Sosial Ekonomi Nelayan

advertisement
Laporan Studi Pustaka (KPM403)
STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DAN
PENGARUHNYA TERHADAP SOSIAL-EKONOMI NELAYAN
Oleh
Luki Setyawan
I34110007
Dosen
Dr Arif Satria, SP MSi
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Strategi
Pengembangan Ekowisata dan Pengaruhnya terhadap Sosial-Ekonomi Nelayan”
adalah benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang
pernah ditulis dan atau diterbitkan oleh pihak manapun kecuali sebagai bahan rujukan
yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan
sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
Bogor, Januari 2015
Luki Setyawan
NIM. I34110007
iii
ABSTRAK
LUKI SETYAWAN. Strategi Pengembangan Ekowisata dan Pengaruhnya terhadap
Sosial-Ekonomi Nelayan. Dibawah bimbingan ARIF SATRIA.
Konsep ekowisata muncul sebagai bentuk baru dari pariwisata. Ekowisata perairan
merupakan jenis wisata berbasis alam yang lebih memperhatikan keberlanjutan
lingkungan dan menjaga perekonomian masyarakat lokal. Semua pihak punya hak
untuk mengakses karena berbasis sumber daya alam, kepemilikannya bersifat terbuka.
Pada umumnya, pihak pengelola sebagai pemegang otoritas pengembangan ekowisata
akan berhadapan dengan kepentingan masyarakat lokal, terutama dalam hal akses
sumber daya. Nelayan merupakan bagian dari masyarakat lokal yang terkena dampak
paling besar dari kegiatan ekowisata perairan. Kegiatan ekowisata dapat merugikan
ataupun menguntungkan nelayan. Penetapan zonasi yang tidak partisipatif dapat
menyebabkan nelayan tergusur secara geografis. Hal ini selanjutnya akan mengurangi
hak akses nelayan terhadap sumberdaya. Disisi lain, kegiatan ekowisata menciptakan
peluang kerja baru serta tambahan pendapatan dari sektor non-kelautan. Akan tetapi,
peluang kerja baru bagi nelayan dapat menjadi potensi konflik horizontal sesama
nelayan.
Kata Kunci: pengembangan ekowisata, hak kepemilikan, struktur kelas nelayan, sosialekonomi nelayan.
ABSTRACT
LUKI SETYAWAN. Strategy of ecotourism development and its impacts to fisher’s
social-economy. Supervised by ARIF SATRIA.
The concept of ecotourism appears as a new form of tourism. The marine ecotourism is
type of tourism based natural modal that more focus to the sustainability of the
environment and keep the economy of the local community. All parties have the right to
access because it is based on natural resources so the ownership is not clear. In
general, the management as holders of ecotourism development authority will oppsite
with the interests of the local community , especially in terms of access to resources.
Fisher is part of the local community that most affected by the activities of marine
ecotourism. Ecotourism activities can be either harmful or profitable to fisher. The nonparticipating zoning will lead fisher excluded geographically. This case will decrease
the resources access-right of fisher. On the other hand, ecotourism activities create new
job opportunities as well as additional income from non-coastal sector. Nevertheless,
the new job opportunities for fisher can be a potential-conflict horizontally between
fishers.
Keyword: ecotourism development, property-right, the structure of class fisher, fisher’s
social-economy.
iv
STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DAN
PENGARUHNYA TERHADAP SOSIAL-EKONOMI NELAYAN
Oleh:
LUKI SETYAWAN
I34110007
Laporan Studi Pustaka
sebagai syarat kelulusan KPM 403
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
v
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Judul
: Luki Setyawan
: I34110007
: Strategi Pengembangan Ekowisata dan Pengaruhnya Sosial-Ekonomi
Nelayan.
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr Arif Satria, SP MSi
NIP. 19710917 199702 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr Ir Siti Amanah, MSc
NIP. 19670903 199212 2 001
Tanggal Pengesahan :
vi
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai
penulis dengan kasih setia serta berkat-Nya sehingga laporan Studi Pustaka yang berjudul
“Strategi Pengembangan Ekowisata dan Pengaruhnya terhadap Sosial-Ekonomi
Nelayan” dapat terselesaikan dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk
memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Selama penulisan laporan Studi Pustaka, penulis menyadari bahwa karya ini dapat
terselesaikan berkat bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua, Ayahanda Sulasno dan Ibunda Sulikah yang
dengan segenap hati selalu berdoa, mendukung penulis dengan kasih dan cinta. Dr. Arif Satria,
SP, Msi, selaku dosen pembimbing yang selalu mendukung penulis, baik berupa masukan,
saran, kritik, maupun motivasi selama penulisan laporan Studi Pustaka. Keluarga Besar
Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM)
angkatan 48 yang dengan segala keberagaman karakternya menerima penulis menjadi bagian
dalam keluarga, sahabat, rekan, dan semua pihak yang telah mendukung penulis baik dalam doa
maupun dukungan semangat.
Penulis menyadari bahwa dalam karya ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu
saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga, karya ini menjadi inspirasi
bagi penulis-penulis selanjutnya.
Bogor, Januari 2015
Luki Setyawan
NIM. I34110007
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL.......................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... viii
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
Latar Belakang................................................................................................................ 1
Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 2
Metode Penulisan ........................................................................................................... 2
RINGKASAN PUSTAKA ............................................................................................... 3
Contractual Solution to the Tragedy of Property Right in Coastal Fisheries ................ 3
Strategi Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua ... 5
Strategi Pengembangan Ekowisata di Pantai Pangandaran Kabupaten Ciamis Pasca
Tsunami .......................................................................................................................... 7
Perilaku Nelayan dalam Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Pantai Lovina,
Buleleng, Bali ............................................................................................................... 10
Strategi Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Ekologis ............................................ 13
Membangun Model Pengelolaan Sumber daya Perikanan Berkelanjutan
Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan: Tinjauan
Sosiologi Antropologi .................................................................................................. 17
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Nelayan Artisanal dalam Pemanfaatan
Sumber daya Perikanan di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat ...................................... 19
Dampak Aktivitas Ekowisata di Pulau Karimunjawa Berdasarkan Persepsi
Masyarakat ................................................................................................................... 23
Struktur dan Pola Hubungan Sosial Ekonomi Juragan dengan Buruh di Kalangan
Nelayan Pantai Utara Jawa Barat ................................................................................. 25
Pengetahuan Ekologi Tradisional Masyarakat Orang asli Jakun dalam Menilai
Ekosistem Servis di Tasik Chini, Malaysia. ................................................................. 27
ANALISIS DAN SINTESIS .......................................................................................... 30
Sistem Hak Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pengembangan Ekowisata ............ 30
Definisi Ekowisata................................................................................................... 30
Peraturan tentang Ekowisata ................................................................................... 31
Sistem Hak Kepemilikan Sumber Daya .................................................................. 32
Pengembangan Ekowisata Berdasarkan Hak Kepemilikan ..................................... 34
Karakteristik Nelayan dan Struktur Kelas Nelayan...................................................... 36
Karakteristik Nelayan .............................................................................................. 36
Struktur Kelas Nelayan............................................................................................ 38
Pengaruh Ekowisata terhadap Sosial-Ekonomi Nelayan ............................................. 38
Pendapatan Nelayan ................................................................................................ 38
Potensi Konflik Nelayan.......................................................................................... 40
SIMPULAN .................................................................................................................... 42
Hasil Sintesis dan Analisis ........................................................................................... 42
Usulan Kerangka Analisis untuk Penelitian ................................................................. 43
Pertanyaan Penelitian ................................................................................................... 43
LAMPIRAN.................................................................................................................... 47
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................................... 47
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Definisi Ekowisata ............................................................................................. 30
Tabel 2 Peraturan tentang ekowisata .............................................................................. 32
Tabel 3 Status Kepemilikan Sumber daya alam ............................................................. 33
Tabel 4 Hasil penelitian tentang sistem hak dan kepemilikan sumber daya dalam
pengelolaan wilayah perairan. ........................................................................................ 34
Tabel 5 Macam Strategi Pengembangan Ekowisata ....................................................... 35
Tabel 6 Karakteristik Nelayan ........................................................................................ 37
Tabel 7 Penggolongan Struktur Kelas Nelayan .............................................................. 38
Tabel 8 Berbagai Macam Dampak Ekowisata terhadap Pendapatan Nelayan ............... 39
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Matriks Faktor Hasil Penjumlahan Faktor Eksternal dan Internal ................... 8
Gambar 2 Skor Hasil Penghitungan Faktor Internal dan Faktor Eksternal ...................... 9
Gambar 3 Bagan Analisis Perilaku Nelayan terhadap Pengelolaan Wisata Bahari ....... 13
Gambar 4 Bagan Analisis Pengaruh Perubahan Ekologis terhadap Strategi Adaptasi
Nelayan ........................................................................................................................... 16
Gambar 5 Bagan Analisis Pengelolaan Sumber Daya Perikanan berdasarkan
Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat ..................................................................... 19
Gambar 6 Bagan Analisis Faktor-Faktor Perilaku Nelayan terhadap Pengelolaan SDA
Laut ................................................................................................................................. 22
Gambar 7 Bagan Analisis Dampak Kegiatan Ekowisata................................................ 24
Gambar 8 Bagan Analisis Pengetahuan Ekologi Tradisional terhadap Manajemen
Ekosistem ........................................................................................................................ 28
Gambar 9 Usulan Kerangka Analisis.............................................................................. 43
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pariwisata telah menjadi salah satu industri besar dunia. Negara dan teritori
seperti Thailand, Filipina, Singapura, Hawaii, Galapagos, Tonga dan kepulauan Karibia
menjadikan pariwisata sebagai andalan sumber devisanya. Di kepulauan Karibia,
pariwisata menyumbang penerimaan sampai US$ 18,7 miliar tahun 2011 (Duval, 2004
dalam Pitana dan Gayatri, 2005). Jumlah penerimaan dari sektor pariwisata ini terus
meningkat. Pada tahun 1950, jumlah penerimaan sektor pariwisata hanya US$ 2,1
miliar. Jumlah ini meningkat drastis pada tahun 1990 mencapai US$ 268,2 miliar dan
US$ 475,8 miliar pada tahun 2000 (Pitana dan Gayatri, 2005).
Pariwisata merupakan perpindahan atau perjalanan secara temporer dari tempat
mereka biasanya bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan
dalam perjalanan atau di tempat tujuan (Machieson dan Wall, 1982). Secara terpisah,
Ceballos dan Lascurian (1991) dalam Cukier dan Wall (1995) mendefinisikan
pariwisata sebagai perjalanan ke kawasan alam yang secara relatif belum terganggu
dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti dan menikmati pemandangan yang indah,
tumbuh-tumbuhan serta binatang liar maupun kebudayaan yang dapat ditemukan di
sana. Pariwisata ini bersifat masss tourism, artinya pariwisata tidak mengenal batasan
daya dukung. Permintaan akan selalu dipenuhi.
Sumber daya perairan merupakan salah satu sumber daya yang memiliki daya
tarik (attractiveness) pariwisata tinggi. Keberagaman ekosistemnya menyediakan obyek
yang menarik bagi wisatawan. Terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan wisata
pantai merupakan daya tarik utama pariwisata sektor pesisir dan kelautan. Pariwisata
berbasis alam (nature) semakin lama akan semakin mengurangi nilai sumber daya itu
sendiri. Padahal, meskipun dapat diperbaharui, sumber daya bersifat terbatas. Jika
pemanfaatan melebihi daya dukung, sumber daya tersebut tidak dapat pulih dan
akhirnya rusak.
Sumber daya memiliki sifat terbatas sedangkan manusia sebagai pemanfaat
memiliki keinginan yang tidak terbatas. Fenomena dimana setiap individu memiliki
rasionalitas untuk memanfaatkan secara intensif mengakibatkan kelimpahan sumber
daya menurun dan semua pihak merugi. Hal ini oleh Garret Hardyn (1968) disebut teori
sumber daya bersama (Tragedy of the Common). Lebih lanjut, melalui teori ini, Hardyn
(1968) dalam Latta (tidak ada tahun) menjelaskan bahwa masing-masing individu
pengguna memiliki kemampuan eksploitasi sumber daya bersama, akan tetapi
eksploitasi yang dilakukan melebihi kemampuan sumber daya untuk pulih. Adanya
keterbatasan sumberdaya serta permintaan pariwisata yang semakin tinggi akhirnya
membuahkan konsep wisata baru berwawasan lingkungan, yaitu ekowisata
(ecotourism).
Ekowisata pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 oleh organisasi The
Ecotourism Society. Menurut The Ecotourism Society, ekowisata adalah suatu bentuk
perjalanan wisata ke daerah alami dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan
melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Lebih lanjut, Eplerwood
(1999) mendiskripsikan ekowisata sebagai bentuk baru dari perjalanan yang
bertanggung-jawab ke daerah alami dan berpetualang, serta dapat menciptakan industri
pariwisata. Yulianda (2007) memberikan gambaran lebih praktis, ekowisata merupakan
bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi.
Ekowisata meliputi wisata alam (natural tourism) dan wisata budaya (cultural
tourism). Tidak seperti pariwisata, ekowisata sangat mempertimbangkan keberlanjutan
lingkungan. Tidak hanya keberlanjutan lingkungan, ekowisata juga mempertimbangkan
2
sisi sosial-kultural. Artinya, konsep ekowisata tidak dapat dilepaskan dari peran saling
memengaruhi antara ekowisata itu sendiri dengan manusia disekitarnya. Dalam kasus
yang sama, ekowisata perairan pesisir juga memiliki hubungan yang sama dengan
masyarakat lokal di sekitar kawasan, yang dalam hal ini adalah nelayan.
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama
mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas terkait
dengan ketergantungannya dengan pemanfaatan sumber daya pesisir (Satria, 2002).
Masyarakat pesisir tidak hanya nelayan, ada juga pembudidaya ikan, petani tambak,
sampai pedagang ikan. Meskipun demikian, stigma masyarakat pesisir erat dengan
nelayan.
Berdasarkan UU Perikanan Nomor 45 tahun 2009, nelayan didefinisikan sebagai
orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa nelayan kecil melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dengan menggunakan kapal perikanan paling besar lima gross ton (5 GT).
Karena hubungannya yang begitu dekat dengan alam, nelayan memegang peranan
penting dalam rangka pelaksanaan wisata berbasis lingkungan yang berkelanjutan
(Ekowisata).
Ekowisata biasanya dapat ditemukan di area-area konservasi, baik dalam skala
besar (Taman nasional), maupun skala yang lebih kecil (KKPD, Cagar Alam, dll).
Penetapan kawasan menjadi area konservasi melewati tahapan yang panjang. Semenjak
ditetapkannya UU No 32 tahun 2004 mengenai Otonomi daerah, proses ini menjadi
lebih mudah. Hal ini karena pemerintah pusat sudah mendelegasikan kewenangannya
kepada pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan daerahnya masing-masing
(desentralisasi). Penetapan suatu area konservasi dan ekowisata tidak hanya melibatkan
elit pemerintah daerah, tapi juga masyarakat lokal sekitar kawasan.
Menilik teori Hardyn (1968) mengenai tragedi sumber daya bersama, penetapan
sampai pengelolaan kawasan ekowisata menyimpan potensi konflik dengan nelayan.
Melalui kajian ini, akan diteliti kembali bagaimana pengembangan ekowisata
memengaruhi sosial-ekonomi nelayan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan tujuan
penulisan laporan studi pustaka ini:
1. Menganalisis sistem hak kepemilikan sumber daya di kawasan ekowisata.
2. Menganalisis karakteristik nelayan dan struktur kelas nelayan di kawasan
ekowisata.
3. Menganalisis pengaruh ekowisata terhadap sosial-ekonomi nelayan.
Metode Penulisan
Metode penulisan studi pustaka ini adalah metode pengumpulan data sekunder
atau studi literatur. Literatur yang dipakai adalah literatur ilmiah berupa jurnal ilmiah
dan buku tertulis. Setiap literatur yang dipilih disesuaikan dengan tema yang diambil.
Berbagai literatur yang diambil disesuaikan dengan topik penulisan penetapan
ekowisata dan sosial-ekonomi nelayan.
Pengajian pustaka dilakukan melalui proses membaca, meringkas, dan
menyimpulkan pustaka yang relevan dengan topik penulisan. Ringkasan tersebut
kemudian dianalisis dan disusun hingga menghasilkan suatu kerangka baru sehingga
memunculkan pertanyaan penelitian yang selanjutnya digunakan sebagai dasar
pembuatan proposal penelitian.
RINGKASAN PUSTAKA
1.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume:hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: Contractual Solution to the Tragedy of
Property Right in Coastal Fisheries
: 2005
: Jurnal
: Elektronik
: Arif Satria, Yoshiaki Matsuda, Masaaki Sano
: Marine Policy
: 30: 226-236
: http://www.sciencedirect.com/science/article/p
ii/S0308597X05000126
: 30 Oktober 2014 pukul 11.45 WIB
Penelitian penulis di dua desa, Desa Jenggala dan Desa Gondang, Lombok
Barat, Indonesia ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana kepemilikan sumber daya
pribadi dan kepemilikan sumber daya bersama dapat berjalan secara berdampingan.
Sumber daya yang diperebutkan adalah hak akses dan penggunaan sumber daya di
wilayah pesisir. Industri budidaya mutiara merupakan industri utama yang dapat
ditemukan di 2 desa ini. Interaksi antar 2 rezim ini berujung konflik karena keduanya
berangkat dari persepsi yang berbeda.
Nelayan lokal menganggap bahwa sumber daya pesisir dan laut merupakan
sumber daya milik bersama yang artinya semua orang boleh memanfaatkannya.
Sedangkan perusahaan industri budidaya mutiara, melalui pemerintah daerah, merasa
diberi kewenangan untuk mengelola secara privat, membatasi hak akses pihak lain. Hal
ini dikarenakan pada saat itu, pengelolaan sumber daya masih berada dibawah
pemerintahan yang bersifat sentralistik, mengambil keputusan tanpa persetujuan
masyarakat setempat.
Konflik yang terjadi lebih banyak berkutat pada sengketa mengenai siapa yang
lebih berhak mengelola. Minimal ada empat stakeholder yang saling memengaruhi,
yaitu; Pemerintah daerah, Perusahaan A, Perusahaan B, dan Nelayan Lokal. Merujuk
pada Ostrom, Insustri budidaya mutiara dikategorikan sebagai “owner” (private
property) yaitu tipe pembagian hak kepemilikan yang memiliki semua tipe hak
kepemilikan dari pemanfaatan (withdrawl right) sampai hak pengalihan (alienation
right). Sementara itu melayan lokal dapat diidentifikasi sebagai “proprietor” dengan
hak mengelola (managemen right) dan mengeksklusi (exclussion right), sedangkan
nelayan pendatang sebagai “authorized users” yang hanya memiliki hak akses (access
right) dan hak memanfaatkan (withdrawl right).
Di desa Gondang, perusahaan A mulai ekspansinya pada tahun 1994. Pada tahun
1996, nelayan lokal melakukan demonstrasi menuntut perusahaan memindahkan
usahanya sejauh 150 meter dari garis pantai. Konflik ini terselesaikan dengan mediasi
dengan beberapa kesepakatan, yaitu: Pertama, Perusahaan A harus membayar Rp
250.000,00/bulan/grup kepada nelayan lokal. Kedua, Perusahaan A harus memberikan 5
kg beras dan 1 kg gula pada 200 nelayan lokal sebelum Idul Fitri. Dan yang terakhir,
Nelayan diijinkan menangkap ikan di daerah budidaya mutiara. Timbal baliknya,
nelayan harus ikut menjaga keamanan area.
