BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pemasaran

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Pemasaran
Pemasaran merupakan suatu proses sosial dimana individu dan kelompok
mendapatkan hal yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan
pertukaran produk dan nilai dengan yang lain (Kotler dan Armstrong, 2001:6). The
American Marketing Association (Kotler, 2003:6; Hollenson, 2003:9; Czinkota dan
Kotabe, 2001:3) merumuskan definisi pemasaran yang lebih menekankan pada proses
manajerial yaitu proses perencanaan dan penetapan konsepsi, penetapan harga,
promosi, dan distribusi gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang
memuaskan tujuan individu dan organisasi. Kotler, (2007): menyatakan bahwa
pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok
mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan,
dan bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain. Definisi pemasaran ini berrsandar
pada konsep inti: kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan permintaan (demands);
produk (barang, jasa, dan gagasan); nilai, biaya, dan kepuasan; pertukaran, transaksi
dan hubungan; pasar dan pemasaran serta pemasar.
Dalam hal ini pemasaran melibatkan sejumlah fungsi manajerial yang saling
berhubungan
dalam
suatu
proses
manajemen,
yaitu
analysis,
planning,
implementation, dan control. Kegiatan pemasaran dapat diarahkan kepada konsumen
akhir dan juga kepada industri (Czinkota dan Kotabe, 2001:8-9; Sucherly, 1996:27).
Perusahaan yang mengarahkan kegiatan pemasarannya ke konsumen akhir termasuk
dalam kegiatan pemasaran produk konsumsi, produk yang dipasarkan merupakan
produk konsumsi dan pasarnya disebut pasar konsumen. Sedangkan perusahaan yang
mengarahkan kegiatan pemasarannya keindustri termasuk dalam kegiatan pemasaran
produk industri, produk yang dipasarkan merupakan produk industri dan pasarnya
disebut pasar industri atau pasar bisnis. Pemasaran produk konsumsi dan pemasaran
produk industri memiliki karakteristik yang berbeda, baik dilihat dari sifat produk
maupun perilaku pembelinya. Pemasaran produk konsumsi umumnya dilakukan oleh
perusahaan yang bergerak disektor hilir, sedangkan pemasaran produk industri
umumnya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak disektor hulu.
Dengan demikian kegiatan pemasaran memiliki cakupan luas. Kotler (2003:8) dan
Sucherly (1996:27) mengemukakan sejumlah faktor yang menunjukkan luasnya
cakupan kegiatan pemasaran, sebagai berikut:
a. Secara umum adalah sebagai sumber informasi mengenai Experiential
Marketing, Perceived Quality, Purchase Decision dan Brand Loyalty.
b. Memberikan informasi untuk memudahkan masyarakat dalam memilih
tempat fitness sesuai kebutuhan mereka.
Terdapat sejumlah konsep inti yang terkandung dalam pemasaran, konsep inti
pemasaran akan membantu dalam memahami hakekat pemasaran. Kotler (2003:6-12)
mengidentifikasi konsep inti pemasaran itu, meliputi:
a. Target Markets and Segmentation. Segmentasi berkaitan dengan
pengelompokan pasar yang menuntut bauran pemasaran yang berbeda.
Segmen pasar ini dapat diidentifikasi berdasarkan aspek Demographic,
Psychographic, dan Customer Behaviour. Perusahaan kemudian
memilih dan menetapkan segmen pasar yang akan dilayani sebagai
pasar sasaran.
b. Marketplace, Marketspace and Metamarket. Marketplace bersifat fisik
seperti seseorang berbelanja di suatu toko. Berbeda dengan
Marketplace, Marketspace bersifat digital seperti seseorang berbelanja
melalui internet. Adapun Metamarket bersifat komplementer dari
barang dan jasa berbagai industri yang relevan seperti automobile
metamarkets, terdiri dari: pabrik mobil, dealer mobil, lembaga
keuangan, perusahaan asuransi, dan lainnya.
c. Marketers and Prospects. Marketer adalah seseorang atau organisasi
yang berusaha mendapatkan suatu respons (perhatian, pilihan dan
pembelian) dari pihak lain.
d. Need, Wants, and Demand. Marketer harus berusaha memahami
kebutuhan, keinginan, dan permintaan pasar sasaran. Kebutuhan
berkaitan dengan sesuatu yang harus atau menuntut pemenuhan.
Manusia senantiasa dihadapkan pada masalah kebutuhan ini; setidaktidaknya untuk kelangsungan hidupnya, berinteraksi, dan berkembang.
Untuk kelangsungan hidupnya, manusia membutuhkan makanan,
pakaian, rumah, dan lainnya. Kebutuhan berbeda dengan keinginan
walaupun setiap keinginan manusia senantiasa didasarkan atau
diturunkan dari kebutuhannya. Keinginan seseorang lebih banyak
dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman, kebudayaan, pendidikan,
geografis, demografis dan lainnya. Keinginan ditunjukkan oleh pilihan
seperti dalam hal makanan seseorang menginginkan roti dan yang
lainnya menginginkan nasi. Suatu keinginan yang didukung oleh daya
beli akan melahirkan permintaan. Seseorang yang menginginkan roti
dan memiliki daya beli atau kemampuan untuk mendapatkannya maka
orang itu akan membeli roti. Jadi permintaan seseorang atas suatu
produk terkait dengan kebutuhan dan keinginan tentang produk itu
yang didukung oleh kemampuan untuk mendapatkannya atau daya
belinya.
a. Product, Offering and Brand. Produk berkaitan dengan nilai yaitu
seperangkat manfaat yang ditawarkan kepada konsumen untuk
memuaskan kebutuhannya.
b. Value and Satisfaction. Kesesuaian antara kinerja produk dengan
tuntutan konsumen yang membentuk kepuasan bagi konsumen yang
bersangkutan. Dalam hal ini, kepuasan konsumen melibatkan
komponen kinerja produk yang dibelinya dan tuntutannya atau
harapannya atas produk itu. Tingkat kepuasan konsumen tergantung
pada kesesuaian antara kedua komponen itu. Kepuasan dapat juga
dikaji dari nilai konsumen berupa kesesuaian manfaat yang diperoleh
konsumen dari suatu produk yang dibelinya dengan biaya atau
pengorbanan yang dikeluarkan untuk memperoleh produk itu. Manfaat
yang dirasakan konsumen berupa manfaat fungsional dan manfaat
emosional. Sedangkan biaya yang dikeluarkan berupa uang, energi,
waktu, dan mental. Agar dapat menciptakan nilai konsumen yang
tinggi maka perusahaan atau produsen harus mampu memberikan
manfaat yang lebih besar dari suatu produk yang ditawarkannya
dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan konsumen untuk
memperoleh produk itu.
c. Exchange
and
Transactions.
