BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Artritis reumatoid adalah salah satunya penyakit sendi yang sering terdengar. Penyakit ini bukan merupakan penyakit rematik biasa. Rematik atau Osteoartritis umumnya diderita orang usia lanjut dan diakibatkan oleh ausnya persendian, sementara artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dan disebabkan peradangan sendi (Anna, 2012). Gejala umum yang sering dikeluhkan oleh pasien yaitu kekakuan sendi pada pagi hari. Kekakuan ini dapat bertahan selama lebih dari satu jam. Penyakit ini bersifat sistemik, sehingga dapat mengakibatkan berbagai macam manifestasi ekstraartikular, termasuk kelelahan, nodul subkutan, keterlibatan pada paru-paru, perikarditis, dan lainnya (Kasper et al., 2015). Seperti penyakit autoimun lainnya, artritis reumatoid umumnya lebih banyak diderita oleh wanita dibandingkan laki-laki dengan rasio 2-3:1. Terdapat bukti bahwa kejadian artritis reumatoid telah mengalami penurunan dalam beberapa dekade terakhir, sedangkan prevalensinya tetap sama dikarenakan individu dengan artritis reumatoid dapat bertahan hidup lebih lama. Prevalensi kejadian penyakit ini bervariasi tergantung letak geografis baik secara global dan antar kelompokkelompok etnik tertentu dalam suatu negara (Kasper et al., 2015). Prevalensi penyakit rematik di Indonesia menurut hasil penelitian Zeng QY et al. mencapai 23,6% sampai 31,3%. Penyakit artritis reumatoid di Indonesia memiliki prevalensi 1 2 hanya 0,1% hingga 0,3%, sedangkan di negara-negara Barat sekitar 3% (Nainggolan, 2009). Menurut The National Health and Medical Research Council (2009), dengan diagnosis dan pengelolaan artritis reumatoid sedini mungkin dapat memberi kesempatan untuk mencegah progresivitas penyakit ini. Tujuan utama terapi artritis reumatoid adalah untuk menginduksi remisi lengkap dari penyakit ini, meskipun hal ini cukup sulit dicapai. Tujuan lain yaitu mengontrol aktivitas penyakit dan nyeri pada sendi, menjaga kemampuan sendi, memperlambat perubahan sendi yang bersifat destruktif, dan menunda kecacatan (Dipiro et al., 2014). Pasien yang didiagnosis artritis reumatoid memulai terapi dengan DMARD (Disease-modifying antirheumatic drugs) seperti metotreksat, sulfasalazine, leflunomid, dan hidroksikloroquin. DMARD tidak hanya mengurangi gejala tetapi juga memperlambat progresivitas penyakit. Seringnya dokter meresepkan DMARD bersama dengan NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory drugs), dan/atau dengan kortikosteroid dosis rendah untuk mengurangi pembengkakan, nyeri, serta demam (American College of Rheumatology, 2012). NSAID mulanya dipandang sebagai inti dari semua terapi artritis reumatoid, namun saat ini dipertimbangkan sebagai terapi tambahan untuk manajemen gejala yang tidak terkontrol. Meskipun hasil percobaan klinis NSAID tidak benar-benar ekuivalen dengan efikasinya, namun berdasarkan pengalaman beberapa individu lebih berespon dengan penggunaan NSAID tertentu. Penggunaan NSAID perlu dibatasi karena adanya kemungkinan efek samping obat (Kasper et al., 2015). 3 Pemilihan terapi yang tepat menjadi salah satu hal yang penting dalam pengobatan. Kesesuaian dalam pengobatan merupakan kunci dalam keberhasilan terapi. Masalah ketidaktepatan terapi masih sering terjadi saat ini. WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat (Kemenkes RI, 2011a). DMARD menjadi pilihan pertama dalam terapi artritis reumatoid dan digunakan selama tiga bulan pertama terapi. Penggunaan DMARD sejak awal dapat memberikan hasil yang lebih baik dan menurunkan angka mortalitas. Penggunaan DMARD membutuhkan waktu lebih lama dalam perbaikan gejala dibandingkan dengan NSAID. Namun NSAID tidak berpengaruh terhadap progresivitas penyakit (Dipiro et al., 2014). Pemilihan NSAID harus didasarkan pada kebutuhan spesifik pasien dan penggunaan obat lain secara bersamaan (The Royal Australian College of General Practitioner, 2009). Umumnya terapi penyakit artritis reumatoid merupakan terapi jangka panjang, karena sifanya yang kronis. Terapi jangka panjang kerap menimbulkan persoalan terutama pada pemilihan terapi yang sesuai serta dapat menimbulkan risiko efek samping. Seperti metotreksat, sulfasalazine, dan obat-obat golongan NSAID yang dapat menyebabkan ganngguan gastrointestinal, seperti mual, muntah, anoreksia, dan diare (Dipiro et al., 2014). Dari penjabaran tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai evaluasi kesesuaian terapi dan efek samping penggunaan DMARD dan NSAID pada pasien artritis reumatoid. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan 4 pertimbangan dalam pemilihan terapi artritis reumatoid yang tepat dan pencegahan efek yang tidak diinginkan, sehingga dapat diperoleh outcome terapi yang sesuai. Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang memiliki pelayanan khusus reumatologi di Poliklinik Penyakit Dalam dan menjadi rujukan bagi pasien artritis reumatoid. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pola penggunaan DMARD dan NSAID pada pasien artritis reumatoid di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? 2. Bagaimana kesesuaian dan luaran terapi penggunaan DMARD dan NSAID pada pasien artritis reumatoid di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dibandingkan dengan tatalaksana terapi artritis reumatoid yang ditetapkan oleh Perhimpunan Reumatologi Indonesia? 3. Bagaimana kemungkinan terjadinya efek samping pada penggunaan DMARD dan NSAID pada pasien artritis reumatoid di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola penggunaan DMARD dan NSAID pada pasien artritis reumatoid di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Mengetahui kesesuaian dan luaran terapi penggunaan DMARD dan NSAID pada pasien artritis reumatoid di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito 5 Yogyakarta dibandingkan dengan tatalaksana terapi artritis reumatoid yang ditetapkan oleh Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 3. Mengetahui kemungkinan terjadinya efek samping pada penggunaan DMARD dan NSAID pada pasien artritis reumatoid di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Farmasis Dapat memberikan gambaran mengenai kesesuaian terapi, luaran terapi dan efek samping dalam pengobatan pada pasien artritis reumatoid terutama untuk penggunaan obat DMARD dan NSAID, sehingga dapat memotivasi farmasis untuk meningkatkan perannya dalam pelayanan kesehatan. 2. Instalasi Rumah Sakit dan Profesi Kesehatan lainnya Sebagai sumber informasi bagi rumah sakit mengenai kesesuaian terapi, luaran terapi, dan efek samping penggunaan DMARD dan NSAID dalam pengobatan pada pasien artritis reumatoid, sehingga dapat digunakan sebagai masukan dalam menyusun strategi tatalaksana terapi artritis reumatoid di rumah sakit, selain itu sebagai motivasi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi pasien artritis reumatoid. 3. Peneliti Meningkatkan pengetahuan dan memberikan pengalaman penelitian tentang pelayanan kesehatan khususnya pada penyakit artritis reumatoid serta sebagai pembanding, pendukung, dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya. 6 E. Tinjauan Pustaka 1. Artritis Reumatoid a. Definisi Kata artritis memiliki arti inflamasi pada sendi (“arthr” berarti sendi dan “itis” berarti inflamasi). Inflamasi dalam istilah2 medis menggambarkan tentang rasa sakit, kekakuan, kemerahan, dan pembengkakan. Artritis reumatoid adalah tipe artritis inflamasi dan penyakit autoimun, dimana sistem imun menjadi bingung dan menyerang jaringan tubuh. Pada artritis reumatoid, target dari sistem imun adalah jaringan yang melapisi sendi. Hal ini menyebabkan pembengkakan, peradangan, dan kerusakan sendi (The Artritis Society, 2011). Artritis reumatoid adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan peradangan sendi simetris dan dapat melibatkan sistem organ lain atau manifestasi ekstraartikular, seperti nodul reumatoid, vaskulitis, radang mata, disfungsi neurologis, penyakit cardiopulmonary, limfadenopati, dan splenomegali. Meskipun penyakit ini termasuk penyakit kronis, beberapa pasien akan memasuki masa remisi secara spontan (Dipiro et al., 2014). b. Etiologi Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui, walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya campuran faktor lingkungan dan genetik juga ikut bertanggung jawab, namun keduanya tidak cukup untuk menunjukkan ekspresi keseluruhan dari penyakit ini (Freinstein, 2005). Diperkirakaan artritis reumatoid merupakan menifestasi dari suatu infeksi. Faktor Risiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita artritis reumatoid, yaitu: 7 1) Faktor Genetik Kajian atas keluarga mengisyaratkan adanya predisposisi genetik. Sekitar 10% pasien artritis reumatoid memiliki seorang anggota keluarga tingkat pertama yang sakit serupa. Peran pengaruh genetik dipastikan oleh pembuktian adanya asosiasi dengan produk gen MHC kelas II HLA-DR4. Asosiasi dengan HLA-DR4 telah terbukti pada banyak populasi, termasuk ras kulit putih Amerika Utara dan Eropa. Namun diperkirakan gen lain diluar kompleks HLA juga berperan (Harrison, 1995). 