Sementara itu, di desa jenggala terdapat perusahaan B, perusahaan budidaya
mutiara lain yang menyuplai bibit untuk perusahaan lain. Perusahaan A merupakan
4
konsumen dari Perusahaan B. Perusahaan B dimiliki oleh orang lokal, tidak seperti
Perusahaan A. Karena statusnya sebagai perusahaan lokal, kesepakatan mengenai
pengelolaan sumber daya (pesisir) dengan nelayan lokal menjadi lebih mudah tanpa
melalui proses konflik. Kesepakatan yang dibuat oleh Perusahaan B dengan nelayan
lokal hampir sama dengan kesepakatan yang dibuat oleh perusahaan A seperti
kewajiban membayar Rp 250.000,00 pada nelayan lokal. Terdapat poin menarik dalam
kesepakatan yaitu adanya profit sharing sebesar 10 persen. Adanya kesepakatan ini
meningkatkan rasa memiliki nelayan lokal terhadap industri budidaya mutiara di desa
Jenggala. Sementara itu, sebagai tibal balik diberikannya ijin usaha, perusahaan
menyumbang pajak pada pemerintah.
Dilihat dari hubungan interaksinya, industri budidaya mutiara memiliki posisi
tawar lebih kuat dari nelayan lokal ataupun nelayan pendatang. Hal ini dikarenakan
industri budidaya mutiara diakui secara legal melalui peraturan pemerintah daerah.
Pengkauan bahwa pesisir dan laut merupakan sumber daya milik bersama oleh nelayan
masih lemah karena tidak terlegitimasi. Merujuk pernyataan Stanbaald 157/1916,
eksisnya hak privat didalam hak umum (common) dapat terjadi karena kekuatan dari
pemerintah dan hukum.
Berdasarkan penelitiannya, penulis menyimpulkan bahwa terdapat potensi
konflik yang muncul akibat interaksi private property right dan common property right
di dua desa tersebut, yaitu:
1. Konflik antara dua otoritas: pemerintah dan masyarakat lokal. Pemerintah
merujuk pada peraturan formal sedangkan masyarakat lokal berpegang pada
adat istiadat setempat, terkait dengan pengelolaan sumber daya.
2. Potensi konflik antara dua pemangku hak, yaitu konflik yang terjadi lintas
kelas sosial. Di desa Jenggala, konflik dapat dicegah karena perusahaan
mampu berkomunikasi baik dengan nelayan lokal. Hal ini mungkin karena di
Jenggala, perusahaan dimiliki oleh masyarakat lokal.
Konflik ataupun potensi konflik yang muncul bersumber dari ketidaksamaan referensi
dalam pengkauan hak pengelolaan sumber daya. Pemegang private property right lebih
menekankan proses formal, sedangkan common property right lebih mengarah pada
proses informal. Pengelolaan sektoral sumber daya yang terjadi di desa Jenggala dan
Gondang tidak sama dengan apa yang terjadi di Jepang. Di Jepang, budidaya mutiara
tidak diprivatisasi karena transfer hak usaha atau pengelolaan tidak diatur.
Untuk menuju pengelolan yang lebih baik, penulis memberikan 3 saran
pengelolaan, yaitu: Pertama, level nasional, menunjuk pada aturan legal yang mengatur
sistem pengelolaan perikanan. Kedua, level lokal atau regional, terkait dengan kebijakan
desentralisasi, dimana pengelolaan daerah diserahkan pada daerah, tidak oleh pusat.
Dengan desentralisasi, diharapkan penelolaan sumber daya perikanan dan kelautan bisa
dikelola lebih baik melalui aturan-aturan lokal sesuai daerah masing-masing. Ketiga,
level komunitas, dimana kesepakatan antara nelayan lokal dan industri budidaya
mutiara dibuat saling menguntungkan.
5
2.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume:hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: Strategi Pengembangan Ekowisata di
Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua
: 2010
: Jurnal
: Elektronik
: Karsudi, Rinekso Soekmadi, dan Hariadi
Kartodihardjo
: Jurnal Manajemen Hutan Tropika (JMHT)
: XVI (3): 148-154
: http://journal.ipb.ac.id/index.php/jmht/article
/view/3178
: 24 November 2014, pukul 12.23 WIB
Provinsi Papua merupakan daratan tertua di Kepulauan Indonesia yang terbentuk
sejak 195 juta tahun yang lalu. Sampai saat ini, 80 persen permukaan kepulauan Papua
masih ditutupi oleh hutan hujan tropis yang luasannya mencapai 31.037.100 ha (Dephut
2009). Di Papua, sedikitnya ditemukan 50 persen biodiversitas, potensi yang sangat
besar untuk meningkatkan kesejahteraan daerah (Kadarusman & Nurhasan 2008).
Karena tutupan hutan hujan tropis yang sangat luas, pengusahaan hutan
merupakan salah satu sektor pemanfaatan sumber daya alam yang berdampak positif
bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, pembukaan isolassi daerah, serta
penciptaan lapangan kerja. Kebijakan pengelolaan hutan di Provinsi Papua diatur dalam
Kebijakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA).
Namun demikian, sistem ini tidak mengarah pada terwujudnya pengelolaan hutan
berkelanjutan (Sustainability Forest Management) karena dampak terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat kurang dirasakan. Hal ini terbukti dari tingkat penghasilan
per kapita penduduk Provinsi Papua sebesar Rp 225.195 per bulan (BPS Provinsi Papua
2008) dan Indeks Pembanguna Manusia (IPM) Provinsi Papua pada tahun 2008 sebesar
64,00 (BPS Provinsi Papua 2010). Data ini menempatkan Papua sebagai Provinsi
termiskin di Indonesia.
Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang secara ekonomi
menguntungkan (economically viable), secara ekologi ramah lingkungan
(environmentally benign), secara teknis dapat diterapkan (technically feasible), dan
secara sosial dapat diterima oleh masyarakat (socially acceptable) adalah jasa
lingkungan ekowisata. Lindberg (1991) mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan
yang bertanggung jawab ke wilayah-wilayah alami yang bertujuan untuk melindungi
dan melestarikan lingkungan sedemikian rupa sehingga menekan sekecil mungkin
dampak terhadap lingkungan dan sosial budaya, membangkitkan pendanaan bagi
kawasan-kawasan yang dilindungi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat
setempat. Dalam isu kemiskinan, ekowisata memberikan kontribusi pada peningkatan
level pendapatan masyarakat lokal, peningkatan jumlah masyarakat yang bekerja,
perbaikan infrastruktur, dan partisipasi lokal (Agrawal dan Redford 2006). Pratiwi
(2008) mengungkapkan, pengusahaan ekowisata dapat menjadi instrumen
menyelesaikan konflik ketidakpastian akses terhadap kawasan.
Kepulauan Yapen merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua yang
memiliki berbagai potensi wisata yang sangat layak dikembangkan sebagai objek
daya tarik ekowisata (terdapat 20 objek wisata yang tersebar secara merata di 12
distrik). Faktor ini menjadi alasan kenapa penulis memilih tempat ini, dengan maksud
merumuskan strategi pengembangan ekowisata di Kepulauan Yepen, Provinsi Papua.
6
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Analisis Penawaran-Permintaan
(Supply-Demand) dan Analisis Prospektif. Analisis penawaran-permintaan dilakukan
untuk mengkaji prospek pengembangan ekowisata. Analisis prospektif dilakukan
untuk merumuskan model strategi pengembangan ekowisata. Komponen Penawaran
yang diamati adalah potensi ekowisata berbentuk bahari (pantai dan perairan) dan
potensi ekowisata berbentuk daratan. Penilaian potensi ekowisata mengacu pada
pedoman Analisis Daerah Operasi Objek Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA)
(Dephut 2003). Sedangkan Komponen Penawaran terdiri dari tingkat kunjungan
wisatawan mancanegara, jumlah penduduk sebagai wisatawan potensial, dan
karakteristik wisatawan yang mengunjungi objek wisata. Analisis Prospektif
menekankan pada analisis berdasarkan faktor penentu.
Analisis penawaran ekowisata dilakukan pada objek wisata perairan, pantai,
dan daratan. Penilaian objek wisata laut yang dipilih adalah Ansus, Miosnum, dan
Angkaisera. Berdasarkan hasil penghitungan ADO-ODTWA, didapati ketiga objek
tersebut belum layak untuk dikembangkan sebagai ODTWA karena memiliki hambatan
dan kendala antara lain potensi pasar belum mendukung, pengelolaan dan pelayanan
belum sesuai dengan standar pelayanan, akomodasi belum memenuhi syarat, dan
hubungan dengan objek lain yang sejenis cukup tinggi.
Penilaian objek wisata berbentuk pantai dilakukan pada objek wisata Mariade,
Sarawandori, dan Wawuti. Berdasarkan penghitungan ADO-ODTWA, didapati objek
wisata Mariade dan Sarawandori layak dikembangkan sebagai ODTWA. Sedangkan
objek wisata Wawuti tidak layak dikembangkan. Hal ini karena keduanya memiliki
hambatan cukup beragam, antara lain: potensi pasar yang belum mendukung, lokasi
objek yang cukup jauh dan adanya kesulitan dalam hal aksesibilitas, pengelolaan dan
pelayanan yang belum sesuai dengan standar, akomodasi yang belum memenuhi syarat,
dan hubungan dengan objek lain sejenis yang cukup tinggi.
Adapun untuk objek wisata berbentuk daratan, penilaian difokuskan pada objek
wisata di Poom I Distrik Yapen Barat, Ambaidiru Distrik Kosiwo, dan Barawai Distrik
Yapen Timu. Objek wisata daratan Poom I dan Barawai belum layak dikembangkan
karena memiliki hambatan dan kendala yang sama dengan objek wisata Wawuti. Objek
wisata yang tidak layak dikembangkan ini dapat dikembangkan sebagai ODTWA
melalui upaya promosi dan pemasaran guna menarik potensi pasar, memperkecil
kendala aksesibilitas melalui penyediaan sarana prasarana modal transportasi,
meningkatkan pengelolaan dan pelayanan sesuai standar pelayanan, melakukan
pemenuhan terhadap standar akomodasi yang diperlukan, dan meningkatkan
diversifikasi atraksi wisata.
Analisis permintaan ekowisata didasari oleh aspek keinginan atau tujuan
pengunjung dan karakteristik pengunjung. Macam pengunjung adalah pengunjung
domestik, internasional, serta penduduk lokal yang memanfaatkan atraksi wisata dan
fasilitas yang diberikan oleh tempat ekowisata tersebut. Pengunjung atau wisatawan
asing yang berkunjung berasal dari Belanda, Jerman, Perancis, Italia, Kanada, Australia,
Inggris, Yunani, Jepang, Amerika, Australia, Malaysia, dan Colombia. Aktivitas yang
dilakukan adalah bird watching, hiking tracking, snorkeling, diving, dan penelitian di
bidang kelautan dan kehutanan yang berlangsung sejak tahun 1995.
Karakteristik wisatawan yang mengunjungi objek daya tarik wisata di
Kabupaten Kepulauan Yapen didominasi oleh wisatawan laki-laki dengan rata-rata
umur dewasa dan tingkat pendidikan rata-rata cukup baik (sebagian besar berpendidikan
sarjana). Rata-rata status pekerjaan wisatawan adalah pegawai negeri sipil di lingkungan
pemerintah Kabupaten Kepulauan Yapen dengan tingkat pendapatan rata-rata lebih dari
Rp2,5 juta per bulan. Karakteristik wisatawan yang berkunjung di objek daya tarik
7
wisata di Kabupaten Kepulauan Yapen tergolong dalam wisatawan dengan karakteristik
identitas cukup baik yang ditinjau dari tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan.
Berdasarkan karakteristik pengunjung/wisatawan, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pengunjung memiliki kepedulian akan keberlangsungan sumber daya alam serta
lingkungan kawasan wisata serta informasi yang diperoleh dari berwisata akan
diteruskan atau dipublikasikan, hal ini dikarenakan karakteristik pengunjung yang
memiliki pengetahuan baik.
Strategi pengembangan ekowisata didesain berdasarkan hasil analisis
tingkat prospektif masing-masing faktor penentu. Faktor kunci atau penentu tersebut
ditentukan melalui 2 tahap analisis, yaitu identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh
dalam pengembangan ekowisata, dan analisis penentuan beberapa faktor kunci
dalam pengembangan ekowisata yang dikaji berdasarkan diskusi dengan ahli ekowisata,
ahli kelembagaan, dan studi pustaka. Berdasarkan hasil analisis identifikasi, ditemukan
beberapa faktor kunci, yaitu: potensi ODTWA, kebijakan pemerintah daerah,
permintaan ekowisata, partisipasi masyarakat, sarana dan prasarana, keamanan,
penataan ruang wisata, promosi dan pemasaran, kapasitas kelembagaan, manajemen
atraksi, kerjasama antardaerah, kontribusi ekonomi, dan pendidikan masyarakat.
Analisis lanjutan berdasarkan hasil penilaian Profesional Judgment, persepsi
peneliti, serta berbagai konsep dan teori ekowisata menyebutkan terdapat 5 faktor kunci
(penentu) dan 8 faktor penghubung, dimana untuk mengelola kelima faktor kunci
tersebut akan dilakukan analisa keterkaitan antarfaktor dan kondisi untuk analisis
prospektif.
Hasil olahan data menunjukan bahwa berdasarkan analisis keterkaitan antar
faktor (5 faktor kunci) dan rancangan strategi pengembangan ekowisata, didapati bahwa
strategi pengembangan yang paling tepat diterapkan adalah strategi pesimis (Pessimistic
Strategy). Alasan-alasan yang mendasari berupa kelembagaan ekowisata yang belum
terbentuk, manajemen atraksi yang belum dirumuskan, penataan ruang yang belum
dilaksanakan, strategi promosi dan pemasaran yang belum ada, dan keamanan di dalam
dan luar kawasan yang belum kondusif.
3.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume:hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: Strategi Pengembangan Ekowisata di Pantai
Pangandaran Kabupaten Ciamis Pasca
Tsunami
: 2013
: Berkala (Jurnal)
: Elektronik
: Prasetyo Nugroho, Muh. Yusuf, Suryono
: Journal of Marine Research
: 2: 11-21
: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr
: 3 November 2014 pukul 14.56 WIB
Indonesia terkenal dengan keindahan alamnya. Tidak heran industri pariwisata
menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi pemasukan negara setelah migas. Upaya
pengembangan wisata, selain menyumbang pendapatan negara melalui devisa, juga
mengembangkan perekonomian dan kesempatan kerja. World Tourism Organization
(WTO) memperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada potensi peningkatan
pengunjung mencapai 1.516,1 juta orang dimana pertumbuhan tertinggi ada di kawasan
Asia-Pasifik sebesar 6,5persen (Budhayana, 2008).
8
Dirjen Pariwisata mengungkapkan, wisata merupakan kegiatan perjalanan yang
bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata di suatu daerah.
Wisata di suatu daerah ini memiliki banyak manfaat, baik dalam segi ekonomi,
ekologi, maupun sosial budaya. Sedangkan WTO (2003), dalam konsep wisata yang
lebih sempit, ekowisata, didefinisikan sebagai kegiatan pengelolaan dan pembangunan
dalam upaya mencegah atau mengurangi dampak kerusakan pada biodiversitas.
(Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, 2010).
Salah satu kawasan ekowisata yang menjadi wisata unggulan daerah adalah
Pantai Pangandaran. Kawasan ini dikembangkan berdasarkan aspek ekonomi, ekologi,
dan budaya. Pantai Pangandara terletak di Kabupaten Ciamis, kawasan pantai yang
memiliki keanekaragaman hayati tinggi, kreativitas, dan keramahan penduduk.
Letaknya strategis karena berada diperbatasan dua provinsi, Jawa Tengah dan Jawa
Barat. Karena alasan ini, Pantai Pangandaran ditunjuk sebagai kawasan strategis
nasional dan wisata unggulan. (Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 dan
Peraturan Daerah Jawa Barat No. 22 tahun 2010).
Penelitian yang dilakukan menulis menggunakan dua sumber data sebagai
rujukan penelitian, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari
pengamatan langsung di lapangan (observasi) dan wawancara mendalam terhadap
tokoh-tokoh penting (key person) yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata
pantai pangandaran. Total responden yang diwawancarai mencapai 15 orang dengan
pemilihan secara sengaja. Sedangkan data sekunder yang diperoleh berupa Profil
Pantai Pangandaran, Potensi ekosistem, Jumlah Pengunjung, Sarana dan Prasarana,
Aksesibilitas, Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat, Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Ciamis, Master Plan Pantai Pangandaran dan lain-lain.
Analisis yang digunakan adalah analisis SWOT (Strength, Weakness,
Opportunity, Threat). Hasil analisis SWOT akan digunakan untuk menentukan strategi
pengembangan wisatayang menghasilkan 4 alternatif pilihan pengembangan yang
diwakili dalam 4 kuadran hasil analisis SWOT. Sebelum melakukan perumusan,
terlebih dahulu dilakukan penentuan nilai IFAS (Internal Strategic Factor Analysis
Summary)
dan EFAS (External Strategic Factor Analysis Summary) yaitu penentuan Rating,
Bobot, dan Skor dari setiap faktor hingga diperoleh nilai total dari keseluruhan
faktor. Penulis membagi 4 kuadran (sel) hasil olahan skor dari masing-masing faktor
yang diperoleh dari penjumlahan skor faktor eksternal dan internal seperti gambar
berikut.
Gambar 1 Matriks Faktor Hasil Penjumlahan Faktor Eksternal dan Internal
9
Sel 1 = Menunjuk Strategi Pengembangan Agresif, yaitu pengembangan ekowisata
pada segmen tertentu secara intensif dan lebih luas.
Sel 2 = Mendukung strategi diversifikasi seperti pengembangan berbagai paket
wisata dengan pola partisipasi.
Sel 3 = Mendukung strategi turn arounddengan orientasi putar haluan. Salah satu
strategi yang diajukan adalah membuka kerjasama dengan seluruh stakeholder
dan memberikan berbagai intensif.
Sel 4 = Mendukung strategi defensif, dengan meningkatkan pelayanan pengunjung.
Berdasarkan hasil pengamatan langsung dan wawancara, didapati 8 faktor
internal (S-W) dan 8 faktor eksternal (O-T). Faktor internal yang termasuk sebagai
kekuatan (strength) adalah Keindahan Alam yang Mempesona dan Budaya Lokal,
Prasarana Dasar memadai (jalan, listrik, persediaan air, dan telekomunikasi), Dukungan
Pemerinntah dan Stakeholder yang Kuat, dan yang terakhir adalah Tersedianya
Keamanan dan Keselamatan. Sedangkan faktor yang terhitung sebagai Kelemahan
(Weakness) adalah Terbatasnya Sarana Transportasi Umum, Terbatasnya Prasarana
Pendukung (ATM, Money Changer), Kurangnya Promosi, dan Lemahnya Pengelolaan
dan Ketertiban.
Faktor Eksternal (O-T) meliputi Opportunity: Lokasi Strategis, Salah Satu
Program Pengembangan Wisata Pemprov dan Pemkab, Terdapat Paket Wisata dari
Dalam dan LuarN, Bandara Nusawiru akan dioptimalkan, dan Peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Sedangkan faktor eksternal yang termasuk ancaman (Threat)
adalah Rawan Bencana Alam, Wisata Masal yang dapat Merusak Lingkungan,
Adanya Persaingan Wisata yang Semakin Ketat,
Berdasarkan hasil penghitungan skor, didapati tabel sebagai berikut,,
Gambar 2 Skor Hasil Penghitungan Faktor Internal dan Faktor Eksternal
Hasil penghitungan faktor internal, skor menunjukan selisih antara kekuatan (strength)
dan Kelemahan (Weakness) adalah 0,498 (Positif). Kemudian, selisih total nilai faktor
eksternal (Opportunity-Threat) menghasilkan skor 1,397 (positif). Sesuai dengan
diagram atau matriks rencana strategi pengembangan, didapati bahwa pantai
Pangandaran, berdasarkan kondisinya berada di Sel I (Kuadran I).
