Nama : YUNIAR ARDIANTI Kode Mata Kuliah : COMM5311 OVERFISHING DI KEPULAUAN SERIBU I. Pendahuluan A. Definisi Ikan adalah sumber daya yang bersifat dapat diperbaharui atau memulihkan diri (renewable), tapi sumber daya alam ini bukannya bersifat tak terbatas. Sumberdaya yang bersifat terbatas tetap harus dikelola dengan berdasarkan pada kemampuan pulih secara alami agar tidak menyebabkan eksploitasi berlebihan, (overexploitation), investasi berlebihan (overinvestment) dan tenaga kerja berlebihan (overemployment). Overexploitation dari sumberdaya ikan salah satunya disebabkan oleh Overfishing. Overfishing seperti yang disebutkan dalam Wikipedia, merupakan kegiatan penangkapan ikan yang mengurangi stock ikan di atas level yang diperbolehkan. Overfishing dapat terjadi pada pada skala kolam hingga perairan laut. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, terakhir dilaporkan bahwa produksi ikan tangkap dunia mengalami penurunan. Menurut Agromart.com, overfishing adalah penangkapan ikan secara besar-besaran baik ikan besar maupun ikan kecil sehingga ikan-ikan tidak dapat berkembang biak dan menjadi langka. Beberapa pengertian lain tentang overfishing, seperti yang disebukan dalam overfishing.org situs adalah kegiatan perikanan komersial dan non-komersial yang mengurangi jumlah ikan melalui pengakapan ikan dewasa secara berlebihan sehingga tidak ada lagi ikan dewasa yang tersisa untuk berkembang biak dan memulihkan populasi. Overfishing melebihi carrying capacity dari suatu populasi ikan. Terdapat berbagai bentuk overfishing sebagaimana disebutkan dalam Widodo, J & Suadi (2008): a. Growth overfishing Ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat keseimbangan terhadap penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami (misalnya pemangsaan). Pencegahan growth overfishing meliputi pembatasan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jaring dan penutupan musim atau daerah penangkapan b. Recruitment overfishing Pengurangan terjadi akibat penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama. Pencegahan terhadap recruitment overfishing meliputi proteksi (misalnya Melalui reservasi) terhadap sejumlah stok induk (parental stock, broodstock) yang memadai. c. Biological overfishing Kombinasi dari growth overvishing dan recruitment overfishing akan terjadi manakala tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY. Pencegahan terhadap biological overfishing meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan (fishing pattern). d. Economic overfishing Terjadi bila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MEY, yang dirumuskan sebagai perbedaan maksimum antara nilai kotor dari hasil tangkapan dan seluruh biaya dari penangkapan. Perlu dicatat bahwa tingkat upaya penangkapan MEY lebih kecil daripada tingkat upaya MSY. Perbaikan pengelolaan akan menurunkan biaya produksi melalui pengurangan upaya penangkapan. Selain itu perbaikan pengelolaan juga akan meningkatkan pemerataan, yakni telah banyak dan/atau lebih tersedia makanan bagi masyarakat yang tertinggal dan kurang mampu. Sebagai bahan tambahan empat jenis overfishing klasik tersebut yang dapat menimpa semua bentuk perikanan atau sumberdaya ikan didunia, terdapat bentuk overfishing yang terutama relevan dengan perikanan tropis yakni ecosystem overfishing. e. Ecosystem overfishing Overfishing jenis ini dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis dari suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis “pengganti”. Biasanya ecosystem overfishing mengakibatkan timbulnya suatu transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran besar kepada ikan kurang bernilai ekonomi berukuran kecil dan akhirnya kepada ikan rucah (trash fish) dan/atau