Pertukaran
merupakan
proses
mendapatkan suatu produk dari pihak tertentu melalui penawaran.
Terdapat lima kondisi atau syarat terjadinya pertukaran, yaitu:
sekurang-kurangnya
terdapat dua pihak, masing-masing pihak
memiliki sesuatu yang bernilai bagi pihak lain, masing-masing pihak
dapat berkomunikasi dengan baik, masing-masing pihak bebas
menerima atau menolak penawaran pertukaran dan masing-masing
pihak saling mempercayai. Dalam pertukaran kedua pihak bernegosiasi
untuk mencapai kesepakatan. Jika terjadi kesepakatan berarti terjadi
transaksi. Dalam hal ini transaksi merupakan suatu pertukaran nilai
antara dua pihak atau lebih, melibatkan waktu dan tempat.
d. Relationships and Networks. Relationship Marketing bertujuan untuk
membangun hubungan yang saling memuaskan dalam jangka panjang
dengan konsumen, pemasok, distributor, dan lainnya. Ini penting untuk
meningkatkan dan memelihara bisnisnya dalam jangka panjang.
Outcome dari Relationship Marketing berupa suatu jaringan pemasaran
antara
perusahaan
dengan
stakeholder
(konsumen,
karyawan,
pemasok, distributor, dan lainnya).
e. Marketing Channels. Untuk mencapai pasar sasaran, marketer
menggunakan
tiga
jenis
saluran
pemasaran,
yaitu:
pertama,
Communication Channels yaitu menyampaikan dan menerima pesan
kepada dan dari pasar sasaran. Kedua, Distribution Channels yaitu
menyampaikan produk atau jasa kepada pembeli. Ketiga, yaitu
menyelenggarakan
transaksi
dengan
pembeli
potensial
yang
melibatkan warehouse, perusahaan transportasi, bank dan perusahaan
asuransi untuk memfasilitasi transaksi.
f. Supply Chain. Menggambarkan rentang saluran yang lebih panjang
mulai dari bahan baku, produk akhir sampai ke pembeli akhir. Supply
Chain ini menggambarkan suatu sistem penyampaian nilai.
g. Competition. Mencakup seluruh pesaing aktual dan potensial. Terdapat
empat level persaingan yaitu brand competition, industry competition,
form competition dan generic competition.
h. Marketing Environment. Terdiri dari lingkungan tugas mencakup
perusahaan, pemasok, distributor, konsumen, dan lingkungan yang
lebih luas mencakup lingkungan demografi, lingkungan ekonomi,
lingkungan alam, lingkungan teknologi, lingkungan politik-legal, dan
lingkungan sosial-budaya. Lingkungan yang lebih luas terdiri dari
kekuatan yang memiliki pengaruh pada pelaku dalam lingkungan
tugas.
i. Marketing Program. Tugas marketer adalah mengembangkan suatu
program pemasaran atau rencana untuk mencapai tujuan perusahaan.
Dalam hal ini, bauran pemasaran merupakan seperangkat alat yang
digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya dalam
suatu pasar sasaran. Pada dasarnya alat-alat dalam bauran pemasaran
itu terdiri dari produk, harga, distribusi, dan promosi.
2.1.2 Experiential Marketing
Kata Experiential Marketing berasal dari 2 kata yaitu Experiental dan
Marketing. Experiental yang berasal dari kata Experience yang berarti pengalaman.
Definisi Experience menurt Schmitt (1999,p.60): Experiences are private events that
occur in response to some stimulation (e.g. as provided by marketing efforts before
and after purchase) yang berarti pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa pribadi
yang terjadi dikarenakan adanya stimulus tertentu misalnya yang diberikan pihak
pemasar sebelum dan sesudah pembelian barang atau jasa. Pine ii dan Gilmore
(1999,p12) berpendapat bahwa, “Experience are event that engage individuals in a
personal way” yang berarti suatu kejadian yang terjadi dan mengikat pada setiap
individu secara personal.
Sedangkan pengertian Marketing menurut Evans and Berman (1992, p.8):
“Marketing is the anticipation, management and satisfaction of demand through the
exchange process,” artinya bahwa marketing adalah suatu aktivitas untuk melakukan
antisipasi, pengelolaan dan pencapaian kepuasan konsumen melalui proses
pertukaran. Menurut Kotler et.al (2003, p5): “Marketing is typically seen as the task
of crediting, promoting and delivering goods and services to consumers and
businesses,” artinya marketing adalah suatu aktivitas bersifat sebagai tugas untuk
berekreasi atau menciptakan, berpromosi, dan menjembatani antara barang dan jasa
kepada konsumen dan bisnis. Setelah pembahasan mengenai pengertian kata
Experience dan Marketing, maka selanjutnya penulis membahas mengenai
Experiential Marketing.
Pengertian Experiential Marketing secara keseluruhan menurut Schmitt (2003)
merupakan konsep pemasaran yang berusaha mengkomunikasikan produk yang dijual
dengan menarik perhatian konsumen, menyentuh hati untuk menanamkan kesan baik
ke dalam pikiran dan hati konsumen berkenaan dengan produk yang dijual.
Sedangkan menurut Kartajaya (2004, p163) Experiential Marketing adalah
suatu konsep pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan-pelanggan yang
loyal dengan menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif
terhadap produk dan jasa. Dengan adanya Experiential Marketing, pelanggan akan
mampu membedakan produk dan jasa satu dengan yang lainnya karena mereka dapat
merasakan dan memperoleh pengalaman secara langsung melalui lima pendekatan
(sense, feel, think, act, dan relate), baik sebelum maupun ketika mereka
mengkonsumsi sebuah produk dan jasa.
2.1.3
Karakteristik Experiential Marketing
Schmitt (2003) membagi Experiential Marketing menjadi empat kunci
karakteristik antara lain:
1. Fokus kepada pengalaman konsumen
Suatu pengalaman terjadi sebagai pertemuan, menjalani atau melewati situasi tertentu
yang memberikan nilai-nilai inderawi, emosional, kognitif, perilaku, dan relasional
yang menggantikan nilai-nilai fungsional. Dengan adanya pengalaman tersebut dapat
menghubungkan badan usaha beserta produknya dengan gaya hidup konsumen yang
mendorong terjadinya pembelian pribadi dan dalam lingkup usahanya.
2. Menguji situasi konsumen
Berdasarkan pengalaman yang telah ada konsumen tidak hanya menginginkan suatu
produk dilihat dari keseluruhan situasi pada saat mengkonsumsi produk tersebut tetapi
juga dari pengalaman yang didapatkan pada saat mengkonsumsi produk tersebut.
3. Mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi
Dalam Experiential Marketing, konsumen bukan hanya dilihat dari sisi rasional saja
melainkan juga dari sisi emosionalnya. Jangan memperlakukan konsumen hanya
sebagai pembuat keputusan yang rasional tetapi konsumen lebih menginginkan untuk
dihibur, dirangsang serta dipengaruhi secara emosional dan ditantang secara kreatif.
4. Metode dan perangkat bersifat elektif
Metode dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang lebih bersifat elektik,
artinya lebih bergantung pada objek yang akan diukur atau lebih mengacu pada setiap
situasi yang terjadi daripada menggunakan suatu standar yang sama. Pada
Experiential Marketing, merek bukan hanya sebagai pengenal badan usaha saja,
melainkan lebih sebagai pemberi pengalaman positif pada konsumen sehingga dapat
menimbulkan loyalitas pada konsumen terhadap badan usaha dan merek tersebut.
2.1.4
Elemen Strategi Experiential Marketing
Schmitt (2003) memberikan framework alternatif yang terdiri dari dua elemen,
yaitu Strategic Experience Module (SEMs), yang terdiri dari beberapa tipe Experience
dan Experience Producers (ExPros), yaitu agen-agen yang dapat menghantarkan
experience ini. Strategic Experience Modules terdiri dari lima tipe, yaitu sense, feel,
think, act, dan relate. Menurut Schmitt (Lin, 2006, p63), kelima bentuk pengalaman
tersebut merupakan 5 dimensi yang menjadi dasar pengukuran dari Experiential
Marketing.
a) Sense
Adalah aspek yang berwujud dan dapat dirasakan dari suatu produk yang dapat
ditangkap oleh kelima indera manusia meliputi pandangan, suara, bau, rasa, dan
sentuhan. Semua pendekatan psikologi sense, beliefs, motivation, learning, dan
attitudes yang dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen (Kotler, 1994
dalam Li, 2008).
Sense bagi konsumen berfungsi untuk mendiferensiasikan suatu produk dari produk
lain untuk memotivasi pembeli untuk bertindak atau mengambil keputusan dan untuk
membentuk value pada produk atau jasa dalam benak pembeli. Indera manusia
digunakan selama fase pengalaman (pra pembelian, pembelian dan sesudah
pembelian) dalam mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Perusahaan biasanya
menerapkan unsur sense dengan menarik perhatian pelanggan melalui hal-hal yang
mencolok, dinamis dan meninggalkan kesan yang kuat.
b) Feel
Menurut Schmitt (Lin, 2006, p26) pemasaran feel merupakan strategi pendekatan
perasaan (afeksi) dan implementasi terhadap perusahaan dan merek melalui
Experience Providers, dengan tujuan untuk mempengaruhi mood (suasana hati),
perasaan dan emosi yang ditimbulkan oleh events (kejadian yang terjadi), agent
(orang yang melakukan peristiwa, perusahaan dan situasi), dan object (suatu hal yang
telah dilihat).
Perasaan berhubungan dengan perasaan yang paling dalam dan emosi pelanggan.
Iklan yang bersifat feel good biasanya digunakan untuk membuat hubungan dengan
pelanggan, menghubungkan pengalaman emosional mereka dengan produk atau jasa
dan menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan.
Feel Campaign sering digunakan untuk membagun emosi pelanggan secara
perlahan. Ketika pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan
perusahaan, pelanggan akan menyukai perusahaan. Sebaliknya, ketika pelanggan
merasa tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, maka konsumen
akan meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada produk kompetitor lain. Jika
sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten
bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan
bertahan lama (Schmitt, 1999).
Affective Experience adalah tingkat pengalaman yang merupakan perasaan
yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang positif atau pernyataan
mood yang negative sampai emosi yang kuat. Jika pemasar bermaksud untuk
menggunakan Effective Experience sebagai bagian dari strategi pemasaran, makan
ada dua hal yang harus dipahami, yakni:
•
Mood
Merupakan affective yang tidak spesifik. Suasana hati dapat
dibangkitkan dengan cara memberikan stimuli yang spesifik
(Schmitt, 1999). Suasana hati merupakan keadaan afektif yang
positif atau negatif, terkadang dapat memberikan dampak positif
namun bisa juga negatif tergantung dari apa yang diingat oleh
konsumen dan merek apa yang mereka pilih.
•
Emotion
Emotion lebih kuat dibandingkan dengan suasana hati dan
merupakan pernyataan afektif dari stimulus yang spesifik, misalnya
marah, iri hati dan cinta. Emosi-emosi tersebut selalu disebabkan
oleh sesuatu atau seseorang.
c) Think
Think menurut Schmitt (dalam Amir Hamzah, 2007, p23) merupakan tipe experience
yang bertujuan untuk menciptakan kognitif, pemecahan masalah yang mengajak
konsumen untuk berfikir kreatif. Iklan pikiran biasanya lebih bersifat tradisional,
menggunakan lebih banyak informasi tekstual, dan memberikan pertanyaanpertanyaan yang tak terjawabkan. Menurut Schmitt cara yang baik untuk membuat
Think Campaign berhasil adalah menciptakan sebuah kejutan yang dihadirkan baik
dalam bentuk visual, verbal ataupun konseptual, berusaha untuk memikat pelanggan
dan memberikan sedikit provokasi. Menurut Schmitt (1999) dan Li (2008), tujuan
Think Marketing adalah untuk mendorong pelanggan terlibat dalam pemikiran
seksama dan kreatif, dimana hasil yang didapat tanpa penilaian kembali ke
perusahaan dan produk. Think Marketing dapat disimpulkan berupa ajakan kepada
konsumen untuk berperan aktif bersama produsen dalam memecahkan masalah yang
bertujuan untuk mempengaruhi konsumen agar terlibat dalam pemikiran yang kreatif.
Hal ini dilakukan melalui penyediaan produk atau jasa yang diberikan kepada
konsumen kemudian konsumen diminta untuk berpikir kreatif dalam menentukan
produk atau jasa yang akan dibelinya. Dalam proses berpikir secara kreatif terdapat
dua jenis pemikiran yaitu:
a. Convergent Thinking (Pemikiran Terpusat)
Adalah proses mempersempit fokus seseorang pada beberapa ide atau
gagasan dari semua ide yang telah dikumpulkan menjadi sebuah solusi.
Misalnya setelah mengetahui motor Yamaha, konsumen lebih
memperhatikan kualitas motor.
b. Divergent Thinking (Pemikiran Memancar)
Adalah jenis pemikiran yang membiarkan pikiran seseorang yang
bergerak
kemana-mana
secara
simultan.
Jenis
pemikiran
ini
membutuhkan kampanye pemasaran think yang asosiatif, yaitu dengan
perumpamaan
secara
visual.