2) Infeksi Adanya kemungkinan artritis reumatoid merupakan manifestasi respon terhadap suatu agen infeksi. Sejumlah agen penyebab telah diperkirakan, yaitu Mycoplasma, virus Epstein-Barr, sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubela, tetapi bukti yang meyakinkan apakah agen tersebut atau infeksi lain yang menyebabkan artritis reumatoid belum ada. Proses bagaimana suatu agen infeksi menimbulkan peradangan kronik artritis juga masih dipertentangkan (Harrison, 1995). 3) Jenis Kelamin Artritis reumatoid merupakan penyakit autoimun yang predominan pada wanita. Rasio penderita wanita dan laki-laki yaitu 2-3:1. Adanya peran estrogen telah dieksplorasi dengan berbagai metode. Estrogen memicu adanya autoantibodi yang berperan pada sistem imun (Freinstein, 2005). 8 4) Lingkungan Faktor lingkungan juga berperan dalam etiologi penyakit ini. Hal ini ditekankan pada kajian epidemiologi di Afrika yang mengisyaratkan bahwa cuaca dan urbanisasi berdampak besar terhadap insidensi dan keparahan artritis reumatoid dalam kelompok yang memiliki latar belakang genetik serupa (Harisson, 1995). Merokok dan penyakit paru dapat meningkatkan faktor risiko artritis reumatoid (Dipiro et al., 2014) c. Patofisiologi Artritis reumatoid merupakan akibat disregulasi kompnen humoral dan dimediasi sel sistem imun. Kebanyakan pasien artritis reumatoid menghasilkan antibodi yang disebut faktor reumatoid (RF). Pasien dengan RF seropositif cenderung memiliki perjalanan penyakit yang lebih agresif dari pasien dengan seronegatif. Imunoglobulin mengaktivasi sistem komplemen, yang melipat gandakan respon imun dengan meningkatkan kemotaksis, fagositosis, dan pelepasan limfokin oleh sel mononuklear. Antigen dikenali oleh protein major histocompatibility complex (MHC) pada permukaan limfosit, yang berakibat pada aktivitas sel T dan B. Sel T yang teraktivasi menghasilkan sitokin yang menstimulasi aktivitas lebih lanjut proses inflamasi dan menarik sel-sel ke daerah inflamasi. Makrofag terstimulasi melepaskan prostaglandin dan sitotoksin. Sel B yang teraktivasi menghasilkan sel plasma yang membentuk antibodi. Kombinasi dengan komplemen mengakibatkan akumulasi leukosit polimorfonuklear yang melepaskan sitotoksin, radikal bebas oksigen, radikal hidroksil dan menyebabkan kerusakan pada sinovium dan tulang. 9 Substansi vasoaktif (hitasmin, kinin, prostaglandin) dilepaskan pada daerah inflamasi, meningkatkan aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah, sehingga menyebabkan edema, rasa hangat, eritema, rasa sakit. Ini membuat granulosit lebih mudah untuk keluar dari pembuluh darah menuju daerah inflamasi. Inflamasi atau peradangan kronis pada lapisan jaringan sinovial kapsul sendi menghasilkan proliferasi dari jaringan (pannus). Pannus menyerang kartilago dan permukaan tulang, menghasilkan erosi tulang dan kartilago, sehingga menyebabkan destruksi atau kerusakan sendi. Faktor yang memicu proses inflamasi tersebut tidak diketahui (Dipiro et al., 2014). d. Diagnosa Diagnosis mudah ditegakkan pada orang yang memperlihatkan penyakit khas. Diagnosis artritis reumatoid sebaiknya dilakukan pada tahap sedini mungkin. Menurut European League Against Rheumatism, pada tiap pasien yang berada pada tahap awal artritis, memiliki faktor prediksi persisten dan penyakit erosif yang harus diukur, yaitu: 1) Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) LED dan CRP dapat digunakan untuk mengindikasikan proses inflamasi namun memiliki spesifitas yang rendah. Marker ini biasanya mengalami kenaikan pada artritis reumatoid tetapi mungkin juga normal. Tes ini dapat berguna untuk memonitor aktivitas penyakit dan respon dari terapi (The National Health and Medical Research Council, 2009). 