manusia dan penderitaan - Karya Ilmiah STT Jakarta

advertisement
Jurnal Teologi dan GerejazyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVU
ISSN: 0853~2672
MANUSIA DAN PENDERITAAN
Vol. 11, No. 23, 2010ywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCB
Antropodisi dan Problematik Teodisi
Yonky Karman
Ir..lIII'mUIIl
. Salah Siapa, Ini Dosa Siapa?
Tinjauan Teologis~biblis Berdasarkan Perjanjian Lama
TjenuhQK
'KQh..-uuiaUTPNLE
aiauurolkgaWVUTPNME
Murka Tuhan di Tanah
SafarironlidYVUTPONLIFECA
Rencong?
di Bawah Pemerintahan Pontius Pilatus,
"
Warga - Gereja Kristen Indonesia
PENUNTUN
-ronlidYVUTPONLIFECA
IIAI~ArnrOL
JURNAL TEOLOGI DAN GEREJA
Diterbitkan dengan wawasan ekumenis untuk menjadi ajang penyemaian gagasan dan diskusi
ilmiah eksperimental sekitar persoalan teologi dan gereja dalam hubungan dinamis dengan
masyarakat, agama-agama, kebudayaan, filsafat, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi,
menuju kontekstualisasi teologi dan kemandirian gereja-gereja di Indonesia sebagai tanggapan
pada pekerj aan Allah pada masa kini.
Penerbit: Komisi Pengkajian Teologi (KPT) OKI Sinode Wilayah Jawa Barat
Penasehat: Kuntadi Sumadikarya, Lazarus Purwanto, Robert Setio
in-officio
Pemimpin Umum: Ketua KPTywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA
Pemimpin Redaksi: Stephen Suleeman
Redaktur PeIaksanaIPenyunting: Beril Huliselan
Wakil Redaktur Pelaksana: Jonatan Oswari
Bendahara: E. Suzana Susanto
Anggota: Rasid Rachman, J. Calvin Pindo, Yohanes B. Mulyono, Cordelia Gunawan, Timur
Citra Sari, Sthira Budi Purwosuwito, Nathanael Setiadi
Dalam setahun terbit dua kali, Februari dan Agustus
Untuk pengiriman ke luar negeri, ditambah ongkos kirim
Pembayaran melalui:
- Bank BCA cabang Kepaduri - Jakarta, A.C. No. 127.6010205 a/no E. Suzana Susanto
- Bank Permata cabang Tanjung Duren - Jakarta, A.C. No. 0639000494 a/no [urnal
Penuntun
- Atau melalui wesel pos ke alamat redaksi/penerbit: Komisi Pengkajian Teologi (KPT)
GKI Sinode Wilayah Jawa Barat, J1.Tanjung Duren Raya No.4 Blok E Lt. 4, Jakarta
11470, Indonesia. Telepon (62-21) 5666961,5688635,5688636; Fax: (62-21) 5666957
Redaksi menerima tulisan ilmiah yang sesuai dengan tujuan penerbitan. Redaksi berhak
menyunting, memperbaiki dan menyempurnakan naskah tulisan yang diterima. Naskah berbentuk
tulisan minimal 15-25 halaman folio, ketik spasi rangkap; naskah sudah disertai dengan abstrak
(maksimal100 kata) dan menggunakan APA Style Citations untuk penulisan referensi. Naskah
ditulis dalam format MS. Word dan dikirim ke alamat redaksi atau melalui e-mail ke
kpt [email protected].
Rekomendasi Departemen Agama RI
No. Fl/HM.02.2/344!2422/1995
ISSN 0853-2672
JURNAL TEOLOGI DAN GEREJAzyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaYWV
Vol. 11, No. 23, 2010
KOMISI PENGKAJIAN TEOLOGI
GEREJA KRISTEN INDONESIA SW JAWA BARAT
Badan Hukum Th. 1940 Stb. No.1 & 100/SK!Depag. R.I. No. 92 Tahun 1990
Jl. Tanjung Duren Raya No.4, Blok E Lantai IV _ Jakarta 11470
Telp.: (021) 5666961,5688635,5688636;
Fax.: (021) 5666957
E-mail: [email protected]; Website: http://kptgkiswjabar.page.tl
Daftar lsizyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
PengantarywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA
• Antropodisi dan Problematik Teodisi
Yonky KarmanronlidYVUTPONLIFECA
• Penderitaan: Salah Siapa, Ini Dosa Siapa?
Sebuah Tinjauan Teologis-biblis Berdasarkan Perjanjian Lama
Anwar Tjen
• Rahmat atau Murka Tuhan di Tanah Rencong?
Miftah Safari
• "... Yang Menderita Sengsara di Bawah Pemerintahan Pontius Pilatus,
Disalibkan, Mati dan Dikuburkan"
Peter L. Berger
• Manusia Mempertanyakan
M. Sastrapratedja, S.j.
Dirinya
• Gagasan Teologi Mengenai Manusia Dalam Praksis Tim
Gerakan Kemanusiaan Indonesia
Kuntadi Sumadikarya
• Potret Manusia - Dalam Pergumulan Warga - Gereja Kristen Indonesia
Sheph Davidy [onazh
PENUNTUNurolkgaWVUTPNME
Vol. 11, No. 23, 2010
1
15
35
49
65
83
93
iii
Antropodisi dan Problematik TeodisizyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaYWV
Yonky KarmanywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA
Pengajar di SIT Jakarta, menyelesaikan
studi doktoral (Ph.D.)dalam bidang Perjanjian Lama
di Evangelische Theologische Faculteit, Leuven, Belgia.
Abstrak
Solidaritas dengan mereka yang menderita menjadi 'titik berangkat untuk memahami
penderitaan dari pengalaman si penderita (manusia). Oleh karena itu, artikel ini
memperlihatkan bagaimana teodisi (theodicy) tidak memadai dalam menjawab pergumulan
manusia mengenai penderitaan, bahkan cenderung menjadi ideologi yang mendukung status
quo. Sebagai jalan keluar, antropodisi yang berbasis solidaritas dipandang penulis memberi
ruang yang lebih baik dalam menelusuri penderitaan sebagai persoalan sosial, sekaligus
memperkuat kesetiakawanan sosial.
There is only one question which really matters:
why do bad things happen to good people.
(Kushner,
Mengapa
kemalangan
menyentuh
menimpa
orang baik? Sebuah pertanyaan
hati. Ketika kita diperhadapkan
banyak orang tak bersalah menderita
dipertanyakan.