Misalnya
iklan
Yamaha
dapat
memberikan gambaran mengenai Motor Yamaha.
d) Act
Tindakan yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan tubuh) untuk
meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Act Marketing menurut Kartajaya (2004,
p164) adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi pelanggan terhadap produk
atau jasa yang bersangkutan. Pesan-pesan yang memotivasi, menginspirasi dan
bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan untuk berbuat hal-hal dengan cara
yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru merubah hidup mereka lebih baik.
Menurut Schmitt (Lin, 2006, p27) strategi Act Marketing berfungsi menciptakan
pengalaman yang sangat berharga bagi pelanggannya berkaitan dengan secara fisik,
pola perilaku dan gaya hidup jangka panjang serta pengalaman dengan orang lain.
Act adalah tindakan yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan
tubuh) untuk meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Pesan-pesan yang memotivasi,
menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan untuk berbuat halhal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru merubah hidup
mereka lebih baik.
Act Marketing memberikan pengaruh positif terhadap loyalitas konsumen ketika act
marketing mampu mempengaruhi perilaku dan gaya hidup konsumen maka mereka
akan merasa bahwa produk atau jasa tersebut sudah sesuai dengan gaya hidupnya.
e) Relate
Relate Marketing menurut Kertajaya (2004, p175) adalah salah satu cara membentuk
atau menciptakan komunitas pelanggan dengan komunikasi. Relate dapat memberikan
pengaruh positif terhadap loyalitas konsumen ketika mampu membuat konsumen
masuk dalam komunitas serta merasa bangga dan diterima. Sebaliknya Relate
Marketing dapat memberikan pengaruh negatif terhadap loyalitas konsumen ketika
tidak berhasil mengkaitkan individu dengan apa yang ada di luar dirinya maka
konsumen tersebut tidak akan loyal kepada perusahaan. Menurut Schmitt (Lin, 2006,
p27) tujuan dari pemasaran relate adalah menghubungkan diri pribadi seseorang
kepada konteks sosial budaya didalam suatu merek kemudian akan menciptakan suatu
identitas sosial kepada dirinya sendiri. Relate menjelaskan suatu hubungan dengan
orang lain. Kelompok sosial lainnya (pekerjaan, etnik atau gaya hidup), perhimpunan
masyarakat atau kebudayaan. Pengalaman relate dimulai dengan mengidentifikasi
kelompok acuan (individu atau kelompok yang mempengaruhi secara bermakna
perilaku individu), dimana pelanggan merasakan komunikasi dengan pelanggan
lainnya hingga terbentuknya suatu komunitas merek sebagai pusat dari organisasi
sosial dan menetapkan suatu pemasaran sendiri. Relate menghubungkan pelanggan
secara individu dengan masyarakat, atau budaya. Relate menjadi daya tarik keinginan
yang paling dalam bagi pelanggan untuk pembentukan self-improvement, status socioeconomic, dan image. Relate Campaign menunjukkan sekelompok orang yang
merupakan target pelanggan dimana seorang pelanggan dapat berinteraksi,
berhubungan, dan berbagi kesenangan yang sama.
2.1.5 Manfaat Experiential Marketing
Fokus utama dari suatu Experiential Marketing adalah pada tanggapan panca
indera, pengaruh, tindakan serta hubungan. Oleh karena itu suatu badan usaha harus
dapat menciptakan Experiential Brands yang dihubungkan dengan kehidupan nyata
dari konsumen, dan Experiential Marketing dapat dimanfaatkan secara efektif apabila
diterapkan pada beberapa situasi tertentu.
Menurut Schmitt (2003) Experiential Marketing dapat digunakan dan berguna
pada macam-macam situasi, seperti:
1) Untuk menaikkan sebuah brand yang telah berada pada posisi decline.
2) Untuk mendiferensiasikan sebuah produk dalam sebuah kompetisi.
3) Untuk menciptakan image dan identitas.
4) Untuk menciptakan inovasi.
5) Untuk menciptakan pembelian dan konsumsi yang loyal.
2.2
Perceived Quality
2.2.1 Pengertian Perceived Quality
Perceived Quality memiliki beberapa pengertian yang berbeda-beda. Menurut
A. Aker dalam Durianto, dkk (2004, hal 15) persepsi kualitas merupakan persepsi
konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa yang
sama dengan maksud yang diharapkan oleh konsumen.
Perceived Quality adalah sebuah penilaian global berdasarkan persepsi
pelanggan atas apa inti dari kualitas produk dan seberapa baiknya penilaian terhadap
merek. Akan lebih sulit untuk mencapai level satisfaction dari Perceived Quality bila
perusahaan terus melakukan perbaikan dan penambahan fitur-fitur baru pada produk
secara terus menerus karena hal ini dapat membuat ekspektasi pelanggan akan naik
terhadap kualitas produk (Keller, 2003).
Menurut Aaker (Broto, 2002) selanjutnya menguraikan bahwa persepsi
kualitas berbeda dengan kepuasan. Seseorang bisa dipuaskan karena mereka memiliki
harapan yang rendah terhadap tingkat kinerjanya. Persepsi kualitas juga berbeda
dengan sikap, suatu sikap positif bisa ditimbulkan karena suatu produk dengan
kualitas sangat rendah dan sangat murah. Sebaliknya seseorang mungkin mempunyai
sikap negatif terhadap produk berkualitas tinggi yang dirasakan terlalu mahal. Penting
untuk dicatat bahwa kualiatas produk adalah sumber daya perusahaan yang penting
untuk mencapai keunggulan bersaing (Aaker 1098 dalam Baldauf et al. 2003).
Maka dapat disimpulkan bahawa Perceived Quality merupakan persepsi
konsumen terhadap kualitas produk atau jasa melalui keseluruhan kualitas atau
keunggulan dari suatu produk atau jasa yang sesuai dengan yang diharapkan
konsumen. Persepsi kualitas merupakan penilaian konsumen terhadap keunggulan
atas superioritas produk secara keseluruhan. Oleh sebab itu, persepsi kualitas
didasarkan pada evaluasi subjektif konsumen terhadap kualitas produk (Tjiptono,
2005). Perceived Quality mempunyai peranan yang penting dalam membangun suatu
merek dalam banyak konteks Perceived Quality sebuah merek dapat menjadi alasan
penting pembelian serta mereka mana yang akan dipertimbangkan oleh pelanggan
yang ada pada gilirannya akan mempengaruhi pelanggan dalam memutuskan merek
yang akan dibeli. Seorang pelanggan mungkin tidak memiliki informasi yang cukup
untuk disaring yang mengarahkannya kepada penentuan kualitas suatu merek secara
objektif. Mungkin pula pelanggan tidak termotivasi untuk memproses informasi, tidak
mempunyai kesanggupan dan dalam konteks ini, Perceived Quality menjadi sangat
berperan dalam keputusan pelanggan karena Perceived Quality terkait serta dengan
keputusan-keputusan pembelian maka dapat mengefektifkan semua elemen program
pemasaran khususnya program promosi. (Dikutip oleh Darmadi Durianto et al., 2001
dalam Broto 2002). Apabila Perceived Quality dari suatu merek tinggi, maka
kemungkinan besar program periklanan dan promosi yang akan dijalankan akan
efektif. Sedemikian pentingnya peran Perceived Quality bagi suatu merek, sehingga
upaya membangun Perceived Quality yang kuat perlu memperoleh perhatian serius
agar perusahaan dapat merebut dan menaklukan pasar disetiap kategori produk.
