BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pemasaran Pemasaran merupakan suatu proses sosial dimana individu dan kelompok mendapatkan hal yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran produk dan nilai dengan yang lain (Kotler dan Armstrong, 2001:6). The American Marketing Association (Kotler, 2003:6; Hollenson, 2003:9; Czinkota dan Kotabe, 2001:3) merumuskan definisi pemasaran yang lebih menekankan pada proses manajerial yaitu proses perencanaan dan penetapan konsepsi, penetapan harga, promosi, dan distribusi gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan individu dan organisasi. Kotler, (2007): menyatakan bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan, dan bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain. Definisi pemasaran ini berrsandar pada konsep inti: kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan permintaan (demands); produk (barang, jasa, dan gagasan); nilai, biaya, dan kepuasan; pertukaran, transaksi dan hubungan; pasar dan pemasaran serta pemasar. Dalam hal ini pemasaran melibatkan sejumlah fungsi manajerial yang saling berhubungan dalam suatu proses manajemen, yaitu analysis, planning, implementation, dan control. Kegiatan pemasaran dapat diarahkan kepada konsumen akhir dan juga kepada industri (Czinkota dan Kotabe, 2001:8-9; Sucherly, 1996:27). Perusahaan yang mengarahkan kegiatan pemasarannya ke konsumen akhir termasuk dalam kegiatan pemasaran produk konsumsi, produk yang dipasarkan merupakan produk konsumsi dan pasarnya disebut pasar konsumen. Sedangkan perusahaan yang mengarahkan kegiatan pemasarannya keindustri termasuk dalam kegiatan pemasaran produk industri, produk yang dipasarkan merupakan produk industri dan pasarnya disebut pasar industri atau pasar bisnis. Pemasaran produk konsumsi dan pemasaran produk industri memiliki karakteristik yang berbeda, baik dilihat dari sifat produk maupun perilaku pembelinya. Pemasaran produk konsumsi umumnya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak disektor hilir, sedangkan pemasaran produk industri umumnya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak disektor hulu. Dengan demikian kegiatan pemasaran memiliki cakupan luas. Kotler (2003:8) dan Sucherly (1996:27) mengemukakan sejumlah faktor yang menunjukkan luasnya cakupan kegiatan pemasaran, sebagai berikut: a. Secara umum adalah sebagai sumber informasi mengenai Experiential Marketing, Perceived Quality, Purchase Decision dan Brand Loyalty. b. Memberikan informasi untuk memudahkan masyarakat dalam memilih tempat fitness sesuai kebutuhan mereka. Terdapat sejumlah konsep inti yang terkandung dalam pemasaran, konsep inti pemasaran akan membantu dalam memahami hakekat pemasaran. Kotler (2003:6-12) mengidentifikasi konsep inti pemasaran itu, meliputi: a. Target Markets and Segmentation. Segmentasi berkaitan dengan pengelompokan pasar yang menuntut bauran pemasaran yang berbeda. Segmen pasar ini dapat diidentifikasi berdasarkan aspek Demographic, Psychographic, dan Customer Behaviour. Perusahaan kemudian memilih dan menetapkan segmen pasar yang akan dilayani sebagai pasar sasaran. b. Marketplace, Marketspace and Metamarket. Marketplace bersifat fisik seperti seseorang berbelanja di suatu toko. Berbeda dengan Marketplace, Marketspace bersifat digital seperti seseorang berbelanja melalui internet. Adapun Metamarket bersifat komplementer dari barang dan jasa berbagai industri yang relevan seperti automobile metamarkets, terdiri dari: pabrik mobil, dealer mobil, lembaga keuangan, perusahaan asuransi, dan lainnya. c. Marketers and Prospects. Marketer adalah seseorang atau organisasi yang berusaha mendapatkan suatu respons (perhatian, pilihan dan pembelian) dari pihak lain. d. Need, Wants, and Demand. Marketer harus berusaha memahami kebutuhan, keinginan, dan permintaan pasar sasaran. Kebutuhan berkaitan dengan sesuatu yang harus atau menuntut pemenuhan. Manusia senantiasa dihadapkan pada masalah kebutuhan ini; setidaktidaknya untuk kelangsungan hidupnya, berinteraksi, dan berkembang. Untuk kelangsungan hidupnya, manusia membutuhkan makanan, pakaian, rumah, dan lainnya. Kebutuhan berbeda dengan keinginan walaupun setiap keinginan manusia senantiasa didasarkan atau diturunkan dari kebutuhannya. Keinginan seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman, kebudayaan, pendidikan, geografis, demografis dan lainnya. Keinginan ditunjukkan oleh pilihan seperti dalam hal makanan seseorang menginginkan roti dan yang lainnya menginginkan nasi. Suatu keinginan yang didukung oleh daya beli akan melahirkan permintaan. Seseorang yang menginginkan roti dan memiliki daya beli atau kemampuan untuk mendapatkannya maka orang itu akan membeli roti. Jadi permintaan seseorang atas suatu produk terkait dengan kebutuhan dan keinginan tentang produk itu yang didukung oleh kemampuan untuk mendapatkannya atau daya belinya. a. Product, Offering and Brand. Produk berkaitan dengan nilai yaitu seperangkat manfaat yang