MODUL PERKULIAHAN SEMINAR MEDIA PRESENTASI INDIVIDU Fakultas Program Studi Fakultas Ilmu Komunikasi Program Studi Broadcasting Tatap Muka 10 Kode MK Disusun Oleh 11872 Christina Arsi Lestari, M.Ikom Abstract Kompetensi Seminar Media adalah sarana bagi para mahasiswa/i untuk tampil di depan kelas menunjukan talentanya sebagai pembicara. Sehingga dari pertemuan setelah UTS mahasiswa/i menjadi penyaji dalam seminar secara individu, dalam bentuk seminar mengenai outline riset media mereka masing-masing. Melalui modul berbagai tema ini, riset dijabarkan media mahasiswa/i dalam fenomena komunikasi dari menunjukan ranah broadcasting dengan bentuk seminar secara individu. IDEOLOGI YANG TERKANDUNG DALAM FILM “LETTERS FROM IWO JIMA” OUTLINE SKRIPSI DWI ISWANTO 44112110072 PROGRAM STUDI BROADCASTING FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2014 2014 2 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian “Letters from Iwo Jima” adalah sebuah film berdasarkan peristiwa nyata yang terjadi pada perang pasifik era perang dunia ke II. Peristiwa perang tersebut terjadi di sebuah pulau bernama Iwo Jima yang merupakan bagian dari negeri Jepang. Perang tersebut merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perang pasifik perang dunia ke II karena karena menandai serangan pertama tentara Amerika Serikat di wilayah Jepang serta mengakibatkan begitu banyak korban yang jatuh. Pulau Iwo Jima terletak di Pasifik Barat. Sementara bagi Jepang, Iwo Jima memiliki arti penting karena berfungsi sebagai peringatan dini tentang serangan bom atau invasi sekutu. Penulis mencoba mengangkat tema ini karena ketertarikan terhadap sejarah dan dasar nilai-nilai ideologi yang begitu kuat semasa berlangsungnya peristiwa perang dunia. Dalam film “Letters from Iwo Jima” kita bisa melihat perseteruan 2 ideologi yang berbeda bertemu di medan perang. Penulis akan mencoba menelisik lebih dalam paham idelogi terhadap 2 negara yang telibat dalam peristiwa ini. Ideologi berasal dari kata idea (Inggris), yang artinya gagasan, pengertian. Kata kerja Yunani oida = mengetahui, melihat dengan budi. Kata “logi” yang berasal dari bahasa Yunani logos yang artinya pengetahuan. Jadi Ideologi mempunyai arti pengetahuan tentang gagasan-gagasan, pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari menurut Kaelan ‘idea’ disamakan artinya dengan cita-cita. Dalam perkembangannya terdapat pengertian Ideologi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Istilah Ideologi pertama kali dikemukakan oleh Destutt de Tracy seorang 2014 3 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Perancis pada tahun 1796. Menurut Tracy ideologi yaitu ‘science of ideas’, suatu program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat Perancis. Karl Marx mengartikan Ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepenti-ngan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi. Gunawan Setiardjo mengemukakan bahwa ideologi adalah seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup. Ideologi merupakan cerminan cara berfikir orang atau masyarakat yang sekaligus membentuk orang atau masyarakat itu menuju cita-citanya. Ideologi merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi merupakan suatu pilihan yang jelas membawa komitmen (keterikatan) untuk mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang, maka akan semakin tinggi pula komitmennya untuk melaksanakannya. Komitmen itu tercermin dalam sikap seseorang yang meyakini ideologinya sebagai ketentuan yang mengikat, yang harus ditaati dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan pribadi ataupun masyarakat. Ideologi berintikan seperangkat nilai yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh seseorang atau suatu masyarakat sebagai wawasan atau pandangan hidup mereka. Melalui rangkaian nilai itu mereka mengetahui bagaimana cara yang paling baik, yaitu secara moral atau normatif dianggap benar dan adil, dalam bersikap dan bertingkah laku untuk memelihara, mempertahankan, membangun kehidupan duniawi bersama dengan berbagai dimensinya. Pengertian yang demikian itu juga dapat dikembangkan untuk masyarakat yang lebih luas, yaitu masyarakat bangsa. Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisa lebih dalam mengenai ideologi dari 2 bangsa yang terlibat dalam film “Letter from Iwo Jima”, yaitu Jepang dan Amerika Serikat dalam perang Iwo Jima. Perang Iwo Jima sendiri merupakan perang terlama dan salah satu peristiwa perang dunia ke II yang menjatuhkan korban paling banyak. Film ini meraih gelar 2014 4 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sebagai film terbaik dalam ajang American Film Institute Awards tahun 2007. Oleh sebab itu penulis ingin menganalisa film “Letters from Iwo Jima”. 1.2 Perumusan Masalah Penulis ingin menganalisa pengaruh ideologi timur dan barat, dalam kasus ini Jepang dan Amerika dalam peristiwa perang di Iwo Jima. Adapun poin-poin permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah : Bagaimana representasi ideologi yang terkandung dalam film “Letter from Iwo Jima”? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini antara lain untuk mengetahui ideologi yang terkandung dalam film “Letter from Iwo Jima”. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis Dalam manfaat akademis penelitian mengenai ideologi dalam film “Letter from Iwo Jima”, dapat menjadi bahan kajian di bidang broadcasting tentang nilai-nilai ideologi yang terkandung dalam sebuah film. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat dari penelitian ini adalah agar praktisi film dapat lebih memperhatikan pesan yang terdapat dalam suatu program tayangan ciptaannya. Meskipun dalam film ini 2014 5 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id menyajikan sudut pandang dari Negara Jepang, namun keseimbangan cerita masih tetap terjaga, atau sang pembuat film tidak berpihak pada satu sisi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ideologi 2.1.1 Definisi Ideologi Ideologi berasal dari kata Yunani idein yang berarti melihat, atau idea atau yang berarti raut muka, perawakan, gagasan, buah pikiran, dan kata logia yang berarti ajaran. Dengan demikian ideologi adalah ajaran atau ilmu tentang gagasan dan buah pikiran atau science des ideas 1. Puspowardoyo (1992) menyebutkan bahwa ideologi dapat dirumuskan sebagai kompleks pengetahuan dan nilai yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami jagat raya bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya. Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya, seseorang menangkap apa yang dilihat benar dan tidak benar, serta apa yang dinilai baik dan tidak baik. 1 Subandi, Al Marsudi. (2001). Pancasila dan UUD'45 dalam paradigma reformasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Hal 57. 2014 6 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Pengertian ideologi secara umum adalah suatu kumpulan gagasan, ide, keyakinan, serta kepercayaan yang bersifat sistematis yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam berbagai bidang kehidupan. 