Laporan Studi Pustaka (KPM403) STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DAN PENGARUHNYA TERHADAP SOSIAL-EKONOMI NELAYAN Oleh Luki Setyawan I34110007 Dosen Dr Arif Satria, SP MSi DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Strategi Pengembangan Ekowisata dan Pengaruhnya terhadap Sosial-Ekonomi Nelayan” adalah benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis dan atau diterbitkan oleh pihak manapun kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Januari 2015 Luki Setyawan NIM. I34110007 iii ABSTRAK LUKI SETYAWAN. Strategi Pengembangan Ekowisata dan Pengaruhnya terhadap Sosial-Ekonomi Nelayan. Dibawah bimbingan ARIF SATRIA. Konsep ekowisata muncul sebagai bentuk baru dari pariwisata. Ekowisata perairan merupakan jenis wisata berbasis alam yang lebih memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan menjaga perekonomian masyarakat lokal. Semua pihak punya hak untuk mengakses karena berbasis sumber daya alam, kepemilikannya bersifat terbuka. Pada umumnya, pihak pengelola sebagai pemegang otoritas pengembangan ekowisata akan berhadapan dengan kepentingan masyarakat lokal, terutama dalam hal akses sumber daya. Nelayan merupakan bagian dari masyarakat lokal yang terkena dampak paling besar dari kegiatan ekowisata perairan. Kegiatan ekowisata dapat merugikan ataupun menguntungkan nelayan. Penetapan zonasi yang tidak partisipatif dapat menyebabkan nelayan tergusur secara geografis. Hal ini selanjutnya akan mengurangi hak akses nelayan terhadap sumberdaya. Disisi lain, kegiatan ekowisata menciptakan peluang kerja baru serta tambahan pendapatan dari sektor non-kelautan. Akan tetapi, peluang kerja baru bagi nelayan dapat menjadi potensi konflik horizontal sesama nelayan. Kata Kunci: pengembangan ekowisata, hak kepemilikan, struktur kelas nelayan, sosialekonomi nelayan. ABSTRACT LUKI SETYAWAN. Strategy of ecotourism development and its impacts to fisher’s social-economy. Supervised by ARIF SATRIA. The concept of ecotourism appears as a new form of tourism. The marine ecotourism is type of tourism based natural modal that more focus to the sustainability of the environment and keep the economy of the local community. All parties have the right to access because it is based on natural resources so the ownership is not clear. In general, the management as holders of ecotourism development authority will oppsite with the interests of the local community , especially in terms of access to resources. Fisher is part of the local community that most affected by the activities of marine ecotourism. Ecotourism activities can be either harmful or profitable to fisher. The nonparticipating zoning will lead fisher excluded geographically. This case will decrease the resources access-right of fisher. On the other hand, ecotourism activities create new job opportunities as well as additional income from non-coastal sector. Nevertheless, the new job opportunities for fisher can be a potential-conflict horizontally between fishers. Keyword: ecotourism development, property-right, the structure of class fisher, fisher’s social-economy. iv STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DAN PENGARUHNYA TERHADAP SOSIAL-EKONOMI NELAYAN Oleh: LUKI SETYAWAN I34110007 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 v LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa Nomor Pokok Judul : Luki Setyawan : I34110007 : Strategi Pengembangan Ekowisata dan Pengaruhnya Sosial-Ekonomi Nelayan. dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr Arif Satria, SP MSi NIP. 19710917 199702 1 003 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Dr Ir Siti Amanah, MSc NIP. 19670903 199212 2 001 Tanggal Pengesahan : vi PRAKATA Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai penulis dengan kasih setia serta berkat-Nya sehingga laporan Studi Pustaka yang berjudul “Strategi Pengembangan Ekowisata dan Pengaruhnya terhadap Sosial-Ekonomi Nelayan” dapat terselesaikan dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama penulisan laporan Studi Pustaka, penulis menyadari bahwa karya ini dapat terselesaikan berkat bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua, Ayahanda Sulasno dan Ibunda Sulikah yang dengan segenap hati selalu berdoa, mendukung penulis dengan kasih dan cinta. Dr. Arif Satria, SP, Msi, selaku dosen pembimbing yang selalu mendukung penulis, baik berupa masukan, saran, kritik, maupun motivasi selama penulisan laporan Studi Pustaka. Keluarga Besar Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) angkatan 48 yang dengan segala keberagaman karakternya menerima penulis menjadi bagian dalam keluarga, sahabat, rekan, dan semua pihak yang telah mendukung penulis baik dalam doa maupun dukungan semangat. Penulis menyadari bahwa dalam karya ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga, karya ini menjadi inspirasi bagi penulis-penulis selanjutnya. Bogor, Januari 2015 Luki Setyawan NIM. I34110007 vii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.......................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... viii PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1 Latar Belakang................................................................................................................ 1 Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 2 Metode Penulisan ........................................................................................................... 2 RINGKASAN PUSTAKA ............................................................................................... 3 Contractual Solution to the Tragedy of Property Right in Coastal Fisheries ................ 3 Strategi Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua ... 5 Strategi Pengembangan Ekowisata di Pantai Pangandaran Kabupaten Ciamis Pasca Tsunami .......................................................................................................................... 7 Perilaku Nelayan dalam Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Pantai Lovina, Buleleng, Bali ............................................................................................................... 10 Strategi Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Ekologis ............................................ 13 Membangun Model Pengelolaan Sumber daya Perikanan Berkelanjutan Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan: Tinjauan Sosiologi Antropologi .................................................................................................. 17 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Nelayan Artisanal dalam Pemanfaatan Sumber daya Perikanan di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat ...................................... 19 Dampak Aktivitas Ekowisata di Pulau Karimunjawa Berdasarkan Persepsi Masyarakat ................................................................................................................... 23 Struktur dan Pola Hubungan Sosial Ekonomi Juragan dengan Buruh di Kalangan Nelayan Pantai Utara Jawa Barat ................................................................................. 25 Pengetahuan Ekologi Tradisional Masyarakat Orang asli Jakun dalam Menilai Ekosistem Servis di Tasik Chini, Malaysia. ................................................................. 27 ANALISIS DAN SINTESIS .......................................................................................... 30 Sistem Hak Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pengembangan Ekowisata ............ 30 Definisi Ekowisata................................................................................................... 30 Peraturan tentang Ekowisata ................................................................................... 31 Sistem Hak Kepemilikan Sumber Daya .................................................................. 32 Pengembangan Ekowisata Berdasarkan Hak Kepemilikan ..................................... 34 Karakteristik Nelayan dan Struktur Kelas Nelayan...................................................... 36 Karakteristik Nelayan .............................................................................................. 36 Struktur Kelas Nelayan............................................................................................ 38 Pengaruh Ekowisata terhadap Sosial-Ekonomi Nelayan ............................................. 38 Pendapatan Nelayan ................................................................................................ 38 Potensi Konflik Nelayan.......................................................................................... 40 SIMPULAN .................................................................................................................... 42 Hasil Sintesis dan Analisis ........................................................................................... 42 Usulan Kerangka Analisis untuk Penelitian ................................................................. 43 Pertanyaan Penelitian ................................................................................................... 43 LAMPIRAN.................................................................................................................... 47 RIWAYAT HIDUP ...................................................................................................... 47 viii DAFTAR TABEL Tabel 1 Definisi Ekowisata ............................................................................................. 30 Tabel 2 Peraturan tentang ekowisata .............................................................................. 32 Tabel 3 Status Kepemilikan Sumber daya alam ............................................................. 33 Tabel 4 Hasil penelitian tentang sistem hak dan kepemilikan sumber daya dalam pengelolaan wilayah perairan. ........................................................................................ 34 Tabel 5 Macam Strategi Pengembangan Ekowisata ....................................................... 35 Tabel 6 Karakteristik Nelayan ........................................................................................ 37 Tabel 7 Penggolongan Struktur Kelas Nelayan .............................................................. 38 Tabel 8 Berbagai Macam Dampak Ekowisata terhadap Pendapatan Nelayan ............... 39 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Matriks Faktor Hasil Penjumlahan Faktor Eksternal dan Internal ................... 8 Gambar 2 Skor Hasil Penghitungan Faktor Internal dan Faktor Eksternal ...................... 9 Gambar 3 Bagan Analisis Perilaku Nelayan terhadap Pengelolaan Wisata Bahari ....... 13 Gambar 4 Bagan Analisis Pengaruh Perubahan Ekologis terhadap Strategi Adaptasi Nelayan ........................................................................................................................... 16 Gambar 5 Bagan Analisis Pengelolaan Sumber Daya Perikanan berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat ..................................................................... 19 Gambar 6 Bagan Analisis Faktor-Faktor Perilaku Nelayan terhadap Pengelolaan SDA Laut ................................................................................................................................. 22 Gambar 7 Bagan Analisis Dampak Kegiatan Ekowisata................................................ 24 Gambar 8 Bagan Analisis Pengetahuan Ekologi Tradisional terhadap Manajemen Ekosistem ........................................................................................................................ 28 Gambar 9 Usulan Kerangka Analisis.............................................................................. 43 PENDAHULUAN Latar Belakang Pariwisata telah menjadi salah satu industri besar dunia. Negara dan teritori seperti Thailand, Filipina, Singapura, Hawaii, Galapagos, Tonga dan kepulauan Karibia menjadikan pariwisata sebagai andalan sumber devisanya. Di kepulauan Karibia, pariwisata menyumbang penerimaan sampai US$ 18,7 miliar tahun 2011 (Duval, 2004 dalam Pitana dan Gayatri, 2005). Jumlah penerimaan dari sektor pariwisata ini terus meningkat. Pada tahun 1950, jumlah penerimaan sektor pariwisata hanya US$ 2,1 miliar. Jumlah ini meningkat drastis pada tahun 1990 mencapai US$ 268,2 miliar dan US$ 475,8 miliar pada tahun 2000 (Pitana dan Gayatri, 2005). Pariwisata merupakan perpindahan atau perjalanan secara temporer dari tempat mereka biasanya bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan (Machieson dan Wall, 1982). Secara terpisah, Ceballos dan Lascurian (1991) dalam Cukier dan Wall (1995) mendefinisikan pariwisata sebagai perjalanan ke kawasan alam yang secara relatif belum terganggu dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti dan menikmati pemandangan yang indah, tumbuh-tumbuhan serta binatang liar maupun kebudayaan yang dapat ditemukan di sana. Pariwisata ini bersifat masss tourism, artinya pariwisata tidak mengenal batasan daya dukung. Permintaan akan selalu dipenuhi. Sumber daya perairan merupakan salah satu sumber daya yang memiliki daya tarik (attractiveness) pariwisata tinggi. Keberagaman ekosistemnya menyediakan obyek yang menarik bagi wisatawan. Terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan wisata pantai merupakan daya tarik utama pariwisata sektor pesisir dan kelautan. Pariwisata berbasis alam (nature) semakin lama akan semakin mengurangi nilai sumber daya itu sendiri. Padahal, meskipun dapat diperbaharui, sumber daya bersifat terbatas. Jika pemanfaatan melebihi daya dukung, sumber daya tersebut tidak dapat pulih dan akhirnya rusak. Sumber daya memiliki sifat terbatas sedangkan manusia sebagai pemanfaat memiliki keinginan yang tidak terbatas. Fenomena dimana setiap individu memiliki rasionalitas untuk memanfaatkan secara intensif mengakibatkan kelimpahan sumber daya menurun dan semua pihak merugi. Hal ini oleh Garret Hardyn (1968) disebut teori sumber daya bersama (Tragedy of the Common). Lebih lanjut, melalui teori ini, Hardyn (1968) dalam Latta (tidak ada tahun) menjelaskan bahwa masing-masing individu pengguna memiliki kemampuan eksploitasi sumber daya bersama, akan tetapi eksploitasi yang dilakukan melebihi kemampuan sumber daya untuk pulih. Adanya keterbatasan sumberdaya serta permintaan pariwisata yang semakin tinggi akhirnya membuahkan konsep wisata baru berwawasan lingkungan, yaitu ekowisata (ecotourism). Ekowisata pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 oleh organisasi The Ecotourism Society. Menurut The Ecotourism Society, ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke daerah alami dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Lebih lanjut, Eplerwood (1999) mendiskripsikan ekowisata sebagai bentuk baru dari perjalanan yang bertanggung-jawab ke daerah alami dan berpetualang, serta dapat menciptakan industri pariwisata. Yulianda (2007) memberikan gambaran lebih praktis, ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Ekowisata meliputi wisata alam (natural tourism) dan wisata budaya (cultural tourism). Tidak seperti pariwisata, ekowisata sangat mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Tidak hanya keberlanjutan lingkungan, ekowisata juga mempertimbangkan 2 sisi sosial-kultural. Artinya, konsep ekowisata tidak dapat dilepaskan dari peran saling memengaruhi antara ekowisata itu sendiri dengan manusia disekitarnya. Dalam kasus yang sama, ekowisata perairan pesisir juga memiliki hubungan yang sama dengan masyarakat lokal di sekitar kawasan, yang dalam hal ini adalah nelayan. Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas terkait dengan ketergantungannya dengan pemanfaatan sumber daya pesisir (Satria, 2002). Masyarakat pesisir tidak hanya nelayan, ada juga pembudidaya ikan, petani tambak, sampai pedagang ikan. Meskipun demikian, stigma masyarakat pesisir erat dengan nelayan. Berdasarkan UU Perikanan Nomor 45 tahun 2009, nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa nelayan kecil melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menggunakan kapal perikanan paling besar lima gross ton (5 GT). Karena hubungannya yang begitu dekat dengan alam, nelayan memegang peranan penting dalam rangka pelaksanaan wisata berbasis lingkungan yang berkelanjutan (Ekowisata). Ekowisata biasanya dapat ditemukan di area-area konservasi, baik dalam skala besar (Taman nasional), maupun skala yang lebih kecil (KKPD, Cagar Alam, dll). Penetapan kawasan menjadi area konservasi melewati tahapan yang panjang. Semenjak ditetapkannya UU No 32 tahun 2004 mengenai Otonomi daerah, proses ini menjadi lebih mudah. Hal ini karena pemerintah pusat sudah mendelegasikan kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan daerahnya masing-masing (desentralisasi). Penetapan suatu area konservasi dan ekowisata tidak hanya melibatkan elit pemerintah daerah, tapi juga masyarakat lokal sekitar kawasan. Menilik teori Hardyn (1968) mengenai tragedi sumber daya bersama, penetapan sampai pengelolaan kawasan ekowisata menyimpan potensi konflik dengan nelayan. Melalui kajian ini, akan diteliti kembali bagaimana pengembangan ekowisata memengaruhi sosial-ekonomi nelayan? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan tujuan penulisan laporan studi pustaka ini: 1. Menganalisis sistem hak kepemilikan sumber daya di kawasan ekowisata. 2. Menganalisis karakteristik nelayan dan struktur kelas nelayan di kawasan ekowisata. 3. Menganalisis pengaruh ekowisata terhadap sosial-ekonomi nelayan. Metode Penulisan Metode penulisan studi pustaka ini adalah metode pengumpulan data sekunder atau studi literatur. Literatur yang dipakai adalah literatur ilmiah berupa jurnal ilmiah dan buku tertulis. Setiap literatur yang dipilih disesuaikan dengan tema yang diambil. Berbagai literatur yang diambil disesuaikan dengan topik penulisan penetapan ekowisata dan sosial-ekonomi nelayan. Pengajian pustaka dilakukan melalui proses membaca, meringkas, dan menyimpulkan pustaka yang relevan dengan topik penulisan. Ringkasan tersebut kemudian dianalisis dan disusun hingga menghasilkan suatu kerangka baru sehingga memunculkan pertanyaan penelitian yang selanjutnya digunakan sebagai dasar pembuatan proposal penelitian. RINGKASAN PUSTAKA 1. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume:hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Contractual Solution to the Tragedy of Property Right in Coastal Fisheries : 2005 : Jurnal : Elektronik : Arif Satria, Yoshiaki Matsuda, Masaaki Sano : Marine Policy : 30: 226-236 : http://www.sciencedirect.com/science/article/p ii/S0308597X05000126 : 30 Oktober 2014 pukul 11.45 WIB Penelitian penulis di dua desa, Desa Jenggala dan Desa Gondang, Lombok Barat, Indonesia ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana kepemilikan sumber daya pribadi dan kepemilikan sumber daya bersama dapat berjalan secara berdampingan. Sumber daya yang diperebutkan adalah hak akses dan penggunaan sumber daya di wilayah pesisir. Industri budidaya mutiara merupakan industri utama yang dapat ditemukan di 2 desa ini. Interaksi antar 2 rezim ini berujung konflik karena keduanya berangkat dari persepsi yang berbeda. Nelayan lokal menganggap bahwa sumber daya pesisir dan laut merupakan sumber daya milik bersama yang artinya semua orang boleh memanfaatkannya. Sedangkan perusahaan industri budidaya mutiara, melalui pemerintah daerah, merasa diberi kewenangan untuk mengelola secara privat, membatasi hak akses pihak lain. Hal ini dikarenakan pada saat itu, pengelolaan sumber daya masih berada dibawah pemerintahan yang bersifat sentralistik, mengambil keputusan tanpa persetujuan masyarakat setempat. Konflik yang terjadi lebih banyak berkutat pada sengketa mengenai siapa yang lebih berhak mengelola. Minimal ada empat stakeholder yang saling memengaruhi, yaitu; Pemerintah daerah, Perusahaan A, Perusahaan B, dan Nelayan Lokal. Merujuk pada Ostrom, Insustri budidaya mutiara dikategorikan sebagai “owner” (private property) yaitu tipe pembagian hak kepemilikan yang memiliki semua tipe hak kepemilikan dari pemanfaatan (withdrawl right) sampai hak pengalihan (alienation right). Sementara itu melayan lokal dapat diidentifikasi sebagai “proprietor” dengan hak mengelola (managemen right) dan mengeksklusi (exclussion right), sedangkan nelayan pendatang sebagai “authorized users” yang hanya memiliki hak akses (access right) dan hak memanfaatkan (withdrawl right). Di desa Gondang, perusahaan A mulai ekspansinya pada tahun 1994. Pada tahun 1996, nelayan lokal melakukan demonstrasi menuntut perusahaan memindahkan usahanya sejauh 150 meter dari garis pantai. Konflik ini terselesaikan dengan mediasi dengan beberapa kesepakatan, yaitu: Pertama, Perusahaan A harus membayar Rp 250.000,00/bulan/grup kepada nelayan lokal. Kedua, Perusahaan A harus memberikan 5 kg beras dan 1 kg gula pada 200 nelayan lokal sebelum Idul Fitri. Dan yang terakhir, Nelayan diijinkan menangkap ikan di daerah budidaya mutiara. Timbal baliknya, nelayan harus ikut menjaga keamanan area. Sementara itu, di desa jenggala terdapat perusahaan B, perusahaan budidaya mutiara lain yang menyuplai bibit untuk perusahaan lain. Perusahaan A merupakan 4 konsumen dari Perusahaan B. Perusahaan B dimiliki oleh orang lokal, tidak seperti Perusahaan A. Karena statusnya sebagai perusahaan lokal, kesepakatan mengenai pengelolaan sumber daya (pesisir) dengan nelayan lokal menjadi lebih mudah tanpa melalui proses konflik. Kesepakatan yang dibuat oleh Perusahaan B dengan nelayan lokal hampir sama dengan kesepakatan yang dibuat oleh perusahaan A seperti kewajiban membayar Rp 250.000,00 pada nelayan lokal. Terdapat poin menarik dalam kesepakatan yaitu adanya profit sharing sebesar 10 persen. Adanya kesepakatan ini meningkatkan rasa memiliki nelayan lokal terhadap industri budidaya mutiara di desa Jenggala. Sementara itu, sebagai tibal balik diberikannya ijin usaha, perusahaan menyumbang pajak pada pemerintah. Dilihat dari hubungan interaksinya, industri budidaya mutiara memiliki posisi tawar lebih kuat dari nelayan lokal ataupun nelayan pendatang. Hal ini dikarenakan industri budidaya mutiara diakui secara legal melalui peraturan pemerintah daerah. Pengkauan bahwa pesisir dan laut merupakan sumber daya milik bersama oleh nelayan masih lemah karena tidak terlegitimasi. Merujuk pernyataan Stanbaald 157/1916, eksisnya hak privat didalam hak umum (common) dapat terjadi karena kekuatan dari pemerintah dan hukum. Berdasarkan penelitiannya, penulis menyimpulkan bahwa terdapat potensi konflik yang muncul akibat interaksi private property right dan common property right di dua desa tersebut, yaitu: 1. Konflik antara dua otoritas: pemerintah dan masyarakat lokal. Pemerintah merujuk pada peraturan formal sedangkan masyarakat lokal berpegang pada adat istiadat setempat, terkait dengan pengelolaan sumber daya. 2. Potensi konflik antara dua pemangku hak, yaitu konflik yang terjadi lintas kelas sosial. Di desa Jenggala, konflik dapat dicegah karena perusahaan mampu berkomunikasi baik dengan nelayan lokal. Hal ini mungkin karena di Jenggala, perusahaan dimiliki oleh masyarakat lokal. Konflik ataupun potensi konflik yang muncul bersumber dari ketidaksamaan referensi dalam pengkauan hak pengelolaan sumber daya. Pemegang private property right lebih menekankan proses formal, sedangkan common property right lebih mengarah pada proses informal. Pengelolaan sektoral sumber daya yang terjadi di desa Jenggala dan Gondang tidak sama dengan apa yang terjadi di Jepang. Di Jepang, budidaya mutiara tidak diprivatisasi karena transfer hak usaha atau pengelolaan tidak diatur. Untuk menuju pengelolan yang lebih baik, penulis memberikan 3 saran pengelolaan, yaitu: Pertama, level nasional, menunjuk pada aturan legal yang mengatur sistem pengelolaan perikanan. Kedua, level lokal atau regional, terkait dengan kebijakan desentralisasi, dimana pengelolaan daerah diserahkan pada daerah, tidak oleh pusat. Dengan desentralisasi, diharapkan penelolaan sumber daya perikanan dan kelautan bisa dikelola lebih baik melalui aturan-aturan lokal sesuai daerah masing-masing. Ketiga, level komunitas, dimana kesepakatan antara nelayan lokal dan industri budidaya mutiara dibuat saling menguntungkan. 5 2. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume:hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Strategi Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua : 2010 : Jurnal : Elektronik : Karsudi, Rinekso Soekmadi, dan Hariadi Kartodihardjo : Jurnal Manajemen Hutan Tropika (JMHT) : XVI (3): 148-154 : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jmht/article /view/3178 : 24 November 2014, pukul 12.23 WIB Provinsi Papua merupakan daratan tertua di Kepulauan Indonesia yang terbentuk sejak 195 juta tahun yang lalu. Sampai saat ini, 80 persen permukaan kepulauan Papua masih ditutupi oleh hutan hujan tropis yang luasannya mencapai 31.037.100 ha (Dephut 2009). Di Papua, sedikitnya ditemukan 50 persen biodiversitas, potensi yang sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan daerah (Kadarusman & Nurhasan 2008). Karena tutupan hutan hujan tropis yang sangat luas, pengusahaan hutan merupakan salah satu sektor pemanfaatan sumber daya alam yang berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, pembukaan isolassi daerah, serta penciptaan lapangan kerja. Kebijakan pengelolaan hutan di Provinsi Papua diatur dalam Kebijakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA). Namun demikian, sistem ini tidak mengarah pada terwujudnya pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainability Forest Management) karena dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat kurang dirasakan. Hal ini terbukti dari tingkat penghasilan per kapita penduduk Provinsi Papua sebesar Rp 225.195 per bulan (BPS Provinsi Papua 2008) dan Indeks Pembanguna Manusia (IPM) Provinsi Papua pada tahun 2008 sebesar 64,00 (BPS Provinsi Papua 2010). Data ini menempatkan Papua sebagai Provinsi termiskin di Indonesia. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang secara ekonomi menguntungkan (economically viable), secara ekologi ramah lingkungan (environmentally benign), secara teknis dapat diterapkan (technically feasible), dan secara sosial dapat diterima oleh masyarakat (socially acceptable) adalah jasa lingkungan ekowisata. Lindberg (1991) mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan yang bertanggung jawab ke wilayah-wilayah alami yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan sedemikian rupa sehingga menekan sekecil mungkin dampak terhadap lingkungan dan sosial budaya, membangkitkan pendanaan bagi kawasan-kawasan yang dilindungi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam isu kemiskinan, ekowisata memberikan kontribusi pada peningkatan level pendapatan masyarakat lokal, peningkatan jumlah masyarakat yang bekerja, perbaikan infrastruktur, dan partisipasi lokal (Agrawal dan Redford 2006). Pratiwi (2008) mengungkapkan, pengusahaan ekowisata dapat menjadi instrumen menyelesaikan konflik ketidakpastian akses terhadap kawasan. Kepulauan Yapen merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua yang memiliki berbagai potensi wisata yang sangat layak dikembangkan sebagai objek daya tarik ekowisata (terdapat 20 objek wisata yang tersebar secara merata di 12 distrik). Faktor ini menjadi alasan kenapa penulis memilih tempat ini, dengan maksud merumuskan strategi pengembangan ekowisata di Kepulauan Yepen, Provinsi Papua. 6 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Analisis Penawaran-Permintaan (Supply-Demand) dan Analisis Prospektif. Analisis penawaran-permintaan dilakukan untuk mengkaji prospek pengembangan ekowisata. Analisis prospektif dilakukan untuk merumuskan model strategi pengembangan ekowisata. Komponen Penawaran yang diamati adalah potensi ekowisata berbentuk bahari (pantai dan perairan) dan potensi ekowisata berbentuk daratan. Penilaian potensi ekowisata mengacu pada pedoman Analisis Daerah Operasi Objek Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) (Dephut 2003). Sedangkan Komponen Penawaran terdiri dari tingkat kunjungan wisatawan mancanegara, jumlah penduduk sebagai wisatawan potensial, dan karakteristik wisatawan yang mengunjungi objek wisata. Analisis Prospektif menekankan pada analisis berdasarkan faktor penentu. Analisis penawaran ekowisata dilakukan pada objek wisata perairan, pantai, dan daratan. Penilaian objek wisata laut yang dipilih adalah Ansus, Miosnum, dan Angkaisera. Berdasarkan hasil penghitungan ADO-ODTWA, didapati ketiga objek tersebut belum layak untuk dikembangkan sebagai ODTWA karena memiliki hambatan dan kendala antara lain potensi pasar belum mendukung, pengelolaan dan pelayanan belum sesuai dengan standar pelayanan, akomodasi belum memenuhi syarat, dan hubungan dengan objek lain yang sejenis cukup tinggi. Penilaian objek wisata berbentuk pantai dilakukan pada objek wisata Mariade, Sarawandori, dan Wawuti. Berdasarkan penghitungan ADO-ODTWA, didapati objek wisata Mariade dan Sarawandori layak dikembangkan sebagai ODTWA. Sedangkan objek wisata Wawuti tidak layak dikembangkan. Hal ini karena keduanya memiliki hambatan cukup beragam, antara lain: potensi pasar yang belum mendukung, lokasi objek yang cukup jauh dan adanya kesulitan dalam hal aksesibilitas, pengelolaan dan pelayanan yang belum sesuai dengan standar, akomodasi yang belum memenuhi syarat, dan hubungan dengan objek lain sejenis yang cukup tinggi. Adapun untuk objek wisata berbentuk daratan, penilaian difokuskan pada objek wisata di Poom I Distrik Yapen Barat, Ambaidiru Distrik Kosiwo, dan Barawai Distrik Yapen Timu. Objek wisata daratan Poom I dan Barawai belum layak dikembangkan karena memiliki hambatan dan kendala yang sama dengan objek wisata Wawuti. Objek wisata yang tidak layak dikembangkan ini dapat dikembangkan sebagai ODTWA melalui upaya promosi dan pemasaran guna menarik potensi pasar, memperkecil kendala aksesibilitas melalui penyediaan sarana prasarana modal transportasi, meningkatkan pengelolaan dan pelayanan sesuai standar pelayanan, melakukan pemenuhan terhadap standar akomodasi yang diperlukan, dan meningkatkan diversifikasi atraksi wisata. Analisis permintaan ekowisata didasari oleh aspek keinginan atau tujuan pengunjung dan karakteristik pengunjung. Macam pengunjung adalah pengunjung domestik, internasional, serta penduduk lokal yang memanfaatkan atraksi wisata dan fasilitas yang diberikan oleh tempat ekowisata tersebut. Pengunjung atau wisatawan asing yang berkunjung berasal dari Belanda, Jerman, Perancis, Italia, Kanada, Australia, Inggris, Yunani, Jepang, Amerika, Australia, Malaysia, dan Colombia. Aktivitas yang dilakukan adalah bird watching, hiking tracking, snorkeling, diving, dan penelitian di bidang kelautan dan kehutanan yang berlangsung sejak tahun 1995. Karakteristik wisatawan yang mengunjungi objek daya tarik wisata di Kabupaten Kepulauan Yapen didominasi oleh wisatawan laki-laki dengan rata-rata umur dewasa dan tingkat pendidikan rata-rata cukup baik (sebagian besar berpendidikan sarjana). Rata-rata status pekerjaan wisatawan adalah pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah Kabupaten Kepulauan Yapen dengan tingkat pendapatan rata-rata lebih dari Rp2,5 juta per bulan. Karakteristik wisatawan yang berkunjung di objek daya tarik 7 wisata di Kabupaten Kepulauan Yapen tergolong dalam wisatawan dengan karakteristik identitas cukup baik yang ditinjau dari tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Berdasarkan karakteristik pengunjung/wisatawan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengunjung memiliki kepedulian akan keberlangsungan sumber daya alam serta lingkungan kawasan wisata serta informasi yang diperoleh dari berwisata akan diteruskan atau dipublikasikan, hal ini dikarenakan karakteristik pengunjung yang memiliki pengetahuan baik. Strategi pengembangan ekowisata didesain berdasarkan hasil analisis tingkat prospektif masing-masing faktor penentu. Faktor kunci atau penentu tersebut ditentukan melalui 2 tahap analisis, yaitu identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan ekowisata, dan analisis penentuan beberapa faktor kunci dalam pengembangan ekowisata yang dikaji berdasarkan diskusi dengan ahli ekowisata, ahli kelembagaan, dan studi pustaka. Berdasarkan hasil analisis identifikasi, ditemukan beberapa faktor kunci, yaitu: potensi ODTWA, kebijakan pemerintah daerah, permintaan ekowisata, partisipasi masyarakat, sarana dan prasarana, keamanan, penataan ruang wisata, promosi dan pemasaran, kapasitas kelembagaan, manajemen atraksi, kerjasama antardaerah, kontribusi ekonomi, dan pendidikan masyarakat. Analisis lanjutan berdasarkan hasil penilaian Profesional Judgment, persepsi peneliti, serta berbagai konsep dan teori ekowisata menyebutkan terdapat 5 faktor kunci (penentu) dan 8 faktor penghubung, dimana untuk mengelola kelima faktor kunci tersebut akan dilakukan analisa keterkaitan antarfaktor dan kondisi untuk analisis prospektif. Hasil olahan data menunjukan bahwa berdasarkan analisis keterkaitan antar faktor (5 faktor kunci) dan rancangan strategi pengembangan ekowisata, didapati bahwa strategi pengembangan yang paling tepat diterapkan adalah strategi pesimis (Pessimistic Strategy). Alasan-alasan yang mendasari berupa kelembagaan ekowisata yang belum terbentuk, manajemen atraksi yang belum dirumuskan, penataan ruang yang belum dilaksanakan, strategi promosi dan pemasaran yang belum ada, dan keamanan di dalam dan luar kawasan yang belum kondusif. 3. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume:hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Strategi Pengembangan Ekowisata di Pantai Pangandaran Kabupaten Ciamis Pasca Tsunami : 2013 : Berkala (Jurnal) : Elektronik : Prasetyo Nugroho, Muh. Yusuf, Suryono : Journal of Marine Research : 2: 11-21 : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr : 3 November 2014 pukul 14.56 WIB Indonesia terkenal dengan keindahan alamnya. Tidak heran industri pariwisata menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi pemasukan negara setelah migas. Upaya pengembangan wisata, selain menyumbang pendapatan negara melalui devisa, juga mengembangkan perekonomian dan kesempatan kerja. World Tourism Organization (WTO) memperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada potensi peningkatan pengunjung mencapai 1.516,1 juta orang dimana pertumbuhan tertinggi ada di kawasan Asia-Pasifik sebesar 6,5persen (Budhayana, 2008). 