ditawarkan kepada konsumen untuk memuaskan kebutuhannya. b. Value and Satisfaction. Kesesuaian antara kinerja produk dengan tuntutan konsumen yang membentuk kepuasan bagi konsumen yang bersangkutan. Dalam hal ini, kepuasan konsumen melibatkan komponen kinerja produk yang dibelinya dan tuntutannya atau harapannya atas produk itu. Tingkat kepuasan konsumen tergantung pada kesesuaian antara kedua komponen itu. Kepuasan dapat juga dikaji dari nilai konsumen berupa kesesuaian manfaat yang diperoleh konsumen dari suatu produk yang dibelinya dengan biaya atau pengorbanan yang dikeluarkan untuk memperoleh produk itu. Manfaat yang dirasakan konsumen berupa manfaat fungsional dan manfaat emosional. Sedangkan biaya yang dikeluarkan berupa uang, energi, waktu, dan mental. Agar dapat menciptakan nilai konsumen yang tinggi maka perusahaan atau produsen harus mampu memberikan manfaat yang lebih besar dari suatu produk yang ditawarkannya dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan konsumen untuk memperoleh produk itu. c. Exchange and Transactions. Pertukaran merupakan proses mendapatkan suatu produk dari pihak tertentu melalui penawaran. Terdapat lima kondisi atau syarat terjadinya pertukaran, yaitu: sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, masing-masing pihak memiliki sesuatu yang bernilai bagi pihak lain, masing-masing pihak dapat berkomunikasi dengan baik, masing-masing pihak bebas menerima atau menolak penawaran pertukaran dan masing-masing pihak saling mempercayai. Dalam pertukaran kedua pihak bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan. Jika terjadi kesepakatan berarti terjadi transaksi. Dalam hal ini transaksi merupakan suatu pertukaran nilai antara dua pihak atau lebih, melibatkan waktu dan tempat. d. Relationships and Networks. Relationship Marketing bertujuan untuk membangun hubungan yang saling memuaskan dalam jangka panjang dengan konsumen, pemasok, distributor, dan lainnya. Ini penting untuk meningkatkan dan memelihara bisnisnya dalam jangka panjang. Outcome dari Relationship Marketing berupa suatu jaringan pemasaran antara perusahaan dengan stakeholder (konsumen, karyawan, pemasok, distributor, dan lainnya). e. Marketing Channels. Untuk mencapai pasar sasaran, marketer menggunakan tiga jenis saluran pemasaran, yaitu: pertama, Communication Channels yaitu menyampaikan dan menerima pesan kepada dan dari pasar sasaran. Kedua, Distribution Channels yaitu menyampaikan produk atau jasa kepada pembeli. Ketiga, yaitu menyelenggarakan transaksi dengan pembeli potensial yang melibatkan warehouse, perusahaan transportasi, bank dan perusahaan asuransi untuk memfasilitasi transaksi. f. Supply Chain. Menggambarkan rentang saluran yang lebih panjang mulai dari bahan baku, produk akhir sampai ke pembeli akhir. Supply Chain ini menggambarkan suatu sistem penyampaian nilai. g. Competition. Mencakup seluruh pesaing aktual dan potensial. Terdapat empat level persaingan yaitu brand competition, industry competition, form competition dan generic competition. h. Marketing Environment. Terdiri dari lingkungan tugas mencakup perusahaan, pemasok, distributor, konsumen, dan lingkungan yang lebih luas mencakup lingkungan demografi, lingkungan ekonomi, lingkungan alam, lingkungan teknologi, lingkungan politik-legal, dan lingkungan sosial-budaya. Lingkungan yang lebih luas terdiri dari kekuatan yang memiliki pengaruh pada pelaku dalam lingkungan tugas. i. Marketing Program. Tugas marketer adalah mengembangkan suatu program pemasaran atau rencana untuk mencapai tujuan perusahaan. Dalam hal ini, bauran pemasaran merupakan seperangkat alat yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya dalam suatu pasar sasaran. Pada dasarnya alat-alat dalam bauran pemasaran itu terdiri dari produk, harga, distribusi, dan promosi. 2.1.2 Experiential Marketing Kata Experiential Marketing berasal dari 2 kata yaitu Experiental dan Marketing. Experiental yang berasal dari kata Experience yang berarti pengalaman. Definisi Experience menurt Schmitt (1999,p.60): Experiences are private events that occur in response to some stimulation (e.g. as provided by marketing efforts before and after purchase) yang berarti pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi dikarenakan adanya stimulus tertentu misalnya yang diberikan pihak pemasar sebelum dan sesudah pembelian barang atau jasa. Pine ii dan Gilmore (1999,p12) berpendapat bahwa, “Experience are event that engage individuals in a personal way” yang berarti suatu kejadian yang terjadi dan mengikat pada setiap individu secara personal. Sedangkan pengertian Marketing menurut Evans and Berman (1992, p.8): “Marketing is the anticipation, management and satisfaction of demand through the exchange process,” artinya bahwa marketing adalah suatu aktivitas untuk melakukan antisipasi, pengelolaan dan pencapaian kepuasan konsumen melalui proses pertukaran. Menurut Kotler et.al (2003, p5): “Marketing is typically seen as the task of