Pertanyaan
yang bertentangan
(Kristen,
dengan
karena
dengan fakta kemalangan
Islam, dan Yahudi), pertanyaan
Tuhan
teologis yang paling
bene ana yang menyebabkan
dan tewas, keberadaan
itu muneul
1981, h. 14)
Tuhan atau kodrat-Nya
diimani
memiliki
itu. Dalam agama-agama
itu tak terelakkan
sifat-sifat
monoteisme
sebab hanya satu yang
absolut.
PENUNTUNVol. 11, No.
23,
2010------------
---------------------------
YonkyKarman
Teisme monoteistis didasari pada keyakinan bahwa dunia dijadikan oleh satu
person yang mahakuasa dan mahabaik. Semua sifat-sifat Allah adalah absolut (tak
terbatas). Itu sebabnya, pada sifat-sifat tersebut bisa ditambahkan superlatif "maha"
dalam pengertian "yang paling" terhadap kebaikan, kekuasaan, kasih, pengetahuan,
keadilan dan semua sifat positif Tuhan yang lain. Namun, justru di situ masalah
teologisnya. Bila kebaikan dan kasih Tuhan berlaku secara absolut, secara teoritis tak
ada tempat bagi kejahatan, kemalangan atau apa saja yang menyengsarakan manusia.
Kejahatan dan berbagai kehancuran yang masih terjadi hingga hari bukan merupakan
tanda-tanda dari berlakunya sifat-sifat Allah secara absolut.
Tidak heran, Harold Kushner menyimpulkan bahwa Tuhan tak dapat
melakukan segala sesuatu namun mampu melakukan beberapa perkara-perkara
penting: Tuhan memang baik namun kebaikan-Nva terbatas karena kekuasaan-Nya
juga terbatas (Kusher, 1981, h. 120,138). Kushner mempersoalkan kodrat Tuhan di
depan fakta sebuah dunia yang jauh dari sempurna. Berangkat dari banyaknya hal yang
menyengsarakan manusia dan menyebabkan penderitaan yang tidak adil, tak dapat
disangkal kehadiran kekuatan-kekuatan destruktif di luar Tuhan yang ikut bermain
di dalam dunia. Lalu, bagaimana meletakkan hubungan antara kekuatan-kekuatan
kebaikan dan demonis itu? Dan, bagaimana juga meletakkan posisi manusia? Apakah
manusia hanya menjadi objek pasif dalam pertarungan kuasa-kuasa kosmis?
Orang Kristen biasanya mempertahankan kesempurnaan absolut sifat-sifat
Tuhan dengan berlindung pada penjelasan doktrinal bahwa keadaan dunia yang
jauh dari sempurna disebabkan dunia yang mulanya sempurna kemudian jatuh ke
dalam dosa. Penjelasan itu malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih
sulit lagi. Mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia yang tak dapat dikalahkan dosa?
Apa perlunya Tuhan bereksperimen dalam menciptakan dunia? Mengapa Tuhan
membiarkan dosa ada? Lalu, si penderita bertanya-tanya: "Dari sekian banyak orang,
mengapa aku, ya Tuhan?" Apakah ini dunia yang adil? Apakah dunia sepenuhnya
dalam kontrol Tuhan?
Bila kemudian orang berlindung di balik keyakinan bahwa Allah berdaulat
melakukan apa yang dipandangnya baik, harus diketahui juga bahwa penekanan
pada kedaulatan Tuhan secara berlebihan menimbulkan ketidakjelasan temp at
tanggungjawab moral manusia dalam keterlibatannya membuat orang lain sengsara
atau dalam meringankan penderitaan orang lain. Orang yang menderita sering
dihibur dengan menekankan misteri penderitaan, mengutip Roma 8:28 di luar
konteks, "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan
bagi mereka yang mengasihi Dia." Orang yang menderita diajak pasrah menerima
kemalangannya dalam keyakinan bahwa Tuhan pasti memiliki rencana yang indah.
2ywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFE
11, No. 23, 2010ronlidYVUTPO
------------PENUNTUNVol.I
L
Antropodisidan Problematik Teodisi -------------------
Penderita diajak untuk sabar dengan harapan suatu hari segalanya akan menjadi jelas.
Bila tidak jelas selama di dunia, semuanya ._-akan menjadi jelas di surga, sebab darironlidYVUT
perspektif dunia ini "kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar"
(lKor. 13:12). Dalam menekankan penderitaan sebagai sebuah misteri, penderitaan
dianggap bermanfaat, mendidik, ada hikmahnya bagi yang bersangkutan atau/dan
bagi orang lain. Namun, bila kemalangan menjadi prasyarat untuk menggenapi
rencana Ilahi maka meniadakan atau memerangi kemalangan berarti secara potensial
menggagalkan rencana Tuhan.
Itulah problematika memandang Tuhan secara absolut. N amun, memandang
yang sebaliknya tentu akan ditolak teologi konvensional yang berakar dalam
monoteisme. Lalu, apakah duduk persoalannya adalah problem definisi dalam arti
teisme-rnonoteistis perlu didefinisi ulang? Sebagai contoh, kemahakuasaan memang
berarti Tuhan memiliki segala kuasa. Namun, dari inisiatif-Nya sendiri dan dalam
jangka waktu tertentu, Tuhan telah melepas kontrol atas sebagian dunia ciptaan.
Atau, Tuhan memang mahabaik namun Ia tidak harus mencegah kejahatan dan
penderitaan dan membiarkannya terjadi. Dengan kata lain, melihat problem
kejahatan di dunia bukan dengan mempertentangkannya
secara absolut, seperti
dalam proposisi-proposisi berikut: bila kejahatan ada berarti Tuhan tidak ada, bila
kejahatan ada berarti Tuhan tidak mahakuasa/mahabaik.
Dengan demikian, kita perlu mendudukkan persoalan secara lebih proporsional.
Problemnya bukan mengapa ada kejahatan dan kemalangan, tetapi mengapa kejahatan
dan kemalangan terlalu banyak seolah-olah dunia tak lagi di bawah kendali Tuhan yang
baik dan berkuasa. Kalau begitu, perlu ada definisi ulang tentang keabsolutan Tuhan
dalam berhadapan dengan kejahatan dan penderitaan yang berada di luar batas-batas
akal sehat. Pada saat yang sama, itulah problematika penjelasan-penjelasan teologis
konvensional yang berakar dalam monoteisme. Meski penjelasan-penjelasan teologis
mengikutisalah satu kecenderungan kita untuk hidup dalam keyakinan- keyakinan yang
pasti,fakta hidup berulang kali memberikan pelajaran yang sulit bahwa ada kalanya kita
harus hidup dengan jawaban-jawaban yang kurang pasti atau bersifat mungkin.
