TINJAUAN PUSTAKA Tata Laksana Radiasi pada Kanker Palatum Durum Umi Mangesti Tjiptoningsih Departemen Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia ABSTRAK Keganasan pada palatum durum termasuk keganasan rongga mulut yang relatif jarang. Angka ketahanan hidup 5 tahunnya hanya 59%. Faktor prognostik utamanya adalah keterlibatan kelenjar getah bening. Tata laksana radiasi pada Kanker (Ca) palatum durum meliputi teknik konvensional, 3D-CRT, IMRT dan brakiterapi. Target radiasi ditentukan tergantung kasus, berdasarkan letak dan ukuran lesi, serta infiltrasi ke jaringan sekitar. kelenjar getah bening yang terlibat dan atau yang berisiko. Perlu diperhatikan efek samping kerusakan pada organ yang berisiko, yang berpotensi menurunkan kualitas hidup. Rehabilitasi juga diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita kanker, dengan menggunakan prostesis obturator. Kata kunci: Kanker palatum, radiasi, rehabilitasi ABSTRACT Malignancy in palatum durum is relatively rare among oral cavity carcinoma. The 5-year overall survival rate is only 59%. The main prognostic factor is involvement of cervical lymph node. Radiation treatment in palatum cancer include conventional technique, 3D-CRT, IMRT and also brachytherapy. The target is very individual, depends on the site and also the size of the tumor. Attention should be paid to the side effect of damaging organ at risk which potentially reduce the quality of life. Rehabilitation is also needed to improve quality of life by using obturator prosthesis. Umi Mangesti Tjiptoningsih. Management of Radiotherapy in Palatum Durum Cancer. Key words: Palatum cancer, radiation therapy, rehabilitation PENDAHULUAN Rongga mulut terdiri dari bibir, lidah oral, dasar mulut, trigonum retromolar, alveolar ridge, mukosa bukal dan palatum durum. Keganasan rongga mulut mencapai 30% dari keganasan kepala-leher dan mencapai 3% dari seluruh keganasan di Amerika Serikat.1 Keganasan rongga mulut memiliki angka ketahanan hidup 5 tahun hanya 59%, dan 10 tahun 44%. Faktor prognostik utama keganasan rongga mulut adalah keterlibatan kelenjar getah bening (KGB). Angkanya akan menurun tajam apabila penyebaran ke KGB positif.1 Regio palatum terbagi secara anatomi menjadi palatum durum (bagian dari kavum oris) dan palatum molle (bagian dari orofaring).2 Keganasan di palatum durum distribusinya hanya kira-kira 7% dari kejadian keganasan di rongga mulut.3,4 Ada juga yang mengatakan hanya sekitar 1-5%. Hampir 95% kasus keganasan di palatum durum bertipe sel karsinoma sel skuamosa (KSS).1,3,5 Sisanya dari jenis sel kelenjar ludah minor.1,2 Alamat korespondensi Jenis histologik non-KSS mencakup kanker kelenjar ludah minor, sarkoma, melanoma. Distribusi histologiknya sebagai berikut1,3: karsinoma sel skuamosa (53%), adenoid cystic carcinoma (15%), mucoepidermoid carcinoma (10%), adenokarsinoma (4%), anaplastic carcinoma (4%), lain-lain (14%). ETIOLOGI Di Amerika Serikat kasus ini lebih sering terjadi pada pria.1,5 Walaupun ada korelasi kuat antara konsumsi tembakau dan alkohol dengan KSS rongga mulut dan palatum mole, namun hubungannya dengan kanker palatum durum tidak jelas. Kebiasaan mengunyah betel-nut bersama jeruk limau dan tembakau seperti yang dilakukan masyarakat di India meningkatkan risiko kejadian kanker rongga mulut.1 Angka kejadian pada laki-laki 3 kali lipat, angka kejadian dan mortalitas jauh lebih tinggi pada usia tua1. Reverse smoking atau merokok terbalik