Membangun Perceived Quality harus diikuti dengan peningkatan kualitas yang nyata
dari produknya karena akan sia–sia menyakinkan pelanggan bahwa kualitas merek
produknya adalah tinggi bilamana kenyataan menunjukkan kebalikannya. Berikut
adalah hal yang perlu diperhatikan dalam membangun Perceived Quality (David,
Aaker, Managing Brand Equity):
a. Komitmen terhadap kualitas
Perusahaan harus mempunyai komitmen terhadap kualitas serta memelihara
kualitas secara terus menerus. Upaya, memelihara kualitas bukan hanya basa
basi tetapi tercermin dalam tindakan tanpa kompromi.
b. Budaya kualitas
Komitmen kualitas harus terefleksi dalam budaya perusahaan, norma
perilakunya, dan nilai – nilainya. Jika perusahaan dihadapkan kepada pilihan
kualitas dan biaya maka kualitas yang harus dimenangkan.
c. Informasi masukan dari pelanggan
Pada akhirnya dalam membangun Perceived Quality pelanggan yang
mendefinisikan kualitas. Sering kali para pimpinan keliru dalam memperkirakan
apa yang dianggap penting oleh pelangganya. Perusahaan perlu secara
berkesinambungan melakukan riset terhadap pelanggannya, sehingga diperoleh
informasi yang akurat, relevan, dan up to date.
d. Sasaran / standar yang jelas
Sasaran kualitas harus jelas dan tidak terlalu umum karena sasaran kualitas yang
terlalu umum cenderung menjadi tidak bermanfaat. Kualitas juga harus
memiliki standar yang jelas, dapat dipahami dan diprioritaskan. Terlalu banyak
sasaran tanpa prioritas sama saja dengan tidak mepunyai sasaran fokus yang
pada akhirnya akan membahayakan kelangsungan perusahaan itu sendiri.
e. Kembangkan karyawan yang berinisiatif
Karyawan harus dimotivasi dan diizinkan berinisiatif serta dilibatkan dalam
mencari solusi masalah yang dihadapi dengan pemikiran yang kreatif dan
inovatif. Karyawan juga secara aktif dilibatkan dalam pengendalian kualitas
layanan.
2.2.2 Nilai-nilai Perceived Quality
Nilai-nilai persepsi dapat kualitas sebagai berikut:
1. Alasan Untuk Membeli
Konsumen sering kali tidak termotivasi untuk mendapatkan informasi yang
mungkin mengarah pada objektifitas mengenai kualitas. Atau informasi itu
memang tidak tersedia, atau konsumen tidak mempunyai sumber daya untuk
mendapatkan atau memproses informasi.
2. Diferensiasi atau Posisi.
Suatu karakteristik penting dari merek adalah posisinya dalam dimensi
persepsi kualitas, yaitu apakah merek tersebut super optimum, optimum,
bernilai atau ekonomis. Juga berkenan dengan persepsi kualitas, apakah merek
tersebut terbaik atau sekedar kompetitif terhadap merek-merek lainnya.
3. Harga Optimum.
Keuntungan persepsi kualitas memberikan pilihan-pilihan dalam menetapkan
harga optimum. Harga optimum bisa meningkatkan laba dan atau memberikan
sumber daya untuk reinvestasi pada merek tersebut. Berbagai sumber daya ini
dapat digunakan untuk membangun merek, seperti menguatkan kesadaran atau
asosiasi atau mutu produk. Harga optimum juga dapat menguatkan persepsi
kualitas, yaitu: “Anda mendapatkan yang Anda bayar.”
4. Minat Saluran Distribusi.
Persepsi kualitas juga mempunya arti penting bagi para pengecer, distributor,
dan berbagai pos saluran lainnya. Sebuah pengecer atau pos saluran lainnya
dapat menawarkan suatu produk yang memiliki persepsi kualitas tinggi sama
dengan harga yang menarik dan menguasai lalu lintas distribusi tersebut. Pos
saluran distribusi dimotivasi untuk menyalurkan merek-merek yang diminati
oleh konsumen.
5. Perluasan Merek.
Sebuah merek yang kuat dalam hal persepsi kualitas dapat dieksploitasi untuk
meluaskan diri lebih jauh, dan akan mempunyai peluang sukses yang lebih
besar dibandingkan merek dengan persepsi kualitas yang lemah dengan cara
menggunakan merek tersebut untuk masuk kedalam kategori produk baru.
2.2.3
Dimensi Perceived Quality
Dalam Mullins, Orville, Larreche, dan Boyd (2005, p.422) terdapat beberapa
dimensi Perceived Quality yaitu:
1. Performance (kinerja)
Karakteristik pokok dari produk inti dan merupakan aspek fungsional dari
suatu produk. Misalnya karakteristik operasional mobil dalam kecepatan
akselerasi, sistem kemudi, dan kenyamanan. Karena faktor kepentingan
pelanggan berbeda satu sama lain, sering kali pelanggan mempunyai sikap
yang berbeda-beda dalam menilai atribut-atribut ini. Kecepatan akan diberi
nilai tinggi oleh sebagian pelanggan namun dapat dianggap tidak relevan
atau dinilai rendah oleh sebagian pelanggan lain yang lebih mementingkan
atribut kenyamanan.
2. Durability (Daya Tahan).
Mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut, misalnya mobil
merek tertentu untuk memposisikan dirinya sebagai mobil tahan lama
walaupun telah berumur 12 tahun tetapi masih berfungsi dengan baik.
3. Conformance with Specifications (Kesesuaian Dengan Spesifikasi).
Merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada
cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji.
Dimensi ini juga bisa dapat diartikan sebagai kesuaian produk terhadap
spesifikasi yang telah ditetapkan sesuai dengan keinginan konsumen.
Kesesuaian
atau
konfirmasi
juga
merefleksikan
derajat
dimana
karakteristik desain produk dan karakteristik operasi memenuhi standar
yang ditetapkan. Hal ini sering didefinisikan sebagai kesesuaian terhadap
kebutuhan (comformance to requirements). Misalnya sebuah mobil pada
kelas tertentu dengan spesifikasi yang telah ditentukan seperti jenis dan
kekuatan mesin, pintu, material untuk mobil, ban, sistem pencapaian dan
lainnya.