invertebrata non komersial seperti ubur-ubur. f. Malthusian overfishing Malthusian overfishing merupakan suatu istilah untuk mengungkapkan masuknya tenaga kerja yang tergusur dari berbagai aktifitas berbasis darat (land-based activities) kedalam perikanan , pantai dalam jumlah yang berlebihan yang berkompetisi dengan nelayan tradisional yang telah ada dan yang cenderung menggunakan cara-cara penangkapan yang bersifat merusak, seperti dinamit untuk ikan ikan pelagis, sianida untuk ikan-ikan di terumbu karang dan/atau insektisida dibeberapa perikanan laguna dan estuarine. B. Kondisi Perikanan di Kepulauan Seribu Dalam Jurnal Nasional, disebutkan bahwa di Indonesia, perairan di sekitar pulau Jawa berkontribusi sekitar 20% dari total produksi ikan nasional. Tetapi yang memprihatinkan adalah menurut prediksi peneliti dari LIPI, Zainal Arifin, dalam 5 hingga 10 tahun mendatang produksi ikan di sekitar pulau Jawa akan berkurang drastis (overfishing). Di kawasan Kepulauan Seribu, sekitar 70% penduduk Kepulauan Seribu menggantungkan hidupnya pada perairan laut Kepulauan Seribu. Sebanyak 21-40% merupakan nelayan tangkap konsumsi yang melakukan penangkapan di sekitar ekosistem terumbu karang. Antara 69-92% nelayan dari 5 kelurahan (Pulau Panggang, Pulau Kelapa, Pulau Pari, Pulau Harapan dan Pulau Untung Jawa) mengatakan hasil tangkapan telah menurun. (Terumbu Karang Jakarta). Pada tahun 2000, produksi perikanan laut dan hasil tangkapan lokal di wilayah Jakarta Utara sebesar 57,260,269 kg dengan nominal Rp. 97,267,048,675. Hal ini mengalami penurunan produksi jika dibandingkan dengan tahun 1999 sebesar 63,091,645 kg atau turun sebesar 9.2%. Penurunan produksi tersebut disebabkan karena terjadinya overfishing di perairan Teluk Jakarta akibat padatnya armada perikanan yang beroperasi. Pada tahun 2004, produksi perikanan laut di Kepulauan Seribu dapat mencapai 2,838.80 ton per tahun dengan jumlah nelayan telah mencapai 10,442 orang. Pada tahun 2007, jumlah armada penangkapan ikan yang ada adalah 1.289 dengan jumlah kapal motor sebanyak 899 unit dan yang lainnya terdiri dari motor tempel, perahu layar, dan sampan/jukung sebanyak 370 unit. (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta 2007 dalam Harmiyati, Desi. 2009). Dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Volume I (1999) disebutkan beberapa jenis ikan konsumsi yang dominan ditangkap di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah ikan baronang (Siganus sp), tongkol (Euthymus sp), serta ikan ekor kuning (Caesio cuning). Jenis alat tangkap yang dominan digunakan untuk menangkap ikan ekor kuning antara lain adalah bubu (portable traps) dan jaring muroami (Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007 dalam Harmiyati, Desi. 2009). Jaring muroami yang digunakan dalam kegiatan penangkan ikan di perairan Kepulauan Seribu memiliki mesh size < 1 inchi yang menyebabkan ikan-ikan muda yang berukuran kecil ikut terjaring. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Diniah dan Andika Septiawan (2009), menyebutkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini ukuran individu ikan ekor kuning yang ditangkap di Kepulauan Seribu cenderung lebih kecil. Hal ini diperkuat oleh penelitian Desi Harmiyati (2009) disebutkan bahwa hasil tangkapan ikan ekor kuning yang didaratkan di TPI Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu adalah meningkat tapi didominasi oleh ikan-ikan yang berukuran lebih kecil. Berdasarkan hasil penelitian Desi Harmiyati (2009) terdapat beberapa indikasi tingginya tekanan penangkapan terhadap sumberdaya ikan ekor kuning yang mengarah kepada gejala tangkap lebih (overfishing) yang diduga lebih lanjut termasuk kondisi growthoverfishing. Beberapa