Tata Laksana Radiasi pada Kanker Palatum Durum

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tata Laksana Radiasi pada Kanker Palatum Durum
Umi Mangesti Tjiptoningsih
Departemen Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Keganasan pada palatum durum termasuk keganasan rongga mulut yang relatif jarang. Angka ketahanan hidup 5 tahunnya hanya 59%.
Faktor prognostik utamanya adalah keterlibatan kelenjar getah bening. Tata laksana radiasi pada Kanker (Ca) palatum durum meliputi teknik
konvensional, 3D-CRT, IMRT dan brakiterapi. Target radiasi ditentukan tergantung kasus, berdasarkan letak dan ukuran lesi, serta infiltrasi ke
jaringan sekitar. kelenjar getah bening yang terlibat dan atau yang berisiko. Perlu diperhatikan efek samping kerusakan pada organ yang
berisiko, yang berpotensi menurunkan kualitas hidup. Rehabilitasi juga diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita kanker,
dengan menggunakan prostesis obturator.
Kata kunci: Kanker palatum, radiasi, rehabilitasi
ABSTRACT
Malignancy in palatum durum is relatively rare among oral cavity carcinoma. The 5-year overall survival rate is only 59%. The main prognostic
factor is involvement of cervical lymph node. Radiation treatment in palatum cancer include conventional technique, 3D-CRT, IMRT and also
brachytherapy. The target is very individual, depends on the site and also the size of the tumor. Attention should be paid to the side effect of
damaging organ at risk which potentially reduce the quality of life. Rehabilitation is also needed to improve quality of life by using obturator
prosthesis. Umi Mangesti Tjiptoningsih. Management of Radiotherapy in Palatum Durum Cancer.
Key words: Palatum cancer, radiation therapy, rehabilitation
PENDAHULUAN
Rongga mulut terdiri dari bibir, lidah oral,
dasar mulut, trigonum retromolar, alveolar
ridge, mukosa bukal dan palatum durum.
Keganasan rongga mulut mencapai 30% dari
keganasan kepala-leher dan mencapai 3%
dari seluruh keganasan di Amerika Serikat.1
Keganasan rongga mulut memiliki angka
ketahanan hidup 5 tahun hanya 59%, dan
10 tahun 44%. Faktor prognostik utama
keganasan rongga mulut adalah keterlibatan
kelenjar getah bening (KGB). Angkanya akan
menurun tajam apabila penyebaran ke KGB
positif.1
Regio palatum terbagi secara anatomi
menjadi palatum durum (bagian dari
kavum oris) dan palatum molle (bagian dari
orofaring).2 Keganasan di palatum durum
distribusinya hanya kira-kira 7% dari kejadian
keganasan di rongga mulut.3,4 Ada juga yang
mengatakan hanya sekitar 1-5%. Hampir 95%
kasus keganasan di palatum durum bertipe
sel karsinoma sel skuamosa (KSS).1,3,5 Sisanya
dari jenis sel kelenjar ludah minor.1,2
Alamat korespondensi
Jenis histologik non-KSS mencakup kanker
kelenjar ludah minor, sarkoma, melanoma.
Distribusi histologiknya sebagai berikut1,3:
karsinoma sel skuamosa (53%), adenoid cystic
carcinoma (15%), mucoepidermoid carcinoma
(10%), adenokarsinoma (4%), anaplastic
carcinoma (4%), lain-lain (14%).