merupakan faktor risiko tinggi untuk kanker palatum durum karena ujung rokok menyala yang ditempatkan di dalam mulut akan mempengaruhi mukosa daerah tersebut.1,2 Hal-hal lain yang dapat menjadi faktor risiko meliputi ill-fitting dentures, oral hygiene yang buruk, iritasi mekanik, dan penggunaan cairan mouthwash, walaupun belum ada bukti nyata.2-4 ANATOMI Palatum durum meliputi permukaan dalam alveolar ridge superior hingga bagian posterior os palatinum.1 Palatum durum memisahkan rongga mulut dengan rongga hidung dan dengan sinus maksila. Mukosa palatum adalah epitel skuamosa pseudostratified berkeratin.2 Lapisan submukosa terdiri atas kelenjarkelenjar liur minor terutama daerah palatum durum. Lapisan periosteal yang menutup palatum durum menjadi barier relatif untuk penyebaran sel kanker ke os palatinum. Saraf dan pembuluh darah yang mendarahi dan menyarafi palatum berasal dari foramina palatina di medial molar ketiga. Foramina ini dapat menjadi jalur penyebaran tumor. Arteri palatina yang berasal dari arteri maksilaris interna berjalan ke anterior melalui email: [email protected] CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014 113 TINJAUAN PUSTAKA Keterlibatan kelenjar getah bening (KGB) termasuk hal khusus yang harus diperhatikan pada KSS dan kanker mukoepidermoid high grade. Kira-kira 30% pasien sudah mengalami keterlibatan kelenjar coli pada saat datang ke dokter. Drainase awal adalah ke kelenjar submandibular dan KGB upper deep jugular. Pada tumor yang menyebar ke posterior, seperti ke palatum mole, KGB retrofaring mungkin dapat terlibat.2 Lebih dari separuh pasien datang dengan penyebaran mencapai palatum mole. Lokasi lain yang sering terkena penyebaran meliputi tonsil, trigonum retromolare, prosesus alveolaris superior dan inferior, palatum durum, dan lidah. Penyebaran ke foramen sfenopalatinum menyebabkan hipostasis palatal. Pada lesi yang meluas ke nasofaring, dapat muncul gejala efusi telinga tengah. Tumor juga dapat meluas ke anterosuperior, mencapai fosa pterigomaksilaris dan fosa infratemporalis.2 Gambar 1 Ilustrasi Anatomi Regional Rongga Mulut1 foramen nasopalatinum ke rongga hidung menyediakan suplai darah. Jaras sensorik dan sekretomotorik berasal dari cabang maksilaris nervus trigeminal dan ganglion pterigopalatinum, menuju palatum durum melalui nervus palatinus.2 Secara anatomi palatum mole adalah bagian orofaring, terdiri atas mukosa di kedua permukaan. Di antaranya terdapat jaringan penyambung, serabut otot, aponeurosis, pembuluh darah, kelenjar limfatik dan kelenjar liur minor. Secara fungsional, palatum mole memisahkan orofaring dari nasofaring selama proses bicara dan menelan.2 Penyebaran Limfatik Palatum durum mempunyai lapisan mukoperiosteum sehingga relatif resisten terhadap invasi tumor. Tumor dapat mempunyai akses penyebaran ke rongga hidung melalui fosa insisiva.1 Jalur limfatik di palatum durum sedikit; terdapat drainase ke submandibula (KGB tingkat 1), deep superior jugular (KGB tingkat 2), dan ke KGB retrofaringeal.1 Risiko penyebaran tumor ke KGB leher tergantung beberapa hal, yakni lokasi, ukuran dan jenis sel tumornya.1 Penyebaran limfatik keganasan di palatum 114 durum hanya sekitar 15%; penyebaran ke KGB kontralateral terutama apabila tumor telah menginvasi garis tengah. Angka kejadian metastasis jauh pada keganasan rongga mulut hanya 15%, berkaitan erat dengan keterlibatan kgb leher. Pada penderita rekuren kejadian metastasis