Berdasarkan hasil tersebut, tipe pengembangan ekowisata pantai pangandaran
yang paling tepat adalah tipe pengembangan agresif dengan 7 pilar utama
pengembangan, yaitu: 1) Memanfaatkan dukungan stakeholder, pemerintah dan
masyarakat dalam mengoptimalkan Bandara Nusawiru, 2) Memanfaatkan daya tarik
wisata yang menarik dan aman sebagai aset pengembangan agar wisatawan tidak
10
cepat merasa bosan dan selalu nyaman, 3) Berkerjasama dengan agen-agen
perjalanan wisata (paket wisata) baik yang terdapat di dalam negeri maupun luar
negeri, 4) Memperbaiki teknik/metode promosi, 5) Menambah prasarana
pendukung, 6) Melakukan penyuluhan kepariwisataan, serta 7) Mengoptimalkan
peran BALAWISTA dalam mengurangi resiko dampak bencana.
4.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume:hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: Perilaku Nelayan dalam Pengelolaan Wisata
Bahari di Kawasan Pantai Lovina, Buleleng,
Bali
: 2006
: Berkala (Jurnal)
: Elektronik
: Siti Amanah dan Hamidah Nayati Utami
: Jurnal Penyuluhan
: 2: 83-90
: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/4
3022
: 26 November 2014 pukul 10.30 WIB
Pesisir merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki potensi besar di
bidang pariwisata. Terdapat tiga alasan utama yang mendukung kawasan pesisir
menjadi lokasi wisata. Pertama, terdapat beragam ekosistem yang saling berkaitan di
wilayah pesisir, seperti hutan mangrove, pantai berpasir, padang lamun, dan
terumbu karang. Salah satu kawasan pesisir yang punya potensi besar untuk
dikembangkan menjadi kawasan wisata adalah pantai Lovina, Buleleng, Bali.
Pantai Lovina memiliki sarana dan prasarana yang lumayan lengkap seperti
adanya penginapan, rumah sakit, kantor pos, warung telekomunikasi, dan warung
internet. Hal ini pula yang menarik banyak wisatawan asing berkunjung, terutama
wisatawan Eropa. Jasa wisata yang ditawarkan di Pantai Lovina melingkupi wisata
keindahan kawasan pesisir, scuba diving, melihat lumba-lumba (cruising) dan
memancing. Pada penyediaan jasa ini, nelayan lokal ikut serta menyediakan jasa berupa
penyewaan perahu.
Peran nelayan dalam pengelolaan wisata bahari ini dipengaruhi oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Untuk itu penulis merasa perlu meneliti tentang; (1)
Perilaku nelayan dalam pengelolaan jasa wisata bahari, (2) Hubungan faktor InternalEksternal dan pengaruhnya terhadap perilaku nelayan sebagai pengelola jasa wisata, dan
(3) Hubungan pengaruh faktor internal-eksternal terhadap kepuasan wisatawan dalam
jasa wisata bahari. Dalam poin nomer (2), penulis merinci faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi; Umur, Pendidikan Formal dan Nonformal, Pengalaman
Usaha di bidang Pariwisata Bahari, Kekosmopolitan, Kemampuan Bahasa, Motif
Usaha di bidang Pariwisata Bahari, Modal Usaha di bidang Pariwisata Bahari, dan
Sumber Pendapatan Utama. Sedangkan faktor Eksternal meliputi; Ketersediaan Sarana
dan Prasarana Pariwisata, Karakteristik Komoditas dan Atraksi Wisata, Sumber
Informasi, Nilai-nilai Norma Adat dan Kebijakan Pemerintah Daerah.
Secara singkat, penulis mendefinisikan perilaku sebagai pencerminanpencerminan yang ditampakkan oleh seseorang sebagai hasil interaksi dari sifatsifat genetis dan lingkungan (Padmowihardjo, 1978). Perilaku berkaitan dengan
kemampuan fisik maupun non fisik dan umumnya unsur-unsur perilaku
dikelompokkan menjadi tiga unsur yaitu pengetahuan (kognitif), keterampilan
(psikomotor), dan sikap mental (afektif). Upaya perubahan perilaku nelayan melalui
11
proses pembelajaran, dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut (Hickerson
dan J. Middleton, 1975; Padmowihardjo, 1999):
1. Merencanakan aspek-aspek perilaku mana yang
terutama
akan
dikembangkan dalam proses belajar mengajar.
2. Mengatur lingkungan belajar yang memungkinkan bagi sasaran didik itu
mencapai penambahan kemampuan secara berkesinambungan.
Mengenai nelayan sendiri, merujuk berbagai sumber pustaka, Penulis
mendeskripsikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan
menangkap ikan/binatang air lainnya/tanaman air (Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004). Nelayan dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu nelayan tradisional yang
bersifat subsisten, nelayan yang telah menggunakan teknologi penangkapan ikan
yang maju, nelayan komersil, dan nelayan industri (Pollnac, 1998). Nelayan
memiliki kehidupan yang khas secara geografis, sosial, dan ekonomi (Hanson,
1984).
Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, penulis mengambil definisi pesisir
dari ungkapan Beatley (1994), dimana pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan
daratan, kearah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air
laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua. Wilayah
pesisir dibagi kedalam beberapa sektor, antara lain: Konservasi, Taman Suaka alam
Laut, Wisata, Pelayaran, Navigasi
dan
transportasi,
Perikanan,
Industri
pertambangan, Kegiatan mencemari lingkungan dan Penelitian kelautan dan
metereologi (Dahuri dkk, 2001).
Mengenai wisata, penulis merumuskan konsep berdasarkan undang-undang
Nommor 9 Tahun 1990 dimana wisata adalah wisata adalah kegiatan perjalanan atau
sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara suka rela serta bersifat
sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Pengelola pariwisata perlu
mempertimbangkan biaya dan manfaat kegiatan pariwisata pesisir, agar kegiatan yang
dilakukan dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat dengan tetap
memperhatikan konservasi lingkungan.
Merujuk pada Kusumastanto (2002) adalah (1) meningkatkan ketersediaan
prasarana dan sarana publik; (2) meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya
manusia dalam mengelola pariwisata bahari; (3) mengembangkan sistem pendataan
dan informasi yang lengkap, sehingga memudahkan wisatawan mendapatkan
informasi dan akses cepat, mudah serta murah; (4) mengembangkan aktivitas
ekonomi non-pariwisata seperti industri kerajinan, perikanan, restoran, dan jasa
angkutan laut; (5) meningkatkan jaminan dan sistem keamanan bagi wisatawan; (6)
menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi kalangan investor; (7)
mengembangkan model pengelolaan pariwisata bahari yang mampu menjaga
kelestarian ekosistem laut dan budaya masyarakat lokal. Penulis menekankan
pentingnya aspek konservasi pada pengelolaan kawasan wisata pesisir (ekowisata).
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deksriptif korelasional yaitu
meneliti hubungan antar variabel dianalisis dengan uji statistik. Pendekatan
kualitatif digunakan untuk menjelaskan substansi hasil uji stitistik. Metode survai
menggunakan teknik wawancara, pengamatan langsung, dan diskusi dengan pakar
dan praktisi di lapangan. Responden nelayan yang diwawancarai berjumlah 30
orang, selain itu data didapat pula dari informan dari dinas terkait.
Variabel-variabel yang digunakan dalam peneliitian meliputi variabel
Karakteristik Individu Nelayan (X1), Variabel karakteristik lingkungan fisik dan
sosial (X2), Variabel perilaku nelayan mengelola jasa wisata bahari (Y1), dan
Variabel Kepuasan Wisatawan (Y2). Variabel (X1) meliputi; (1) Usia, (2) Pendidikan
12
formal dan non formal, (3) Pengalaman usaha di bidang pariwisata, (4) Tingkat
kosmopolitan, (5) Kemampuan bahasa, (6) Motif usaha di bidang pariwisata, (7)
Modal usaha di bidang pariwisata, dan (8) Sumber pendapatan utama. Variabel (X2)
melingkupi; (1) Ketersediaan sarana dan prasarana pariwisata, (2) Karakteristik
komoditas dan atraksi wisata, (3) Sumber informasi, (4) Nilai-nilai budaya lokal
dan norma adat, (5) Peraturan (awigawig). Variabel (Y1) tersusun atas; (1) Aspek
pengetahuan/wawasan atau kognitif nelayan akan wisata bahari, (2) Aspek sikap
mental/afektif dalam menjalankan peran sebagai pemandu wisata, (3) Aspek
keterampilan/psikomotorik nelayan memandu wisatawan menggunakan perahu katil.
Variabel (Y2) terdiri atas; (1) Terpenuhinya kebutuhan untuk kenyamanan, (2)
Terpenuhinya kebutuhan untuk menikmati keindahan alam, dan (3) Terpenuhinya
kebutuhan akan layanan prima dalam akomodasi, kunjungan, dan layanan
hospitality.
Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa layanan wisata yang ditawarkan
oleh nelayan di Pantai Lovina adalah mengamati perilaku lumba-lumba, diving,
dan snorkeling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia rata-rata nelayan yang
melakukan jasa wisata bahari adalah 42,5 tahun. Nelayan yang menyewakan
perahu paling muda berusia 28 tahun, dan paling tua berusia 60 tahun. Pendidikan
nelayan umumnya Sekolah Dasar dan SMP tidak tamat. Pengalaman nelayan dalam
penyediaan jasa wisata bahari berkisar antara 5 hingga 26 tahun dengan rataan
pengalaman adalah 14 tahun. Nelayan terlibat dalam pengelolaan wisata bahari
didorong oleh upaya peningkatan pendapatan, dan merupakan pengaman ketika hasil
penangkapan ikan rendah.
Sebagian besar nelayan di pantai Lovina memiliki pengetahuan tentang
pengelolaan usaha wisata bahari, pengelolaan keuangan,
pengetahuan
dasar
pemasaran jasa wisata bahari, dan pemahaman tentang cara melayani wisatawan
dalam kategori sedang. Sikap nelayan terhadap kedatangan wisatawan, sarana wisata
baru, dan persaingan usaha dalam kategori sedang. Kecermatan dalam pengelolaan
keuangan masih rendah. Secara keseluruhan kreativitas nelayan mengelola kegiatan
wisata bahari dan pengelolaan resiko usaha dalam kategori sedang. Akan tetapi,
daya saing nelayan masih rendah.
Berdasarkan uji korelasi Rank Spearman, seluruh variabel memiliki hubungan
positif yang menunjukan bahwa semakin baik hubungan internal-eksternal, semakin
baik pula pengelolaan usaha wisata bahari. Hasil analisis Chi-Square juga menunjukan
hasil yang sama, dimana variabel internal-eksternal memiliki hubungan yang nyata
dengan perilaku nelayan mengelola jasa wisata bahari. Lebih lanjut penulis
mengungkapkan, demi meningkatkan kompetensi nelayan dalam upaya pengelolaan
wisata bahari yang lebih profesional, perlu adanya pendekatan sistem yang terdiri dari 3
komponen (Haslet, 2000): Sub sistem masukan (input), Proses, dan luaran (output).
Dari keseluruhan analisis, dapat ditarik kesimpulan ada tiga komponen utama
untuk mengelola kawasan wisata bahari di kawasan pesisir, yaitu: Nelayan, Sumber
daya Pesisir, dan Pengelola Wisata Bahari.
13
Analisis:
Perilaku nelayan:
1. Aspek Pengetahuan (Kognitif)
2. Aspek Sikap Mental (Afektif)
3. Aspek Keterampilan
(Psikomotorik)
Karakteristik Individu
Nelayan:
(1) Usia, (2) Pendidikan formal
dan non formal, (3) Pengalaman
usaha di bidang pariwisata, (4)
Tingkat kosmopolitan, (5)
Kemampuan bahasa, (6) Motif
usaha di bidang pariwisata, (7)
Modal usaha di bidang pariwisata,
dan (8) Sumber pendapatan
utama.
Pengelolaan Wisata Bahari:
1. Ketersediaan SaranaPrasarana Pariwisata
2. Karakteristik Komoditas
dan atraksi Wisata
3. Sumber Informasi
4. Nilai-nilai budaya lokal
5. Peraturan (Awig-awig)
Wisata Bahari dengan kaidah
Ekologi (Eco-Tourism):
- Berkelanjutan
- Kondisi alam terjamin
- Pendapatan Nelayan Meningkat
- Kondisi Sosial Mantap
Gambar 3 Bagan Analisis Perilaku Nelayan terhadap Pengelolaan Wisata Bahari
Konsep yang diambil oleh penulis untuk mendeskripsikan pengelolaan wisata
bahari oleh nelayan adalah Perilaku nelayan yang memengaruhi pengelolaannya.
Perilaku nelayan dipengaruhi oleh aspek Kognitif, afektif, dan Psikomotorik, dimana
aspek-aspek tersebut dipengaruhi oleh Karakteristik individu nelayan. Pengelolaan
wisata bahari bertujuan selain menarik wisatawan juga mempertimbangkan sisi
keberlanjutan (Ekoturisme). Indikator-indikator ekoturisme meliputi empat hal, yaitu
berkelanjutan, pendapatan nelayan meningkat, kondisi alam terjamin, dan kondisi sosial
mantap.
Indikator-indikator yang diungkapkan menunjukan bahwa pengelolaan tidak
hanya meletakan basis usahanya padda sisi ekonomis semata, tapi juga sosial,
mempertimbangkan faktor sosial budaya nelayan didalamnya. Sisi lemah dari penelitian
yang dilakukan oleh penulis adalah masih minimnya pengungkapan hubungan antar
aktor, baik dari nelayan, pemerintah, maupun manajemen pengelola wisata bahari
tersebut.
5.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume:hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: Strategi Adaptasi Nelayan terhadap
Perubahan Ekologis
: 2012
: Berkala (Jurnal)
: Elektronik
: Alfian Helmi dan Arif Satria
: Makara, Sosial Humaniora
: 16: 68-78
: http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/a
rticle/view/1494
: 26 November 2014 pukul 10.41 WIB
14
Nelayan sering diasosiasikan dengan kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi
(Kusnadi 2000; Pretty et. al.2003; Widodo 2011). Hal ini karena hubungan nelayan
yang sangat dekat dengan lingkungannya (Pesisir dan Laut) yang diliputi ketidakpastian
(Adriati, 1992; Kusnadi, 2000; Satria, 2009). Berdasarkan UU Perikanan Nommor 45
tahun 2009, nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa nelayan kecil melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menggunakan
kapal perikanan paling besar lima gross ton (5 GT).
Nelayan umumnya mengalami masalah sosial, politik, dan ekonomi yang
kompleks (Kusnadi, 2009; Satria 2009) yang berkaitan dengan isu degradasi lingkungan
baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil (Kusnadi, 2009). Dahuri (2003)
menjelaskan bahwa kebutuhan manusia yang semakin meningkat dan daya dukung
bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumber daya alam semakin besar.
Kejadian ini merupakan konsekuensi logis dari ketergantungan nelayan terhadap
sumber daya pesisir dan laut (Satria 2009).
Adaptasi dan perubahan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan bagi
makhluk hidup. Bennet (1976) dan Pandey (1993) memandang adaptasi sebagai suatu
prilaku responsif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi.
Prilaku responsif tersebut memungkinkan mereka dapat menata sistem-sistem tertentu
bagi tindakan atau tingkah lakunya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan
kondisi yang ada. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan
oleh manusia dalam masa hidupnya guna mengantisipasi perubahan lingkungan baik
fisik maupun sosial (Alland 1975; Barlett 1980).
Bennett (1976) mendiskprisikan strategi adaptasi sebagai suatu tindakan spesifik
yang dipilih oleh individu atau masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan,
dengan suatu drajat keberhasilan yang dapat diprediksi. Dalam penelitian ini, penulis
bermaksud meneliti tentang; (1) sejauh mana dampak perubahan ekologis terhadap
nelayan, dan (2) strategi adaptasi nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis
tersebut.
Metode penelitian yang dipilih oleh penulis adalah metode kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif digunakan untuk penjelasan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta tertentu dengan strategi studi kasus.
Penelitian ini dilakukan di Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten
Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara
sengaja (purposive).
Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Bryant dan Bailey (2001), perubahan
lingkungan yang terjadi di pulau Panjang tidak hanya meliputi persoalan teknis, tapi
juga masalah – masalah sosial poiltik. Pernyataan ini terbukti melalui adanya produk
hukum yang saling meniadakan, diantaranya Perda Bupati Tanah Bambu No 7 Tahun
2010 bertentangan dengan PP Nomor 28 tahun 2008 tentang penetapan kawasan Pulau
Panjang sebagai kawasan suaka alam.
Berbagai izin pertambangan baik yag dikeluarkan oleh pemerintah pusat
maupun daerah bertentangan dengan SK Menteri kehutanan. Aktivitas –aktivitas di
pulau Panjang yang bersifat eksploitatif menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan,.
Kerusakan lingkungan tersebut merubah wajah ekologis pulau. Perubahan ekologis di
Pulau Panjang dapat dikategorikan kedalam dua aspek, yaitu: (i) perubahan ekosistem
mangrove, dan (ii) perubahan ekosistem terumbu karang.
Perubahan ekologis yang terjadi secara otomatis menyebabkan perubahan
ketersediaan produk perikanan sebagai modal utama nelayan (Bedjeek et al, (2010).
Perubahan-perubahan ini akhirnya memaksa nelayan menerapkan strategi adaptasi
15
sampai tingkat rumah tangga. Strategi adaptasi yang dimaksud adalah tindakan-tindakan
sosial-ekonomi berkaitan dengan perubahan yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian,
ditemukan berbagai strategi adaptasi nelayan, yaitu:
1. Penganekaragaman Pendapatan.
Kusnadi (2000) menjelaskan, dalam situasi eksploitasi berlebihan dan
ketimpangan pemasaran hasil penangkapan, rasionalisasi ekonomi akan
mendorong nelayan-nelayan menganekaragamkan sumber pekerjaan daripada
hanya bergantung pada pekerjaan mencari ikan. Penganekaragaman tersebut
merupakan salah satu bentuk strategi nafkah ganda. Menurut Satria (2009b),
terdapat dua macam strategi nafkah ganda, yaitu bidang perikanan dan non
perikanan.
Nelayan di pulau Panjang selain menangkap ikan juga berkebun dan
menggarap ladang di desa. Selain itu, untuk menambah penghasilan, juga
menjadi pekerja bangunan, kuli panggul di pasar, dan buruh perusahaan. Selain
daripada perubahan ekologis yang terjadi, strategi nafkah ganda diterapkan
karena adanya fluktuasi cuaca yang tidak menentu. Oleh karena itu, banyak juga
nelayan di Pulau Panjang yang menjadi petani tambak Udang.
2. Penganekaragaman Alat Tangkap
Karena perubahan ekologis menyebabkan kondisi lingkungan pesisir juga
berubah. Akibatnya, alat tangkap yang dimiliki nelayan juga berubah,
mengalami penganekaragaman. Penganekaragaman alat tangkap dilakukan
untuk menyiasati target produk yang ingin dihasilkan. Seperti diungkapkan oleh
SNS (43 tahun) warga pulau Panjang, kalau dulu memakai alat pancing sudah
cukup, sekarang harus memakai rempa, rengge, dan rawe. Kelemahannya adalah
harga alat tangkap masih mahal dan tidak semua menguasai teknologi
penangkapan dengan alat-alat baru.