ETIOLOGI
Di Amerika Serikat kasus ini lebih sering terjadi
pada pria.1,5 Walaupun ada korelasi kuat antara
konsumsi tembakau dan alkohol dengan KSS
rongga mulut dan palatum mole, namun
hubungannya dengan kanker palatum
durum tidak jelas. Kebiasaan mengunyah
betel-nut bersama jeruk limau dan tembakau
seperti yang dilakukan masyarakat di India
meningkatkan risiko kejadian kanker rongga
mulut.1 Angka kejadian pada laki-laki 3 kali
lipat, angka kejadian dan mortalitas jauh
lebih tinggi pada usia tua1. Reverse smoking
atau merokok terbalik merupakan faktor risiko
tinggi untuk kanker palatum durum karena
ujung rokok menyala yang ditempatkan di
dalam mulut akan mempengaruhi mukosa
daerah tersebut.1,2 Hal-hal lain yang dapat
menjadi faktor risiko meliputi ill-fitting dentures,
oral hygiene yang buruk, iritasi mekanik, dan
penggunaan cairan mouthwash, walaupun
belum ada bukti nyata.2-4
ANATOMI
Palatum durum meliputi permukaan dalam
alveolar ridge superior hingga bagian posterior
os palatinum.1 Palatum durum memisahkan
rongga mulut dengan rongga hidung dan
dengan sinus maksila. Mukosa palatum adalah
epitel skuamosa pseudostratified berkeratin.2
Lapisan submukosa terdiri atas kelenjarkelenjar liur minor terutama daerah palatum
durum. Lapisan periosteal yang menutup
palatum durum menjadi barier relatif untuk
penyebaran sel kanker ke os palatinum.
Saraf dan pembuluh darah yang mendarahi
dan menyarafi palatum berasal dari foramina
palatina di medial molar ketiga. Foramina
ini dapat menjadi jalur penyebaran tumor.
Arteri palatina yang berasal dari arteri
maksilaris interna berjalan ke anterior melalui
email: [email protected]
CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014
113
TINJAUAN PUSTAKA
Keterlibatan kelenjar getah bening (KGB)
termasuk hal khusus yang harus diperhatikan
pada KSS dan kanker mukoepidermoid
high grade. Kira-kira 30% pasien sudah
mengalami keterlibatan kelenjar coli pada
saat datang ke dokter. Drainase awal adalah
ke kelenjar submandibular dan KGB upper
deep jugular. Pada tumor yang menyebar
ke posterior, seperti ke palatum mole, KGB
retrofaring mungkin dapat terlibat.2 Lebih dari
separuh pasien datang dengan penyebaran
mencapai palatum mole. Lokasi lain yang
sering terkena penyebaran meliputi tonsil,
trigonum retromolare, prosesus alveolaris
superior dan inferior, palatum durum, dan
lidah. Penyebaran ke foramen sfenopalatinum
menyebabkan hipostasis palatal. Pada lesi
yang meluas ke nasofaring, dapat muncul
gejala efusi telinga tengah. Tumor juga dapat
meluas ke anterosuperior, mencapai fosa
pterigomaksilaris dan fosa infratemporalis.2
Gambar 1 Ilustrasi Anatomi Regional Rongga Mulut1
foramen nasopalatinum ke rongga hidung
menyediakan suplai darah. Jaras sensorik
dan sekretomotorik berasal dari cabang
maksilaris nervus trigeminal dan ganglion
pterigopalatinum, menuju palatum durum
melalui nervus palatinus.2
Secara anatomi palatum mole adalah bagian
orofaring, terdiri atas mukosa di kedua
permukaan. Di antaranya terdapat jaringan
penyambung, serabut otot, aponeurosis,
pembuluh darah, kelenjar limfatik dan kelenjar
liur minor. Secara fungsional, palatum mole
memisahkan orofaring dari nasofaring selama
proses bicara dan menelan.2
Penyebaran Limfatik
Palatum
durum
mempunyai
lapisan
mukoperiosteum sehingga relatif resisten
terhadap invasi tumor. Tumor dapat
mempunyai akses penyebaran ke rongga
hidung melalui fosa insisiva.1 Jalur limfatik
di palatum durum sedikit; terdapat drainase
ke submandibula (KGB tingkat 1), deep
superior jugular (KGB tingkat 2), dan ke KGB
retrofaringeal.1
Risiko penyebaran tumor ke KGB leher
tergantung beberapa hal, yakni lokasi, ukuran
dan jenis sel tumornya.1
Penyebaran limfatik keganasan di palatum
114
durum hanya sekitar 15%; penyebaran ke KGB
kontralateral terutama apabila tumor telah
menginvasi garis tengah. Angka kejadian
metastasis jauh pada keganasan rongga mulut
hanya 15%, berkaitan erat dengan keterlibatan
kgb leher. Pada penderita rekuren kejadian
metastasis jauhnya lebih besar. Distribusi
lokasi metastasis jauh: paru 66%, tulang 22%,
dan 9,5% ke hepar.1
PATOFISIOLOGI
Sebagian
besar
keganasan
palatum
terdiagnosis terlambat; biasanya baru
dikeluhkan setelah tumor menginvasi struktur
tulang.6 Anamnesis terarah dan pemeriksaan
fisik menyeluruh dapat membantu mengetahui
penyebaran
tumor.