jauhnya lebih besar. Distribusi lokasi metastasis jauh: paru 66%, tulang 22%, dan 9,5% ke hepar.1 PATOFISIOLOGI Sebagian besar keganasan palatum terdiagnosis terlambat; biasanya baru dikeluhkan setelah tumor menginvasi struktur tulang.6 Anamnesis terarah dan pemeriksaan fisik menyeluruh dapat membantu mengetahui penyebaran tumor. Penyebaran KSS melampaui palatum durum terjadi pada lebih dari 70% lesi. Penyebaran ke posterior meliputi palatum molle mengakibatkan insufisiensi velofaringeal dan bicara sengau. Palatal hypesthesia menunjukkan keterlibatan nervus trigeminus dalam foramen sfenopalatinum atau penyebaran ke fosa pterigopalatina.2 Trismus, maloklusi dan nyeri merupakan gejala invasi ke muskulus pterigoideus. Penyebaran mencapai gingiva memerlukan evaluasi lebih lanjut. Dental socket menyediakan jalur invasi ke prosesus alveolaris tulang maksila dan ke sinus maksilaris. Dasar rongga hidung dapat terlibat apabila ada penyebaran langsung yang menembus palatum.2 KLINIS Rongga mulut adalah regio anatomik yang dapat dengan mudah diinspeksi dan dipalpasi. Walaupun demikian, banyak penderita datang dengan klinis sudah berat karena saat masih dini tidak terasa nyeri. Keganasan palatum durum sering tidak nyeri dan gejala utama adalah berupa iregularitas mukosa atau illfitting dentures. Gejala lain berupa ulkus yang tidak kunjung sembuh, perdarahan hilang timbul dan nyeri (Gambar 2).1 Gambar 2 Adenoma pleomorfik yang berasal dari kelenjar liur minor palatum durum3 TATA LAKSANA Tindakan operasi, radiasi, kemoterapi ataupun kombinasi modalitas tergantung ukuran dan stadium tumor serta faktor lain seperti toksisitas, status fungsi, penyakit komorbid dan kenyamanan pasien. Secara umum, modalitas tunggal seperti operasi saja ataupun radiasi saja lebih diperuntukkan bagi stadium dini, T1 atau T21,3,4,5, sedangkan untuk lesi lanjut, kombinasi modalitas lebih baik. Pada pasien dengan hasil patologi risiko tinggi, CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014 TINJAUAN PUSTAKA • derajat histologi tinggi, • batas sayatan operasi positif, • permeasi limfatik, • invasi vaskular, • penjalaran perineural, • kelenjar getah bening leher positif, • keterlibatan KGB tunggal pada pasien risiko tinggi atau tumor primer unfavorable, • keterlibatan lebih dari dua KGB, atau lebih dari satu KGB leher, • KGB lebih dari 3 cm (N2-N3), • ada penyebaran ekstrakapsuler, • terdapat residu di leher, baik mikroskopik ataupun klinis.4 Tabel 1 Staging Klinis3 Sementara itu, radiasi radikal diberikan pada keadaan: • T2 dan T1 ukuran besar (angka kontrol lokal dan survival hampir sama namun fungsi kosmetik diharapkan dapat lebih baik dengan radiasi), • pada tumor ukuran besar namun kondisi klinis tidak mungkin dioperasi atau menolak operasi, • tumor yang lanjut dan inoperable.4,5 kemoterapi konkuren dengan radiasi pasca operasi meningkatkan kontrol. Gambaran patologi berisiko tinggi antara lain: stadium T lanjut, klinis KGB positif multipel, penyebaran ekstrakapsuler, batas sayatan positif dan invasi perineural.1 Tata Laksana Operasi Tata laksana operasi merupakan pilihan untuk lesi di palatum durum karena lokasinya relatif mudah diakses. Modalitas tindakan operasi saja dipilih untuk lesi kecil dan stadium dini tanpa ada batas sayatan positif, invasi perineural dan atau invasi ke tulang,4 selain itu berkaitan dengan ukuran dan penyebarannya. Kontraindikasi tindakan operasi adalah berdasarkan komorbiditas dan