COMM 5311 PENANGKAPAN IKAN BERLEBIH (OVERFISHING) DI KAWASAN KONSERVASI LAUT BERAU DEFINISI OVERFISHING Overfishing secara sederhana dapat kita pahami sebagai penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan. Terdapat berbagai bentuk overfishing. a. Growth Overfishing Ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami (misalnya pemangsaan) pencegahan growth overfishing meliputi pembatasan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jarring dan penutupan musim atau daerah penangkapan b. Recruitment Overfishing Pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama. Pencegahan terhadap recruitment overfishing meliputi proteksi (misalnya Melalui reservasi) terhadap sejumlah stok induk (parental stock, broodstock) yang memadai. c. Biological Overfishing Kombinasi dari growth overvishing dan recruitment overfishing akan terjadi manakala tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY. Pencegahan terhadap biological overfishing meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan (fishing pattern). d. Economic Overfishing Terjadi bila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghadilkan MEY, yang dirumuskan sebagai perbedaan maksimum antara nilai kotor dari hasil tangkapan dan seluruh biaya dari penangkapan. Perlu dicatat banwa tingkat upaya penangkapan MEY lebih kecil daripada tingkat upaya MSY. Perbaikan pengelolaan akan menurunkan biaya produksi melalui pengurangan upaya penangkapan dengan demikian menurunkan upaya penangkapan, selain itu perbaikan pengelolaan juga akan meningkatkan pemerataan, yakni telah banyak dan/atau lebih murah tersedia makanan bagi masyarakat yang tertinggal dan kurang mampu. Sebagai bahan tambahan empat jenis overfishing klasik tersebut yang dapat menimpa semua bentuk perikanan atau sumberdaya ikan didunia, terdapat bentuk overfishing yang terutama relevan dengan perikanan tropis yakni ecosystem overfishing. e. Ecosystem Overfishing Overfishing jenis ini dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis dari suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis “pengganti”. Biasanya ecosystem overfishing mengakibatkan timbulnya suatu transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran besar kepada ikan kurang bernilai ekonomi berukuran kecil dan akhirnya kepada ikan rucah (trash fish) dan/atau invertebrata non komersial seperti ubur-ubur. f. Malthusian Overfishing Malthusian overfishing merupakan suatu istilah untuk mengungkapkan masuknya tenaga kerja yang tergusur dari berbagai aktifitas berbasis darat (land-based activities) kedalam perikanan, pantai dalam jumlah yang berlebihan yang berkompetisi dengan nelayan tradisional yang telah ada dan yang cenderung menggunakan cara-cara penangkapan yang bersifat merusak, seperti dinamit untuk ikan ikan pelagis, sianida untuk ikan-ikan di terumbu karang dan/atau insektisida dibeberapa perikanan laguna dan estuarine. (Widodo, J dan Suadi) Widodo, J dan Suadi, 2008. Pengelolaan Perikanan Sumberdaya laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. PENANGKAPAN IKAN BERLEBIH DI LAUT BERAU Kabupaten Berau merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang tinggi dan beragam di Indonesia. Di wilayah laut kabupaten ini terdapat terumbu karang yang luas dengan kondisi cukup baik. Keragaman terumbu karang Berau tertinggi kedua di Indoensia setelah Raja Ampat dan ke tiga di dunia. Hutan mangrove ditemukan di Delta Berau dan di sepanjang daerah pesisir. Sejumlah pulau-pulau kecil dan ekosistem padang lamun juga terdapat di daerah ini. Beberapa spesies yang dilindungi dapat ditemukan seperti penyu, paus, lumbalumba, duyung dan beberapa spesies lainnya. Perairan Berau dikenal sebagai wilayah yang memiliki habitat penyu hijau terbesar di Indonesia. Selain itu, potensi perikanan dan pariwisatanya masih baik. Namun