Penyebaran
KSS
melampaui palatum durum terjadi pada lebih
dari 70% lesi. Penyebaran ke posterior meliputi
palatum molle mengakibatkan insufisiensi
velofaringeal dan bicara sengau. Palatal
hypesthesia menunjukkan keterlibatan nervus
trigeminus dalam foramen sfenopalatinum
atau penyebaran ke fosa pterigopalatina.2
Trismus, maloklusi dan nyeri merupakan gejala
invasi ke muskulus pterigoideus. Penyebaran
mencapai gingiva memerlukan evaluasi lebih
lanjut. Dental socket menyediakan jalur invasi
ke prosesus alveolaris tulang maksila dan ke
sinus maksilaris. Dasar rongga hidung dapat
terlibat apabila ada penyebaran langsung
yang menembus palatum.2
KLINIS
Rongga mulut adalah regio anatomik yang
dapat dengan mudah diinspeksi dan dipalpasi.
Walaupun demikian, banyak penderita datang
dengan klinis sudah berat karena saat masih
dini tidak terasa nyeri. Keganasan palatum
durum sering tidak nyeri dan gejala utama
adalah berupa iregularitas mukosa atau illfitting dentures. Gejala lain berupa ulkus yang
tidak kunjung sembuh, perdarahan hilang
timbul dan nyeri (Gambar 2).1
Gambar 2 Adenoma pleomorfik yang berasal dari kelenjar
liur minor palatum durum3
TATA LAKSANA
Tindakan operasi, radiasi, kemoterapi ataupun
kombinasi modalitas tergantung ukuran
dan stadium tumor serta faktor lain seperti
toksisitas, status fungsi, penyakit komorbid
dan kenyamanan pasien. Secara umum,
modalitas tunggal seperti operasi saja ataupun
radiasi saja lebih diperuntukkan bagi stadium
dini, T1 atau T21,3,4,5, sedangkan untuk lesi
lanjut, kombinasi modalitas lebih baik. Pada
pasien dengan hasil patologi risiko tinggi,
CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA
• derajat histologi tinggi,
• batas sayatan operasi positif,
• permeasi limfatik,
• invasi vaskular,
• penjalaran perineural,
• kelenjar getah bening leher positif,
• keterlibatan KGB tunggal pada pasien
risiko tinggi atau tumor primer unfavorable,
• keterlibatan lebih dari dua KGB, atau lebih
dari satu KGB leher,
• KGB lebih dari 3 cm (N2-N3),
• ada penyebaran ekstrakapsuler,
• terdapat residu di leher, baik mikroskopik
ataupun klinis.4
Tabel 1 Staging Klinis3
Sementara itu, radiasi radikal diberikan pada
keadaan:
• T2 dan T1 ukuran besar (angka kontrol
lokal dan survival hampir sama namun fungsi
kosmetik diharapkan dapat lebih baik dengan
radiasi),
• pada tumor ukuran besar namun kondisi
klinis tidak mungkin dioperasi atau menolak
operasi,
• tumor yang lanjut dan inoperable.4,5
kemoterapi konkuren dengan radiasi pasca
operasi meningkatkan kontrol. Gambaran
patologi berisiko tinggi antara lain: stadium T
lanjut, klinis KGB positif multipel, penyebaran
ekstrakapsuler, batas sayatan positif dan invasi
perineural.1
Tata Laksana Operasi
Tata laksana operasi merupakan pilihan untuk
lesi di palatum durum karena lokasinya relatif
mudah diakses. Modalitas tindakan operasi
saja dipilih untuk lesi kecil dan stadium
dini tanpa ada batas sayatan positif, invasi
perineural dan atau invasi ke tulang,4 selain itu
berkaitan dengan ukuran dan penyebarannya.
