Rheumatoid Arthritis

advertisement
Rheumatoid Arthritis
Cheryl Suseno
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna No.6, Jakarta 11510
Email: [email protected]
Pendahuluan
Muskuloskeletal berasal dari kata muscle (otot) dan skeletal (tulang). Rangka merupakan bagian
tubuh yang terdiri dari tulang, sendi dan tulang rawan (kartilago), sebagai tempat menempelnya otot
dan memungkinkan tubuh untuk mempertahankan sikap dan posisi. Baik anak-anak maupun orang
tua, tidak terhindar dari masalah muskuloskeletal. Mengingat tulang merupakan penumpu berat
tubuh, adanya kelainan muskuloskeletal ini, dapat menyulitkan aktivitas seseorang. Penyakit ini
seringkali menyerang sendi yang menyebabkan kesulitan dalam bergerak, seperti osteoartritis,
rheumatoid artritis, dan lainnya.
Rheumatoid arthritis adalah penyakit, inflamasi sistemik autoimun, terutama dari sendi.
Rheumatoid arthritis gejala termasuk perubahan inflamasi pada membran sinovial dan struktur
artikular, namun ciri khas dari rheumatoid arthritis adalah polyarthritis simetris. Diagnosis
rheumatoid arthritis bergantung pada sejarah dan fisik serta pemeriksaan serum dan radiologis. Diet,
terapi fisik, terapi okupasi, dan operasi mungkin memainkan peran dalam pengobatan rheumatoid
arthritis, namun yang utama dalam terapi adalah obat rheumatoid arthritis.
Serangan
penyakit
lama
tanpa
pada
persendian
menyebabkan
rheumatoid
pengobatan
dan
hilangnya
arthritis
perlu
memadai,
penyakit
ini
peradangan
kronis
pada
fungsi
persendian
diwaspadai.
bisa
menyebabkan
persendian.
dan
Bila
kelainan
Kondisi
kecacatan
berlangsung
bentuk
dikhawatirkan
sehingga
kualitas
hidup penderita menurun.
Pembahasan
•
Anamnesis 1
Kronologi dan dampak gejala pada pasien harus diketahui. Keluhan utama biasanya
berhubungan dengan sendi atau area sekitar sendi seperti nyeri, kaku, deformitas, dan
penurunan fungsi.
Gejala ini bisa timbul dari sendi atau struktur periartikular. Tanda-tanda radang, derajat nyeri
dan durasi kaku di pagi hari perlu diselidiki dengan teliti. Gejala ekstra artikular bisa
membantu secara diagnostik dengan mengarahkan pada penyakit yang berhubungan dengan
artritis seperti :
◦ Psoriasis: ruam kulit, bisa terbatas pada kulit kepala atau celah pada gluteal.
◦ Lupus eritematosus sistemik (SLE):ruam kulit yang fotosensitif, poliserositis (nyeri
perikardial atau pleural), ulkus mulut.
◦ Granulomatosis Wegener: sinusitis, ulkus kulit.
Pada anamnesis perlu ditanyakan beberapa hal seperti: 1
◦ Sendi mana yang terkena.
Umumnya pergelangan tangan, jari tangan, siku, bahu, lutut
◦ Adakah rasa nyeri? Jika iya tanyakan kapan dan di mana.
◦ Adakah kaku, bengkak atau deformitas?
Umumnya ada kaku di pagi hari selama lebih dari 1 jam
◦ Apa akibat fungsionalnya? Apa yang tidak lagi bisa dilakukan pasien. Misalnya jarak
berjalan, mampu berpindah tempat.
◦ Adakah tanda sistemik seperti malaise, penurunan berat badan, atau gejala anemia.
◦ Adakah sistem lain yang terkena? Adakah gejala anemia, bengkak pada pergelangan
kaki (sindrom nefrotik), sesak napas (fibrosis paru).
Riwayat penyakit terdahulu
◦ Bagaimana pola penyakit ? Sendi mana yang terkena?
◦ Bagaimana aktivitas peradangan?
◦ Pengobatan ada yang didapat pasien?
◦ Pernahkah pasien menjalani bedah penggantian sendi, fisioterapi atau bantuan lain?
◦ Adakah riwayat gangguan autoimun lain?
Obat-obatan
◦ Obat apa yang pernah diterima pasien dan efek sampingnya.
Misalnya: kortikosteroid dapat menimbulkan cushing; metotreksat dapat menimbulkan
fibrosis paru
◦ Obat apa yang sedang dikonsumsi pasien saat ini.
◦ Apakah pasien memiliki alergi, intoleransi, atau efek samping obat.
Riwayat keluarga dan sosial
◦ Adakah riwayat penyakit autoimun dalam keluarga
◦ Bagaimana pengaruh penyakit pada pekerjaan, keluarga, pasangan, atau anak.
◦ Pernahkah melakukan adaptasi untuk memperbaiki mobilitas.
• Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik 1,10
•
Inspeksi
Melihat perilaku bagaimana posisi sendi bagian yang terkena. Pembengkakan,
deformitas, atau asimetris, pengecilan otot di sekitar sendi, kemerahan kulit di atasnya.
Tentukan pola penyakit sendi, seperti sendi kecil atau besar, simetris atau asimetris.
Timbulnya pola khas dari keterlibatan sendi pada artritis utama.
•
Palpasi
merasakan adanya panas dan tentukan apakah pembengkakan berupa: tulang (nodus
osteoartritis), cairan (efusi,sinovitis), jaringan .
lokasi nyeri maksimum yang ditunjukkan dengan tekanan langsung ringan/sedang
memungkinkan menentukan struktur mana yang terkena
•
Gerakan
Perhatikan pola dan keterbatasan pada gerak sendi :
◦ Keterbatasan di seluruh arah gerak aktif dan pasif menunjukkan sinovitis peradangan
pada sendi yang terkena.
◦ Nyeri pada akhir gerakan dan keterbatasan (seringkali disertai dengan krepitasi)
menunjukkan OA. Krepitasi adalah suara “keretak-keretak” pada gerak pasif yang
biasanya menunjukkan kerusakan sendi lanjut.
◦ Nyeri hanya pada sisi tertentu atau pada gerak spesifik menunjukkan masalah
periartikular atau mekanis lokal. Gerak menahan aktif yang menekan struktur yang
terkena bisa memperberat semua tendinitis, entesitis, dan bursitis.
◦ Penyakit yang sudah lama berlangsung bisa menyebabkan deformitas seperti fleksi
terfiksasi.
Pemeriksaan Penunjang
▪ Pemeriksaan radiologi
Pada penderita RA, biasanya didapati tanda-tanda dekalsifikasi pada sendi yang
terkena. Pemeriksaan foto rontgen dilakukan untuk melihat progesifitas penyakit RA.
Pemeriksaaan ini dapat memonitor progresifitas dan kerusakan sendi jangka panjang.
Foto Rontgen, biasanya ditemukan deformitas tulang. Pada tahap awal penyakit,
biasanya tidak ditemukan kelainan pada radiologi, kecuali pembengkakan jaringan
lunak. Tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, maka dapat
terlihat penyempitan ruang sendi, erosi tulang pada tepi sendi dan pengurangan
densitas tulang, tapi yang tersering adalah sendi metatarsofalang dan biasanya
simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Perubahan ini bersifat irreversible.