Untuk melihat problem penderitaan secara lebih utuh dan konstruktif,
dibutuhkan cara pandang altematif yang tak lagi menekankan kodrat Tuhan secara
absolut. Bila Tuhan berdiam diri pada saat kita membutuhkan penjelasan atas
kemalangan yang terjadi dan bila penjelasan yang ada tak lagi memadai, tampaknya
penderita sendiri harus secara kreatif mengonstruksikan penjelasan bagi dirinya.
Bagi manusia yang menurut kodratnya adalah pemberi makna, wajarlah bila tragedi
yang telah merubuhkan bangun sistem kevakinan-keyakinan
pribadinya tetap
dimaknai. Orang yang menderita bukan hanya objek kemalangan tetapi juga subyekurolkgaWV
PENUNTUNVol.I
11,
No.
23,
2010------------
3
---------------------------
Yonkv KarmanronlidYVUT
kemalangan, subyek yang menderita. Penderitaan yang tak dimaknai akan menjadi
absurd. Dengan kata lain, dibutuhkan penjelasan teologis yang memberi wang gerak
kepada orang yang sedang menderita agar ia tetap beriman. Tidak hanya beriman, tetapi
juga beriman dengan bermartabat kendati proses destruktif menimbulkan kemalangan.
***
Teologi dan filsafat menyediakan penjelasan-penjelasan sistematis tentang
penderitaan yang tidak adil, yang biasa dikenal dengan istilah teodisi. Teodisi
.merupakan upaya rasional untuk membela Tuhan dan menjaga citra-Nva yang
absolut, kendati berbagai fenomena kejahatan, kejelekan, keburukan dan penderitaan
berlangsung. Dari kata YunaniywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA
theos ("Allah") dan dike ("keadilan"), gol teodisi adalah
mengamankan posisi Tuhan dari berbagai tuduhan manusia. Kemalangan yang terjadi
tak ada hubungannya dengan kebaikan, kebenaran atau keadilan Tuhan.
Teodisi tak dapat dipisahkan dari filsuf Gottfried Wilhelm Leibniz (16461716). Dalam usia lanjutnya, ia menulis karya (1710) dengan judul yang sarna
(Leibniz, 1966). Meski Leibniz adalah seorang Jerman dan berbahasa ibu yang sarna,
karyanya itu ditulis dalam bahasa Perancis, theodicee (baca: teodise), dan diterbitkan
di negeri yang sarna. Lafal teodisi mengikuti penulisan kata Inggris theodicy.
Alasan Leibniz untuk menulisnya dalam bahasa Perancis adalah untuk
menjangkau publik yang mengenal karya Pierre Bayle (1647-1706), Dictionnaire
historique et critique (Leibniz, 1966). Pad a masa itu, karya Bayle merupakan salah satu
buku yang paling banyak dimiliki. Bayle sendiri seorang Huguenot, kaum Protestan
di Perancis. Dalam dua artikel "Manicheens" dan "Pauliciens" dari kamus sejarah
itu, Bayle mengupas dualisme Manichean dan menilainya sebagai sebuah penjelasan
yang paling gamblang dan masuk akal tentang kejahatan. Namun, ia sendiri menolak
dualisme Manichean hanya karena wahyu Kristen. Dilihat dari caranya menulis
artikel-artikel lain dalam kamus itu, tampaknya Bayle bermaksud menekankan bahwa
rasio bertentangan dengan wahyu atau iman, juga rasio merniliki batas-batasnya
sendiri.
Menurut Leibniz, kita bisa membayangkan sebuah dunia yang tak sempurna
dan ada kejahatan tanpa haws mempersalahkan Tuhan. Hal itu disebabkan Allah
Pencipta yang berkuasa, yang bijaksana dan yang baik hanya bisa menyeleksi sebuah
dunia terbaik dari semua kemungkinan dunia yang dapat dipikirkan (the best of all
possible world). Tulisan ini tidak akan membahas pentingnya teodisi untuk mengurai
problem penderitaan dan kemalangan. Pada tingkat tertentu, teodisi berhasil
melepaskan keterkaitan antara Tuhan dan kejahatan. Namun, upaya itu juga
tidak sepenuhnya berhasil. Alih-alih menjelaskan problem kejahatan, penjelasan-
------------PENUNTUNurolkgaWVUTPNME
Vol.I 11, No. 23,2010
4uiaUTPNLE
Antropodisi dan Problematik Teodisi -------------------
penjelasan rasional teodisi maupun asumsi-asumsinya terbukti bermasalah. Karena
itu, dalam perkembangan selanjutnya dibutuhkan car a pandang alternatif untuk
melihat problem kejahatan secara lebih ut'uh dan dari situ motivasi orang diperkuat
untuk secara aktif memerangi kejahatan.ronlidYVUTPONLIFECA
***
Voltaire (1694-1778) mengkritik optimisme dalam teodisi Leibniz dalamywvutsrqpon
Candide (1759) (Voltaire, 1989). Sebagai seorang satirikus Perancis, sekaligus
sejarawan dan filsuf, Voltaire adalah salah satu tokoh Pencerahan. Dalam hal ini,
memang ada pendapat bahwa Voltaire tidak masuk ke dalam inti teodisi menurut
Leibniz sebab tema sebuah dunia terbaik dari semua kemungkinan dunia yang dapat
dipikirkan hanya sebuah argumen penjelasan yang relatif menempati porsi kecil dalam
Theodicee (Leibniz, 1966, h. vii). Selain itu, disinyalir Voltaire mendasari kritiknya
berdasarkan pemahamannya yang kurang mendalam atas ajaran Leibniz tentang
teodisi dan mungkin kritik itu lebih tepat ditujukan kepada Christian Wolff (16791754) dan para pengikutnya. Wolff sendiri adalah filsuf Jerman pengikut Leibniz dan
telah memodifikasi ajaran Leibniz (Leibniz, 1966, h. xvii-xviii).
Kendati demikian, secara keseluruhan kritik Voltaire bukannya tak beralasan.