10 2) Faktor Reumatoid (RF) Tes ini tidak konklusif dan dapat mengindikasikan penyakit inflamasi kronis yang lain (positif palsu). Pasien artritis reumatoid 60-70% memiliki RF positif. RF ketika dikombinasi dengan faktor lain (terutama anti-CCP) dapat mengindikasikan tingkat keparahan penyakit ini (The National Health and Medical Research Council, 2009). 3) Anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide) Tes ini relatif baru dan sangat berguna untuk mendiagnosis artritis reumatoid secara dini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tes ini memiliki sensitivitas yang mirip dengan tes RF, akan tetapi spesifisitasnya jauh lebih tinggi dan merupakan prediktor yang kuat terhadap perkembangan penyakit yang erosif (The National Health and Medical Research Council, 2009). 4) Sinar X Tes dengan sinar X pada tangan dan kaki berguna untuk mengidentifikasi erosi, namun erosi tidak selalu muncul jika durasi penyakit kurang dari tiga bulan. Tes ini dapat mengetahui progresivitas penyakit (The National Health and Medical Research Council, 2009). 5) ANA (Antinuclear Antibodi) Tes ini berguna untuk membedakan antara artritis reumatoid dan lupus. Pada beberapa pasien artritis reumatoid dengan penyakit yang parah memiliki nilai positif pada tes ini (The National Health and Medical Research Council, 2009). 11 6) Cairan Sinovial Cairan sinovial normal bersifat jernih, berwarna kuning muda dengan hitung sel darah putih <200/mm3. Pada artritis reumatoid cairan ini kehilangan viskositasnya dan hitung sel darah putih meningkat mencapai 15.00020.000/mm3, sehingga cairan menjadi tidak jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuannya biasanya tidak kuat dan mudah pecah (Prince dan Wilson, 1994). 7) Normocytic normochromic anemia Artritis reumatoid dapat menyebabkan anemia normositik normokromik melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia ini tidak berespon terhadap pengobatan anemia yang biasa. Seringkali juga terdapat anemia kekurangan besi sebagai akibat pengobatan penyakit ini. Anemia semacam ini dapat berespon terhadap pemberian besi (Prince dan Wilson, 1994). 8) MRI MRI dapat mendeteksi adanya erosi lebih dini jika dibandingkan dengan XRay (Shiel, 2011). 9) USG USG dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya cairan abnormal di jaringan lunak sekitar sendi (Shiel, 2011). 10) Scan tulang Tes ini dapat mendeteksi adanya inflamasi pada tulang (Shiel, 2011). 12 11) Densitometri Tes ini dapat mendeteksi adanya perubahan kepadatan tulang yang mengindikasikan terjadinya osteoporosis. Osetoporosis terjadi lebih sering pada pasien artritis reumatoid (Shiel, 2011). e. Prognosis Salah satu perjalanan klinis artritis reumatoid adalah eksaserbasi dan masa remisi. Beberapa pasien menunjukkan progresi yang nampak seperti penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya, sedangkan pasien lain mungkin menunjukkan progresi yang berbeda. Prognosis yang buruk dapat dilihat dari hasil tes, seperti adanya cedera tulang pada tes radiologi awal, adanya anemia persisten yang kronis, naiknya kadar komponen C1q pada komplemen, adanya antibodi anti-CCP. Pasien dengan RF positif juga memiliki prognosis yang buruk. Namun tidak adanya RF tidak selalu mengindikasikan prognosis yang baik. Atritis reumatoid yang aktif terus-menerus selama lebih dari satu tahun cenderung menyebabkan deformitas sendi serta kecacatan. Periode aktivitas yang hanya berlangsung pada beberapa minggu atau beberapa bulan dan diikuti remisi spontan menandakan prognosis yang baik (Temprano, 2011). f. Komplikasi Atritis reumatoid bukanlah penyakit yang fatal, tetapi komplikasinya dapat mempersingkat usia hidup pasien dan dapat mempengaruhi organ yang lain (Simon, 2013). Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien atritis reumatoid, yaitu: 13 1) Nodul Reumatoid Dialami sekitar 20% pasien atritis reumatoid. Nodul ini paling sering terlihat pada permukaan ekstensor pada siku, lengan, dan tangan, namun dapat juga terlihat pada kaki dan titik-titik tekan lainnya. Nodul ini dapat berkembang di paru-paru atau lapisan pleura. Nodul ini bersifat asimptomatik dan tidak membutuhkan intervensi khusus (Dipiro et al., 2014). 2) Vaskulitis Vaskulitis melibatkan kelainan pembuluh darah kecil yang dapat mempengaruhi banyak organ didalam tubuh. Manifestasi vaskulitis termasuk sariawan, gangguan saraf, perburukan paru-paru yang cepat, peradangan arteri koroner, dan peradangan arteri yang memasok darah ke usus (Simon, 2013). 