indikasi ditunjukkan dari perubahan yang terjadi dalam struktur stok ikan, antara lain : (1) Jumlah ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan berukuran kecil (6‐12 cm) dan berukuran sedang (13‐20 cm) serta sekitar 80% dari total tangkapan adalah ikan muda atau mempunyai ukuran di bawah ukuran pertama kali matang gonad. (2) Meningkatnya koefisien pertumbuhan populasi yang berarti umur ikan untuk mencapai panjang infinitif menjadi lebih pendek. (3) Peningkatan jumlah upaya penangkapan cenderung akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan, tetapi berat rata‐rata ikan terus menurun dan berat total(biomassa) juga menurun. II. Strategi Penanganan Overfishing A. Secara Umum Berbagai strategi perlu dilakukan dalam melakukan pembangunan sumber daya ikan secara bertanggung jawab. Di beberapa kawasan, keadaan overfishing telah ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya kebijakan pengurangan jumlah armada tangkap, misalnya yang terjadi di kawasan Perairan Uni Eropa. Pada tahun 2003, Komisi Uni Eropa menerbitkan kebijakan yang menghentikan pengoperasian 7,680 unit (50%) kapal ikan berkapasitas minimal 300 GT di kawasan tersebut. Pada akhir 2005, Komisi Uni Eropa kembali mengeluarkan kebijakan Pengurangan jumlah tangkap yang diperbolehkan (Total Allowable Catches) untuk tahun 2006 sebesar 15% dari tahun 2005. Secara de facto, penyebab overfishing adalah rezim open access yang berlaku di semua armada pennagkapan ikan, yaitu pengelolaan sumber daya ikan tidak mengenal hak milik (rel nullius). Hasil studi Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL, 2005) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mengatasi rejim open access adalah melalui Revitalisasi Tata Kelola Perikanan, yaitu melalui perubahan Rejim Perikanan dari Quasi Open Access ke Limited Entry. Rejim ini menitik beratkan pada pengelolaan pengelolaan sumber daya ikan baik dari sisi input maupun output melalui pengaturan mekanisme use rights. Konsep Limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam konteks perikanan budidaya. Solusi lain yang dapat dipertimbangkan adalah dengan penghilangan subsidi bagi usaha perikanan laut dalam. Kegiatan penangkapan ikan di perairan laut dalam hanya dalam waktu beberapa jam bisa mendapatkan tangkapan sebesar 15 ton, yang diambil dari dasar dengan menggunakan deep-water trawler yang menghancurkan koral-koral laut dalam dan tutupan sponge yang membutuhkan waktu selama ratusan tahun untuk tumbuh. Selain itu, trawler dapat menangkap ikan jenis grenadiers atau hiu yang bersifat lambat dewasa dan populasinya membutuhkan waktu puluhan bahkan hingga ratusan tahun untuk dapat pulih kembali. Selain terfokus pada pelaku kegiatan perikanan, solusi mengatasi overfishing dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran konsumen. The Marine Stewardship Council (MSC) telah mengembangkan standar lingkungan untuk perikanan berkelanjutan dan yang dikelola dengan baik. Kegiatan pengelolaan dan pengusahaan perikanan yang telah melakukan pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab terhadap lingkungan akan mendapatkan ecolabel. Pada bulan April 2010, 69 usaha perikanan di seluruh dunia telah mendapatkan assessment dan disertifikasi. Konsumen yang peduli terhadap overfishing dan segala dampaknya dapat mengambil peran penting dalam mengurangi overfishing dengan membeli produk seafood yang telah mendapatkan sertifikasi dari MSC. B. Secara Khusus Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam no.SK.05/IV-KK/2004 tentang Pembagian Zona Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, terdapat 4 (empat) zona yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona Pemanfaatan Wisata dan Zona Pemukiman. Tiap