Dalam Candide dituturkan, ketika gempa telah menghancurkan tiga perempat kota
Lisabon, orang-orang bijak di kota itu tidak menemukan cara yang lebih tepat untuk
menghindari kehancuran total, selain menyelenggarakan ritual auio-da-je yang
megah. Dalam upacara keagamaan itu, keputusan Mahkamah Agama dibacakan
di depan umum dan orang yang dinyatakan bersalah akan dibakar hidup-hidup.
Sebagai korban bencana alam yang tak berwajah (natural evil), masyarakat tak
dapat mengajukan protes kepada alam dan juga tak ada alasan untuk memprotes
Tuhan yang diyakini selalu benar. Karena itu, harus ada anggota masyarakat yang
dapat dijadikan kambing hitam, yang dipandang telah membuat Tuhan murka dan
mengundang bencana.
Dalam bencana di Lisabon, ada orang Basque yang mengawini ibu
permandiannya. Ada dua orang Yahudi yang makan daging ayam dengan membuang
lemak babi yang melekatnya. Ketiganya dibakar hidup-hidup. Doktor Pangloss, ahli
filsafat yang berjiwa luhur, dinyatakan bersalah karena telah berbicara. Dan, Candide
dinyatakan bersalah karena telah mendengarkannya dengan air muka setuju. Pangloss
dihukum gantung, sedangkan Candide dihukum cambuk pada pantatnya. Pada hari
eksekusi, bumi bergoncang kembali dengan bunyi yang mengerikan; dalam kejadiaan
sesungguhnya memang adagempa bumi lagi pada tangga121 Desember 1755. Candide
yang gemetar berlumuran darah terpana, takut dan bingung. Ia berkata dalam hati,
PENUNTUN
Vol.
11, No. 23, 2010------------
5
---------------------------
YonkyKarmanronlidYVU
"Jika ini yang disebut dunia terbaik di antara yang mungkin diciptakan, bagaimana
keadaan dunia yang lain?"
Candide tak begitu peduli dengan pantatnya yang dicambuk, sebab dulu ia
pernah mengalaminya di Bulgaria. Tetapi, ia tak bisa memahami kematian Pangloss
yang begitu tragis, digantung tanpa alasan yang jelas. Candide meratapi Jacques
sahabatnya yang tenggelam di pelabuhan, orang yang menurutnya paling baik hati. Ia
juga meratapi Cunegonde yang kecantikannya digambarkan seperti mutiara di antara
putri-putri tercantik, sebab si cantik itu tewas dengan perut terkoyak. Adagium
.bahwa Tuhan yang mahabaik menciptakan sebuah dunia yang terbaik di antara yang
mungkin diciptakan tak dapat bertahan di hadapan fakta gamblang bumi yang porak
poranda dan kematian orang-orang yang tak bersalah.
***
Dalam noveluiaUTPNLE
LaywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA
Peste (1947), Camus mengkritik teodisi namun dalam
bentuk ateisme (Camus, 1895). Alkisah, sekitar 200 ribu orang di Oran, salah satu
pelabuhan utama di Afrika Utara, terperangkap wabah sampar. Kota yang tadinya
ramai kini berubah menjadi seperti kota mati. Orang-orang dicekam ketakutan,
berubah menjadi egoistis, memberontak melawan nasib buruk dan merasa putus asa.
Semua orang menderita karena terancam sampar dan terpisah dari kekasih jiwa. Kota
itu terisolasi. Orang yang ada di dalam tidak boleh keluar dan orang dari luar tidak
boleh masuk. [ika memaksa masuk, orang tak diperkenankan keluar lagi. Itu semua
demi melokalisasi wabah agar tak menyebar ke kota lain.
Dalam keadaan itu, Dokter Bernard Rieux bekerja keras tanpa lelah
menyelamatkan warga Oran korban sampar. Sementara itu, Romo Paneloux
berkhotbah bahwa mereka memang layak mendapat hukuman dari Tuhan (Camus,
1895, h. 80-84). Tuhan yang selama ini menyayangi warga Oran kini kecewa,
memalingkan wajah-Nya dari mereka dan tak ada lagi sinar rahmat yang menerangi
wajah mereka. Wabah itu harus disikapi dengan merenung. Orang yang berbuat jahat
harus meninggalkan kejahatannya. Sedikit banyak wabah sampar itu mendatangkan
kebaikan sebab orang dipaksa merenung ulang kehidupan yang telah dijalaninya. Dan,
satu-satunya sikap yang tepat bagi orang beriman adalah mengasihi Tuhan, mengasihi
nasib buruk yang sedang menimpa mereka. Dengan begitu, mudah-rnudahan Tuhan
meninjau ulang apa yang sedang dilakukan-Nya lewat sampar; demikian isi khotbah
Paneloux.
Dalam dialog dengan Rieux, Paneloux berusaha memberi penjelasan bahwa
wabah itu terjadi seizin Allah tanpa kita mampu mengertinya (Camus, 1895, h. 186187). Manusia hanya bisa introspeksi dan pasrah, mencintai apa yang tidak dapat
6
------------PENUNTUNVol.I
11, No.
23,
2010
Antropodisi dan Problematik Teodisi -------------------
dimengerti termasuk nasib buruk yang menyiksa anak-anak tak berdosa. Orientasi
Paneloux adalah keselamatan jiwa. Namun, Rieux menolak untuk mencintai nasib
buruk. Ia membenci penyakit dan kematian. Mengomentari khotbah Paneloux,
Rieux setuju bahwa ada beberapa orang menjadi lebih baik dan lebih arif karena
penyakit yang pernah dideritanya. Tetapi, melihat kesengsaraan dan kesakitan yang
ditimbulkan sampar, hanya orang buta atau pengecut saja yang pasrah kepada wabah
itu (Camus, 1895, h. 109-110).