crediting, promoting and delivering goods and services to consumers and businesses,” artinya marketing adalah suatu aktivitas bersifat sebagai tugas untuk berekreasi atau menciptakan, berpromosi, dan menjembatani antara barang dan jasa kepada konsumen dan bisnis. Setelah pembahasan mengenai pengertian kata Experience dan Marketing, maka selanjutnya penulis membahas mengenai Experiential Marketing. Pengertian Experiential Marketing secara keseluruhan menurut Schmitt (2003) merupakan konsep pemasaran yang berusaha mengkomunikasikan produk yang dijual dengan menarik perhatian konsumen, menyentuh hati untuk menanamkan kesan baik ke dalam pikiran dan hati konsumen berkenaan dengan produk yang dijual. Sedangkan menurut Kartajaya (2004, p163) Experiential Marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan-pelanggan yang loyal dengan menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap produk dan jasa. Dengan adanya Experiential Marketing, pelanggan akan mampu membedakan produk dan jasa satu dengan yang lainnya karena mereka dapat merasakan dan memperoleh pengalaman secara langsung melalui lima pendekatan (sense, feel, think, act, dan relate), baik sebelum maupun ketika mereka mengkonsumsi sebuah produk dan jasa. 2.1.3 Karakteristik Experiential Marketing Schmitt (2003) membagi Experiential Marketing menjadi empat kunci karakteristik antara lain: 1. Fokus kepada pengalaman konsumen Suatu pengalaman terjadi sebagai pertemuan, menjalani atau melewati situasi tertentu yang memberikan nilai-nilai inderawi, emosional, kognitif, perilaku, dan relasional yang menggantikan nilai-nilai fungsional. Dengan adanya pengalaman tersebut dapat menghubungkan badan usaha beserta produknya dengan gaya hidup konsumen yang mendorong terjadinya pembelian pribadi dan dalam lingkup usahanya. 2. Menguji situasi konsumen Berdasarkan pengalaman yang telah ada konsumen tidak hanya menginginkan suatu produk dilihat dari keseluruhan situasi pada saat mengkonsumsi produk tersebut tetapi juga dari pengalaman yang didapatkan pada saat mengkonsumsi produk tersebut. 3. Mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi Dalam Experiential Marketing, konsumen bukan hanya dilihat dari sisi rasional saja melainkan juga dari sisi emosionalnya. Jangan memperlakukan konsumen hanya sebagai pembuat keputusan yang rasional tetapi konsumen lebih menginginkan untuk dihibur, dirangsang serta dipengaruhi secara emosional dan ditantang secara kreatif. 4. Metode dan perangkat bersifat elektif Metode dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang lebih bersifat elektik, artinya lebih bergantung pada objek yang akan diukur atau lebih mengacu pada setiap situasi yang terjadi daripada menggunakan suatu standar yang sama. Pada Experiential Marketing, merek bukan hanya sebagai pengenal badan usaha saja, melainkan lebih sebagai pemberi pengalaman positif pada konsumen sehingga dapat menimbulkan loyalitas pada konsumen terhadap badan usaha dan merek tersebut. 2.1.4 Elemen Strategi Experiential Marketing Schmitt (2003) memberikan framework alternatif yang terdiri dari dua elemen, yaitu Strategic Experience Module (SEMs), yang terdiri dari beberapa tipe Experience dan Experience Producers (ExPros), yaitu agen-agen yang dapat menghantarkan experience ini. Strategic Experience Modules terdiri dari lima tipe, yaitu sense, feel, think, act, dan relate. Menurut Schmitt (Lin, 2006, p63), kelima bentuk pengalaman tersebut merupakan 5 dimensi yang menjadi dasar pengukuran dari Experiential Marketing. a) Sense Adalah aspek yang berwujud dan dapat dirasakan dari suatu produk yang dapat ditangkap oleh kelima indera manusia meliputi pandangan, suara, bau, rasa, dan sentuhan. Semua pendekatan psikologi sense, beliefs, motivation, learning, dan attitudes yang dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen (Kotler, 1994 dalam Li, 2008). Sense bagi konsumen berfungsi untuk mendiferensiasikan suatu produk dari produk lain untuk memotivasi pembeli untuk bertindak atau mengambil keputusan dan untuk membentuk value pada produk atau jasa dalam benak pembeli. Indera manusia digunakan selama fase pengalaman (pra pembelian, pembelian dan sesudah pembelian) dalam mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Perusahaan biasanya menerapkan unsur sense dengan menarik perhatian pelanggan melalui hal-hal yang mencolok, dinamis dan meninggalkan kesan yang kuat. b) Feel Menurut Schmitt (Lin, 2006, p26) pemasaran feel merupakan strategi pendekatan perasaan (afeksi) dan implementasi terhadap perusahaan dan merek melalui Experience Providers, dengan tujuan untuk mempengaruhi mood (suasana hati), perasaan dan emosi yang ditimbulkan oleh events (kejadian yang terjadi), agent (orang yang melakukan peristiwa, perusahaan dan situasi), dan object (suatu hal yang telah dilihat). Perasaan berhubungan dengan perasaan yang paling dalam dan emosi pelanggan. Iklan yang bersifat feel good biasanya digunakan untuk membuat hubungan dengan