2.1.2 Ideologi Menurut Para Ahli Pengertian Ideologi Menurut Para Ahli untuk lebih memahami tentang pengertian ideologi itu,berikut ini dikemukakan beberapa pengertian ideologi menurut para ahli : a) Traccy, “Ideologi adalah suatu sistem penilaian mengenai teori politik, sosial budaya dan ekonomi”. b) Karl Marx, Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa sehingga orang menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah. c) Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, ideologi merupakan cabang filksafat yang mendasari ilmu-ilmu seperti sosiologi dan politik. d) Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi itu bukan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan berupa cita-cita sebuah kelompok yang mendasari suatu program untuk mengubah dan memperbaharui masyarakat. Ideologi tertutup adalah musuh tradisi2. Kalau kelompok itu berhasil merebut kekuasaan politik, ideologinya itu akan dipaksakan pada masyarakat. Pola dan irama kehidupan norma-norma kelakuan dan nilai-nilai masyarakat akan diubah sesuai dengan ideologi itu. Ideologi 2 Suseno, Franz Magnis. (1989). Etika Politik Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hal 50-51. 2014 7 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id tertutup biasanya bersifat totaliter, jadi menyangkut seluruh bidang kehidupannya. “Dengan ideologi disini dimaksud segala macam ajaran tentang makna kehidupan, tentang nilai-nilai dasar dan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. e) Kenet R Hoover menyatakan bahwa ideologi merupakan bagian yang sangat mendasar dari kehidupan politik. Menurut beliau : Generally, an ideologi consist of idea about how power in society ought to be organized. These ideas are derived from a view of the problems and possibilities inhernt in human nature in its individual and social aspects….ideologi is a crucial part of political life3. Dalam pandangan Apter, sebuah ideologi biasanya terdiri dari pemikiran-pemikiran tentang bagaimana untuk mengatur kekuasaan yang ada didalam masyarakat. Beliau lebih memandang identitas dan karakteristik dari kondisi manusia, sekalipun hal ini merupakan suatu penyangkalan bahwa semua orang berbagi sifat yang biasa. Karakterisasi kehidupan tersebut menggunakan gambaran tentang hubungan kekuasaan antara individu dan masyarakat. Namun Frans Magnis Suseno lebih memandang secara filsafat, dalam pandangannya meskipun ideologi tidak lepas dari masyarakat, namun harus dibedakan daripadanya karena juga bekerja dalam bentuk abstrak, sebagai keyakinan atau kepercayaan seseorang yang dipegangnya dengan teguh, kekuatan ideologi terletak dalam pegangannya terhadap hati dan akal kita. Merangkul ideologi berarti meyakini apa saja yang termuat di dalamnya dan kesediaan untuk melaksanakannya. Ideologi memuat agar orang mengesampingkan penilainnya sendiri dan bertindak sesuai dengan ajarannya. Di sini dimaksudkan bukan hanya ideologi dalam arti keras dan tertutup, melainkan setiap ajaran dan kepercayaan yang memenuhi definisi di atas. Agama pun dapat dikelompkkan di sini.” 3 Hoover, Kenneth R. (1994). Ideology and Political Life. USA: Wadsworth Publishing Company Hal 4-5. 2014 8 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Kenneth R. Hoover lebih melihat bahwa tentang spektrum ideologis itu, sisi yang terletak disebelah kiri dihubungkan dengan keyakinan bahwa persamaan antara orang-orang lebih penting daripada perbedaannya4. Dan sisi yang terletak disebelah kanan dihubungkan dengan keyakinan bahwa perbedaan lebih penting daripada persamaan. Kemudian mengenai kajiannya secara sistemik, elemen-elemen dari setiap ideologi digambarkan diantara warga negara dan masyarakat. Ideologi merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan politis. Masyarakat modern membangun struktur otoritas yang sangat besar pada konsep kekuasaan yang berasal dari ideologi. Dalam cakupan sistem, ideologi mencakup pemikiranpemikiran dari ilmu ekonomi, sosiologi, politik dan filosofi yang menyediakan tema-tema intelektual yang bergabung dari suatu kultur. Kita tidak bisa menentukan secara meyakinkan mengenai apakah pemikiran-pemikiran ini memang benar-benar menentukan tindakan kita, tetapi tidak ada keraguan bahwa setiap tindakan itu selalu terhubung dengan pemikiran. Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, pokok persoalan ideologiideologi dapat ditemukan dalam koridor pertanyaan simpel menyangkut kebebasan dan otoritas (freedom and authority). Karena pada dasarnya manusia memiliki hak kebebasan yang menyatu dengan kewajibannya, apa yang menapikan kebebasannya itulah batasan kebebasan apa yang dilakukannya. Beberapa ideologi diorientasikan untuk kekuasaan negara. Namun, berkaitan dengan perilaku politik, ideologi berjalan secara bebas pada pertimbangan atas golongan, kepentingan pribadi dan dinamika politik-birokrasi. Kemudian dalam kaitannya dengan suatu keputusan, ideologi dapat memaksa pandangan dan kehendak banyak orang kepada pokok persoalan tertentu, dan ideologi juga mampu mempengaruhi keputusankeputusan dalam pemungutan suara. Dengan demikian secara lebih luas ideologi tidak hanya 4 Ibid Hal 8 . 2014 9 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id mampu merasuk dalam pemikiran orang banyak, tetapi meresap terhadap aspek jiwanya yang akan tampak dalam tidakan dalam kesehariannya. 2.1.3 Ideologi Politik Dari bentuk katanya, ideologi politik (Political Ideology) merupakan gabungan dari dua buah kata, dimana masing-masing kata memiliki definisi konseptual yang mandiri, yaitu ideologi dan politik. Tetapi, dalam penggunaannya, ideologi politik seringkali tidak diartikan secara terpisah. Kedua kata tersebut, walaupun memiliki definisi konseptual masing-masing, dipandang sebagai kesatuan kata yang melahirkan definisi baru5. Istilah ideologi dimasukkan ke dalam khazanah bahasa ilmu-ilmu sosial oleh S.L.C. Destutt de Tracy (1754-1836), seorang politisi dan filsuf pada awal abad 19. Kata ideologi, pada awalnya berarti ilmu tentang ide (science of ideas), yaitu studi tentang asal mula, evolusi dan sifat dasar dari ide. Dari kata ini, diturunkan sebuah kata yaitu ideologues, yang berarti orang-orang yang berjuang untuk melahirkan ide-ide, dalam hal ini gagasan-gagasan progresif seperti hak asasi manusia atau negara konstitusional6. Secara umum, ideologi dipandang sebagai seperangkat keyakinan yang berorientasi pada tingkah laku (an action-oriented set of belief). Sistem pemikiran yang didasarkan atas ideologi, akan menghasilkan perbuatan. Hal ini memunculkan sebuah logika yaitu, bahwa dengan mengamati perbuatan seseorang, maka dapat diketahui apa ideologinya. Dengan kata lain, bilamana keyakinan-keyakinan tersebut tidak mampu memaksakan perbuatan, maka itu bukan ideologi. Secara sosial, fungsi dari ideologi politik mendapat berbagai tafsiran. Fungsi dari ideologi politik sendiri telah menjadi salah satu tema kajian utama dalam psikologi politik. 