Gbr 1. Foto Rontgen rheumatoid arthritis 2
▪ Pemeriksaan Patologik Anatomik 3
Pada penderita reumatoid artritis, terlihat adanya hipertrofi dari vili pada sendi,
penebalan jaringan sinovial, adanya sebukan sel-sel radang mendadak dan menahun,
jaringan fibrosit dan pusat-pusat nekrosis. Semua ini akan menghasilkan
pembengkakan sendi yang amat nyeri, baik dalam keadaan diam maupun saat
digerakkan. Dan pembentukan pannus yang amat cepat akan menerobos tulang
rawan sendi, periosteum, dan seterusnya sehingga pada akhirnya sendi tersebut akan
penuh dengan pannus yang berlapis-lapis.
Bila pannus ini sudah mengisi seluruh rongga sendi, maka pannus ini lambat laun
merupakan anyaman yang bertaut, sehingga akhirnya timbul ankilosis di mana sendi
tidak dapat digerakkan. Proses penerobosan pannus ke dalam tulang akan
berlangsung terus sehingga pada suatu saat tulang jadi rapuh dan hancur. Akibatnya
timbul deformitas, subluksasi, luksasi bahkan destruksi yang hebat. Akibatnya, otototot di sekitar sendi tidak digunakan lagi dan timbul dis-used atrophy yang
menyebabkan penderita akan cacat dan sendi-sendi besarnya juga mengalami
ankilosis.
▪ Pemeriksaan cairan synovial
1. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan
peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang
didominasi oleh sel neutrophil (65%).
Gbr 2. Perbedaan cairan sendi yang jernih pada penderita osteoartritis (kiri) dan cairan sendi
dengan pus pada penderita artritis infeksius akut. 4
Gbr 3. Perbedaan cairan sendi kuning keruh pada penderita rheumatoid artritis (kiri) dan
cairan sendi pada penderita gout. 4
▪ Pemeriksaan darah tepi 4
1. Leukosit : normal atau meningkat. Leukosit menurun bila terdapat splenomegali;
keadaan ini dikenal sebagai Felty’s Syndrome.
2. Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
▪ Pemeriksaan kadar sero-imunologi 3
1. Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita dengan nodul
subkutan. Sisanya dapat dijumpai hasil positif palsu pada pasien lepra,
tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, SLE, endokarditis
bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis. Kadar rendah juga dapat
ditemukan pada orang normal berusia di atas 70 tahun.
2. Anti CCP (cyclic citrulinated peptide antibody) positif telah dapat ditemukan
pada arthritis rheumatoid dini.
Tes ini digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi citrulline di darah. Asam
amino citrulline ditemukan dalam cairan sendi penderita RA. Adanya citrulline
ini akan menyebabkan sistem imu membentuk auto antibodi terhadap citrulline
(anti CCP). Anti CCP ini biasanya dapat ditemukan pada sekitar 50-60%
penderita RA awal sekitar 3-6 bulan setelah timbulnya gejala.
3. C-reaktif protein biasanya meningkat. Peningkatan ini tampak pada 70-80%
penderita. Biasanya meningkat menjadi > 0,7 picograms per mL, dapat digunakan
untuk memantau penyakit saja.
▪ Pemeriksaan laboraturium terdapat: 3
1. Test ANA positif
2. LED meningkat
Laju endap darah (LED) adalah suatu indeks peradangan yang bersifat tidak
spesifik. Pada artritis reumatoid nilainya dapat tinggi (dapat mencapai 100
mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa laju endap darah dapat
dipakai untuk memantau aktifitas penyakit. Artritis reumatoid dapat menyebabkan
anemia normositik normokromik melalui pengaruhnya pada sumsum tulang.
3. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
4. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
5. Trombosit meningkat.
6. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
7. Pada pemeriksaan x-ray, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah
sendi metatarsofalangeal dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering
terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi
juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi.
Diagnosis
•
Diagnosis Kerja 3,5
Rheumatoid arthritis (RA) ini merupakan penyakit autoimun, yaitu reaksi sistem imun
terhadap jaringan tubuh sendiri karena terjadi gangguan pada fungsi normal dari sistem
imun. Hal ini menyebabkan sistem imun menyerang jaringan sehat yang mengarah ke reaksi
jaringan dan kerusakan yang dapat menghasilkan, menyebarkan tanda-tanda dan gejala
sistemik.
Rheumatoid arthritis adalah penyakit peradangan kronis, terutama yang melibatkan sendi
perifer (sendi jari, pergelangan tangan, jari kaki dan lutut) dan sekitarnya otot, tendon,
ligamen dan pembuluh darah. Peradangan ini menyebabkan degenerasi jaringan
penyambung. Jaringan penyambung yang pertama kali mengalami kerusakan adalah
membran sinovial yang melapisi sendi. Pada artritis reumatoid ini, inflamasi tidak berkurang
dan menyebar ke struktur sendi di sekitarnya termasuk kartilago artikular dan kapsul sendi
fibrosa. Maka ligamen dan tendon mengalami inflamasi yang ditandai oleh akumulasi sel
darah putih, aktivasi komplemen, fagositosis ekstensif, dan pembentukan jaringan parut.
Peradangan
sendi
merupakan
ciri
khas
RA
yang
bisa
berakibat
pada
hilangnya bentuk dan fungsi sendi yang mengarah pada kerusakan fungsi sendi
secara permanen. Penderita tidak dapat bebas bergerak karena menderita kaku
dan nyeri pada sendi. Pada kasus berat, RA dapat menyerang organ-organ penting, seperti
mata, paru-paru, dan pembuluh darah. Gejala penyakit ini biasanya bertahap, dimulai nyeri
dan kaku sendi pada jari tangan, dan kemudian sering disertai kemerahan pada sendi.
Selanjutnya terjadi pembengkakan sendi seperti pada tangan, leher, bahu, siku, pinggul, lutu,
dan jari kaki.
•
Diagnosis Differential 3,5,6,7
Terdapar beberapa penyakit yang memiliki beberapa kemiripan gejala. Untuk itu, penyakit
tersebut harus dibedakan untuk kepentingan penatalaksanaan dan pengobatan agar dapat
diatasi dengan tepat dan efektif. Beberapa di antaranya yaitu:
◦ Osteoarthritis
3,5,6
Penyakit degeneratif ini merupakan penyakit sendi yang paling sering dijumpai dan
melibatkan biasanya 85% lebih dari 70 tahun. Pada penderita OA terlihat gambaran
patologis yang menunjukkan suatu degenerasi tulang rawan sendi dan suatu proses
peradangan. Pada penyakit ini ditandai oleh pengeroposan kartilago sendi. Tanpa adanya
kartilago sebagai penyangga, tulang di bawahnya mengalami iritasi yang menyebabkan
degenerasi sendi.
Penyakit ini dibagi atas dua kategori yaitu primer yang terkait dengan umur, dan
sekunder yang terjadi pada orang muda di mana diawali dengan kerusakan tulang rawan
sendi akibat trauma, infeksi atau kelainan kongenital.
Penyakit ini umumnya menyerang tulang belakang dan sendi-sendi besar seperti sendisendi yang menanggung beban tubuh dan dapat terjadi hanya pada satu sendi saja
(monoartritis). Tidak seperti pada kebanyakan artritis, pada kelainan ini perubahan
anatomis yang utama adalah degenerasi tulang rawan sendi, sedangkan artritis pada
umumnya ditandai dengan proses peradangan pada membran sinovial.