Sang dokter berpendapat demikian bukan karena ketidakpercavaan pada
Tuhan telah memisahkannya dari sang rohaniwan, tetapi karena Paneloux telah
bersikap layaknya seorang ilmuwan teoritis yang berbicara atas nama kebenaran tanpa
menyaksikan sendiri orang yang sekarat. Rieux yakin, rohaniwan des a yang mengurus
jemaatnya dan mendengar nafas mereka yang sedang sekarat akan berpikir seperti
yang ia pikirkan, yakni mengatasi penderitaan sebelum menunjukkan keunggulan
penderitaan tersebut. Selanjutnya Rieux mengaku, ia memerangi sampar habishabisan karena ketidakpercayaannya kepada Tuhan yang mahakuasa. Seandainya ia
percaya kepada Tuhan, ia sudah berhenti mengobati orang-orang dan membiarkan
Tuhan mengerjakannya. Penolakan Rieux mewakili sikap ekstrem dalam ateisme
(grand narratives), dalam hal ini
modern yang sinis terhadap narasi-narasi besarywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCB
teodisi adalah sebuah contoh. Agamawan sering terjebak sebagai penjaga ortodoksi
yang terperangkap dalam keberagamaan either-or, iman dan humanisme bertolak
belakang. Seolah-olah orang beriman tak bisa menjadr humanis dan humanis tak
bisa menjadi orang beriman.ronlidYVUTPONLIFECA
***
Teodisi secara tidak langsung membenarkan gambaran tentang Allah yang
masokhis dan sadis. Dalam kerangka Weberian, sosiolog Peter Berger melihat teodisi
pada tahap pra-teoritis berakar pada masokhisme (Berger, 1991, h. 64-97). Dalam
agama yang menekankan pengingkaran diri secara radikal, tak dapat dihindari aspek
irasional dalam penyerahan diri. Orang dituntut untuk merendahkan diri dalam
kemalangan dan penderitaannya, menjadi objek bisu yang mirip benda mati saat
berhadapan dengan Tuhan yang dibayangkan dengan sifat-sifat-Nya yang absolut.
Orang beriman yang menderita memandang dirinya bukan apa-apa saat berhadapan
dengan Tuhan sebagai segala-galanya. Dalam teodisi, orang beriman menransformasi
diri menjadi tiada dan membayangkan Tuhan sebagai realitas yang mendominasi
seluruh eksistensinya. Itulah upaya menransendensikan penderitaan lewat penyerahan
diri yang masokhistis dan nyaris bisa dibayangkan Tuhan yang sadis. Penderitaan
dimaknai sebagai jalan untuk lebih dekat dengan Tuhan. Penderitaan dinikmati,
PENUNTUNVol.I II, No.
23,
2010------------
7
Antropodisi dan Problematik Teodisi -------------------
dimengerti termasuk nasib buruk yang menyiksa anak-anak tak berdosa. Orientasi
Paneloux adalah keselamatan jiwa. Namun, Rieux menolak untuk mencintai nasib
buruk. Ia membenci penyakit dan kem~tian. Mengomentari khotbah Paneloux,
Rieux setuju bahwa ada beberapa orang menjadi lebih baik dan lebih arif karena
penyakit yang pernah dideritanya. Tetapi, melihat kesengsaraan dan kesakitan yang
ditimbulkan sampar, hanya orang buta atau pengecut saja yang pasrah kepada wabah
itu (Camus, 1895, h. 109~110).
Sang dokter berpendapat demikian bukan karena ketidakpercayaan pada
Tuhan telah memisahkannya dari sang rohaniwan, tetapi karena Paneloux telah
bersikap layaknya seorang ilmuwan teoritis yang berbicara atas nama kebenaran tanpa
menyaksikan sendiri orang yang sekarat. Rieux yakin, rohaniwan des a yang mengurus
jemaatnya dan mendengar nafas mereka yang sedang sekarat akan berpikir seperti
yang ia pikirkan, yakni mengatasi penderitaan sebelum menunjukkan keunggulan
penderitaan tersebut. Selanjutnya Rieux mengaku, ia memerangi sampar habishabisan karena ketidakpercayaannya kepada Tuhan yang mahakuasa. Seandainya ia
percaya kepada Tuhan, ia sudah berhenti mengobati orang-orang dan membiarkan
Tuhan mengerjakannya. Penolakan Rieux mewakili sikap ekstrem dalam ateisme
modern yang sinis terhadap narasi-narasi besarywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGF
(grand narratives),
dalam hal ini
teodisi adalah sebuah contoh. Agamawan sering terjebak sebagai penjaga ortodoksi
yang terperangkap dalam keberagamaan euliet-ot, iman dan humanisme bertolak
belakang. Seolah-olah orang beriman tak bisa menjadi humanis dan humanis tak
bisa menjadi orang beriman.ronlidYVUTPONLIFECA
***
Teodisi secara tidak langsung membenarkan gambaran tentang Allah yang
masokhis dan sadis. Dalam kerangka Weberian, sosiolog Peter Berger melihat teodisi
pada tahap pra-teoritis berakar pada masokhisme (Berger, 1991, h. 64~97). Dalam
agama yang menekankan pengingkaran diri secara radikal, tak dapat dihindari aspek
irasional dalam penyerahan diri. Orang dituntut untuk merendahkan diri dalam
kemalangan dan penderitaannya, menjadi objek bisu yang mirip benda mati saat
berhadapan dengan Tuhan yang dibayangkan dengan sifat-sifat-Nya yang absolut.
Orang beriman yang menderita memandang dirinya bukan apa-apa saat berhadapan
dengan Tuhan sebagai segala-galanya. Dalam teodisi, orang beriman menransformasi
diri menjadi tiada dan rnembayangkan Tuhan sebagai realitas yang mendominasi
seluruh eksistensinya. Itulah upaya menransendensikan penderitaan lewat penyerahan
diri yang masokhistis dan nyaris bisa dibayangkan Tuhan yang sadis. Penderitaan
dimaknai sebagai jalan untuk lebih dekat dengan Tuhan. Penderitaan dinikmati,
PENUNTUNVol. 11,
No.
23,
2010------------
7
---------------------------
YonkyKarman
sebelum diketahui dengan jelas apakah betul Tuhan bermaksud demikian. Kejahatan
yang sebenarnya buruk mengalami sublimasiywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA
(aufgehoben) sehingga .~eburukan yang
ada diluhurkan dan dibenarkan atas nama iman.
Gambaran tentang Tuhan yang negatif seperti di atas merupakan ekses
penekanan pada kodrat absolut Tuhan. Wacana tentang kodrat Tuhan berlaku dalam
wacana teologis, namun tak berlaku dalam pengalaman keseharian. Yang masuk
dalam pengalaman manusia bukan Allah begitu saja melainkan, lebih tepat, Allah
dalam tindakan-Nya (God in action). Maka, Kushner lebih suka memakai terminologi
. "predicate theology" (Kushner, 1989, h. xiv-xv). Dalam pemyataan-pemyataan
teologis dibedakan antara subyek dan predikat. Ketika dinyatakan Allah itu kasih,
Allah itu kebenaran, atau Allah itu pengampun, isi pernvataan-pernvataan tersebut
lebih sebagai kualitas dan pengalaman yang kita anggap saleh; bukan pernvataanpernyataan tentang Allah yang tak dapat dipelajari dalam dirinya sendiri. Dalam
keadaan-Nya yang tak terbatas, Tuhan adalah misteri bagi manusia yang terbatas.