Kontraindikasi tindakan operasi adalah
berdasarkan komorbiditas dan kemampuan
toleransi operasi. Penyakit sistemik dapat
menjadi penyulit anestesi. Tumor yang
menyebar ke intrakranial dikatakan inoperable
terutama apabila sudah ada keterlibatan
parenkim serebri. Terapi radiasi dapat menjadi
pilihan.2
CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014
Tata Laksana Radiasi
Secara umum, tata laksana radiasi dilakukan
pada tiga keadaan: (1) sebagai terapi
primer, (2) sebagai ajuvan pascaoperasi
pada pasien risiko tinggi, (3) sebagai terapi
salvage pada residu tumor pascatindakan
operasi atau pascaradiasi.7 Dua hal yang
menjadi perhatian pada terapi radiasi yaitu
dosis semaksimal mungkin pada jaringan
tumor namun meminimalkan efek samping
pada jaringan sehat. Untuk mencapai
tujuan tersebut, diperlukan pemilihan
teknik penyinaran, pemilihan energi beam,
weighting pada berbagai jenis pilihan
energi, seperti penggunaan wedge dan
tissue kompensator.8
Radiasi pascaoperasi pada keganasan rongga
mulut diindikasikan pada keadaan-keadaan
berikut:
• gambaran klinis tumor primer dengan
stadium T lanjut atau bulky tumor,
• keterlibatan tulang dan persarafan kulit,
1. Teknik Radiasi Konvensional
Teknik konvensional dengan lapangan
opposing lateral sudah sejak lama digunakan
sebagai pilihan teknik radiasi pada keganasan
rongga mulut.1 Sebelum radiasi diperlukan
suatu simulasi. Pada simulasi pasien
diposisikan supine dan diimobilisasi dengan
masker termoplastik,1,7 yaitu suatu masker
yang membentuk konformasi struktur
wajah dan tulang tengkorak. Penggunaan
masker ini bertujuan untuk imobilisasi untuk
meningkatkan presisi pemberian dosis.7
Teknik radiasi untuk tata laksana keganasan
kelenjar liur minor tergantung lokasinya.
Apabila terdapat cabang saraf kranial yang
terinvasi maka jalur persarafannya termasuk
ke dalam target radiasi elektif. Apabila hanya
focal perineural invasion pada persarafan
kecil, apakah basis kranii dimasukkan ke
dalam target radiasi sangat tergantung
dari lokasinya.4 Keganasan palatum durum
biasanya bermanifestasi sebagai tumor
superfisial yang dapat meluas ke periosteum
tulang daerah terdekat seperti sinus paranasal
atau dasar rongga hidung, target radiasi harus
mencakup seluruh tumor bed. Pada beberapa
kasus, teknik opposing lateral lebih disukai.
Pada keadaan lesi terbatas pada satu sisi,
dipikirkan teknik radiasi ipsilateral.1
115
TINJAUAN PUSTAKA
Teknik brakiterapi menggunakan mold dapat
digunakan untuk lesi tumor kecil dengan
ketebalan <1 cm atau lesi superfisial bibir,
palatum durum, gusi bawah dan dasar mulut.7,9
Sumber radioaktif yang digunakan saat ini
adalah iridium (Ir-192). Pelaksanaan brakiterapi
dengan menggunakan mold memerlukan
aplikator khusus yang disesuaikan dengan
bentuk rongga mulut pasien.
Gambar 3 3D RR pasien dgn Ca palatum durum yang memerlukan radiasi pascaoperasi
Tindakan eksisi luas lokal cukup adekuat
untuk mencapai batas sayatan bebas tumor.