Pada penyakit dengan derajat menengah / moderate, terdapat proliferasi kondrosit yang
tampaknya merupakan proses perbaikan. Pada akhirnya semua kondrosit mengalami
degenerasi. Membran sinovial akan menunjukkan sedikit tanda peradangan, namun
berbeda dengan RA, proses peradangan di sini tidak hebat dan tidak terjadi pannus.
Dengan rusaknya tulang rawan, maka akan tampak jaringan tulang yang mendasarinya.
Daerah pada tulang itu akan menjadi tebal karena kompresi atau proses pembentukan
tulang baru yang reaktif. Yang khas di sini adalah terbentuknya spurs formation yang
menonjol dari tulang yang reaktif pada tepi rongga sendi.
Walaupun sudah jelas bahwa degenerasi matriks tulang rawan merupakan patogenesis
utama dari OA, akan tetapi penyebab dari proses ini masih belum jelas. Selain
perubahan degeneratif yang berhubungan dengan proses menua, perlu ditambahkan
bahwa kerusakan jaringan karena proses imunologis dan penyakit yang berkaitan dengan
faktor genetik juga berperan dalam terjadinya degenerasi tulang rawan.
Dalam
perjalanannya,
terdapat
perubahan
kualitas
kondroitin
sulfat
dan
glikosaminoglikan. Sebagai akibat dari perubahan ini, kondrosit yang biasanya tenang,
dipacu untuk berproliferasi, berupaya untuk mengisi kekurangan matriks dengan
meningkatkan sintesis. Karena kondrosit yang terangsang juga mensekresi enzim
penghancur maka terjadi kehilangan proteoglikan yang berkesinambungan.
Gejala biasanya timbul secara perlahan-lahan, mula-mula rasa kaku, kemudian timbul
rasa nyeri yang terutama terasa saat bergerak dan akan berkurang dengan isitirahat.
Maka dari itu fungsi sendi berkurang menyebabkan atrofi otot.
Pada umumnya, penyakit ini timbul secara tersembunyi sehingga kekakuan sendi timbul
secara progresif lambat. Mula-mula terasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri dan
krepitasi pada waktu ada pergerakan sendi juga kadang disertai pembengkakkan sendi.
Keadaan ini menyebabkan fungsi sendi berkurang dan atrofi otot. Akan tetapi tidak ada
tanda-tanda konstitusional dari suatu penyakit inflamasi. Berbeda dengan RA, penderita
OA sering tidak merah dan tidak panas, juga tidak timbul ankilosis. Apabila mengenai
tulang belakang, akan mengakibatkan penekanan pada saraf dan menimbulkan nyeri
radikular. Apabila tonjolan tulang terjadi pada sendi interfalang distal dari jari, maka
secara klinis akan tampak pembengkakan yang bersifat nodular, keras pada perabaan dan
dikenal sebagai nodul Heberden. Kelainan ini lebih sering dijumpai pada pria daripada
wanita dan merupakan pengecualian karena umumnya penyakit ini terjadi pada sendi
besar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh.
◦ Arthritis Gout 3,5,6,7
Gout yang juga disebut pirai ini merupakan kelainan metabolisme purin bawaan yang
ditandai dengan peningkatan kadar asam urat serum dengan akibat penimbunan kristal
asam urat di sendi yang menimbulkan artritis urika akut. Berbeda dengan RA, penyakit
ini lebih sering ditemukan pada pria dengan ratio 20:1. Biasanya menunjukkan gejala
pada usia dewasa muda dengan puncaknya setelah berusia 40 tahun. Penyakit ini sering
menyerang sendi perifer kaki dan tangan, dan tersering mengenai persendian meta tarso
falangeal ibu jari kaki.
Pada anamnesis, biasanya ditemukan keluhan sendi kemerahan disertai nyeri akut
seringkali pada ibu jari kaki. Rasa sakit pada sendi dengan permulaan eksplosif dan khas
menyerang sendi-sendi kecil terutama jari-jari kaki. Rasa sakit biasanya selalu berulangulang dengan sendi yang terkena bengkak, panas, kemerahan dan sakit, sering dijumpai
thopi. Pada penderita seringkali terdapat batu ginjal. Pada pemeriksaan laboratorium,
didapatkan kadar asam urat meningkat, ditemukannya Kristal-kristal asam urat dalam
cairan synovial sendi yang terserang.
Stadium awal berupa serangan monoartikuler yang ditandai dengan nyeri sendi hebat
karena artritis akut. Biasanya terdapat kemerahan, pembengkakan, nyeri tekan lokal dan
sendi tidak dapat digerakkan.
Artritis akut ini disertai demam dan leukositosis serta gambaran gejala selulitis dan
artritis septik akut. Umumnya serangan berakhir dalam beberapa hari, akan tetapi
serangan yang berat dapat menetap untuk beberapa minggu. Setelah beberapa tahun,
50% akan berkembang menjadi pirai bertophus. Tophus adalah nodul kecil yang terdiri
dari kristal asam urat.
Artritis pirai kronik, ditandai dengan adanya pembengkakan dan kekakuan sendi. Pada
stadium lanjut yang kronik ini serangan akut dapat terjadi. Pada foto rontgen, timbunan
kristal asam urat murni memberi gambaran radiolusen sedangkan timbunan kalsium
tampak radioopak. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan hiperurisemia dan pada
50% penderita ditemukan kristal urat pada cairan sinovial atau tophus.
Pada penderita penyakit ini, dapat dipakai obat urikosurik yaitu probenesid dan
sulfinpirazon yang bekerja menghambat reabsorpsi asam urat di tubuli ginjal. Kadar
asam urat dalam duktus kolektivus meninggi sehingga kemungkinan timbul batu ginjal
menjadi lebih tinggi. Hal ini dapat diatasi dengan minum banyak. Kemudian bisa
diberikan allupurinol yang menghambat enzim xantin oksidase sehingga mengurangi
pembentukan asam urat. Kadar asam urat ini perlu diturunkan sampai di bawah 7 mg%.
Dengan menurunnya kadar urat, maka tophi lambat laut akan menghilang.
◦ Arthritis Infeksius 3,5,6
Arthritis infeksius adalah nyeri sendi, kekakuan dan pembengkakan yang disebabkan
oleh infeksi oleh bakteri, virus atau jamur. Infeksi ini dapat memasukkan berbagai cara
bersama: setelah menyebar melalui aliran darah dari bagian lain dari tubuh, seperti paruparu selama pneumonia, melalui luka di dekatnya, atau setelah operasi, suntikan atau
trauma, seperti gigitan serangga.
Artritis ini umumnya sebagai akibat penyebaran kuman secara hematogen dari infeksi
primer di tempat lain. Sumber infeksi kadang mudah diketahui seperti endokarditis
bakterialis, gonore; atau tidak jelas asalnya. Organisme yang paling sering sebagai
penyebabnya adalah gonokokus, stafilokokus, streptokokus, pneumokokus, dan batang
gram negatif. Artritis gonokokal mungkin paling sering ditemukan pada dewasa muda
yang secara seksual aktif. Secara umum, paling sering disebabkan oleh Staphylococcus
aureus.