demikian, di kawasan pesisir dan laut Berau juga terdapat berbagai permasalahan seperti perusakan terumbu karang, penurunan populasi penyu, praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya. Ikan karang merupakan ikan yang hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang. Populasi ikan karang di suatu daerah sangat tergantung pada kondisi terumbu karangnya, kadar salinitas perairan, serta pola tingkah laku para pengguna dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Selain untuk dikonsumsi, beberapa jenis ikan karang juga banyak dimanfaatkan untuk ikan hias. Ikan hias yang diambil diwilayah perairan berau banyak diperdagangkan keluar berau oleh nelayan-nelayan pendatang yang berasal dari jawa dan juga Sulawesi bahkan beberapa dating dari hongkong dan filiphina. Penurunan produksi perikanan laut juga terlihat jelas dari kegiatan pengamatan regular dengan melakukan wawancara dengan nelayan-nelayan yang ditemukan pada kegiatan monitoring pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berau. Mereka banyak mengatakan bahwa saat ini mereka harus melakukan penangkapan lebih jauh dengan hasil yang terkadang tidak dapat dikatakan banyak hanya mampu untuk membayar biaya operasional mereka selama dilaut dan memenuhi kehidupan mereka dalam 1 – 2 hari. Banyak nelayan yang telah berusaha diluar kegiatan penangkapan ikan menurut mereka laut sudah tidak dapat dijadikan sebagai penghidupan utama lagi. Biota biota yang dilindungi dalam CITES juga terus mengalami ancaman melalui kegiatan perdagangan dan konsumsi khususnya spesies penyu hijau dan penyu sisik. Beberapa penyelaman yang kami lakukan dari dinas perikanan dan kelautan pada wilayah-wilayah karang disekitar pulau derawan dan kepulauan maratua tidak banyak kami temukan spesies ikan kerapu pada jumlah yang banyak. Biasanya kami menemukan kelompok kerapu dengan jumlah sekitar 10 – 20 ekor saja. Dalam survey yang dilakukan oleh Ekspedisi P2O LIPI dan Naturalis Museum Leiden Fase I tahun 2003 ditemukan Telah terjadi kecenderungan penangkapan ikan berlebih (overfishing). Hal ini diketahui dari jumlah Napoleon wrasse yang ditemui hanya 6 individu selama surve. Ikan ini sebagai ikan indikator terhadap tekanan penangkapan ikan. Hasil tangkapan tiap nelayan untuk satu hari penangkapan berkisar 1 - 15 kg. Kegiatan ini dioperasikan oleh kaum laki-laki dengan tenaga kerja beranggotakan 1 - 2 orang. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, hampir semua nelayan pengguna mini trawl mengeluh dengan semakin kurangnya hasil tangkapan yang mereka peroleh. Sebagai perbandingan hasil tangkapan udang dalam jangka waktu yang sama didapatkan hasil 28 - 40 kg. Hasil tangkapan tiap nelayan dengan alat jaring gondrong dalam satu hari berkisar 1 - 5 kg. Kegiatan penangkapan dilakukan oleh kaum laki-laki dengan anggota 1 - 2 orang. Sepuluh tahun yang lalu hasil tangkapan udang dengan jaring gondrong setiap harinya berkisar 10 - 50 kg. Hasil tangkapan tiap nelayan dengan alat dogol dalam satu hari berkisar 1 - 30 kg. Kegiatan penangkapan dilakukan oleh kaum laki-laki dengan anggota 1 - 2 orang. Sepuluh tahun yang lalu hasil tangkapan dengan dogol setiap harinya tidak kurang dari 30 kg. Hasil tangkapan ikan hidup tiap nelayan per hari berkisar 1 - 3 kg, ikan karang lainnya 5 - 10 kg serta ikan tongkol dan sejenisnya 10 - 30 kg. Untuk hasil tangkapan ikan hiu paling tidak 1 ekor setiap minggunya. Apabila dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, hasil tangkapan ikan hidup berkisar 20 kg, ikan karang lainnya 50 kg serta ikan tongkol dan sejenisnya 50 kg. (Wiryawan, B.2005) (Wiryawan, B., M.Khazali, & M.Knight (eds.). 2005. Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau, Kalimantan Timur: Status sumberdaya pesisir dan proses pengembangannya. Program Bersama Kelautan Berau TNC-WWF-Mitra Pesisir/CRMP II USAID. Jakarta.) Bila didasarkan pada “Penggolongan Overfishing” berdasarkan definisi Widodo, J dan Suadi 2008 laut berau telah mengalami overfishing dalam bentuk Growth Overfishing , Recruitment overfishing, Ecosystem Overfishing, bahkan Malthusian Overfishing karena banyaknya ikan khususnya yang memiliki ekonomis tinggi seperti ikan kerapu yang ditangkap pada ukuran anakan dan dibesarkan dalam keramba-keramba tradisional pada jumlah yang sangat sedikit yang dikumpulkan oleh pengusaha pada jangka tertentu, jumlah indukan juga sangat sulit ditemukan terlihat dari monitoring spawning aggregations (SPAGs) atau wilayah pemijahan ikan yang menurut informasi nelayan ada lebih dari 30 point tetapi kenyataannya hanya ditemukan pada < 5 spot dari 30 spot yang telah diselami. Populasi ikan pada sopt Spag’s juga sangat rendah. Diwilayah kabupaten berau juga masih dapat ditemukan penggunaan bahan dan alat penangkapan yang bersifat merusak (destructive material and equiptment’s) seperti bom dan potesium sianida, bahkan pada kegiatan monitoring pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut Berau bulan april 2010 ditemukan potassium tiga kantung bubuk potasium sianida yang ditinggalkan nelayan dikapalnya karena mereka mengetahui adanya kegiatan monitoring disekitar Karang Muaras Kecamatan Maratua. Penurunan ekosistem juga terlihat dari ukuran ikan yang berhasil tertangkap oleh nelayan dimana ukurannya jauh lebih kecil daripada hasil tangkapan ikan sekitar 10 tahun yang lalu. Beberapa faktor yang menjadi penyebab adanya overfishing di Laut Berau adalah wilayah terbuka untuk semua nelayan dengan luas kawasan seluruhnya mencapai 1,27 juta ha sementara kegiatan pengawasan lokal tidak mampu menekan kegiatan illegal fishing yang terjadi karena kurangnya pendanaan dan tenaga. Banyaknya aparat keamanan yang ikut melegalkan terjadinya kegiatan penangkapan ikan dengan cara yang destruktif. Sarana telekomunikasi yang semakin baik dan mampu menembus sampai dengan wilayah pesisir dan di lepas pantai seperti di pulau maratua mempermudah para pelaku illegal fishing untuk menghindari kejaran petugas pengawas laut. Meningkatnya kebutuhan akan hampir seluruh jenis biota laut dan belum adanya pengaturan wilayah penangkapan serta pembatasan kuota tangkap sangat mempersulit melakukan pengawasan dan pengendalian sumberdaya laut dan pesisir di kabupaten Berau. Alat-alat penangkapan ikan dengan jumlah hasil tangkapan sangat tinggi dengan mata jarring yang cukup kecil mengakibatkan ikan yang tertangkap bukan hanya pada ukuran komersil tetapi bahkan pada ukuran anakan sehingga hal ini mengakibatkan penurunan pencadangan stok yang ada diperairan sementara tingkat pemulihannya stok juga terus mendapat tekanan dari para penangkap dan pengusaha ikan. Upaya yang telah dilakukan saat ini antara lain adalah membangun kelompok Pengawas Masyarakat di seluruh desa pesisir dan laut yang ada di Kabupaten Berau. Kegiatan monitoring pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berau terus dilakukan secara berkala untuk menciptakan shok terapi kepada para pengguna bahan dan alat yang destruktif. Pengoperasian kapal patroli bersama “Penyu Berau” pada tahap uji coba yang merupakan bantuan dari Conservation International Indonesia, CI Indonesia tahun 2007 yang berkerja sama dengan Joint Program Marine WWF-TNC. Mendidik dan mensosialisasikan konsep konservasi pada 32 kampung pesisir dan laut, 16 sekolah setingkat SMA dan 10 sekolah Setingkat SMP untuk mulai peduli lingkungan. Melaksanakan kegiatan pelatihan keterampilan membuat souvenir, sertifikasi selam dan mengajarkan pada masyarakat benciptakan karang buatan untuk pemulihan habitat ikan karang serta pengupayaan peningkatan mata pencaharian alternatif perikanan melalui kegiatan budidaya ikan.