4. Features (Fitur).
Merupakan bagian-bagian tambahan dari produk (fitur), seperti remote
control sebuah video, tape recorder, dan sistem WAP untuk telepon
genggam. Penambahan ini biasanya digunakan sebagai pembeda yang
penting ketika dua merek produk terlihat hampir sama. Bagian-bagian
tambahan ini member penekanan bahwa perusahaan memahami kebutuhan
pelanggan yang dinamis sesuai perkembangan.
5. Reliable (Kehandalan).
Merupakan konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu
pembelian kepembelian berikutnya. Dimensi keandalan juga berkaitan
dengan probabilitas suatu produk dalam melakukan fungsinya secara
berhasil dalam periode waktu tertentu dibawah kondisi tertentu. Dengan
demikian
keandalan merupakan
karakteristik
yang
mencerminkan
kemungkinan tingkat keberhasilan dalam penggunaan suatu produk.
6. Serviceability (Kemudahan Pelayanan).
Mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tersebut.
7. Fit and Finish (Hasil Akhir).
Mengarah pada kualitas yang dirasakan yang melibatkan beberapa dimensi
sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan “hasil akhir”
produk yang baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan
mempunyai atribut kualitas lain yang penting.
8. Brand Name (Nama Merek).
Merupakan nama unik yang diberikan untuk produk, perusahaan atau jasa.
Secara umum, nama merek yang baik akan mencerminkan berbagai upaya
perusahaan.
2.3
Purchase Decision
2.3.1 Pengertian Keputusan Pembelian
Pengambilan keputusan konsumen dalam konteks semua jenis pilihan
konsumsi, mulai dari konsumsi berbagai produk baru sampai kepemakaian berbagai
produk lama. Dipertimbangkan juga keputusan konsumen tidak sebagai tahap akhir,
tetapi sebaliknya titik awal proses konsumsi.
Menurut Kotler dan Amstrong (2010,hal175), Keputusan Pembelian adalah
tahap dalam proses pengambilan keputusan pembeli dimana konsumen benar-benar
membeli produk, dan juga menyebutkan bahwa “keputusan untuk membeli yang
diambil oleh pembeli sebenarnya merupakan kumpulan dari sejumlah keputusan.”
Setiap keputusan untuk membeli tersebut mempunyai suatu struktur sebanyak 7
komponen, yaitu meliputi:
1. Keputusan tentang jenis produk.
Dalam hal ini konsumen dapat mengambil keputusan tentang produk apa
yang akan dibelinya untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan.
2. Keputusan tentang bentuk produk.
Konsumen dapat mengambil keputusan untuk membeli suatu produk
dengan bentuk tertentu sesuai dengan seleranya.
3. Keputusan tentang merek.
Konsumen harus mengambil keputusan tentang merek mana yang akan
dibeli karena setiap merek mempunyai perbedaan-perbedaan tersendiri.
4. Keputusan tentang penjualnya.
Konsumen dapat mengambil keputusan dimana produk yang dibutuhkan
tersebut akan dibeli.
5. Keputusan tentang jumlah produk.
Konsumen dapat mengambil keputusan tentang seberapa banyak produk
yang akan dibeli.
6. Keputusan tentang waktu pembelian.
Konsumen dapat mengambil keputusan tentang kapan dia harus
melakukan pembelian. Oleh karena itu perusahaan atau pemasar pada
khususnya terus mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
konsumen dalam menentukan waktu pembelian.
7. Keputusan tentang cara pembayaran.
Konsumen harus mengambil keputusan tentang metode atau cara
pembayaran produk yang dibeli, apakah secara tunai atau kredit.
Keputusan tersebut akan mempengaruhi keputusan tentang penjualan dan
jumlah pembeliannya. Menurut Setiadi (2003,hal415), pengambilan
keputusan konsumen adalah pengintergrasian yang mengkombinasikan
pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif dan
memilih salah satu diantaranya. Hasil dari pengintegrasian ini adalah suatu
pilihan yang disajikan secara kognitif sebagai keinginan berperilaku. Jadi,
keputusan pembelian adalah sebuah proses dimana konsumen melakukan
pembelajaran terlebih dahulu tentang suatu produk/ jasa sebelum
melakukan pembelian. Keputusan pembelian merupakan alternatif bagi
konsumen untuk menentukan pilihannya.
Menurut Hasan, A (2009) ada sejumlah orang yang memiliki keterlibatan
dalam keputusan pembelian, yaitu sebagai berikut:
1. Pencetus (Initiator). Pencetus adalah orang yang pertama-tama menyarankan
atau memikirkan gagasan membeli produk atau jasa tertentu.
2. Pemberi pengaruh (Influencer). Seseorang yang memberikan pengaruh adalah
orang yang pandangannya atau nasihatnya diperhitungkan dalam membuat
keputusan akhir.
3. Pembuat keputusan (Decider). Pembuat keputusan merupakan seseorang yang
pada akhirnya menentukan sebagian besar atau keseluruhan keputusan
membeli: apakah jadi membeli, apa yang dibeli, bagaimana membeli atau
dimana membeli.
4. Pembeli (Buyer). Merupakan seseorang yang melakukan pembelian yang
sebenarnya.
5. Pemakai (User). Pemakai merupakan seseorang atau beberapa orang yang
menikmati atau memakai produk atau jasa. Sebuah perusahaan perlu
mengenali peranan-peranan tersebut karena hal tersebut mempengaruhi dalam
kaitan merancang produk dan menentukan pesan.
2.3.2 Tipe Perilaku Keputusan Konsumen
Menurut Kotler dan Amstrong (2010, hal176) ada empat jenis perilaku
keputusan pembelian, sebagai berikut:
1. Perilaku Pembelian Kompleks (Complex Buying Behavior) yaitu perilaku
pembelian konsumen dalam situasi yang ditentukan oleh keterlibatan
konsumen yang tinggi dalam pembelian dan perbedaan yang dianggap
signifikan antar merek. Pembeli ini akan melewati proses pembelajaran, mulamula ia mengembangkan keyakinan tentang produk, sikap, dan emudian
membuat pilihan pembelian yang dipikirkan masak-masak.
2. Perilaku membeli mengurangi ketidakcocokan (Dissonance-Reducing Buying
behavior) yaitu perilaku pembelian konsumen dalam situasi yang mempunyai
karakter keterlibatan tinggi tetapi hanya ada sedikit anggapan perbedaan
merek.
3. Perilaku membeli yang mencari variasi (Variety-Seeking Buying Behavior)
yaitu perilaku pembelian konsumen yang mempunyai karakter keterlibatan
konsumen yang rendah tetapi dengan anggapan perbedaan merek yang
signifikan.