3. Perubahan Daerah Tangkapan
Perubahan ekologis yang terjadi telah merubah bentang alam sehingga
sehingga merubah atau bahkan mengghilangkan daerah penangkapan ikan
(fishing ground). Perubahan daerah penangkapan ini, yang umumnya lebih jauh
daripada biasanya akan menaikan ongkos melaut nelayan. Hal ini sesuai dengan
apa yang diungkapkan oleh edee et al. (2012) bahwa perubahan daerah
tangkapan mengindikasikan beberapa hal diantaranya, penurunan pendapatan,
penururnan keuntungan dalam bisnis perikanan, penurunan akses terhadap area
tangkap yang produktif dan penurunan jumlah tangkapan produk perikanan.
Pola adaptasi ini paling sedikit digunakan karena terbatasnya informasi akan
daerah penangkapan. Sebagaimana diungkap penulis, pengetahuan geografi
nelayan masih sangat minim. Strategi ini sebetulnya efektif kalau diimbangi
dengan penerapan teknologi yang efektif semisal penggunaan GPS.
4. Memanfaatkan Hubungan Sosial
Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang
terbentuk di antara sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat
digunakan sebagai alat untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari
orang-orang yang terlibat didalamnya (Wahoyon et al., 2001). Hasil penelitian
di Pulau Panjang menunjukan bahwa rumah tanga nelayan disana memiliki
jaringan sosial yang bersifat informal.
Hubungan sosial dibedakan menjadi dua jenis menurut Kusnadi (2010),
yaitu yang bersifat horizontal dan Vertikal. Dalam hubungan sosial horizontal,
individu yang terlibat didalamnya memiliki status sosial-ekonomi yang sama.
Sebaliknya, di dalam hubungan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu
16
yang terlibat didalamnya tidak memiliki status sosial-ekonomi yang sepadan,
baik kewajiban maupun sumber daya yang dipertukarkan. Hubungan sosial yang
bersifat vertikal –sebagiannya- terwujud dalam bentuk hubungan patron-klien.
Hubungan Patron-Klien ini mensyaratkan kepentingan akan keuntungan.
Nelayan klien sangat mengandalkan patron sebagai sumber bantuan kala mereka
mengalami penurunan hasil penangkapan. Semakin sering hasil penangkapan
turun, hubungan patron-klien semakin tinggi intensitasnya.
5. Mobilisasi Anggota Rumah Tangga
Kusnadi (2000) menjelaskan mobilisasi rumah tangga sebagai kegiatan
mengikutsertakan anggota rumah tangga nelayan untuk bekerja, baik disektor
perikanan maupun diluar sektor perikanan. Anggota rumah tangga yang
diikutsertakan adalah istri dan anak. Istri memiliki peranan vital karena menjadi
pihak yang mengatur keuangan atau pengeluaran keluarga. Selain itu, istri juga
berperan mencari nafkah tambahan atau sampingan. Di pulau Panjang, istri
nelayan tidak hanya melakukan pekerjaan domestik, tapi juga pekerjaan
produktif seperti menjadi kuli ikat rumput laut.
Selain kelima stratgei tersebut, strategi lain yang diterapkan adalah penebangan
hutan mangrove dan retribusi kapal. Penebangan mangrove berdampak negatif bagi
lingkungan karena sifatnya merusak. Hal ini juga disadari oleh para nelayan namun
tetap dilakaukan karena minimnya sumber penghasilan bagi mereka. Selain itu, retribusi
kapal lebih bersifat strategi dalam bentuk kebijakan. Artinya, pemerintah desa
mengeluarkan peraturan mengenai retribusi yang harus dibayarkan oleh kapal-kapal
yang lewat ataupun berlabuh di area pantai Pulau Panjang.
Analisis:
Perubahan ekologis:
(i) Perubahan ekosistem
mangrove,
(ii) Perubahan ekosistem
terumbu karang.
Strategi Adaptasi Nelayan:
1. Strategi Nafkah Ganda
2. Diversifikasi Alat Tangkap
3. Diversifikasi Daerah Tangkapan
4. Memanfaatkan Hubungan Sosial
5. Mobilisasi Anggota Keluarga
Masalah Sosial-Politik:
Tumpang Tindih Kebijakan
Gambar 4 Bagan Analisis Pengaruh Perubahan Ekologis terhadap Strategi Adaptasi Nelayan
Konsep strategi adaptasi nelayan muncul dari adanya perubahan ekologis yang
terjadi di Pulau Panjang, utamanya di kawasan pesisir. Perubahan Ekologis yang terjadi
adalah Perubahan ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang. Perubahan
Ekologis ini memaksa nelayan menerapkan strategi adaptasi guna mensiasati perubahan
ekologis yang terjadi. Dalam pengaruhnya tersebut, masalah sosial-politik berupa
tumpang tindih kebijakan ikut memengaruhi dampak dari perubahan ekologis itu
sendiri.
Penulis sudah mendeskripsikan secara komprehensif tentang strategi adaptasi
nelayan. Namun demikian, analisa penyebab kurang dalam karena tidak dijelaskan
17
bagaimana kerusakan atau perubahan ekologisnya sendiri sehingga nelayan menerapkan
5 strategi adaptasi tersebut. Selain itu, strategi adaptasi diversifikasi daerah
penangkapan dan alat tangkap wajar terjadi mengingat pola musiman yang dipengaruhi
oleh siklus cuaca musiman. Jadi dua strategi adaptasi tersebut belum tentu dipengaruhi
oleh perubahan ekologis berupa kerusakan ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu
karang.
6.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume:hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: Membangun Model Pengelolaan Sumber
daya Perikanan Berkelanjutan Berdasarkan
Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat
Nelayan: Tinjauan Sosiologi Antropologi
: 2003
: Berkala (Jurnal)
: Elektronik
: Moch. Prihatna Sobari, Rilus A. Kinseng,
Fatriyandi N Priyatna
: Buletin Ekonomi Perikanan
: V/1: 41-48
: http://journal.ipb.ac.id/index.php/bulekokan/
article/view/2486
: 29 November 2014 pukul 14.53 WIB
Terdapat dua pendapat tentang konsepsi laut yang sangat mendasar, terutama
tentang permasalahan kepemilikannya (claim property). Pendapat pertama menyatakan
bahwa laut adalah common property (milik bersama), sedangkan pendapat lainnya
menyatakan bahwa laut dapat dlmiliki oleh suatu bangsa (state property). Atas dasar
pemikiran taut adalah milik bersama (common property) menyebabkan suatu
permasalahan yang sering dikenal sebagal suatu tragedy of the common, yaitu terjadinya
pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip open access, sehingga yang terjadi adalah
eksploitasi sumber daya (Hardin diacu dalam Bromley 1991).
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara detail tentang latar
belakang, sifat serta karakter yang khas dari subjek penelitian, yaitu pengelolaan sumber
daya alam. Metode penelitian yang digunakan menggunakan metode field research,
yaitu metode penelitian sosial yang menggunakan pengamatan langsung terhadap status
subjek penelitian pada kondisi sebenarnya. Penelitian ini dilakukan di desa
Karangjaladri, Parigi, Ciamis, Jawa Barat.
Penduduk Desa Karangjaladri mayoritas bekerja sebagai nelayan. Hal ini karena
wilayah mereka berada di area pesisir, sehingga menggantungkan hidup pada sumber
daya alam, utamanya laut. Laut termasuk sumber daya yang bersifat terbuka (open
access), siapapun berhak untuk memanfaatkannya. Akan tetapi, sumber daya yang
bersifat common property ini, atau sumber daya bersama rentan membawa konflik.
Konflik yang timbul karena sumebrdaya bersama diakses bersama, ketika satu nelayan
mengmabil hasil laut, dia sudah mengurangi jatah nelayan lain untuk mendapat hasil
yang sama. Hal ini menjadi suatu dilema berkepanjangan.
Dilema lain yang muncul adalah adanya eksternalitas teknologi. Eksternalitas
teknologi adalah ketika dua atau lebih nelayan melakukan aktivitas penangkapan ikan di
lokasi yang sama menggunakan peralatan yang berbeda. Alat tangkap yang bertemu di
tempat yang sama memiliki kecenderungan untuk saling merusak. Meskipun potensi
konflik yang ada termasuk rentan, kontrol sosial di desa Karangjaladri masih sangat
kuat sehingga konflik nyatanya tidak pernah terjadi.
18
Pengelolaan yang bersifat open access masih sngat kental di desa Karangjaladri.
Baik masyarakat dan pemerintah daerah tidak memberikan batasan-batasan atas sumber
daya laut yang ada didaerahnya. Hal ini ditandai dengan tidak adanya prinsip-prinsip
batasan klaim sumber daya, input seperti nelayan, alat tangkap dan jenis perahu, serta
output seperti jenis ikan yang boleh ditangkap dan besarya total tangkapan.
Masyarakat tidak menganggap bahwa sumber daya laut tersebut tidak ada yang
memiliki (res nulius), karena apa yang masyarakat terima sebagai warisan pemikiran
dari nenek moyangnya adalah bahwa laut merupakan milik bersama. Karakteristik dan
Persepsi pemerintahan desa serta nelayan memiliki peranan penting disini.
Karakteristik masyarakat di desa Karangjaladri masih kental dengan kontrol
sosial. Rasa saling memiliki antar orang masih tinggi. Hal ini jugalah yang menjadi
tameng ketika potensi konflik terkait pemanfaatan sumber daya bersama mengemuka.
Kontrol sosial, berguna ketika kebutuhan hidup, seperti kebutuhan modal tidak dapat
dipenuhi melalui saluran-saluran formal. Kontrol sosial disini akan disebut sebagai
jaminan sosial.
Menurut Benda-Beckman (2001), mekanisme jaminan sosial pada tingkat lokal
merupakan keharusan ketika kebijakan dan keadaan selalu berubah-ubah dan tidak
memberikan kepastian. Jaminan sosial yang muncul di desa Karangjaladri adalah
Patron-Klien. Pola hubungan antara Ptron dan Klien/Pendega saling membutuhkan
meskipun pada dasarnya Pendega lebih butuh karena butuh modal. Jaminan sosial lain
yang dapat diidentifikasi adalah adanya Kegiatan arisan, simpan pinjam desa, simpanan
di KUD, dan Kelompok Rukun Nelayan.
Bentuk lain dari kontrol sosial, selain jaminan sosial, adalah kearifan lokal.
Kearifan lokal disini adalah peraturan-peraturan lokal yang mendukung usaha
pengelolaan sumber daya laut di desa Karangjaladri. Kearifan lokal itu, antara lain:
Pertama, larangan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan pada hari Jumat.
Kedua, distribusi dan jaminan akses bagi nelayan tradisional. Ketiga, Mengijinkan
nelayan daerah lain untuk menangkap ikan dengan syarat menghormati dan
menggunakan alat tangkap sama. Keempat, pemberiam sanksi bagi pelaku pencurian
hasil dan alat tangkap nelayan. Kearifan lokal tersebut menjadi mekanisme kontrol
sosial mencegah terjadinya konflik dalam penglolaan sumber daya.
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, didapati penglolaan sumber
daya in bersifat co-management, dikelola bersama dan menjadi tanggung jawab
bersama. Temuan penulis sesuai dengan kriteria yang ditulis oleh Tulungen (2000),
bahwa pengelolaan co-management memiliki kriteria sebagai berikut: (1) Ikatan sosial
dan politik masyarakat yang tinggi; (2) Ketergantungan masyarakat akan sumber
daya pesisir tinggi; (3) Tingkat kerusakan sumber daya akibat pemanfaatan yang tidak
lestari rendah; (4) Kecenderungan masyarakat untuk konservasi sumber daya tinggi.
19
Analisis:
Pengelolaan Sumber
daya (Common
Property)
Kontrol Sosial
Kearifan Lokal
Persepsi
Pengelolaan
Jaminan Sosial
- Patron-Klien
- Simpan-Pinjam
Kontrol Sosial
Gambar 5 Bagan Analisis Pengelolaan Sumber Daya Perikanan berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi
Masyarakat
Model pengelolaan sumber daya alam yang dikemukakan penulis belum
meletakan dasar teori pada keterkaitan antara sisi ekologis dan antropologinya. Konsep
co-management tidak menyebutkan siapa saja pihak-pihak yang perlu terlibat dalam
pengelolaan. Kontrol sosial dan persepsi pengelolaan, dalam hal ini oleh nelayan,
memiliki peranan penting dalam penyikapan bagaimana mengelola sumber daya
bersama.
Alur pemikiran berpusat pada pengelolaan Sumber daya (common pool) dimana
ada dua konsep besar yang memengaruhi, yaitu Persepsi pengelolaan dan kontrol sosial.
Persepsi pengelolaan adalah pandangan masyrakat utamanya nelayan mengenai laut
sebagai sumber daya bersama. Artinya, pemanfaatannya tanpa aturan, tanpa batasan,
semua orang boleh memanfaatkan. Untuk memberi keseimbangan, perlu adanya kontrol
sosial berupa kearifan lokal.
7.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume/No:hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku
Nelayan Artisanal dalam Pemanfaatan
Sumber daya Perikanan di Pantai Utara
Provinsi Jawa Barat
: 2011
: Berkala (Jurnal)
: Elektronik
: Prihandoko, Amri Jahi, Darwis S. Gani, I
Gusti Putu Purnaba, Luky Adrianto, dan
Iwan Tjitradjaja
: Makara, Sosial Humaniora
: 15/2: 117-126
: http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/a
rticle/viewFile/1418/1249
: 6 Desember 2014 pukul 12.37 WIB
20
Nelayan Artinasal merupakan nelayan atau orang pemilik perahu yang sebagian
besar penghasilannya bergantung pada kegiatan penangkapan ikan di laut,
mengoperasikan sendiri perahunya dengan ukuran berat perahu antara 2,75–25 GT (atau
ukuran panjang perahu antara 5 meter hingga 15 meter, lebar antara 1,5 meter hingga 6
meter menggunakan peralatan tangkap ikan sederhana (seperti gilnet, jaring badut,
minitrawl, pancing, rawai pancang), menggunakan sistem penghasilan bagi hasil
antarapemilik dan anak buah kapal, dan menjual hasil tangkapan ikan dalam lingkup
pasar lokal yang terbatas (Berkes et al (2001), Charles (2001), Satria (2002), Luky
(2007)).
Nelayan artinasal di sepanjang pantai utara Provinsi Jawa Barat memiliki
beragam perilaku dalam memanfaatkan sumber daya alam, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Hal ini penting untuk dikaji karena kehidupan nelayan yang
sangat beragam. Perspektif yang digunakan untuk mengukur perilaku secara akurat
adalah theory planned behaviour (TPB). TPB merupakan teori perilaku yang
direncanakan. Anggapan selama ini, teori yang paling dekat hubungannya dengan teori
perilaku adalah sikap. Namun, Fishbein & Ajzen (1975) membantahnya. Menurut
mereka, teori niat lebih ddekat memengaruhi perilaku. Perspektif inilah yang disebut
adalah theory planned behaviour (TPB).
TPB menurut Ajzen (2005) menempatkan komponen sikap (attitude),norma
subjektif (subjectif norm) dan keyakinan kemampuan berperilaku (perceived behaviour
control) sebagai aspek yang memengaruhi niat untuk berperilaku (behaviour intention).
Penelitian ini dilakukan untuk menguji keabsahan ketiga variabel ini dalam kaitannya
dengan pengaruhnya terhadap perilaku nelayan di sepanjang pantai utara Provinsi Jawa
Barat. Kemudian ketiga variabel tersebut diformulasikan dengan 3 variabel lain
membentuk suatu hubungan saling keterkaitan. Ketiga variabel yang lain tersebut
adalah perilaku (behaviour), Karakteristik Individu, dan norma subjectif.
Berdasarkan hassil penelitian, ditemukan 5 hipotesis awal. Hipotesis 1:
“Karakteristik demografi (X1) berpengaruh positif terhadap sikap (X2), Hipotesis 2:
“Karaktersitik demografi X1) berpengaruh positif terhadap norma subjektif (X3),
Hipotesis 3: “Karaktersitik demografi (X1) berpengaruh positif terhadap keyakinan
kemampuan berperilaku (X4)”, Hipotesis 4: “Sikap (X2), norma subjektif (X3) dan
keyakinan kemampuan berperilaku (X4) berpengaruh positif terhadap niat untuk
berperilaku (Y1)” dan Hipotesis 5: “Niat untuk berperilaku (Y1) berpengaruh positif
terhadap perilaku (Y2)”.
Hasil olahan kelima hipotesis tersebut menghasilkan simpulan bahwa
kecenderungan nelayan di pantai utara Provinsi Jawa Barat untuk berperilaku secara
spontan (tanpa disertai dengan niat untuk berperilaku) lebih besar dibandingkan dengan
perilaku yang diawali oleh niat untuk berperilaku. Hal ini dimungkinkan karena mereka
yang memiliki niat berperilaku memiliki informasi yang lebih komperehensif tentang
kegiatan penangkapan ikan. Adanya faktor niat untuk berperilaku (meski nilai
koefisiendeterminannya lebih kecil dibandingkan dengan perilaku yang tidak disertai
oleh niat), sejalan dengan perpektif TPB dan perspektif teori communication and human
behavior.Menurut perspektif teori ini, perilaku merupakan suatu tindakan manusia yang
21
diawali oleh adanya proses input berupa informasi yang masuk dari tiap individu
(Ruben, 1992).
Hasil penelitian menunjukan, Pengaruh variabel sikap, norma subjektif dan
keyakinan kemampuan berperilaku terhadap variabel niat untuk berperilaku (R2 =
0,40), mengindikasikan adanya pengaruh variabel lain sebesar 60 persen diluar variabel
sikap, norma subyektif dan keyakinan kemampuan berperilaku yang memengaruhi
variabel niat untuk berperilaku. Hal ini membuktikan bahwa niat untuk berperilaku
nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan tidak sepenuhnya sejalan dengan
perilaku yang dikerjakannya.
Penjelasan mengenai kenapa variabel lain yang lebih sedikit presentasenya
justru memengaruhi lebih banyak perilaku nelayan menangkap ikan dapat dijelaskan
dengan teori strukturasi. Teori Strukturasi menjelaskan perbedaan antara agen (aktor)
(dalam tingkat mikro) dan struktur (dalam tingkat makro; Ritzer, 2004). Agen merujuk
kepada kapasitas seseorang untuk bertindak secara independen dan membuat pilihan
mereka sendiri. Pada sisi yang lain, struktur secara luas merujuk pada penataan terpola
berulang yang nampaknya memengaruhi atau membatasi pilihan dan kesempatan yang
dimiliki seseorang.
Pada kasus nelayan artisanal di pantai utara Provinsi Jawa Barat, agen (actor)
adalah para nelayan artisanal tersebut dengan perbedaan latarbelakang karakteristik
demograsi yang berbeda. Semua tindakan sosial melibatkan struktur, dan semua struktur
melibatkan tindakan sosial. Pada kasus nelayan artisanal di pantai utara Provinsi Jawa
Barat seperti penelitian ini, struktur yang dimaksud adalah lingkungan yang
memberikan konteks bagi aktor para nelayan dalam berperilaku.
Urgensi dari penelitian ini adalah mengamati adanya perilaku yang diawali
dengan niat dan yang tidak diawali dengan niat, dimana niat tersebut dibangun oleh
berbagai variabel. Hubungan urgensi penelitian ini dengan aktivitas penangkapan dan
pemanfaatan sumber daya laut adalah ada pada ko-manajemen. Laut dan isinya
merupakan sumber daya bersama. Artinya semua orang bisa mengeksploitasi dan
meninggalkan laut tanpa tanggung jawab pengelolaan. Dari sini timbulah tragedy of the
common.