8 Dirjen Pariwisata mengungkapkan, wisata merupakan kegiatan perjalanan yang bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata di suatu daerah. Wisata di suatu daerah ini memiliki banyak manfaat, baik dalam segi ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya. Sedangkan WTO (2003), dalam konsep wisata yang lebih sempit, ekowisata, didefinisikan sebagai kegiatan pengelolaan dan pembangunan dalam upaya mencegah atau mengurangi dampak kerusakan pada biodiversitas. (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, 2010). Salah satu kawasan ekowisata yang menjadi wisata unggulan daerah adalah Pantai Pangandaran. Kawasan ini dikembangkan berdasarkan aspek ekonomi, ekologi, dan budaya. Pantai Pangandara terletak di Kabupaten Ciamis, kawasan pantai yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, kreativitas, dan keramahan penduduk. Letaknya strategis karena berada diperbatasan dua provinsi, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Karena alasan ini, Pantai Pangandaran ditunjuk sebagai kawasan strategis nasional dan wisata unggulan. (Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 dan Peraturan Daerah Jawa Barat No. 22 tahun 2010). Penelitian yang dilakukan menulis menggunakan dua sumber data sebagai rujukan penelitian, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan (observasi) dan wawancara mendalam terhadap tokoh-tokoh penting (key person) yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata pantai pangandaran. Total responden yang diwawancarai mencapai 15 orang dengan pemilihan secara sengaja. Sedangkan data sekunder yang diperoleh berupa Profil Pantai Pangandaran, Potensi ekosistem, Jumlah Pengunjung, Sarana dan Prasarana, Aksesibilitas, Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ciamis, Master Plan Pantai Pangandaran dan lain-lain. Analisis yang digunakan adalah analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Hasil analisis SWOT akan digunakan untuk menentukan strategi pengembangan wisatayang menghasilkan 4 alternatif pilihan pengembangan yang diwakili dalam 4 kuadran hasil analisis SWOT. Sebelum melakukan perumusan, terlebih dahulu dilakukan penentuan nilai IFAS (Internal Strategic Factor Analysis Summary) dan EFAS (External Strategic Factor Analysis Summary) yaitu penentuan Rating, Bobot, dan Skor dari setiap faktor hingga diperoleh nilai total dari keseluruhan faktor. Penulis membagi 4 kuadran (sel) hasil olahan skor dari masing-masing faktor yang diperoleh dari penjumlahan skor faktor eksternal dan internal seperti gambar berikut. Gambar 1 Matriks Faktor Hasil Penjumlahan Faktor Eksternal dan Internal 9 Sel 1 = Menunjuk Strategi Pengembangan Agresif, yaitu pengembangan ekowisata pada segmen tertentu secara intensif dan lebih luas. Sel 2 = Mendukung strategi diversifikasi seperti pengembangan berbagai paket wisata dengan pola partisipasi. Sel 3 = Mendukung strategi turn arounddengan orientasi putar haluan. Salah satu strategi yang diajukan adalah membuka kerjasama dengan seluruh stakeholder dan memberikan berbagai intensif. Sel 4 = Mendukung strategi defensif, dengan meningkatkan pelayanan pengunjung. Berdasarkan hasil pengamatan langsung dan wawancara, didapati 8 faktor internal (S-W) dan 8 faktor eksternal (O-T). Faktor internal yang termasuk sebagai kekuatan (strength) adalah Keindahan Alam yang Mempesona dan Budaya Lokal, Prasarana Dasar memadai (jalan, listrik, persediaan air, dan telekomunikasi), Dukungan Pemerinntah dan Stakeholder yang Kuat, dan yang terakhir adalah Tersedianya Keamanan dan Keselamatan. Sedangkan faktor yang terhitung sebagai Kelemahan (Weakness) adalah Terbatasnya Sarana Transportasi Umum, Terbatasnya Prasarana Pendukung (ATM, Money Changer), Kurangnya Promosi, dan Lemahnya Pengelolaan dan Ketertiban. Faktor Eksternal (O-T) meliputi Opportunity: Lokasi Strategis, Salah Satu Program Pengembangan Wisata Pemprov dan Pemkab, Terdapat Paket Wisata dari Dalam dan LuarN, Bandara Nusawiru akan dioptimalkan, dan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sedangkan faktor eksternal yang termasuk ancaman (Threat) adalah Rawan Bencana Alam, Wisata Masal yang dapat Merusak Lingkungan, Adanya Persaingan Wisata yang Semakin Ketat, Berdasarkan hasil penghitungan skor, didapati tabel sebagai berikut,, Gambar 2 Skor Hasil Penghitungan Faktor Internal dan Faktor Eksternal Hasil penghitungan faktor internal, skor menunjukan selisih antara kekuatan (strength) dan Kelemahan (Weakness) adalah 0,498 (Positif). Kemudian, selisih total nilai faktor eksternal (Opportunity-Threat) menghasilkan skor 1,397 (positif). Sesuai dengan diagram atau matriks rencana strategi pengembangan, didapati bahwa pantai Pangandaran, berdasarkan kondisinya berada di Sel I (Kuadran I). Berdasarkan hasil tersebut, tipe pengembangan ekowisata pantai pangandaran yang paling tepat adalah tipe pengembangan agresif dengan 7 pilar utama pengembangan, yaitu: 1) Memanfaatkan dukungan stakeholder, pemerintah dan masyarakat dalam mengoptimalkan Bandara Nusawiru, 2) Memanfaatkan daya tarik wisata yang menarik dan aman sebagai aset pengembangan agar wisatawan tidak 10 cepat merasa bosan dan selalu nyaman, 3) Berkerjasama dengan agen-agen perjalanan wisata (paket wisata) baik yang terdapat di dalam negeri maupun luar negeri, 4) Memperbaiki teknik/metode promosi, 5) Menambah prasarana pendukung, 6) Melakukan penyuluhan kepariwisataan, serta 7) Mengoptimalkan peran BALAWISTA dalam mengurangi resiko dampak bencana. 4. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume:hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Perilaku Nelayan dalam Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Pantai Lovina, Buleleng, Bali : 2006 : Berkala (Jurnal) : Elektronik : Siti Amanah dan Hamidah Nayati Utami : Jurnal Penyuluhan : 2: 83-90 : http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/4 3022 : 26 November 2014 pukul 10.30 WIB Pesisir merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki potensi besar di bidang pariwisata. Terdapat tiga alasan utama yang mendukung kawasan pesisir menjadi lokasi wisata. Pertama, terdapat beragam ekosistem yang saling berkaitan di wilayah pesisir, seperti hutan mangrove, pantai berpasir, padang lamun, dan terumbu karang. Salah satu kawasan pesisir yang punya potensi besar untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata adalah pantai Lovina, Buleleng, Bali. Pantai Lovina memiliki sarana dan prasarana yang lumayan lengkap seperti adanya penginapan, rumah sakit, kantor pos, warung telekomunikasi, dan warung internet. Hal ini pula yang menarik banyak wisatawan asing berkunjung, terutama wisatawan Eropa. Jasa wisata yang ditawarkan di Pantai Lovina melingkupi wisata keindahan kawasan pesisir, scuba diving, melihat lumba-lumba (cruising) dan memancing. Pada penyediaan jasa ini, nelayan lokal ikut serta menyediakan jasa berupa penyewaan perahu. Peran nelayan dalam pengelolaan wisata bahari ini dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Untuk itu penulis merasa perlu meneliti tentang; (1) Perilaku nelayan dalam pengelolaan jasa wisata bahari, (2) Hubungan faktor InternalEksternal dan pengaruhnya terhadap perilaku nelayan sebagai pengelola jasa wisata, dan (3) Hubungan pengaruh faktor internal-eksternal terhadap kepuasan wisatawan dalam jasa wisata bahari. Dalam poin nomer (2), penulis merinci faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi; Umur, Pendidikan Formal dan Nonformal, Pengalaman Usaha di bidang Pariwisata Bahari, Kekosmopolitan, Kemampuan Bahasa, Motif Usaha di bidang Pariwisata Bahari, Modal Usaha di bidang Pariwisata Bahari, dan Sumber Pendapatan Utama. Sedangkan faktor Eksternal meliputi; Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pariwisata, Karakteristik Komoditas dan Atraksi Wisata, Sumber Informasi, Nilai-nilai Norma Adat dan Kebijakan Pemerintah Daerah. Secara singkat, penulis mendefinisikan perilaku sebagai pencerminanpencerminan yang ditampakkan oleh seseorang sebagai hasil interaksi dari sifatsifat genetis dan lingkungan (Padmowihardjo, 1978). Perilaku berkaitan dengan kemampuan fisik maupun non fisik dan umumnya unsur-unsur perilaku dikelompokkan menjadi tiga unsur yaitu pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), dan sikap mental (afektif). Upaya perubahan perilaku nelayan melalui 11 proses pembelajaran, dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut (Hickerson dan J. Middleton, 1975; Padmowihardjo, 1999): 1. Merencanakan aspek-aspek perilaku mana yang terutama akan dikembangkan dalam proses belajar mengajar. 2. Mengatur lingkungan belajar yang memungkinkan bagi sasaran didik itu mencapai penambahan kemampuan secara berkesinambungan. Mengenai nelayan sendiri, merujuk berbagai sumber pustaka, Penulis mendeskripsikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan menangkap ikan/binatang air lainnya/tanaman air (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004). Nelayan dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu nelayan tradisional yang bersifat subsisten, nelayan yang telah menggunakan teknologi penangkapan ikan yang maju, nelayan komersil, dan nelayan industri (Pollnac, 1998). Nelayan memiliki kehidupan yang khas secara geografis, sosial, dan ekonomi (Hanson, 1984). Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, penulis mengambil definisi pesisir dari ungkapan Beatley (1994), dimana pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan daratan, kearah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua. Wilayah pesisir dibagi kedalam beberapa sektor, antara lain: Konservasi, Taman Suaka alam Laut, Wisata, Pelayaran, Navigasi dan transportasi, Perikanan, Industri pertambangan, Kegiatan mencemari lingkungan dan Penelitian kelautan dan metereologi (Dahuri dkk, 2001). Mengenai wisata, penulis merumuskan konsep berdasarkan undang-undang Nommor 9 Tahun 1990 dimana wisata adalah wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara suka rela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Pengelola pariwisata perlu mempertimbangkan biaya dan manfaat kegiatan pariwisata pesisir, agar kegiatan yang dilakukan dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat dengan tetap memperhatikan konservasi lingkungan. Merujuk pada Kusumastanto (2002) adalah (1) meningkatkan ketersediaan prasarana dan sarana publik; (2) meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dalam mengelola pariwisata bahari; (3) mengembangkan sistem pendataan dan informasi yang lengkap, sehingga memudahkan wisatawan mendapatkan informasi dan akses cepat, mudah serta murah; (4) mengembangkan aktivitas ekonomi non-pariwisata seperti industri kerajinan, perikanan, restoran, dan jasa angkutan laut; (5) meningkatkan jaminan dan sistem keamanan bagi wisatawan; (6) menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi kalangan investor; (7) mengembangkan model pengelolaan pariwisata bahari yang mampu menjaga kelestarian ekosistem laut dan budaya masyarakat lokal. Penulis menekankan pentingnya aspek konservasi pada pengelolaan kawasan wisata pesisir (ekowisata). Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deksriptif korelasional yaitu meneliti hubungan antar variabel dianalisis dengan uji statistik. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menjelaskan substansi hasil uji stitistik. Metode survai menggunakan teknik wawancara, pengamatan langsung, dan diskusi dengan pakar dan praktisi di lapangan. Responden nelayan yang diwawancarai berjumlah 30 orang, selain itu data didapat pula dari informan dari dinas terkait. Variabel-variabel yang digunakan dalam peneliitian meliputi variabel Karakteristik Individu Nelayan (X1), Variabel karakteristik lingkungan fisik dan sosial (X2), Variabel perilaku nelayan mengelola jasa wisata bahari (Y1), dan Variabel Kepuasan Wisatawan (Y2). Variabel (X1) meliputi; (1) Usia, (2) Pendidikan 12 formal dan non formal, (3) Pengalaman usaha di bidang pariwisata, (4) Tingkat kosmopolitan, (5) Kemampuan bahasa, (6) Motif usaha di bidang pariwisata, (7) Modal usaha di bidang pariwisata, dan (8) Sumber pendapatan utama. Variabel (X2) melingkupi; (1) Ketersediaan sarana dan prasarana pariwisata, (2) Karakteristik komoditas dan atraksi wisata, (3) Sumber informasi, (4) Nilai-nilai budaya lokal dan norma adat, (5) Peraturan (awigawig). Variabel (Y1) tersusun atas; (1) Aspek pengetahuan/wawasan atau kognitif nelayan akan wisata bahari, (2) Aspek sikap mental/afektif dalam menjalankan peran sebagai pemandu wisata, (3) Aspek keterampilan/psikomotorik nelayan memandu wisatawan menggunakan perahu katil. Variabel (Y2) terdiri atas; (1) Terpenuhinya kebutuhan untuk kenyamanan, (2) Terpenuhinya kebutuhan untuk menikmati keindahan alam, dan (3) Terpenuhinya kebutuhan akan layanan prima dalam akomodasi, kunjungan, dan layanan hospitality. Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa layanan wisata yang ditawarkan oleh nelayan di Pantai Lovina adalah mengamati perilaku lumba-lumba, diving, dan snorkeling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia rata-rata nelayan yang melakukan jasa wisata bahari adalah 42,5 tahun. Nelayan yang menyewakan perahu paling muda berusia 28 tahun, dan paling tua berusia 60 tahun. Pendidikan nelayan umumnya Sekolah Dasar dan SMP tidak tamat. Pengalaman nelayan dalam penyediaan jasa wisata bahari berkisar antara 5 hingga 26 tahun dengan rataan pengalaman adalah 14 tahun. Nelayan terlibat dalam pengelolaan wisata bahari didorong oleh upaya peningkatan pendapatan, dan merupakan pengaman ketika hasil penangkapan ikan rendah. Sebagian besar nelayan di pantai Lovina memiliki pengetahuan tentang pengelolaan usaha wisata bahari, pengelolaan keuangan, pengetahuan dasar pemasaran jasa wisata bahari, dan pemahaman tentang cara melayani wisatawan dalam kategori sedang. Sikap nelayan terhadap kedatangan wisatawan, sarana wisata baru, dan persaingan usaha dalam kategori sedang. Kecermatan dalam pengelolaan keuangan masih rendah. Secara keseluruhan kreativitas nelayan mengelola kegiatan wisata bahari dan pengelolaan resiko usaha dalam kategori sedang. Akan tetapi, daya saing nelayan masih rendah. Berdasarkan uji korelasi Rank Spearman, seluruh variabel memiliki hubungan positif yang menunjukan bahwa semakin baik hubungan internal-eksternal, semakin baik pula pengelolaan usaha wisata bahari. Hasil analisis Chi-Square juga menunjukan hasil yang sama, dimana variabel internal-eksternal memiliki hubungan yang nyata dengan perilaku nelayan mengelola jasa wisata bahari. Lebih lanjut penulis mengungkapkan, demi meningkatkan kompetensi nelayan dalam upaya pengelolaan wisata bahari yang lebih profesional, perlu adanya pendekatan sistem yang terdiri dari 3 komponen (Haslet, 2000): Sub sistem masukan (input), Proses, dan luaran (output). Dari keseluruhan analisis, dapat ditarik kesimpulan ada tiga komponen utama untuk mengelola kawasan wisata bahari di kawasan pesisir, yaitu: Nelayan, Sumber daya Pesisir, dan Pengelola Wisata Bahari. 13 Analisis: Perilaku nelayan: 1. Aspek Pengetahuan (Kognitif) 2. Aspek Sikap Mental (Afektif) 3. Aspek Keterampilan (Psikomotorik) Karakteristik Individu Nelayan: (1) Usia, (2) Pendidikan formal dan non formal, (3) Pengalaman usaha di bidang pariwisata, (4) Tingkat kosmopolitan, (5) Kemampuan bahasa, (6) Motif usaha di bidang pariwisata, (7) Modal usaha di bidang pariwisata, dan (8) Sumber pendapatan utama. Pengelolaan Wisata Bahari: 1. Ketersediaan SaranaPrasarana Pariwisata 2. Karakteristik Komoditas dan atraksi Wisata 3. Sumber Informasi 4. Nilai-nilai budaya lokal 5. Peraturan (Awig-awig) Wisata Bahari dengan kaidah Ekologi (Eco-Tourism): - Berkelanjutan - Kondisi alam terjamin - Pendapatan Nelayan Meningkat - Kondisi Sosial Mantap Gambar 3 Bagan Analisis Perilaku Nelayan terhadap Pengelolaan Wisata Bahari Konsep yang diambil oleh penulis untuk mendeskripsikan pengelolaan wisata bahari oleh nelayan adalah Perilaku nelayan yang memengaruhi pengelolaannya. Perilaku nelayan dipengaruhi oleh aspek Kognitif, afektif, dan Psikomotorik, dimana aspek-aspek tersebut dipengaruhi oleh Karakteristik individu nelayan. Pengelolaan wisata bahari bertujuan selain menarik wisatawan juga mempertimbangkan sisi keberlanjutan (Ekoturisme). Indikator-indikator ekoturisme meliputi empat hal, yaitu berkelanjutan, pendapatan nelayan meningkat, kondisi alam terjamin, dan kondisi sosial mantap. Indikator-indikator yang diungkapkan menunjukan bahwa pengelolaan tidak hanya meletakan basis usahanya padda sisi ekonomis semata, tapi juga sosial, mempertimbangkan faktor sosial budaya nelayan didalamnya. Sisi lemah dari penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah masih minimnya pengungkapan hubungan antar aktor, baik dari nelayan, pemerintah, maupun manajemen pengelola wisata bahari tersebut. 5. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume:hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Strategi Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Ekologis : 2012 : Berkala (Jurnal) : Elektronik : Alfian Helmi dan Arif Satria : Makara, Sosial Humaniora : 16: 68-78 : http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/a rticle/view/1494 : 26 November 2014 pukul 10.41 WIB 14 Nelayan sering diasosiasikan dengan kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi (Kusnadi 2000; Pretty et. al.2003; Widodo 2011). Hal ini karena hubungan nelayan yang sangat dekat dengan lingkungannya (Pesisir dan Laut) yang diliputi ketidakpastian (Adriati, 1992; Kusnadi, 2000; Satria, 2009). Berdasarkan UU Perikanan Nommor 45 tahun 2009, nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa nelayan kecil melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menggunakan kapal perikanan paling besar lima gross ton (5 GT). Nelayan umumnya mengalami masalah sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks (Kusnadi, 2009; Satria 2009) yang berkaitan dengan isu degradasi lingkungan baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil (Kusnadi, 2009). Dahuri (2003) menjelaskan bahwa kebutuhan manusia yang semakin meningkat dan daya dukung bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumber daya alam semakin besar. Kejadian ini merupakan konsekuensi logis dari ketergantungan nelayan terhadap sumber daya pesisir dan laut (Satria 2009). Adaptasi dan perubahan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan bagi makhluk hidup. Bennet (1976) dan Pandey (1993) memandang adaptasi sebagai suatu prilaku responsif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Prilaku responsif tersebut memungkinkan mereka dapat menata sistem-sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya guna mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial (Alland 1975; Barlett 1980). Bennett (1976) mendiskprisikan strategi adaptasi sebagai suatu tindakan spesifik yang dipilih oleh individu atau masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan, dengan suatu drajat keberhasilan yang dapat diprediksi. Dalam penelitian ini, penulis bermaksud meneliti tentang; (1) sejauh mana dampak perubahan ekologis terhadap nelayan, dan (2) strategi adaptasi nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis tersebut. Metode penelitian yang dipilih oleh penulis adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif digunakan untuk penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta tertentu dengan strategi studi kasus. Penelitian ini dilakukan di Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive). Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Bryant dan Bailey (2001), perubahan lingkungan yang terjadi di pulau Panjang tidak hanya meliputi persoalan teknis, tapi juga masalah – masalah sosial poiltik. Pernyataan ini terbukti melalui adanya produk hukum yang saling meniadakan, diantaranya Perda Bupati Tanah Bambu No 7 Tahun 2010 bertentangan dengan PP Nomor 28 tahun 2008 tentang penetapan kawasan Pulau Panjang sebagai kawasan suaka alam. Berbagai izin pertambangan baik yag dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah bertentangan dengan SK Menteri kehutanan. Aktivitas –aktivitas di pulau Panjang yang bersifat eksploitatif menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan,. Kerusakan lingkungan tersebut merubah wajah ekologis pulau. Perubahan ekologis di Pulau Panjang dapat dikategorikan kedalam dua aspek, yaitu: (i) perubahan ekosistem mangrove, dan (ii) perubahan ekosistem terumbu karang. Perubahan ekologis yang terjadi secara otomatis menyebabkan perubahan ketersediaan produk perikanan sebagai modal utama nelayan (Bedjeek et al, (2010). Perubahan-perubahan ini akhirnya memaksa nelayan menerapkan strategi adaptasi 15 sampai tingkat rumah tangga. Strategi adaptasi yang dimaksud adalah tindakan-tindakan sosial-ekonomi berkaitan dengan perubahan yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan berbagai strategi adaptasi nelayan, yaitu: 1. Penganekaragaman Pendapatan. Kusnadi (2000) menjelaskan, dalam situasi eksploitasi berlebihan dan ketimpangan pemasaran hasil penangkapan, rasionalisasi ekonomi akan mendorong nelayan-nelayan menganekaragamkan sumber pekerjaan daripada hanya bergantung pada pekerjaan mencari ikan. Penganekaragaman tersebut merupakan salah satu bentuk strategi nafkah ganda. Menurut Satria (2009b), terdapat dua macam strategi nafkah ganda, yaitu bidang perikanan dan non perikanan. Nelayan di pulau Panjang selain menangkap ikan juga berkebun dan menggarap ladang di desa. Selain itu, untuk menambah penghasilan, juga menjadi pekerja bangunan, kuli panggul di pasar, dan buruh perusahaan. Selain daripada perubahan ekologis yang terjadi, strategi nafkah ganda diterapkan karena adanya fluktuasi cuaca yang tidak menentu. Oleh karena itu, banyak juga nelayan di Pulau Panjang yang menjadi petani tambak Udang. 2. Penganekaragaman Alat Tangkap Karena perubahan ekologis menyebabkan kondisi lingkungan pesisir juga berubah. Akibatnya, alat tangkap yang dimiliki nelayan juga berubah, mengalami penganekaragaman. Penganekaragaman alat tangkap dilakukan untuk menyiasati target produk yang ingin dihasilkan. Seperti diungkapkan oleh SNS (43 tahun) warga pulau Panjang, kalau dulu memakai alat pancing sudah cukup, sekarang harus memakai rempa, rengge, dan rawe. Kelemahannya adalah harga alat tangkap masih mahal dan tidak semua menguasai teknologi penangkapan dengan alat-alat baru. 3. Perubahan Daerah Tangkapan Perubahan ekologis yang terjadi telah merubah bentang alam sehingga sehingga merubah atau bahkan mengghilangkan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Perubahan daerah penangkapan ini, yang umumnya lebih jauh daripada biasanya akan menaikan ongkos melaut nelayan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh edee et al. (2012) bahwa perubahan daerah tangkapan mengindikasikan beberapa hal diantaranya, penurunan pendapatan, penururnan keuntungan dalam bisnis perikanan, penurunan akses terhadap area tangkap yang produktif dan penurunan jumlah tangkapan produk perikanan. Pola adaptasi ini paling sedikit digunakan karena terbatasnya informasi akan daerah penangkapan. Sebagaimana diungkap penulis, pengetahuan geografi nelayan masih sangat minim. Strategi ini sebetulnya efektif kalau diimbangi dengan penerapan teknologi yang efektif semisal penggunaan GPS. 4. Memanfaatkan Hubungan Sosial Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat didalamnya (Wahoyon et al., 2001). Hasil penelitian di Pulau Panjang menunjukan bahwa rumah tanga nelayan disana memiliki jaringan sosial yang bersifat informal. Hubungan sosial dibedakan menjadi dua jenis menurut Kusnadi (2010), yaitu yang bersifat horizontal dan Vertikal. Dalam hubungan sosial horizontal, individu yang terlibat didalamnya memiliki status sosial-ekonomi yang sama. Sebaliknya, di dalam hubungan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu 16 yang terlibat didalamnya tidak memiliki status sosial-ekonomi yang sepadan, baik kewajiban maupun sumber daya yang dipertukarkan. Hubungan sosial yang bersifat vertikal –sebagiannya- terwujud dalam bentuk hubungan patron-klien. Hubungan Patron-Klien ini mensyaratkan kepentingan akan keuntungan. Nelayan klien sangat mengandalkan patron sebagai sumber bantuan kala mereka mengalami penurunan hasil penangkapan. Semakin sering hasil penangkapan turun, hubungan patron-klien semakin tinggi intensitasnya. 5. Mobilisasi Anggota Rumah Tangga Kusnadi (2000) menjelaskan mobilisasi rumah tangga sebagai kegiatan mengikutsertakan anggota rumah tangga nelayan untuk bekerja, baik disektor perikanan maupun diluar sektor perikanan. Anggota rumah tangga yang diikutsertakan adalah istri dan anak. Istri memiliki peranan vital karena menjadi pihak yang mengatur keuangan atau pengeluaran keluarga. Selain itu, istri juga berperan mencari nafkah tambahan atau sampingan. Di pulau Panjang, istri nelayan tidak hanya melakukan pekerjaan domestik, tapi juga pekerjaan produktif seperti menjadi kuli ikat rumput laut. Selain kelima stratgei tersebut, strategi lain yang diterapkan adalah penebangan hutan mangrove dan retribusi kapal. Penebangan mangrove berdampak negatif bagi lingkungan karena sifatnya merusak. Hal ini juga disadari oleh para nelayan namun tetap dilakaukan karena minimnya sumber penghasilan bagi mereka. Selain itu, retribusi kapal lebih bersifat strategi dalam bentuk kebijakan. Artinya, pemerintah desa mengeluarkan peraturan mengenai retribusi yang harus dibayarkan oleh kapal-kapal yang lewat ataupun berlabuh di area pantai Pulau Panjang. Analisis: Perubahan ekologis: (i) Perubahan ekosistem mangrove, (ii) Perubahan ekosistem terumbu karang. Strategi Adaptasi Nelayan: 1. Strategi Nafkah Ganda 2. Diversifikasi Alat Tangkap 3. Diversifikasi Daerah Tangkapan 4. Memanfaatkan Hubungan Sosial 5. Mobilisasi Anggota Keluarga Masalah Sosial-Politik: Tumpang Tindih Kebijakan Gambar 4 Bagan Analisis Pengaruh Perubahan Ekologis terhadap Strategi Adaptasi Nelayan Konsep strategi adaptasi nelayan muncul dari adanya perubahan ekologis yang terjadi di Pulau Panjang, utamanya di kawasan pesisir. Perubahan Ekologis yang terjadi adalah Perubahan ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang. Perubahan Ekologis ini memaksa nelayan menerapkan strategi adaptasi guna mensiasati perubahan ekologis yang terjadi. Dalam pengaruhnya tersebut, masalah sosial-politik berupa tumpang tindih kebijakan ikut memengaruhi dampak dari perubahan ekologis itu sendiri. Penulis sudah mendeskripsikan secara komprehensif tentang strategi adaptasi nelayan. Namun demikian, analisa penyebab kurang dalam karena tidak dijelaskan 17 bagaimana kerusakan atau perubahan ekologisnya sendiri sehingga nelayan menerapkan 5 strategi adaptasi tersebut. Selain itu, strategi adaptasi diversifikasi daerah penangkapan dan alat tangkap wajar terjadi mengingat pola musiman yang dipengaruhi oleh siklus cuaca musiman. Jadi dua strategi adaptasi tersebut belum tentu dipengaruhi oleh perubahan ekologis berupa kerusakan ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang. 6. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume:hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Membangun Model Pengelolaan Sumber daya Perikanan Berkelanjutan Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan: Tinjauan Sosiologi Antropologi : 2003 : Berkala (Jurnal) : Elektronik : Moch. Prihatna Sobari, Rilus A. Kinseng, Fatriyandi N Priyatna : Buletin Ekonomi Perikanan : V/1: 41-48 : http://journal.ipb.ac.id/index.php/bulekokan/ article/view/2486 : 29 November 2014 pukul 14.53 WIB Terdapat dua pendapat tentang konsepsi laut yang sangat mendasar, terutama tentang permasalahan kepemilikannya (claim property). Pendapat pertama menyatakan bahwa laut adalah common property (milik bersama), sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa laut dapat dlmiliki oleh suatu bangsa (state property). Atas dasar pemikiran taut adalah milik bersama (common property) menyebabkan suatu permasalahan yang sering dikenal sebagal suatu tragedy of the common, yaitu terjadinya pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip open access, sehingga yang terjadi adalah eksploitasi sumber daya (Hardin diacu dalam Bromley 1991). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara detail tentang latar belakang, sifat serta karakter yang khas dari subjek penelitian, yaitu pengelolaan sumber daya alam. Metode penelitian yang digunakan menggunakan metode field research, yaitu metode penelitian sosial yang menggunakan pengamatan langsung terhadap status subjek penelitian pada kondisi sebenarnya. Penelitian ini dilakukan di desa Karangjaladri, Parigi, Ciamis, Jawa Barat. Penduduk Desa Karangjaladri mayoritas bekerja sebagai nelayan. Hal ini karena wilayah mereka berada di area pesisir, sehingga menggantungkan hidup pada sumber daya alam, utamanya laut. Laut termasuk sumber daya yang bersifat terbuka (open access), siapapun berhak untuk memanfaatkannya. Akan tetapi, sumber daya yang bersifat common property ini, atau sumber daya bersama rentan membawa konflik. Konflik yang timbul karena sumebrdaya bersama diakses bersama, ketika satu nelayan mengmabil hasil laut, dia sudah mengurangi jatah nelayan lain untuk mendapat hasil yang sama. Hal ini menjadi suatu dilema berkepanjangan. Dilema lain yang muncul adalah adanya eksternalitas teknologi. Eksternalitas teknologi adalah ketika dua atau lebih nelayan melakukan aktivitas penangkapan ikan di lokasi yang sama menggunakan peralatan yang berbeda. Alat tangkap yang bertemu di tempat yang sama memiliki kecenderungan untuk saling merusak. Meskipun potensi konflik yang ada termasuk rentan, kontrol sosial di desa Karangjaladri masih sangat kuat sehingga konflik nyatanya tidak pernah terjadi. 18 Pengelolaan yang bersifat open access masih sngat kental di desa Karangjaladri. Baik masyarakat dan pemerintah daerah tidak memberikan batasan-batasan atas sumber daya laut yang ada didaerahnya. Hal ini ditandai dengan tidak adanya prinsip-prinsip batasan klaim sumber daya, input seperti nelayan, alat tangkap dan jenis perahu, serta output seperti jenis ikan yang boleh ditangkap dan besarya total tangkapan. Masyarakat tidak menganggap bahwa sumber daya laut tersebut tidak ada yang memiliki (res nulius), karena apa yang masyarakat terima sebagai warisan pemikiran dari nenek moyangnya adalah bahwa laut merupakan milik bersama. Karakteristik dan Persepsi pemerintahan desa serta nelayan memiliki peranan penting disini. Karakteristik masyarakat di desa Karangjaladri masih kental dengan kontrol sosial. Rasa saling memiliki antar orang masih tinggi. Hal ini jugalah yang menjadi tameng ketika potensi konflik terkait pemanfaatan sumber daya bersama mengemuka. Kontrol sosial, berguna ketika kebutuhan hidup, seperti kebutuhan modal tidak dapat dipenuhi melalui saluran-saluran formal. Kontrol sosial disini akan disebut sebagai jaminan sosial. Menurut Benda-Beckman (2001), mekanisme jaminan sosial pada tingkat lokal merupakan keharusan ketika kebijakan dan keadaan selalu berubah-ubah dan tidak memberikan kepastian. Jaminan sosial yang muncul di desa Karangjaladri adalah Patron-Klien. Pola hubungan antara Ptron dan Klien/Pendega saling membutuhkan meskipun pada dasarnya Pendega lebih butuh karena butuh modal. Jaminan sosial lain yang dapat diidentifikasi adalah adanya Kegiatan arisan, simpan pinjam desa, simpanan di KUD, dan Kelompok Rukun Nelayan. Bentuk lain dari kontrol sosial, selain jaminan sosial, adalah kearifan lokal. Kearifan lokal disini adalah peraturan-peraturan lokal yang mendukung usaha pengelolaan sumber daya laut di desa Karangjaladri. Kearifan lokal itu, antara lain: Pertama, larangan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan pada hari Jumat. Kedua, distribusi dan jaminan akses bagi nelayan tradisional. Ketiga, Mengijinkan nelayan daerah lain untuk menangkap ikan dengan syarat menghormati dan menggunakan alat tangkap sama. Keempat, pemberiam sanksi bagi pelaku pencurian hasil dan alat tangkap nelayan. Kearifan lokal tersebut menjadi mekanisme kontrol sosial mencegah terjadinya konflik dalam penglolaan sumber daya. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, didapati penglolaan sumber daya in bersifat co-management, dikelola bersama dan menjadi tanggung jawab bersama. Temuan penulis sesuai dengan kriteria yang ditulis oleh Tulungen (2000), bahwa pengelolaan co-management memiliki kriteria sebagai berikut: (1) Ikatan sosial dan politik masyarakat yang tinggi; (2) Ketergantungan masyarakat akan sumber daya pesisir tinggi; (3) Tingkat kerusakan sumber daya akibat pemanfaatan yang tidak lestari rendah; (4) Kecenderungan masyarakat untuk konservasi sumber daya tinggi. 19 Analisis: Pengelolaan Sumber daya (Common Property) Kontrol Sosial Kearifan Lokal Persepsi Pengelolaan Jaminan Sosial - Patron-Klien - Simpan-Pinjam Kontrol Sosial Gambar 5 Bagan Analisis Pengelolaan Sumber Daya Perikanan berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Model pengelolaan sumber daya alam yang dikemukakan penulis belum meletakan dasar teori pada keterkaitan antara sisi ekologis dan antropologinya. Konsep co-management tidak menyebutkan siapa saja pihak-pihak yang perlu terlibat dalam pengelolaan. Kontrol sosial dan persepsi pengelolaan, dalam hal ini oleh nelayan, memiliki peranan penting dalam penyikapan bagaimana mengelola sumber daya bersama. Alur pemikiran berpusat pada pengelolaan Sumber daya (common pool) dimana ada dua konsep besar yang memengaruhi, yaitu Persepsi pengelolaan dan kontrol sosial. Persepsi pengelolaan adalah pandangan masyrakat utamanya nelayan mengenai laut sebagai sumber daya bersama. Artinya, pemanfaatannya tanpa aturan, tanpa batasan, semua orang boleh memanfaatkan. Untuk memberi keseimbangan, perlu adanya kontrol sosial berupa kearifan lokal. 7. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume/No:hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Nelayan Artisanal dalam Pemanfaatan Sumber daya Perikanan di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat : 2011 : Berkala (Jurnal) : Elektronik : Prihandoko, Amri Jahi, Darwis S. Gani, I Gusti Putu Purnaba, Luky Adrianto, dan Iwan Tjitradjaja : Makara, Sosial Humaniora : 15/2: 117-126 : http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/a rticle/viewFile/1418/1249 : 6 Desember 2014 pukul 12.37 WIB 20 Nelayan Artinasal merupakan nelayan atau orang pemilik perahu yang sebagian besar penghasilannya bergantung pada kegiatan penangkapan ikan di laut, mengoperasikan sendiri perahunya dengan ukuran berat perahu antara 2,75–25 GT (atau ukuran panjang perahu antara 5 meter hingga 15 meter, lebar antara 1,5 meter hingga 6 meter menggunakan peralatan tangkap ikan sederhana (seperti gilnet, jaring badut, minitrawl, pancing, rawai pancang), menggunakan sistem penghasilan bagi hasil antarapemilik dan anak buah kapal, dan menjual hasil tangkapan ikan dalam lingkup pasar lokal yang terbatas (Berkes et al (2001), Charles (2001), Satria (2002), Luky (2007)). Nelayan artinasal di sepanjang pantai utara Provinsi Jawa Barat memiliki beragam perilaku dalam memanfaatkan sumber daya alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini penting untuk dikaji karena kehidupan nelayan yang sangat beragam. Perspektif yang digunakan untuk mengukur perilaku secara akurat adalah theory planned behaviour (TPB). TPB merupakan teori perilaku yang direncanakan. Anggapan selama ini, teori yang paling dekat hubungannya dengan teori perilaku adalah sikap. Namun, Fishbein & Ajzen (1975) membantahnya. Menurut mereka, teori niat lebih ddekat memengaruhi perilaku. Perspektif inilah yang disebut adalah theory planned behaviour (TPB). TPB menurut Ajzen (2005) menempatkan komponen sikap (attitude),norma subjektif (subjectif norm) dan keyakinan kemampuan berperilaku (perceived behaviour control) sebagai aspek yang memengaruhi niat untuk berperilaku (behaviour intention). Penelitian ini dilakukan untuk menguji keabsahan ketiga variabel ini dalam kaitannya dengan pengaruhnya terhadap perilaku nelayan di sepanjang pantai utara Provinsi Jawa Barat. Kemudian ketiga variabel tersebut diformulasikan dengan 3 variabel lain membentuk suatu hubungan saling keterkaitan. Ketiga variabel yang lain tersebut adalah perilaku (behaviour), Karakteristik Individu, dan norma subjectif. Berdasarkan hassil penelitian, ditemukan 5 hipotesis awal. Hipotesis 1: “Karakteristik demografi (X1) berpengaruh positif terhadap sikap (X2), Hipotesis 2: “Karaktersitik demografi X1) berpengaruh positif terhadap norma subjektif (X3), Hipotesis 3: “Karaktersitik demografi (X1) berpengaruh positif terhadap keyakinan kemampuan berperilaku (X4)”, Hipotesis 4: “Sikap (X2), norma subjektif (X3) dan keyakinan kemampuan berperilaku (X4) berpengaruh positif terhadap niat untuk berperilaku (Y1)” dan Hipotesis 5: “Niat untuk berperilaku (Y1) berpengaruh positif terhadap perilaku (Y2)”. Hasil olahan kelima hipotesis tersebut menghasilkan simpulan bahwa kecenderungan nelayan di pantai utara Provinsi Jawa Barat untuk berperilaku secara spontan (tanpa disertai dengan niat untuk berperilaku) lebih besar dibandingkan dengan perilaku yang diawali oleh niat untuk berperilaku. Hal ini dimungkinkan karena mereka yang memiliki niat berperilaku memiliki informasi yang lebih komperehensif tentang