Tanda khas pada kelainan ini adalah mengenai satu sendi (monoartikular) yang biasanya
mengenai persendian yang besar seperti sendi lutut, panggul, pergelangan kaki, siku,
pergelangan tangan, atau bahu. Membran sinovial menjadi edematus dan kongestif, dan
rongga sendi terisi bahan purulen. Pada kasus berat, sinovitis dapat mengalami ulserasi
dan meluas sampai ke tulang rawan menimbulkan kerusakan pada permukaan sendi
dengan pembentukan jaringan parut dan kadang disertai perkapuran. Gejala klinis sesuai
dengan infeksi akut yaitu kemerahan pembengkakan, perlunakan dan nyeri, sering
disertai gejala konstitusional.
Artritis tuberkulosis paling sering timbul pada tulang belakang dan memberikan
gambaran osteomielitis tuberkulosis (penyakit Pott), dengan penyebaran ke dalam diskus
intervertebralis. Seperti osteomielitis tuberkulosis, artritis tuberkulosis juga bersifat
destruktif, yang berjalan lambat dan menyebabkan pengikisan pada permukaan sendi
serta merusak tulang. Diagnosis dini sangat penting untuk mencegah kerusakan yang
permanen.
◦ Sistemik Lupus Erimatosus (SLE) 3,5,6
Sama seperti RA, SLE adalah gangguan autoimun sistemik. Penyakit ini ditandai oleh
adanya antibodi antinuklear. Manifestasinya bisa ditemukan pada berbagai organ
sehingga gejala dan tandanya sangat banyak. Presentasi kliniknya termasuk ruam malar,
atralgia, alopesia, perikarditis, gagal ginjal, defisit neurologis, atau bahkan gangguan
psikiatrik, serta fotosensitif lupus eritematosus sistemik (SLE) ruam biasanya terjadi
pada wajah atau ekstremitas, yang daerah terkena sinar matahari.
Pada SLE, terdapat gejala non spesifik termasuk nyeri sendi, penurunan berat badan dan
limfadenopati. Meskipun penyebab spesifik dari SLE tidak diketahui, beberapa faktor
yang berhubungan dengan perkembangan penyakit, termasuk, ras, hormonal, dan
lingkungan faktor genetik. gangguan kekebalan tubuh, baik bawaan dan diperoleh,
terjadi pada SLE.
SLE biasanya dapat dibedakan jika ada lesi kulit terpajan pada area terang, rambut
rontok, lesi mukosa hidung dan mulut, adanya erosi sendi pada arthritis jangka panjang,
cairan sendi yang seringkali sampai < 2000 leukosit / μL terutama mononuklear sel,
antibodi terhadap DNA double-stranded, penyakit ginjal, dan serum komplemen yang
rendah.
Berbeda dengan RA, deformitas dalam SLE biasanya direduksi karena kurangnya erosi
dan kerusakan pada tulang atau tulang rawan. Pada penderita SLE, pemeriksaan fisik
dilakukan dengan melihat ada tidaknya: ruam malar yang ditandai oleh ruam erimatosa
dan jembatan hidung (disebut ruam kupu-kupu), demam, anemia, limfadenopati, ulkus
mulut, bengkak sendi (efusi dan nyeri tekan), takipnea (pertimbangan adanya hipertensi
pulmonal, emboli paru, gagal ginjal disertai kelebihan cairan, efusi pleura, dan fibrosis
paru), TD:periksa adanya hipertensi, gesekan perikard/pleural, edema pergelangan kaki,
neuropati. Selain itu ditemukan pula defisit neurologis, termasuk defisit fokal dan
gangguan kognitif; gangguan psikiatrik, khususnya psikosis dan urin: proteinuria dipstik,
hematuria, dan silinder
•
Etiologi 3,5,6,10
Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun yang terjadi pada individu rentan setelah
respon imun terhadap agen pemicu. Agen pemicunya antara lain bakteri, mikoplasma, atau
virus yang menginfeksi sendi. Biasanya respon antibodi awal terhadap mikroorganisme
diperantarai oleh IgG. Walaupun respon ini berhasil menghancurkan mikroorganisme,
individu yang mengalami RA biasanya mulai membentuk antibodi lain terhadap antibodi
IgG awal. Antibodi yang ditujukan ke komponen tubuh sendiri ini disebut reumatoid factor
(RF). RF menetap di kapsul sendi sehingga menyebabkan inflamasi kronik dan kerusakan
jaringan.
Dari penelitian muntakhir, diketahui pathogenesis Artritis reumatoid dapat terjadi akibat
rantai peristiwa imunologis yang terdapat dalam genetik. Terdapat kaitan dengan penanda
genetik seperti HLA-DR4 (Human Leukocyte Antigens) dan HLA-DR5 pada orang kulit
putih. Namun pada orang amerika berkulit hitam, jepang, dan Indian Chippewa, hanya
ditemukan kaitannya dengan HLA-DR4.
Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi pada wanita
yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal
sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena
pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana
yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang
merupakan penyebab penyakit ini.
•
Faktor Risiko 3,5,8,12
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya AR, faktor usia adalah yang terkuat. Prevalensi
dan beratnya AR semakin meningkat dengan bertambahnya umur. AR hampir tak pernah
pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.
2. Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena AR lutut dan sendi, dan lelaki lebih sering terkena AR paha,
pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan di bawah 45 tahun frekuensi AR kurang
lebih sama pada laki dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi AR lebih banyak pada
wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis AR.
3. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya AR. Sebagai contoh, pada ibu dari seorang
wanita dengan AR pada sendi-sendi inter falang distal terdapat dua kali lebih sering AR
pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali
lebih sering dari pada ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa AR.
4. Suku
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada AR nampaknya terdapat perbedaan diantara
masing-masing suku bangsa, misalnya AR paha lebih jarang diantara orang-orang kulit
hitam dan usia dari pada kaukasia. AR lebih sering dijumpai pada orang – orang Amerika
asli dari pada orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup
maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
5. Obesitas (Kegemukan)
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya
AR baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan
AR pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan AR sendi lain (tangan atau
sternoklavikula).
6. Aktifitas/mobilitas yang berlebihan
Aktifitas penderita dengan usia yang sangat lanjut sangatlah membutuhkan perhatian yang
lebih, karena ketika penderita dengan kondisi tubuh yang tidak memungkinkan lagi untuk
banyak bergerak, akan memberatkan kondisi penderita yang menurun terlebih lagi sistem
imun yang sangat buruk. Sehingga penderita dengan sistem imunitas tubuh yang menurun,
sangatlah
dibutuhkan
perhatian
lebih
untuk
mengurangi
/memperhatikan
tipe
aktifitas/mobilitas yang berlebih. Hal ini dikarenakan kekuatan sistem muskuloskeletal
penderita yang tidak lagi seperti usianya beberapa tahun yang lalu, masih dapat beraktifitas
maksimal.
7. Lingkungan
Mereka yang terdiagnosis atritis reumatoid sangatlah diperlukan adanya perhatian lebih
mengenai keadaan lingkungan yang sangat mendukung. Ketika lingkungan sekitarnya yang
tidak mendukung, maka kemungkinan besar klien akan merasakan gejala penyakit ini.
Banyak diantaranya ketika keadaan suhu lingkungan sekitar penderita yang cukup dingin,
maka penderita akan merasa ngilu, kekakuan sendi pada area-area yang biasa terpapar, sulit
untuk mobilisasi, dan bahkan kelumpuhan.