Lewat pemvataan-pernvataan teologis tersebut, orang hanya belajar mengenali Allah
yang masuk ke dalam pengalaman hidup. Dengan kata lain, fokus dalam berteologi
seharusnya bukan subyek proposisi teologis, yakni Allah, tetapi lebih realistis adalah
predikat proposisi, seperti kasih, kebenaran dan pengampunan.
Teologi predikat mengakui eksistensi Tuhan dalam realitas-Nva yang tak
kelihatan dan tidak sama dengan realitas benda-benda konkret yang kelihatan.
Penganut teologi itu memandang lebih realistis menggambarkan Allah yang berkarya
daripada menggambarkan Allah secara positif dalam teologi afirmatif Dalam
kehidupan sehari-hari, memang lebih mudah menggambarkan orang-orang dalam
aktivitas yang dimotivasi kehadiran Allah, seperti orang yang berdoa, orang yang
menolong orang lain atau orang yang berani bersaksi. Demikian juga, orang dapat
membayangkan Allah secara lebih konkret ketika ia mengalami kesembuhan, dihibur,
dikuatkan, menjadi lebih baik, menjadi lebih berhikmat dan bertumbuh.ronlidYVUTPONLIFECA
***
Kekurangan lain teodisi adalah orang yang menderita mudah diposisikan
sebagai pihak yang bermasalah. Allah dicitrakan sebagai pribadi yang selalu oke,
sedangkan manusia tidak oke. Dengan membela Tuhan, teodisi secara tak langsung
menempatkan manusia sebagai pihak yang tidak oke. Manusia dicitrakan sebagai
pribadi yang rentan berbuat salah dan karenanya juga pantas menerima kemalangan.
Maka, dalam penderitaan, yang pertama-tama harus dilakukan adalah introspeksi
sebab kemungkinan besar penderitaan itu terkait hukuman Tuhan.
Bila penderitaan tak terkait hukuman Tuhan, orang juga perlu lebih beriman
8
------------PENUNTUNVol.
11,
No.
23,
2010
Antropodisi dan Problematik Teodisi -------------------
dan tabah sebab pasti Allah mengizinkan kemalangan itu akhirnya demi kebaikan
manusia. Allah tahu yang terbaik bagi m~31usia. Dengan begitu, teodisi memberi
penjelasan yang membebaskan Tuhan dari tuntutan manusia agar bertanggungjawab
atas kemalangan yang terjadi. Dalam teodisi tak ada tempat bagi manusia untuk
mempersoalkan Tuhan ihwal penderitaan yang sedang dialaminya. Tuhan selalu tak
dapat dipersoalkan; bukan manusia yang mempersoalkan Tuhan, tetapi Tuhanlah
yang mempersoalkan manusia.
Dalam pemahaman teodisi, para sahabat Ayub berupaya meyakinkan Ayub
bahwa ia pasti sudah berdosa dan karenanya layak mengaku dosa serta bertobat.
Namun, Ayub tak berhasil diyakinkan. Pembaca Kitab Ayub tahu bahwa persoalannya
bukan Ayub tidak mau bertobat, tetapi ia tak tahu harus bertobat dari apa. Selain
itu, penderitaan Ayub di luar jangkauan teodisi dan bagi Ayub itu merupakan sebuah
misteri. Itu sebabnya, sekalipun ia memrotes Tuhan dan akhirnya menyesal dengan
protesnya itu, Ayub di mata Tuhan tidak salah dalam perkataannya
(Ayub 42:68). Malah, Tuhan marah kepada ketiga teman Ayub yang gencar membela Tuhan.
Selain itu, di dalam rnazmur-mazmur ratapan juga ada nada protes dari pemazmur yang
menderita. Tuhan membiarkan bahasa ratapan tetap tinggal dalam Alkitab, sekaligus
menyatakan keberpihakan dan simpati Tuhan pad a korban kemalangan. Penderitaan
harus juga dipahami dari perspektif manusia (Karman, 2005). Perlu ada pembenaran
doktrinal bagi penderita untuk mengungkapkan ketidakmengertiannya saat menderita,
kecewa, putus asa atau marah pada Tuhan.
N amun, teodisi tak mengembangkan citra diri positif orang yang menderita.
Bahkan, penderita bisa kehilangan motivasi untuk bangkit sebab kemalangan
dihayati sebagai bagian dari ketentuan Tuhan (kadang-kadang dipahami juga sebagai
takdir): sesuatu yang tidak boleh dilawan. Agama tidak merekomendasi manusia
untuk melawan (ketentuan) Tuhan. Dalam perasaan bahwa memang sudah begitu
nasibnya, teodisi turut ambil bagian dalam melemahkan daya dan inisiatif penderita
untuk bangkit memperbaiki kondisi buruknya.
Padahal, kunci untuk mengatasi penderitaan dan memanfaatkan penderitaan
sebagai sebuah kesempatan untuk bangkit dari tekanan penderitaan adalah orang
tetap berpikir positif tentang dirinya (Kushner, 1989, xvii). Sesudah ia diterjang badai
kemalangan yang mencampakkannya dan membuatnya seperti tak berharga lagi, ia
tetap memiliki kekuatan untuk memungut dirinya yang tercampak, bangkit dari
keterpurukan dan melanjutkan perjalanan hidupnya. Daripada menyesali nasib atau
mengasihani diri, orang merajut kembali kehidupannya demi hari esok yang lebih
baik.ronlidYVUTPONLIFECA
***ywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRP
PENVNTUN
Vol.
11, No. 23, 2010------------
9
---------------------------
YonkyKarman
Teodisi sering dipakai untuk membuat penderita bungkam dan tak
mempersoalkan penderitaannya. Ia dianjurkan menerima saja nast~nya yang jelek
tanpa banyak tanya. Alasan teologis yang sering dikemukakan adalah pikiran manusia
tidak sama dengan pikiran Tuhan dan hikmat Tuhan terlalu tinggi di luar jangkauan
pikiran manusia (bnd. Yes. 55:8-9). Alasan teologis lain, manusia begitu berdosanyaywvutsrqpon
(total depravity) hingga penderitaan yang di matanya tidak baik, bisa saja itu justru
baik di mata Tuhan.
