Jurnal Teologi dan GerejazyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVU ISSN: 0853~2672 MANUSIA DAN PENDERITAAN Vol. 11, No. 23, 2010ywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCB Antropodisi dan Problematik Teodisi Yonky Karman Ir..lIII'mUIIl . Salah Siapa, Ini Dosa Siapa? Tinjauan Teologis~biblis Berdasarkan Perjanjian Lama TjenuhQK 'KQh..-uuiaUTPNLE aiauurolkgaWVUTPNME Murka Tuhan di Tanah SafarironlidYVUTPONLIFECA Rencong? di Bawah Pemerintahan Pontius Pilatus, " Warga - Gereja Kristen Indonesia PENUNTUN -ronlidYVUTPONLIFECA IIAI~ArnrOL JURNAL TEOLOGI DAN GEREJA Diterbitkan dengan wawasan ekumenis untuk menjadi ajang penyemaian gagasan dan diskusi ilmiah eksperimental sekitar persoalan teologi dan gereja dalam hubungan dinamis dengan masyarakat, agama-agama, kebudayaan, filsafat, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, menuju kontekstualisasi teologi dan kemandirian gereja-gereja di Indonesia sebagai tanggapan pada pekerj aan Allah pada masa kini. Penerbit: Komisi Pengkajian Teologi (KPT) OKI Sinode Wilayah Jawa Barat Penasehat: Kuntadi Sumadikarya, Lazarus Purwanto, Robert Setio in-officio Pemimpin Umum: Ketua KPTywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA Pemimpin Redaksi: Stephen Suleeman Redaktur PeIaksanaIPenyunting: Beril Huliselan Wakil Redaktur Pelaksana: Jonatan Oswari Bendahara: E. Suzana Susanto Anggota: Rasid Rachman, J. Calvin Pindo, Yohanes B. Mulyono, Cordelia Gunawan, Timur Citra Sari, Sthira Budi Purwosuwito, Nathanael Setiadi Dalam setahun terbit dua kali, Februari dan Agustus Untuk pengiriman ke luar negeri, ditambah ongkos kirim Pembayaran melalui: - Bank BCA cabang Kepaduri - Jakarta, A.C. No. 127.6010205 a/no E. Suzana Susanto - Bank Permata cabang Tanjung Duren - Jakarta, A.C. No. 0639000494 a/no [urnal Penuntun - Atau melalui wesel pos ke alamat redaksi/penerbit: Komisi Pengkajian Teologi (KPT) GKI Sinode Wilayah Jawa Barat, J1.Tanjung Duren Raya No.4 Blok E Lt. 4, Jakarta 11470, Indonesia. Telepon (62-21) 5666961,5688635,5688636; Fax: (62-21) 5666957 Redaksi menerima tulisan ilmiah yang sesuai dengan tujuan penerbitan. Redaksi berhak menyunting, memperbaiki dan menyempurnakan naskah tulisan yang diterima. Naskah berbentuk tulisan minimal 15-25 halaman folio, ketik spasi rangkap; naskah sudah disertai dengan abstrak (maksimal100 kata) dan menggunakan APA Style Citations untuk penulisan referensi. Naskah ditulis dalam format MS. Word dan dikirim ke alamat redaksi atau melalui e-mail ke kpt [email protected]. Rekomendasi Departemen Agama RI No. Fl/HM.02.2/344!2422/1995 ISSN 0853-2672 JURNAL TEOLOGI DAN GEREJAzyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaYWV Vol. 11, No. 23, 2010 KOMISI PENGKAJIAN TEOLOGI GEREJA KRISTEN INDONESIA SW JAWA BARAT Badan Hukum Th. 1940 Stb. No.1 & 100/SK!Depag. R.I. No. 92 Tahun 1990 Jl. Tanjung Duren Raya No.4, Blok E Lantai IV _ Jakarta 11470 Telp.: (021) 5666961,5688635,5688636; Fax.: (021) 5666957 E-mail: [email protected]; Website: http://kptgkiswjabar.page.tl Daftar lsizyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA PengantarywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA • Antropodisi dan Problematik Teodisi Yonky KarmanronlidYVUTPONLIFECA • Penderitaan: Salah Siapa, Ini Dosa Siapa? Sebuah Tinjauan Teologis-biblis Berdasarkan Perjanjian Lama Anwar Tjen • Rahmat atau Murka Tuhan di Tanah Rencong? Miftah Safari • "... Yang Menderita Sengsara di Bawah Pemerintahan Pontius Pilatus, Disalibkan, Mati dan Dikuburkan" Peter L. Berger • Manusia Mempertanyakan M. Sastrapratedja, S.j. Dirinya • Gagasan Teologi Mengenai Manusia Dalam Praksis Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia Kuntadi Sumadikarya • Potret Manusia - Dalam Pergumulan Warga - Gereja Kristen Indonesia Sheph Davidy [onazh PENUNTUNurolkgaWVUTPNME Vol. 11, No. 23, 2010 1 15 35 49 65 83 93 iii Antropodisi dan Problematik TeodisizyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaYWV Yonky KarmanywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA Pengajar di SIT Jakarta, menyelesaikan studi doktoral (Ph.D.)dalam bidang Perjanjian Lama di Evangelische Theologische Faculteit, Leuven, Belgia. Abstrak Solidaritas dengan mereka yang menderita menjadi 'titik berangkat untuk memahami penderitaan dari pengalaman si penderita (manusia). Oleh karena itu, artikel ini memperlihatkan bagaimana teodisi (theodicy) tidak memadai dalam menjawab pergumulan manusia mengenai penderitaan, bahkan cenderung menjadi ideologi yang mendukung status quo. Sebagai jalan keluar, antropodisi yang berbasis solidaritas dipandang penulis memberi ruang yang lebih baik dalam menelusuri penderitaan sebagai persoalan sosial, sekaligus memperkuat kesetiakawanan sosial. There is only one question which really matters: why do bad things happen to good people. (Kushner, Mengapa kemalangan menyentuh menimpa orang baik? Sebuah pertanyaan hati. Ketika kita diperhadapkan banyak orang tak bersalah menderita dipertanyakan. Pertanyaan yang bertentangan (Kristen, dengan karena dengan fakta kemalangan Islam, dan Yahudi), pertanyaan Tuhan teologis yang paling bene ana yang menyebabkan dan tewas, keberadaan itu muneul 1981, h. 14) Tuhan atau kodrat-Nya diimani memiliki itu. Dalam agama-agama itu tak terelakkan sifat-sifat monoteisme sebab hanya satu yang absolut. PENUNTUNVol. 