Dilihat dari rezim kepemilikannya, terjadi tumpang tindih dalam
penguasaannya, yaitu common property right, state property right dan private property
right. Common property right di perairan pantai utara Provinsi Jawa Barat ditunjukkan
dengan penggunaan alat tangkap trawl dan sejenisnya yang merusak lingkungan demi
mendapatkan hasil tangkapan maksimal meski hal ini dilarang. State property right
ditunjukkan dengan penguasaan wilayah laut oleh Negara dengan pemanfaatan
dilakukan oleh masyarakat sebagai
stakeholders (termasuk nelayan) demi
kepentingannya masing-masing.
Private property right ditunjukkan dengan penguasaan sebagian wilayah laut
oleh pihak swasta yang tidak memungkinkan stakeholderslain memasuki wilayah
perairan tersebut. Situasi ini diantaranya ditunjukkan dengan kasus pengkaplingan laut
dan adanya fasilitas anjungan milik perusahaan migas offshoreyang tidak boleh
dimasuki oleh nelayan dalam radius 500 meter sekitarnya. Adanya perbedaan regim
22
property ini, menimbulkan konflik antar stakeholder. Pada beberapa lokasi, kasus
konflik sejenis sudah terjadi di perairan pantai utara Provinsi Jawa Barat.
Karena potensi konflik yang tinggi inilah penting untuk meneliti bagaimana
perilaku nelayan dalam pemanfaatan sumber daya laut di kawasan ini. Proses komanajemen merupakan proses yang melibatkan banyak pemangku kepentingan, salah
satunya adalah nelayan itu sendiri. Sebagai suatu kegiatan yang kompleks, komanajemen perikanan di pantai utara Provinsi Jawa Barat harus pula melakukan
identifikasi dan pemetaan terhadap peran-peran yang dilakukan oleh stakeholder lain.
Prioritas nilai-nilai lokal dibutuhkan sebagai acuan pembangunan dan
pengelolaan sumber daya pesisir yang menyeimbangkan antara dampak dari globalisasi
dengan menyediakan kearifan lokal sebagai identitas sosial dan modal sosial guna
membantu nelayan tetap bertahan hidup dalam kesatuan antara lingkungan di tengah
ekonomi global.
Analisis:
Pengelolaan SDA
Laut
Perilaku Nelayan
(TPB)
Ko-manajemen
Sikap (Attitude)
Norma Subjektif
(Subjective Norm)
Kemampuan Berperilaku
(Perceived Behaviour
Control)
Gambar 6 Bagan Analisis Faktor-Faktor Perilaku Nelayan terhadap Pengelolaan SDA Laut
Dalam upaya pengelolaan laut, sangat penting untuk mengidentifikasi setiap
stakeholder yang terlibat didalamnya. Apalagi laut merupakan sumber daya bersama,
yang artinya semua pihak punya hak memanfaatkan tapi tidak semua pihak diikat oleh
tanggung jawab untuk menjaga kelestarian sumber daya tersebut. Alhasil, jika tidak
terkelola dengan baik, konflik dapat pecah.
Oleh karena itu penting untuk menelaah perilaku nelayan. Sebagai salah satu
stakeholder, nelayan memiliki peran penting sekaligus strategis dalam keberlanjutan
sumber daya laut itu sendiri. Dengan mengetahui perilaku nelayan, nantinya dapat
dirumuskan konsep ko-manajemen terbaik untuk mengelola sumber daya tersebut.
23
8.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume/No:hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: Dampak Aktivitas Ekowisata di Pulau
Karimunjawa Berdasarkan Persepsi
Masyarakat
: 2014
: Berkala (Jurnal)
: Elektronik
: Akhsanul Ni’am Laksono, Mussadun
: Jurnal Teknik PWK
: 3/3: 262-273
: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/pwk
: 6 Desember 2014 pukul 14.02 WIB
Konservasi sumber daya dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa model, salah
satunya Ekowisata. Ekowisata merupakan perpaduan antara konservasi dan pariwisata.
Menurut Marpaung dan Herman (2002), aktifitas pariwisata bertujuan untuk: (1)
Memperluas kesempatan kerja danlapangan usaha serta penerimaan devisa Negara,
(2) Memperkanalkan budaya bangsa,memelihara kepribadian, kebudayaan nasional
serta memupuk rasa cinta tanah air, dan (3) Mendorong pembangunan daerah
dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Salah satu lokasi yang paling baik untuk menerapkan ekowisata adalah Taman
Nasional. Hal ini karena Taman nasional menerapkan konservasi sekaligus wisata yang
berkelanjutan. Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) merupakan salah satu taman
nasional yang berada di kawasan pesisir. Namun demikian, meskipun menerapkan
ekowisata, bukan berarti tanpa gangguan. Penelitian Purwanti, dkk (2001) menunjukan
tingginya kerentanan akibat adanya gangguan, baik yang dari alam sendiri dan manusia.
Ekowisata, menurut Yulianda (2007) tidak hanya berorientasi pada
keberlanjutan, tapi juga mempertahankan nilai sumber daya alam dan manusia. Lebih
lanjut, META (2002) menambahkan ekowisata merupakan wisata yang berorientasi
lingkungan untuk menjembatani
kepentingan
perlindungan sumber daya
alam/lingkungan dani industri kepariwisataan. Berdasarkan konsep pemanfaatannya,
ekowisata dapat dibedakan kedalam tiga tipe (Fandelli, 2000; META, 2002 dalam
Yulianda, 2007): (1) Wisata Alam, (2) Wisata Budaya, dan (3) Ekowsiata. Perbedaan
ekowisata dengan tipe wisata lainnya adalah pemanfaatannya yang berorientasi pada
lingkungan.
Atraksi wisata yang ditawarkan oleh TNKJ didominasi oleh obyek-obyek
berbasis pesisir dan laut. Obyek atraksi wisata yang ditawarkan adalah terumbu karang,
padang lamun, mangrove, dan makam sunan muria. Aktifitas wisata yang ditawarkan
dari obyek tersebut adalah Snorkeling, Diving, Tracking Mangrove, dan Wisata religi.
Kegiatan ekowisata di TNKJ ini telah banyak memberi pengaruh bagi
masyarakat, baik dari sisi positif maupun negatif. Dampak positif yang dibawa oleh
adanya Ekowisata di TNKJ adalah: (1) Diversifikasi Jenis Pekerjaan, (2) Peningkatan
pendapatan Masyarakat, (3) Bertambahnya lapangan pekerjaan, dan (4) Peningkatan
penjualan barang-barang lokal. Sedangkan dampak negatifnya meliputi, antara lain: (1)
Kerusakan Lingkungan, (2) Menurunnya nilai-nilai budaya lokal, dan (3) Monopoli
penyediaan jasa oleh pihak-pihak tertentu.
24
Semakin banyaknya wisatawan yang datang ke Karimunjawa membuka
kesempatan lapangan kerja baru dan juga alternatif pekerjaan lain selain nelayan. Ketika
musim sedang tidak baik di bulan Maret-Juni, nelayan biasanya tidak melaut. Kalaupun
melaut, hasil yang ditangkap tidak begitu besar. Sebagian besar dari mereka beralih
kerja menjadi pemandu wisata. Selain sebagai pemandu wisata, industri-industri kecil
juga tumbuh subur karena adanya wisata. Industri kecil seperti kerajinan, makanan, toko
kelontong, dan juga pemmbuatan suvenir sebagai oleh-oleh.
Meningkatnya kegiatan pariwisata merangsang peningkatan pendapatan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak dari masyarakat
yang menyediakan penyewaan jasa wisata seperti homestay, alat snorkeling, dan
peralatan lainnya. Jumlah penginapan meningkat dari 25 homestay pada tahun 2007
menjadi 34 homestay di tahun 2012.
Selain dampak positif, ekowisata di TNKJ juga membawa dampak negati.
Dampak negatif yang pertama adalah kerusakan lingkungan. Aktivitas penyelaman
telah banyak merusak terumbu karang. Pembangunan disekitar pantai, seperti reklamasi
juga merusak komunitas lamun dan juga mangrove. Dampak negatif di sisi ekonomi
adalah munculnya kalangan tertentu yang memonopoli penyediaan jasa wisata.
Peningkatan pendapatan kurang merata. Dan yang terakhir, dampak negatif pada sisi
budaya adalah memudarnya budaya lokal akibat banyaknya pendatang/wisatawan yang
masuk wilayah TNKJ.
Analisis:
Dampak Negatif:
(1) Kerusakan
Lingkungan,
(2) Menurunnya nilai-nilai
budaya lokal, dan (3)
Monopoli penyediaan jasa
oleh pihak-pihak tertentu.
EKOWISATA
Dampak Positif:
(1) Diversifikasi Jenis Pekerjaan,
(2) Peningkatan pendapatan
Masyarakat,
(3) Bertambahnya lapangan
pekerjaan, dan
(4) Peningkatan penjualan
barang-barang lokal
Gambar 7 Bagan Analisis Dampak Kegiatan Ekowisata
Ekowisata adalah pariwisata yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan,
tidak hanya memanfaatkan, tapi juga mempertahankan nilai sumber daya alam dan
manusia. Ekowisata memberi dampak tidak hanya positif, tapi juga negatif bagi
masyarakat sekitar, utamanya nelayan. Penetapan taman nasional Karimunjawa sebagai
kawasan ekowisata telah memberi dampak positif, terutama di perekonomian.
Patut diperhitungkan sisi lain dari penetapan dan pengelolaan kawasan
ekowisata, yaitu tata guna area pesisir dan laut. Laut merupakan sumber daya bersama
(common property) yang bersifat open access sehingga potensi konflik dapat pecah
kapan saja. Pengelolaan dan pengaturan zonasi wilayah perlu kelembagaan yang sangat
kuat.
25
9.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume:hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: Struktur dan Pola Hubungan Sosial Ekonomi
Juragan dengan Buruh di Kalangan Nelayan
Pantai Utara Jawa Barat
: 2008
: Berkala (Jurnal)
: Elektronik
: Muhiddin Tafalas
: Jurnal Kependudukan Padjadjaran
: 10(1):50-63
: http://jurnal.unpad.ac.id/kependudukan/artic
le/view/doc5
: 23 Desember 2014 pukul 14.40 WIB
Pengelolaan perikanan dapat dibedakan menjadi pemanfaatan dan perlindungan.
Contoh usaha pemanfaatan adalah perikanan tangkap. Pemanfaatan sumber daya
perikanan menjadi salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat pesisir. Berdasarkan
kegiatan usahanya, pemanfaatan perikanan dapat digolongkan kedalam dua hal, yaitu
budidaya perikanan darat dan perikanan laut tangkap. Di kalangan masyarakat pesisir
sendiri, terkenal istilah tidak ada orang kaya tanpa orang miskin. Harta orang-orang
kaya banyak disumbang dari keberhasilan orang miskin.
Hubungan kedua golongan tersebut biasanya berkaitan dengan sumber daya.
Hubungan atau jaringan kerja di antara golongan penduduk baik menurut usia atau
jenis kelamin dan juga di antara berbagai lapisan masyarakat yang terlibat di
bidang usaha perikanan bisa diibaratkan sebagai suatu jaring laba-laba yang saling
berkaitan. Jaring yang terkonsentrasi memiliki satu fokus atau tujuan, yakni menjual
tangkapan ikan ke pasaran atau konsumen, baik di pasar atau daerah lain (Mubyarto,
1984).
Wilayah Pantai Utara Jawa Barat atau lebih dikenal sebagai Pantura,
merupakan salah satu sentra produksi perikanan laut. Penduduk yang berumur 15
tahun ke atas yang bekerja pada sektor Perikanan di Kabupaten Subang 5.760
orang, Peternakan 4.010, Pertanian tanaman pangan 285.090 orang, Perkebunan
10.361 orang dan pertanian lainnya 2.801 orang (Sensus penduduk, 2000). Di
Kabupaten Subang terdapat beberapa daerah nelayan di Pantai Pondokbali Kecamatan
Legonkulon, dan Kelapa. Dengan adanya daerah nelayan, diharapkan potensi alam
khususnya potensi laut yang terdapat di Kabupaten Subang dapat meningkatkan
kesejahteraan para nelayan.
Berdasarkan kedudukannya, nelayan yang terdapat di wilayah tersebut
terbagi menjadi dua yaitu nelayan yang mempunyai alat-alat produksi untuk
menangkap ikan seperti perahu, yang biasanya disebut sebagai “juragan”, dan
nelayan buruh yaitu nelayan yang hanya memiliki sumber daya jasa tenaga dan
dimanfaatkan untuk bekerja sebagai buruh pada pemilik perahu (juragan). Nelayan
buruh menggantungkan hidup mereka pada sumber permodalan juragan. Sedangkan
juragan juga bergantung pada nelayan buruh untuk menjalankan usahanya hingga
menghasilkan keuntungan.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditemukan berbagai kelompok juragan,
yaitu:
1. Juragan Pengusaha
26
Juragan yang mempunyai perahu banyak (lebih dari 5 unit perahu) dan dalam
pengelolaannya seperti layaknya seorang pengusaha.
2. Juragan Kuli
Juragan yang mempunyai perahu tetapi pada saat melaut, yang menjadi
nahkodanya adalah pemilik perahu (juragan) itu sendiri.
3. Juragan sebagai Mata Pencaharian Pokok
Juragan yang memperoleh pendapatan keluarganya hanya dari kedudukannya
sebagai juragan.
4. Juragan sebagai Sambilanpekerjaan sampingan juragan tersebut dalam
menambah pendapatan keluarganya. Pada umumnya yang menjadi juragan
ini adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Selain struktur juragan, ditemukan juga struktur pekerja pada nelayan berdasarkan
pekerjaannya:
1. Nahkoda
Bertanggung jawab atas jalannya operasi penangkapan ikan, memegang
kepemimpinan atas anak buah kapal yang dibawa, biasanya merupakan
tangan kanan juragan.
2. Motoris
Orang yang bertanggung jawab atas mesin dari perahu tersebut.
3. Orang Tengah
Orang yang bekerja menarik jaring bergantian.
4. Koki atau Dapur
Orang yang bekerja menyiapkan makanan.
Kedudukan sebagai juragan yang telah dimiliki oleh petani nelayan adalah
kedudukan yang dicapai dengan usaha-usaha yang disengaja, yaitu melalui usaha
yang gigih atau ulet, akan tetapi kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja
bergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuantujuannya. Pada masyarakat nelayan kedudukan seorang juragan, terutama juragan
pengusaha mempunyai kedudukan yang paling tinggi baik pada saat membawahi
anak buah kapal yang baru tiba dari melaut maupun dalam struktur sosial pada
masyarakat nelayan pada umumnya.
Sesungguhnya dari lapisan sosial tersebut juragan sangat membutuhkan
nelayan buruh sebagai operator di lapangan agar alat produksi yang dimiliki
juragan dapat bekerja sehingga memberikan hasil. Nelayan buruh membutuhkan
juragan karena merekalah yang memiliki akses ke faktor-faktor produksi.
Sesungguhnya pola patron-klien yang biasanya terdapat pada struktur sosial
masyarakat petani dan nelayan ternyata telah bergeser menjadi hubungan kerjasama
majikan-buruh atas dasar upah.
Pendapatan nelayan, terutama nelayan buruh, dilihat dari konsumsinya hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Dibeberapa rumah tangga bahkan
ditemukan semua pendapatan digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan penelitian,
ditemukan bahwa belum ada anggaran dari pendapatan yang dialokasikan untuk
tabungan atau investasi. Meskipun demikian, dari penelitian yang dilakukan, ditemukan
bahwa nelayan yang belum berkeluarga memiliki pengeluaran lebih banyak daripada
nelayan yang sudah berumah tangga. Hal ini dipengaruhi oleh pengeluaran untuk
hiburan seperti pesta rakyat dan peringatan 17 Agustus.
27
10.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume:hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: Pengetahuan Ekologi Tradisional Masyarakat
Orang asli Jakun dalam Menilai Ekosistem
Servis di Tasik Chini, Malaysia.
: 2011
: Berkala (Jurnal)
: Elektronik
: Cahyo Seftyono
: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
: 15/1: 55-67
: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.ph
p/jsp/article/view/16
: 10 Desember 2014 pukul 10.15 WIB
Hubungan antara manusia dengan alam tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling
membutuhkan. Dalam kajian radical ecology oleh merchant, bahkan “batu pun
memiliki haknya” (Merchant, 2005). Kesatuan alam dan isinya disebut ekosistem.
Ekossitem menyediakan keberagaman yang sngat kompleks. Salah satu ekosistem yang
dapat dikaji adalah ekosistem tentang tasik (istilah malaysia untuk danau). Salah satu
tasik penting yang ada di Malaysia dan menjadi sumber air bagi masyarakat lokal
adalah Tasik Chini.
Tasik Chini adalah tasik alam terbesar kedua di Semenanjung Malaysia. Tasik
ini memiliki peranan penting dalam suplai air sekaligus menyimpan potensi perikanan
yang penting bagi masyarakat lokal (Shuhaimi Othman, 2007; Muhammad-Barzani et.
al.,2007). Selain pensuplai air, Tasik Chini juga dijadikan destinasi pariwisata dimana
pengunjungnya berasal dari dalam maupun luar negeri (Idris et. al., 2005; Kuttyet. al.,
2009). Bagi orang asli disini, keberadaan Tasik Chini sangat penting.
Orang asli didefinisikan sebagai kelompok minoritas yang terdiri dari tiga
kelompok pembagian, yaitu Negrito, Senoi dan Proto-Melayu (Department of
OrangAsli Affairs, tanpa tahun; Gomes, 2004; T oshihiro, 2008). Di T asik Chini
sendiri, terdapat Orang Asli Jakun yang memiliki empat buah Kampung yang
mengelilingi tasik. Secara garis besar, kampung yang memiliki penduduk cukup banyak
(kurang lebih 400 warga) adalah Kampung Gumum, yang mana terdapat ketua adat
bernama Batin Awang.
Dei (1993) mengungkapkan, pengetahuan orang asli adalah tradisi kultural,
nilai-nilai (yang dimiliki Orang Asli), kepercayaan-kepercayaan mereka, dan pandangan
masyarakat lokal yang dipilih melalui referensi pengetahuan yang diambil dari Barat.
Lebih lanjut, Dei menjelaskan bahwa pengetahuan lokal juga bisa muncul dari
pengalaman masyarakat yang beronteraksi dengan alam secara turun-temurun. Artinya,
pengetahuan tradisional bersifat menyeluruh dan bentuknya inklusif. Hiebert dan Van
Rees (1998) menjelaskan Pengetahuan tradisional sebagai sesuatu yang dipelajari dan
diaktualisasi secara terus menerus dalam menghubungkan manusia dengan tumbuhtumbuhan, tanah, dan air. Merujuk hal ini, relasi antara manusia dan alam (ekosistem)
tidak dapat terpisahkan.
Pembahasan pengetahuan ekologi tradisional membedah kaitan manusia dengan
bio-diversity dengan merujuk pada kajian kultural, ekonomi, politik dan hubungan
spiritual dengan tanah. Selain itu pengetahuan ekologi tradisional juga dibangun dari
grup-grup yang ada di masyarakat dari waktu ke waktu yang hidup berhampiran dengan
lingkungan sebagai bagian dari sistem yang terklasifikasi dan hasil pengamatan empiris
terkait dengan ekosistem lokal yang memengaruhi penggunaan sumber daya (BeverlyQamaniruaq Caribou Management Board, 1996). Dengan kata lain, relasi antara
28
manusia dengan alam ini kemudian memberi dampak bagaimana mereka memiliki
konstruksi atas nilai dari sebuah ekosistem, yang dibangun secara turun temurun
tersebut.