Di sini tampak sebuah inkonsistensi. Menekankan keberdosaan manusia
.dengan cara yang ekstrem, sehingga manusia tak dapat mengetahui sedikit pun
tentang apa yang baik atau buruk di mata Tuhan, justru sebuah kontradiksi. Bila
Tuhan begitu berbeda dari kita, termasuk dalam nilai-nilai baik dan jahat, itu berarti
apa yang tak baik di mata manusia bisa baik di mata Tuhan dan apa yang baik di mata
manusia bisa tak baik di mata Tuhan.
Bila nilai-nilai moral Tuhan begitu berbeda dari manusia sehingga yang
dipandang hitam di mata manusia bisa putih di mata Tuhan atau sebaliknya maka
kosonglah makna proposisi "Tuhan baik." Proposisi itu tak ada isinya sebab "baik"
yang kita mengerti dalam kenyataannya bisa "tidak baik". "Tuhan baik" dan "Tuhan
tidak baik" menjadi proposisi-proposisi yang artinya kosong. Hal itu bisa terjadi sebab
kebaikan Tuhan berbeda total dari yang dapat kita bayangkan, sehingga kata "baik"
yang berasal dari dunia manusia sama sekali tak dapat menggambarkan kebaikan
Tuhan. Tentu pada gilirannya, tak dapat mengatakan dan mengetahui sesuatu
tentang Tuhan adalah agnostisisme. Dan, tak ada tempat bagi agnostisme di dalam
Alkitab. [adi, menekankan Tuhan yang jalan-Nya sama sekali tak dapat dimengerti
manusia, alih-alih membela Tuhan, pembelaan itu sesungguhnya tidak Alkitabiah.
Konsekuensi logis yang lebih fatal lagi adalah menyembah Tuhan yang
kualitas-Nya sama sekali tak dapat dibayangkan, Tuhan yang tak dikenal. Lalu,
bagaimana orang dapat menyembah Tuhan yang tak dikenalnya? Dasar moral untuk
mengasihi dan menaati Tuhan adalah fakta bahwa Ia adalah baik. Namun bila Tuhan
yang baik itu bisa berbeda baiknya hingga bertentangan dari arti baik yang kita tahu,
maka hilang juga dasar moral untuk mengasihi dan menaati Tuhan demikian. Dengan
menekankan keberdosaan manusia begitu ekstrem, apa yang diklaim manusia sebagai
Allah yang baik sebenarnya sama sekali tidak jelas. Bila Yang Ilahi sama sekali tidak
jelas, secara logika setan pun bisa disembah sebagai Tuhan.
ltu sebabnyam,ronlidYVUTPONLIFECA
C. S. Lewis mengritik konsep keberdosaan: "The doctrine of
Total Depravity - when the consequence is drawn that, since we are totally depraved,
our idea of good is worth simply nothing - may thus turn Christianity into a form
of devil-worship" (Lewis, 1962, 25). Tentu saja, pikiran Tuhan bukan pikiran kita
10
------------PENUNTUN
Vol. 11,
No.
23,
2010
Antropodisidan Problematik Teodisi ------------------mengingat keterbatasan kita sebagai manusia, bisa saja kita salah berpikir tentang
Tuhan. Namun juga tidak betul bahwa dalam adanya Tuhan sama sekali tak ada
korelasinya dengan apa yang dapat kita pikirkan, Kita dapat menyembah Tuhan
"dalam kebenaran" (Yoh.4:24).ronlidYVUTPONLIFECA
***
Untuk meniadakan gambaran Tuhan yang masokhistis dan sadis, Frederick
Sontag mengusulkan wacana antropodisi sebagai pengganti teodisi untuk membuat
wacana tentang Tuhan bermakna (Sontag, 1982, 137-151). Menurutnya, sumber
ateisme modern yang terbesar adalah teodisi yang tak cukup mempertimbangkan
fakta penderitaan yang tidak adil. Dalam teodisi, penderitaan selalu dibicarakan
dari perspektif Allah, sementara orang modern hidup dalam atmosfir skeptisisme,
agnostisisme, ateisme, bahkan dalam paradigma Allah-telah-rnati. Kemalangan
yang berangkat dari wacana tentang Tuhan tidak menarik bagi orang modern dan
menutup jalan bagi diskusi mengenai penderitaan. Karena itu, kemalangan sebaiknya
dibicarakan sernata-mata dari kondisi manusia dan manusia juga yang harus mencari
solusinya untuk memerangi kemalangan.
Sebagai terminologi filosofis, antropodisi jarang didengar dan sejauh
pengamatan yang ada belum masuk ke dalam kamus teologi. Namun, gagasannya
sudah lama ada. Para filsuf sudah lama menyadari inkonsistensi dan kekurangan
teodisi secara inheren. Teodisi mengabaikan aspek-aspek , individual maupun sosial
dari penderitaan, aspek-aspek yang sebenarnya perlu dilihat bila orang mau berjuang
melawan penderitaan. Akibatnya, kurang cara memandang problem penderitaan
secara lebih manusiawi. Martabat manusia yang tergilas kemalangan kurang
diperhitungkan. Orang kurang peka dengan penderitaan, kurang juga toler ansi ketika
mendapati orang memberontak melawan kemalangan dan ketidakadilan. Manusia
hanya dilihat korban kemalangan.
Bahasa teodisi cocok bagi pembela Tuhan, pembela ortodoksi atau pembela
pemikiran keagamaan tradisional. Kendati bisa dipersoalkan apakah Tuhan
membutuhkan manusia sebagai pembela-Nya? Yang jelas, bahasa teodisi tak
menyentuh hati orang yang putus asa karena penderitaan. Bahasa itu tak berpihak
pada orang yang sedang menderita. Teodisi bisa meyakinkan logika rasio, tetapi tidak
logikahati. Pascal (1623-1662) menegaskan, hati mempunyai logika yang berbeda dari
logika rasio. Selain itu, bahasa teodisi cenderung memberi legitimasi bagi penderitaan
dan tak bersimpati pada orang yang menderita. Oleh akrena itu, tidak jarang teodisi
diperalatywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA
status quo untuk melegitimasi ketimpangan sosial. Padahal, Tuhan berpihak
pada korban-korban kekerasan (Karman, 2003).urolkgaWVUTPNME
PENUNTUNVol.yutsrponmlkjigfedbaYVUTSRPONMLJIGEDA
11, No.