kegiatan penangkapan ikan. Adanya faktor niat untuk berperilaku (meski nilai koefisiendeterminannya lebih kecil dibandingkan dengan perilaku yang tidak disertai oleh niat), sejalan dengan perpektif TPB dan perspektif teori communication and human behavior.Menurut perspektif teori ini, perilaku merupakan suatu tindakan manusia yang 21 diawali oleh adanya proses input berupa informasi yang masuk dari tiap individu (Ruben, 1992). Hasil penelitian menunjukan, Pengaruh variabel sikap, norma subjektif dan keyakinan kemampuan berperilaku terhadap variabel niat untuk berperilaku (R2 = 0,40), mengindikasikan adanya pengaruh variabel lain sebesar 60 persen diluar variabel sikap, norma subyektif dan keyakinan kemampuan berperilaku yang memengaruhi variabel niat untuk berperilaku. Hal ini membuktikan bahwa niat untuk berperilaku nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan tidak sepenuhnya sejalan dengan perilaku yang dikerjakannya. Penjelasan mengenai kenapa variabel lain yang lebih sedikit presentasenya justru memengaruhi lebih banyak perilaku nelayan menangkap ikan dapat dijelaskan dengan teori strukturasi. Teori Strukturasi menjelaskan perbedaan antara agen (aktor) (dalam tingkat mikro) dan struktur (dalam tingkat makro; Ritzer, 2004). Agen merujuk kepada kapasitas seseorang untuk bertindak secara independen dan membuat pilihan mereka sendiri. Pada sisi yang lain, struktur secara luas merujuk pada penataan terpola berulang yang nampaknya memengaruhi atau membatasi pilihan dan kesempatan yang dimiliki seseorang. Pada kasus nelayan artisanal di pantai utara Provinsi Jawa Barat, agen (actor) adalah para nelayan artisanal tersebut dengan perbedaan latarbelakang karakteristik demograsi yang berbeda. Semua tindakan sosial melibatkan struktur, dan semua struktur melibatkan tindakan sosial. Pada kasus nelayan artisanal di pantai utara Provinsi Jawa Barat seperti penelitian ini, struktur yang dimaksud adalah lingkungan yang memberikan konteks bagi aktor para nelayan dalam berperilaku. Urgensi dari penelitian ini adalah mengamati adanya perilaku yang diawali dengan niat dan yang tidak diawali dengan niat, dimana niat tersebut dibangun oleh berbagai variabel. Hubungan urgensi penelitian ini dengan aktivitas penangkapan dan pemanfaatan sumber daya laut adalah ada pada ko-manajemen. Laut dan isinya merupakan sumber daya bersama. Artinya semua orang bisa mengeksploitasi dan meninggalkan laut tanpa tanggung jawab pengelolaan. Dari sini timbulah tragedy of the common. Dilihat dari rezim kepemilikannya, terjadi tumpang tindih dalam penguasaannya, yaitu common property right, state property right dan private property right. Common property right di perairan pantai utara Provinsi Jawa Barat ditunjukkan dengan penggunaan alat tangkap trawl dan sejenisnya yang merusak lingkungan demi mendapatkan hasil tangkapan maksimal meski hal ini dilarang. State property right ditunjukkan dengan penguasaan wilayah laut oleh Negara dengan pemanfaatan dilakukan oleh masyarakat sebagai stakeholders (termasuk nelayan) demi kepentingannya masing-masing. Private property right ditunjukkan dengan penguasaan sebagian wilayah laut oleh pihak swasta yang tidak memungkinkan stakeholderslain memasuki wilayah perairan tersebut. Situasi ini diantaranya ditunjukkan dengan kasus pengkaplingan laut dan adanya fasilitas anjungan milik perusahaan migas offshoreyang tidak boleh dimasuki oleh nelayan dalam radius 500 meter sekitarnya. Adanya perbedaan regim 22 property ini, menimbulkan konflik antar stakeholder. Pada beberapa lokasi, kasus konflik sejenis sudah terjadi di perairan pantai utara Provinsi Jawa Barat. Karena potensi konflik yang tinggi inilah penting untuk meneliti bagaimana perilaku nelayan dalam pemanfaatan sumber daya laut di kawasan ini. Proses komanajemen merupakan proses yang melibatkan banyak pemangku kepentingan, salah satunya adalah nelayan itu sendiri. Sebagai suatu kegiatan yang kompleks, komanajemen perikanan di pantai utara Provinsi Jawa Barat harus pula melakukan identifikasi dan pemetaan terhadap peran-peran yang dilakukan oleh stakeholder lain. Prioritas nilai-nilai lokal dibutuhkan sebagai acuan pembangunan dan pengelolaan sumber daya pesisir yang menyeimbangkan antara dampak dari globalisasi dengan menyediakan kearifan lokal sebagai identitas sosial dan modal sosial guna membantu nelayan tetap bertahan hidup dalam kesatuan antara lingkungan di tengah ekonomi global. Analisis: Pengelolaan SDA Laut Perilaku Nelayan (TPB) Ko-manajemen Sikap (Attitude) Norma Subjektif (Subjective Norm) Kemampuan Berperilaku (Perceived Behaviour Control) Gambar 6 Bagan Analisis Faktor-Faktor Perilaku Nelayan terhadap Pengelolaan SDA Laut Dalam upaya pengelolaan laut, sangat penting untuk mengidentifikasi setiap stakeholder yang terlibat didalamnya. Apalagi laut merupakan sumber daya bersama, yang artinya semua pihak punya hak memanfaatkan tapi tidak semua pihak diikat oleh tanggung jawab untuk menjaga kelestarian sumber daya tersebut. Alhasil, jika tidak terkelola dengan baik, konflik dapat pecah. Oleh karena itu penting untuk menelaah perilaku nelayan. Sebagai salah satu stakeholder, nelayan memiliki peran penting sekaligus strategis dalam keberlanjutan sumber daya laut itu sendiri. Dengan mengetahui perilaku nelayan, nantinya dapat dirumuskan konsep ko-manajemen terbaik untuk mengelola sumber daya tersebut. 23 8. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume/No:hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Dampak Aktivitas Ekowisata di Pulau Karimunjawa Berdasarkan Persepsi Masyarakat : 2014 : Berkala (Jurnal) : Elektronik : Akhsanul Ni’am Laksono, Mussadun : Jurnal Teknik PWK : 3/3: 262-273 : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/pwk : 6 Desember 2014 pukul 14.02 WIB Konservasi sumber daya dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa model, salah satunya Ekowisata. Ekowisata merupakan perpaduan antara konservasi dan pariwisata. Menurut Marpaung dan Herman (2002), aktifitas pariwisata bertujuan untuk: (1) Memperluas kesempatan kerja danlapangan usaha serta penerimaan devisa Negara, (2) Memperkanalkan budaya bangsa,memelihara kepribadian, kebudayaan nasional serta memupuk rasa cinta tanah air, dan (3) Mendorong pembangunan daerah dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Salah satu lokasi yang paling baik untuk menerapkan ekowisata adalah Taman Nasional. Hal ini karena Taman nasional menerapkan konservasi sekaligus wisata yang berkelanjutan. Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) merupakan salah satu taman nasional yang berada di kawasan pesisir. Namun demikian, meskipun menerapkan ekowisata, bukan berarti tanpa gangguan. Penelitian Purwanti, dkk (2001) menunjukan tingginya kerentanan akibat adanya gangguan, baik yang dari alam sendiri dan manusia. Ekowisata, menurut Yulianda (2007) tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan, tapi juga mempertahankan nilai sumber daya alam dan manusia. Lebih lanjut, META (2002) menambahkan ekowisata merupakan wisata yang berorientasi lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumber daya alam/lingkungan dani industri kepariwisataan. Berdasarkan konsep pemanfaatannya, ekowisata dapat dibedakan kedalam tiga tipe (Fandelli, 2000; META, 2002 dalam Yulianda, 2007): (1) Wisata Alam, (2) Wisata Budaya, dan (3) Ekowsiata. Perbedaan ekowisata dengan tipe wisata lainnya adalah pemanfaatannya yang berorientasi pada lingkungan. Atraksi wisata yang ditawarkan oleh TNKJ didominasi oleh obyek-obyek berbasis pesisir dan laut. Obyek atraksi wisata yang ditawarkan adalah terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan makam sunan muria. Aktifitas wisata yang ditawarkan dari obyek tersebut adalah Snorkeling, Diving, Tracking Mangrove, dan Wisata religi. Kegiatan ekowisata di TNKJ ini telah banyak memberi pengaruh bagi masyarakat, baik dari sisi positif maupun negatif. Dampak positif yang dibawa oleh adanya Ekowisata di TNKJ adalah: (1) Diversifikasi Jenis Pekerjaan, (2) Peningkatan pendapatan Masyarakat, (3) Bertambahnya lapangan pekerjaan, dan (4) Peningkatan penjualan barang-barang lokal. Sedangkan dampak negatifnya meliputi, antara lain: (1) Kerusakan Lingkungan, (2) Menurunnya nilai-nilai budaya lokal, dan (3) Monopoli penyediaan jasa oleh pihak-pihak tertentu. 24 Semakin banyaknya wisatawan yang datang ke Karimunjawa membuka kesempatan lapangan kerja baru dan juga alternatif pekerjaan lain selain nelayan. Ketika musim sedang tidak baik di bulan Maret-Juni, nelayan biasanya tidak melaut. Kalaupun melaut, hasil yang ditangkap tidak begitu besar. Sebagian besar dari mereka beralih kerja menjadi pemandu wisata. Selain sebagai pemandu wisata, industri-industri kecil juga tumbuh subur karena adanya wisata. Industri kecil seperti kerajinan, makanan, toko kelontong, dan juga pemmbuatan suvenir sebagai oleh-oleh. Meningkatnya kegiatan pariwisata merangsang peningkatan pendapatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak dari masyarakat yang menyediakan penyewaan jasa wisata seperti homestay, alat snorkeling, dan peralatan lainnya. Jumlah penginapan meningkat dari 25 homestay pada tahun 2007 menjadi 34 homestay di tahun 2012. Selain dampak positif, ekowisata di TNKJ juga membawa dampak negati. Dampak negatif yang pertama adalah kerusakan lingkungan. Aktivitas penyelaman telah banyak merusak terumbu karang. Pembangunan disekitar pantai, seperti reklamasi juga merusak komunitas lamun dan juga mangrove. Dampak negatif di sisi ekonomi adalah munculnya kalangan tertentu yang memonopoli penyediaan jasa wisata. Peningkatan pendapatan kurang merata. Dan yang terakhir, dampak negatif pada sisi budaya adalah memudarnya budaya lokal akibat banyaknya pendatang/wisatawan yang masuk wilayah TNKJ. Analisis: Dampak Negatif: (1) Kerusakan Lingkungan, (2) Menurunnya nilai-nilai budaya lokal, dan (3) Monopoli penyediaan jasa oleh pihak-pihak tertentu. EKOWISATA Dampak Positif: (1) Diversifikasi Jenis Pekerjaan, (2) Peningkatan pendapatan Masyarakat, (3) Bertambahnya lapangan pekerjaan, dan (4) Peningkatan penjualan barang-barang lokal Gambar 7 Bagan Analisis Dampak Kegiatan Ekowisata Ekowisata adalah pariwisata yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan, tidak hanya memanfaatkan, tapi juga mempertahankan nilai sumber daya alam dan manusia. Ekowisata memberi dampak tidak hanya positif, tapi juga negatif bagi masyarakat sekitar, utamanya nelayan. Penetapan taman nasional Karimunjawa sebagai kawasan ekowisata telah memberi dampak positif, terutama di perekonomian. Patut diperhitungkan sisi lain dari penetapan dan pengelolaan kawasan ekowisata, yaitu tata guna area pesisir dan laut. Laut merupakan sumber daya bersama (common property) yang bersifat open access sehingga potensi konflik dapat pecah kapan saja. Pengelolaan dan pengaturan zonasi wilayah perlu kelembagaan yang sangat kuat. 25 9. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume:hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Struktur dan Pola Hubungan Sosial Ekonomi Juragan dengan Buruh di Kalangan Nelayan Pantai Utara Jawa Barat : 2008 : Berkala (Jurnal) : Elektronik : Muhiddin Tafalas : Jurnal Kependudukan Padjadjaran : 10(1):50-63 : http://jurnal.unpad.ac.id/kependudukan/artic le/view/doc5 : 23 Desember 2014 pukul 14.40 WIB Pengelolaan perikanan dapat dibedakan menjadi pemanfaatan dan perlindungan. Contoh usaha pemanfaatan adalah perikanan tangkap. Pemanfaatan sumber daya perikanan menjadi salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat pesisir. Berdasarkan kegiatan usahanya, pemanfaatan perikanan dapat digolongkan kedalam dua hal, yaitu budidaya perikanan darat dan perikanan laut tangkap. Di kalangan masyarakat pesisir sendiri, terkenal istilah tidak ada orang kaya tanpa orang miskin. Harta orang-orang kaya banyak disumbang dari keberhasilan orang miskin. Hubungan kedua golongan tersebut biasanya berkaitan dengan sumber daya. Hubungan atau jaringan kerja di antara golongan penduduk baik menurut usia atau jenis kelamin dan juga di antara berbagai lapisan masyarakat yang terlibat di bidang usaha perikanan bisa diibaratkan sebagai suatu jaring laba-laba yang saling berkaitan. Jaring yang terkonsentrasi memiliki satu fokus atau tujuan, yakni menjual tangkapan ikan ke pasaran atau konsumen, baik di pasar atau daerah lain (Mubyarto, 1984). Wilayah Pantai Utara Jawa Barat atau lebih dikenal sebagai Pantura, merupakan salah satu sentra produksi perikanan laut. Penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang bekerja pada sektor Perikanan di Kabupaten Subang 5.760 orang, Peternakan 4.010, Pertanian tanaman pangan 285.090 orang, Perkebunan 10.361 orang dan pertanian lainnya 2.801 orang (Sensus penduduk, 2000). Di Kabupaten Subang terdapat beberapa daerah nelayan di Pantai Pondokbali Kecamatan Legonkulon, dan Kelapa. Dengan adanya daerah nelayan, diharapkan potensi alam khususnya potensi laut yang terdapat di Kabupaten Subang dapat meningkatkan kesejahteraan para nelayan. Berdasarkan kedudukannya, nelayan yang terdapat di wilayah tersebut terbagi menjadi dua yaitu nelayan yang mempunyai alat-alat produksi untuk menangkap ikan seperti perahu, yang biasanya disebut sebagai “juragan”, dan nelayan buruh yaitu nelayan yang hanya memiliki sumber daya jasa tenaga dan dimanfaatkan untuk bekerja sebagai buruh pada pemilik perahu (juragan). Nelayan buruh menggantungkan hidup mereka pada sumber permodalan juragan. Sedangkan juragan juga bergantung pada nelayan buruh untuk menjalankan usahanya hingga menghasilkan keuntungan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditemukan berbagai kelompok juragan, yaitu: 1. Juragan Pengusaha 26 Juragan yang mempunyai perahu banyak (lebih dari 5 unit perahu) dan dalam pengelolaannya seperti layaknya seorang pengusaha. 2. Juragan Kuli Juragan yang mempunyai perahu tetapi pada saat melaut, yang menjadi nahkodanya adalah pemilik perahu (juragan) itu sendiri. 3. Juragan sebagai Mata Pencaharian Pokok Juragan yang memperoleh pendapatan keluarganya hanya dari kedudukannya sebagai juragan. 4. Juragan sebagai Sambilanpekerjaan sampingan juragan tersebut dalam menambah pendapatan keluarganya. Pada umumnya yang menjadi juragan ini adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain struktur juragan, ditemukan juga struktur pekerja pada nelayan berdasarkan pekerjaannya: 1. Nahkoda Bertanggung jawab atas jalannya operasi penangkapan ikan, memegang kepemimpinan atas anak buah kapal yang dibawa, biasanya merupakan tangan kanan juragan. 2. Motoris Orang yang bertanggung jawab atas mesin dari perahu tersebut. 3. Orang Tengah Orang yang bekerja menarik jaring bergantian. 4. Koki atau Dapur Orang yang bekerja menyiapkan makanan. Kedudukan sebagai juragan yang telah dimiliki oleh petani nelayan adalah kedudukan yang dicapai dengan usaha-usaha yang disengaja, yaitu melalui usaha yang gigih atau ulet, akan tetapi kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja bergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuantujuannya. Pada masyarakat nelayan kedudukan seorang juragan, terutama juragan pengusaha mempunyai kedudukan yang paling tinggi baik pada saat membawahi anak buah kapal yang baru tiba dari melaut maupun dalam struktur sosial pada masyarakat nelayan pada umumnya. Sesungguhnya dari lapisan sosial tersebut juragan sangat membutuhkan nelayan buruh sebagai operator di lapangan agar alat produksi yang dimiliki juragan dapat bekerja sehingga memberikan hasil. Nelayan buruh membutuhkan juragan karena merekalah yang memiliki akses ke faktor-faktor produksi. Sesungguhnya pola patron-klien yang biasanya terdapat pada struktur sosial masyarakat petani dan nelayan ternyata telah bergeser menjadi hubungan kerjasama majikan-buruh atas dasar upah. Pendapatan nelayan, terutama nelayan buruh, dilihat dari konsumsinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Dibeberapa rumah tangga bahkan ditemukan semua pendapatan digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa belum ada anggaran dari pendapatan yang dialokasikan untuk tabungan atau investasi. Meskipun demikian, dari penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa nelayan yang belum berkeluarga memiliki pengeluaran lebih banyak daripada nelayan yang sudah berumah tangga. Hal ini dipengaruhi oleh pengeluaran untuk hiburan seperti pesta rakyat dan peringatan 17 Agustus. 27 10. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume:hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Pengetahuan Ekologi Tradisional Masyarakat Orang asli Jakun dalam Menilai Ekosistem Servis di Tasik Chini, Malaysia. : 2011 : Berkala (Jurnal) : Elektronik : Cahyo Seftyono : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik : 15/1: 55-67 : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.ph p/jsp/article/view/16 : 10 Desember 2014 pukul 10.15 WIB Hubungan antara manusia dengan alam tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan. Dalam kajian radical ecology oleh merchant, bahkan “batu pun memiliki haknya” (Merchant, 2005). Kesatuan alam dan isinya disebut ekosistem. Ekossitem menyediakan keberagaman yang sngat kompleks. Salah satu ekosistem yang dapat dikaji adalah ekosistem tentang tasik (istilah malaysia untuk danau). Salah satu tasik penting yang ada di Malaysia dan menjadi sumber air bagi masyarakat lokal adalah Tasik Chini. Tasik Chini adalah tasik alam terbesar kedua di Semenanjung Malaysia. Tasik ini memiliki peranan penting dalam suplai air sekaligus menyimpan potensi perikanan yang penting bagi masyarakat lokal (Shuhaimi Othman, 2007; Muhammad-Barzani et. al.,2007). Selain pensuplai air, Tasik Chini juga dijadikan destinasi pariwisata dimana pengunjungnya berasal dari dalam maupun luar negeri (Idris et. al., 2005; Kuttyet. al., 2009). Bagi orang asli disini, keberadaan Tasik Chini sangat penting. Orang asli didefinisikan sebagai kelompok minoritas yang terdiri dari tiga kelompok pembagian, yaitu Negrito, Senoi dan Proto-Melayu (Department of OrangAsli Affairs, tanpa tahun; Gomes, 2004; T oshihiro, 2008). Di T asik Chini sendiri, terdapat Orang Asli Jakun yang memiliki empat buah Kampung yang mengelilingi tasik. Secara garis besar, kampung yang memiliki penduduk cukup banyak (kurang lebih 400 warga) adalah Kampung Gumum, yang mana terdapat ketua adat bernama Batin Awang. Dei (1993) mengungkapkan, pengetahuan orang asli adalah tradisi kultural, nilai-nilai (yang dimiliki Orang Asli), kepercayaan-kepercayaan mereka, dan pandangan masyarakat lokal yang dipilih melalui referensi pengetahuan yang diambil dari Barat. Lebih lanjut, Dei menjelaskan bahwa pengetahuan lokal juga bisa muncul dari pengalaman masyarakat yang beronteraksi dengan alam secara turun-temurun. Artinya, pengetahuan tradisional bersifat menyeluruh dan bentuknya inklusif. Hiebert dan Van Rees (1998) menjelaskan Pengetahuan tradisional sebagai sesuatu yang dipelajari dan diaktualisasi secara terus menerus dalam menghubungkan manusia dengan tumbuhtumbuhan, tanah, dan air. Merujuk hal ini, relasi antara manusia dan alam (ekosistem) tidak dapat terpisahkan. Pembahasan pengetahuan ekologi tradisional membedah kaitan manusia dengan bio-diversity dengan merujuk pada kajian kultural, ekonomi, politik dan hubungan spiritual dengan tanah. Selain itu pengetahuan ekologi tradisional juga dibangun dari grup-grup yang ada di masyarakat dari waktu ke waktu yang hidup berhampiran dengan lingkungan sebagai bagian dari sistem yang terklasifikasi dan hasil pengamatan empiris terkait dengan ekosistem lokal yang memengaruhi penggunaan sumber daya (BeverlyQamaniruaq Caribou Management Board, 1996). Dengan kata lain, relasi antara 28 manusia dengan alam ini kemudian memberi dampak bagaimana mereka memiliki konstruksi atas nilai dari sebuah ekosistem, yang dibangun secara turun temurun tersebut. Terkait dengan nilai dari ekosistem servis, maka dapat dilihat dalam pandangan Robert De Groot (De Groot et.al, 2002) sebagai penilaian yang plural. Penilaian yang plural disini berarti penilaian terhadap ekosistem servis tidak saja berkutat dengan apa yang bernilai ekonomis saja. Konsep nilai disini melampaui kajian ekologi, sosial, politik, kultural serta kajian ekonomi itu sendiri. Kajian-kajian yang dilakukan secara parsial ini dapat dikategorisasi merujuk pada pemikirpemikirnya sebagai berikut: Robert Costanza (Costanza et. al., 1998) dan Stephen Farber (Farber et. al., 2002) dalam kajian ekonomi dan ekologi. Bryan G. Norton (2007) yang mengkaji dari perspektif sosial budaya dari nilai ekosistem servis. Kemudian, untuk kajian ekologi dan ekonomi lainnya, yang menekankan terhadap kajian ekologi adalah Gretchen C. Daily (Daily et. al., 2003). Nilai ekonomis dari sebuah ekossitem servis merujuk pada sesuatu yang digunakan sebagai komoditas maupun kontribusi kepada individu yang memunculkan keuntungan, bisa juga berwujud marginal cost. Nilai ekologi dari sebuah ekosistem (servis) sendiri merujuk kepada hal-hal yang menyangkut dengan keberadaan ekosistem itu sendiri dalam kaitannya dengan proses ekologi dan pemanfaatan secara langsung oleh manusia. Selain dari segi ekonomi dan ekologi, konsep nilai dari ekosistem servis yang lain adalah konsep nilai sosial dan kultural (serta politik didalamnya). Tasik Chini merupakan suatu sumber daya yang dimanfaatkan secara luas. Untuk mendukung pemanfaatan ini, dibentuk suatu organisasi kemasyarakatan bernama JKKK Kampung. Organisasi masyarakat ini kurang kuat sehingga bekerjasama dengan NGO SUSDEN. Hasil kerjasama ini adalah terbentuknya PPTC. Tujuan utama terbentuknya organisasi ini adalah menyelamatkan Tasik Chini. Selain muatan politis, Tasik Chini juga mengikat warga orang asli dan orang lain dalam nilai sosial. Hal ini ditunjukan dengan adanya interaksi yang baik antara warga kampung Belimbing (orang asli) dan warga kampung lain. Sebagai sumber daya terbuka, tasik Chini menarik orang-orang untuk datang ikut mengusahakan tanah. Namun demikian, hubungan baik yang terbangun mulai merenggang setelah pembangunan jalan. Fenomena sosial ini mengantar pada segregasi di masyarakat, yang semestinya tidak muncul hanya karena adanya kebijakan pemerintah terkait dengan pembangunan. Karena keduanya masingmasing memiliki identitas politik dan budaya yang harus tetap eksis dan terhubung satu dengan lainnya, terlebih keduanya mampu menjadi pintu masuk ke Tasik Chini. Identitas ini perlu sebagai manifestasi nilai-nilai yang diyakini (Preston, 1997). Analisis: Pengetahuan Ekologi Tradisional. Nilai Ekologis Manajemen Ekosistem Nilai ekonomis Nilai SosialKultural Gambar 8 Bagan Analisis Pengetahuan Ekologi Tradisional terhadap Manajemen Ekosistem 29 Tasik Chini merupakan sebuah sumber daya terbuka yang pengelolaannya didasarkan oada pengetahuan ekologi tradisional masyarakat sekitarnya. Pengetahuan lokal tersebut dibangun oleh nilai-nilai ekologis, sosial-kultural, dan juga ekonomis. Pengelolaan tidak hanya terbatas pada pemanfaatan tapi juga pemeliharaan. Pandangan dan perspektif masyarakat setempat memiliki peranan penting terhadap karakteristik pengelolaan itu sendiri. ANALISIS DAN SINTESIS Sistem Hak Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pengembangan Ekowisata Definisi Ekowisata Ekowisata merupakan turunan dari pariwisata. Pariwisata sendiri diartikan sebagai perpindahan atau perjalanan secara temporer dari tempat mereka biasanya bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan (Machieson dan Wall, 1982). Perbedaan antara pariwisata (mass tourism) dengan ekowisata (ecotourism) terletak pada batasan yang diterapkan kepada pengunjung. Ekowisata merupakan jenis wisata yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan itu sendiri. Ekowisata merupakan wisata yang berbasis pada alam. Artinya, pelaksanaan atau penerapan ekowisatanya identik dan berhubungan dengan lingkungan. Munculnya konsep ekowisata dilatarbelakangi oleh percepatan degradasi lingkungan yang berlangsung sangat cepat. Dalam kegiatan wisata, terjadi pengurangan nilai sumber daya, baik secara ekonomis maupun ekologis. Biasanya, kawasan ekowisata berada dalam kawasan konservasi. Istilah ekowisata pertama kali dikenalkan oleh The Ecotourism Society pada tahun 1990. Setelah itu, beragam definisi mengenai ekowisata telah diungkapkan oleh para ahli. Cukier dan Wall (1995) mengutip Ceballos dan Lascurian (1991) menyatakan bahwa ekowisata merupakan pariwisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan alam yang secara relatif belum terganggu dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti dan menikmati pemandangan yang indah, tumbuh-tumbuhan serta binatang liar maupun kebudayaan yang dapat ditemukan di sana. Beragam definisi lain mengenai ekowisata dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Definisi Ekowisata Sumber Yulianda (2007) Definisi Ekowisata Bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan Konservasi. Ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumber daya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan, dan psikologis pengunjung. World Tourism Organization (2003) dalam Nugroho, Yusuf, dan Suryono (2013) Kegiatan pengelolaan dan pembangunan dalam upaya mencegah atau mengurangi dampak kerusakan pada biodiversitas. Lindberg (1991) dalam Karsudi, Soekmadi, dan Kartodiharjo (2010) Perjalanan yang bertanggung jawab ke wilayah alami yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan sehingga menekan dampak terhadap lingkungan dan sosial budaya, membangkitkan pendanaan bagi kawasan-kawasan yang dilindungi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Setyadi, dkk (2012) Green Industry yang mampu menciptakan pariwisata berkualitas, dapat mempertahankan kualitas objek dan daya tarik alam seperti hutan, sungai, danau, dan pantai, juga dapat menggerakan perekonomian daerah. Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan oleh beragam ahli tersebut, dapat disimpulkan apa itu ekowisata. Pertama, ekowisata merupakan jenis wisata baru yang menjadikan alam sebagai daya tarik (attractiveness) utamanya. Perjalanan yang 31 dilakukan ke alam ini mewajibkan pengunjung untuk memiliki tanggung jawab dalam kelestarian alam itu sendiri. Kedua, ekowisata menitikberatkan wisata yang memiliki prinsip keberlanjutan. Artinya, permintaan wisata tidak boleh melebihi daya tampung obyek itu sendiri (carrying capacity). Jika jumlah pengunjung tidak dibatasi hingga melebihi daya dukung, degradasi lingkungan akan semakin cepat terjadi hingga akhirnya mengalami kerusakan. Ketiga, ekowisata merupakan wisata yang memiliki orientasi pada peningkatan perekonomian. Ekowisata tidak hanya berfokus pada keberlanjutan lingkungan, tapi juga bagaimana lingkungan memberikan jasa yang dapat mendatangkan keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini, ekowisata menjadi industri baru dalam meningkatkan jumlah pendapatan. Keempat, ekowisata merupakan jenis wisata yang memasukan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuanya. Artinya, ekowisata tidak ikut menjaga keberlanjutan tidak hanya alam, tapi juga eksistensi manusia di sekitar wilayahnya. Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa ekowisata merupakan jenis ekowisata baru yang berbasis pada alam, mengutamakan prinsip keberlanjutan, meningkatkan perekonomian daerah kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Peraturan tentang Ekowisata Melalui definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekowisata memiliki prinsipprinsip dasar yang harus dipatuhi. Prinsip ini dapat berupa peraturan-peraturan, maupun indikator kelayakan ekowisata. Penetapan kawasan ekowisata biasanya muncul setelah adanya kawasan konservasi. Sesuai dengan Permendagri No. 33 Tahun 2009 (Pasal 4) tentang pedoman pengembangan ekowisata daerah, pemerintah daerah dalam mengembangkan ekowisata harus melalui tahap perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Perencanaan tersebut harus tertuang dalam RPJPD, RPJMD, dan RKPD. Tidak hanya dalam aspek penetapan, penggunaan sumber daya juga menjadi acuan. Sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990 pasal 29 (ayat 1), kawasan pelestarian terdiri dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Artinya, konsep wisata merupakan turunan dari kawasan pelestarian alam. Mengacu pada perundangan ini, kegiatan ekowisata tidak bisa diselenggarakan tanpa memperhatikan keberlanjutan dan kelestarian alam. Prinsip pelestarian alam akan selalu mengacu pada zonasi wilayah konservasi. Biasanya, ekowisata berada pada kawasan zona penyangga, dimana pemanfaatannya bersifat terbatas. Keberhasilan suatu penyelenggaraan ekowisata dapat dilihat dari kelestarian alam dan peningkatan perekonomian daerah, secara khusus peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal sekitar kawasan. Mengacu pada UUD 1945 pasal 33, kekayaan alam dan isinya harus dipergunakan secara maksimal untuk kesejahteraan orang banyak. Ekowisata menjadi industri yang meningkatkan kesejahteraan rakyat. Aspek–aspek prinsip ekowisata dapat dilihat pada Tabel 2. 32 Tabel 2 Peraturan tentang ekowisata Sumber Permendagri No. 33 Tahun 2009 Penjelasan Pembahasan mengenai pedoman pengembangan ekowisata di daerah. Pengaturan pengembangan mulai tahap perencanaan, pemanfaatan, sampai pengendalian. Pengembangan ekowisata mewajibkan pemberdayaan masyarakat setempat UU No. 5 Tahun 1990 Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam tidak boleh mengurangi fungsi pokok kawasan sebagai penyangga. UU No. 10 Tahun 2009 Pelaksanaan pembangunan pariwisata memperhatikan keanekaragaman, keunikan, kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. UU No. 24 Tahun 1994 Penetapan pengembangan ekowisata di daerah harus mengikuti rencana tata ruang daerah. PP No. 18 Tahun 1994 Pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan sesuai dengan asas konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. PP No. 67 Tahun 1996 Penyelenggaraan pariwisata bertujuan untuk memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja. Merujuk pada Tabel 2, pengembangan ekowisata hendaknya berpedoman pada hal-hal sebagai berikut (Yoeti, 2000): 1. Masyarakat setempat dihimbau untuk memelihara adat dan kebiasaan seharihari tanpa pengaruh dari wisatawwan yang datang, 2. Pembangunan dan aktivitas proyek harus melibatkan penduduk lokal semaksimal mungkin, dan 3. Penggunaan fasilitas dan teknologi modern diminimalkan Di ekosistem pesisir, hutan mangrove menjadi komiditi andalan. Luas hutan mangrove Indonesia mencapai 2.496.185 ha. Bahkan, keberagaman jenisnya tertinggi di dunia, mencapai 89 jenis (Nugroho dan Dahuri, 2004). Di ekosistem laut, selain keberagaman terumbu karang yang sangat tinggi, produk perikanan laut Indonesia juga sangat menjanjikan. Menurut Aziz et al. (1998) dalam Nugroho dan Purwanto (2004), potensi lestari ikan laut Indonesia mencapai 6,2 juta ton yang terdiri dari ikan pelagis besar (975,05 ribu ton), ikan pelagis kecil (3.236 juta ton), ikan demersal (1.786 juta ton), ikan karang konsumsi (64 ribu ton), udang peneid (74 ribu ton), lobster (4,8 ribu ton), dan cumicumi (28,25 ribu ton). Dengan potensi sebesar ini, wajar agenda pengelolaan sumber daya menjadi daya tarik bagi pengguna. Sistem Hak Kepemilikan Sumber Daya Sumber daya alam laut merupakan salah satu contoh sumber daya terbuka, artinya semua orang dapat memanfaatkannya secara bersama. Sumber daya bersama merupakan sistem sumber daya baik alami maupun buatan yang memiliki potensi besar dimana butuh harga mahal untuk menggunakan manfaat tersebut (Ostrom, 1990 dalam Satria et al., 2005). Sumber daya ini menurut tipenya, dibagi ke dalam 4 tipe (Buck, 1998 dalam Satria et al., 2005); (a) Private goods, (b) Tool Goods, (c) Common Pool Resources, dan (d) Public goods. Hak atas sumber daya Perikanan dan Kelautan dibagi ke dalam 4 tipe (Berkes, 1989); (1) Open acces, (2) State Property, (3) Private Property, dan (4) Communal 33 Property. Menurut Ostrom dan Schlanger (1990), terdapat 5 tipe hak kepemilikan sumber daya alam, yaitu: Hak Akses, Hak Pemanfaatan, Hak Pengelolaan, Hak Ekslusi, dan Hak Pengalihan. Masing-masing hak tersebut akan menentukan status kepemilikan terhadap sumber daya. Tabel 3 Status Kepemilikan Sumber daya alam Tipe Hak Owner Propieter Claiment Authorized User X X X X X Akses X X X Pemanfaatan X X X Pengelolaan X X Eksklusi X Pengalihan Sumber: (Ostrom dan Schalnger, 1996 dalam Satria, 2009) Authorized Entrand X Kepemilikan hak dari akses sampai pengalihan dimiliki oleh pemilik. Dalam kasus sumber daya alam, kepemilikan belum jelas. Beberapa bagian diakui sebagai milik negara. Beberapa bagian lain diklaim sebagai milik swasta. Pemilik berhak melarang pihak lain mengakses wilayah sumber daya tersebut. Hal ini biasanya menjadi sumber konflik dengan masyarakat setempat. Masyarakat setempat, yang secara adat dan budaya lokal sudah menempati daerah secara turun-temurun merasa tersingkirkan setelah adanya klaim dari pihak pemilik. Dalam UU No. 1 Tahun 2014 memperbarui UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pasal 60, masyarakat memiliki hak untuk: a. Memperoleh akses terhadap perairan pesisir yang sudah diberi izin lokasi dan izin pengelolaan, b. Mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K, c. Mengusulkan wilayah masyarakat hukum adat ke dalam RZWP-3-K, dan d. Memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Berdasarkan ketentuan ini, masyarakat menjadi bagian dalam pengelolaan wilayah pesisir, tidak hanya merawat, tapi juga memanfaatkan. Penelitian Tafalas (2010) di Kabupaten Raja Ampat menyebutkan bahwa muncul konflik kepemilikan lahan terkait pembagian wilayah ekowisata. Konflik ini terjadi antar sesama masyarakat dengan suku yang berbeda. Konflik kepemilikan lahan ini menjadi bukti bahwa hak kepemilikan sumber daya menjadi penting. Beberapa hasil penelitian lain mengenai sistem hak kepemilikan sumber daya dapat dilihat pada Tabel 4. 34 Tabel 4 Hasil penelitian tentang sistem hak dan kepemilikan sumber daya dalam pengelolaan wilayah perairan. No. Kasus Tipe Hak/Status Kepemilikan Hak pengelolaan (management right)/authorized user Deskripsi 1. Kegitan ekowisata di Distrik Mansaar, Raja ampat (Tafalas, 2010) PT Papua Diving mengontrol penglolaan, termasuk pembangunan infrastruktur dan pembukaan wilayah. 2. Kegiatan budidaya mutiara oleh perusahaan di Desa Gondang dan Jenggala, Lombok Barat (Satria et al. 2005) Hak pemanfaatan (withdrawl right)/ authorized user Perusahaan memiliki hak untuk memanfaatkan melalui SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) dan disertai dengan rekomendasi Teknik berupa SPPAP (Surat Perjanjian Pemanfaatan Area Perairan) dengan masa berlaku satu tahun. 