pelanggan, menghubungkan pengalaman emosional mereka dengan produk atau jasa dan menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan. Feel Campaign sering digunakan untuk membagun emosi pelanggan secara perlahan. Ketika pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, pelanggan akan menyukai perusahaan. Sebaliknya, ketika pelanggan merasa tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, maka konsumen akan meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada produk kompetitor lain. Jika sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan bertahan lama (Schmitt, 1999). Affective Experience adalah tingkat pengalaman yang merupakan perasaan yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang positif atau pernyataan mood yang negative sampai emosi yang kuat. Jika pemasar bermaksud untuk menggunakan Effective Experience sebagai bagian dari strategi pemasaran, makan ada dua hal yang harus dipahami, yakni: • Mood Merupakan affective yang tidak spesifik. Suasana hati dapat dibangkitkan dengan cara memberikan stimuli yang spesifik (Schmitt, 1999). Suasana hati merupakan keadaan afektif yang positif atau negatif, terkadang dapat memberikan dampak positif namun bisa juga negatif tergantung dari apa yang diingat oleh konsumen dan merek apa yang mereka pilih. • Emotion Emotion lebih kuat dibandingkan dengan suasana hati dan merupakan pernyataan afektif dari stimulus yang spesifik, misalnya marah, iri hati dan cinta. Emosi-emosi tersebut selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang. c) Think Think menurut Schmitt (dalam Amir Hamzah, 2007, p23) merupakan tipe experience yang bertujuan untuk menciptakan kognitif, pemecahan masalah yang mengajak konsumen untuk berfikir kreatif. Iklan pikiran biasanya lebih bersifat tradisional, menggunakan lebih banyak informasi tekstual, dan memberikan pertanyaanpertanyaan yang tak terjawabkan. Menurut Schmitt cara yang baik untuk membuat Think Campaign berhasil adalah menciptakan sebuah kejutan yang dihadirkan baik dalam bentuk visual, verbal ataupun konseptual, berusaha untuk memikat pelanggan dan memberikan sedikit provokasi. Menurut Schmitt (1999) dan Li (2008), tujuan Think Marketing adalah untuk mendorong pelanggan terlibat dalam pemikiran seksama dan kreatif, dimana hasil yang didapat tanpa penilaian kembali ke perusahaan dan produk. Think Marketing dapat disimpulkan berupa ajakan kepada konsumen untuk berperan aktif bersama produsen dalam memecahkan masalah yang bertujuan untuk mempengaruhi konsumen agar terlibat dalam pemikiran yang kreatif. Hal ini dilakukan melalui penyediaan produk atau jasa yang diberikan kepada konsumen kemudian konsumen diminta untuk berpikir kreatif dalam menentukan produk atau jasa yang akan dibelinya. Dalam proses berpikir secara kreatif terdapat dua jenis pemikiran yaitu: a. Convergent Thinking (Pemikiran Terpusat) Adalah proses mempersempit fokus seseorang pada beberapa ide atau gagasan dari semua ide yang telah dikumpulkan menjadi sebuah solusi. Misalnya setelah mengetahui motor Yamaha, konsumen lebih memperhatikan kualitas motor. b. Divergent Thinking (Pemikiran Memancar) Adalah jenis pemikiran yang membiarkan pikiran seseorang yang bergerak kemana-mana secara simultan. Jenis pemikiran ini membutuhkan kampanye pemasaran think yang asosiatif, yaitu dengan perumpamaan secara visual. Misalnya iklan Yamaha dapat memberikan gambaran mengenai Motor Yamaha. d) Act Tindakan yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan tubuh) untuk meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Act Marketing menurut Kartajaya (2004, p164) adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa yang bersangkutan. Pesan-pesan yang memotivasi, menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan untuk berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru merubah hidup mereka lebih baik. Menurut Schmitt (Lin, 2006, p27) strategi Act Marketing berfungsi menciptakan pengalaman yang sangat berharga bagi pelanggannya berkaitan dengan secara fisik, pola perilaku dan gaya hidup jangka panjang serta pengalaman dengan orang lain. Act adalah tindakan yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan tubuh) untuk meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Pesan-pesan yang memotivasi, menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan untuk berbuat halhal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru merubah hidup mereka lebih baik. Act Marketing memberikan pengaruh positif terhadap loyalitas konsumen ketika act marketing mampu mempengaruhi perilaku dan gaya hidup konsumen maka mereka akan merasa bahwa produk atau jasa tersebut sudah sesuai dengan gaya hidupnya. e) Relate Relate Marketing menurut Kertajaya (2004, p175) adalah salah satu cara membentuk atau menciptakan komunitas pelanggan dengan komunikasi. Relate dapat memberikan pengaruh positif terhadap loyalitas konsumen ketika mampu membuat konsumen masuk dalam komunitas serta merasa bangga dan