11, No. 23, 2010------------ --------------------------- YonkyKarman Teisme monoteistis didasari pada keyakinan bahwa dunia dijadikan oleh satu person yang mahakuasa dan mahabaik. Semua sifat-sifat Allah adalah absolut (tak terbatas). Itu sebabnya, pada sifat-sifat tersebut bisa ditambahkan superlatif "maha" dalam pengertian "yang paling" terhadap kebaikan, kekuasaan, kasih, pengetahuan, keadilan dan semua sifat positif Tuhan yang lain. Namun, justru di situ masalah teologisnya. Bila kebaikan dan kasih Tuhan berlaku secara absolut, secara teoritis tak ada tempat bagi kejahatan, kemalangan atau apa saja yang menyengsarakan manusia. Kejahatan dan berbagai kehancuran yang masih terjadi hingga hari bukan merupakan tanda-tanda dari berlakunya sifat-sifat Allah secara absolut. Tidak heran, Harold Kushner menyimpulkan bahwa Tuhan tak dapat melakukan segala sesuatu namun mampu melakukan beberapa perkara-perkara penting: Tuhan memang baik namun kebaikan-Nva terbatas karena kekuasaan-Nya juga terbatas (Kusher, 1981, h. 120,138). Kushner mempersoalkan kodrat Tuhan di depan fakta sebuah dunia yang jauh dari sempurna. Berangkat dari banyaknya hal yang menyengsarakan manusia dan menyebabkan penderitaan yang tidak adil, tak dapat disangkal kehadiran kekuatan-kekuatan destruktif di luar Tuhan yang ikut bermain di dalam dunia. Lalu, bagaimana meletakkan hubungan antara kekuatan-kekuatan kebaikan dan demonis itu? Dan, bagaimana juga meletakkan posisi manusia? Apakah manusia hanya menjadi objek pasif dalam pertarungan kuasa-kuasa kosmis? Orang Kristen biasanya mempertahankan kesempurnaan absolut sifat-sifat Tuhan dengan berlindung pada penjelasan doktrinal bahwa keadaan dunia yang jauh dari sempurna disebabkan dunia yang mulanya sempurna kemudian jatuh ke dalam dosa. Penjelasan itu malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih sulit lagi. Mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia yang tak dapat dikalahkan dosa? Apa perlunya Tuhan bereksperimen dalam menciptakan dunia? Mengapa Tuhan membiarkan dosa ada? Lalu, si penderita bertanya-tanya: "Dari sekian banyak orang, mengapa aku, ya Tuhan?" Apakah ini dunia yang adil? Apakah dunia sepenuhnya dalam kontrol Tuhan? Bila kemudian orang berlindung di balik keyakinan bahwa Allah berdaulat melakukan apa yang dipandangnya baik, harus diketahui juga bahwa penekanan pada kedaulatan Tuhan secara berlebihan menimbulkan ketidakjelasan temp at tanggungjawab moral manusia dalam keterlibatannya membuat orang lain sengsara atau dalam meringankan penderitaan orang lain. Orang yang menderita sering dihibur dengan menekankan misteri penderitaan, mengutip Roma 8:28 di luar konteks, "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia." Orang yang menderita diajak pasrah menerima kemalangannya dalam keyakinan bahwa Tuhan pasti memiliki rencana yang indah. 2ywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFE 11, No. 23, 2010ronlidYVUTPO ------------PENUNTUNVol.I L Antropodisidan Problematik Teodisi ------------------- Penderita diajak untuk sabar dengan harapan suatu hari segalanya akan menjadi jelas. Bila tidak jelas selama di dunia, semuanya ._-akan menjadi jelas di surga, sebab darironlidYVUT perspektif dunia ini "kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar" (lKor. 13:12). Dalam menekankan penderitaan sebagai sebuah misteri, penderitaan dianggap bermanfaat, mendidik, ada hikmahnya bagi yang bersangkutan atau/dan bagi orang lain. Namun, bila kemalangan menjadi prasyarat untuk menggenapi rencana Ilahi maka meniadakan atau memerangi kemalangan berarti secara potensial menggagalkan rencana Tuhan. Itulah problematika memandang Tuhan secara absolut. N amun, memandang yang sebaliknya tentu akan ditolak teologi konvensional yang berakar dalam monoteisme. Lalu, apakah duduk persoalannya adalah problem definisi dalam arti teisme-rnonoteistis perlu didefinisi ulang? Sebagai contoh, kemahakuasaan memang berarti Tuhan memiliki segala kuasa. Namun, dari inisiatif-Nya sendiri dan dalam jangka waktu tertentu, Tuhan telah melepas kontrol atas sebagian dunia ciptaan. Atau, Tuhan memang mahabaik namun Ia tidak harus mencegah kejahatan dan penderitaan dan membiarkannya terjadi. Dengan kata lain, melihat problem kejahatan di dunia bukan dengan mempertentangkannya secara absolut, seperti dalam proposisi-proposisi berikut: bila kejahatan ada berarti Tuhan tidak ada, bila kejahatan ada berarti Tuhan tidak mahakuasa/mahabaik. Dengan demikian, kita perlu mendudukkan persoalan secara lebih proporsional. Problemnya bukan mengapa ada kejahatan dan kemalangan, tetapi mengapa kejahatan dan kemalangan terlalu banyak seolah-olah dunia tak lagi di bawah kendali Tuhan yang baik dan berkuasa. Kalau begitu, perlu ada definisi ulang tentang keabsolutan Tuhan dalam berhadapan dengan kejahatan dan penderitaan yang berada di luar batas-batas akal sehat. Pada saat yang sama, itulah problematika penjelasan-penjelasan teologis konvensional yang berakar dalam monoteisme. Meski penjelasan-penjelasan teologis