Namun pada beberapa kondisi seperti adanya
keterlibatan tulang sekitar dan struktur
jaringan lunak di sekitar tumor, diperlukan
maksilektomi.1
Pemberian radiasi profilaktik regio leher
masih kontroversial karena angka kejadian
metastasis ke KGB. servikal hanya 10-15%.2,9
Aliran limfatik palatum durum sangat sedikit,
namun terdapat drainase ke submandibular
(level I), deep superior jugular (level II),
dan retrofaringeal.2 Walaupun demikian,
pencitraan preoperatif harus dilakukan untuk
mengevaluasi KGB retrofaringeal karena
daerah tersebut sangat sulit dinilai secara
klinis. KGB retrofaringeal menjadi situs awal
penyebaran KGB dari Ca palatum.1
Pada pasien pascaoperasi dengan batas
sayatan bebas tumor, dosis yang diberikan
adalah 60 Gy. Pada area dengan batas sayatan
tidak bebas tumor mikoskopik, diberi dosis 66
Gy. Pada residu tumor pascaoperasi atau pada
terapi hanya radiasi, dosis yang diberikan
sebanyak 70Gy, dengan dosis per fraksinya
sebesar 2 Gy.4,5
2. Teknik 3D-CRT
Pada dekade terakhir, kemajuan teknologi
dapat menurunkan toksisitas pada jaringan
sehat dan meningkatkan kualitas hidup
penderita kanker yang menjalani terapi radiasi.
Pada teknik 3D-CRT penentuan volume
target radiasi berdasarkan CT scan dengan
irisan 3-5 mm (Gambar 3). Gambar dikirim ke
dokter onkologi radiasi sebagai bahan untuk
menentukan volume target, yang terdiri dari
high risk treatment volumes (gross tumor dan
KGB terlibat atau high risk), low risk treatment
volume yang membutuhkan dosis radiasi
lebih kecil (KGB leher kontralateral yang tidak
terlibat), dan juga organ yang berisiko yang
perlu diperhatikan dosis toleransinya (medulla
116
spinalis, kelenjar liur, mata, dll.).7 Setelah itu,
ditentukan dosis semaksimal mungkin pada
volume target dan seminimal mungkin
mengenai struktur jaringan sehat yang sudah
didelineasi. Proses penentuan dosis tersebut
membutuhkan waktu sekitar 1 minggu
sebelum pasien bisa menjalani serangkaian
terapi radiasi.7
3. Teknik IMRT
Teknik IMRT merupakan pilihan terapi terbaru
yang lebih canggih dibandingkan dengan
teknik 3D-CRT. Teknik ini mempergunakan
algoritma inverse planning optimalisasi komputerisasi untuk membentuk target radiasi
dengan berbagai intensitas sinar.10 Kombinasi
lapangan intensitas yang termodulasi
menghasilkan distribusi dosis yang konformal
pada jaringan tumor dan gradien dosis yang
curam pada daerah transisi dengan jaringan
normal sekitarnya.10 Tata laksana kombinasi
tindakan operasi dengan radiasi teknik IMRT
menghasilkan kontrol lokal yang tinggi pada
keganasan rongga mulut dengan stadium
>T1N0. Akan tetapi, kontrol lokal terapi
definitif IMRT saja memberi hasil lebih rendah
dibandingkan dengan IMRT sebagai adjuvan
pascaoperasi.11
Keuntungan teknik IMRT pada jaringan
sehat secara substansial menurunkan
kejadian xerostomia, meminimalkan kejadian
osteoradionekrosis setelah radiasi.11 Dengan
IMRT, terdapat reduksi dosis rata-rata pada
jaringan normal hingga mencapai 25-30%
dibandingkan dengan 3D-CRT.
4. Teknik Brakiterapi
Brakiterapi sejak lama digunakan sebagai
booster pada lesi primer di rongga mulut.1
Brakiterapi bisa diberikan sebagai kelanjutan
radiasi eksterna, atau dapat sebagai terapi
utama terutama pada lesi tumor ukuran
kecil T1/T2 N0 tanpa faktor risiko rekurensi
lokoregional yang bukan kandidat operasi.7
Gambar 4 Lesi tumor intraoral di palatum durum8
Aplikator dibuat individual. Caranya adalah
dengan mencetak daerah target dengan
bahan hidrokoloid untuk membuat impresinya, kemudian dikonstruksi dengan bahan
resin akrilik, ditambah dengan tube plastic
untuk transpor sumber radioaktif ke target
radiasi. Tube berdiameter 5 mm diletakkan
sekitar 1 cm dari tepi dan 1 cm di antaranya
jika diperlukan tube lebih dari 1 buah.8
Tata Laksana Kemoterapi
Kemoterapi pada keganasan rongga mulut
menghasilkan survival yang lebih baik daripada
hanya dengan radiasi saja, walaupun hanya
1-8%1, baik sebagai neoadjuvan, konkuren
atau sebagai adjuvan terapi pascaradiasi.