diterima. Sebaliknya Relate Marketing dapat memberikan pengaruh negatif terhadap loyalitas konsumen ketika tidak berhasil mengkaitkan individu dengan apa yang ada di luar dirinya maka konsumen tersebut tidak akan loyal kepada perusahaan. Menurut Schmitt (Lin, 2006, p27) tujuan dari pemasaran relate adalah menghubungkan diri pribadi seseorang kepada konteks sosial budaya didalam suatu merek kemudian akan menciptakan suatu identitas sosial kepada dirinya sendiri. Relate menjelaskan suatu hubungan dengan orang lain. Kelompok sosial lainnya (pekerjaan, etnik atau gaya hidup), perhimpunan masyarakat atau kebudayaan. Pengalaman relate dimulai dengan mengidentifikasi kelompok acuan (individu atau kelompok yang mempengaruhi secara bermakna perilaku individu), dimana pelanggan merasakan komunikasi dengan pelanggan lainnya hingga terbentuknya suatu komunitas merek sebagai pusat dari organisasi sosial dan menetapkan suatu pemasaran sendiri. Relate menghubungkan pelanggan secara individu dengan masyarakat, atau budaya. Relate menjadi daya tarik keinginan yang paling dalam bagi pelanggan untuk pembentukan self-improvement, status socioeconomic, dan image. Relate Campaign menunjukkan sekelompok orang yang merupakan target pelanggan dimana seorang pelanggan dapat berinteraksi, berhubungan, dan berbagi kesenangan yang sama. 2.1.5 Manfaat Experiential Marketing Fokus utama dari suatu Experiential Marketing adalah pada tanggapan panca indera, pengaruh, tindakan serta hubungan. Oleh karena itu suatu badan usaha harus dapat menciptakan Experiential Brands yang dihubungkan dengan kehidupan nyata dari konsumen, dan Experiential Marketing dapat dimanfaatkan secara efektif apabila diterapkan pada beberapa situasi tertentu. Menurut Schmitt (2003) Experiential Marketing dapat digunakan dan berguna pada macam-macam situasi, seperti: 1) Untuk menaikkan sebuah brand yang telah berada pada posisi decline. 2) Untuk mendiferensiasikan sebuah produk dalam sebuah kompetisi. 3) Untuk menciptakan image dan identitas. 4) Untuk menciptakan inovasi. 5) Untuk menciptakan pembelian dan konsumsi yang loyal. 2.2 Perceived Quality 2.2.1 Pengertian Perceived Quality Perceived Quality memiliki beberapa pengertian yang berbeda-beda. Menurut A. Aker dalam Durianto, dkk (2004, hal 15) persepsi kualitas merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa yang sama dengan maksud yang diharapkan oleh konsumen. Perceived Quality adalah sebuah penilaian global berdasarkan persepsi pelanggan atas apa inti dari kualitas produk dan seberapa baiknya penilaian terhadap merek. Akan lebih sulit untuk mencapai level satisfaction dari Perceived Quality bila perusahaan terus melakukan perbaikan dan penambahan fitur-fitur baru pada produk secara terus menerus karena hal ini dapat membuat ekspektasi pelanggan akan naik terhadap kualitas produk (Keller, 2003). Menurut Aaker (Broto, 2002) selanjutnya menguraikan bahwa persepsi kualitas berbeda dengan kepuasan. Seseorang bisa dipuaskan karena mereka memiliki harapan yang rendah terhadap tingkat kinerjanya. Persepsi kualitas juga berbeda dengan sikap, suatu sikap positif bisa ditimbulkan karena suatu produk dengan kualitas sangat rendah dan sangat murah. Sebaliknya seseorang mungkin mempunyai sikap negatif terhadap produk berkualitas tinggi yang dirasakan terlalu mahal. Penting untuk dicatat bahwa kualiatas produk adalah sumber daya perusahaan yang penting untuk mencapai keunggulan bersaing (Aaker 1098 dalam Baldauf et al. 2003). Maka dapat disimpulkan bahawa Perceived Quality merupakan persepsi konsumen terhadap kualitas produk atau jasa melalui keseluruhan kualitas atau keunggulan dari suatu produk atau jasa yang sesuai dengan yang diharapkan konsumen. Persepsi kualitas merupakan penilaian konsumen terhadap keunggulan atas superioritas produk secara keseluruhan. Oleh sebab itu, persepsi kualitas didasarkan pada evaluasi subjektif konsumen terhadap kualitas produk (Tjiptono, 2005). Perceived Quality mempunyai peranan yang penting dalam membangun suatu merek dalam banyak konteks Perceived Quality sebuah merek dapat menjadi alasan penting pembelian serta mereka mana yang akan dipertimbangkan oleh pelanggan yang ada pada gilirannya akan mempengaruhi pelanggan dalam memutuskan merek yang akan dibeli. Seorang pelanggan mungkin tidak memiliki informasi yang cukup untuk disaring yang mengarahkannya kepada penentuan kualitas suatu merek secara objektif. Mungkin pula pelanggan tidak termotivasi untuk memproses informasi, tidak mempunyai kesanggupan dan dalam konteks ini, Perceived Quality menjadi sangat berperan dalam keputusan pelanggan karena Perceived Quality terkait serta dengan keputusan-keputusan pembelian maka dapat mengefektifkan semua elemen program pemasaran khususnya program promosi. (Dikutip oleh Darmadi Durianto et al., 2001 dalam Broto 2002). Apabila Perceived Quality dari suatu merek tinggi, maka kemungkinan besar program periklanan dan promosi yang akan dijalankan akan efektif. Sedemikian