•
Patofisiologi 3,5,6,10,12
Arthritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang menyebabkan degenerasi
jaringan penyambung. Jaringan penyambung yang biasanya mengalami kerusakan adalah
membran sinovial yang melapisi persendian. Inflamasi akan menyebar ke struktur sekitar
sendi, termasuk kartilago artikular dan kapsula sendi fibrosa. Akhirnya, ligamen dan tendon
mengalami inflamasi. Inflamasi ini ditandai oleh akumulasi sel darah putih, aktivasi
komplemen, fagositosis ekstensif, dan pembentukan jaringan parut.
Arthritis rematoid ini adalah penyakit autoimun yang terjadi pada individu rentan setelah
respon imun terhadap agen pemicu yang tidak diketahui. Agen pemicunya bisa adalah
bakteri, mikoplasma, atau virus yang menginfeksi sendi secara antigenik. Biasanya respons
antibodi awal terhadap mikroorganisme diperantarai oleh IgG. Walaupun respons ini
berhasil menghancurkan mikroorganisme, individu yang mengalami penyakit ini mulai
membentuk antibodi lain terhadap antibodi IgG awal. Antibodi yang ditujukan ke
komponen tubuh sendiri ini disebut sebagai faktor rematoid (RF). RF akan menetap di
kapsul sendi sehingga menyebabkan inflamasi kronis dan kerusakan jaringan.
CD4 , T sel, fagosit mononuklear, fibroblas, osteoklas, dan neutrofil memainkan peran
selular utama dalam patofisiologi RA, sedangkan limfosit B memproduksi autoantibodi
(yaitu, arthritis faktor [RF]). Produksi sitokin abnormal banyak, kemokin, dan mediator
inflamasi lain (misalnya, tumor nekrosis faktor alfa [TNF-alpha], interleukin (IL) -1, IL-6,
mengubah beta faktor pertumbuhan, IL-8, faktor pertumbuhan fibroblast, trombosit yang
diturunkan dari faktor pertumbuhan) telah ditunjukkan pada pasien dengan RA.
Pada artritis reumatoid, reaksi autoimun tersebut terutama terjadi pada jaringan synovial.
Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan
memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran synovial.
Pada inflamasi kronis, membran sinovial mengalami hipertrofi dan menebal sehingga
menyumbat aliran darah dan lebih lanjut menstimulasi nekrosis sel dan respons inflamasi.
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi synovial disertai edema, kongesti vascular
eksudat fibrin dan inflamasi selular. Peradangan yang berkelanjutan menyebabkan synovial
menjadi menebal terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada persendian ini
granulasi membentuk pannus atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke
tulang subchondral. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan
pada nutrisi kartilago artikuler. Kartilago menjadi nekrosis. Panus akan meghancurkan
tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang, akibatnya menghilangkan permukaan sendi
yang akan mengalami perubahan generative dengan menghilangnya elastisitas otot dan
kekuatan kontraksi otot.
Gbr 4. Pannus, pembengkakkan dan nodul reumatoid.
Tingkat erosi dari kartilago persendian menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Pannus
ini dapat menyebar ke seluruh sendi sehingga menyebabkan inflamasi dan pembentukan
jaringan parut lebih lanjut. Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi di antara
permukaan sendi , karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis) sehingga sendi
tidak dapat digerakkan terutama pada sendi tangan dna kaki. Kerusakan kartilago dan tulang
menyebabkan tendon dan ligament menjadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau
dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang subcondral bisa menyebabkan osteoporosis
setempat. Lamanya rheumatoid arthritisberbeda pada setiap orang ditandai dengan masa
adanya serangan dan tidak adanya serangan.
Sementara orang ada yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang
lagi. Yang lain terutama yang mempunyai factor rematoid, gangguan akan menjadi kronis
yang progresif. Pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai kerusakan
sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus.
Pasien dengan penyakit ringan memiliki kurang dari enam sendi yang terlibat, tidak ada
erosi tulang pada x-ray dan tidak ada kegiatan RA luar sendi. Pasien dengan penyakit
moderat 6-20 sendi yang terlibat dan mungkin telah penyempitan ruang sendi atau erosi
pada x-rays. Parah RA pasien memiliki lebih dari 20 sendi yang terlibat, anemia, kerusakan
sendi cepat pada x-ray dan aktivitas RA luar sendi.
•
Manifestasi Klinik 3,5,6,10
Adanya beberapa manifestasi klinis yang lazim ditemukan pada penderita Artritis
reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan
karena penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala - gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan
demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang hebat,mati rasa, dan kesemutan.
2. Poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang
sekitarnya. Kerusakan ini terutama pada sendi perifer, termasuk sendi - sendi di tangan dan
kaki yang umumnya bersifat simetris,namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi
interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat generalisata tetapi
terutama menyerang sendi - sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada
osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu berulang
dari satu jam.
4. Artritis erosive, merupakan ciri khas Artritis reumatoid pada gambaran radiologik.
Peradangan sendi yang kronik melibatkan erosi di tepi tulang dan dapat dilihat pada
radiogram.
5. Deformitas
Kerusakan dari struktur - struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit. Dapat
terjadi pergeseran urnal atau deviasi jari, subluksasi sendi meta karpo falangenal, deformitas
boutonniere, dan leher angsa merupakan beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai
pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul
sekunder dari subluksasi matatersal. Sendi - sendi yang sangat besar juga dapat terserang
dan akan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan
gerakan ekstensi.
6. Nodul - nodul reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga
orang dewasa penderita Artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini
adalah bursa olekranon (sendi siku) atau disepanjang permukaan ekstensor dari lengan,
walaupun demikian nodul - nodul ini dapat juga timbul pada tempat - tempat lainnya.
Adanya nodul - nodul ini biasanya merupakan suatu petunjuk penyakit yang aktif dan lebih
barat.
7. Manifestasi ekstraartikuler, artritis reumatoid juga dapat menyerang juga dapat
menyerang organ - organ lain di luar sendi seperti :
Kulit
Nodul reumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah kulit terutama
pada lokasi yang banyak menerima tekanan seperti olekranon, permukaan ekstensor lengan
dan tendon Achilles. Vaskulitis seringkali bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis
pada kulir dan nekrosis kuku. Jika vaskulitis menyebabkan iskemia pada daerah yang cukup
luas, kelainan ini dapat menyebabkan terbentuknya gangren atau ulkus terutama pada
ekstremitas bawah.
Mata
Kelainan yang sering dijumpai adalah kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan
manifestasi sindrom Sjogren. Pada AR umumnya dapat dijumpai beberapa episkleritis yang
umumnya sangat ringan dan akan sembuh secara spontan. Walaupun demikian, pada AR
dapat pula dijumpai gejala skleritis yang secara histopatologis menyerupai nodul reumatoid
dan dapat menyebabkan terjadinya erosi sklera sampai pada lapisan koroid serta
menimbulkan gejala skleromalasia perforaans yang dapat menyebabkan kebutaan.
Sistem Respiratorik
Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada AR. Gejalanya berupa
nyeri pada tenggorokan, nyeri menelan atau disfonia yang umumnya semakin berat pada
pagi hari. Paru merupakan organ yang sering terlibat AR, umumnya hanya ringan dan dapat
diketahui dari hasil autospi berupa pneumonitis interstisial. Akan tetapi jika terus berlanjut
maka dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru yang luas.
Sistem Kardiovaskular
Pada beberapa pasien dapat dijumpai gejala perikarditis konstriktif yang berat. Lesi
inflamatif yang menyerupai nodul reumatoid dpaat dijumpai pada miokardium dan katup
jantung. Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomen ombolisasi, gangguan
konduksi, aortitis, dan kardiomiopati.
