BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Kemampuan fisik seseorang sangat bergantung kepada kombinasi sejumlah faktor
lingkungan dan genetik. Faktor genetik diyakini mempunyai peran terhadap kemampuan
atletiknya, terdapat varian gen yang mempengaruhi komposisi tubuh manusia seperti daya
tanan otot (endurance), daya ledak otot (power), kekuatan, komposisi dan jenis serabut otot,
kelincahan, koordinasi neuromuskular dan fenotip lainnya (Leońska dan Duniec,2013;
Ahmetov & Fedotovskaya 2012). Polimorfisme DNA dengan frekuensi dalam populasi sebesar
1% atau lebih dan mutasi DNA yang terjadi jarang dapat diklasifikasikan sebagai marker
genetik yang dihubungkan dengan status daya tahan dan atau status daya ledak otot atlit. The
human gene map for performance and health-related fitness phenotype telah mengidentifikasi
lebih dari 200 marker genetik yang berkaitan dengan fenotip kemampuan fisik (Leońska dan
Duniec, 2013; Eynon, et al.,2011; Bray, et al., 2009). Literatur terbaru menyatakan bahwa
sekitar 79 polimorfisme DNA dikaitkan dengan status atlit elit, termasuk 59 polimorfisme
DNA yang berkaitan dengan daya tahan otot dan 20 polimorfisme DNA berkaitan dengan
marker genetik daya ledak otot, dimana 25% dari marker-marker genetik tersebut dinyatakan
secara positif berhubungan dengan status atlit pada sekurang-kurangnya dua studi penelitian.
Marker genetik tersebut berlokasi didalam 40 gen autosomal, DNA mitokondria dan kromosom
Y. yang paling menarik adalah hamper semua kromosom kecuali kromosom 13, 16, 18, 20 dan
kromosom X termasuk dalam marker genetik yang berkaitan dengan olahraga (Leońska dan
Duniec, 2013; Ahmetov dan Fedotovskaya, 2012).
Gen Peroxisome proliferator-activated receptor alpha (PPARα) terdapat pada
kromosom 22 (22q12-q13.1) merupakan faktor transkripsi yang mengatur metabolism lipid,
glukosa dan homeostasis energi didalam mitokondria. Mayoritas PPARα diekspresikan pada
jaringan dengan jumlah mitokondria dan peroxisomal β-oksidasi asam lemak yang tinggi,
seperti pada hati, jantung, ginjal, otot skeletal, lemak cokelat dan juga terdapat pada sel, seperti
pada dinding pembuluh darah, monosit/ makrofag, otot polos dan sel endothelial (Maciejewska
dan Karlowska, 2003; Desvergne et al., 1999). Ekspresi PPARα lebih tinggi pada serabut otot
tipe I (slow-twitch) dibandingkan pada serabut otot tipe II (fast-twitch) (Ahmetov, et al., 2013;
1
Universitas Sumatera Utara
Russel et al., 2003). Latihan daya tahan otot akan meningkatkan penggunaan asam lemak nonplasma dan meningkatkan kemampuan oksidasi otot skeletal yang diatur oleh ekspresi gen
PPARα (Ahmetov, et al., 2013; Russel, et al., 2003; Horowitz, et al., 2000).
Variasi pada intron 7 pada gen PPARα berhubungan dengan fenotip kemampuan
manusia. Hasil penelitian menyatakan homozigot GG lebih sering ditemukan pada atlit yang
berorientasi pada daya tahan otot dibandingkan pada atlit yang berorientasi pada kecepatan
atau daya ledak otot. Genotip CC secara signifikan berhubungan dengan nilai single muscular
contraction power (SMCP) yang lebih tinggi, yang disebabkan oleh adanya alel C yang
menentukan kecepatan dan daya ledak otot dan alel C lebih sering ditemukan pada kelompok
atlit dibandingkan pada populasi umum di Lithunia (Ginevičienė, et al.,2010).
Individu dengan PPARα genotif CC cenderung mengalami metabolism anaerob yang
lebih tinggi, sedangkan PPARα genotif GG dan GC mengalami laju oksidasi asam lemak lebih
tinggi di hati, miokardium dan otot skeletal. Hasil penelitian menyatakan alel C lebih sering
ditemukan pada kelompok dengan kemampuan fisik secara anaerobik, atlit yang berorientasi
pada daya ledak (power) dan penurunan ekspresi atau fungsi PPARα sehingga menyebabkan
penurunan respon terhadap fenofibrate (aktivator PPARα) (Foucher, et al.,2007). Polimorfisme
gen PPARα G/C yang berlokasi pada region gen non-coding intron 7 merupakan terjadinya
ketidakseimbangan varian fungsional pada promotor sehingga meningkatkan ekspresi gen
PPARα. Alel G pada PPARα diduga berhubungan dengan daya tahan otot dan alel C
berhubungan dengan kecepatan/ daya ledak . Polimorfisme pada Intron 7 berhubungan dengan
varian alel yang tidak teridentifikasi pada area pengaturan gen PPARα sehingga berdampak
pada kadar PPARα serta penurunan fungsinya sebagai aktivasi faktor transkripsi pada target
gen PPARα. (Ginevičienė, et al., 2010; Collins, 2009; Ahmetov, et al., 2006).