pentingnya peran Perceived Quality bagi suatu merek, sehingga upaya membangun Perceived Quality yang kuat perlu memperoleh perhatian serius agar perusahaan dapat merebut dan menaklukan pasar disetiap kategori produk. Membangun Perceived Quality harus diikuti dengan peningkatan kualitas yang nyata dari produknya karena akan sia–sia menyakinkan pelanggan bahwa kualitas merek produknya adalah tinggi bilamana kenyataan menunjukkan kebalikannya. Berikut adalah hal yang perlu diperhatikan dalam membangun Perceived Quality (David, Aaker, Managing Brand Equity): a. Komitmen terhadap kualitas Perusahaan harus mempunyai komitmen terhadap kualitas serta memelihara kualitas secara terus menerus. Upaya, memelihara kualitas bukan hanya basa basi tetapi tercermin dalam tindakan tanpa kompromi. b. Budaya kualitas Komitmen kualitas harus terefleksi dalam budaya perusahaan, norma perilakunya, dan nilai – nilainya. Jika perusahaan dihadapkan kepada pilihan kualitas dan biaya maka kualitas yang harus dimenangkan. c. Informasi masukan dari pelanggan Pada akhirnya dalam membangun Perceived Quality pelanggan yang mendefinisikan kualitas. Sering kali para pimpinan keliru dalam memperkirakan apa yang dianggap penting oleh pelangganya. Perusahaan perlu secara berkesinambungan melakukan riset terhadap pelanggannya, sehingga diperoleh informasi yang akurat, relevan, dan up to date. d. Sasaran / standar yang jelas Sasaran kualitas harus jelas dan tidak terlalu umum karena sasaran kualitas yang terlalu umum cenderung menjadi tidak bermanfaat. Kualitas juga harus memiliki standar yang jelas, dapat dipahami dan diprioritaskan. Terlalu banyak sasaran tanpa prioritas sama saja dengan tidak mepunyai sasaran fokus yang pada akhirnya akan membahayakan kelangsungan perusahaan itu sendiri. e. Kembangkan karyawan yang berinisiatif Karyawan harus dimotivasi dan diizinkan berinisiatif serta dilibatkan dalam mencari solusi masalah yang dihadapi dengan pemikiran yang kreatif dan inovatif. Karyawan juga secara aktif dilibatkan dalam pengendalian kualitas layanan. 2.2.2 Nilai-nilai Perceived Quality Nilai-nilai persepsi dapat kualitas sebagai berikut: 1. Alasan Untuk Membeli Konsumen sering kali tidak termotivasi untuk mendapatkan informasi yang mungkin mengarah pada objektifitas mengenai kualitas. Atau informasi itu memang tidak tersedia, atau konsumen tidak mempunyai sumber daya untuk mendapatkan atau memproses informasi. 2. Diferensiasi atau Posisi. Suatu karakteristik penting dari merek adalah posisinya dalam dimensi persepsi kualitas, yaitu apakah merek tersebut super optimum, optimum, bernilai atau ekonomis. Juga berkenan dengan persepsi kualitas, apakah merek tersebut terbaik atau sekedar kompetitif terhadap merek-merek lainnya. 3. Harga Optimum. Keuntungan persepsi kualitas memberikan pilihan-pilihan dalam menetapkan harga optimum. Harga optimum bisa meningkatkan laba dan atau memberikan sumber daya untuk reinvestasi pada merek tersebut. Berbagai sumber daya ini dapat digunakan untuk membangun merek, seperti menguatkan kesadaran atau asosiasi atau mutu produk. Harga optimum juga dapat menguatkan persepsi kualitas, yaitu: “Anda mendapatkan yang Anda bayar.” 4. Minat Saluran Distribusi. Persepsi kualitas juga mempunya arti penting bagi para pengecer, distributor, dan berbagai pos saluran lainnya. Sebuah pengecer atau pos saluran lainnya dapat menawarkan suatu produk yang memiliki persepsi kualitas tinggi sama dengan harga yang menarik dan menguasai lalu lintas distribusi tersebut. Pos saluran distribusi dimotivasi untuk menyalurkan merek-merek yang diminati oleh konsumen. 5. Perluasan Merek. Sebuah merek yang kuat dalam hal persepsi kualitas dapat dieksploitasi untuk meluaskan diri lebih jauh, dan akan mempunyai peluang sukses yang lebih besar dibandingkan merek dengan persepsi kualitas yang lemah dengan cara menggunakan merek tersebut untuk masuk kedalam kategori produk baru. 2.2.3 Dimensi Perceived Quality Dalam Mullins, Orville, Larreche, dan Boyd (2005, p.422) terdapat beberapa dimensi Perceived Quality yaitu: 1. Performance (kinerja) Karakteristik pokok dari produk inti dan merupakan aspek fungsional dari suatu produk. Misalnya karakteristik operasional mobil dalam kecepatan akselerasi, sistem kemudi, dan kenyamanan. Karena faktor kepentingan pelanggan berbeda satu sama lain, sering kali pelanggan mempunyai sikap yang berbeda-beda dalam menilai atribut-atribut ini. Kecepatan akan diberi nilai tinggi oleh sebagian pelanggan namun dapat dianggap tidak relevan atau dinilai rendah oleh sebagian pelanggan lain yang lebih mementingkan atribut kenyamanan. 