Sistem Gastrointestinal
Seringkali dijumpai komplikasi berupa gastritis dan ulkus peptik yang merupakan
komplikasi utama penggunaan NSAID atau DMARD yang merupakan faktor penyebab
mordibitas dan mortalitas utama pada AR.
Ginjal
Pada AR jarang sekali ditemukan kelainan glomerular. Jika pada pasien AR dijumpai
proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering karena efek samping pengobatan saperti
garam emas dan d-penisilamin atau terjadi sekunder akibat amikoidosis. Walaupun kelainan
ginjal interstisial dapat dijumpai pada sindrom Sjogren, umumnya kelainan tersebut lebih
banyak berhubungan dengan penggunaan NSAID. Sementara penggunaan NSAID yang
tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan nekrosis papilar ginjal.1
Sistem Syaraf
Patogenesis komplikasi neurologis pada AR umumnya berhubungan dengan miopati akibat
instabilitas vertebra, servikal, neuropati jepitan atau neuropati iskemik akibat vaskulitis.
Sistem hematologis
Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit normositiknormokromik (atau hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar besi serum yang rendah
serta kapasitas pengikatan besi yang normal atau rendah merupakan gambaran umum yang
sering dijumpai pada AR. Anemia akibat penyakit kronik ini harus dapat dibedakan dari
anemia defisiensi besi yang juga dapat dijumpai pada AR akibat penggunaan NSAID yang
menyebabkan erosi mukosa lambung. Pada pasien AR yang berat dengan HLA-DR4 positif
sering dijumpai sindrom Felty yang merupakan gabungan dari gejala AR, splenomegali,
leukopenia dan ulkus pada tungkai. Sindrom felty pada umumnya juga sering disertai
dengan limfadenopati dan trombositopenia. Selain sindrom felty, trombositopenia juga dapat
timbul sebagai komplikasi akibat penekanan sumsum tulang pada penggunaan obat
imunosupresif atau berhubungan dengan proses autoimun pada penggunaan garam emas, dpenisilamin atau sulfasalazin.
•
Komplikasi 3,5,6,9
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan merupakan komplikasi yang serius pada RA.
Hal ini terjadi karena penutupan epifisis dini yang sering terjadi pada tulang dagu,
metakarpal dan metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat pula terjadi, yang tersering
adalah ankilosis, luksasio, dan fraktur. Komplikasi-komplikasi ini terjadi tergantung berat,
lama penyakit dan akibat pengobatan dengan steroid. Komplikasi yang lain adalah
vaskulitis, ensefalitis. Amiloidosis sekunder dapat terjadi walaupun jarang dan dapat fatal
karena gagal ginjal.
Rheumatoid arthritis adalah bukan hanya penyakit kerusakan sendi. Hal ini dapat
melibatkan hampir semua organ. Masalah yang mungkin terjadi meliputi:
• Nodulus reumatoid ekstrasinovial dapat terbentuk pada katup jantung atau pada paru,
mata atau limpa. Fungsi pernapasan dan jantung dapat terganggu.
• anemia karena kegagalan sumsum tulang untuk menghasilkan cukup sel-sel darah
merah baru
• kerusakan pada jaringan paru (paru artritis)
• cedera pada tulang belakang saat tulang leher menjadi tidak stabil sebagai akibat dari
RA.
• Reumatoid vaskulitis (radang pembuluh darah) yang dapat menyebabkan bisul dan
infeksi kulit, pendarahan tukak lambung, dan masalah saraf yang menyebabkan
nyeri, mati rasa, atau kesemutan. Vaskulitas juga dapat mempengaruhi otak, saraf,
dan jantung, yang dapat menyebabkan stroke, serangan jantung, atau gagal jantung.
• Pembengkakan dan peradangan pada lapisan luar jantung atau perikarditis dan dari
otot jantung (miokarditis). Kedua kondisi ini dapat menyebabkan gagal jantung
kongestif.
• Sindrom Sjogren yang merupakan gangguan autoimun di mana kelenjar yang
memproduksi air mata dan ludah yang hancur. Kondisi ini dapat mempengaruhi
berbagai bagian tubuh, termasuk ginjal dan paru-paru.
•
Penatalaksanaan 3,5,7,10,12
Tujuan utama dari program pengobatan
pada reumatoid artritis adalah untuk
menghilangkan nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan
maksimal dari penderita, serta mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi
pada sendi. Selain itu, dengan adanya program pengobatan ini dapat mengusahakan agar
pasien dapat tetap bekerja dan hidup secara biasa baik di rumah maupun di tempat kerja,
terutama mengatasi kerperluan-keperluan dirinya sehari-hari. Penatalaksanaan yang sengaja
dirancang untuk mencapai tujuan itu meliputi pendidikan, istirahat, latihan fisik dan
termoterapi, gizi, serta obat – obatan.
Pengobatan harus diberikan secara paripurna, karena penyakit sulit sembuh. Oleh karena itu,
pengobatan dapat dimulai secara lebih dini. Penderita harus dijelaskan mengenai
penyakitnya dan diberikan dukungan psikologis. Nyeri dikurangi atau bahkan dihilangkan,
reaksi inflamasi harus ditekan, fungsi sendi dipertahankan, dan deformitas dicegah dengan
obat antiinflamasi nonsteroid, alat penopang ortopedis, dan latihan terbimbing.
Pada keadaan akut kadang dibutuhkan pemberian steroid atau imunosupresan.
Sedangkan, pada keadaan kronik sinovektomi mungkin berguna bila tidak ada destruksi
sendi yang luas. Bila terdapat destruksi sendi atau deformitas dapat dianjurkan dan
dilakukan tindakan artrodesis atau artroplastik. Sebaiknya pada revalidasi disediakan
bermacam alat bantu untuk menunjang kehidupan sehari - hari dirumah maupun
ditempat karja.
a. pengobatan non medika mentosa
•
Langkah pertama dari program penatalaksanaan artritis reumatoid adalah
memberikan pendidikan kesehatan yang cukup tentang penyakit kepada klien,
keluarganya, dan siapa saja yang berhubungan dengan klien. Pendidikan kesehatan
yang diberikan meliputi pengertian tentang patofisiologi penyakit, penyebab dan
prognosis penyakit, semua komponen program penatalaksanaan termasuk obat yang
kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit, dan metode- metode
yang efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan.
•
Istirahat adalah penting karena Artritis reumatoid biasanya disertai rasa lelah yang
hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat timbul setiap hari, tetapi ada masa - masa
di mana pasien marasa keadaannya lebih baik atau lebih berat. Kekakuan dan rasa
tidak nyaman dapat meningkat apabila beristirahat. Hal ini memungkinkan pasien
dapat mudah terbangun dari tidurnya pada malam hari karena nyeri.
•
Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien
AR dengan cara:
· Mengurangi rasa nyeri
· Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
· Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
· Mencegah terjadinya deformitas
· Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
· Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan
sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti
pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik.
Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini
merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.
•
Fisioterapi / latihan
Disamping itu latihan - latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan
fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang
sakit, dan sebaiknya dilakukan sedikitnya dua kali sehari. Obat-obatan penghilang
nyeri mungkin perlu diberikan sebelum latihan. Latihan ini dilakukan sebagai
pencegahan terhadap cacat yang lebih lanjut dan bila sudah terjadi cacat, dicoba
dilakukan rehabilitasi bila masih memungkinkan.