5 Magnis Suseno, Frans. (1992). Berfilsafat dari Konteks. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 6 Ibid 2014 10 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id McGuire (1993), seperti yang dikutip oleh Maritza Montero (1997, dalam Fox dan Prileltensky, 1997) menyatakan bahwa, di Amerika Serikat, ideologi lebih diartikan sebagai sistem keyakinan. Di bagian dunia lain (Amerika Latin dan Eropa), ideologi dipahami sebagai hegemoni atau dominansi dari gagasan-gagasan tertentu terhadap gagasan lain. Sedang dalam wilayah yang telah dipengaruhi oleh pemikiran Marx, ideologi dipahami sebagai kesadaran palsu (false consciousness). Secara umum, Reo M. Christension dalam kata pengantar buku Ideologies and Modern Politic (1972) berpendapat bahwa ideologi politik berfungsi sebagai: 1. Sebagai sistem keyakinan politis, ideologi yang memberikan suatu struktur kognitif 2. Memberikan suatu formula yang bersifat menentukan—suatu arahan bagi individu dan tindakan serta pertimbangan kolektif. 3. Sebagai alat untuk mengatasi dan mengintegrasikan konflik. 4. Mengetahui identifikasi diri (self-identification) seseorang. 5. Untuk mengetahui kekuatan dinamis dalam kehidupan individu dan kolektif, memberikan suatu pengertian mengenai misi dan tujuan, serta suatu komitmen hingga tindakan yang dihasilkan. Pendapat lain tentang fungsi ideologi politik dikemukakan oleh Roy C. Macridis dalam bukunya Contemporary Political Ideologies, Movement and Regime (1989) yaitu: 1. Ideologi politik sebagai alat legitimasi 2. Ideologi politik sebagai alat solidaritas dan mobilisasi 3. Ideologi politik sebagai alat ekspresi 4. Ideologi politik sebagai alat kritik dan utopia 5. Ideologi politik sebagai ideologi dan tindakan politik 2014 11 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 2.1.4 Macam – Macam Ideologi Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme). Dengan memberikan dasar etika pada pelaksanaan kekuasaan politik, ideologi bisa mempersatukan rakyat suatu negara atau pengikut suatu gerakan yang berusaha mengubah negara. Ideologi inilah yang memungkinkan adanya komunikasi simbolis antara pemimpin dan yang dipimpin. Ideologi juga merupakan suatu pedoman untuk memilih kebijkan dan perilaku politik. Karena itu keberhasilan suatu ideologi tertentu, sedikit banyaknya merupakan masalah kepercayaan yang lahir keyakinan yang rasional. Berikut ini dijelaskan mengenai beberapa macam ideologi yang dianut dan diterapkan pada beberapa negara didunia7: Liberalisme Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap 7 Cristhol, Carl Quenby, and Grene, Thomas H. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Hal 105. 2014 12 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme. Perkembangan awal ideologi liberal erat kaitannya dengan pemikiran – pemikiran yang lahir pada masa Pencerahan dan Revolusi Perancis pada akhir abad ke – 18. Dan perlu diketahui bahwa liberalisme merupakan ideologi kelas tertentu yang mencirikan kepentingan tertentu.Tidaklah diragukan kalau liberalisme klasik adalah ideologi yang paling erat kaitannya dengan kapitalisme laissez faire yang menegaskan kebajikan dan kemampuan indivudi dalam rangka pengusahaan ekonomi dan kecerdikan usaha. Pandangan-pandangan liberalisme dengan paham agama seringkali berbenturan karena liberalisme menghendaki penisbian dari semua tata nilai, bahkan dari agama sekalipun 8 . meski dalam prakteknya berbeda-beda di setiap negara, tetapi secara umum liberalisme menganggap agama adalah pengekangan terhadap potensi akal manusia.Jadi, secara ringkas ciri – ciri ideologi liberalisme adalah sebagai berikut. demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik. anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan kebebasan pers Pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas Kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian terbesar individu berbahagia9. Sosialisme Sesudah Perang Dunia II, sosialisme berekspansi ke luar Eropa. Di Asia dan Afrika, sosiolisme dipadukan dengan nasionalisme dan menjadi basis ideologi dalam perjuangan 8 Cristhol, Carl Quenby, and Grene, Thomas H. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Hal 132. 9 Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widya Pustaka Utama Hal 35. 2014 13 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id melawan dominasi kolonialisme. Sesudah memperoleh kemerdekaan, negara – negara bekas jajahan di Asia dan Afrika bermaksud menjadikan sosialisme sebagai dasar pembangunan kehidupan ekonomi dan sosial. Dalam sejarah perkembangannya sosialisme telah mengalami komplikasi pengertian. Sehingga muncul beragam tipe sosialisme, antara lain : sosiolisme demokrasi ( di negara – negara Barat ), sosiolisme komunisme ( di negara – negara komunis ), sosiolisme religius ( yang dipelopori oleh Saint – Simon ). Sosialisme ini tampil sebagai kritik terhadap liberalisme. Prinsip dasar sosiolisme ini berasal dari transformasi Eropa Barat pada abad ke – 18 dan ke – 19. Faktor pendorongnya adalah Revolusi Inggris, munculnya kelas borjuis dan prolateriat, serta tuntutat demokrasi dari Revolusi Perancis. Paham sosialis ini banyak diterapkan di negara – negara Eropa Barat. Dari penjelasan diatas bahwa sosialisme adalah suatu ajaran yang mendukung pemilikan bersama atau kontrol atas sarana – sarana produksi yang besar. Yang terlihat dari perkembangan tersebut ialah bahwa sarana – sarana produksi yang besar hanya dimiliki oleh sekelompok kecil individu, yang kemudian dengan sesuka hati menumpuk kekayaan dari masyarakat. Lebih jauh kaum sosialis itu mencela sistem hak milik pribadi serta cara pencapaian keuntungan dalam kehidupan masyarakat liberal – kapitalis. Di mata mereka sistem itulah yang menjadi awal permasalahan perjuangan kompetitif demi memenuhi kebutuhan material. Jelas dari uraian di atas memperlihatkan bahwa bahwa yang diimpikan oleh kaum sosialis adalah kebebasan sosial, dan bukan kebebasan kaum individual yang menjadi impian kaum liberal – kapitalis. Sedangkan cita – cita sosialisme ialah menciptakan kesejahteraan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Komunisme 2014 14 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia, selain kapitalisme dan ideologi lainnya. Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang mana mereka itu mementingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh. Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan Marxisme. Komunisme adalah ideologi yang digunakan partai komunis di seluruh dunia. Racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut “Marxisme-Leninisme”. Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil jika bernaung di bawah dominasi partai. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi “tumpul” dan tidak lagi diminati. Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai alat kekuasaan, dimana kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi. Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme sangat membatasi demokrasi pada rakyatnya, dan karenanya komunisme juga disebut anti liberalisme. Komunisme tidak memandang semua bentuk pemerintah dan organisasi politik sebagai sesuatu yang paling tidak oleh semangat manusia dan kebebasan yang utuh. Bahkan dalam mayarakat komunis yang paling sempurna, beberapa bentuk organisasi politik masih akan tetap diperlukan. Bagi kaum komunis, pemilikan pribadi tak dapat tidak akan membawa ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik. Jika kekayaan dan status sosial tidak terbagi secara rata, kekuasaan politik jaga demikian10. 10 Cristhol, Carl Quenby, and Grene, Thomas H. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Hal 110. 2014 15 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Indonesia pernah menjadi salah satu kekuatan besar komunisme dunia. Kelahiran PKI pada tahun 1920an adalah kelanjutan fase awal dominasi komunisme di negara tersebut, bahkan di Asia. Tokoh komunis internasional seperti Tan Malaka misalnya. Ia menjadi salah satu tokoh yang tak bisa dilupakan dalam perjuangan di berbagai negara seperti di China, Indonesia, Thailand, dan Filiphina. Bukan sperti Vietnam yang mana perebutan kekuatan komunisme menjadi perang yang luar biasa. Di Indonesia perubuhan komunisme juga terjadi dengan insiden berdarah dan dilanjutkan dengan pembantaian yang banyak menimbulkan korban jiwa. Dan tidak berakhir disana, para tersangka pengikut komunisme juga diganjar eks-tapol oleh pemerintahan Orde Baru dan mendapatkan pembatasan dalam melakukan ikhtiar hidup mereka. Secara umum komunisme sangat membatasi agama pada rakyatnya, dengan prinsip agama dianggap candu yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari pemikiran yang rasional dan nyata. Paham komunis berkeyakinan perupahan atau sistem kapitalisme harus dicapai dengan cara – cara revolusi, dan pemerintahan oleh diktator proletariat sangat diperlukan pada masa transisi11. Fasisme Fasisme adalah gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi. Berdasarkan dasar teori sebelumnya telah diketahui arti dari Ideologi dan Fasisme. Sehingga dari kedua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa Ideologi Fasisme merupakan sebuah paham politik yang menjunjung kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Ada pula yang mengartikan bahwa ideologi Fasisme adalah suatu paham yang mengedepankan bangsa sendiri dan memandang rendah bangsa lain. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat terlihat. 11 Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widya Pustaka Utama, Hal 38. 2014 16 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Fasisme (fascism) merupakan pengorganisasian pemerintah dan masyarakat secara totoaliter, oleh kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis rasialis, militeristis, dan imperialis. Italia merupakan negara pertama yang menjadi Fasis (1922) menyusul jerman tahun 1933 dan kemudian Spanyol melalui perang saudara yang pecah tahun 1936. Di Asia Jepang berubah menjadi fasis dalam tahun 1930-an melalui perubahan secara perlahan ke arah lembaga-lembaga yang totaliter setelah menyimpang dari budaya aslinya. Fasis muncul dan berkembang di negara-negara yang relatif lebih makmur dan secara teknologi lebih maju. Fasis merupakan produk dari masyarakat-masyarakat prademokrasi dan pasca industri. Kaum fasis tidak mungkin merebut kekuasaan dinegara-negara yang tidak memiliki pengalaman demokrasi sama sekali. Pengalaman negara demokrasi yang dirasakan semu oleh masyarakat bahkan mengalami kegagalan dengan indikator adanya proses sentralisasi kekuasaan pada segelintir elit penguasa, terbentunya monopoli dan oligopoli dibidang ekonomi, besarnya tingkat pengangguran baik dikalangan kelas bawah seperti buruh, petani atau kelas menengah atas seperti kaum cendikiawan, kaum industrialis, maupun pemilik modal, ini adalah lahan yang subur bagi gerakan fasis untuk melancarkan propagandanya. Basis awal bagi fasisme ada didalam masyarakat kelas menengah dan menengah bawah, dan dengan demikian harus sudah mengalami tingkat perkembangan industri yang bermakna. Dengan demikian ideologi fasis kekurangan dalam hubungan rasional dan konsistensi logis. Demikianlah ideologi dan jebakan fasisme sangat sesuai dengan teknikteknik untuk mendapatkan kekuasaannya12. 2.1.5 Ideologi dalam Film 12 Cristhol, Carl Quenby, and Grene, Thomas H. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Hal 156. 2014 17 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Sebagai sebuah media, film tentunya mewakili pandangan-pandangan yang dimiliki oleh kelompok tertentu, termasuk ideologi serta gagasan yang dibawa oleh kelompok tersebut. Hal ini menjadi sangat esensial, karena dalam penyampaiannya, film menyampaikan ideologi dengan lebih halus serta memiliki unsur paksaan. Hal itu dikarenakan ketika kita menonton film komunikasi yang terjadi lebih bersifat satu arah. Dimana kita sebagai penonton akan disuguhi berbagai macam informasi yang ada dan ditampilkan dalam film, dan kita secara tidak sadar diharuskan untuk ‘menelan’ segala macam informasi yang disajikan dalam film tersebut. Lebih tepatnya pesan-pesan bermuatan ideologis yang berasal dari pembuatnya. Memang film sudah terbukti bisa mempengaruhi ideologi penontonnya. Film sebagai media pada dasarnya merupakan hiburan tersendiri bagi penonton. Selain sebagai hiburan tersendiri, ketika film yang sebenarnya memiliki ideologi bisa menyampaikan pesan dan penontonnya bisa terpengaruh maka film itu berhasil dalam menyampaikannya. Ketika calon penonton pada umumnya menikmati film sebagai sajian audio-visual ini memilihnya sebagai hiburan, mereka mencoba menyelam bersama dalam film itu. Mencoba menikmati saat bersama, tertawa, menangis dan merasa ikut ambil bagian di dalam film tersebut. Selain itu ketika menonton film ada semacam upaya untuk katarsis, melarikan diri sesaat dari hiruk pikuk persoalan sehari-hari. Kemudian film juga dimanfaatkan sebagai alat untuk mendukung propaganda ideologi, pendidikan politik dan hal-hal lainnya. Pada kondisi ini penonton digiring untuk menonton, memahami dan menjadi bagian dari propaganda politik dalam pembuatan film. 2.2 FILM 2.2.1 Definisi Film 2014 18 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu13. Pesan film pada komunikasi massa dapat berbentuk apa saja tergantung dari misi film tersebut. Akan tetapi, umumnya sebuah film dapat mencakup berbagai pesan, baik itu pesan pendidikan, hiburan dan informasi. Pesan dalam film adalah menggunakan mekanisme lambang-lambang yang ada pada pikiran manusia berupa isi pesan, suara, perkataan, percakapan dan sebagainya. Film juga dianggap sebagai media komunikasi yang ampuh terhadap massa yang menjadi sasarannya, karena sifatnya yang audio visual, yaitu gambar dan suara yang hidup. Dengan gambar dan suara, film mampu bercerita banyak dalam waktu singkat. Ketika menonton film penonton seakan-akan dapat menembus ruang dan waktu yang dapat menceritakan kehidupan dan bahkan dapat mempengaruhi audiens. Dewasa ini terdapat berbagai ragam film, meskipun cara pendekatannya berbedabeda, semua film dapat dikatakan mempunyai satu sasaran, yaitu menarik perhatian orang terhadap muatan-muatan masalah yang dikandung. Selain itu, film dapat dirancang untuk melayani keperluan publik terbatas maupun publik yang seluas-luasnya. Pada dasarnya film dapat dikelompokan ke dalam dua pembagian dasar, yaitu kategori film cerita dan non cerita. Pendapat lain menggolongkan menjadi film fiksi dan non fiksi. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau diputar di televisi dengan 13 Effendy, Onong Uchjana. (1986). Dinamika Komunikasi. Bandung: Remadja Karya CV Hal 134. 2014 19 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dukungan sponsor iklan tertentu. Film non cerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya, yaitu merekam kenyataan dari pada fiksi tentang kenyataan14. Film merupakan salah satu alat komunikasi massa, tidak dapat dipungkiri bahwa antara film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Sebuah film adalah tampilan gambar-gambar dan adegan bergerak yang disusun untuk menyajikan sebuah cerita pada penonton. Film memberikan pengalaman yang amat mengasyikan. Film membuat orang tertahan, setidaknya, saat mereka menontonnya lebih intens ketimbang medium lainnya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 1992 disebutkan bahwa, film merupakan karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandangdengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya. Sebagai salah satu media komunikasi massa, menurut M. Alwi Dahlan, film memiliki keunggulan di antaranya15: 1. Sifat informasi 14 Sumarno, Marselli . (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: Grasindo, Hal 10. 15 Dahlan, M Alwi. (1981). Film Dalam Spektrum Tanggunga Jawab Komunikasi Massa, Seminar Kode Etik Produksi Film Nasional. Jakarta, Hal 142. 2014 20 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Film memberikan keunggulan dalam menyajikan informasi yang lebih matang secara utuh. Pesan-pesan didalamnya tidak terputus-putus, namun memberikan pemecahan suatu permasalah dengan tuntas. 2. Kemampuan distorsi Sebagai media informasi, film dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Untuk mengatasinya media ini menggunakan “distorsi” dalam proses konstruksinya, baik di tingkat fotografi ataupun perpaduan gambar dengan tujuan untuk memungkinkan seseorang untuk menciptakan atau mengubah informasi yang ditangkap. 3. Situasi komunikasi Film membawakan situasi komunikasi yang khas yang menambah intensitas khalayak. Film dapat menimbulkan keterlibatan yang seolah-olah sangat intim dengan memberikan gambar wajah atau bagian badan yang sangat dekat. 4. Kredibilitas situasi komunikasi film dan keterlibatan emosional penonton dapat menambah kredibilitas pada suatu produk film. Karena penyajian disertai oleh perangkat kehidupan (pranata sosial), manusia dan perbuatannya, hubungan antar tokoh dan sebagainya yang mendukung narasi, umumnya penonton dengan mudah mempercayai keadaan yang digambarkan walaupun terkadang tidak logis atau tidak berdasar kenyataan. Film sangat berbeda dengan seni sastra, seni rupa, seni suara, seni musik, dan arsitektur yang muncul sebelumnya. Seni film mengandalkan teknologi, baik sebagai bahan baku produksi maupun dalam hal penyampaian terhadap penontonya. Film merupakan penjelmaan terpadu antara berbagai unsur yakni sastra, teater, seni rupa, dengan teknologi 2014 21 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id canggih dan modern serta sarana publikasi16. Menurut Baksin, pesan-pesan komunikasi film juga dikelompokkan dalam proses pembuatan dan penyampainnya, yang biasa disebut dengan genre. Dalam sebuah genre film terdapat suatu unsur-unsur yang disebut repertoire of elements17, unsur-unsur tersebut meliputi: 1. Themes, yakni ide pokok atau gagasan yang menjiwai seluruh cerita. 2. Style, adalah cara penyajian seperti camera angles, editing, lighting, warna dan elemen-elemen teknikal lainnya 3. Setting, seperti lokasi, periode waktu dll 4. Narrative atau alur cerita-bagaimana cerita disajikan 5. Iconography, berupa representasi simbolis 6. Characters, para aktor atau artis yang terlibat 7. Props, yakni properti yang digunakan dalam film 2.2.2 Genre Film Genre film adalah bentuk, kategori atau klasifikasi tertentu dari beberapa film yang memiliki kesamaan bentuk, latar, tema, suasana dan lainnya. Beberapa genre film utama: Aksi, Petualangan, Komedi, Kriminal, Drama, Epik, Musikal, Sains fiksi, Perang. Dari genre utama tersebut, genre film dapat dibagi lagi ke dalam beberapa sub bagian, seperti: olahraga, komedi aksi, remaja, Film noir dll. Genre film lain yang sering dibuat oleh para pembuat film, yaitu: Seru, Cerita, Fantasi, Jagal, Horor. 2.3 Semiotika 2.3.1 Definisi Semiotika 16 Baksin, Askurifai. (2003). Membuat Film Indie Itu Gampang. Bandung : Katarsis, Hal 3. Branston, Gill, and Roy Stafford. (2003). The Media Student’s Book. London: Routledge Tailor & Francis Group. 17 2014 22 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Secara etimologis istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti ’tanda’ 18 atau seme,yang berarti ”penafsir tanda” 19 . Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja20. Adapun nama lain dari semiotika adalah semiologi. Jadi sesunguhnya kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya; mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata semiotika,dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi. Namun yang terakhir, jika dibandingkan dengan yang pertama, kian jarang dipakai 21. Ada kecenderungan, istilah semiotika lebih populer daripada istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya. Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan. Preminger 22 berpendapat semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tandatanda, semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkikan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Sementara Pierce 23 mengatakan pengertian semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala 18 Zoest, Aart Van. (1996). “Interpretasi dan Semiotika”, dalam Sudjiman, P dan Aart Van Zoest (E.d). SerbaSerbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hal vii. 19 Cobley, Paul & Litza, Jansz. (1999). Introducing Semiotics. New York : Icon bBoks, Hal 4. 20 Sobur. A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, Hal 16. 21 Ibid, Hal 2 22 Pradopo, Rachmat Djoko. (2003). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hal 119. 23 Zoest, Aart Van. (1978). Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Soekowati, Ani. 1993. Jakarta: Yayasan Sumber Agung, Hal 1. 2014 23 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi pengunaan tanda. Dari Pengertian Semiotik di atas dapat disimpulkan bahwa semiotik adalah ilmu untuk mengetahui tentang sistem tanda, kovensi-konvensi yang ada dalam sastra dan makna yang tekandung di dalamnya. 