Terkait dengan nilai dari ekosistem servis, maka dapat dilihat dalam pandangan
Robert De Groot (De Groot et.al, 2002) sebagai penilaian yang plural. Penilaian yang
plural disini berarti penilaian terhadap ekosistem servis tidak saja berkutat dengan apa
yang bernilai ekonomis saja. Konsep nilai disini melampaui kajian ekologi, sosial,
politik, kultural serta kajian ekonomi itu sendiri. Kajian-kajian yang dilakukan secara
parsial ini dapat dikategorisasi merujuk pada pemikirpemikirnya sebagai berikut: Robert
Costanza (Costanza et. al., 1998) dan Stephen Farber (Farber et. al., 2002) dalam kajian
ekonomi dan ekologi. Bryan G. Norton (2007) yang mengkaji dari perspektif sosial
budaya dari nilai ekosistem servis. Kemudian, untuk kajian ekologi dan ekonomi
lainnya, yang menekankan terhadap kajian ekologi adalah Gretchen C. Daily (Daily et.
al., 2003).
Nilai ekonomis dari sebuah ekossitem servis merujuk pada sesuatu yang
digunakan sebagai komoditas maupun kontribusi kepada individu yang memunculkan
keuntungan, bisa juga berwujud marginal cost. Nilai ekologi dari sebuah ekosistem
(servis) sendiri merujuk kepada hal-hal yang menyangkut dengan keberadaan ekosistem
itu sendiri dalam kaitannya dengan proses ekologi dan pemanfaatan secara langsung
oleh manusia. Selain dari segi ekonomi dan ekologi, konsep nilai dari ekosistem servis
yang lain adalah konsep nilai sosial dan kultural (serta politik didalamnya).
Tasik Chini merupakan suatu sumber daya yang dimanfaatkan secara luas.
Untuk mendukung pemanfaatan ini, dibentuk suatu organisasi kemasyarakatan bernama
JKKK Kampung. Organisasi masyarakat ini kurang kuat sehingga bekerjasama dengan
NGO SUSDEN. Hasil kerjasama ini adalah terbentuknya PPTC. Tujuan utama
terbentuknya organisasi ini adalah menyelamatkan Tasik Chini.
Selain muatan politis, Tasik Chini juga mengikat warga orang asli dan orang lain
dalam nilai sosial. Hal ini ditunjukan dengan adanya interaksi yang baik antara warga
kampung Belimbing (orang asli) dan warga kampung lain. Sebagai sumber daya
terbuka, tasik Chini menarik orang-orang untuk datang ikut mengusahakan tanah.
Namun demikian, hubungan baik yang terbangun mulai merenggang setelah
pembangunan jalan. Fenomena sosial ini mengantar pada segregasi di masyarakat, yang
semestinya tidak muncul hanya karena adanya kebijakan pemerintah terkait dengan
pembangunan. Karena keduanya masingmasing memiliki identitas politik dan budaya
yang harus tetap eksis dan terhubung satu dengan lainnya, terlebih keduanya mampu
menjadi pintu masuk ke Tasik Chini. Identitas ini perlu sebagai manifestasi nilai-nilai
yang diyakini (Preston, 1997).
Analisis:
Pengetahuan Ekologi
Tradisional.
Nilai Ekologis
Manajemen Ekosistem
Nilai ekonomis
Nilai SosialKultural
Gambar 8 Bagan Analisis Pengetahuan Ekologi Tradisional terhadap Manajemen Ekosistem
29
Tasik Chini merupakan sebuah sumber daya terbuka yang pengelolaannya
didasarkan oada pengetahuan ekologi tradisional masyarakat sekitarnya. Pengetahuan
lokal tersebut dibangun oleh nilai-nilai ekologis, sosial-kultural, dan juga ekonomis.
Pengelolaan tidak hanya terbatas pada pemanfaatan tapi juga pemeliharaan. Pandangan
dan perspektif masyarakat setempat memiliki peranan penting terhadap karakteristik
pengelolaan itu sendiri.
ANALISIS DAN SINTESIS
Sistem Hak Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pengembangan Ekowisata
Definisi Ekowisata
Ekowisata merupakan turunan dari pariwisata. Pariwisata sendiri diartikan
sebagai perpindahan atau perjalanan secara temporer dari tempat mereka biasanya
bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan
atau di tempat tujuan (Machieson dan Wall, 1982). Perbedaan antara pariwisata (mass
tourism) dengan ekowisata (ecotourism) terletak pada batasan yang diterapkan kepada
pengunjung. Ekowisata merupakan jenis wisata yang memperhatikan keberlanjutan
lingkungan itu sendiri.
Ekowisata merupakan wisata yang berbasis pada alam. Artinya, pelaksanaan
atau penerapan ekowisatanya identik dan berhubungan dengan lingkungan. Munculnya
konsep ekowisata dilatarbelakangi oleh percepatan degradasi lingkungan yang
berlangsung sangat cepat. Dalam kegiatan wisata, terjadi pengurangan nilai sumber
daya, baik secara ekonomis maupun ekologis. Biasanya, kawasan ekowisata berada
dalam kawasan konservasi.
Istilah ekowisata pertama kali dikenalkan oleh The Ecotourism Society pada
tahun 1990. Setelah itu, beragam definisi mengenai ekowisata telah diungkapkan oleh
para ahli. Cukier dan Wall (1995) mengutip Ceballos dan Lascurian (1991) menyatakan
bahwa ekowisata merupakan pariwisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan alam
yang secara relatif belum terganggu dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti dan
menikmati pemandangan yang indah, tumbuh-tumbuhan serta binatang liar maupun
kebudayaan yang dapat ditemukan di sana. Beragam definisi lain mengenai ekowisata
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Definisi Ekowisata
Sumber
Yulianda (2007)
Definisi Ekowisata
Bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan Konservasi. Ekowisata
tidak melakukan eksploitasi sumber daya alam, tetapi hanya menggunakan
jasa alam dan budaya masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan fisik, pengetahuan, dan psikologis pengunjung.
World Tourism
Organization (2003)
dalam Nugroho,
Yusuf, dan Suryono
(2013)
Kegiatan pengelolaan dan pembangunan dalam upaya mencegah atau
mengurangi dampak kerusakan pada biodiversitas.
Lindberg (1991)
dalam Karsudi,
Soekmadi, dan
Kartodiharjo (2010)
Perjalanan yang bertanggung jawab ke wilayah alami yang bertujuan untuk
melestarikan lingkungan sehingga menekan dampak terhadap lingkungan dan
sosial budaya, membangkitkan pendanaan bagi kawasan-kawasan yang
dilindungi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Setyadi, dkk (2012)
Green Industry yang mampu menciptakan pariwisata berkualitas, dapat
mempertahankan kualitas objek dan daya tarik alam seperti hutan, sungai,
danau, dan pantai, juga dapat menggerakan perekonomian daerah.
Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan oleh beragam ahli tersebut, dapat
disimpulkan apa itu ekowisata. Pertama, ekowisata merupakan jenis wisata baru yang
menjadikan alam sebagai daya tarik (attractiveness) utamanya. Perjalanan yang
31
dilakukan ke alam ini mewajibkan pengunjung untuk memiliki tanggung jawab dalam
kelestarian alam itu sendiri. Kedua, ekowisata menitikberatkan wisata yang memiliki
prinsip keberlanjutan. Artinya, permintaan wisata tidak boleh melebihi daya tampung
obyek itu sendiri (carrying capacity). Jika jumlah pengunjung tidak dibatasi hingga
melebihi daya dukung, degradasi lingkungan akan semakin cepat terjadi hingga
akhirnya mengalami kerusakan.
Ketiga, ekowisata merupakan wisata yang memiliki orientasi pada peningkatan
perekonomian. Ekowisata tidak hanya berfokus pada keberlanjutan lingkungan, tapi
juga bagaimana lingkungan memberikan jasa yang dapat mendatangkan keuntungan,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini, ekowisata menjadi
industri baru dalam meningkatkan jumlah pendapatan. Keempat, ekowisata merupakan
jenis wisata yang memasukan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuanya. Artinya,
ekowisata tidak ikut menjaga keberlanjutan tidak hanya alam, tapi juga eksistensi
manusia di sekitar wilayahnya. Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa ekowisata
merupakan jenis ekowisata baru yang berbasis pada alam, mengutamakan prinsip
keberlanjutan, meningkatkan perekonomian daerah kesejahteraan masyarakat sekitar
kawasan.
Peraturan tentang Ekowisata
Melalui definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekowisata memiliki prinsipprinsip dasar yang harus dipatuhi. Prinsip ini dapat berupa peraturan-peraturan, maupun
indikator kelayakan ekowisata. Penetapan kawasan ekowisata biasanya muncul setelah
adanya kawasan konservasi. Sesuai dengan Permendagri No. 33 Tahun 2009 (Pasal 4)
tentang pedoman pengembangan ekowisata daerah, pemerintah daerah dalam
mengembangkan ekowisata harus melalui tahap perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian. Perencanaan tersebut harus tertuang dalam RPJPD, RPJMD, dan RKPD.
Tidak hanya dalam aspek penetapan, penggunaan sumber daya juga menjadi
acuan. Sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990 pasal 29 (ayat 1), kawasan pelestarian
terdiri dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Artinya, konsep
wisata merupakan turunan dari kawasan pelestarian alam. Mengacu pada perundangan
ini, kegiatan ekowisata tidak bisa diselenggarakan tanpa memperhatikan keberlanjutan
dan kelestarian alam. Prinsip pelestarian alam akan selalu mengacu pada zonasi wilayah
konservasi. Biasanya, ekowisata berada pada kawasan zona penyangga, dimana
pemanfaatannya bersifat terbatas.
Keberhasilan suatu penyelenggaraan ekowisata dapat dilihat dari kelestarian
alam dan peningkatan perekonomian daerah, secara khusus peningkatan kesejahteraan
masyarakat lokal sekitar kawasan. Mengacu pada UUD 1945 pasal 33, kekayaan alam
dan isinya harus dipergunakan secara maksimal untuk kesejahteraan orang banyak.
Ekowisata menjadi industri yang meningkatkan kesejahteraan rakyat. Aspek–aspek
prinsip ekowisata dapat dilihat pada Tabel 2.
32
Tabel 2 Peraturan tentang ekowisata
Sumber
Permendagri No. 33
Tahun 2009
Penjelasan
Pembahasan mengenai pedoman pengembangan ekowisata di daerah.
Pengaturan pengembangan mulai tahap perencanaan, pemanfaatan, sampai
pengendalian. Pengembangan ekowisata mewajibkan pemberdayaan
masyarakat setempat
UU No. 5 Tahun 1990
Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam tidak boleh mengurangi fungsi
pokok kawasan sebagai penyangga.
UU No. 10 Tahun
2009
Pelaksanaan pembangunan pariwisata memperhatikan keanekaragaman,
keunikan, kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk
berwisata.
UU No. 24 Tahun
1994
Penetapan pengembangan ekowisata di daerah harus mengikuti rencana tata
ruang daerah.
PP No. 18 Tahun 1994
Pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan sesuai dengan asas konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
PP No. 67 Tahun 1996
Penyelenggaraan pariwisata bertujuan untuk memperluas dan memeratakan
kesempatan berusaha dan lapangan kerja.
Merujuk pada Tabel 2, pengembangan ekowisata hendaknya berpedoman pada
hal-hal sebagai berikut (Yoeti, 2000):
1. Masyarakat setempat dihimbau untuk memelihara adat dan kebiasaan seharihari tanpa pengaruh dari wisatawwan yang datang,
2. Pembangunan dan aktivitas proyek harus melibatkan penduduk lokal
semaksimal mungkin, dan
3. Penggunaan fasilitas dan teknologi modern diminimalkan
Di ekosistem pesisir, hutan mangrove menjadi komiditi andalan. Luas hutan
mangrove Indonesia mencapai 2.496.185 ha. Bahkan, keberagaman jenisnya tertinggi di
dunia, mencapai 89 jenis (Nugroho dan Dahuri, 2004). Di ekosistem laut, selain
keberagaman terumbu karang yang sangat tinggi, produk perikanan laut Indonesia juga
sangat menjanjikan.
Menurut Aziz et al. (1998) dalam Nugroho dan Purwanto (2004), potensi lestari
ikan laut Indonesia mencapai 6,2 juta ton yang terdiri dari ikan pelagis besar (975,05
ribu ton), ikan pelagis kecil (3.236 juta ton), ikan demersal (1.786 juta ton), ikan karang
konsumsi (64 ribu ton), udang peneid (74 ribu ton), lobster (4,8 ribu ton), dan cumicumi (28,25 ribu ton). Dengan potensi sebesar ini, wajar agenda pengelolaan sumber
daya menjadi daya tarik bagi pengguna.
Sistem Hak Kepemilikan Sumber Daya
Sumber daya alam laut merupakan salah satu contoh sumber daya terbuka,
artinya semua orang dapat memanfaatkannya secara bersama. Sumber daya bersama
merupakan sistem sumber daya baik alami maupun buatan yang memiliki potensi besar
dimana butuh harga mahal untuk menggunakan manfaat tersebut (Ostrom, 1990 dalam
Satria et al., 2005). Sumber daya ini menurut tipenya, dibagi ke dalam 4 tipe (Buck,
1998 dalam Satria et al., 2005); (a) Private goods, (b) Tool Goods, (c) Common Pool
Resources, dan (d) Public goods.
Hak atas sumber daya Perikanan dan Kelautan dibagi ke dalam 4 tipe (Berkes,
1989); (1) Open acces, (2) State Property, (3) Private Property, dan (4) Communal
33
Property. Menurut Ostrom dan Schlanger (1990), terdapat 5 tipe hak kepemilikan
sumber daya alam, yaitu: Hak Akses, Hak Pemanfaatan, Hak Pengelolaan, Hak Ekslusi,
dan Hak Pengalihan. Masing-masing hak tersebut akan menentukan status kepemilikan
terhadap sumber daya.
Tabel 3 Status Kepemilikan Sumber daya alam
Tipe Hak
Owner
Propieter
Claiment
Authorized
User
X
X
X
X
X
Akses
X
X
X
Pemanfaatan
X
X
X
Pengelolaan
X
X
Eksklusi
X
Pengalihan
Sumber: (Ostrom dan Schalnger, 1996 dalam Satria, 2009)
Authorized
Entrand
X
Kepemilikan hak dari akses sampai pengalihan dimiliki oleh pemilik. Dalam
kasus sumber daya alam, kepemilikan belum jelas. Beberapa bagian diakui sebagai
milik negara. Beberapa bagian lain diklaim sebagai milik swasta. Pemilik berhak
melarang pihak lain mengakses wilayah sumber daya tersebut. Hal ini biasanya menjadi
sumber konflik dengan masyarakat setempat. Masyarakat setempat, yang secara adat
dan budaya lokal sudah menempati daerah secara turun-temurun merasa tersingkirkan
setelah adanya klaim dari pihak pemilik.
Dalam UU No. 1 Tahun 2014 memperbarui UU No. 27 Tahun 2007 tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pasal 60, masyarakat memiliki hak
untuk:
a. Memperoleh akses terhadap perairan pesisir yang sudah diberi izin lokasi dan izin
pengelolaan,
b. Mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K,
c. Mengusulkan wilayah masyarakat hukum adat ke dalam RZWP-3-K, dan
d. Memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil.
Berdasarkan ketentuan ini, masyarakat menjadi bagian dalam pengelolaan wilayah
pesisir, tidak hanya merawat, tapi juga memanfaatkan.
Penelitian Tafalas (2010) di Kabupaten Raja Ampat menyebutkan bahwa
muncul konflik kepemilikan lahan terkait pembagian wilayah ekowisata. Konflik ini
terjadi antar sesama masyarakat dengan suku yang berbeda. Konflik kepemilikan lahan
ini menjadi bukti bahwa hak kepemilikan sumber daya menjadi penting. Beberapa hasil
penelitian lain mengenai sistem hak kepemilikan sumber daya dapat dilihat pada Tabel
4.
34
Tabel 4 Hasil penelitian tentang sistem hak dan kepemilikan sumber daya dalam pengelolaan wilayah
perairan.
No.
Kasus
Tipe Hak/Status
Kepemilikan
Hak pengelolaan
(management
right)/authorized
user
Deskripsi
1.
Kegitan ekowisata di
Distrik Mansaar, Raja
ampat (Tafalas, 2010)
PT Papua Diving mengontrol penglolaan,
termasuk pembangunan infrastruktur dan
pembukaan wilayah.
2.
Kegiatan budidaya
mutiara oleh perusahaan
di Desa Gondang dan
Jenggala, Lombok Barat
(Satria et al. 2005)
Hak pemanfaatan
(withdrawl right)/
authorized user
Perusahaan memiliki hak untuk memanfaatkan
melalui SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) dan
disertai dengan rekomendasi Teknik berupa
SPPAP (Surat Perjanjian Pemanfaatan Area
Perairan) dengan masa berlaku satu tahun.
3.
KKPD (pengelolaan
karang) di Raja Ampat
(Boli, 2014)
Hak Pemanfaatan
(withdrawl
right)/authorized
user
Masyarakat adat Papua (Raja Ampat)
menyerahkan tanah, darat, dan laut adat pada
pihak pengelola. KKPD mengakui kepemilikan
masyarakat adat.
Pengembangan Ekowisata Berdasarkan Hak Kepemilikan
Dalam rangka menyediakan jasa lingkungan yang baik bagi industri pariwisata,
ekowisata menjadi bagian dalam transformasi industri pariwisata. Tidak seperti industri
yang menghasilkan barang-barang modal, industri pariwisata tidak akan habis bahan
bakunya. Pariwisata kini menjadi industri jasa menjanjikan. Pertumbuhan yang
berimbang bagi aktivitas perekonomian terjadi akibat majunya pertumbuhan industri
pariwisata yang dikembangkan dengan baik (Yoeti, 2000). Industri jasa pariwisata
menjadi motor bisnis bagi industri jasa lain seperti perhotelan, agen perjalanan, dan
industri kerajinan (Yoeti, 2000).
Untuk mewujudkan industri pariwisata yang berdaya saing, strategi
pengembangan pariwisata atau secara spesifik, ekowisata sangat diperlukan. Strategi
pengembangan ekowisata ini didasarkan dari permintaan dan penawaran jasa wisata.
Strategi pengembangan ekowisata sangat beragam berdasarkan analisis sumber dan
tujuan pengembangan. Setyadi, dkk (2012) memakai framework ANP yang meliputi
lima cluster untuk mengukur kesiapan suatu kawasan ekowisata. Kelima cluster
tersebut adalah tujuan, aspek, masalah, solusi, dan strategi pengembangan. Temuan
Setyadi, dkk (2012) untuk mengembangkan ekowisata di Yepen adalah:
(1) Peningkatan kerjasama dan pemahaman terhadap ekowisata bagi stakeholder,
(2) Peningkatan komitmen dan dukungan dari pemerintah/pemerintah daerah,
(3) Penegakan hukum, aturan/tata tertib, dan sanksi yang tegas dan konsisten,
(4) Peningkatan kuantitas dan kualitas produk ekowisata melalui inovasi dan
diversifikasi serta pemeliharaan,
(5) Peningkatan pelayanan pengunjung secara profesional,
(6) Pembangunan sarana inrastruktur, sarana transportasi dan aksesbilitas,
(7) Peningkatan kesadaran masyarkat terhadap lingkungan,
(8) Peningkatan kualitas SDM, dan
(9) Penggalangan dana untuk konservasi.