3) Komplikasi pada Paru-paru Atritis reumatoid dapat mempengaruhi pleura di paru-paru, dan dapat menyebabkan efusi pleura. Selain itu dapat menyebabkan fibrosis paru. Merokok dapat meningkatkan risiko komplikasi ini (Dipiro et al., 2014). 4) Manifestasi pada Mata Manifestasi ini melibatkan keratoconjuctivis sicca dan peradangan pada sklera, episklera, dan kornea. Atropi pada saluran lakrimal dapat membuat berkurangnya pembentukan air mata, menyebabkan mata menjadi kering dan gatal, hal ini disebut keratoconjuctivis sicca. Kejadian ini berhubungan dengan Sjögren’s syndrome. Pada Sjögren’s syndrome kelenjar ludah dapat 14 terganggu dan menyebabkan mulut kering atau disebut xerostomia (Dipiro et al., 2014). 5) Komplikasi pada Jantung Atritis reumatoid berasosiasi dengan peningkatan risiko mortalitas kardiovaskuler, terutama pada penderita dengan peradangan yang lebih aktif. Pericarditis dapat terjadi dan menyebabkan akumulasi cairan. Abnormalitas konduksi jantung dan inkompetensi katup aorta yang disebabkan oleh dilatasi dapat terjadi. Miokarditis merupakan komplikasi yang jarang terjadi (Dipiro et al., 2014). 6) Sindrom Felty Atritis reumatoid yang berasosiasi dengan splenomegali dan neutropenia disebut juga Felty’s syndrome. Pasien dengan sindrom ini dan leukopenia parah lebih rentan terhadap infeksi, dimana berkurangnya granulosit tampaknya dimediasi oleh sistem imun (Dipiro et al., 2014). 7) Komplikasi Lain Limfadenopati dapat terjadi pada pasien artritis reumatoid. Ginjal jarang terlibat, namun dapat dikaitkan dengan pengobatan artritis reumatoid, seperti penggunaan NSAID, garam emas, dan penicillamine. Amiloidosis merupakan komplikasi yang jarang terjadi (Dipiro et al., 2014). g. Terapi 1) Tujuan Terapi Tujuan utama terapi artritis reumatoid yaitu (Prince dan Wilson, 1994): a) Menghilangkan nyeri dan perdangan 15 b) Mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal pasien c) Mencegah dan/atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi 2) Strategi Terapi Terapi atritis reumatoid memiliki dua komponen utama, yaitu (Shiel, 2011): a) Mereduksi inflamasi dan mecegah kerusakan serta kecacatan sendi. b) Menghilangkan gejala, terutama rasa nyeri. 3) Tatalaksana Terapi Artritis reumatoid tidak dapat disembuhkan, tetapi terapi dapat membantu untuk mengurangi progresivitas penyakit dan mengontrol gejala. Terapi artritis reumatoid dapat mencakup perubahan gaya hidup, obat-obatan, terapi suportif, dan pembedahan. a) Terapi Non-Farmakologi (1) Istirahat Istirahat dapat menghilangkan stress pada sendi yang meradang, mencegah kerusakan sendi, dan meringankan rasa nyeri. Namun, terlalu banyak beristirahat dapat menyebabkan penurunan rentang gerakan dan menyebabkan atrofi otot (Dipiro et al., 2014). (2) Latihan-latihan fisik Latihan fisik dapat mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Latihan ini dapat mempertahankan fungsi sendi. Namun latihan yang berlebihan dapat merusak struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah karena adanya penyakit (Prince dan Wilson, 1994). 16 (3) Penurunan Berat Badan Penurunan berat badan membantu untuk meringankan stres sendi yang mengalami peradangan (Dipiro et al., 2014). Selain itu dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler dan mengontrol penyakit (The National Health and Medical Research Council, 2009). (4) Pembedahan Tindakan pembedahan perlu dipertimbangkan pada pasien yang tetap mengalami refrakter terhadap pengobatan, serta pasien yang mengalami keterbatasan gerak akibat kerusakan sendi atau deformitas (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014a). b) Terapi Farmakologis Terapi farmakologis artritis reumatoid bertujuan untuk menghilangkan gejala dan memodifikasi proses penyakit, sehingga progresivitas penyakit dapat diperlambat atau dihentikan (Royal College of Physicians, 2009). (1) Disease Modifiying Antirheumatics Drug (DMARD) DMARD berfungsi untuk memodifikasi proses penyakit dan mencegah atau mengurangi kerusakan sendi (Burns et al., 2008). DMARD dikategorikan menjadi dua macam, yaitu DMARD nonbiologik dan DMARD biologik. DMARD sebaiknya dimulai selama 3 bulan pertama ketika diagnosis ditegakkan. Kombinasi DMARD dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dapat mengurangi gejala. Terapi dengan DMARD sejak dini dapat mengurangi angka 17 mortalitas. DMARD yang paling banyak digunakan adalah Metotreksat, Hidroksiklorokuin, Sulfasalazin, dan Leflunomid (Dipiro et al., 2014). (a) DMARD Nonbiologik Metotreksat Metotreksat saat ini menjadi lini pertama dalam terapi artritis reumatoid. Obat ini menghambat produksi sitokin, biosintesis purin, dan menstimulasi pelepasan adenosin, dimana ketiga hal tersebut mengarah kesifat antiinflamasi. Obat ini memiliki onset yang cepat, hasilnya dapat terlihat setelah 2-3 minggu terapi. Metotreksat dikontraindikasikan pada ibu hamil, ibu menyusui, pasien dengan gangguan hati kronis, immunodefisiensi, leukopenia, trombositopenia, dan pasien dengan gangguan ginjal. Efek samping yang sering terjadi adalah diare, mual, dan muntah (Dipiro et al, 2014). Hidroksiklorokuin Hidroksiklorokuin biasanya digunakan pada artritis reumatoid ringan atau sebagai adjuvan pada kombinasi DMARD untuk penyakit yang lebih progresif. Mekanisme aksi obat ini masih belum diketahui. Onset aksi obat ini dapat mengalami penundaan hingga 6 minggu. Jika selama 6 bulan tidak menunjukkan respon, terapi ini dipertimbangkan 18 mengalami kegagalan. Efek samping jangka pendek yaitu mual, muntah, dan diare (Dipiro et al., 2014). Sulfasalazin Sulfasalazin merupakan suatu prodrug yang diubah menjadi obat oleh bakteri didalam kolon, dimana sulfasalazin dan metabolitnya diekskresikan lewat urin. Efek antireumatik muncul dalam 2 bulan. Penggunaan obat ini dibatasi oleh efek sampingnya, seperti mual, muntah, diare, dan anorexia (Dipiro et al., 2014). DMARD nonbiologik lain Garam emas, azatioprin, D-penisilinamid, siklosporin, dan siklofosfasmid dapat digunakan untuk terapi artritis reumatoid. Namun obat-obat tersebut lebih jarang digunakan karena adanya toksisitas, dan keuntungannya kurang untuk digunakan dalam jangka panjang (Dipiro et al., 2014). (b) DMARD Biologik Agen biologik merupakan molekul protein yang didesain secara genetik untuk (infliximab, memblok etanercept, proinflamasi adalimumab, sitokin TNF-α golimumab, dan certolizumab), IL-1 (anakrina), dan IL-6 (tocilizumab), deplesi sel B perifer (rituximab), atau mengikat CD89/86 pada sel T untuk mencegah kostimulasi yang diperlukan untuk mengaktifkan sel T (abatacept). Obat ini efektif ketika DMARD 19 nonbiologik gagal untuk mencapai respon yang adekuat, namun harganya lebih mahal (Dipiro et al., 2014). (2) Nonsteroidal Antiinflamatory Drugs (NSAID) NSAID atau obat antiinflamasi nonsteroid, pada terapi artritis reumatoid berfungsi untuk mengontrol gejala atau proses peradangan lokal. Obat ini cepat mengatasi gejala, tetapi hanya sedikit berpengaruh terhadap perkembangan penyakit. Karena fungsinya dalam menghambat enzim siklooksigenase, sehingga dapat menghambat pembentukan prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan, maka NSAID memiliki sifat analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik (Harisson,1995). Beberapa NSAID yang sering digunakan dalam terapi artitis reumatoid antara lain: aspirin, meloksikam, dan diklofenak. (a) Aspirin Aspirin secara irreversibel menghambat COX platelet sehingga aspirin memiliki durasi efek antiplatelet selama 8-10 hari. Pada jaringan lain, sintesis COX yang baru akan menggantikan enzim yang inaktif dengan durasi aksi kira-kira 6-12 jam. Penggunaan aspirin dosis rendah dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan kejadian kanker kolon yang mungkin disebabkan karena penghambatan efek COX. Efek samping aspirin yang paling sering adalah intoleransi gastrik, ulcer pada gastrik dan duodenal (Wagner, 2007). 