2.3.2 Tokoh-Tokoh Semiotika a) Ferdinand de Saussure (1857-1913) Ferdinand de Saussure dilahirkan di Jenewa tanggal 26 November 1857 dari keluarga pemeluk taat Protestan Perancis yang bermigrasi dari wilayah Lorraine ketika terjadi perang agama pada akhir abad ke-16. Dalam usia 15 tahun ia telah menulis sebuah karangan mengenai bahasa yang berjudul “Essai sur les Languages”. Pada tahun 1874 Ia mempelajari bahasa Sangsakerta. Awalnya Ia mempelajari ilmu kimia dan fisika di Universitas Jenewa, kemudian belajar ilmu bahasa di Leipzig pada tahun 1876-1878 dan di Berlin tahun 18781979. Pada tahun 1880 Ia meraih gelar doktor dari Universitas Leipzig dengan disertasinya De l’emploi du genitif absolu en sanscrift24. Saussure juga dikenal sebagai tokoh besar strukturalis berkat buku “Course de Linguistiqe General” atau linguistik umum. Buku itu merupakan kumpulan bahan kuliah yang dikumpulkan oleh mahasiswanya dan diterbitkan menjadi sebuah buku. Dalam buku itu, ia mengajukan dua dikotomi, yaitu langue dan parole dan tautan simtagmatik dan tautan paradigmatik25. 24 Hidayat, Asep Ahmad Hidayat. (2006). Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Hal 105. 25 Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Hal 77. 2014 24 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Sedikitnya, ada lima pandangan Saussure yang kemudian menjadi peletak dasar strukturalisme, yaitu: 1.) signifier (penanda) dan signified (petanda); 2.) form (bentuk) dan content (isi); 3.) langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); 4.) synchronic (sinkronik) dan diachronic (diakronik); 5.) syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik)26 Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah aspek material dari bahasa dan petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep atau aspek mental dari bahasa. Istilah form (bentuk) dan content (materi, isi) diistilahkan juga dengan expression dan content, yang satu berwujud bunyi dan yang lain berwujud ide. b) Charles Sanders Pierce (1839-1914) Charles Sanders Pierce adalah filsuf Amerika yang paling orisinil dan multidimensional. Bagi teman-teman sejamannya ia terlalu orisinil. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam kemiskinan. Perhatian pada karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman-temannya. Pierce banyak menulis tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931-1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul 26 Sobur. A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Hal 46. 2014 25 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Collected Papers of Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957 terbit jilid ketujuh dan kedelapan yang dikerjakan oleh Arthur W Burks dan jilid terakhir berisi biografi dan tulisan Pierce. Menurut Pierce, manusia dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Semiotika merupakan persamaan dari kata logika, dan logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Bagi Pierce, semiotika adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence) atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant). Pierce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: 1) semiotik sintaksis yang mempelajari hubungan antar tanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama; 2) semiotik semantik yang mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis; 3) semiotik pragmatik yang mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Pendekatan yang dilakukan oleh Pierce adalah pendekatan triadic, karena mencakup tiga hal yakni tanda, hal yang diwakilinya serta kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu menangkap tanda tersebut. Peirce mengungkapkan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap-tahap. Ada tahap kepertamaan (firstness), yaitu saat tanda itu dikenali pada tahap awal secara prinsip saja, apa adanya tanpa merujuk ke sesuatu yang lain, keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap kekeduaan (secondness), yaitu saat tanda dimaknai secara individual. Kemudian keketigaan (thirdness), yaitu saat tanda dimaknai secara tetap sebagai konvensi. Dalam analisis semiotiknya, Peirce membagi tanda berdasarkan sifat dasar (ground) atau sesuatu yang digunakan agar tanda dapat berfungsi. Ia membagi tanda tersebut menjadi tiga 2014 26 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kelompok, yakni qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Sedangkan legisign adalah norma yang dikandung oleh petanda. Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama yakni tanda (sign), object, dan interpretant. c) Roland Barthes (1915-1980) Roland Barthes yang dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussure. Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai atlantik di sebelah barat daya Prancis27. Karena Barthes adalah tokoh semiotika yang meneruskan dan mengembangkan pemikiran de Saussure maka metode pemaknaan tanda-tanda Barthes disebut semiologi Barthes. Istilah semiologi makin lama makin ditinggalkan. Ada kecenderungan orang-orang lebih memilih kata semiotika daripada semiologi, sehingga kata semiotika lebih populer daripada semiologi. Pemikiran Barthes tentang semiotika dipengaruhi Saussure. Kalau Saussure mengintrodusir istilah signifier dan signified berkenaan dengan lambang-lambang atau teks dalam suatu paket pesan maka Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjuk tingkatan-tingkatan makna. Maka denotasi adalah makna tingkat pertama yang bersifat objektif (first order) yang dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dengan mengaitkan secara langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang ditunjuk. Kemudian makna konotasi adalah makna-makna yang dapat diberikan pada lambang27 Parwito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta:LKiS, Hal 163. 2014 27 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang karenanaya berada pada tingkatan kedua (second order). Yang menarik berkenaan dengan semiotika Roland Barthes adalah digunakannya istilah mitos (myth), yakni rujukan bersifat kultural (bersumber dari budaya yang ada) yang digunakan untuk menjelaskan gejala atau realitas yang ditunjuk dengan lambang-lambang penjelasan mana yang notabene adalah makna konotatif dari lambang-lambang yang ada dengan mengacu sejarah (di samping budaya). Dengan kata lain, mitos berfungsi sebagai deformasi dari lambang-lambang yang kemudian menghadirkan makna-makna tertentu dengan berpijak pada nilai-nilai sejarah dan budaya masyarakat. Bagi Barthes, teks merupakan konstruksi lambang-lambang atau pesan yang pemaknaannya tidak cukup hanya dengan mengaitkan signifier dengan signified semata sebagaimana disarankan oleh Saussure, namun juga harus dilakukan dengan memerhatikan susunan (construction) dan isi (content) dari lambang. Karena hal ini maka pemaknaan terhadap lambang-lambang, bagi Barthes, selayaknya dilakukan dengan merekonstruksi lambang-lambang bersangkuan. Dalam upaya rekonstruksi ini, deformasi rupanya tak terelakkan: banyak hal di luar (atau tepatnya di balik) lambang (atau mungkin bahasa) harus dicari untuk dapat memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang, dan inilah yang disebut mitos. Barthes menekankan bahwa semiologi hendaknya mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal dalam kehidupan sosial manusia. Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam 2014 28 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda28. Barthes menciptakan sebuah peta tentang bagaimana tanda bekerja. Gambar 2.1 Peta tanda Roland Barthes 1. Signifier 2. Signified (penanda) (petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif) 4. Connotative signifier 5. Connotative signified (penanada konotatif) (Petanda konotatif) 6. Connotative sign (tanda konotatif) Sumber : Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2009, hal. 69 Dari peta Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif dalah juga penanda konotatif (4). Untuk menganalisis film dapat menggunakan model Roland Barthes, yaitu dilakukan dengan mengkaji pesan yang dikandungnya. Metode ini dapat diterapkan dalam film dengan menganalisa pesan yang terkandung dalam: 28 Sobur. A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, Hal 15. 2014 29 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 1. Pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam film) 2. Pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto film- yang hanyak berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat) 3. Pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam foto iklan) Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilainilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkatan kedua penandaan. Setelah terbentuk sistem sign-signifier-signifid, tanda tersebut akan menjadi penanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Gambar 2.2 Signifikansi dua tahap Roland Barthes 2014 30 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Sumber: John Fiske. Cultural and Communication Studies: Sebuah pengantar Paling Komperhensif, Jalasutra: Yogyakarta, 2004, hal. 122 Model barthes ini adalah model matematis yang sering disebut sebagai signifikansi dua tahap Barthes. Tahapan pertama adalah pemaknaan tanda yang berdasarkan atas realita dari tanda dan tahapan kedua adalah tahapan penandaan yang didasarkan atas kultur atau budaya yang ada di dalam masyarakat. Dari kedua tahapan penandaan ini kemudian muncullah istilah denotasi, konotasi, dan mitos. Keterangan lebih detail tentang signifikansi penandaan. Barthes adalah sebagai berikut 1. Denotasi Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. 2. Konotasi 2014 31 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tantan pertama merupakan tanda konotasi. 3. Mitos Cara kedua dari tiga cara Barthes mengenai cara bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melalui mitos. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan tatanan kedua dari petanda. Aspek lain dari mitos yang ditekankan Barthes adalah dinamismenya. Mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai cultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut. Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap ke dua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan “memberi 2014 32 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Pada signifikasi tahap ke dua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah memiliki suatu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Petanda lebih miskin dari penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Miotlogi mempelajari bentuk-bentuk tersebut karena pengulangan konsep terjadi dalam wujud pelbagai bentuk tersebut. Barthes mengartikan mitos sebagai cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasi atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka itu, mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun suatu gagasan, melainkan suatu cara signifikansi, suatu bentuk. Lebih jauh lagi, mitos tidak ditentukan oleh objek ataupun materi (bahan) pesan yang disampaikan, melainkan oleh cara mitos disampaikan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata-kata lisan ataupun tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan, dan komik. Semuanya dapat digunakan untuk menyampaikan pesan. Jadi disini mitos menurut Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam artian umum. Yaitu mitos yang dimengerti sebagai percobaan manusia untuk 2014 33 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta, termasuk dirinya sendiri seperti tertulis dalam mitologi yunani. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 2014 Tipe Penelitian 34 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan yang sifat-sifat suatu individu, keadaan atau gejala dari kelompok yang dapat diamati29. Data deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang berbentuk katakata frasa, klausa, kalimat atau paragraf dan bukan angka-angka. Dengan demikian hasil penelitian ini berisi analisis data yang sifatnya menuturkan, memaparkan, memerikan, menganalisis dan menafsirkan30. Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan ideologi yang terkandung dalam film “Letters From Iwo Jima”. 3.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian kualitatif mengenai representasi ideologi dalam film “Letters From Iwo Jima”, adalah metode semiotika oleh Roland Barthes. Untuk menganalisis film dapat menggunakan model Roland Barthes, yaitu dilakukan dengan mengkaji pesan yang dikandungnya, sebagai berikut: 1. Pesan linguistik (semua kata dan kalimat) 2. Pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam film- yang hanyak berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat) 3. Pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam film) Lexy J., Moleong. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Hal 6. Satoto, Soediro. (1992). Metode Penelitian Sastra Bagian I (BPK). Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press, Hal 15. 29 30 2014 35 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilainilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. 3.3 Unit Analisis Dalam kajian analisis, penulis mengamati dengan seksama seluruh konten dalam film “Letters From Iwo Jima” baik berupa kalimat setiap tokoh, obyek benda dalam film, maupun mimik dari setiap karakter yang berada dalam film tersebut. Namun, peneliti akan memfokuskan kajian penelitian terhadap 2 tokoh utama yang berada dalam film tersebut, yaitu: General Kuribayashi dan Saigo. Kajian ini bertujuan untuk menganalisa lebih dalam ideologi yang tercermin dalam film “Letters From Iwo Jima”, baik verbal maupun tandatanda lainnya. 