mengikutisalah satu kecenderungan kita untuk hidup dalam keyakinan- keyakinan yang pasti,fakta hidup berulang kali memberikan pelajaran yang sulit bahwa ada kalanya kita harus hidup dengan jawaban-jawaban yang kurang pasti atau bersifat mungkin. Untuk melihat problem penderitaan secara lebih utuh dan konstruktif, dibutuhkan cara pandang altematif yang tak lagi menekankan kodrat Tuhan secara absolut. Bila Tuhan berdiam diri pada saat kita membutuhkan penjelasan atas kemalangan yang terjadi dan bila penjelasan yang ada tak lagi memadai, tampaknya penderita sendiri harus secara kreatif mengonstruksikan penjelasan bagi dirinya. Bagi manusia yang menurut kodratnya adalah pemberi makna, wajarlah bila tragedi yang telah merubuhkan bangun sistem kevakinan-keyakinan pribadinya tetap dimaknai. Orang yang menderita bukan hanya objek kemalangan tetapi juga subyekurolkgaWV PENUNTUNVol.I 11, No. 23, 2010------------ 3 --------------------------- Yonkv KarmanronlidYVUT kemalangan, subyek yang menderita. Penderitaan yang tak dimaknai akan menjadi absurd. Dengan kata lain, dibutuhkan penjelasan teologis yang memberi wang gerak kepada orang yang sedang menderita agar ia tetap beriman. Tidak hanya beriman, tetapi juga beriman dengan bermartabat kendati proses destruktif menimbulkan kemalangan. *** Teologi dan filsafat menyediakan penjelasan-penjelasan sistematis tentang penderitaan yang tidak adil, yang biasa dikenal dengan istilah teodisi. Teodisi .merupakan upaya rasional untuk membela Tuhan dan menjaga citra-Nva yang absolut, kendati berbagai fenomena kejahatan, kejelekan, keburukan dan penderitaan berlangsung. Dari kata YunaniywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA theos ("Allah") dan dike ("keadilan"), gol teodisi adalah mengamankan posisi Tuhan dari berbagai tuduhan manusia. Kemalangan yang terjadi tak ada hubungannya dengan kebaikan, kebenaran atau keadilan Tuhan. Teodisi tak dapat dipisahkan dari filsuf Gottfried Wilhelm Leibniz (16461716). Dalam usia lanjutnya, ia menulis karya (1710) dengan judul yang sarna (Leibniz, 1966). Meski Leibniz adalah seorang Jerman dan berbahasa ibu yang sarna, karyanya itu ditulis dalam bahasa Perancis, theodicee (baca: teodise), dan diterbitkan di negeri yang sarna. Lafal teodisi mengikuti penulisan kata Inggris theodicy. Alasan Leibniz untuk menulisnya dalam bahasa Perancis adalah untuk menjangkau publik yang mengenal karya Pierre Bayle (1647-1706), Dictionnaire historique et critique (Leibniz, 1966). Pad a masa itu, karya Bayle merupakan salah satu buku yang paling banyak dimiliki. Bayle sendiri seorang Huguenot, kaum Protestan di Perancis. Dalam dua artikel "Manicheens" dan "Pauliciens" dari kamus sejarah itu, Bayle mengupas dualisme Manichean dan menilainya sebagai sebuah penjelasan yang paling gamblang dan masuk akal tentang kejahatan. Namun, ia sendiri menolak dualisme Manichean hanya karena wahyu Kristen. Dilihat dari caranya menulis artikel-artikel lain dalam kamus itu, tampaknya Bayle bermaksud menekankan bahwa rasio bertentangan dengan wahyu atau iman, juga rasio merniliki batas-batasnya sendiri. Menurut Leibniz, kita bisa membayangkan sebuah dunia yang tak sempurna dan ada kejahatan tanpa haws mempersalahkan Tuhan. Hal itu disebabkan Allah Pencipta yang berkuasa, yang bijaksana dan yang baik hanya bisa menyeleksi sebuah dunia terbaik dari semua kemungkinan dunia yang dapat dipikirkan (the best of all possible world). Tulisan ini tidak akan membahas pentingnya teodisi untuk mengurai problem penderitaan dan kemalangan. Pada tingkat tertentu, teodisi berhasil melepaskan keterkaitan antara Tuhan dan kejahatan. Namun, upaya itu juga tidak sepenuhnya berhasil. Alih-alih menjelaskan problem kejahatan, penjelasan- ------------PENUNTUNurolkgaWVUTPNME Vol.I 11, No. 23,2010 4uiaUTPNLE Antropodisi dan Problematik Teodisi ------------------- penjelasan rasional teodisi maupun asumsi-asumsinya terbukti bermasalah. Karena itu, dalam perkembangan selanjutnya dibutuhkan car a pandang alternatif untuk melihat problem kejahatan secara lebih ut'uh dan dari situ motivasi orang diperkuat untuk secara aktif memerangi kejahatan.ronlidYVUTPONLIFECA *** Voltaire (1694-1778) mengkritik optimisme dalam teodisi Leibniz dalamywvutsrqpon Candide (1759) (Voltaire, 1989). Sebagai seorang satirikus Perancis, sekaligus sejarawan dan filsuf, Voltaire adalah salah satu tokoh Pencerahan. Dalam hal ini, memang ada pendapat bahwa Voltaire tidak masuk ke dalam inti teodisi menurut Leibniz sebab tema sebuah dunia terbaik dari semua kemungkinan dunia yang dapat dipikirkan hanya sebuah argumen penjelasan yang relatif menempati porsi kecil dalam Theodicee (Leibniz, 1966, h. vii). Selain itu, disinyalir Voltaire mendasari kritiknya berdasarkan pemahamannya yang kurang mendalam atas ajaran Leibniz tentang teodisi dan mungkin kritik itu lebih tepat ditujukan kepada Christian Wolff (16791754) dan para pengikutnya. Wolff sendiri adalah filsuf Jerman pengikut Leibniz dan telah memodifikasi ajaran Leibniz (Leibniz, 1966, h. xvii-xviii). Kendati demikian, secara keseluruhan kritik Voltaire bukannya tak beralasan. Dalam Candide dituturkan, ketika gempa telah menghancurkan tiga perempat kota