3. KKPD (pengelolaan karang) di Raja Ampat (Boli, 2014) Hak Pemanfaatan (withdrawl right)/authorized user Masyarakat adat Papua (Raja Ampat) menyerahkan tanah, darat, dan laut adat pada pihak pengelola. KKPD mengakui kepemilikan masyarakat adat. Pengembangan Ekowisata Berdasarkan Hak Kepemilikan Dalam rangka menyediakan jasa lingkungan yang baik bagi industri pariwisata, ekowisata menjadi bagian dalam transformasi industri pariwisata. Tidak seperti industri yang menghasilkan barang-barang modal, industri pariwisata tidak akan habis bahan bakunya. Pariwisata kini menjadi industri jasa menjanjikan. Pertumbuhan yang berimbang bagi aktivitas perekonomian terjadi akibat majunya pertumbuhan industri pariwisata yang dikembangkan dengan baik (Yoeti, 2000). Industri jasa pariwisata menjadi motor bisnis bagi industri jasa lain seperti perhotelan, agen perjalanan, dan industri kerajinan (Yoeti, 2000). Untuk mewujudkan industri pariwisata yang berdaya saing, strategi pengembangan pariwisata atau secara spesifik, ekowisata sangat diperlukan. Strategi pengembangan ekowisata ini didasarkan dari permintaan dan penawaran jasa wisata. Strategi pengembangan ekowisata sangat beragam berdasarkan analisis sumber dan tujuan pengembangan. Setyadi, dkk (2012) memakai framework ANP yang meliputi lima cluster untuk mengukur kesiapan suatu kawasan ekowisata. Kelima cluster tersebut adalah tujuan, aspek, masalah, solusi, dan strategi pengembangan. Temuan Setyadi, dkk (2012) untuk mengembangkan ekowisata di Yepen adalah: (1) Peningkatan kerjasama dan pemahaman terhadap ekowisata bagi stakeholder, (2) Peningkatan komitmen dan dukungan dari pemerintah/pemerintah daerah, (3) Penegakan hukum, aturan/tata tertib, dan sanksi yang tegas dan konsisten, (4) Peningkatan kuantitas dan kualitas produk ekowisata melalui inovasi dan diversifikasi serta pemeliharaan, (5) Peningkatan pelayanan pengunjung secara profesional, (6) Pembangunan sarana inrastruktur, sarana transportasi dan aksesbilitas, (7) Peningkatan kesadaran masyarkat terhadap lingkungan, (8) Peningkatan kualitas SDM, dan (9) Penggalangan dana untuk konservasi. Amanah dan Utami (2006) dalam penelitiannya di pantai Lovina, Bali membuktikan bahwa adanya berbagai pihak yang melakukan aktivitas di kawasan pesisir tanpa disertai konservasi dan pemulihan akan berdampak terhadap menurunnya kondisi lingkungan. Hal ini membuktikan bahwa strategi pengembangan ekowisata juga harus memperhatikan perawatannya. Penelitian Nugroho, Yusuf, dan 35 Suryono (2013) mengungkapkan bahwa untuk mendukung pengembangan ekowisata, perlu strategi; (1) Memanfaatkan dukungan stakeholder, pemerintah dan masyarakat dalam mengoptimalkan Bandara Nusawiru, (2) Memanfaatkan daya tarik wisata yang menarik dan aman sebagai aset pengembangan agar wisatawan tidak cepat merasa bosan dan selalu nyaman, (3) Berkerjasama dengan agen-agen perjalanan wisata (paket wisata) baik yang terdapat di dalam negeri maupun luar negeri, (4) Memperbaiki teknik/metode promosi, (5) Menambah prasarana pendukung, (6) Melakukan penyuluhan kepariwisataan, serta Macam strategi pengembangan ekowisata dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Macam Strategi Pengembangan Ekowisata Sumber Karsudi, Soekmadi, Kartodiharjo (2010) Strategi pengembangan Ekowisata Strategi pesimis (pessimistic strategy). Strategi ini muncul karena kelembagaan ekowisata yang belum terbentuk, manajemen atraksi yang belum dirumuskan, penataan ruang yang belum dilaksanakan, strategi promosi dan pemasaran yang belum ada, dan keamanan di dalam dan luar kawasan yang belum kondusif. Setyadi, dkk (2012) Peningkatan kerjasama dan pemahaman terhadap ekowisata bagi stakeholder; Peningkatan komitmen dan dukungan dari pemerintah/pemerintah daerah, Penegakan hukum, aturan/tata tertib, dan sanksi yang tegas dan konsisten; Peningkatan kuantitas dan kualitas produk ekowisata melalui inovasi dan diversifikasi serta pemeliharaan; Peningkatan pelayanan pengunjung secara profesional; Pembangunan sarana inrastruktur, sarana transportasi dan aksesbilitas; Peningkatan kesadaran masyarkat terhadap lingkungan; Peningkatan kualitas SDM, dan Penggalangan dana untuk konservasi. Nugroho, Yusuf, dan Suryono (2013 Memanfaatkan dukungan stakeholder, pemerintah dan masyarakat dalam mengoptimalkan Bandara Nusawiru; Memanfaatkan daya tarik wisata yang menarik dan aman sebagai aset pengembangan agar wisatawan tidak cepat merasa bosan dan selalu nyaman; Berkerjasama dengan agen-agen perjalanan wisata (paket wisata) baik yang terdapat di dalam negeri maupun luar negeri; Memperbaiki teknik/metode promosi; Menambah prasarana pendukung; Melakukan penyuluhan kepariwisataan; serta Mengoptimalkan peran BALAWISTA dalam mengurangi resiko dampak bencana. Nugroho (2004) Pengembangan atraksi wisata yang belum termanfaatkan; Kerjasama multi stakeholder; Pemulihan dan peningkatan sarana fisik; Menjalin kerjasama pemasaran dan biro perjalanan; Penciptaan rasa aman pbagi wisatawan; Promosi kawasan ekowisata. Aso, Manuaba, dan Sunatra (2009) Pelibatan peran stakeholder terkait, antara lain; pemerintah, swasta, dan LSM (baik nasional maupun internasional. Perbaikan akses lokasi dari daerah ke daerah seperti pembangunan jalur penerbangan dan pelayaran. Sunari, dkk (2005) Pengembangan SDM melalui progam pendampingan SDM; Pendidikan masyarakat, penegakan hukum lingkungan, dan peningkatan kapasitas kelembagaan; Penonjolan kekhasan lokasi dengan dukungan LSM dan donatur internasional; konservasi dan rehabilitasi spesifik untuk pengembangan ekowisata; Perencanaan dan pengelolaan secara terpadu; peningkatan permodalan; dan pembangunan sarana dan prasarana. 36 Dalam pelaksanaanya, penerapan strategi ini tidak mudah. Hal ini karena adanya banyak faktor lain yang memengaruhi selain faktor strategi tersebut. Beberapa faktor yang dapat menghambat pengembangan ekowisata adalah: 1. Karakteristik, persepsi, dan perilaku masyarakat setempat yang tidak dapat dikontrol (Amanah dan Utami, 2006), 2. Kepercayaan pengelola terhadap penduduk lokal masih rendah (Bernhard, 1991), 3. Percepatan degradasi lingkungan sebagai komoditi ekowisata (Salim, 1991), dan 4. Tragedi sumber daya yang dikelola bersama (Ostrom, 1991). Daerah konservasi baik di darat maupun Indonesia, hak kepemilikan biasanya ada pada negara (state property). Hak kepemilikan ini kemudian diturunkan ke dalam beragam bentuk, seperti desentralasisasi dan devolusi. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi dimaksudkan untuk menghadirkan negara lebih dekat dengan daerah. Konsep Penguasaan dan Hak Kepemilikan Berbasis Masyarakat (Communitybased property rights/CBPRs) muncul dan diinisiasi oleh Center of International Environmental Law (CIEL) pada tahun 2000. Konsep ini diterbitkan sebagai bentuk dukungan terhadap masyarakat lokal yangg mengelola dan menguasai sumber daya yang dimilikinya. Kepemilikan ini biasanya tidak didapat dari hibah atau pemberian negara, melainkan dari perkembangan dinamis di tingkat lokal dimana masyarakat mengembangkan aturan dan norma kehormatan pengelolaan berbasis masyarakat sehubungan dengan pemanfaatan sumber – sumber daya alam (Lynch dan Harwell, 2002). Beberapa hambatan dalam pengembangan ekowisata adalah tragedi sumber daya bersama (Ostrom, 1991) dan kepercayaan terhadap penduduk lokal yang masih rendah (Bernhard, 1991). Hambatan ini dapat dihubungkan dengan hak kepemilikan berbasis masyarakat yang kurang diakui oleh pihak lain. Penelitian yang dilakukan oleh Boli (2014) di Raja Ampat memberi contoh baik suatu pengelolaan sumber daya yang mengakui hak kepemilikan masyarakat adat lokal. Proses pengelolaan sumber daya karang oleh KKPD berjalan baik berkat kerjasama yang baik antara pihak pengelola dengan masyarakat adat. Karakteristik Nelayan dan Struktur Kelas Nelayan Karakteristik Nelayan Menurut UU No. 45 tahun 2009, nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencaharianya melakukan penangkapan ikan. Jumlah nelayan Indonesia berfluktuasi tiap tahun. Pada tahun 2009, jumlah nelayan Indonesia mencapai 2.752.490 orang (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2009). Dari jumlah tersebut, sebagian besar nelayan Indonesia masuk dalam golongan nelayan kecil dan buruh nelayan (Kinseng, 2011; Bailey, 1988). Nelayan merupakan bagian masyarakat pesisir yang hidupnya sangat tergantung pada alam (pesisir dan laut) dan diliputi oleh ketidakpastian (Satria, 2009). Pada umumnya, nelayan mengalami masalah kompleks baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik (Kusnadi, 2009; Satria, 2009). Ketergantungan nelayan pada alam menyebabkan nelayan rentan terhadap perubahan (Kusnadi, 2009). Dilihat dari sisi kesejahteraan hidupnya, nelayan tergolong dalam kelompok miskin. Data pada tahun 2002 menyebutkan 32 persen masyarakat miskin ada di pesisir (Satria, 2009). Padahal, standar pendapatan yang dipakai hanya 1 dollar AS per hari. 37 Secara geografis, nelayan dihadapkan pada kondisi topografi yang khas dan kondisi alam yang keras. Secara sosial, nelayan memiliki jaringan sosial yang guyub, terdapat berbagai pola stratifikasi, dan terkadang terjadi konflik (Amanah dan Utami, 2006). Berdasarkan kategorinya, nelayan dapat digolongkan menjadi empat (Polnac, 1998 dalam Amanah dan Utami, 2006): Nelayan tradisional yang bersifat subsisten, nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan maju, nelayan komersial, dan nelayan industri. Nelayan tradisional umumnya termasuk nelayan kecil, dimana kepemilikan modalnya terbatas dan sulit mengakses layanan publik (Amanah dan Utami, 2006). Dalam persaingan hak penggunaan sumber daya, nelayan selalu berada dalam posisi kalah (the loser) (Winson, 1992 dalam Kinseng, 2011). Hal ini akan memicu konflik, baik konflik penggunaan sumber daya maupun penggunaan teknologi untuk mengakses sumber daya (Sobari, Kinseng, dan Priyatna, 2003; Kusnadi, 2002). Persaingan-persaingan ini dijelaskan dalam tipologi konflik dikalangan nelayan (Charles, 1992 dan 2001 dalam Kinseng, 2011). Tabel 6 menjelaskan karakteristik nelayan secara rinci. Tabel 6 Karakteristik Nelayan Aspek Waktu Kerja Penjelasan Nelayan penuh; Nelayan sambilan utama; dan Nelayan sambilan tambahan. Respon terhadap Perubahan Sumber Ditjenkan (1999) dalam Sobari dan Suswanti (2007) Helmi dan Satria (2012) Kelas Sosial Kinseng (2011) Buruh Nelayan (sawi), Nelayan kecil, Nelayan menengah, Nelayan besar, dan Kelas pemodal. Pola Produksi Clement (1986) dalam Kinseng (2011) Pola produksi subsisten, Pola produksi kapitalis, Pola produksi independent, Pola produksi dependent, Pola produksi koperasi. Kategori Amanah dan Utami (2006 Nelayan tradisional yang subsisten, nelayan komersial, nelayan industri, nelayandengan teknologi penangkapan maju. Tipologi Konflik Charles (1992 dan 2001) dalam Kinseng (2011) Fishery Juridication, Management mechanism, Internal allocation, External allocation. Satria (2002) dalam Kinseng (2011) Konflik Kelas, Konflik orientasi, konflik agraria, Konflik primordial. Penganekaragaman pendapatan, penganekaragaman alat tangkap, perubahan daerah tangkapan, pemanfaatan hubungan sosial, dan mobilisasi anggota rumah tangga. Beragam aspek karakteristik nelayan pada Tabel 6 akan memengaruhi bagaimana perilaku nelayan. Sebagai contoh, respon adaptasi nelayan menghadapi perubahan menggambarkan respon mereka pada perubahan ekologis bentang alam terkait pembangunan atau pengembangan ekowisata. Nelayan di Indonesia sebagian besar di golongkan miskin (Kusnadi, 2009), identik dengan keterbatasan akses sumber daya maupun fasilitas. Keterbatasan ini yang akan memunculkan konflik, baik konflik kelas maupun konflik agraria (Satria, 2002 dalam Kinseng, 2011) Terkait dengan perubahan ekologis, nelayan akan melakukan strategi adaptasi supaya dapat tetap bertahan dan eksis di lingkungan tersebut (Helmi dan Satria, 2012). Strategi adaptasi mutlak diperlukan karena ketergantungan nelayan yang sangat tinggi 38 pada alam. Perubahan-perubahan ekologis terkait pengembangan ekowisata ini akan turut mengubah pola-pola sosial dan ekonomi nelayan. Struktur Kelas Nelayan Nelayan, menurut status penguasaan modal, dapat dibedakan menjadi 2, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh (Satria, 2002). Penggolongan nelayan merupakan suatu tahapan panjang bentukan dari struktur sosial di masyarakat nelayan itu sendiri. Pola-pola sosial di masa terbuka (1976-1990) ditandai dengan perubahan alat tangkap yang semakin beragam (Susilo, 2010). Struktur sosial kembali mengalami perubahan di masa terbuka 2 (1991-2008). Perubahan struktur sosial ini ditandai dengan masuknya sistem pengelolaan fish sanctuary di Pasir Putih (Susilo, 2010). Struktur sosial dalam masyarakat nelayan dicirikan dengan kuatnya hubungan Patron-Klien (Satria, 2002). Munculnya ikatan patron-klien sebagai sumber pendanaan merupakan wujud ikatan jaringan sosial secara vertikal (Kusnadi, 2000 dalam Helmi dan Satria, 2011). Bentuk ikatan patron-klien lebih banyak menguntungkan pemilik modal besar. Aspek patron-klien meskipun terkesan dominan ekonomi, didalamnya juga erat berkaitan dengan aspek sosial. Relasi atau ikatan yang terbentuk diawali oleh adanya perbedaan kelas nelayan. Setidaknya, Kinseng (2010) menjelaskan ada 5 kelas nelayan yang dapat ditemukan di Balikpapan. Dari kelima kelas tersebut, hubungan antar kelas diwakili oleh hubungan kelas pemodal-nelayan kelas pemilik dan kelas pemilik dengan kelas buruh. Berbagai penggolongan tentang struktur kelas nelayan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Penggolongan Struktur Kelas Nelayan Penggolongan Sumber Kinseng (2010) Penejalasan Nelayan Buruh, Nelayan Kecil, Nelayan Menengah, Nelayan Besar, Kelas Pemodal Satria (2002) Nelayan Pemilik dan Nelayan Buruh Ditjen Perikanan (2002) dalam Satria (2002) Nelayan/petani ikan penuh, nelayan/petani ikan sambilan utama, dan nelayan/petani ikan sambilan tambahan. Sukmawati (2008) Nahkoda, Motoris, Orang tengah, Koki Kepemilikan modal Waktu penangkapan atau pemeliharaan Pekerja Nelayan saat bekerja di laut Berdasarkan penggolongan kelas nelayan pada Tabel 7, faktor kepemilikan modal sangat berpengaruh. Kepemilikan kapal, alat tangkap, sampai modal uang membawa nelayan pada kelas atas. Kelas juragan mampu memaksakan kehendak kepada nelayan buruh tanpa kepemilikan modal. Ketidakmampuan akses terhadap modal juga berpengaruh terhadap ketidakmampuan nelayan untuk akses sumber daya. Nelayan buruh merupakan standar kelas nelayan terendah karena tidak punya keahlian khusus seperti nahkoda atau juru masak kapal. Pengaruh Ekowisata terhadap Sosial-Ekonomi Nelayan Pendapatan Nelayan Pengelolaan ekowisata yang baik salah satunya dapat dicirikan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat lokal/setempat, dalam hal ini adalah nelayan. Pengelolaan ekowisata memberi ruang sekaligus dampak ekonomi berantai. Nelayan sebagai bagian masyarakat yang memiliki hubungan paling erat dengan pesisir dan laut 39 yang terkena dampak ekonomi paling banyak. Secara umum, dampak ekonomi yang dirasakan berupa peningkatan pendapatan (positif). Hal ini dikarenakan adanya tambahan sumber mata pencaharian selain dari hasil melaut (strategi nafkah ganda) (Satria, 2009). Selain itu, penurunan pendapatan juga mungkin terjadi karena berkurangnya akses nelayan pada sumber daya alam itu sendiri. Penelitian Helmi dan Satria (2012) terhadap nelayan di desa Pulau Panjang, Kabupaten Tanah Bambu, Kalimantan Selatan, menunjukan adanya penganekaragaman pendapatan sebagai bentuk respon perubahan ekologis yang terjadi. Hal ini menunjukan bahwa perubahan bentang alam (akses) telah merubah strategi nafkah nelayan yang pada akhirnya memengaruhi pendapatan nelayan. Alhasil, pendapatan nelayan dari sektor kelautan berkurang. Penelitian Tafalas (2010) di Raja Ampat membuktikan adanya dampak positif dari kegiatan ekowisata terhadap perekonomian nelayan. Meskipun dampaknya belum sampai pada perubahan struktur mata pencaharian, adanya kegiatan ekowisata telah memperluas lapangan kerja serta kesempatan berusaha. Berikut beberapa hasil penelitian yang membuktikan adanya dampak ekowisata terhadap perekonomian nelayan, terutama pada sektor pendapatan. Tabel 8 Berbagai Macam Dampak Ekowisata terhadap Pendapatan Nelayan Sumber Keterangan Jenis Dampak Negatif Helmi dan Satria (2009) Perubahan ekologis (tata ruang) mengurangi akses nelayan terhadap sumber daya sehingga memaksa nelayan bekerja diluar sektor kelautan. Tafalas (2010) Kegiatan ekowisata menambah lapangan kerja serta kesempatan berusaha. Perpindahan orang yang bekerja sebagai nelayan ke sektor ekowisata bahari. Rata-rata pendapatan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ekowisata lebih besar daripada pendapatan masyarakat yang tidak ikut dalam kegiatan ekowisata. Positif Sulaksmi (2007) Masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pariwisata cenderung mengalami peningkatan pendapatan daripada yang tidak terlibat dalam kegiatan pariwisata. Besaran pendapatan yang diterima dapat diukur dengan pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga. Besarnya pendapatan yang diperoleh dipengaruhi oleh beberapa faktor: Umur, Pendidikan, Jumlah Anggota Keluarga, dan jarak dari kawasan wisata. Positif Wijayanti (2009) Peningkatan pendapatan akibat kegiatan wisata bersumber dari penyewaan homestay kepada pengunjug oleh masyarakat. Peningkatan pendapatan tidak berhubungan secara langsung dengan pekerjaan nelayan, tapi lebih kepada rumah tangga penyewa home stay. Positif Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, rata-rata kegiatan ekowisata membawa dampak positif berupa peningkatan pendapatan nelayan, terutama rumah tangga nelayan. Peningkatan pendapatan ini bersumber baik dari kegiatan wisata langsung maupun tidak langsung. Peningkatan pendapatan dari kegiatan wisata langsung dapat dilihat dari penambahan jenis pekerjaan baru sekaligus menambah lapangan kerja baru seperti tour guide. Selain itu, penyediaan home stay bagi wisatawan juga membuka kesempatan peningkatan pendapatan. 40 Potensi Konflik Nelayan Pengembangan ekowisata merupakan pengelolaan sumber daya yang berada di wilayah open accses, artinya sumber daya tersebut dapat diakses oleh banyak pihak. Ketidakjelasan penguasaan sumber daya dapat menjadi potensi konflik berkepanjangan. Dalam mengelola sumber daya tersebut, nelayan biasanya menerapkan aturan-aturan lokal yang berkembang sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing. Kelangkaan sumber daya merupakan sumber konflik akibat dari penetapan zonasi tersebut (Konflik ruang). Konflik yang terjadi dapat bersifat internal maupun eksternal (Kinseng, 2007). Konflik internal adalah konflik yang terjadi antar sesama nelayan. Sedangkan konflik eksternal merupakan konflik yang terjadi antara nelayan dengan pihak-pihak non-nelayan. Berdasarkan kepemilikan atas modal, konflik dapat dibedakan juga dapat dibedakan menjadi konflik vertikal dan konflik horizontal (Kinseng, 2011). Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara nelayan dengan para pemilik modal (juragan). Sedangkan konflik horizontal adalah konflik antar sesama nelayan. Konflik-konflik seperti ini dapat terjadi karena perbedaan alat tangkap, orientasi tangkapan, serta daerah tangkapan. Menurut Satria (2009), dalam pengelolaan sumber daya alam, terdapat sedikitnya dua konflik yang mungkin muncul, yaitu konflik antara masyarakat dan pemerintah sebagai pelindung sumber daya perairan serta konflik antara masyarakat dan pemerintah sebagai agen pembangunan yang melibatlkan swasta. Lebih lanjut, penelitian Satria et al. (2005) di dua desa di Lombok Barat mendeskripsikan adanya pengurangan akses dari industri budidaya mutiara (swasta) terhadap nelayan lokal. Hal ini karena industri budidaya mutiara, menurut Ostrom, sebagai “owner” yang memiliki semua tipe hak kepemilikan dari pemanfaatan hingga hak pengalihan. Konflik-konflik yang terjadi pada nelayan dapat juga terjadi di daerah ekowisata. Kegiatan ekowisata menerapkan prinsip keberlanjutan sehingga pengelolaan harus berwawasan lingkungan. Prinsip pengelolaan seperti ini akan membatasi aktivitas manusia untuk mencegah perusakan (anthropogenic). Pembatasan aktivitas manusia ini biasanya diatur dalam tata ruang lokasi (zonasi). Penetapan zonasi yang tidak dikoordinasikan secara baik akan memicu konflik. Selain itu, ketidakmerataan kesempatan kerja serta jaringan kelembagaan dapat memicu konflik tambahan yang bersifat laten. Beberapa contoh konflik berkaitan dengan hak kepemilikan sumber daya adalah sebagai berikut; 1. Keberadaan industri budidaya mutiara menghambat aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan lokal. Konflik mereda setelah ada perjanjian berupa kompensasi bagi nelayan (Satria et al., 2005), 2. Konflik antara BKSDP selaku pengelola TWAL dengan massyarakat yang masih mengklaim wilayah yang dijadikan TWAL merupakan wilayah produktif untuk penangkapan (Satria, 2006 dalam Satria, 2009), 3. Konflik antar nelayan dengan penggunaan alat yang berbeda, seperti nelayan pemancing dengan pembom dan nelayan tradisional dengan nelayan modern. Selain itu juga terjadi konflik antara nelayan dengan PT THS terkait pembangunan Dermaga. Konflik ini terjadi karena nelayan merasa wilayah tangkapan mereka hilang dan rusak oleh karena pembangunan dermaga (Kinseng, 2007), dan 4. Konflik perebutan daerah tangkapan antara nelayan jaring gil net dengan nelayan Cantrang. Selain itu juga konfli karena pemberlakuan UU No 22 Tahun 1999 41 dimana nelayan dari daerah lain melakukan penangkapan di perairan Rembang (Boesono et al, 2006). Berdasarkan hasil penelitian beberapa orang sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa konflik berdasarkan hak kepemilikan bukan hanya terjadi antara nelayan dengan pihak lain, tapi juga terjadi antar sesama nelayan. Konflik yang terjadi antar sesama nelayan pada umumnya dilatarbelakangi oleh perebutan daerah tangkapan (fishing ground). Selain itu, kecemburuan sosial karena perbedaan alat tangkap juga dapat menjadi sumber konflik antar nelayan. Meskipun konflik antar sesama nelayan lebih banyak ditemukan, konflik vertikal antara nelayan dengan pengelola jamak terjadi di daerah konservasi. Konflik-konflik yang terjadi biasanya disebabkan oleh penetapan zonasi kawasan konservasi yang tidak partisipatif. Kegiatan ekowisata yang diselenggarakan di daerah konservasi memiliki kecenderungan besar untuk menjadi potensi konflik vertikal. 42 SIMPULAN Hasil Sintesis dan Analisis Berdasarkan pemaparan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ekowisata merupakan bentuk pariwisata baru yang mengutamakan prinsip keberlanjutan lingkungan hidupnya. Ekowisata menjadi bagian penting dalam pembangunan karena memiliki dampak positif pada sektor pendapatan negara atau regional wialayah. Bentuk wisata pada ekowisata sendiri merupakan jenis wisata yang bertangung jawab, tidak hanya memperhatikan aspek pendapatan (ekonomi), tapi juga keberlanjutan lingkungan, sosial, dan budaya masyarakat setempat. Ekowisata merupakan wisata berbasis alam. Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sering memunculkan konflik. Hal ini dikarenakan perebutan hak pengelolaan sumber daya alam itu sendiri. Sumber daya bebas dimanfaatkan oleh semua pihak tapi tidak jelas siapa yang merawatnya. Peristiwa ini disebut tragedy of the common. Selain tragedy of the common, dikenal juga tragedy of enclosure. Berbeda dengan tragedy of the common, tragedy of enclosure justru terjadi karena kepemilikan sudah jelas. Namun demikian, pemilikan sumber daya tersebut membatasi akses pihak lain untuk memanfaatkan. Pengakuan hak kepemilikan oleh masyarakat dari pihak lain akan menentukan keberlanjutan pengembangan ekowisata itu sendiri. Dalam rangka mewujudkan ekowisata yang berkualitas, strategi pengembangan ekowisata perlu dirumuskan. Melalui desentralisasi, penglolaan suatu kawasan ekowisata lebih mudah dilakukan karena pusat kontrol ada di pemerintah daerah, bukan lagi di pusat. Pelimpahan wewenang ini diharapkan memudahkan koordinasi pengembangan ekowisata. Meskipun sudah terfasilitasi dengan adanya desentralisasi, masalah pengembangan ekowisata tidak berhenti sampai disana. Berbagai kekurangan seperti kurangnya pembangunan infrastruktur, sedikitnya kerjasama lintas stakeholder, minimnya promosi, sampai lemahnya SDM aparatur pelaksana menjadi hambatan serius progam pengembangan ekowisata. Poin penting yang perlu dikaji adalah dampak pengembangan tersebut kepada masyarakat setempat. Nelayan merupakan salah satu kelompok massyarakat pesisir yang menerima pengaruh paling besar dari adanya ekowisata. Pengembangan ekowisata secara langsung maupun tidak langsung akan merubah kondisi lingkungan, sedangkan nelayan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada lingkungan. Nelayan sangat identik dengan kemiskinan dan keterbatasan modal. Berbagai bentuk perubahan ekologis akan merubah pola-pola kehidupan mereka juga, sehingga nelayan akan menetapkan strategi adaptasi terkait dengan perubahan yang terjadi. Kegiatan Ekowisata memberi dampak secara sosial dan ekonomi bagi nelayan. Dari sektor ekonomi, dampak paling kentara adalah adanya peningkatan pendapatan. Peninkgatan pendapatan dapat diperoleh dari penganekaragaman jenis pekerjaan maupun penyediaan jasa wisata seperti home stay. Nelayan dapat menjual jasa pelayanan wisata, atau justru kehilangan akses kawasan dan mencari pekerjaan lain diluar sektor wilayah ekowisata. Dari sektor sosial, dampak ekowisata dapat dilihat dari munculnya potensi konflik pada nelayan. Konflik dapat bersifat vertikal dan horizontal. Konflik antar sesama nelayan termasuk konflik horizontal. Konflik horozontal biasanya terjadi karena perebutan daerah penangkapan. Sedangkan konflik vertikal merupakan konflik antara nelayan dengan pengelolaa kawasan konservasi (konflik ruang). Konflik ruang terjadi karena pembatasan akses nelayan terhadap area karena penetapan zonasi. Semua konflik ini bersumber dari hak kepemilikan atas sumber daya. 43 Usulan Kerangka Analisis untuk Penelitian Pengembangan Ekowisata Sosial Ekonomi Nelayan Pendapatan Nelayan Potensi Konflik Nelayan Sistem Hak Kepemilikian Sumber daya Karakteristik Nelayan dan Struktur Kelas nelayan Gambar 9 Usulan Kerangka Analisis Keterangan: : Memengaruhi Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana sistem hak kepemilikan sumber daya di kawasan ekowsiata? 2. Bagaimana karakteristik dan struktur kelas nelayan yang terbentuk di daerah ekowisata? 3. Bagaimana pengaruh strategi pengembangan ekowisata terhadap sosial-ekonomi nelayan? 44 DAFTAR PUSTAKA Amanah S, Utami HN. 2006. Perilaku nelayan dalam pengelolaan bahari di kawasan pantai Lovina, Buleleng, Bali. Jurnal Penyuluhan. [Internet]. [dikutip tanggal 26 Novemmber 2014]; 2:83-90. Dapat diunduh di http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/43022. Berkes F. 1989. Common Property Resources. Great Britain(GB): Belhaven Press. Boesono H, Yuliato T, Santosa W, Wibowo BA. Studi pemetaan daerah konflik alat tangkap nelayan Sarang kabupaten Rembang-Jawa Tengah. Prosiding seminar perikanan. [internet]. [diunduh pada tanggal 10 Januari 2015]. Dapat diunduh di http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/25302/Prosiding_seminar _perikanan_tangkap-35.pdf?sequence=1. Boli P. 2014. Pengelolaan sumber daya karang berbasis integrasi dengan konservasi perairan modern di Raja Ampat. [Thesis]. [Internet]. [dikutip tanggal 23 Desember 2014]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Dapat diunduh di http://repository.ipb-.ac.id/handle/123456789/70477. Cukier J, Wall G. 1995. Tourism employment in Bali. Tourism Economics. [Internet]. [dikutip 20 November 2014]; 1(4):389-401. Dapat diunduh di http://ac.elscdn.com/0160738395000879/1s2.00160738395000879main.pdf?tid=454faf1897 -b711e49dd00000aacb35d&acdnat=1420777592_2bc-53908181fa84f089eae139-83e-7238. Helmi A, Satria A. 2012. Strategi adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis. Makara, Sosial Humaniora. [Internet]. [dikutip 26 November 2014]; 16:68-78. Dapat diunduh di http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/view/1494. Karsudi, Soekmadi R, Kartodihardjo H. 2010. Strategi pengembangan ekowisata di kabupaten Kepulauan Yapen provinsi Papua. JMHT. [Internet]. [dikutip 24 November 2014]; 16(3):148-154. Dapat diunduh di http://journal.ipb.ac.id/index-.php/jmht/article/view/3178. Kinseng RA. 2007. Konflik-konflik sumberdaya alam di kalangan nelayan di Indonesia. Sodality. [Internet]. [dikutip tanggal 7 Januari 2015]; 01(1): 87-104. Dapat diunduh di http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/51778. __________. 2011. Konflik kelas nelayan di Indonesia tinjauan kasus Balikpapan. Bogor: IPB Press. Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. _______. 2009. Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir. Jogjakarta: Lembaga Penelitian Universitas Jember dan Ar-Ruzz Media. Laksono AN, Mussadun. 2014. Dampak aktivitas ekowisata di pulau Karimunjawa berdasarkan persepsi masyarakat. Jurnal Teknik PWK. [Internet]. [dikutip tanggal 6 Desember 2014]; 03(3):262-273. Dapat diunduh di http://ejournals1.undip.ac.id-/index.php/pwk. Latta PA. (tidak ada tahun). The Tragedy of the Commons by Garrett Hardin, 1968. [Internet]. [dikutip 19 November 2014]; 162: 1243-1248. Dapat diunduh di http://www.eolss.net/Sample-Chapters/-C13/E145-01-07.pdf. Mathieson A, Wall G. 1982. Tourism: economic, physical and social impacts. Longman [UK]: Harlow. Nugroho GP. 2004. Strategi Pengembangan Ekowisata Dieng. [disertasi]. [internet]. Dikutip tanggal 16 Desember 2014. Sekolah Pascasarjana, Universitas 45 Diponegoro. Dapat diunduh dari http://eprints.undip.ac.id/11664/1/2004MTPK2832.pdf. Nugroho P, Yusuf M, Suryono. 2013. Strategi pengembangan ekowisata di pantai Pangandaran kabupaten Ciamis pasca tsunami. Journal of Marine research. [Internet]. [dikutip tanggal 3 November 2014]; 02:11-21. Dapat diunduh di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr. Bernhard. 1991. Ekoturisme dapat menyumbang upaya pelestarian alam. Oka A. Yoeti. Ekowisata, pariwisata berwawasan lingkungan hidup. Jakarta [ID].: PT Pertja. Hal 26-32. [Permen] Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata Daerah. Pitana, IG, Gayatri PG. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta [ID]: Penerbit ANDI. [PP] Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. [PP] Peraturan Pemerintah 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Prihandoko, Jahi A, Gani DS, Purnaba IGP, Andrianto L, Tjitradjaja I. 2011. Faktorfaktor yang mempengarhui perilaku nelayan artinasal dalam pemanfaatan sumber daya perikanan di pantai utara provinsi Jawa Barat. Makara, Sosial Humaniora. [Internet]. [dikutip tanggal 6 Desember 2014]; 15(2):117-126. Dapat diunduh di http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/1418/1249. Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta [ID]: Cidesindo. ______. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPBPress. Satria A, Matsuda Y. 2004. Decentralization of fisheries management in Indonesia. Marine Policy. [Internet]. [dikutip 30 Oktober 2014]; 28(5):437-450. Dapat diunduh di: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0-308597X03001362. Satria A, Matsuda Y, Sano M. 2005. Contractual solution to the tragedy of property right in coastal fisheries. Marine Policy. [Internet]. [dikutip 30 Oktober 2014]; 30:226-236. Dapat diunduh dari http://www.sciencedirect.com/science/articl/pii/-S0308597X-05000126. Seftyono C. 2011. Pengetahuan ekologi tradisional masyarakat orang asli Jakun dalam menilai ekosistem servis di tasik Chini, Malaysia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. [Internet]. [dikutip tanggal 10 Desember 2014]; 15(1):55-67. Dapat diunduh di http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/16. Setyadi IA, Hartoyo, Maulana A, Muntasib H. 2012. Strategi pengembangan ekowisata di taman nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Jurnal Manajemen&Agribisnis. [Internet]. [Dikutip pada 5 Desember 2014]; 09(1):112. Dapat diunduh di http://repository.mb.ipb.ac.id/1557/. Sobari MP, Kinseng RA, Priyatna FN. 2003. Membangun model pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi masyarakat nelayan: tinjauan sosiologi antropologi. Buletin Ekonomi Perikanan. [Internet]. [Diunduh 5 Desember 2014; 05(1):41-48. Sugiharta S. 2012. Desentralisasi dan sumber daya aparatur: problematika pelaksanaan desentralisasi pelestarian cagar budaya di provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. [Internet]. [Diunduh 10 Desember 2014]; 15(3):232-245. Dapat diunduh dari: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/41. 46 Sukmawati D. 2008. Struktur dan pola hubungan sosial ekonomi juragan dengan buruh di kalangan nelayan pantai utara Jawa Barat. Jurnal Kependudukan Padjadjaran. [Internet]. [dikutip tanggal 23 Desember 2014]; 10(1):50-63. Dapat diunduh di http://jurnal.unpad.ac.id/kependudukan/article/view/doc5. Sulaksmi R. 2007. Analisis dampak pariwisata terhadap pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan taman wisata alam laut pulau Weh kota Sabang. [Thesis]. [Internet]. [dikutip tanggal 7 Januari 2015]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Dapat diunduh di http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/10074. Sunari, dkk. 2005. Model kebijakan Daerah dalam Pengembangan Ekowisata: Studi Kasus di Kabupaten Indramayu. Dikutip tanggal 16 Desember 2014. Jurnal Forum Pascasarjana. Volume 28 (4): hal. 357-365. Tafalas M. 2010. Dampak pengembangan ekowisata terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Studi kasus ekowisata bahari pulau Mansuar Kabupaten Raja Ampat. [Thesis]. [Internet]. [dikutip tanggal 10 Desember 2014]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Dapat diunduh di http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41156/2010mta.pdf?sequ ence=10. [UNDP] United Nations Development Programme (US). 2009. Risalah desentralisasi, [internet]. Dapat diunduh di http://www.undp.or.id/pubs/docs-/risalahpersen20desen-tralisasi.pdf. [UU] Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. [UU] Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. [UU] Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. [UUD] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. [UU] Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. [UU] Undang-Undang No. 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang. [UU] Undang-Undang No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Wjayanti P. 2009. Analisis ekonomi dan kebijakan pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. [Thesis]. [Internet]. [dikutip tanggal 7 Januari 2015]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Dapat diunduh di http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/43740. [WTO] World Tourism Organisation. 2003. Development of Community-Based Tourism (Indonesia). Madrid. Yoeti, Oka A. 2000. Ekowisata, pariwisata berwawasan lingkungan hidup. Jakarta: PT Pertja. Yulianda, F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Makalah Seminar Sains pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 47 LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP Luki Setyawan dilahirkan di Pati pada tanggal 19 September 1993. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan Sulasno dan Sulikah. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Banyutowo pada tahun 1996-1999, kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Banyutowo 03 pada tahun 1999-2005. Setelah menempuh pendidikan dasar, penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tayu pada tahun 20052008, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pati pada tahun 2008-2011. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor mulai tahun 2011 melalui SNMPTN Undangan dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia. Selain menekuni aktivitas akademik di Institut Pertanian Bogor, penulis juga aktif dalam berbagai organisasi, kepanitiaan, dan kegiatan diluar bidang akademik. Penulis memulai pengalaman organisasi di Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati (IKMP) sebagai wakil ketua periode 2011-2012. Setelah itu, penulis melanjutkan organisasi di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA IPB) sebagai staff di Departemen Kajian Strategis dan Advokasi Mahasiswa (Kaskemah) pada kepengurusan tahun 2012-2013. Ditahun yang sama penulis juga menjabat sebagai wakil koordinator bidang pembinaan di Komisi Literatur (Komlit) PMK IPB. Pada tahun kepengurusan 2013-2014, penulis menjabat Kepala Departemen Kajian Strategis (Kastrat) BEM FEMA IPB setelah memisahkan diri dari Kaskemah. Selain kegiatan organisasi, penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan yang diselenggarakan di tingkat IPB, diantaranya Malam Keakraban Komisi Literatur sebagai kepala divisi acara pada tahun 2013, wakil ketua Indonesia Ecology Expo (INDEX) IPB pada tahun 2013, dan divisi Logistik dan Transportasi (Logstran) Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Sosiologi Umum selama 1 semester.