapat diturunkan dari persamaan pendapatan nasional. Persamaan pendapatan nasional dapat dituliskan sebagai berikut13: LAMPIRAN 1. LM Test VAR Residual Serial Correlation LM Tests Null Hypothesis: no serial correlation at lag order h Date: 07/24/13 Time: 13:05 Sample: 1971 2010 Included observations: 38 Lags LM-Stat Prob 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1.830625 4.559803 4.185753 1.393427 1.000063 3.933901 1.343636 2.007598 4.131076 1.136295 0.600294 0.750046 0.7669 0.3355 0.3815 0.8453 0.9098 0.4150 0.8539 0.7344 0.3886 0.8885 0.9630 0.9450 Probs from chi-square with 4 df. 2. Uji Kestabilan Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 Y = C + I + G+ (X – M) .............(1) dimana: -1.0 Y = Pendapatan Nasional, C = Konsumsi, I = Investasi Swasta, G = Pengeluaran Pemerintah, X = Ekpor, M = Impor, Selain itu, persamaan lain yang merumuskan pendapatan nasional adalah: -1.5 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 12 Stanley Fischer and William Easterly, The Eeconomics of the Government Budget Constraint, The Worlbank Reserach Observer, Vol 2 No., 5, Juli 1990. 13 Anjum Aqeel and Mohammed Nishat, The Twin Deficits Phenomenon: Evidence from Pakistan, The Pakistan Development Review 39 : 4 Part II (Winter 2000) p. 2 Edisi 03/Tahun XIX/2013 19 31/12/2013 16:00:58 DAFTAR PUSTAKA Binh, P. T. (Vol. 1, No.1, 2011). Energy Consumption and Economic Growth in Vietnam: Threshold Cointegration and Causality Analysis. International Journal of Energy Economic and Policy, 1-117. Murry, D. A., & Nan, G. D. (Spring 1994, v. 19, iss. 2). A Definition of the Gross Domestic ProductElectrification Interrelationship. Journal of Energy and Development, , 275-83. Phillips, P., & Perron, P. (1988). Testing for a unit root in time series regression. Biometrika 75, 335–346. Chen, S.-T., Kuo, H.-I., & Chen, C.-C. (2007). The relationship between GDP and electricity consumption in 10 Asian countries. Energy Policy, 2611–2621. Shiu, A., & Lam, P.-L. (2004 32(1)). Electricity consumption and economic growth in China. Energy Policy, 47-54. Dickey, D. A., & Fuller, W. (Juli 1981). Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive Time Series with a Unit Root. Econometrica, Vol 49, No. 4, 10571072. The World Bank. (n.d.). Indicators | Data. Retrieved July 2013, from The World Development Indicators (WDI): http://data.worldbank.org/indicator/all Engle, R., & Granger, C. (Mar.,1987). Cointegration and error correction: representation, estimation and testing. Econometrica, Vol. 55, No. 5, 251276. Giles, D. (n.d.). Testing for Granger Causality . Retrieved July 2013, from Econometrics Beat: Dave Giles’ Blog: http://davegiles.blogspot.com/2011/04/ testing-for-granger-causality.html Johansen, S., & Juselius, K. (1990). Maximum likelihood estimation and inference on cointegration with applications to the demand for money. Oxford Bulletin of Economics and Statistics 52, 169-210. Toda, H., & Yamamoto, T. (1995). Statistical inferences in vector autoregressions with possibly integrated processes. Journal of Econometrics, 66, 225-250. Wooldridge, J. M. (2006). Introductory Econometric: A Modern Approach Fourth Edition. Mason, OH: South-Western Cengage Learning. Yoo, S.-H. (2006 34(18)). The causal relationship between electricity consumption and economic growth in the ASEAN countries. Energy Policy , 35733582. Yoo, S.