Lisabon, orang-orang bijak di kota itu tidak menemukan cara yang lebih tepat untuk menghindari kehancuran total, selain menyelenggarakan ritual auio-da-je yang megah. Dalam upacara keagamaan itu, keputusan Mahkamah Agama dibacakan di depan umum dan orang yang dinyatakan bersalah akan dibakar hidup-hidup. Sebagai korban bencana alam yang tak berwajah (natural evil), masyarakat tak dapat mengajukan protes kepada alam dan juga tak ada alasan untuk memprotes Tuhan yang diyakini selalu benar. Karena itu, harus ada anggota masyarakat yang dapat dijadikan kambing hitam, yang dipandang telah membuat Tuhan murka dan mengundang bencana. Dalam bencana di Lisabon, ada orang Basque yang mengawini ibu permandiannya. Ada dua orang Yahudi yang makan daging ayam dengan membuang lemak babi yang melekatnya. Ketiganya dibakar hidup-hidup. Doktor Pangloss, ahli filsafat yang berjiwa luhur, dinyatakan bersalah karena telah berbicara. Dan, Candide dinyatakan bersalah karena telah mendengarkannya dengan air muka setuju. Pangloss dihukum gantung, sedangkan Candide dihukum cambuk pada pantatnya. Pada hari eksekusi, bumi bergoncang kembali dengan bunyi yang mengerikan; dalam kejadiaan sesungguhnya memang adagempa bumi lagi pada tangga121 Desember 1755. Candide yang gemetar berlumuran darah terpana, takut dan bingung. Ia berkata dalam hati, PENUNTUN Vol. 11, No. 23, 2010------------ 5 --------------------------- YonkyKarmanronlidYVU "Jika ini yang disebut dunia terbaik di antara yang mungkin diciptakan, bagaimana keadaan dunia yang lain?" Candide tak begitu peduli dengan pantatnya yang dicambuk, sebab dulu ia pernah mengalaminya di Bulgaria. Tetapi, ia tak bisa memahami kematian Pangloss yang begitu tragis, digantung tanpa alasan yang jelas. Candide meratapi Jacques sahabatnya yang tenggelam di pelabuhan, orang yang menurutnya paling baik hati. Ia juga meratapi Cunegonde yang kecantikannya digambarkan seperti mutiara di antara putri-putri tercantik, sebab si cantik itu tewas dengan perut terkoyak. Adagium .bahwa Tuhan yang mahabaik menciptakan sebuah dunia yang terbaik di antara yang mungkin diciptakan tak dapat bertahan di hadapan fakta gamblang bumi yang porak poranda dan kematian orang-orang yang tak bersalah. *** Dalam noveluiaUTPNLE LaywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA Peste (1947), Camus mengkritik teodisi namun dalam bentuk ateisme (Camus, 1895). Alkisah, sekitar 200 ribu orang di Oran, salah satu pelabuhan utama di Afrika Utara, terperangkap wabah sampar. Kota yang tadinya ramai kini berubah menjadi seperti kota mati. Orang-orang dicekam ketakutan, berubah menjadi egoistis, memberontak melawan nasib buruk dan merasa putus asa. Semua orang menderita karena terancam sampar dan terpisah dari kekasih jiwa. Kota itu terisolasi. Orang yang ada di dalam tidak boleh keluar dan orang dari luar tidak boleh masuk. [ika memaksa masuk, orang tak diperkenankan keluar lagi. Itu semua demi melokalisasi wabah agar tak menyebar ke kota lain. Dalam keadaan itu, Dokter Bernard Rieux bekerja keras tanpa lelah menyelamatkan warga Oran korban sampar. Sementara itu, Romo Paneloux berkhotbah bahwa mereka memang layak mendapat hukuman dari Tuhan (Camus, 1895, h. 80-84). Tuhan yang selama ini menyayangi warga Oran kini kecewa, memalingkan wajah-Nya dari mereka dan tak ada lagi sinar rahmat yang menerangi wajah mereka. Wabah itu harus disikapi dengan merenung. Orang yang berbuat jahat harus meninggalkan kejahatannya. Sedikit banyak wabah sampar itu mendatangkan kebaikan sebab orang dipaksa merenung ulang kehidupan yang telah dijalaninya. Dan, satu-satunya sikap yang tepat bagi orang beriman adalah mengasihi Tuhan, mengasihi nasib buruk yang sedang menimpa mereka. Dengan begitu, mudah-rnudahan Tuhan meninjau ulang apa yang sedang dilakukan-Nya lewat sampar; demikian isi khotbah Paneloux. Dalam dialog dengan Rieux, Paneloux berusaha memberi penjelasan bahwa wabah itu terjadi seizin Allah tanpa kita mampu mengertinya (Camus, 1895, h. 186187). Manusia hanya bisa introspeksi dan pasrah, mencintai apa yang tidak dapat 6 ------------PENUNTUNVol.I 11, No. 23, 2010 Antropodisi dan Problematik Teodisi ------------------- dimengerti termasuk nasib buruk yang menyiksa anak-anak tak berdosa. Orientasi Paneloux adalah keselamatan jiwa. Namun, Rieux menolak untuk mencintai nasib buruk. Ia membenci penyakit dan kematian. Mengomentari khotbah Paneloux, Rieux setuju bahwa ada beberapa orang menjadi lebih baik dan lebih arif karena penyakit yang pernah dideritanya. Tetapi, melihat kesengsaraan dan kesakitan yang ditimbulkan sampar, hanya orang buta atau pengecut saja yang pasrah kepada wabah itu (Camus, 1895, h. 109-110). Sang dokter berpendapat demikian bukan karena ketidakpercavaan pada Tuhan telah memisahkannya dari sang rohaniwan, tetapi karena Paneloux telah bersikap layaknya seorang ilmuwan teoritis yang berbicara atas nama kebenaran tanpa menyaksikan sendiri orang yang sekarat. Rieux yakin, rohaniwan des a yang mengurus jemaatnya dan mendengar nafas mereka yang sedang sekarat akan berpikir seperti yang ia pikirkan, yakni mengatasi penderitaan sebelum menunjukkan keunggulan penderitaan tersebut. Selanjutnya Rieux mengaku, ia