kemampuan toleransi operasi. Penyakit sistemik dapat menjadi penyulit anestesi. Tumor yang menyebar ke intrakranial dikatakan inoperable terutama apabila sudah ada keterlibatan parenkim serebri. Terapi radiasi dapat menjadi pilihan.2 CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014 Tata Laksana Radiasi Secara umum, tata laksana radiasi dilakukan pada tiga keadaan: (1) sebagai terapi primer, (2) sebagai ajuvan pascaoperasi pada pasien risiko tinggi, (3) sebagai terapi salvage pada residu tumor pascatindakan operasi atau pascaradiasi.7 Dua hal yang menjadi perhatian pada terapi radiasi yaitu dosis semaksimal mungkin pada jaringan tumor namun meminimalkan efek samping pada jaringan sehat. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pemilihan teknik penyinaran, pemilihan energi beam, weighting pada berbagai jenis pilihan energi, seperti penggunaan wedge dan tissue kompensator.8 Radiasi pascaoperasi pada keganasan rongga mulut diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut: • gambaran klinis tumor primer dengan stadium T lanjut atau bulky tumor, • keterlibatan tulang dan persarafan kulit, 1. Teknik Radiasi Konvensional Teknik konvensional dengan lapangan opposing lateral sudah sejak lama digunakan sebagai pilihan teknik radiasi pada keganasan rongga mulut.1 Sebelum radiasi diperlukan suatu simulasi. Pada simulasi pasien diposisikan supine dan diimobilisasi dengan masker termoplastik,1,7 yaitu suatu masker yang membentuk konformasi struktur wajah dan tulang tengkorak. Penggunaan masker ini bertujuan untuk imobilisasi untuk meningkatkan presisi pemberian dosis.7 Teknik radiasi untuk tata laksana keganasan kelenjar liur minor tergantung lokasinya. Apabila terdapat cabang saraf kranial yang terinvasi maka jalur persarafannya termasuk ke dalam target radiasi elektif. Apabila hanya focal perineural invasion pada persarafan kecil, apakah basis kranii dimasukkan ke dalam target radiasi sangat tergantung dari lokasinya.4 Keganasan palatum durum biasanya bermanifestasi sebagai tumor superfisial yang dapat meluas ke periosteum tulang daerah terdekat seperti sinus paranasal atau dasar rongga hidung, target radiasi harus mencakup seluruh tumor bed. Pada beberapa kasus, teknik opposing lateral lebih disukai. Pada keadaan lesi terbatas pada satu sisi, dipikirkan teknik radiasi ipsilateral.1 115 TINJAUAN PUSTAKA Teknik brakiterapi menggunakan mold dapat digunakan untuk lesi tumor kecil dengan ketebalan <1 cm atau lesi superfisial bibir, palatum durum, gusi bawah dan dasar mulut.7,9 Sumber radioaktif yang digunakan saat ini adalah iridium (Ir-192). Pelaksanaan brakiterapi dengan menggunakan mold memerlukan aplikator khusus yang disesuaikan dengan bentuk rongga mulut pasien. Gambar 3 3D RR pasien dgn Ca palatum durum yang memerlukan radiasi pascaoperasi Tindakan eksisi luas lokal cukup adekuat untuk mencapai batas sayatan bebas tumor. Namun pada beberapa kondisi seperti adanya keterlibatan tulang sekitar dan struktur jaringan lunak di sekitar tumor, diperlukan maksilektomi.1 Pemberian radiasi profilaktik regio leher masih kontroversial karena angka kejadian metastasis ke KGB. servikal hanya 10-15%.2,9 Aliran limfatik palatum durum sangat sedikit, namun terdapat drainase ke submandibular (level I), deep superior jugular (level II), dan retrofaringeal.2 Walaupun demikian, pencitraan preoperatif harus dilakukan untuk mengevaluasi KGB retrofaringeal karena daerah tersebut sangat sulit