2. Durability (Daya Tahan). Mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut, misalnya mobil merek tertentu untuk memposisikan dirinya sebagai mobil tahan lama walaupun telah berumur 12 tahun tetapi masih berfungsi dengan baik. 3. Conformance with Specifications (Kesesuaian Dengan Spesifikasi). Merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji. Dimensi ini juga bisa dapat diartikan sebagai kesuaian produk terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sesuai dengan keinginan konsumen. Kesesuaian atau konfirmasi juga merefleksikan derajat dimana karakteristik desain produk dan karakteristik operasi memenuhi standar yang ditetapkan. Hal ini sering didefinisikan sebagai kesesuaian terhadap kebutuhan (comformance to requirements). Misalnya sebuah mobil pada kelas tertentu dengan spesifikasi yang telah ditentukan seperti jenis dan kekuatan mesin, pintu, material untuk mobil, ban, sistem pencapaian dan lainnya. 4. Features (Fitur). Merupakan bagian-bagian tambahan dari produk (fitur), seperti remote control sebuah video, tape recorder, dan sistem WAP untuk telepon genggam. Penambahan ini biasanya digunakan sebagai pembeda yang penting ketika dua merek produk terlihat hampir sama. Bagian-bagian tambahan ini member penekanan bahwa perusahaan memahami kebutuhan pelanggan yang dinamis sesuai perkembangan. 5. Reliable (Kehandalan). Merupakan konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian kepembelian berikutnya. Dimensi keandalan juga berkaitan dengan probabilitas suatu produk dalam melakukan fungsinya secara berhasil dalam periode waktu tertentu dibawah kondisi tertentu. Dengan demikian keandalan merupakan karakteristik yang mencerminkan kemungkinan tingkat keberhasilan dalam penggunaan suatu produk. 6. Serviceability (Kemudahan Pelayanan). Mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tersebut. 7. Fit and Finish (Hasil Akhir). Mengarah pada kualitas yang dirasakan yang melibatkan beberapa dimensi sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan “hasil akhir” produk yang baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan mempunyai atribut kualitas lain yang penting. 8. Brand Name (Nama Merek). Merupakan nama unik yang diberikan untuk produk, perusahaan atau jasa. Secara umum, nama merek yang baik akan mencerminkan berbagai upaya perusahaan. 2.3 Purchase Decision 2.3.1 Pengertian Keputusan Pembelian Pengambilan keputusan konsumen dalam konteks semua jenis pilihan konsumsi, mulai dari konsumsi berbagai produk baru sampai kepemakaian berbagai produk lama. Dipertimbangkan juga keputusan konsumen tidak sebagai tahap akhir, tetapi sebaliknya titik awal proses konsumsi. Menurut Kotler dan Amstrong (2010,hal175), Keputusan Pembelian adalah tahap dalam proses pengambilan keputusan pembeli dimana konsumen benar-benar membeli produk, dan juga menyebutkan bahwa “keputusan untuk membeli yang diambil oleh pembeli sebenarnya merupakan kumpulan dari sejumlah keputusan.” Setiap keputusan untuk membeli tersebut mempunyai suatu struktur sebanyak 7 komponen, yaitu meliputi: 1. Keputusan tentang jenis produk. Dalam hal ini konsumen dapat mengambil keputusan tentang produk apa yang akan dibelinya untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan. 2. Keputusan tentang bentuk produk. Konsumen dapat mengambil keputusan untuk membeli suatu produk dengan bentuk tertentu sesuai dengan seleranya. 3. Keputusan tentang merek. Konsumen harus mengambil keputusan tentang merek mana yang akan dibeli karena setiap merek mempunyai perbedaan-perbedaan tersendiri. 4. Keputusan tentang penjualnya. Konsumen dapat mengambil keputusan dimana produk yang dibutuhkan tersebut akan dibeli. 5. Keputusan tentang jumlah produk. Konsumen dapat mengambil keputusan tentang seberapa banyak produk yang akan dibeli. 6. Keputusan tentang waktu pembelian. Konsumen dapat mengambil keputusan tentang kapan dia harus melakukan pembelian. Oleh karena itu perusahaan atau pemasar pada khususnya terus mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam menentukan waktu pembelian. 7. Keputusan tentang cara pembayaran. Konsumen harus mengambil keputusan tentang metode atau cara pembayaran produk yang dibeli, apakah secara tunai atau kredit. Keputusan tersebut akan mempengaruhi keputusan tentang penjualan dan jumlah pembeliannya. Menurut Setiadi (2003,hal415), pengambilan keputusan konsumen adalah pengintergrasian yang mengkombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif dan memilih salah satu diantaranya. Hasil dari pengintegrasian ini adalah suatu pilihan yang disajikan secara kognitif sebagai keinginan berperilaku. Jadi, keputusan pembelian adalah sebuah proses dimana konsumen melakukan pembelajaran terlebih dahulu tentang suatu produk/ jasa sebelum melakukan pembelian. Keputusan pembelian merupakan alternatif bagi konsumen untuk menentukan pilihannya. Menurut Hasan, A (2009) ada sejumlah orang yang memiliki keterlibatan dalam keputusan pembelian, yaitu sebagai berikut: 1. Pencetus (Initiator). Pencetus adalah orang yang pertama-tama menyarankan atau memikirkan gagasan membeli produk atau jasa tertentu. 2. Pemberi pengaruh (Influencer). Seseorang yang memberikan pengaruh adalah orang yang pandangannya atau nasihatnya diperhitungkan dalam membuat keputusan akhir. 