Gen PPARα akan berinteraksi dengan polimorfisme gen peroxisome proliferatoractivated receptors lainnya (PPARβ dan PPARδ) (Liu, et al., 2015; Hai, et al., 2013; Luo, et
al., 2013; Leon, et al., 2016) dan dengan gen lainnya, seperti; apoA-I dan apoB (Hai, et al.,
2014; Leon, et al., 2016). Hasil penelitian menyatakan adanya hubungan antara genotif PPARα
dan tipe serabut otot serta substrat energi. Genotif GG pada atlit yang berorientasi pada daya
tahan otot berhubungan dengan peningkatan oksidasi asam lemak bebas pada otot dan
meningkatkan proporsi serabut otot tipe I (slow-twitch) individu. Sedangkan Alel C
berhubungan dengan kemampuan daya ledak yang di tandai dengan adanya hipertrofi pada otot
skeletal dan memfasilitasi penggunaan glukosa dibandingkan dengan oksidasi asam lemak
2
Universitas Sumatera Utara
sebagai respon terhadap latihan fisik anaerobik. Ekspresi PPARα meningkat pada serabut otot
tipe I (oksidatif) dibandingkan pada serabut otot tipe II (fast twich). Alel G berhubungan
dengan peningkatan proporsi serabut otot tipe I dibandingkan pada serabut otot tipe II.
Keberhasilan daya tahan atlit berkaitan dengan serabut otot tipe I dibandingkan dengan serabut
otot tipe II pada otot yang dilatih (Ahmetov et al., 2006). Allel G berhubungan dengan
peningkatan oksidasi asam lemak pada otot skeletal (Ahmetov II et al.,2006; Leon et al.,2016)
dan peningkatan proporsi serabut otot tipe I; serabut otot tersebut menggunakan oksigen lebih
efisien selama aktivitas otot berlangsung. Pada Atlit yang berorientasi pada daya tahan otot
secara relative memiliki lebih banyak serabut otot tipe I slow twicth dibandingkan serabut otot
tipe II pada otot yang dilatih, sehingga menyebabkan kontraksi otot dapat berlangsung dalam
jangka waktu yang lebih lama (Ahmetov, et al., 2009; Tural, et al., 2014; Leon, et al., 2016).
Serabut otot dapat diklasifikasikan secara penampilan fisiknya yaitu warna merah dan warna
putih yang jika dihubungkan dengan kemampuan kontraksinya, yaitu “slow” dan “fast”.
Kecepatan pergerakan otot bergantung kepada isoform myosin heavy chain (MHC) yang
diekspresikan pada serabut otot (Harridge, 2007, Ehrenborg dan Krook, 2009). Pada otot
skeletal manusia, terdapat 3 isoform MHC, yaitu; MHC-I, MHC-IIa dan MHC-IIx yang
berperan dalam meningkatkan kecepatan kontraksi. Otot skeletal manusia juga dilkasifikasikan
sebagai tipe (MHC-I) “slow red”, tipe IIa “fast red” dan tipe IIx “fast white”.
Pemeriksaan kemampuan fisik meliputi komponen seperti, komposisi tubuh, daya tahan
kardiorespirasi, kekuatan otot dan daya tahan otot dan fleksibilitas. Contoh pemeriksaan yang
digunakan adalah tes shuttle run dan mile run pada daya tahan kardiorespirasi, pengukuran
body mass index (BMI) pada pemeriksaan komposisi tubuh dan tes Curl-up dan Push-up pada
daya tahan otot dan tes sit-and reach pada fleksibilitas (Pate, et al,2012). ASEAN Committee
Standarization of Physical Fitness Test, tes yang dianjurkan untuk mengukur daya tahan otot
adalah sit-up yang dilakukan dalam waktu 30 detik (Aninditia, 2009)
Pemeriksaan Curl-Up merupakan pemeriksaan daya tahan otot yang valid dan aman
digunakan. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia
dan jenis kelamin dengan daya tahan otot abdominal secara statik dan dinamik pada subjek
sehat Nigeria dengan menggunakan pemeriksaan Curl-Up parsial sebagai standar pemeriksaan
kemampuan fisik (Mbada, et al, 2010). Pada anak usia sekolah, Curl-up dan Push-up dapat
dilakukan sebagai penilaian terhadap kemampuan daya tahan dan memiliki validitas dan
realibitas berdasarkan hasil survey (Morrow, et al,2010; Pate, et al,2012)
3
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan pendapat para ahli tersebut, maka peneliti
merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang “hubungan polimorfisme gen Peroxisome
Proliferator-Activated Receptors Alpha (PPAR⍺) dengan Daya tahan otot (Muscular
Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan”.
a.
Perumusan masalah
Bagaimana hubungan polimorfisme gen PPARα dengan daya tahan otot (Muscular
Endurance) pada siswa sepak bola di kota Medan
b.
Tujuan penelitian
➢
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen PPARα dengan daya tahan otot
(Muscular Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan
➢
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui polimorfisme gen PPARα pada siswa sekolah sepak bola di
kota Medan
2) Mengetahui daya tahan otot (Muscular Endurance) pada siswa sekolah
sepak bola di kota Medan
1.4. Hipotesa penelitian
Ada hubungan gen Peroxisome proliferator-activated receptor alpha (PPARα) dengan
daya tahan otot (Muscular Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan
1.5. Manfaat penelitian
1)
Memberikan informasi kepada pelatih untuk mengarahkan dan menentukan
program latihan (training) kepada siswa sekolah sepak bola sehubungan dengan
tujuan program latihan untuk meningkatkan kemampuan daya tahan otot
(muscular endurance).
2)
Sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya dalam bidang pengembangan olahraga
dan kesehatan terutama pada penelitian tentang kemampuan (performance) atlit.
4
Universitas Sumatera Utara
Download