Pada penderita keganasan rongga mulut
pascaoperasi dengan fakor risiko tinggi, seperti
keterlibatan lebih dari dua KGB, ekstensi
ekstrakapsuler, dan batas sayatan mikroskopik
tidak bebas tumor, kemoradiasi memberikan
keuntungan
meningkatkan
disease-free
survival, bahkan mungkin overall survival.1,7
Sumber lain mengatakan bahwa kemoradiasi
konkuren pada penderita keganasan rongga
mulut pascaoperasi dengan faktor risiko tinggi
seperti tersebut di atas dapat meningkatkan
kontrol lokal dan disease-free survival namun
tidak signifikan meningkatkan overall survival.1
CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA
FAKTOR PROGNOSTIK DAN PREDIKTIF
Faktor prognostik paling signifikan untuk
outcome terapi pada keganasan rongga mulut
adalah keterlibatan KGB servikal. Pada pasien
dengan KGB servikal positif, angka kesintasan
hidup 5 tahun berkurang 50% dibandingkan
dengan jika tidak ada keterlibatan KGB
servikal.1 Prognosis jauh makin buruk pada
pasien dengan keterlibatan KGB multipel atau
adanya ECE (extracapsular extension).1
Beberapa kondisi histopatologik berkaitan
erat dengan prognosis pasien. Ketebalan
dan invasi merupakan faktor risiko metastasis
regional. Invasi perineural berkorelasi dengan
metastasis ke KGB servikal, ekstensi ekstra
kapsuler dan penurunan kesintasan hidup.1
Invasi mikrovaskuler berkaitan dengan
metastasis ke KGB servikal, namun invasi
limfatik tidak signifikan berkorelasi dengan
metastasis ke KGB sevikal.1 Risiko metastasis
jauh sangat berkaitan erat dengan keterlibatan
KGB leher.1 Apabila pada pemeriksaan fisik
terdapat pembesaran KGB leher, sangat
mungkin akan terjadi metastasis jauh pasca
terapi. Lokasi metastasis tersering adalah paru
(66%), tulang (22%), dan hati (9,5%).1
REHABILITASI
Mengingat tata laksana prioritas Ca
palatum adalah dengan tindakan operasi
yang akan menimbulkan defek pada
palatum, diperlukan tindakan rehabilitasi
untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Defek pada maksila menyebabkan
ketidakmampuan berbicara dan menelan
dengan efektif. Obturator dengan atau tanpa
skin graft sering digunakan untuk mengatasi
masalah tersebut. Obturator biasanya terbuat
dari polimer sintesis dan memberikan hasil
separasi yang baik untuk fungsi berbicara
dan menelan yang terganggu akibat defek
pasca operasi. Selain obturator, flap regional,
dan free-tissue transfer dapat sebagai solusi
alternatif. Walaupun demikian, penggunaan
flap atau implan untuk rekonstruksi defek
palatum cukup kontroversial karena
menyulitkan evaluasi klinis terjadinya
rekurensi lokal.
Berbeda dengan penggunaan obturator
yang sangat fleksibel dan mudah dilepas,1
penggunaan prostesis merupakan pilihan
bagus untuk pemulihan fungsional. Prostesis
memberikan
hasil
rekonstruksi
yang
memuaskan dan keberhasilannya berkaitan
dengan perluasan komponen vertikal dan
horizontal reseksi yang dilakukan. Prothese
diindikasikan pada defek seluas kurang dari
seperempat palatum durum, atau kurang dari
sepertiga palatum mole.6
observasi pada pasien dengan risiko rekurensi
lokal. Selain itu juga memberikan restorasi
yang baik dan tidak mahal dalam penampakan
estetik, fonasi dan mastikasi.6 Obturator palatal
membenahi mastikasi, menelan, artikulasi dan
kemampuan berbicara serta kontur midfasial.6
Hal-hal yang menyebabkan seorang pasien
bukan kandidat yang baik untuk penggunaan
obturator adalah pasien dengan trismus,
penurunan daya tangkas tangan, penurunan
fungsi penglihatan, perubahan status mental,
pilihan pasien terutama mereka yang tidak
mau hidup dengan defek.12
RINGKASAN
Alur tata laksana pasien Ca palatum di klinik
meliputi tiga langkah dasar, yaitu (1) tahap
preoperatif untuk mengumpulkan data dan
informasi gnatologi, anatomi, dan fungsi
rongga mulut, (2) tahap intraoperatif atau—
bila tidak memungkinkan—segera setelah
operasi, untuk memasang prostesis temporer,
(3) tahap pascaoperasi lanjut (setelah
12 bulan), saat klinis sudah mengalami
pemulihan lengkap dan tidak ada rekurensi
lokal.6 Pada kasus Ca palatum yang masih
operable, peranan radiasi adalah sebagai
terapi adjuvan; dilakukan setelah operasi.