Amanah dan Utami (2006) dalam penelitiannya di pantai Lovina, Bali
membuktikan bahwa adanya berbagai pihak yang melakukan aktivitas di kawasan
pesisir tanpa disertai konservasi dan pemulihan akan berdampak terhadap
menurunnya kondisi lingkungan. Hal ini membuktikan bahwa strategi pengembangan
ekowisata juga harus memperhatikan perawatannya. Penelitian Nugroho, Yusuf, dan
35
Suryono (2013) mengungkapkan bahwa untuk mendukung pengembangan ekowisata,
perlu strategi;
(1) Memanfaatkan dukungan stakeholder, pemerintah dan masyarakat dalam
mengoptimalkan Bandara Nusawiru,
(2) Memanfaatkan daya tarik wisata yang menarik dan aman sebagai aset
pengembangan agar wisatawan tidak cepat merasa bosan dan selalu nyaman,
(3) Berkerjasama dengan agen-agen perjalanan wisata (paket wisata) baik yang
terdapat di dalam negeri maupun luar negeri,
(4) Memperbaiki teknik/metode promosi,
(5) Menambah prasarana pendukung,
(6) Melakukan penyuluhan kepariwisataan, serta
Macam strategi pengembangan ekowisata dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Macam Strategi Pengembangan Ekowisata
Sumber
Karsudi,
Soekmadi,
Kartodiharjo
(2010)
Strategi pengembangan Ekowisata
Strategi pesimis (pessimistic strategy). Strategi ini muncul karena kelembagaan
ekowisata yang belum terbentuk, manajemen atraksi yang belum dirumuskan,
penataan ruang yang belum dilaksanakan, strategi promosi dan pemasaran yang
belum ada, dan keamanan di dalam dan luar kawasan yang belum kondusif.
Setyadi, dkk
(2012)
Peningkatan kerjasama dan pemahaman terhadap ekowisata bagi stakeholder;
Peningkatan komitmen dan dukungan dari pemerintah/pemerintah daerah,
Penegakan hukum, aturan/tata tertib, dan sanksi yang tegas dan konsisten;
Peningkatan kuantitas dan kualitas produk ekowisata melalui inovasi dan
diversifikasi serta pemeliharaan; Peningkatan pelayanan pengunjung secara
profesional; Pembangunan sarana inrastruktur, sarana transportasi dan
aksesbilitas; Peningkatan kesadaran masyarkat terhadap lingkungan;
Peningkatan kualitas SDM, dan Penggalangan dana untuk konservasi.
Nugroho, Yusuf,
dan Suryono
(2013
Memanfaatkan dukungan stakeholder, pemerintah dan masyarakat dalam
mengoptimalkan Bandara Nusawiru; Memanfaatkan daya tarik wisata yang
menarik dan aman sebagai aset pengembangan agar wisatawan tidak cepat
merasa bosan dan selalu nyaman; Berkerjasama dengan agen-agen perjalanan
wisata (paket wisata) baik yang terdapat di dalam negeri maupun luar negeri;
Memperbaiki teknik/metode promosi; Menambah prasarana pendukung;
Melakukan penyuluhan kepariwisataan; serta Mengoptimalkan peran
BALAWISTA dalam mengurangi resiko dampak bencana.
Nugroho (2004)
Pengembangan atraksi wisata yang belum termanfaatkan; Kerjasama multi
stakeholder; Pemulihan dan peningkatan sarana fisik; Menjalin kerjasama
pemasaran dan biro perjalanan; Penciptaan rasa aman pbagi wisatawan; Promosi
kawasan ekowisata.
Aso, Manuaba,
dan Sunatra
(2009)
Pelibatan peran stakeholder terkait, antara lain; pemerintah, swasta, dan LSM
(baik nasional maupun internasional. Perbaikan akses lokasi dari daerah ke
daerah seperti pembangunan jalur penerbangan dan pelayaran.
Sunari, dkk
(2005)
Pengembangan SDM melalui progam pendampingan SDM; Pendidikan
masyarakat, penegakan hukum lingkungan, dan peningkatan kapasitas
kelembagaan; Penonjolan kekhasan lokasi dengan dukungan LSM dan donatur
internasional; konservasi dan rehabilitasi spesifik untuk pengembangan
ekowisata; Perencanaan dan pengelolaan secara terpadu; peningkatan
permodalan; dan pembangunan sarana dan prasarana.
36
Dalam pelaksanaanya, penerapan strategi ini tidak mudah. Hal ini karena adanya
banyak faktor lain yang memengaruhi selain faktor strategi tersebut. Beberapa faktor
yang dapat menghambat pengembangan ekowisata adalah:
1. Karakteristik, persepsi, dan perilaku masyarakat setempat yang tidak dapat
dikontrol (Amanah dan Utami, 2006),
2. Kepercayaan pengelola terhadap penduduk lokal masih rendah (Bernhard,
1991),
3. Percepatan degradasi lingkungan sebagai komoditi ekowisata (Salim, 1991), dan
4. Tragedi sumber daya yang dikelola bersama (Ostrom, 1991).
Daerah konservasi baik di darat maupun Indonesia, hak kepemilikan biasanya
ada pada negara (state property). Hak kepemilikan ini kemudian diturunkan ke dalam
beragam bentuk, seperti desentralasisasi dan devolusi. Desentralisasi merupakan
penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi
dimaksudkan untuk menghadirkan negara lebih dekat dengan daerah.
Konsep Penguasaan dan Hak Kepemilikan Berbasis Masyarakat (Communitybased property rights/CBPRs) muncul dan diinisiasi oleh Center of International
Environmental Law (CIEL) pada tahun 2000. Konsep ini diterbitkan sebagai bentuk
dukungan terhadap masyarakat lokal yangg mengelola dan menguasai sumber daya
yang dimilikinya. Kepemilikan ini biasanya tidak didapat dari hibah atau pemberian
negara, melainkan dari perkembangan dinamis di tingkat lokal dimana masyarakat
mengembangkan aturan dan norma kehormatan pengelolaan berbasis masyarakat
sehubungan dengan pemanfaatan sumber – sumber daya alam (Lynch dan Harwell,
2002).
Beberapa hambatan dalam pengembangan ekowisata adalah tragedi sumber daya
bersama (Ostrom, 1991) dan kepercayaan terhadap penduduk lokal yang masih rendah
(Bernhard, 1991). Hambatan ini dapat dihubungkan dengan hak kepemilikan berbasis
masyarakat yang kurang diakui oleh pihak lain. Penelitian yang dilakukan oleh Boli
(2014) di Raja Ampat memberi contoh baik suatu pengelolaan sumber daya yang
mengakui hak kepemilikan masyarakat adat lokal. Proses pengelolaan sumber daya
karang oleh KKPD berjalan baik berkat kerjasama yang baik antara pihak pengelola
dengan masyarakat adat.
Karakteristik Nelayan dan Struktur Kelas Nelayan
Karakteristik Nelayan
Menurut UU No. 45 tahun 2009, nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata
pencaharianya melakukan penangkapan ikan. Jumlah nelayan Indonesia berfluktuasi
tiap tahun. Pada tahun 2009, jumlah nelayan Indonesia mencapai 2.752.490 orang
(Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2009). Dari jumlah tersebut, sebagian besar
nelayan Indonesia masuk dalam golongan nelayan kecil dan buruh nelayan (Kinseng,
2011; Bailey, 1988). Nelayan merupakan bagian masyarakat pesisir yang hidupnya
sangat tergantung pada alam (pesisir dan laut) dan diliputi oleh ketidakpastian (Satria,
2009).
Pada umumnya, nelayan mengalami masalah kompleks baik dalam bidang
sosial, ekonomi, dan politik (Kusnadi, 2009; Satria, 2009). Ketergantungan nelayan
pada alam menyebabkan nelayan rentan terhadap perubahan (Kusnadi, 2009). Dilihat
dari sisi kesejahteraan hidupnya, nelayan tergolong dalam kelompok miskin. Data pada
tahun 2002 menyebutkan 32 persen masyarakat miskin ada di pesisir (Satria, 2009).
Padahal, standar pendapatan yang dipakai hanya 1 dollar AS per hari.
37
Secara geografis, nelayan dihadapkan pada kondisi topografi yang khas dan
kondisi alam yang keras. Secara sosial, nelayan memiliki jaringan sosial yang
guyub, terdapat berbagai pola stratifikasi, dan terkadang terjadi konflik (Amanah dan
Utami, 2006). Berdasarkan kategorinya, nelayan dapat digolongkan menjadi empat
(Polnac, 1998 dalam Amanah dan Utami, 2006): Nelayan tradisional yang bersifat
subsisten, nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan maju,
nelayan
komersial, dan nelayan industri. Nelayan tradisional umumnya termasuk nelayan kecil,
dimana kepemilikan modalnya terbatas dan sulit mengakses layanan publik (Amanah
dan Utami, 2006).
Dalam persaingan hak penggunaan sumber daya, nelayan selalu berada dalam
posisi kalah (the loser) (Winson, 1992 dalam Kinseng, 2011). Hal ini akan memicu
konflik, baik konflik penggunaan sumber daya maupun penggunaan teknologi untuk
mengakses sumber daya (Sobari, Kinseng, dan Priyatna, 2003; Kusnadi, 2002).
Persaingan-persaingan ini dijelaskan dalam tipologi konflik dikalangan nelayan
(Charles, 1992 dan 2001 dalam Kinseng, 2011). Tabel 6 menjelaskan karakteristik
nelayan secara rinci.
Tabel 6 Karakteristik Nelayan
Aspek
Waktu Kerja
Penjelasan
Nelayan penuh; Nelayan sambilan utama; dan Nelayan
sambilan tambahan.
Respon terhadap
Perubahan
Sumber
Ditjenkan (1999)
dalam Sobari dan
Suswanti (2007)
Helmi dan Satria
(2012)
Kelas Sosial
Kinseng (2011)
Buruh Nelayan (sawi), Nelayan kecil, Nelayan menengah,
Nelayan besar, dan Kelas pemodal.
Pola Produksi
Clement (1986)
dalam Kinseng
(2011)
Pola produksi subsisten, Pola produksi kapitalis, Pola
produksi independent, Pola produksi dependent, Pola
produksi koperasi.
Kategori
Amanah dan Utami
(2006
Nelayan tradisional yang subsisten, nelayan komersial,
nelayan industri, nelayandengan teknologi penangkapan
maju.
Tipologi Konflik
Charles (1992 dan
2001) dalam
Kinseng (2011)
Fishery Juridication, Management mechanism, Internal
allocation, External allocation.
Satria (2002) dalam
Kinseng (2011)
Konflik Kelas, Konflik orientasi, konflik agraria, Konflik
primordial.
Penganekaragaman pendapatan, penganekaragaman alat
tangkap, perubahan daerah tangkapan, pemanfaatan
hubungan sosial, dan mobilisasi anggota rumah tangga.
Beragam aspek karakteristik nelayan pada Tabel 6 akan memengaruhi
bagaimana perilaku nelayan. Sebagai contoh, respon adaptasi nelayan menghadapi
perubahan menggambarkan respon mereka pada perubahan ekologis bentang alam
terkait pembangunan atau pengembangan ekowisata. Nelayan di Indonesia sebagian
besar di golongkan miskin (Kusnadi, 2009), identik dengan keterbatasan akses sumber
daya maupun fasilitas. Keterbatasan ini yang akan memunculkan konflik, baik konflik
kelas maupun konflik agraria (Satria, 2002 dalam Kinseng, 2011)
Terkait dengan perubahan ekologis, nelayan akan melakukan strategi adaptasi
supaya dapat tetap bertahan dan eksis di lingkungan tersebut (Helmi dan Satria, 2012).
Strategi adaptasi mutlak diperlukan karena ketergantungan nelayan yang sangat tinggi
38
pada alam. Perubahan-perubahan ekologis terkait pengembangan ekowisata ini akan
turut mengubah pola-pola sosial dan ekonomi nelayan.
Struktur Kelas Nelayan
Nelayan, menurut status penguasaan modal, dapat dibedakan menjadi 2, yaitu
nelayan pemilik dan nelayan buruh (Satria, 2002). Penggolongan nelayan merupakan
suatu tahapan panjang bentukan dari struktur sosial di masyarakat nelayan itu sendiri.
Pola-pola sosial di masa terbuka (1976-1990) ditandai dengan perubahan alat tangkap
yang semakin beragam (Susilo, 2010). Struktur sosial kembali mengalami perubahan di
masa terbuka 2 (1991-2008). Perubahan struktur sosial ini ditandai dengan masuknya
sistem pengelolaan fish sanctuary di Pasir Putih (Susilo, 2010).
Struktur sosial dalam masyarakat nelayan dicirikan dengan kuatnya hubungan
Patron-Klien (Satria, 2002). Munculnya ikatan patron-klien sebagai sumber pendanaan
merupakan wujud ikatan jaringan sosial secara vertikal (Kusnadi, 2000 dalam Helmi
dan Satria, 2011). Bentuk ikatan patron-klien lebih banyak menguntungkan pemilik
modal besar. Aspek patron-klien meskipun terkesan dominan ekonomi, didalamnya
juga erat berkaitan dengan aspek sosial. Relasi atau ikatan yang terbentuk diawali oleh
adanya perbedaan kelas nelayan. Setidaknya, Kinseng (2010) menjelaskan ada 5 kelas
nelayan yang dapat ditemukan di Balikpapan. Dari kelima kelas tersebut, hubungan
antar kelas diwakili oleh hubungan kelas pemodal-nelayan kelas pemilik dan kelas
pemilik dengan kelas buruh. Berbagai penggolongan tentang struktur kelas nelayan
dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Penggolongan Struktur Kelas Nelayan
Penggolongan
Sumber
Kinseng (2010)
Penejalasan
Nelayan Buruh, Nelayan Kecil, Nelayan
Menengah, Nelayan Besar, Kelas Pemodal
Satria (2002)
Nelayan Pemilik dan Nelayan Buruh
Ditjen Perikanan
(2002) dalam Satria
(2002)
Nelayan/petani ikan penuh, nelayan/petani ikan
sambilan utama, dan nelayan/petani ikan sambilan
tambahan.
Sukmawati (2008)
Nahkoda, Motoris, Orang tengah, Koki
Kepemilikan modal
Waktu penangkapan
atau pemeliharaan
Pekerja Nelayan saat
bekerja di laut
Berdasarkan penggolongan kelas nelayan pada Tabel 7, faktor kepemilikan
modal sangat berpengaruh. Kepemilikan kapal, alat tangkap, sampai modal uang
membawa nelayan pada kelas atas. Kelas juragan mampu memaksakan kehendak
kepada nelayan buruh tanpa kepemilikan modal. Ketidakmampuan akses terhadap
modal juga berpengaruh terhadap ketidakmampuan nelayan untuk akses sumber daya.
Nelayan buruh merupakan standar kelas nelayan terendah karena tidak punya keahlian
khusus seperti nahkoda atau juru masak kapal.
Pengaruh Ekowisata terhadap Sosial-Ekonomi Nelayan
Pendapatan Nelayan
Pengelolaan ekowisata yang baik salah satunya dapat dicirikan dengan
meningkatnya pendapatan masyarakat lokal/setempat, dalam hal ini adalah nelayan.
Pengelolaan ekowisata memberi ruang sekaligus dampak ekonomi berantai. Nelayan
sebagai bagian masyarakat yang memiliki hubungan paling erat dengan pesisir dan laut
39
yang terkena dampak ekonomi paling banyak. Secara umum, dampak ekonomi yang
dirasakan berupa peningkatan pendapatan (positif). Hal ini dikarenakan adanya
tambahan sumber mata pencaharian selain dari hasil melaut (strategi nafkah ganda)
(Satria, 2009). Selain itu, penurunan pendapatan juga mungkin terjadi karena
berkurangnya akses nelayan pada sumber daya alam itu sendiri.
Penelitian Helmi dan Satria (2012) terhadap nelayan di desa Pulau Panjang,
Kabupaten Tanah Bambu, Kalimantan Selatan, menunjukan adanya penganekaragaman
pendapatan sebagai bentuk respon perubahan ekologis yang terjadi. Hal ini menunjukan
bahwa perubahan bentang alam (akses) telah merubah strategi nafkah nelayan yang
pada akhirnya memengaruhi pendapatan nelayan. Alhasil, pendapatan nelayan dari
sektor kelautan berkurang.
Penelitian Tafalas (2010) di Raja Ampat membuktikan adanya dampak positif
dari kegiatan ekowisata terhadap perekonomian nelayan. Meskipun dampaknya belum
sampai pada perubahan struktur mata pencaharian, adanya kegiatan ekowisata telah
memperluas lapangan kerja serta kesempatan berusaha. Berikut beberapa hasil
penelitian yang membuktikan adanya dampak ekowisata terhadap perekonomian
nelayan, terutama pada sektor pendapatan.
Tabel 8 Berbagai Macam Dampak Ekowisata terhadap Pendapatan Nelayan
Sumber
Keterangan
Jenis
Dampak
Negatif
Helmi dan
Satria (2009)
Perubahan ekologis (tata ruang) mengurangi akses nelayan terhadap
sumber daya sehingga memaksa nelayan bekerja diluar sektor kelautan.
Tafalas
(2010)
Kegiatan ekowisata menambah lapangan kerja serta kesempatan
berusaha. Perpindahan orang yang bekerja sebagai nelayan ke sektor
ekowisata bahari. Rata-rata pendapatan masyarakat yang terlibat dalam
kegiatan ekowisata lebih besar daripada pendapatan masyarakat yang
tidak ikut dalam kegiatan ekowisata.
Positif
Sulaksmi
(2007)
Masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pariwisata cenderung
mengalami peningkatan pendapatan daripada yang tidak terlibat dalam
kegiatan pariwisata. Besaran pendapatan yang diterima dapat diukur
dengan pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga. Besarnya
pendapatan yang diperoleh dipengaruhi oleh beberapa faktor: Umur,
Pendidikan, Jumlah Anggota Keluarga, dan jarak dari kawasan wisata.
Positif
Wijayanti
(2009)
Peningkatan pendapatan akibat kegiatan wisata bersumber dari
penyewaan homestay kepada pengunjug oleh masyarakat. Peningkatan
pendapatan tidak berhubungan secara langsung dengan pekerjaan
nelayan, tapi lebih kepada rumah tangga penyewa home stay.
Positif
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, rata-rata kegiatan ekowisata
membawa dampak positif berupa peningkatan pendapatan nelayan, terutama rumah
tangga nelayan. Peningkatan pendapatan ini bersumber baik dari kegiatan wisata
langsung maupun tidak langsung. Peningkatan pendapatan dari kegiatan wisata
langsung dapat dilihat dari penambahan jenis pekerjaan baru sekaligus menambah
lapangan kerja baru seperti tour guide. Selain itu, penyediaan home stay bagi wisatawan
juga membuka kesempatan peningkatan pendapatan.
40
Potensi Konflik Nelayan
Pengembangan ekowisata merupakan pengelolaan sumber daya yang berada di
wilayah open accses, artinya sumber daya tersebut dapat diakses oleh banyak pihak.
Ketidakjelasan penguasaan sumber daya dapat menjadi potensi konflik berkepanjangan.
Dalam mengelola sumber daya tersebut, nelayan biasanya menerapkan aturan-aturan
lokal yang berkembang sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing.
Kelangkaan sumber daya merupakan sumber konflik akibat dari penetapan
zonasi tersebut (Konflik ruang). Konflik yang terjadi dapat bersifat internal maupun
eksternal (Kinseng, 2007). Konflik internal adalah konflik yang terjadi antar sesama
nelayan. Sedangkan konflik eksternal merupakan konflik yang terjadi antara nelayan
dengan pihak-pihak non-nelayan. Berdasarkan kepemilikan atas modal, konflik dapat
dibedakan juga dapat dibedakan menjadi konflik vertikal dan konflik horizontal
(Kinseng, 2011). Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara nelayan dengan
para pemilik modal (juragan). Sedangkan konflik horizontal adalah konflik antar sesama
nelayan. Konflik-konflik seperti ini dapat terjadi karena perbedaan alat tangkap,
orientasi tangkapan, serta daerah tangkapan.