20 (b) Diklofenak Merupakan derivat asam fenilasetat, dan merupakan nonselektif inhibitor COX. Diklofenak memiliki waktu paruh 1,1 jam dengan dosis yang disarankan 50-75 mg untuk empat kali sehari. Kejadian ulcerasi tidak sesering beberapa NSAID lainnya (Wagner, 2007). (c) Meloksikam Merupakan enolkarboksamida yang berkaitan dengan piroxikam dan terbukti lebih menghambat COX-2 dari pada COX-1, khususnya pada dosis rendah yakni 7,5 mg/hari. Meloksikam menyebabkan lebih sedikit gejala dan komplikasi pada saluran cerna (Wagner, 2007). (3) Kortikosteroid Kortikosteroid digunakan pada artritis reumatoid karena sifatnya yang antinflamasi dan imunosupresif. Kortikosteroid sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi, namun dalam dosis rendah dapat digunakan sebagai terapi tambahan ketika DMARD tidak dapat mengontrol penyakit secara adekuat. Namun sebaiknya menghindari penggunaan kortikosteroid yang kronis untuk mencegah terjadinya efek samping. Keterbatasan penggunaan kortikosteroid adalah adanya efek samping, seperti Cushing’s Syndrome, osteoporosis, miopati, glaukoma, hipertensi, gastritis, dana lainnya. Untuk meminimalkan efek yang tidak diinginkan 21 maka digunakan kortikosteroid dengan dosis rendah, dan mebatasi durasi pemakaian (Dipiro et al., 2014). Prognosis buruk? Methotrexate, leflunomid, sulfasalazine, kombinasi DMARD rendah tinggi Aktivitas penyakit Hidroksiklorokui n atau minosiklin Prognosis buruk? Kombinasi DMARD atau TNF inhibitor dengan atau tanpa MTX Methotrexate, leflunomid, sulfasalazine, atau kombinasi DMARD Gambar 1. Algoritma terapi awal artritis reumatoid < 6 bulan (Dipiro et al., 2014) Nonbiologis DMARD rendah Respon buruk Kombinasi DMARD nonbiologis atau anti-TNF Aktivitas Penyakit Prognosis buruk? tinggi Ya Tidak Metotreksat, leflunomide, kombinasi nonbiologis atau anti-TNF DMARD nonbiologis Respon buruk Anti-TNF, rituximab, atau abatacept Anti-TNF atau kombinasi nonbilogik Gambar 2. Algoritma terapi artritis reumatoid > 6 bulan (Dipiro et al., 2014) 4) Monitoring Evaluasi outcome terapi didasarkan pada perbaikan tanda-tanda klinis dan gejala artritis reumatoid. Perbaikan tanda klinis misalnya adalah 22 berkurangnya pembengkakan, panas, dan nyeri saat sendi dipalpasi. Pengurangan gejala misalnya adalah berkurangnya nyeri dan kekakuan pada pagi hari, onset munculnya kelelahan pada sore hari yang lebih lama, dan peningkatan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari. Radiografi dan pemeriksaan laboratorium mungkin diperlukan untuk memantau hasil terapi (Dipiro et al., 2014). 2. Kesesuaian Terapi Menilai kesesuaian terapi dapat dilihat dari indikasi obat, ketepatan pemilihan obat, kontraindikasi obat, penyesuaian dosis obat, risiko interaksi obat, dan lainnya. Ketepatan terapi berhubungan dengan penggunaan obat yang rasional. Menurut WHO (1985), penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat. WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat (Kemenkes RI, 2011a). Tujuan penggunaan obat rasional adalah untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau. Kriteria penggunaan obat yang rasional, yaitu: a. Tepat indikasi – bahwa peresepan obat sesuai dengan pertimbangan medis yang dialami pasien. 23 b. Tepat Obat – obat yang diberikan mempertimbangkan efikasi, keamanan, kenyamanan pasien, serta biaya. c. Tepat dosis – berhubungan dengan cara pemberian atau pemakaian obat dan durasi penggunaan obat. d. Tepat Pasien – bahwa tidak ada kontraindikasi, dan kemungkinan efek samping yang minimal. e. Peracikan yang benar, termasuk informasi yang tepat untuk pasien tentang obat yang diresepkan. f. Kepatuhan pasien. Kepatuhan pasien dapat diukur menggunakan alat pengukur kepatuhan. Salah satu instrumen yang dapat digunakan yaitu kuesioner Modified Morisky Adherence Scale (MMAS-8) yang terdiri dari 8 pertanyaan dengan rentang nilai 0-8. Data laboratorium dapat digunakan bersama dengan informasi status klinik pasien, riwayat pengobatan, pengobatan saat ini dan riwayat alergi obat untuk menilai ketepatan terapi obat (Kemenkes RI, 2011b). 3. Luaran Terapi Luaran terapi artritis reumatoid digunakan untuk mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam penanganan artritis reumatoid. Evaluasi luaran terapi artritis reumatoid dapat dilakukan dengan mengvaluasi ciri-ciri klinis perbaikan meliputi reduksi pembengkakan sendi, pengurangan rasa sakit pada sendi yang aktif, dan penurunan urat sampai ke palpasi sendi. Pengukuran luaran terapi 24 dapat menggunakan Disease Activity Score (DAS/DAS28) dan Health Assessment Questionaire (HAQ) untuk mengukur kualitas hidup penderita artritis reumatoid (Riel dan Gestel, 2000). Selain pengukuran kualitas hidup, luaran terapi juga dapat dievaluasi menggunakan radiograf sendi untuk memperkirakan progresivitas penyakit. Pengamatan laboratorium juga dapat digunakan untuk mengetahui respon terapi. Pengamatan laboratorium juga penting untuk mendeteksi dan mencegah efek samping obat (Sukandar et al., 2008). 