zona memiliki peruntukan yang khas. Pada Zona Inti difokuskan pada perlindungan habitat untuk melindungi Penyu Sisik dan tempat penelurannya, ekosistem mangrove yang khas yaitu tumbuh di atas substrat lumpur, dan ekosistem terumbu karang. Zona Perlindungan merupakan zona yang diperuntukkan untuk melindungi zona inti, dan di dalam kawasan ini hanya diperbolehkan untuk pemanfaatan secara tidak langsung, yaitu wisata alam terbatas, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pada Zona Inti dan Zona Perlindungan tidak diijinkan adanya kegiatan eksploitasi ikan. Zona Pemanfaatan Wisata merupakan zona yang dikembangkan untuk mengakomodir kegiatan wisata bahari, sedangkan Zona Pemukiman merupakan zona yang mengakomodir kepentingan masyarakat. Saat ini, upaya Balai TN Kepulauan Seribu dalam mewujudkan konservasi adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Masyarakat dialihkan untuk memiliki alternatif pekerjaan sebagai sumber pendapatan tambahan, agar tidak terlalu tergantung pada kegiatan penangkapan ikan. Program pemberdayaan masyarakat yang sudah diupayakan yaitu penangkaran dan perdagangan karang hias bagi nelayan dengan menggandeng perusahaan eksportir sebagai bapak angkat. Kelompok nelayan yang aktif dan memiliki kinerja baik berjumlah 13 kelompok dari total 24 kelompok nelayan karang hias yang ada. Pelaksanaan budidaya karang hias ini baru dilakukan di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, dan telah menjadi salah satu atraksi wisata yang diminati pengunjung. Dalam bidang pengamanan kawasan, Balai TN Kepulauan Seribu telah melakukan Unit Konservasi Terpadu (UKT) di lokasi Zona Inti II, dengan target perlindungan ekosistem mangrove dan tempat peneluran penyu, yang melibatkan anggota masyarakat. Dalam UKT, juga dilakukan patroli terhadap pelanggaran zonasi yang berupa penangkapan ikan di zona inti. Di Taman Nasional Kepulauan Seribu, masyarakat sudah bergerak menuju perikanan budidaya. Hanya saja kegiatan perikanan budidaya yang dilakukan tersebut berada pada zona yang tidak diperuntukan untuk kegiatan budidaya perikanan. Oleh karena itu, pihak TN Kepulauan Seribu akan melakukan penertiban dan penataan lokasi budidaya serta pembinaan untuk menjadi nelayan budidaya yang ramah lingkungan. Selain itu, berbagai upaya sertifikasi telah dilakukan untuk mendorong masyarakat terlibat aktif dalam konservasi, di antaranya Sertifikasi ikan hias dan sertifikasi karang hias. Upaya lain yang dapat diusahakan adalah penetapan kode etik penangkapan ikan, optimalisasi alat tangkap ramah lingkungan, dan pembelajaran wisata bahari yang ramah lingkungan. Dan sebagai salah satu TN model, TN Kepulauan Seribu melakukan pengelolaan berdasarkan konservasi mandiri dengan melibatkan berbagai stakeholders, yaitu masyarakat lokal, swasta, instansi pemeritah lainnya, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan NGO. Referensi Diniah dan Septiawan, Andika. 2009. Analisis Hasil Tangkapan Unit Penangkapan Muroami di Kepulauan Seribu.Institut Pertanian Bogor. Bogor. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2003-2007). 2009. Yayasan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta. Suhana. Overfishing dan Revitalisasi Rezim Perikanan. Sinar Harapan edisi 16 November 2006. Terumbu Karang untuk Kesejahteraan Masyarakat. Koran Jurnal Nasional edisi 20 April 2010. Widodo, J dan Suadi, 2008. Pengelolaan Perikanan Sumberdaya laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. www.jakarta.go.id yang diakses pada 25 Mei 2010 www.overfishing.org yang diakses pada 25 Mei 2010 www.fao.org yang diakses pada 25 Mei 2010 www.wikipedia.com yang diakses pada 25 Mei 2010 www.agromart.com tanggal 27 November 2009 yang diakses pada 25 Mei 2010