memerangi sampar habishabisan karena ketidakpercayaannya kepada Tuhan yang mahakuasa. Seandainya ia percaya kepada Tuhan, ia sudah berhenti mengobati orang-orang dan membiarkan Tuhan mengerjakannya. Penolakan Rieux mewakili sikap ekstrem dalam ateisme (grand narratives), dalam hal ini modern yang sinis terhadap narasi-narasi besarywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCB teodisi adalah sebuah contoh. Agamawan sering terjebak sebagai penjaga ortodoksi yang terperangkap dalam keberagamaan either-or, iman dan humanisme bertolak belakang. Seolah-olah orang beriman tak bisa menjadr humanis dan humanis tak bisa menjadi orang beriman.ronlidYVUTPONLIFECA *** Teodisi secara tidak langsung membenarkan gambaran tentang Allah yang masokhis dan sadis. Dalam kerangka Weberian, sosiolog Peter Berger melihat teodisi pada tahap pra-teoritis berakar pada masokhisme (Berger, 1991, h. 64-97). Dalam agama yang menekankan pengingkaran diri secara radikal, tak dapat dihindari aspek irasional dalam penyerahan diri. Orang dituntut untuk merendahkan diri dalam kemalangan dan penderitaannya, menjadi objek bisu yang mirip benda mati saat berhadapan dengan Tuhan yang dibayangkan dengan sifat-sifat-Nya yang absolut. Orang beriman yang menderita memandang dirinya bukan apa-apa saat berhadapan dengan Tuhan sebagai segala-galanya. Dalam teodisi, orang beriman menransformasi diri menjadi tiada dan membayangkan Tuhan sebagai realitas yang mendominasi seluruh eksistensinya. Itulah upaya menransendensikan penderitaan lewat penyerahan diri yang masokhistis dan nyaris bisa dibayangkan Tuhan yang sadis. Penderitaan dimaknai sebagai jalan untuk lebih dekat dengan Tuhan. Penderitaan dinikmati, PENUNTUNVol.I II, No. 23, 2010------------ 7 Antropodisi dan Problematik Teodisi ------------------- dimengerti termasuk nasib buruk yang menyiksa anak-anak tak berdosa. Orientasi Paneloux adalah keselamatan jiwa. Namun, Rieux menolak untuk mencintai nasib buruk. Ia membenci penyakit dan kem~tian. Mengomentari khotbah Paneloux, Rieux setuju bahwa ada beberapa orang menjadi lebih baik dan lebih arif karena penyakit yang pernah dideritanya. Tetapi, melihat kesengsaraan dan kesakitan yang ditimbulkan sampar, hanya orang buta atau pengecut saja yang pasrah kepada wabah itu (Camus, 1895, h. 109~110). Sang dokter berpendapat demikian bukan karena ketidakpercayaan pada Tuhan telah memisahkannya dari sang rohaniwan, tetapi karena Paneloux telah bersikap layaknya seorang ilmuwan teoritis yang berbicara atas nama kebenaran tanpa menyaksikan sendiri orang yang sekarat. Rieux yakin, rohaniwan des a yang mengurus jemaatnya dan mendengar nafas mereka yang sedang sekarat akan berpikir seperti yang ia pikirkan, yakni mengatasi penderitaan sebelum menunjukkan keunggulan penderitaan tersebut. Selanjutnya Rieux mengaku, ia memerangi sampar habishabisan karena ketidakpercayaannya kepada Tuhan yang mahakuasa. Seandainya ia percaya kepada Tuhan, ia sudah berhenti mengobati orang-orang dan membiarkan Tuhan mengerjakannya. Penolakan Rieux mewakili sikap ekstrem dalam ateisme modern yang sinis terhadap narasi-narasi besarywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGF (grand narratives), dalam hal ini teodisi adalah sebuah contoh. Agamawan sering terjebak sebagai penjaga ortodoksi yang terperangkap dalam keberagamaan euliet-ot, iman dan humanisme bertolak belakang. Seolah-olah orang beriman tak bisa menjadi humanis dan humanis tak bisa menjadi orang beriman.ronlidYVUTPONLIFECA *** Teodisi secara tidak langsung membenarkan gambaran tentang Allah yang masokhis dan sadis. Dalam kerangka Weberian, sosiolog Peter Berger melihat teodisi pada tahap pra-teoritis berakar pada masokhisme (Berger, 1991, h. 64~97). Dalam agama yang menekankan pengingkaran diri secara radikal, tak dapat dihindari aspek irasional dalam penyerahan diri. Orang dituntut untuk merendahkan diri dalam kemalangan dan penderitaannya, menjadi objek bisu yang mirip benda mati saat berhadapan dengan Tuhan yang dibayangkan dengan sifat-sifat-Nya yang absolut. Orang beriman yang menderita memandang dirinya bukan apa-apa saat berhadapan dengan Tuhan sebagai segala-galanya. Dalam teodisi, orang beriman menransformasi diri menjadi tiada dan rnembayangkan Tuhan sebagai realitas yang mendominasi seluruh eksistensinya. Itulah upaya menransendensikan penderitaan lewat penyerahan diri yang masokhistis dan nyaris bisa dibayangkan Tuhan yang sadis. Penderitaan dimaknai sebagai jalan untuk lebih dekat dengan Tuhan. Penderitaan dinikmati, PENUNTUNVol. 11, No. 23, 2010------------ 7 --------------------------- YonkyKarman sebelum diketahui dengan jelas apakah betul Tuhan bermaksud demikian. Kejahatan yang sebenarnya buruk mengalami sublimasiywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA (aufgehoben) sehingga .