dinilai secara klinis. KGB retrofaringeal menjadi situs awal penyebaran KGB dari Ca palatum.1 Pada pasien pascaoperasi dengan batas sayatan bebas tumor, dosis yang diberikan adalah 60 Gy. Pada area dengan batas sayatan tidak bebas tumor mikoskopik, diberi dosis 66 Gy. Pada residu tumor pascaoperasi atau pada terapi hanya radiasi, dosis yang diberikan sebanyak 70Gy, dengan dosis per fraksinya sebesar 2 Gy.4,5 2. Teknik 3D-CRT Pada dekade terakhir, kemajuan teknologi dapat menurunkan toksisitas pada jaringan sehat dan meningkatkan kualitas hidup penderita kanker yang menjalani terapi radiasi. Pada teknik 3D-CRT penentuan volume target radiasi berdasarkan CT scan dengan irisan 3-5 mm (Gambar 3). Gambar dikirim ke dokter onkologi radiasi sebagai bahan untuk menentukan volume target, yang terdiri dari high risk treatment volumes (gross tumor dan KGB terlibat atau high risk), low risk treatment volume yang membutuhkan dosis radiasi lebih kecil (KGB leher kontralateral yang tidak terlibat), dan juga organ yang berisiko yang perlu diperhatikan dosis toleransinya (medulla 116 spinalis, kelenjar liur, mata, dll.).7 Setelah itu, ditentukan dosis semaksimal mungkin pada volume target dan seminimal mungkin mengenai struktur jaringan sehat yang sudah didelineasi. Proses penentuan dosis tersebut membutuhkan waktu sekitar 1 minggu sebelum pasien bisa menjalani serangkaian terapi radiasi.7 3. Teknik IMRT Teknik IMRT merupakan pilihan terapi terbaru yang lebih canggih dibandingkan dengan teknik 3D-CRT. Teknik ini mempergunakan algoritma inverse planning optimalisasi komputerisasi untuk membentuk target radiasi dengan berbagai intensitas sinar.10 Kombinasi lapangan intensitas yang termodulasi menghasilkan distribusi dosis yang konformal pada jaringan tumor dan gradien dosis yang curam pada daerah transisi dengan jaringan normal sekitarnya.10 Tata laksana kombinasi tindakan operasi dengan radiasi teknik IMRT menghasilkan kontrol lokal yang tinggi pada keganasan rongga mulut dengan stadium >T1N0. Akan tetapi, kontrol lokal terapi definitif IMRT saja memberi hasil lebih rendah dibandingkan dengan IMRT sebagai adjuvan pascaoperasi.11 Keuntungan teknik IMRT pada jaringan sehat secara substansial menurunkan kejadian xerostomia, meminimalkan kejadian osteoradionekrosis setelah radiasi.11 Dengan IMRT, terdapat reduksi dosis rata-rata pada jaringan normal hingga mencapai 25-30% dibandingkan dengan 3D-CRT. 4. Teknik Brakiterapi Brakiterapi sejak lama digunakan sebagai booster pada lesi primer di rongga mulut.1 Brakiterapi bisa diberikan sebagai kelanjutan radiasi eksterna, atau dapat sebagai terapi utama terutama pada lesi tumor ukuran kecil T1/T2 N0 tanpa faktor risiko rekurensi lokoregional yang bukan kandidat operasi.7 Gambar 4 Lesi tumor intraoral di palatum durum8 Aplikator dibuat individual. Caranya adalah dengan mencetak daerah target dengan bahan hidrokoloid untuk membuat impresinya, kemudian dikonstruksi dengan bahan resin akrilik, ditambah dengan tube plastic untuk transpor sumber radioaktif ke target radiasi. Tube berdiameter 5 mm diletakkan sekitar 1 cm dari tepi dan 1 cm di antaranya jika diperlukan tube lebih dari 1 buah.8 Tata Laksana Kemoterapi Kemoterapi pada keganasan rongga mulut menghasilkan survival yang lebih baik daripada hanya dengan radiasi saja, walaupun hanya 1-8%1, baik sebagai neoadjuvan, konkuren atau sebagai adjuvan terapi pascaradiasi. Pada penderita keganasan rongga mulut