Yuliyantini pratiwi XII IPS 3 28 Sejarah Suku Using diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Using) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Using yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu. Pada awal terbentuknya masyarakat Using kepercayaan utama suku Using adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Using. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Using juga dipengaruhi oleh usaha VOC dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Using mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M pertama kali masuk Islam adalah penguasa. Ini kalau kita artikan, Islam disebarkan secara top down, kurang membumi pada akar rumput. Pada abad ke-12 dan ke-13 Islam dibawa oleh pedagang Gujarat dan Arab. Lalu, Islamisasi mengalami akselerasi antara abad ke-15 dan ke-16. Namun, dalam pembahasan sejarah nusantara, ternyata Islam disebarkan dengan lebih elegan dan kultural pada abad ke-7 oleh orang-orang Tionghoa atau berkebangsaan China. Jauh sebelum kedatangan orang-orang Gujarat dan Arab. Para pembawa Islam pertama kali yang adalah orang China, memiliki karakteristik sufi, mereka bergabung dengan rakyat kecil, berkelompok dagang dan mengerjakan kerajinan kreatif. Karakteristik sufi orang-orang China pembawa Islam di abad ke-7 itu mengajarkan Theosofi Sinkretik. Dalam 1492 (Quatroze Neuf-Deux) dijelaskan Angkatan Laut China adalah kekuatan muslim . Pada abad ke-13 sampai ke-16, Angkatan Laut Tiongkok ini ditundukkan perwira muslim, Laksamana Ma Chengho (Ma Zenghe) yang berasal Xin Kiang (Xinjiang) berekspedisi berkalikali ke parairan nusantara. Angkatan Laut China beragama Islam diduga membantu Raden Wijaya yang adalah peranakan China (dari marga Oey atau Wie). Prabu Brawijaya V memiliki permaisuri, Kencana Wungu, dan selir bernama Putri Campa. Menurut sumber lisan, Prabu Brawijaya V beragama Islam karena isteri selirnya yang berbangsa China berasal dari Cambodia pun beragama Islam. Putri Campa adalah ibu dari Raden Fatah yang bernama asli Tan Eng Hoat, pendiri kesultanan Demak. Menantu Putri Campa pun beragama Islam, bernama Abdul Qodir Jaelani yang bernama asli Tan Kim Han. Dan banyak lagi pejuang-pejuang muslim Tionghoa. Di masa Tawangalun, kita mengenal nama Ki Bagus Wongsokaryo sebagai penasehat spiritual (diduga seorang muslim) dari Mas Tawangalun, yang terkenal dengan sebutan Ki Buyut Cungking. Sebutan itu disematkan kepada Ki Bagus Wongsokaryo karena dialah penerjemah kerajaan dalam menjalin komunikasi dengan tamu-tamu China, karena hubungan kerajaan-kerajaan di nusantara dengan negeri Tiongkok akrab sekali di zaman dinasti Ming (1368-1643). Di depan Kraton Macan Putih, terdapat tempat menerima tamu-tamu dari Cungking, China, sehingga tempat itu kemudian disebut Cungking. Orang-orang setempat, karena tidak mengerti Bahasa Mandarin, mengartikan kata “cungking” dengan “kuncunge teng wingking”, yaitu orangorang yang rambutnya digelung di belakang kepalanya sebagai kebiasaan bangsa China di masa lalu. Islamisasi di Blambangan (Banyuwangi) tidak terlepas dari keterkaitan dari proses Islamisasi di Jawa itu, utamanya di Jawa Timur yang berpusat di Surabaya dan Giri, Gresik. Pada mulanya, Sultan Samudera Pasai, Zainal Abidin Ba’iyah Syah (1349-1406) mengirimkan ulama ke Jawa, yaitu Maulana Malik Ibrahim dikirim ke Gresik (wafat 1419) dan Maulana Iskak atau Syeh Wali Lanang. Maulana Iskak lalu ditugaskan oleh Sunan Ampel (Raden Rahmat, yang juga terkenal dengan nama Bong Swi Hoo) di Ampeldenta, Surabaya untuk menyebarkan Islam di Blambangan. Raden Rahmat atau Sunan Ampel adalah putra Makhdum Ibrahim, menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati. Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel adalah cucu dari Haji Bong Tak Keng, seorang Tionghoa bermarga Hui beragama Islam mazhab Hanafi yang ditugaskan sebagai Kapten China di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu, menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten China di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel sebagai kapten China di Jiaotung (Bangil). Islam yang dibawa dan diupayakan oleh orang-orang China itu kemudian mendapatkan tempat di hati rakyat, ini karena Islam disebarkan secara kultural dengan tidak mengutamakan aspek formal yang kaku, tetapi lebih pada aspek hakikat ajaran dan keterbukaan Islam yang lentur terhadap nilai-nilai di luar dirinya. Di samping itu pula, orang-orang China itu mengamalkan kemampuan mereka dalam hal pengobatan. Sehingga tidaklah mengherankan jika Maulana Iskak (Ishaq) atau Syekh Wali Lanang mampu menyembuhkan cucu Menak Sembuyu, penguasa Blambangan, yakni Putri Sekar Dadu, yang mengalami sakit keras dan tidak ada satu pun tabib Jawa yang dapat menyembuhkannya. Menurut cerita tutur, tidak lama setelah masa keruntuhan Kerajaan Macan Putih dengan rajanya yang berwibawa, Mas Tawangalun, Islam dibumikan di bumi Blambangan oleh dua orang penyebar Islam yang kita kenal dengan nama Ki Tampa Wijaya dan Ki Ishak (diduga sebagai kakak beradik). Ki Tampa Wijaya bertempat tinggal di wilayah Benelan Lor, Kec. Rogojampi. Sekitar tahun 1600-an, Ki Tampa Wijaya mendirikan masjid pertama kali di Banyuwangi, yakni Masjid Gombolirang, terletak di Desa Gombolirang. Dugaan bahwa Masjid Gombolirang adalah masjid pertama di Banyuwangi dibuktikan dengan keterangan lisan penduduk setempat, bahwa waktu itu orang yang melakukan salat Jumat datang dari daerah-daerah yang jauh di Banyuwangi. Yang menarik, ternyata Ki Tampa Wijaya (menurut dugaan historis) adalah keturunan Tionghoa dari marga Wie, yang bernama asli Ki Tong Pho Wie. Jika dugaan ini benar (karena penelitian sejarah di Banyuwangi belum pernah dilakukan), maka tentu saja adik/kakak dari Ki Tampa Wijaya, yakni Ki Ishak, juga keturunan China. Ki Tampa Wijaya memiliki seorang istri pertama yang juga orang China, bernama Lingcing yang bertempat tinggal di pertigaan Rogojampi menuju Gambor, yang hingga hari ini penduduk Rogojampi menyebut pertigaan itu dengan nama Pertigaan Lingcing. Terdapat keterangan bahwa Ki Tampa Wijaya dijadikan tokoh muslim berpengaruh oleh VOC, yakni sebagai amtenaar. Tidak mengherankan, karena Belanda tidak mungkin mengangkat orang setempat (pribumi) sebagai amtenaar. Hal ini menunjukkan bahwa Ki Tampa Wijaya adalah seorang yang memiliki status sosial-ekonomi yang tinggi di tengah-tengah masyarakat Blambangan. Belakangan setelah wafatnya Ki Tampa Wijaya, anak-cucu keturunannya banyak yang menjabat sebagai lurah di daerah Rogojampi dan sekitarnya. Terdapat keterangan bahwa Ki Tampa Wijaya dijadikan tokoh muslim berpengaruh oleh VOC, yakni sebagai amtenaar. Tidak mengherankan, karena Belanda tidak mungkin mengangkat orang setempat (pribumi) sebagai amtenaar. Hal ini menunjukkan bahwa Ki Tampa Wijaya adalah seorang yang memiliki status sosial-ekonomi yang tinggi di tengahtengah masyarakat Blambangan. Belakangan setelah wafatnya Ki Tampa Wijaya, anak-cucu keturunannya banyak yang menjabat sebagai lurah di daerah Rogojampi dan sekitarnya. Hingga keturunan dari Ki Ishak (adik/kakak Ki Tampa Wijaya) yang bermarga Wie itu menjabat sebagai bupati Banyuwangi, yakni Ir. H. Samsul Hadi. Apabila dugaan ini benar, maka jelaslah bahwa peranan orang-orang Tionghoa sebagai bagian dari bangsa kita tidak diragukan lagi. Itulah mungkin yang memunculkan ornamen Naga berkepala Gatot Kaca yang menghadap pada bunga Jaya Kusuma (bunga kebenaran, kemenangan dan kesejatian). Hingga keturunan dari Ki Ishak (adik/kakak Ki Tampa Wijaya) yang bermarga Wie itu menjabat sebagai bupati Banyuwangi, yakni Ir. H. Samsul Hadi. Apabila dugaan ini benar, maka jelaslah bahwa peranan orang-orang Tionghoa sebagai bagian dari bangsa kita tidak diragukan lagi. Itulah mungkin yang memunculkan ornamen Naga berkepala Gatot Kaca yang menghadap pada bunga Jaya Kusuma (bunga kebenaran, kemenangan dan kesejatian). Naga adalah simbol yang terdapat dalam kebudayaan China, Gatot Kaca adalah tokoh pewayangan dalam kebudayaan Jawa. Ini adalah akulturasi kreatif antara budaya China dan Jawa, yakni naga sebagai simbol kekuatan, keberanian dan kewibawaan. Gatot Kaca menyimbolkan kepemimpinan yang adil, penuh kasih sayang dan membela yang lemah yang memegang prinsip kebenaran dan kesejatian nilai-nilai. Dapat diartikan pula, pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang mampu mengayomi dan berani membela yang lemah serta berpegang pada kebenaran dan keadilan. Jelaslah dengan demikian, bahwa nilai-nilai filosofis dari ornamen Naga berkepala Gatot Kaca tersebut adalah nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran Islam tentang seorang pemimpin yang sejati. Terimakasih ^_^