~eburukan yang ada diluhurkan dan dibenarkan atas nama iman. Gambaran tentang Tuhan yang negatif seperti di atas merupakan ekses penekanan pada kodrat absolut Tuhan. Wacana tentang kodrat Tuhan berlaku dalam wacana teologis, namun tak berlaku dalam pengalaman keseharian. Yang masuk dalam pengalaman manusia bukan Allah begitu saja melainkan, lebih tepat, Allah dalam tindakan-Nya (God in action). Maka, Kushner lebih suka memakai terminologi . "predicate theology" (Kushner, 1989, h. xiv-xv). Dalam pemyataan-pemyataan teologis dibedakan antara subyek dan predikat. Ketika dinyatakan Allah itu kasih, Allah itu kebenaran, atau Allah itu pengampun, isi pernvataan-pernvataan tersebut lebih sebagai kualitas dan pengalaman yang kita anggap saleh; bukan pernvataanpernyataan tentang Allah yang tak dapat dipelajari dalam dirinya sendiri. Dalam keadaan-Nya yang tak terbatas, Tuhan adalah misteri bagi manusia yang terbatas. Lewat pemvataan-pernvataan teologis tersebut, orang hanya belajar mengenali Allah yang masuk ke dalam pengalaman hidup. Dengan kata lain, fokus dalam berteologi seharusnya bukan subyek proposisi teologis, yakni Allah, tetapi lebih realistis adalah predikat proposisi, seperti kasih, kebenaran dan pengampunan. Teologi predikat mengakui eksistensi Tuhan dalam realitas-Nva yang tak kelihatan dan tidak sama dengan realitas benda-benda konkret yang kelihatan. Penganut teologi itu memandang lebih realistis menggambarkan Allah yang berkarya daripada menggambarkan Allah secara positif dalam teologi afirmatif Dalam kehidupan sehari-hari, memang lebih mudah menggambarkan orang-orang dalam aktivitas yang dimotivasi kehadiran Allah, seperti orang yang berdoa, orang yang menolong orang lain atau orang yang berani bersaksi. Demikian juga, orang dapat membayangkan Allah secara lebih konkret ketika ia mengalami kesembuhan, dihibur, dikuatkan, menjadi lebih baik, menjadi lebih berhikmat dan bertumbuh.ronlidYVUTPONLIFECA *** Kekurangan lain teodisi adalah orang yang menderita mudah diposisikan sebagai pihak yang bermasalah. Allah dicitrakan sebagai pribadi yang selalu oke, sedangkan manusia tidak oke. Dengan membela Tuhan, teodisi secara tak langsung menempatkan manusia sebagai pihak yang tidak oke. Manusia dicitrakan sebagai pribadi yang rentan berbuat salah dan karenanya juga pantas menerima kemalangan. Maka, dalam penderitaan, yang pertama-tama harus dilakukan adalah introspeksi sebab kemungkinan besar penderitaan itu terkait hukuman Tuhan. Bila penderitaan tak terkait hukuman Tuhan, orang juga perlu lebih beriman 8 ------------PENUNTUNVol. 11, No. 23, 2010 Antropodisi dan Problematik Teodisi ------------------- dan tabah sebab pasti Allah mengizinkan kemalangan itu akhirnya demi kebaikan manusia. Allah tahu yang terbaik bagi m~31usia. Dengan begitu, teodisi memberi penjelasan yang membebaskan Tuhan dari tuntutan manusia agar bertanggungjawab atas kemalangan yang terjadi. Dalam teodisi tak ada tempat bagi manusia untuk mempersoalkan Tuhan ihwal penderitaan yang sedang dialaminya. Tuhan selalu tak dapat dipersoalkan; bukan manusia yang mempersoalkan Tuhan, tetapi Tuhanlah yang mempersoalkan manusia. Dalam pemahaman teodisi, para sahabat Ayub berupaya meyakinkan Ayub bahwa ia pasti sudah berdosa dan karenanya layak mengaku dosa serta bertobat. Namun, Ayub tak berhasil diyakinkan. Pembaca Kitab Ayub tahu bahwa persoalannya bukan Ayub tidak mau bertobat, tetapi ia tak tahu harus bertobat dari apa. Selain itu, penderitaan Ayub di luar jangkauan teodisi dan bagi Ayub itu merupakan sebuah misteri. Itu sebabnya, sekalipun ia memrotes Tuhan dan akhirnya menyesal dengan protesnya itu, Ayub di mata Tuhan tidak salah dalam perkataannya (Ayub 42:68). Malah, Tuhan marah kepada ketiga teman Ayub yang gencar membela Tuhan. Selain itu, di dalam rnazmur-mazmur ratapan juga ada nada protes dari pemazmur yang menderita. Tuhan membiarkan bahasa ratapan tetap tinggal dalam Alkitab, sekaligus menyatakan keberpihakan dan simpati Tuhan pad a korban kemalangan. Penderitaan harus juga dipahami dari perspektif manusia (Karman, 2005). Perlu ada pembenaran doktrinal bagi penderita untuk mengungkapkan ketidakmengertiannya saat menderita, kecewa, putus asa atau marah pada Tuhan. N amun, teodisi tak mengembangkan citra diri positif orang yang menderita. Bahkan, penderita bisa kehilangan motivasi untuk bangkit sebab kemalangan dihayati sebagai bagian dari ketentuan Tuhan (kadang-kadang dipahami juga sebagai takdir): sesuatu yang tidak boleh dilawan. Agama tidak merekomendasi manusia untuk melawan (ketentuan) Tuhan. Dalam perasaan bahwa memang sudah begitu nasibnya, teodisi turut ambil bagian dalam melemahkan daya dan inisiatif penderita untuk bangkit memperbaiki kondisi buruknya. Padahal, kunci untuk mengatasi penderitaan dan memanfaatkan penderitaan sebagai sebuah kesempatan untuk bangkit dari tekanan penderitaan adalah orang tetap berpikir positif tentang dirinya (Kushner, 1989, xvii). Sesudah ia diterjang badai kemalangan yang mencampakkannya dan membuatnya seperti tak berharga lagi, ia tetap memiliki kekuatan untuk memungut dirinya yang tercampak, bangkit dari keterpurukan dan melanjutkan perjalanan hidupnya. Daripada menyesali nasib atau mengasihani diri, orang merajut kembali kehidupannya demi hari esok yang lebih baik.ronlidYVUTPONLIFECA ***ywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRP PENVNTUN Vol. 11, No. 23, 2010------------ 9 --------------------------- YonkyKarman Teodisi sering dipakai untuk membuat penderita bungkam dan tak mempersoalkan penderitaannya. Ia dianjurkan