Pada kasus yang inoperable, radiasi berperan
sebagai terapi kuratif definitif. Apabila ada
faktor risiko sebagai indikasi kemoterapi,
pemberian kemoterapi bersamaan dengan
modalitas radiasi dapat dilakukan.
Gambar 5 Contoh obturator dental6
Penggunaan obturator palatum lebih dipilih
dibandingkan tindakan rekonstruktif karena
memberikan kemudahan follow up dan
Keuntungan rehabilitasi dengan prostesis
obturator berupa keuntungan fungsional,
reliabilitas, kemudahan untuk dibuat, serta
non-invasif.6
DAFTAR PUSTAKA
1.
Manon RR, Myers JN, Skinner HD, Harari PM. Oral cavity cancer. In: Perez and Brady’s principles and practice of radiation oncology. 5th ed. Ch. 41. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins.
A Wolters Kluwer; 2008. p. 891-910.
2.
Sadeghi N. Malignant tumors of the palate [Internet]. 2013 [cited 2013 Aug 13]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/847807-treatment.
3.
Evans PH, Montgomerry PQ, Gullane PJ. Tumours of the oral cavity. In: Principles and practice of head & neck oncology. London: Martin Dunitz. Taylor & Francis Group; 2003. p. 278-325.
4.
Terhaard CHJ. Salivary glands. In: Perez and Brady’s principles and practice of radiation oncology. 5th ed. Ch. 40. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. A Wolters Kluwer; 2008. p. 874-89.
5.
Hansen EK, Yom SS, Chen CP, Schechter N. Cancer of the lip and oral cavity. In: Handbook of evidence-based radiation oncology. 2nd ed. Ch. 8. California-USA: Springer Science, LLC; 2010.
6.
Tirelli G, Rizzo R, Biasotto M, Di Lenarda R, Argenti B, Gatto A, et al. Obturator prostheses following palatal resection: Clinical cases. Acta otorhinolaryngol italic. 2010;30:33-9.
p. 131-44.
7.
Ballonoff A, Chen C, Raben D. Current radiation therapy management issues in oral cavity cancer. Otolaryngol Clin N Am. 2006;39:365-80.
8.
Deshraj J, Pankul J. Radiation carrying appliance in management of early squamous cell carcinoma of palate. Clinical report. Arch Dental Sci. 2010;1(1):56-8.
9.
Hoppe R, Phillips TL, Roach M. Cancer of the oral cavity. In: Leibel and Phillips textbook of radiation oncology. 3rd ed. California. Sec III part 29; 2008.
10. Fang FM, Chien CY, Tsai WL, Chen HC, Hsu HC, Lui CC, et al. Quality of life and survival outcome for patients with nasopharingeal carcinoma receiving three dimensional conformal
radiotherapy vs. intensity-modulated radiotherapy: A longitudinal study. Int J Radiation Oncol Biol Phys. 2008;72(2):356-64.
11. Studer G, Zwahlen RA, Graetz KW, Davis BJ, Glazmann C. IMRT in oral cavity cancer. Radiation Oncol J. 2007;2:16.
12. Watts TL, Rodman R. Tumor of the hard palate and upper alveolar ridge. Grand Round Presentation, The University of Texas Medical Branch (UTMB) Department of Otolaryngology. April
22, 2011.
CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014
117
Download