pascaoperasi dengan fakor risiko tinggi, seperti keterlibatan lebih dari dua KGB, ekstensi ekstrakapsuler, dan batas sayatan mikroskopik tidak bebas tumor, kemoradiasi memberikan keuntungan meningkatkan disease-free survival, bahkan mungkin overall survival.1,7 Sumber lain mengatakan bahwa kemoradiasi konkuren pada penderita keganasan rongga mulut pascaoperasi dengan faktor risiko tinggi seperti tersebut di atas dapat meningkatkan kontrol lokal dan disease-free survival namun tidak signifikan meningkatkan overall survival.1 CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014 TINJAUAN PUSTAKA FAKTOR PROGNOSTIK DAN PREDIKTIF Faktor prognostik paling signifikan untuk outcome terapi pada keganasan rongga mulut adalah keterlibatan KGB servikal. Pada pasien dengan KGB servikal positif, angka kesintasan hidup 5 tahun berkurang 50% dibandingkan dengan jika tidak ada keterlibatan KGB servikal.1 Prognosis jauh makin buruk pada pasien dengan keterlibatan KGB multipel atau adanya ECE (extracapsular extension).1 Beberapa kondisi histopatologik berkaitan erat dengan prognosis pasien. Ketebalan dan invasi merupakan faktor risiko metastasis regional. Invasi perineural berkorelasi dengan metastasis ke KGB servikal, ekstensi ekstra kapsuler dan penurunan kesintasan hidup.1 Invasi mikrovaskuler berkaitan dengan metastasis ke KGB servikal, namun invasi limfatik tidak signifikan berkorelasi dengan metastasis ke KGB sevikal.1 Risiko metastasis jauh sangat berkaitan erat dengan keterlibatan KGB leher.1 Apabila pada pemeriksaan fisik terdapat pembesaran KGB leher, sangat mungkin akan terjadi metastasis jauh pasca terapi. Lokasi metastasis tersering adalah paru (66%), tulang (22%), dan hati (9,5%).1 REHABILITASI Mengingat tata laksana prioritas Ca palatum adalah dengan tindakan operasi yang akan menimbulkan defek pada palatum, diperlukan tindakan rehabilitasi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Defek pada maksila menyebabkan ketidakmampuan berbicara dan menelan dengan efektif. Obturator dengan atau tanpa skin graft sering digunakan untuk mengatasi masalah tersebut. Obturator biasanya terbuat dari polimer sintesis dan memberikan hasil separasi yang baik untuk fungsi berbicara dan menelan yang terganggu akibat defek pasca operasi. Selain obturator, flap regional, dan free-tissue transfer dapat sebagai solusi alternatif. Walaupun demikian, penggunaan flap atau implan untuk rekonstruksi defek palatum cukup kontroversial karena menyulitkan evaluasi klinis terjadinya rekurensi lokal. Berbeda dengan penggunaan obturator yang sangat fleksibel dan mudah dilepas,1 penggunaan prostesis merupakan pilihan bagus untuk pemulihan fungsional. Prostesis memberikan hasil rekonstruksi yang memuaskan dan keberhasilannya berkaitan dengan perluasan komponen vertikal dan horizontal reseksi yang dilakukan. Prothese diindikasikan pada defek seluas kurang dari seperempat palatum durum, atau kurang dari sepertiga palatum mole.6 observasi pada pasien dengan risiko rekurensi lokal. Selain itu juga memberikan restorasi yang baik dan tidak mahal dalam penampakan estetik, fonasi dan mastikasi.6 Obturator palatal membenahi mastikasi, menelan, artikulasi dan kemampuan berbicara serta kontur midfasial.6 Hal-hal yang menyebabkan seorang pasien bukan kandidat yang baik untuk penggunaan obturator adalah pasien dengan trismus, penurunan daya tangkas tangan, penurunan fungsi penglihatan, perubahan status mental, pilihan pasien