menerima saja nast~nya yang jelek tanpa banyak tanya. Alasan teologis yang sering dikemukakan adalah pikiran manusia tidak sama dengan pikiran Tuhan dan hikmat Tuhan terlalu tinggi di luar jangkauan pikiran manusia (bnd. Yes. 55:8-9). Alasan teologis lain, manusia begitu berdosanyaywvutsrqpon (total depravity) hingga penderitaan yang di matanya tidak baik, bisa saja itu justru baik di mata Tuhan. Di sini tampak sebuah inkonsistensi. Menekankan keberdosaan manusia .dengan cara yang ekstrem, sehingga manusia tak dapat mengetahui sedikit pun tentang apa yang baik atau buruk di mata Tuhan, justru sebuah kontradiksi. Bila Tuhan begitu berbeda dari kita, termasuk dalam nilai-nilai baik dan jahat, itu berarti apa yang tak baik di mata manusia bisa baik di mata Tuhan dan apa yang baik di mata manusia bisa tak baik di mata Tuhan. Bila nilai-nilai moral Tuhan begitu berbeda dari manusia sehingga yang dipandang hitam di mata manusia bisa putih di mata Tuhan atau sebaliknya maka kosonglah makna proposisi "Tuhan baik." Proposisi itu tak ada isinya sebab "baik" yang kita mengerti dalam kenyataannya bisa "tidak baik". "Tuhan baik" dan "Tuhan tidak baik" menjadi proposisi-proposisi yang artinya kosong. Hal itu bisa terjadi sebab kebaikan Tuhan berbeda total dari yang dapat kita bayangkan, sehingga kata "baik" yang berasal dari dunia manusia sama sekali tak dapat menggambarkan kebaikan Tuhan. Tentu pada gilirannya, tak dapat mengatakan dan mengetahui sesuatu tentang Tuhan adalah agnostisisme. Dan, tak ada tempat bagi agnostisme di dalam Alkitab. [adi, menekankan Tuhan yang jalan-Nya sama sekali tak dapat dimengerti manusia, alih-alih membela Tuhan, pembelaan itu sesungguhnya tidak Alkitabiah. Konsekuensi logis yang lebih fatal lagi adalah menyembah Tuhan yang kualitas-Nya sama sekali tak dapat dibayangkan, Tuhan yang tak dikenal. Lalu, bagaimana orang dapat menyembah Tuhan yang tak dikenalnya? Dasar moral untuk mengasihi dan menaati Tuhan adalah fakta bahwa Ia adalah baik. Namun bila Tuhan yang baik itu bisa berbeda baiknya hingga bertentangan dari arti baik yang kita tahu, maka hilang juga dasar moral untuk mengasihi dan menaati Tuhan demikian. Dengan menekankan keberdosaan manusia begitu ekstrem, apa yang diklaim manusia sebagai Allah yang baik sebenarnya sama sekali tidak jelas. Bila Yang Ilahi sama sekali tidak jelas, secara logika setan pun bisa disembah sebagai Tuhan. ltu sebabnyam,ronlidYVUTPONLIFECA C. S. Lewis mengritik konsep keberdosaan: "The doctrine of Total Depravity - when the consequence is drawn that, since we are totally depraved, our idea of good is worth simply nothing - may thus turn Christianity into a form of devil-worship" (Lewis, 1962, 25). Tentu saja, pikiran Tuhan bukan pikiran kita 10 ------------PENUNTUN Vol. 11, No. 23, 2010 Antropodisidan Problematik Teodisi ------------------mengingat keterbatasan kita sebagai manusia, bisa saja kita salah berpikir tentang Tuhan. Namun juga tidak betul bahwa dalam adanya Tuhan sama sekali tak ada korelasinya dengan apa yang dapat kita pikirkan, Kita dapat menyembah Tuhan "dalam kebenaran" (Yoh.4:24).ronlidYVUTPONLIFECA *** Untuk meniadakan gambaran Tuhan yang masokhistis dan sadis, Frederick Sontag mengusulkan wacana antropodisi sebagai pengganti teodisi untuk membuat wacana tentang Tuhan bermakna (Sontag, 1982, 137-151). Menurutnya, sumber ateisme modern yang terbesar adalah teodisi yang tak cukup mempertimbangkan fakta penderitaan yang tidak adil. Dalam teodisi, penderitaan selalu dibicarakan dari perspektif Allah, sementara orang modern hidup dalam atmosfir skeptisisme, agnostisisme, ateisme, bahkan dalam paradigma Allah-telah-rnati. Kemalangan yang berangkat dari wacana tentang Tuhan tidak menarik bagi orang modern dan menutup jalan bagi diskusi mengenai penderitaan. Karena itu, kemalangan sebaiknya dibicarakan sernata-mata dari kondisi manusia dan manusia juga yang harus mencari solusinya untuk memerangi kemalangan. Sebagai terminologi filosofis, antropodisi jarang didengar dan sejauh pengamatan yang ada belum masuk ke dalam kamus teologi. Namun, gagasannya sudah lama ada. Para filsuf sudah lama menyadari inkonsistensi dan kekurangan teodisi secara inheren. Teodisi mengabaikan aspek-aspek , individual maupun sosial dari penderitaan, aspek-aspek yang sebenarnya perlu dilihat bila orang mau berjuang melawan penderitaan. Akibatnya, kurang cara memandang problem penderitaan secara lebih manusiawi. Martabat manusia yang tergilas kemalangan kurang diperhitungkan. Orang kurang peka dengan penderitaan, kurang juga toler ansi ketika mendapati orang memberontak melawan kemalangan dan ketidakadilan. Manusia hanya dilihat korban kemalangan. Bahasa teodisi cocok bagi pembela Tuhan, pembela ortodoksi atau pembela pemikiran keagamaan tradisional. Kendati bisa dipersoalkan apakah Tuhan membutuhkan manusia sebagai pembela-Nya? Yang jelas, bahasa teodisi tak menyentuh hati orang yang putus asa karena penderitaan. Bahasa itu tak berpihak pada orang yang sedang menderita. Teodisi bisa meyakinkan logika rasio, tetapi tidak logikahati. Pascal (1623-1662) menegaskan, hati mempunyai logika yang berbeda dari logika rasio. Selain itu, bahasa teodisi