3.4 Teknik Pengumpulan Data a) Data Primer Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan observasi film yang diteliti melalui setiap percakapan antar tokoh maupun setiap tanda yang muncul dalam film “Letters From Iwo Jima”. Dalam observasi tersebut peneliti melakukan pencatatan sebagai bahan kajian penelitian yang digunakan sebagai data primer yang kemudian disandingkan dengan data sekunder. b) Data Sekunder 2014 36 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dalam data sekunder, peneliti mencari bahan baik melalui internet maupun literatur terkait subjek penelitian dimana dalam film yang diteliti memiliki latar belakang perang dunia ke 2. Peneliti juga melakukan kajian dalam hal sejarah khususnya pada masa perang dunia ke 2 yang terjadi di Iwo Jima antara Amerika Serikat dengan Jepang. Selain itu, peneliti juga mencari bahan mengenai metode semiotika yang digunakan peneliti dalam melakukan penelitiannya. 3.5 Definisi Konsep Ideologi dalam film “Letters From Iwo Jima” merupakan kajian yang didasari kepedulian peneliti terhadap persoalan tayangan film yang belakangan ini tidak memiliki nilai pesan yang kuat terhadap penontonnya, khususnya film buatan dalam negeri. Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan. Ideologi dalam penelitian ini lebih menekankan pada ideologi politik, karena dalam film ini kedua negara memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal teresebut. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme). Dengan memberikan dasar etika pada pelaksanaan kekuasaan politik, ideologi bisa mempersatukan rakyat suatu negara atau pengikut suatu gerakan yang berusaha mengubah negara. Ideologi inilah yang memungkinkan adanya komunikasi simbolis antara pemimpin dan yang dipimpin. Ideologi juga merupakan suatu pedoman untuk memilih kebijkan dan perilaku politik. Karena itu keberhasilan suatu ideologi tertentu, sedikit banyaknya merupakan masalah kepercayaan yang lahir keyakinan yang rasional. 2014 37 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Film sebagai media pada dasarnya merupakan hiburan tersendiri bagi penonton. Selain sebagai hiburan tersendiri, ketika film yang sebenarnya memiliki ideologi bisa menyampaikan pesan dan penontonnya bisa terpengaruh maka film itu berhasil dalam menyampaikannya. Ketika calon penonton pada umumnya menikmati film sebagai sajian audio-visual ini memilihnya sebagai hiburan, mereka mencoba menyelam bersama dalam film itu. Mencoba menikmati saat bersama, tertawa, menangis dan merasa ikut ambil bagian di dalam film tersebut. Selain itu ketika menonton film ada semacam upaya untuk katarsis, melarikan diri sesaat dari hiruk pikuk persoalan sehari-hari. Kemudian film juga dimanfaatkan sebagai alat untuk mendukung propaganda ideologi, pendidikan politik dan hal-hal lainnya. Pada kondisi ini penonton digiring untuk menonton, memahami dan menjadi bagian dari propaganda politik dalam pembuatan film. 3.6 Fokus Penelitian Fokus penelitian yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini terdiri dari berbagai unsur sebagai berikut: 1. Adegan (scene), 2. Narasi (dialogue), 3 . Obyek (object). Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan metode semiotika Charles Sanders Pierce. Barthes menekankan bahwa semiologi hendaknya mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal dalam kehidupan sosial manusia. Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda31. Barthes menciptakan sebuah peta tentang bagaimana tanda bekerja. Model semiotika Roland Barthes membahas pemaknaan atas tanda dengan menggunakan signifikasi dua tahap signifikasi yaitu mencari makna yang denotatif dan konotatif yakni makna sesungguhnya dan Ideologi dalam film “Letter From Iwo Jima”. 31 Ibid Hal 22 2014 38 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Tabel 2.3 Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier (Penanda) 2. Signified (Petanda) 3. Denotative Sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5.CONNOTATIVE SIGNIFIED (PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) (Sumber: Ibid, Hal 29) Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotasi adalah juga penanda konotatif. Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya32. 3.7 Teknik Analisis Data Analisa pengumpulan data yang diambil penelti melalui film “Letters From Iwo Jima” yang di download di internet, dengan hal ini peneliti dapat menontonnya berulang-ulang tanpa mengkhawatirkan kerusakan data. Peneliti juga mudah untuk memilih scene yg diteliti. Metode semiotika Roland Barthes pada film “Letters From Iwo Jima” akan berpusat pada: 1. Analisa adegan (scene) yang mewakili ideologi dalam film tersebut, 2. Narasi (dialogue) yang mengandung nilai atau mewakili ideologi, 3. Obyek (object) yang mempunyai makna mengenai ideologi dalam film tersebut. 32 Sobur. A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, Hal 69. 2014 39 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dalam analisa ini peneliti menonton film “Letters From Iwo Jima” secara berulang kali untuk mendapat scene, dialogue, atau object yang dapat mewakili baik ideologi timur maupun ideologi barat yang terkandung dalam film tersebut. Peneliti akan memilih satu atau dua bahan analisa yang kemudian akan menjadi bahan dalam penelitian ini. Daftar Pustaka Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Baksin, Askurifai. (2003). Membuat Film Indie Itu Gampang. Bandung : Katarsis Branston, Gill, and Roy Stafford. (2003). The Media Student’s Book. London: Routledge Cobley, Paul & Litza, Jansz. (1999). Introducing Semiotics. New York : Icon bBoks Cristhol, Carl Quenby, and Grene, Thomas H. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Dahlan, M Alwi. (1981). Film Dalam Spektrum Tanggunga Jawab Komunikasi Massa, Seminar Kode Etik Produksi Film Nasional. Jakarta Effendy, Onong Uchjana. (1986). Dinamika Komunikasi. Bandung: Remadja Karya CV Hidayat, Asep Ahmad Hidayat. (2006). Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Hoover, Kenneth R. (1994). Ideology and Political Life. USA: Wadsworth Publishing Company Lexy J., Moleong. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Magnis Suseno, Frans. (1992). Berfilsafat dari Konteks. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Parwito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta:LKiS 2014 40 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Pradopo, Rachmat Djoko. (2003). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Satoto, Soediro. (1992). Metode Penelitian Sastra Bagian I (BPK). Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press, Sobur. A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Subandi, Al Marsudi. (2001). Pancasila dan UUD'45 dalam paradigma reformasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widya Pustaka Utama Suseno, Franz Magnis. (1989). Etika Politik Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sumarno, Marselli . (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: Grasindo Zoest, Aart Van. (1996). “Interpretasi dan Semiotika”, dalam Sudjiman, P dan Aart Van Zoest (E.d). Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2014 41 Seminar Media Christina Arsi Lestari, M.Ikom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id