terutama mereka yang tidak mau hidup dengan defek.12 RINGKASAN Alur tata laksana pasien Ca palatum di klinik meliputi tiga langkah dasar, yaitu (1) tahap preoperatif untuk mengumpulkan data dan informasi gnatologi, anatomi, dan fungsi rongga mulut, (2) tahap intraoperatif atau— bila tidak memungkinkan—segera setelah operasi, untuk memasang prostesis temporer, (3) tahap pascaoperasi lanjut (setelah 12 bulan), saat klinis sudah mengalami pemulihan lengkap dan tidak ada rekurensi lokal.6 Pada kasus Ca palatum yang masih operable, peranan radiasi adalah sebagai terapi adjuvan; dilakukan setelah operasi. Pada kasus yang inoperable, radiasi berperan sebagai terapi kuratif definitif. Apabila ada faktor risiko sebagai indikasi kemoterapi, pemberian kemoterapi bersamaan dengan modalitas radiasi dapat dilakukan. Gambar 5 Contoh obturator dental6 Penggunaan obturator palatum lebih dipilih dibandingkan tindakan rekonstruktif karena memberikan kemudahan follow up dan Keuntungan rehabilitasi dengan prostesis obturator berupa keuntungan fungsional, reliabilitas, kemudahan untuk dibuat, serta non-invasif.6 DAFTAR PUSTAKA 1. Manon RR, Myers JN, Skinner HD, Harari PM. Oral cavity cancer. In: Perez and Brady’s principles and practice of radiation oncology. 5th ed. Ch. 41. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins. A Wolters Kluwer; 2008. p. 891-910. 2. Sadeghi N. Malignant tumors of the palate [Internet]. 2013 [cited 2013 Aug 13]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/847807-treatment. 3. Evans PH, Montgomerry PQ, Gullane PJ. Tumours of the oral cavity. In: Principles and practice of head & neck oncology. London: Martin Dunitz. Taylor & Francis Group; 2003. p. 278-325. 4. Terhaard CHJ. Salivary glands. In: Perez and Brady’s principles and practice of radiation oncology. 5th ed. Ch. 40. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. A Wolters Kluwer; 2008. p. 874-89. 5. Hansen EK, Yom SS, Chen CP, Schechter N. Cancer of the lip and oral cavity. In: Handbook of evidence-based radiation oncology. 2nd ed. Ch. 8. California-USA: Springer Science, LLC; 2010. 6. Tirelli G, Rizzo R, Biasotto M, Di Lenarda R, Argenti B, Gatto A, et al. Obturator prostheses following palatal resection: Clinical cases. Acta otorhinolaryngol italic. 2010;30:33-9. p. 131-44. 7. Ballonoff A, Chen C, Raben D. Current radiation therapy management issues in oral cavity cancer. Otolaryngol Clin N Am. 2006;39:365-80. 8. Deshraj J, Pankul J. Radiation carrying appliance in management of early squamous cell carcinoma of palate. Clinical report. Arch Dental Sci. 2010;1(1):56-8. 9. Hoppe R, Phillips TL, Roach M. Cancer of the oral cavity. In: Leibel and Phillips textbook of radiation oncology. 3rd ed. California. Sec III part 29; 2008. 10. Fang FM, Chien CY, Tsai WL, Chen HC, Hsu HC, Lui CC, et al. Quality of life and survival outcome for patients with nasopharingeal carcinoma receiving three dimensional conformal radiotherapy vs. intensity-modulated radiotherapy: A longitudinal study. Int J Radiation Oncol Biol Phys. 2008;72(2):356-64. 11. Studer G, Zwahlen RA, Graetz KW, Davis BJ, Glazmann C. IMRT in oral cavity cancer. Radiation Oncol J. 2007;2:16. 12. Watts TL, Rodman R. Tumor of the hard palate and upper alveolar ridge. Grand Round Presentation, The University of Texas Medical Branch (UTMB) Department of Otolaryngology. April 22, 2011. CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014 117