4. Perilaku membeli karena kebiasaan (Habitual Buying Behavior) yaitu perilaku
konsumen dalam situasi yang mempunyai karakter keterlibatan konsumen
rendah dan anggapan perbedaan merek sedikit. Perilaku konsumen tidak
melewati urutan keyakinan, sikap, perilaku yang biasa. Konsumen tidak secara
ekstensif mencari informasi tentang merek mana yang akan dibeli. Sebagai
gantinya, mereka menerima informasi secara pasif ketika mereka menonton
televisi atau membaca majalah.
2.3.3 Faktor yang mempengaruhi Buying Decision
Ada 5 faktor yang mempengaruhi Buying Decision (Kotler dan Amstrong,
2010, hal177) yaitu:
1. Need Recognition (Pengenalan Kebutuhan). Tahap pertama dari proses
pengambilan keputusan pembelian konsumen. Hal Ini terjadi ketika pelanggan
menyadari kebutuhan atau keinginan. Kebutuhan ini dapat bervariasi
tergantung dari kebutuhan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup, seperti
makanan, minuman dan kebutuhan yang lainnya.
2. Information Source (Pencarian Informasi). Setelah kebutuhan awal telah
diketahui, pelanggan akan mencari informasi lebih lanjut untuk membuat
keputusan
pembelian.
Sumber-sumber
komersial, publik, atau pengalaman.
informasi
meliputi:
personal,
3. Information Evaluation (Evaluasi Informasi). Dalam hal ini semua tahapan
proses pembelian penting, tahap evaluasi sering menjadi titik paling kritis.
Dimana konsumen mengevaluasi kualitas dan karakteristik dari berbagai
produk berdasarkan karakteristik tertentu seperti atribut produk, tingkat
kepentingan, keyakinan merek, dan kepuasan yang diharapkan.
4. Purchase Decision (Keputusan Pembelian). Bahkan setelah konsumen telah
membuat evaluasi, mereka tidak dapat membeli produk yang dipilih karena
adanya faktor sosial dan kondisi yang diantisipasi, sehingga dapat
mempengaruhi niat beli ini. Faktor sosial dapat menimbulkan reaski
pertimbangan terhadap pembelian yang dilakukan orang lain. Diduga kondisi
ini mencerminkan ekspektasi konsumen tentang seperti apa kondisi eksternal.
5. Post Purchase Behaviour (Perilaku Pasca Pembelian). Selama dalam fase
pembelian, konsumen akan bertanya: "Akankah saya menyukai ini?" atau
"Apakah ini bagus?" Setelah melakukan pembelian ini menjadi pertanyaan:
"Apakah saya suka ini?" atau "Apakah saya mendapatkan transaksi yang
baik?" Pasca perilaku pembelian yang positif sangat penting bagi keberhasilan
setiap perusahaan. Seorang pelanggan yang puas akan memberitahu tiga orang
tentang pengalaman mereka, tetapi pelanggan tidak puas akan mengeluh
kepada 11 orang. Perusahaan perlu mendorong pelanggan untuk melakukan
diskusi dalam memecahkan masalah tersebut, dengan menggunakan masukan
yang mereka berikan untuk meningkatkan produk dan layanan. Setiap fase
bekerja sama untuk membentuk proses total pembelian konsumen.
Untuk dapat mengetahui sejauh mana poses pembelian konsumen, kiranya perlu
adanya upaya seperti: apakah konsumen membutuhkan informasi tentang produk
yang akan dibeli, atau mungkin perlu didorong untuk melakukan pembelian. Melalui
dukungan sistem informasi yang tersedia dapat pula mendorong seseorang untuk
melakukan suatu keputusan termasuk didalamnya dalam hal pembelian.
2.4
Brand Loyalty
Menurut Schiffman dan Kanuk (2004), mendefinisikan Brand Loyalty sebagai
preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan pembelian pada merek yang
sama pada produk yang spesifik atau kategori pelayanan tertentu.
Menurut Giddens (2002), Brand Loyalty adalah pilihan yang dilakukan konsumen
untuk membeli merek tertentu dibandingkan merek yang lain dalam satu kategori
produk.
Menurut Durianto, et al. (2001), Brand Loyalty adalah suatu ukuran
keterkaitan pelanggan kepada suatu merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran
tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih kemerek produk lain. Seorang
pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah
memindahkan suatu pembeliannya kemerek lain, apapun yang terjadi dengan merek
tersebut.
Menurut Yoo, et al. (2000), Brand Loyalty terkait dengan laba di masa depan,
karena secara langsung dihubungkan dengan tingkat penjualan di masa depan.
Pelanggan yang setia menunjukkan respon yang lebih menyenangkan terhadap suatu
merek dibandingkan dengan pelanggan yang tidak loyal. Pelanggan yang setia
terhadap sebuah merek akan melakukan pembelian secara rutin dan menolak untuk
mengganti atau menukar dengan merek yang lain.
2.4.1 Tingkatan Brand Loyalty
Menurut Durianto, et al. (2001), tingkatan-tingkatan yang terdapat dalam
loyalitas merek adalah sebagai berikut:
1. Berpindah-pindah (Switcher).
pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini sebagai pelanggan yang
berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin sering pembelian berpindah
dari suatu merek kemerek yang lain mengindikasikan bahwa mereka tidak
loyal, semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini, merek memegang
peranan kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang jelas dalam kategori ini
adalah mereka membeli suatu merek karena harganya murah.
2. Pembeli yang bersifat kebiasaan (Habitual Buyer).
Pembeli pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan
merek produk yang dikonsumsinya. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk
membeli produk lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu
membutuhkan usaha, biaya, atau pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa
pembeli ini membeli suatu merek ini karena kebiasaan.
3. Pembeli yang puas karena biaya peralihan (Satisfied Buyer).
Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk dalam kategori puas bila mereka
mengonsumsi merek tersebut.
4. Menyukai merek (Liking The Brand).
Pembeli dalam kategori ini adalah pembeli uang benar-benar menyukai merek
tersebut. Pada tingkat ini dijumpai perasaan emosional yang terkait dengan
merek. Rasa suka pembeli ini bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait
dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik
yang dialami pribadi maupun kerabatnya ataupun yang disebabkan oleh
persepsi kualitas yang tinggi.
5. Pembeli yang komitmen (Commited Buyer).
Pada tahap ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki
suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut
menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun
sebagai suatu ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya. Pada tingkatan ini,
salah
satu
aktualisasi
loyalitas
pembeli
ditunjukan
oleh
tindakan
merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.
Menurut Aaker (1991) dalam Degerman Anil dan Duygun Adnan (2010),
loyalitas merek dapat diukur melalui beberapa keuntungan, yaitu sebagai berikut:
•
Pembelian berulang (Repeated Purchase).
Loyalitas terhadap merek adalah perilaku yang mengutamakan sebuah merek
dengan melakukan pembelian berulang.