23,
2010------------
11
---------------------------
Yonky Karman
Bila teodisi mewakili bahasa nalar, antropodisi
hati lebih dibutuhkan
korban
kemalangan
untuk
mewakili bahasa hati. Bahasa
mengekspresikan
kepedihannya
dengan lebih leluasa (De Sehrijver, 1990, 95 -119. Sekilas mengekspresikan
dengan sikap memberontak
konvensional.
dijelaskan,
Akan
tetapi,
melainkan
penderitaan
atau memrotes
penderitaan
disuarakan
Seharusnya,
untuk
iman
hidup
dan
makna
eksistensi
dibutuhkan
Kemudian
dari puing-puing
bermakna
ruang
memberi
guna
dan memakai
bagi
di dalam
mengejek
hidupnya,
untuk
hidup
membutuhkan
dalam
keleluasaan
boleh mengembara
yang
kontradiksi
beriman
bagaimana
mereka
dunia
teodisi untuk
hid up.
orang
jalan
1997). Penderita
seeara kreatif di mana pikiran
oasis-oasis
untuk
orang yang mengalami
dengan absurditas
memberi
pada masa sulit (Vanauken,
menciptakan
bukan
hidup dengan trauma. Dalam
penderitaan
berhadapan
juga
absurditas
berfantasi
Apalagi,
yang panjang adalah bagaimana
merepresi gejolak batin penderita
anugerah
pertama-tama
dibela. Bagi korban musibah yang berhasil hidupywvutsrqpon
. hal itu, orang sering kurang peka dengan
mempersoalkan
subversif bagi keberagamaan
memang
dan diperangi.
yang tidak adillayaklah
(survivor), penderitaan
kedengaran
kepedihan
tampak
realitas
orang membangun
absurd.
hidup
untuk
Ironisasi
dengan
kembali
iman.
dunianya
alas an untuk hid up.ronlidYVUTPONLIFECA
dan menemukan
***
Indonesia
adalah
Banjir di mana-mana
sepanjang
tahun,
negeri beneana.
Indonesia
Pada musim
banyak
alam tak perlu terjadi,
menyatakan
orang lain. Keganasan
untuk
menghadapi
keberpihakan
Untuk bangkit dari kehaneuran
meneoba
seandainya
eksistensial
alam membuat
bila penderita
menempatkan
kebersamaan
apologetika,
namun
daripada
tak
mampu
dan dicegah.
sebagai korban
tidak sendirian,
(Plantinga,
kemalangan.
dibutuhkan
simpati
manusia
Teodisi
itu akan
ada orang lain yang
menggalang
dibutuhkan
kemalangan
porak-
1982, h. 86-94).
lebih mampu
teodisi.
melihat
Padahal,
eksistensi manusia. Absurditas
antropodisi
waeana
tak pernah
itu.
bisa diantisipasi
karena kemalangan
diri dalam posisi mereka
waeana
pemerintah
dunia huni yang berwajah
tahu bahwa mereka
Sebagai demikian,
dan
ada kekeringan.
beneana-beneana
pada manusia
poranda menjadi tak berwajah dan melumat
berkurang
kemarau
didera bene ana alamo Namun,
masyarakat
beneana
,/
pad a musim hujan, termasuk banjir bandang dan longsor. Praktis
memberdayakan
Antropodisi
yang
dan
solidaritas
dalam
penderitaan
tataran
sebagai
sebuah problem sosial. Untuk itu, dibutuhkan
antropodisi
sosial. Dalam konteks banyak rakyat Indonesia
yang masih terjebak dalam sentimen-
sentimen
12
primordial
kesukuan
atau keagamaan,
mungkin
sebagai justifikasi praksis
antropodisi
lebih berguna
------------PENUNTUNVol.yutsrponmlkjigfedbaYVUTSRPONMLJI
11, No. 23,uhQK
2010
Antropodisi dan Problematik Teodisi ------------------
dalam membangkitkan kesetiakawanan. Kepedihan seorang ibu Kristen yang
kehilangan buah hatinya sama dengan kepedihan ibu yang beragama lain. Rasa lapar
seorang Kristen sama'rasanva dengan rasa lapar orang yang bukan Kristen. Maka, tak
ada alasan untuk diskriminasi dalam penderitaan. Wac ana antropodisi perlu lebih
dikembangkan sebagai salah satu landasan teoritis membangun solidaritas warga
menuju Indonesia yang lebih baik.yutsrponmlkjigfedbaYVUTSRPONMLJIGEDA
Daftar Referensi
Langit suci: dgama sebagai realitas sosial. Terj. Hartono. Jakarta:
• Berger, P.L. (1991).ywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA
LP3ES.
• Camus, A. (1985). Sampar. Terj. Nh. Dini. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
• De Schrijver, G. (1990). From theodicy to anthropodicy: The- contemporary
acceptance of nietzsche and the problem of suffering. Dalam
F. Collins (Eds.), God and Human
Jan Lambrecht and RaymondronlidYVUTPONLIFECA
Suffering (h. 95-119). Louvain: Peeters.
• Karman, Y. (6 Januari 2005). Antropodisi. Harian Kompas.
• Karman, Y. (17 April 2003). Tuhan berpihak pada kotban. Harian Kompas.
• Kushner, H.S. (1981). When bad things happen to goodlJeople. London: Pan.
• Kushner, H.S. (1989). When children ask about God: a guide for parents who don't
always have all the answers. New York: Schocken.
• Leibniz, G.w. (1966). Theodicy. Indianapolis: Bobbs-Merrill.
• Lewis, C. S. (1962). The problem of pain. New York: Macmillan.
• Plantinga, T (1982). Learning to live with evil. Grand Rapids: Eerdmans.
• Sontag, F. (1981). Anthropodicy and the return of God. Dalam Stephen T Davis
(Ed.) , Encountering evil: live options in theodicy (h. 137 -151) . Atlanta:
John Knox.
• Vanauken, S. (1977). A severe mercy. New York: Bantam.
• Voltaire. (1989). Candide. Terj. I. S. Husen. Jakarta: Pustaka Jaya.urolkgaWVUTPNME
PENVNTUNVol. 11, No. 23, 2010------------
13
Download