•
Di samping bentuk latihan, sering pula diperlukan alat bantu. Oleh sebab itu, pada
pengobatan fisioterapi tercakup pengertian tentang rehabilitasi termasuk:
• pemakaian alat bidai, tongkat, tongkat penyangga, walking machine, kursi
roda, sepatu dan alat ortotik lainnya
• mekanoterapi yaitu alat mekanik untuk latihan
• pemanasan baik hidroterapi maupun elektroterapi
• occupational therapy
• Untuk menilai kemajuan hasil pengobatan dapat dipakai parameter:
• tentang lamanya morning stiffness
• berapa banyaknya sendi yang nyeri bila berjalan atau digerakkan
• kekuatan menggenggam yang dinilai dengan sphygnomanometer/tensi meter
• waktu yang diperlukan untuk berjalan 10-15 meter
b. Pengobatan medika mentosa
Beberapa contoh obat yang dapat diberikan antara lain:
1. Analgesik (penghilang rasa sakit). Ini tidak mengurangi peradangan namun dapat
membantu dengan kontrol nyeri. Contohnya:
• Acetaminophen dengan kodein (seperti Tylenol dengan kodein).
• Acetaminophen dengan xanax (seperti Vicodin).
• Tramadol.
• Propoxyphene (seperti Darvon).
2. NSAIDs
Obat anti-infalamasi nonsteroid (NSAID) dapat mengurangi gejala nyeri dan
mengurangi proses peradangan. Obat ini bekerja dengan menghambat enzim
siklooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin dengan cara menghambat
pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim lisosomal dan
enzim lainnya).
Akan tetapi, obat ini tidak memperlambat kemajuan RA. Maka dari itu, penderita RA
sedang sampai parah sering membutuhkan obat tambahan untuk mencegah kerusakan
sendi lebih lanjut. Yang termasuk dalam golongan ini adalah ibuprofen dan natrium
naproxen. Golongan ini mempunyai risiko efek samping yang tinggi bila di konsumsi
dalam jangka waktu yang lama.
Semua NSAID secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas NSAID yang
umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis terutama jika
NSAID digunakan bersama obat obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok atau dalam
keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek
samping gastrointestinal akibat NSAID. Pada penderita yang sensitif dapat digunakan
preparat NSAID yang berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau
non-acidic. Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan NSAID antara
lain adalah reaksi hiper-sensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta pe-nekanan
sistem hematopoetik.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid mempunyai antiinflamasi dan imunosupresi. Golongan ini bekerja
dengan antigen limfosit sel T, menghambat prostaglandin dan sintesa leukotrien.
Golongan kortikosteroid seperti prednison dan metil prednisolon dapat mengurangi
peradangan, nyeri dan memperlambat kerusakan sendi. Dalam jangka pendek
kortikosteroid memberikan hasil yang sangat baik, namun bila di konsumsi dalam
jangka panjang efektifitasnya berkurang dan memberikan efek samping yang serius.
Oleh karena itu, kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan RA dengan komplikasi
berat dan mengancam jiwa karena obat ini mempunyai efek samping yang sangat berat.
Obat ini bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum
DMARD bekerja, kemudian dihentikan secara bertahap terutama pada pasien dengan
simptom berat. Penggunaan kortikosteroid ini dapat diberikan secara suntikan
intraartikular dengan infeksi disingkarkan terlebih dahulu.
4. Obat remitif (DMARD)
Selain obat-obatan penghilang nyeri dan radang, pasien juga harus sesegera
mungkin
perjalanan
mendapat
penyakit
pengobatan
awal
konvensional
yang
(disease
progresif
modifying
dengan
obat
antirheumatic
perubah
drugs
(DMARD)). DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi akibat arthrotis reumatoid.
Obat ini diberikan untuk pengobatan jangka panjang. Oleh karena itu diberikan pada
stadium awal untuk memperlambat perjalanan penyakit dan melindungi sendi dan
jaringan lunak disekitarnya dari kerusakan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah
klorokuin, metotreksat salazopirin, dan garam emas. Obat ini harus diberikan pada
semua pasien RA, kecuali yang mempunyai kontra indikasi.
First line pengobatan ini dapat menggunakan metotrexat, hidroxy klorokuin,
sulfasalazine, dan leflunomid. Obat lain yang digunakan antara lain azatioprin,
penisilamin, garam emas, siklosporin. Apabila terapi tunggal tidak efektif mengobatinya,
maka dapat menggunakan kombinasi dua atau lebih DMARD seperti kombinasi
metotrexate dengan siklosporin atau metotrexate dikombinasikan dengan sulfasalazin
dan hidroxy klorokuin.
Jenis-jenis yang digunakan adalah:
a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun
efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran
klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping
bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan,
dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500
mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg.
Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai
dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3
bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang
lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam
dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar
250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping
antara
lain
ruam
kulit
urtikaria
atau
mobiliformis,
stomatitis,
dan
glomerulonefritis.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan
lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan
intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg,
seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian
diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan
dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika
diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan
remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria,
trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin
yang diberikan secara oral dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang
dijumpai, namun efektivitas kurang dan pada awal sering ditemukan diare yang
dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.
Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek
dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila
dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis
jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan
siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian.
5. Biological agent. 11
Ada berbagai jenis agen biologik:
• modulator sel darah putih termasuk: abatacept (Orencia) dan rituximab
(Rituxan)
• Tumor necrosis factor (TNF) inhibitor meliputi: adalimumab (Humira),
etanercept (Enbrel), infliximab (Remicade), golimumab (Simponi), dan
certolizumab (Cimzia)
• Interleukin-6 (IL-6) inhibitor: tocilizumab (Actemra)
Agen biologis bisa sangat membantu dalam mengobati rheumatoid arthritis. Namun,
orang yang memakai obat ini harus diawasi sangat erat karena faktor risiko yang
serius: infeksi dari bakteri, virus, dan jamur, leukemia.
Operasi
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang
cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien AR
umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektomi (penghapusan lapisan sendi atau
sinovinum), artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
Pada titik tertentu, penggantian sendi total dibutuhkan. Dalam kasus ekstrim, total lutut,
penggantian pinggul, penggantian pergelangan kaki, penggantian bahu, dan lain-lain dapat
dilakukan.
Proses pembedahan lain yang mungkin dilakukan antara lain arthrodesis (fusi gabungan)
dapat membawa stabilitas dan menghilangkan rasa sakit, tetapi hanya dengan harga
mobilitas sendi menurun. Synovectomy (pengangkatan destruktif, berkembang biak
sinovium, biasanya di pergelangan tangan, jari, dan lutut) dapat menghentikan atau
menunda perjalanan penyakit.
•
Pencegahan
Rheumatoid arthritis tidak memiliki pencegahan diketahui. Namun, seringkali mungkin
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada sendi dengan pengobatan dini yang tepat.
• Olah raga secara rutin. Semua jenis olah raga dapat dilakukan sejauh nyeri atau
pembengkakan tidak bertambah.
• Kompres panas atau dingin dapat membantu meredakan nyeri. Kompres panas dapat
meredakan rasa kaku sedangkan kompres dingin menyebabkan daerah yang sakit
menjadi mati rasa. Mandi air panas juga dapat membantu melemaskan otot-otot dan
meredakan rasa nyeri.