-H., & Kim, Y. (2006 31(14)). Electricity generation and economic growth in Indonesia. Energy , 2890-2899. menjerumuskan. Semakin lama dibiarkan, semakin sulit untuk mengatasinya. Hal ini dapat terjadi apabila defisit kembar tidak segera diantisipasi oleh pemerintah Indonesia, seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat, dimana defisit perdagangan dan defisit fiskal ditutup dengan hutang. Dalam jangka menengah, hutang, yang kebanyakan berasal dari hutang luar negeri ini akan menumpuk, sehingga akan semakin banyak sumber dana dikeluarkan untuk membayar bunga, serta perekonomian Indonesia akan semakin rentan terhadap guncangan ekonomi global. Mengingat, dampak negatif twin deficit sangat membahayakan bagi stabilitas perekonomian Indonesia, baik jangka menengah maupun jangka panjang, maka diperlukan tindakan secara koordinatif dalam perumusan kebijakan moneter dan fiskal untuk mengantisipasi fenomena twin deficit yang berkepanjangan. Policy paper ini menganalisis secara diskriptif mengenai fenomena terjadinya twin defisit di Indonesia dan analisis perumusan alternatif kebijakan sinkronisasi/ koordinasi kebijakan antara kebijakan moneter dan fiskal dalam mengantisipasi dampak twin deficit yang berkepanjangan. II. ANALISIS TEORETIS DAN PRAKTIS FENOMENA TWIN DEFISIT 1. Melakukan analisis diskriptif mengenai fenomena terjadinya twin deficit di Indonesia (baik secara teoretis maupun secara praktis); 10 Fleegler, Ethan. 2006. The Twin Deficits Revisited: A CrossCountry, Empirical Approach. Durham: Duke University. C. Tujuan MAJALAH.indd Spread 20 of 44 - Pages(20, 69) Analisis yang digunakan dalam menjawab permasalahan yang diajukan dalam policy paper ini adalah dengan menggunakan metode inferential dekriptive analysis, yaitu dengan cara menyajikan faktafakta berupa data dan informasi terkait fenomena defisit kembar, kemudian melakukan analisis deskriptif berdasarkan landasan teoretis, data dan informasi yang ada untuk kemudian diambil berbagai kesimpulan dalam rangka policy reccomendation. Hasil analisis deskriptif dan rumusan rekomendasi kebijakan dikonsultasikan bersama pakar (pembimbing) dan didiskusikan dalam forum pertemuan policy paper. Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan policy paper ini adalah untuk: Sesuai dengan latar belakang di atas, maka permasalahan fenomena twin deficit dapat dirumuskan sebagai berikut: 2. Bagaimanakah alternatif kebijakan sinkronisasi antara sektor moneter dan fiskal yang dianggap sesuai untuk mengantisipasi munculnya defisit kembar? Edisi 03/Tahun XIX/2013 D. Metodologi Permasalahan defisit, baik defisit fiskal maupun defisit transaksi berjalan (current account deficit), seringkali dialami oleh pemerintah suatu negara, baik di negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Gejala defisit fiskal biasaya terjadi saat pemerintah meningkatkan pelayanan publik kepada rakyatnya atau untuk meningkatkan pembangunan perekonomian sehingga pemerintah dapat bertindak dengan cara meningkatkan pengeluaran pemerintah (government expenditure) atau` menurunkan tingkat pajak (taxes). Fleegleler (2006) menjelaskan bahwa defisit perdagangan (current account deficit) terjadi apabila penerimaan pemerintah dari ekspor lebih kecil dibandingkan pengeluaran pemerintah untuk impor, hal ini seringkali terjadi apabila produk domestik kurang memiliki daya saing dibandingkan produk lain di pasar internasional atau karena kurs domestik yang terapresiasi sehingga menurunkan daya saing produk domestik di pasar internasional10. B. Perumusan masalah 1. Bagaimanakah proses terjadinya twin deficit, baik secara teoretis maupun secara praktis? 20 2. Melakukan analisis perumusan alternatif kebijakan sinkronisasi/koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal dalam mengantisipasi fenomena twin deficit yang berkepanjangan Edisi 03/Tahun XIX/2013 69 31/12/2013 16:00:59