Menurut Satria (2009), dalam pengelolaan sumber daya alam, terdapat
sedikitnya dua konflik yang mungkin muncul, yaitu konflik antara masyarakat dan
pemerintah sebagai pelindung sumber daya perairan serta konflik antara masyarakat dan
pemerintah sebagai agen pembangunan yang melibatlkan swasta. Lebih lanjut,
penelitian Satria et al. (2005) di dua desa di Lombok Barat mendeskripsikan adanya
pengurangan akses dari industri budidaya mutiara (swasta) terhadap nelayan lokal. Hal
ini karena industri budidaya mutiara, menurut Ostrom, sebagai “owner” yang memiliki
semua tipe hak kepemilikan dari pemanfaatan hingga hak pengalihan.
Konflik-konflik yang terjadi pada nelayan dapat juga terjadi di daerah
ekowisata. Kegiatan ekowisata menerapkan prinsip keberlanjutan sehingga pengelolaan
harus berwawasan lingkungan. Prinsip pengelolaan seperti ini akan membatasi aktivitas
manusia untuk mencegah perusakan (anthropogenic). Pembatasan aktivitas manusia ini
biasanya diatur dalam tata ruang lokasi (zonasi). Penetapan zonasi yang tidak
dikoordinasikan secara baik akan memicu konflik. Selain itu, ketidakmerataan
kesempatan kerja serta jaringan kelembagaan dapat memicu konflik tambahan yang
bersifat laten. Beberapa contoh konflik berkaitan dengan hak kepemilikan sumber daya
adalah sebagai berikut;
1. Keberadaan industri budidaya mutiara menghambat aktivitas penangkapan ikan
oleh nelayan lokal. Konflik mereda setelah ada perjanjian berupa kompensasi bagi
nelayan (Satria et al., 2005),
2. Konflik antara BKSDP selaku pengelola TWAL dengan massyarakat yang masih
mengklaim wilayah yang dijadikan TWAL merupakan wilayah produktif untuk
penangkapan (Satria, 2006 dalam Satria, 2009),
3. Konflik antar nelayan dengan penggunaan alat yang berbeda, seperti nelayan
pemancing dengan pembom dan nelayan tradisional dengan nelayan modern.
Selain itu juga terjadi konflik antara nelayan dengan
PT THS terkait
pembangunan Dermaga. Konflik ini terjadi karena nelayan merasa wilayah
tangkapan mereka hilang dan rusak oleh karena pembangunan dermaga (Kinseng,
2007), dan
4. Konflik perebutan daerah tangkapan antara nelayan jaring gil net dengan nelayan
Cantrang. Selain itu juga konfli karena pemberlakuan UU No 22 Tahun 1999
41
dimana nelayan dari daerah lain melakukan penangkapan di perairan Rembang
(Boesono et al, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian beberapa orang sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa konflik berdasarkan hak kepemilikan bukan hanya terjadi antara nelayan dengan
pihak lain, tapi juga terjadi antar sesama nelayan. Konflik yang terjadi antar sesama
nelayan pada umumnya dilatarbelakangi oleh perebutan daerah tangkapan (fishing
ground). Selain itu, kecemburuan sosial karena perbedaan alat tangkap juga dapat
menjadi sumber konflik antar nelayan. Meskipun konflik antar sesama nelayan lebih
banyak ditemukan, konflik vertikal antara nelayan dengan pengelola jamak terjadi di
daerah konservasi. Konflik-konflik yang terjadi biasanya disebabkan oleh penetapan
zonasi kawasan konservasi yang tidak partisipatif. Kegiatan ekowisata yang
diselenggarakan di daerah konservasi memiliki kecenderungan besar untuk menjadi
potensi konflik vertikal.
42
SIMPULAN
Hasil Sintesis dan Analisis
Berdasarkan pemaparan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
ekowisata merupakan bentuk pariwisata baru yang mengutamakan prinsip keberlanjutan
lingkungan hidupnya. Ekowisata menjadi bagian penting dalam pembangunan karena
memiliki dampak positif pada sektor pendapatan negara atau regional wialayah. Bentuk
wisata pada ekowisata sendiri merupakan jenis wisata yang bertangung jawab, tidak
hanya memperhatikan aspek pendapatan (ekonomi), tapi juga keberlanjutan lingkungan,
sosial, dan budaya masyarakat setempat.
Ekowisata merupakan wisata berbasis alam. Pengelolaan sumber daya alam di
Indonesia sering memunculkan konflik. Hal ini dikarenakan perebutan hak pengelolaan
sumber daya alam itu sendiri. Sumber daya bebas dimanfaatkan oleh semua pihak tapi
tidak jelas siapa yang merawatnya. Peristiwa ini disebut tragedy of the common. Selain
tragedy of the common, dikenal juga tragedy of enclosure. Berbeda dengan tragedy of
the common, tragedy of enclosure justru terjadi karena kepemilikan sudah jelas. Namun
demikian, pemilikan sumber daya tersebut membatasi akses pihak lain untuk
memanfaatkan. Pengakuan hak kepemilikan oleh masyarakat dari pihak lain akan
menentukan keberlanjutan pengembangan ekowisata itu sendiri.
Dalam rangka mewujudkan ekowisata yang berkualitas, strategi pengembangan
ekowisata perlu dirumuskan. Melalui desentralisasi, penglolaan suatu kawasan
ekowisata lebih mudah dilakukan karena pusat kontrol ada di pemerintah daerah, bukan
lagi di pusat. Pelimpahan wewenang ini diharapkan memudahkan koordinasi
pengembangan ekowisata. Meskipun sudah terfasilitasi dengan adanya desentralisasi,
masalah pengembangan ekowisata tidak berhenti sampai disana. Berbagai kekurangan
seperti kurangnya pembangunan infrastruktur, sedikitnya kerjasama lintas stakeholder,
minimnya promosi, sampai lemahnya SDM aparatur pelaksana menjadi hambatan serius
progam pengembangan ekowisata. Poin penting yang perlu dikaji adalah dampak
pengembangan tersebut kepada masyarakat setempat.
Nelayan merupakan salah satu kelompok massyarakat pesisir yang menerima
pengaruh paling besar dari adanya ekowisata. Pengembangan ekowisata secara
langsung maupun tidak langsung akan merubah kondisi lingkungan, sedangkan nelayan
memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada lingkungan. Nelayan sangat identik
dengan kemiskinan dan keterbatasan modal. Berbagai bentuk perubahan ekologis akan
merubah pola-pola kehidupan mereka juga, sehingga nelayan akan menetapkan strategi
adaptasi terkait dengan perubahan yang terjadi.
Kegiatan Ekowisata memberi dampak secara sosial dan ekonomi bagi nelayan.
Dari sektor ekonomi, dampak paling kentara adalah adanya peningkatan pendapatan.
Peninkgatan pendapatan dapat diperoleh dari penganekaragaman jenis pekerjaan
maupun penyediaan jasa wisata seperti home stay. Nelayan dapat menjual jasa
pelayanan wisata, atau justru kehilangan akses kawasan dan mencari pekerjaan lain
diluar sektor wilayah ekowisata.
Dari sektor sosial, dampak ekowisata dapat dilihat dari munculnya potensi
konflik pada nelayan. Konflik dapat bersifat vertikal dan horizontal. Konflik antar
sesama nelayan termasuk konflik horizontal. Konflik horozontal biasanya terjadi karena
perebutan daerah penangkapan. Sedangkan konflik vertikal merupakan konflik antara
nelayan dengan pengelolaa kawasan konservasi (konflik ruang). Konflik ruang terjadi
karena pembatasan akses nelayan terhadap area karena penetapan zonasi. Semua konflik
ini bersumber dari hak kepemilikan atas sumber daya.
43
Usulan Kerangka Analisis untuk Penelitian
Pengembangan
Ekowisata
Sosial Ekonomi Nelayan
Pendapatan
Nelayan
Potensi Konflik
Nelayan
Sistem Hak Kepemilikian
Sumber daya
Karakteristik Nelayan
dan Struktur Kelas
nelayan
Gambar 9 Usulan Kerangka Analisis
Keterangan:
: Memengaruhi
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana sistem hak kepemilikan sumber daya di kawasan ekowsiata?
2. Bagaimana karakteristik dan struktur kelas nelayan yang terbentuk di daerah
ekowisata?
3. Bagaimana pengaruh strategi pengembangan ekowisata terhadap sosial-ekonomi
nelayan?
44
DAFTAR PUSTAKA
Amanah S, Utami HN. 2006. Perilaku nelayan dalam pengelolaan bahari di kawasan
pantai Lovina, Buleleng, Bali. Jurnal Penyuluhan. [Internet]. [dikutip tanggal 26
Novemmber 2014]; 2:83-90. Dapat diunduh di http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/43022.
Berkes F. 1989. Common Property Resources. Great Britain(GB): Belhaven Press.
Boesono H, Yuliato T, Santosa W, Wibowo BA. Studi pemetaan daerah konflik alat
tangkap nelayan Sarang kabupaten Rembang-Jawa Tengah. Prosiding seminar
perikanan. [internet]. [diunduh pada tanggal 10 Januari 2015]. Dapat diunduh di
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/25302/Prosiding_seminar
_perikanan_tangkap-35.pdf?sequence=1.
Boli P. 2014. Pengelolaan sumber daya karang berbasis integrasi dengan konservasi
perairan modern di Raja Ampat. [Thesis]. [Internet]. [dikutip tanggal 23
Desember 2014]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Dapat diunduh di
http://repository.ipb-.ac.id/handle/123456789/70477.
Cukier J, Wall G. 1995. Tourism employment in Bali. Tourism Economics. [Internet].
[dikutip 20 November 2014]; 1(4):389-401. Dapat diunduh di http://ac.elscdn.com/0160738395000879/1s2.00160738395000879main.pdf?tid=454faf1897
-b711e49dd00000aacb35d&acdnat=1420777592_2bc-53908181fa84f089eae139-83e-7238.
Helmi A, Satria A. 2012. Strategi adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis.
Makara, Sosial Humaniora. [Internet]. [dikutip 26 November 2014]; 16:68-78.
Dapat diunduh di http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/view/1494.
Karsudi, Soekmadi R, Kartodihardjo H. 2010. Strategi pengembangan ekowisata di
kabupaten Kepulauan Yapen provinsi Papua. JMHT. [Internet]. [dikutip 24
November 2014]; 16(3):148-154. Dapat diunduh di http://journal.ipb.ac.id/index-.php/jmht/article/view/3178.
Kinseng RA. 2007. Konflik-konflik sumberdaya alam di kalangan nelayan di Indonesia.
Sodality. [Internet]. [dikutip tanggal 7 Januari 2015]; 01(1): 87-104. Dapat
diunduh di http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/51778.
__________. 2011. Konflik kelas nelayan di Indonesia tinjauan kasus Balikpapan.
Bogor: IPB Press.
Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora
Utama Press.
_______. 2009. Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir. Jogjakarta:
Lembaga Penelitian Universitas Jember dan Ar-Ruzz Media.
Laksono AN, Mussadun. 2014. Dampak aktivitas ekowisata di pulau Karimunjawa
berdasarkan persepsi masyarakat. Jurnal Teknik PWK. [Internet]. [dikutip
tanggal 6 Desember 2014]; 03(3):262-273. Dapat diunduh di http://ejournals1.undip.ac.id-/index.php/pwk.
Latta PA. (tidak ada tahun). The Tragedy of the Commons by Garrett Hardin, 1968.
[Internet]. [dikutip 19 November 2014]; 162: 1243-1248. Dapat diunduh di
http://www.eolss.net/Sample-Chapters/-C13/E145-01-07.pdf.
Mathieson A, Wall G. 1982. Tourism: economic, physical and social impacts.
Longman [UK]: Harlow.
Nugroho GP. 2004. Strategi Pengembangan Ekowisata Dieng. [disertasi]. [internet].
Dikutip tanggal 16 Desember 2014. Sekolah Pascasarjana, Universitas
45
Diponegoro.
Dapat
diunduh
dari
http://eprints.undip.ac.id/11664/1/2004MTPK2832.pdf.
Nugroho P, Yusuf M, Suryono. 2013. Strategi pengembangan ekowisata di pantai
Pangandaran kabupaten Ciamis pasca tsunami. Journal of Marine research.
[Internet]. [dikutip tanggal 3 November 2014]; 02:11-21. Dapat diunduh di
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr.
Bernhard. 1991. Ekoturisme dapat menyumbang upaya pelestarian alam. Oka A. Yoeti.
Ekowisata, pariwisata berwawasan lingkungan hidup. Jakarta [ID].: PT Pertja.
Hal 26-32.
[Permen] Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pengembangan Ekowisata Daerah.
Pitana, IG, Gayatri PG. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta [ID]: Penerbit ANDI.
[PP] Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan
Kepariwisataan.
[PP] Peraturan Pemerintah 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di
Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata
Alam.
Prihandoko, Jahi A, Gani DS, Purnaba IGP, Andrianto L, Tjitradjaja I. 2011. Faktorfaktor yang mempengarhui perilaku nelayan artinasal dalam pemanfaatan
sumber daya perikanan di pantai utara provinsi Jawa Barat. Makara, Sosial
Humaniora. [Internet]. [dikutip tanggal 6 Desember 2014]; 15(2):117-126.
Dapat
diunduh
di
http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/1418/1249.
Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta [ID]: Cidesindo.
______. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPBPress.
Satria A, Matsuda Y. 2004. Decentralization of fisheries management in Indonesia.
Marine Policy. [Internet]. [dikutip 30 Oktober 2014]; 28(5):437-450. Dapat
diunduh di: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0-308597X03001362.
Satria A, Matsuda Y, Sano M. 2005. Contractual solution to the tragedy of property
right in coastal fisheries. Marine Policy. [Internet]. [dikutip 30 Oktober 2014];
30:226-236. Dapat diunduh dari http://www.sciencedirect.com/science/articl/pii/-S0308597X-05000126.
Seftyono C. 2011. Pengetahuan ekologi tradisional masyarakat orang asli Jakun dalam
menilai ekosistem servis di tasik Chini, Malaysia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. [Internet]. [dikutip tanggal 10 Desember 2014]; 15(1):55-67. Dapat
diunduh di http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/16.
Setyadi IA, Hartoyo, Maulana A, Muntasib H. 2012. Strategi pengembangan ekowisata
di
taman
nasional
Sebangau
Kalimantan
Tengah.
Jurnal
Manajemen&Agribisnis. [Internet]. [Dikutip pada 5 Desember 2014]; 09(1):112. Dapat diunduh di http://repository.mb.ipb.ac.id/1557/.
Sobari MP, Kinseng RA, Priyatna FN. 2003. Membangun model pengelolaan
sumberdaya perikanan berkelanjutan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi
masyarakat nelayan: tinjauan sosiologi antropologi. Buletin Ekonomi Perikanan.
[Internet]. [Diunduh 5 Desember 2014; 05(1):41-48.
Sugiharta S. 2012. Desentralisasi dan sumber daya aparatur: problematika pelaksanaan
desentralisasi pelestarian cagar budaya di provinsi Sumatera Barat, Riau, dan
Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. [Internet]. [Diunduh 10
Desember 2014]; 15(3):232-245. Dapat diunduh dari: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/41.
46
Sukmawati D. 2008. Struktur dan pola hubungan sosial ekonomi juragan dengan buruh
di kalangan nelayan pantai utara Jawa Barat. Jurnal Kependudukan
Padjadjaran. [Internet]. [dikutip tanggal 23 Desember 2014]; 10(1):50-63.
Dapat diunduh di http://jurnal.unpad.ac.id/kependudukan/article/view/doc5.
Sulaksmi R. 2007. Analisis dampak pariwisata terhadap pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat sekitar kawasan taman wisata alam laut pulau Weh kota Sabang.
[Thesis]. [Internet]. [dikutip tanggal 7 Januari 2015]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana IPB. Dapat diunduh di http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/10074.
Sunari, dkk. 2005. Model kebijakan Daerah dalam Pengembangan Ekowisata: Studi
Kasus di Kabupaten Indramayu. Dikutip tanggal 16 Desember 2014. Jurnal
Forum Pascasarjana. Volume 28 (4): hal. 357-365.
Tafalas M. 2010. Dampak pengembangan ekowisata terhadap kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat lokal. Studi kasus ekowisata bahari pulau Mansuar
Kabupaten Raja Ampat. [Thesis]. [Internet]. [dikutip tanggal 10 Desember
2014].
Bogor:
Sekolah
Pascasarjana
IPB.
Dapat
diunduh
di
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41156/2010mta.pdf?sequ
ence=10.
[UNDP] United Nations Development Programme (US). 2009. Risalah desentralisasi,
[internet]. Dapat diunduh di http://www.undp.or.id/pubs/docs-/risalahpersen20desen-tralisasi.pdf.
[UU] Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
[UU] Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[UU] Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
[UUD] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
[UU] Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
[UU] Undang-Undang No. 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang.
[UU] Undang-Undang No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Wjayanti P. 2009. Analisis ekonomi dan kebijakan pengelolaan wisata alam berbasis
masyarakat lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI
Jakarta. [Thesis]. [Internet]. [dikutip tanggal 7 Januari 2015]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana IPB. Dapat diunduh di http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/43740.
[WTO] World Tourism Organisation. 2003. Development of Community-Based
Tourism (Indonesia). Madrid.
Yoeti, Oka A. 2000. Ekowisata, pariwisata berwawasan lingkungan hidup. Jakarta: PT
Pertja.
Yulianda, F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya
pesisir
berbasis konservasi. Makalah Seminar Sains pada Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
47
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
Luki Setyawan dilahirkan di Pati pada tanggal 19 September 1993. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan Sulasno dan
Sulikah. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Banyutowo
pada tahun 1996-1999, kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Banyutowo 03 pada
tahun 1999-2005. Setelah menempuh pendidikan dasar, penulis melanjutkan ke jenjang
pendidikan menengah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tayu pada tahun 20052008, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pati pada tahun 2008-2011. Penulis
melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor mulai tahun 2011 melalui
SNMPTN Undangan dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia.
Selain menekuni aktivitas akademik di Institut Pertanian Bogor, penulis juga
aktif dalam berbagai organisasi, kepanitiaan, dan kegiatan diluar bidang akademik.
Penulis memulai pengalaman organisasi di Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan
Keluarga Mahasiswa Pati (IKMP) sebagai wakil ketua periode 2011-2012. Setelah itu,
penulis melanjutkan organisasi di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi
Manusia (BEM FEMA IPB) sebagai staff di Departemen Kajian Strategis dan Advokasi
Mahasiswa (Kaskemah) pada kepengurusan tahun 2012-2013. Ditahun yang sama
penulis juga menjabat sebagai wakil koordinator bidang pembinaan di Komisi Literatur
(Komlit) PMK IPB. Pada tahun kepengurusan 2013-2014, penulis menjabat Kepala
Departemen Kajian Strategis (Kastrat) BEM FEMA IPB setelah memisahkan diri dari
Kaskemah.
Selain kegiatan organisasi, penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan
yang diselenggarakan di tingkat IPB, diantaranya Malam Keakraban Komisi Literatur
sebagai kepala divisi acara pada tahun 2013, wakil ketua Indonesia Ecology Expo
(INDEX) IPB pada tahun 2013, dan divisi Logistik dan Transportasi (Logstran) Masa
Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selain itu
penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Sosiologi Umum selama 1 semester.
Download