cenderung memberi legitimasi bagi penderitaan dan tak bersimpati pada orang yang menderita. Oleh akrena itu, tidak jarang teodisi diperalatywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA status quo untuk melegitimasi ketimpangan sosial. Padahal, Tuhan berpihak pada korban-korban kekerasan (Karman, 2003).urolkgaWVUTPNME PENUNTUNVol.yutsrponmlkjigfedbaYVUTSRPONMLJIGEDA 11, No. 23, 2010------------ 11 --------------------------- Yonky Karman Bila teodisi mewakili bahasa nalar, antropodisi hati lebih dibutuhkan korban kemalangan untuk mewakili bahasa hati. Bahasa mengekspresikan kepedihannya dengan lebih leluasa (De Sehrijver, 1990, 95 -119. Sekilas mengekspresikan dengan sikap memberontak konvensional. dijelaskan, Akan tetapi, melainkan penderitaan atau memrotes penderitaan disuarakan Seharusnya, untuk iman hidup dan makna eksistensi dibutuhkan Kemudian dari puing-puing bermakna ruang memberi guna dan memakai bagi di dalam mengejek hidupnya, untuk hidup membutuhkan dalam keleluasaan boleh mengembara yang kontradiksi beriman bagaimana mereka dunia teodisi untuk hid up. orang jalan 1997). Penderita seeara kreatif di mana pikiran oasis-oasis untuk orang yang mengalami dengan absurditas memberi pada masa sulit (Vanauken, menciptakan bukan hidup dengan trauma. Dalam penderitaan berhadapan juga absurditas berfantasi Apalagi, yang panjang adalah bagaimana merepresi gejolak batin penderita anugerah pertama-tama dibela. Bagi korban musibah yang berhasil hidupywvutsrqpon . hal itu, orang sering kurang peka dengan mempersoalkan subversif bagi keberagamaan memang dan diperangi. yang tidak adillayaklah (survivor), penderitaan kedengaran kepedihan tampak realitas orang membangun absurd. hidup untuk Ironisasi dengan kembali iman. dunianya alas an untuk hid up.ronlidYVUTPONLIFECA dan menemukan *** Indonesia adalah Banjir di mana-mana sepanjang tahun, negeri beneana. Indonesia Pada musim banyak alam tak perlu terjadi, menyatakan orang lain. Keganasan untuk menghadapi keberpihakan Untuk bangkit dari kehaneuran meneoba seandainya eksistensial alam membuat bila penderita menempatkan kebersamaan apologetika, namun daripada tak mampu dan dicegah. sebagai korban tidak sendirian, (Plantinga, kemalangan. dibutuhkan simpati manusia Teodisi itu akan ada orang lain yang menggalang dibutuhkan kemalangan porak- 1982, h. 86-94). lebih mampu teodisi. melihat Padahal, eksistensi manusia. Absurditas antropodisi waeana tak pernah itu. bisa diantisipasi karena kemalangan diri dalam posisi mereka waeana pemerintah dunia huni yang berwajah tahu bahwa mereka Sebagai demikian, dan ada kekeringan. beneana-beneana pada manusia poranda menjadi tak berwajah dan melumat berkurang kemarau didera bene ana alamo Namun, masyarakat beneana ,/ pad a musim hujan, termasuk banjir bandang dan longsor. Praktis memberdayakan Antropodisi yang dan solidaritas dalam penderitaan tataran sebagai sebuah problem sosial. Untuk itu, dibutuhkan antropodisi sosial. Dalam konteks banyak rakyat Indonesia yang masih terjebak dalam sentimen- sentimen 12 primordial kesukuan atau keagamaan, mungkin sebagai justifikasi praksis antropodisi lebih berguna ------------PENUNTUNVol.yutsrponmlkjigfedbaYVUTSRPONMLJI 11, No. 23,uhQK 2010 Antropodisi dan Problematik Teodisi ------------------ dalam membangkitkan kesetiakawanan. Kepedihan seorang ibu Kristen yang kehilangan buah hatinya sama dengan kepedihan ibu yang beragama lain. Rasa lapar seorang Kristen sama'rasanva dengan rasa lapar orang yang bukan Kristen. Maka, tak ada alasan untuk diskriminasi dalam penderitaan. Wac ana antropodisi perlu lebih dikembangkan sebagai salah satu landasan teoritis membangun solidaritas warga menuju Indonesia yang lebih baik.yutsrponmlkjigfedbaYVUTSRPONMLJIGEDA Daftar Referensi Langit suci: dgama sebagai realitas sosial. Terj. Hartono. Jakarta: • Berger, P.L. (1991).ywvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPNMLKJIHGFEDCBA LP3ES. • Camus, A. (1985). Sampar. Terj. Nh. Dini. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. • De Schrijver, G. (1990). From theodicy to anthropodicy: The- contemporary acceptance of nietzsche and the problem of suffering. Dalam F. Collins (Eds.), God and Human Jan Lambrecht and RaymondronlidYVUTPONLIFECA Suffering (h. 95-119). Louvain: Peeters. • Karman, Y. (6 Januari 2005). Antropodisi. Harian Kompas. • Karman, Y. (17 April 2003). Tuhan berpihak pada kotban. Harian Kompas. • Kushner, H.S. (1981). When bad things happen to goodlJeople. London: Pan. • Kushner, H.S. (1989). When children ask about God: a guide for parents who don't always have all the answers. New York: Schocken. • Leibniz, G.w. (1966). Theodicy. Indianapolis: Bobbs-Merrill. • Lewis, C. S. (1962). The problem of pain. New York: Macmillan. • Plantinga, T (1982). Learning to live with evil. Grand Rapids: Eerdmans. • Sontag, F. (1981). Anthropodicy and the return of God. Dalam Stephen T Davis (Ed.) , Encountering evil: live options in theodicy (h. 137 -151) . Atlanta: John Knox. • Vanauken, S. (1977). A severe mercy. New York: Bantam. • Voltaire. (1989). Candide. Terj. I. S. Husen. Jakarta: Pustaka Jaya.urolkgaWVUTPNME PENVNTUNVol. 11, No. 23, 2010------------ 13