•
Rekomendasi (Recommendation).
Loyalitas terhadap merek adaah perilaku niat untuk membeli sebuah produk
dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.
2.4.2 Fungsi Brand Loyalty
Menurut (Durianto et al., 2003), dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang
benar, brand loyalty dapat menjadi aset strategis bagi perusahaan.
Berikut adalah beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty
kepada perusahaan:
1. Reduced Marketing Cost (Mengurangi Biaya Pemasaran).
Dengan adanya brand loyalty berkaitan dengan biaya pemasaran, biaya
pemasaran akan lebih murah terutama dalam mempertahankan konsumen
dibandingkan dengan upaya untuk mendapatkan konsumen baru. Jadi
biaya pemasaran akan menurun jika brand loyalty meningkat.
2. Trade Leverage (Meningkatkan Perdagangan)
Loyalitas yang kuat kepada merek, akan meningkatkan perdagangan dan
memperkuat keyakinan perantara marketing. Semakin biasa konsumen
membeli suatu produk, maka semakin tinggi frekuensi pembelian
konsumen tersebut, yang pada akhirnya dapat meningkatkan penjualan.
3. Attracting New Costomers (Menarik Minat Pelanggan Baru).
Banyaknya jumlah konsumen yang merasa puas dan suka pada merek
tertentu, maka akan menimbulkan perasaan yakin atau percaya pada calon
konsumen lain untuk mengkonsumsi merek tersebut. Disamping itu,
konsumen yang puas umumnya akan merekomendasikan merek yang
pernah atau sedang dikonsumsi kepada teman atau kerabat dekatnya,
sehingga akan menarik konsumen baru.
4. Provide Time To Respond The Competitive Threats (Memberi Waktu
Untuk Merespon Ancaman Persaingan).
Brand Loyalty akan memberikan waktu pada perusahaan merespon
gerakan pesaing. Jika salah satu pesaing mengembangkan produk baru dan
unggul, maka konsumen yang loyal akan memberikan waktu pada
perusahaan untuk memperbaharui produk yang dihasilkan dengan cara
menyesuaikan atau mengadakan inovasi untuk dapat mengungguli produk
baru pesaing.
2.5
•
•
•
•
•
•
Kerangka Pemikiran (Framework)
Experiential
Marketing
(X1)
Sense
Feel
Think
Act
Relate
Perceived Quality
(X2)
• Performance
• Serviceability
• Features
• Realible
•
•
•
•
•
Purchase Decision
(Y)
Need Recognation
Information Source
Information
Evaluation
Purchase Decision
Post Purchase
•
•
•
•
•
Brand Loyalty
(Z)
Switcher
Habitual Buyer
Satisfied Buyer
Liking The Brand
Commited Buyer
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran
Sumber: Penulis (2015)
2.6
Rancangan Uji Hipotesis
Rancangan uji hipotesis dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
Untuk tujuan pertama yaitu mengetahui pengaruh Experiential Marketing terhadap
Purchase Decision pada Celebrity Fitness. Sehingga hipotesis pertama dalam
penelitian ini adalah:
Ho : Tidak ada pengaruh dari Experiential Marketing terhadap Purchase Decision.
Ha : Ada pengaruh dari Experiential Marketing terhadap Purchase Decision.
Untuk tujuan kedua yaitu mengetahui pengaruh Perceived Quality terhadap Purchase
Decision pada Celebrity Fitness. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr.Hsin
Kuang Chi (2009) disimpulkan bahwa perusahaan harus menyadari bahwa konsumen
akan mengevaluasi bagian dari dimensi perceived quality dari produk. Semakin tinggi
nilai evaluasi yang dilakukan konsumen maka dapat diindikasikan bahwa konsumen
tersebut puas terhadap produk dan Brand Loyalty akan meningkat. Sehingga hipotesis
kedua dalam penelitian ini adalah:
Ho : Tidak ada pengaruh dari Perceived Quality terhadap Puchase Decision.
Ha : Ada pengaruh dari Perceived Quality terhadap Purchase Decision.
Untuk tujuan ketiga yaitu mengetahui pengaruh Experiential Marketing terhadap
Brand Loyalty pada Celebrity Fitness. Menurut Januar.T.Oeyono (2013) disimpulkan
bahwa semua dimensi Experiential Marketing memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap Brand Loyalty. Sehingga hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah:
Ho : Tidak ada pengaruh dari Experiential Marketing terhadap Brand Loyalty.
Ha : Ada pengaruh dari Experiential Marketing terhadap Brand Loyalty.
Untuk tujuan keempat yaitu mengetahui pengaruh Perceived Quality terhadap Brand
Loyalty pada Celebrity Fitness. Menurut Dr. Hsin Kuang Chi (2009) disimpulkan
bahwa konsumen akan menghasilkan Brand Loyalty karena kualitas produk yang
bagus dan melakukan pembelian. Sehingga hipotesis keempat dalam penelitian ini
adalah:
Ho : Tidak ada pengaruh dari Perceived Quality terhadap Brand Loyalty.
Ha : Ada pengaruh dari Perceived Quality terhadap Brand Loyalty.
Untuk tujuan kelima yaitu mengetahui pengaruh Purchase Decision terhadap Brand
Loyalty pada Celebrity Fitness. Menurut Sri Wahjuni Astuti (2007) disimpulkan
bahwa tingkat loyalitas merek yang tinggi berupa komitmen yang kuat dari konsumen
terhadap merek dapat menciptakan rasa percaya diri yang besar pada konsumen saat
mengambil keputusan pembelian. Sehingga hipotesis kelima dalam penelitian ini
adalah:
Ho : Tidak ada pengaruh dari Purchase Decision terhadap Brand Loyalty .
Ha : Ada pengaruh dari Purchase Decision terhadap Brand Loyalty.
Untuk tujuan keenam yaitu mengetahui pengaruh Experiential Marketing dan
Perceived Quality terhadap Purchase Decision pada Celebrity Fitness. Sehingga
hipotesis keenam dalam penelitian ini adalah:
Ho : Tidak ada pengaruh dari Experiential Marketing dan Perceived Quality terhadap
Purchase Decision.
Ha : Ada pengaruh dari Experiential Marketing dan Perceived Quality terhadap
Purchase Decision.
Untuk tujuan ketujuh yaitu mengetahui pengaruh Experiential Marketing dan
Perceived Quality terhadap Brand Loyalty pada Celebrity Fitness. Sehingga hipotesis
ketujuh dalam penelitian ini adalah:
Ho : Tidak ada pengaruh dari Experiential Marketing dan Perceived Quality terhadap
Purchase Decision.
Ha : Ada pengaruh dari Experiential Marketing dan Perceived Quality terhadap
Purchase Decision.
Download