4. Efek Samping Efek samping obat merupakan pengaruh obat yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien, dan terjadi pada dosis lazim untuk pencegahan, diagnosis, ataupun pengobatan penyakit. Setiap obat mempunyai kemungkinan menimbulkan efek samping mulai dari derajat yang paling ringan misalnya efek ikutan dari efek terapetik utamanya, sampai derajat yang berat dan serius yang dapat membahayakan kehidupan. Berdasarkan hubungan dengan efek farmakologi, diajukan pembagian menjadi dua tipe efek samping obat, sebagai berikut (Suryawati, 1995): a. Efek samping tipe A Efek samping ini sebenarnya merupakan efek farmakologi tetapi terjadi dalam tingkat yang ekstrim atau berat. Kemungkinan kejadiannya dapat diramalkan berdasarkan efek farmakologi yang lazim dari masing-masing obat. Umunya efek samping tipe ini tergantung dosis (dose dependent), atau 25 lebih tepatnya tergantung pada kadar obat dalm darah. Contoh efek samping tipe A, yaitu hipoglikemia karena obat antidiabetes, hipokalemia karena diuretika. b. Efek samping tipe B Efek samping tipe ini sama sekali tidak berkaitan dengan efek farmakologi maupun meknisme farmakologi yang lazim dari obat. Kemungkinan kejadiannya tidak dapat diramalkan berdasarkan mekanisme farmakologi obat. Umunya efek samping tipe B tidak tergantung dosis dan kejadiannya relatif jarang, kecuali untuk efek samping tertentu seperti reaksi alergi. Derajat efek samping ini umunya berat dan hanya mengenai individu tertentu. Contoh efek samping tipe B, yaitu hipertermia maligna karena obat anestesi tertentu, reaksi imunologi termasuk reaksi anafilaksis Umumnya DMARD memiliki efek samping pada saluran gastrointestinal. Seperti metotreksat, klorokuin, dan sulfasalazin yang memiliki efek samping diare, mual, dan muntah. DMARD juga dapat mengganggu kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan infeksi. Begitu pula dengan NSAID yang juga dapat mengiritasi lambung serta dapat menyebabkan kerusakan ginjal sebagai efek sampingnya (The Clevel and Clinic, 2014). Algoritma Naranjo merupakan instrumen yang paling diterima secara luas untuk mengukur efek samping obat karena kemudahan dalam penggunaannya. Instrumen ini telah diuji validitasnya dan reliabilitasnya. Instrumen ini memiliki 10 pertanyaan dengan 4 kategori skor, yaitu definitely (pasti), probable (lebih mungkin), possible (mungkin), dan doubtful (meragukan) (Naranjo, 1981). 26 5. Rumah Sakit Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan inap, rawat jalan, gawat darurat. Rumah Sakit memiliki fungsi (Depkes RI, 2009): 1) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit; 2) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis; 3) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; 4) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan; RSUP Dr. Sardjito didirikan dengan SK MenKes No.126/Ka/B.VII/74 tanggal 13 Juni 1974 sebagai Rumah Sakit Umum Tipe B Pendidikan yang langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada DepKes RI melalui DirJenYanMed. Tugas utamanya adalah melakukan pelayanan kesehatan masyarakat dan melaksanakan sistem rujukan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan serta dimanfaatkan guna kepentingan pendidikan calon dokter dan dokter ahli Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 27 F. Keterangan Empirik DMARD dan NSAID adalah obat lini petama dalam terapi artritis reumatoid. Kombinasi antireumatoid, terutama kombinasi DMARD efektif menurunkan keparahan penyakit. Penyakit artritis reumatoid membutuhkan terapi dalam jangka waktu yang lama. Adanya kesesuaian terapi dapat memberikan luaran terapi yang baik. Penggunaan DMARD atau NSAID dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah ketidaksesuaian terapi dan efek samping. Hal ini berpengaruh pada luaran terapi. Efek samping yang umumnya muncul karena penggunaan DMARD dan NSAID berupa gangguan pada saluran gastrointestinal, seperti mual, dispepsia, anorexia, dan efek samping lainnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kesesuaian terapi, luaran terapi, dan kemungkinan terjadinya efek samping dari penggunaan DMARD dan NSAID pada pasien artritis reumatoid di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode MaretApril 2016.