• Pertahankan berat badan normal. Berat badan yang berlebihan memberikan tekanan
yang lebih besar pada persendian sehingga meningkatkan risiko nyeri lutut, panggul,
dan punggung.
• Beritahu pasien tentang obat yang diperlukan dan cara penggunaannya: nama obat,
dosis, frekuensi penggunaan, dll
• Beritahu pasien tentang kemungkinan efek samping dari preparat artritis
• Prognosis 5,10
Tidak adanya RF tidak selalu meramalkan prognosis yang baik. Hasil dapat terganggu ketika
diagnosis dan pengobatan tertunda. Penanda laboratorium lain prognosis yang buruk
meliputi bukti radiologis awal cedera tulang, anemia persisten dari penyakit kronis,
peningkatan kadar komponen komplemen, dan adanya antibodi anti-CCP.
RA yang tetap terus-menerus aktif selama lebih dari satu tahun kemungkinan akan
menyebabkan deformitas sendi dan kecacatan. Periode kegiatan berlangsung hanya
beberapa minggu atau beberapa bulan diikuti oleh remisi spontan meramalkan prognosis
yang lebih baik
Perjalanan penyakit dan hasil pengobatan rhematoid arthritis pada setiap pasien tidak dapat
diprediksi. Terdapat beberapa faktor yang menjadikan prognosis buruk pada pasien antara
lain:
◦ Poliarthritis generalisa di mana jumlah sendi yang terkena lebih dari 20.
◦ LED dan CRP yang tinggi meskipun sudah menjalani terapi.
◦ Manifestasi ekstraartikular, misalnya nodul
◦ Faktor rhematoid positif
◦ Ditemukannya erosi pada radiografi polos dalam kurun waktu 2 tahun sejak onset.
◦ Status HLA-DR4.
Spektrum beratnya penyakit ini berkisar dari ringan atau subklinis sampai bentuk
agresif atau destruktif yang berkaitan dengan angka kematian yang tinggi.
Prognosis sangat ditentukan dari tipe onset penyakitnya (Tabel 1).
Tipe Onset
Poliartritis
Subtipe
RF+
Klinis
Wanita
Prognosis
Buruk
Usia lebih tua
Tangan/pergelangan
Erosi sendi
Nodul
Non remisi
ANA+
Wanita
Baik
Usia muda
Oligoartritis
Seronegatif
ANA+
Wanita
Tidak tentu
Sangat baik
Usia muda
RF+
Uveitis
Kurang baik
Poliartritis
Buruk
Erosi
Non Remisi
HLA-B27+
Laki-laki
Baik
Seronegatif
-
Baik
Sekitar 70-90% penderita ARJ sembuh tanpa cacat, 10% menderita cacat sampai dewasa, sebagaian
diantaranya akan berkembang menjadi bentuk dewasa disertai kecacatan.
•
Epidemiologi 3,5,10,12
Prevalensi penyakit ini dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, di
mana umumnya terjadi pada usia pertengahan. Insiden biasanya meningkat dengan
bertambahnya usia, terutama pada wanita. Kecenderungan insiden yang terjadi pada wanita
dan wanita subur diperkirakan karena adanya gangguan dalam keseimbangan hormonal
(estrogen) tubuh, namun hingga kini belum dapat dipastikan apakah faktor hormonal
memang merupakan penyebab penyakit ini. Penyakit ini biasanya pertama kali muncul pada
usia 25 - 50 tahun, puncaknya adalah antara usia 40 hingga 60 tahun.
Penutup
Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi nonbakterial yang bersifat sistemik, progresif,
cenderung kronis yang menyerang beberapa sistem organ, dan paling sering ditemukan di sendi.
Penyebab Artritis reumatoid masih belum diketahui secara pasti walaupun banyak hal mengenai
patologis penyakit ini telah terungkap.
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit autoimun sistemik menahun yang proses patologi
utamanya terjadi di cairan sinovial. Penderita artritis reumatoid seringkali datang dengan keluhan
artritis yang nyata dan tanda-tanda peradangan sistemik. Biasanya gejala timbul perlahan-lahan
seperti lelah, demam, hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan, nyeri, dan kaku sendi.
Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit artritis reumatoid ini antara lain
jenis kelamin, keturunan, lingkungan, dan infeksi.
Penyakit ini bersifat kronis dan sering kambuh, maka penderita akan mengalami penurunan
produktivitas pekerjaan karena gejala dan keluhan yang timbul menyebabkan gangguan aktivitas
fisik, psikologis, dan kualitas hidup menderita. Prognosis untuk kehidupan penderita tidak
membahayakan, akan tetapi kesembuhan penyakit sukar tercapai. Untuk itu, pengobatan perlu
diberikan dengan tujuan untuk menghasilkan dan mempertahankan remisi atau sedapat mungkin
berusaha menekan aktivitas penyakit tersebut. Tujuan utama dari program terapi adalah
meringankan rasa nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah dan/atau
memeperbaiki deformitas.
Meskipun penderita artritis reumatoid jarang yang sampai menimbulkan kematian, namun apabila
tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala deformitas/cacat yang menetap. Perjalanan
penyakit AR sangat bervariasi,bergantung pada ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu
lama. Sekitar 50-75% pasien AR akan mengalami remisi dalam 2 tahun. Selebihnya akan
mengalami prognosis yang lebih buruk. Penyebab kematian pada AR umumnya adalah infeksi,
penyakit jantung, gagal pernafasan, gagal ginjal dan penyakit saluran cerna.
Untuk menentukan kemajuan pengobatan di pakai parameter: lamanya morning stiffness,
banyaknya sendi yang nyeri bila digerakkan/ berjalan, waktu yang diperlukan untuk berjalan 10-15
meter, peningkatan LED, jumlah obat-obatan yang digunakan.
Daftar Pustaka
1. Jonathan G. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Erlangga; 2007. hlm.
196-7.
2. Dani R. Merokok dapat meningkatkan resiko reumatoid artritis. 4 Juni 2009. diunduh dari :
http://bio-fir.info/merokok-dapat-meningkatkan-resiko-rheumatoid-arthritis/
3. Junadi P, Soemasto AS, dan Amelz H. Kapita selekta kedokteran. Ed 2. Jakarta: Media
aesculapius; 1982. hlm 143-56.
4. Cell count and differential count for synovial fluid analysis. 8 Desember 2010. Diunduh
dari: http://meded.ucsd.edu/isp/1994/im-quiz/amono.htm 29 Maret 2011.
5. Ilmu penyakit dalam
6. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. Edisi 7. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2007.hlm.464-6.
7. Sabiston. Buku ajar ilmu bedah. Ed. 1. Jakarta: EGC; 1994.hlm 1234-5.
8. Wiley J dan Blackwell. ABC of rheumatology. Ed 4. Jakarta: EGC;2010. hlm. 71-8.
9. Medlineplus medical encyclopedia. Rheumatoid arthritis. 2 Juni 2010. Diunduh dari:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000431.htm 27 Maret 2011.
10. J. adam rindfleisch, daniel muller. Rheumatoid arthritis. 7 februari 2010. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ . 27 Maret 2011.
11. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2005.hlm. 374-9, 384-6.
12. Smith HR. The Medscape Journal of Medicine. Rheumatoid arthritis. September 2010.
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/331715-overview. 27 Maret 2011.
Download