3. Pembuat keputusan (Decider). Pembuat keputusan merupakan seseorang yang pada akhirnya menentukan sebagian besar atau keseluruhan keputusan membeli: apakah jadi membeli, apa yang dibeli, bagaimana membeli atau dimana membeli. 4. Pembeli (Buyer). Merupakan seseorang yang melakukan pembelian yang sebenarnya. 5. Pemakai (User). Pemakai merupakan seseorang atau beberapa orang yang menikmati atau memakai produk atau jasa. Sebuah perusahaan perlu mengenali peranan-peranan tersebut karena hal tersebut mempengaruhi dalam kaitan merancang produk dan menentukan pesan. 2.3.2 Tipe Perilaku Keputusan Konsumen Menurut Kotler dan Amstrong (2010, hal176) ada empat jenis perilaku keputusan pembelian, sebagai berikut: 1. Perilaku Pembelian Kompleks (Complex Buying Behavior) yaitu perilaku pembelian konsumen dalam situasi yang ditentukan oleh keterlibatan konsumen yang tinggi dalam pembelian dan perbedaan yang dianggap signifikan antar merek. Pembeli ini akan melewati proses pembelajaran, mulamula ia mengembangkan keyakinan tentang produk, sikap, dan emudian membuat pilihan pembelian yang dipikirkan masak-masak. 2. Perilaku membeli mengurangi ketidakcocokan (Dissonance-Reducing Buying behavior) yaitu perilaku pembelian konsumen dalam situasi yang mempunyai karakter keterlibatan tinggi tetapi hanya ada sedikit anggapan perbedaan merek. 3. Perilaku membeli yang mencari variasi (Variety-Seeking Buying Behavior) yaitu perilaku pembelian konsumen yang mempunyai karakter keterlibatan konsumen yang rendah tetapi dengan anggapan perbedaan merek yang signifikan. 4. Perilaku membeli karena kebiasaan (Habitual Buying Behavior) yaitu perilaku konsumen dalam situasi yang mempunyai karakter keterlibatan konsumen rendah dan anggapan perbedaan merek sedikit. Perilaku konsumen tidak melewati urutan keyakinan, sikap, perilaku yang biasa. Konsumen tidak secara ekstensif mencari informasi tentang merek mana yang akan dibeli. Sebagai gantinya, mereka menerima informasi secara pasif ketika mereka menonton televisi atau membaca majalah. 2.3.3 Faktor yang mempengaruhi Buying Decision Ada 5 faktor yang mempengaruhi Buying Decision (Kotler dan Amstrong, 2010, hal177) yaitu: 1. Need Recognition (Pengenalan Kebutuhan). Tahap pertama dari proses pengambilan keputusan pembelian konsumen. Hal Ini terjadi ketika pelanggan menyadari kebutuhan atau keinginan. Kebutuhan ini dapat bervariasi tergantung dari kebutuhan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup, seperti makanan, minuman dan kebutuhan yang lainnya. 2. Information Source (Pencarian Informasi). Setelah kebutuhan awal telah diketahui, pelanggan akan mencari informasi lebih lanjut untuk membuat keputusan pembelian. Sumber-sumber komersial, publik, atau pengalaman. informasi meliputi: personal, 3. Information Evaluation (Evaluasi Informasi). Dalam hal ini semua tahapan proses pembelian penting, tahap evaluasi sering menjadi titik paling kritis. Dimana konsumen mengevaluasi kualitas dan karakteristik dari berbagai produk berdasarkan karakteristik tertentu seperti atribut produk, tingkat kepentingan, keyakinan merek, dan kepuasan yang diharapkan. 4. Purchase Decision (Keputusan Pembelian). Bahkan setelah konsumen telah membuat evaluasi, mereka tidak dapat membeli produk yang dipilih karena adanya faktor sosial dan kondisi yang diantisipasi, sehingga dapat mempengaruhi niat beli ini. Faktor sosial dapat menimbulkan reaski pertimbangan terhadap pembelian yang dilakukan orang lain. Diduga kondisi ini mencerminkan ekspektasi konsumen tentang seperti apa kondisi eksternal. 5. Post Purchase Behaviour (Perilaku Pasca Pembelian). Selama dalam fase pembelian, konsumen akan bertanya: "Akankah saya menyukai ini?" atau "Apakah ini bagus?" Setelah melakukan pembelian ini menjadi pertanyaan: "Apakah saya suka ini?" atau "Apakah saya mendapatkan transaksi yang baik?" Pasca perilaku pembelian yang positif sangat penting bagi keberhasilan setiap perusahaan. Seorang pelanggan yang puas akan memberitahu tiga orang tentang pengalaman mereka, tetapi pelanggan tidak puas akan mengeluh kepada 11 orang. Perusahaan perlu mendorong pelanggan untuk melakukan diskusi dalam memecahkan masalah tersebut, dengan menggunakan masukan yang mereka berikan untuk meningkatkan produk dan layanan. Setiap fase bekerja sama untuk membentuk proses total pembelian konsumen. Untuk dapat mengetahui sejauh mana poses pembelian konsumen, kiranya perlu adanya upaya seperti: apakah konsumen membutuhkan informasi tentang produk yang akan dibeli, atau mungkin perlu didorong untuk melakukan pembelian. Melalui dukungan sistem informasi yang tersedia dapat pula mendorong seseorang untuk melakukan suatu keputusan termasuk didalamnya dalam hal pembelian. 2.4 Brand Loyalty Menurut Schiffman dan Kanuk (2004), mendefinisikan Brand Loyalty sebagai preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan pembelian pada merek yang sama pada produk yang spesifik atau kategori pelayanan tertentu. Menurut Giddens (2002), Brand Loyalty adalah pilihan yang dilakukan konsumen untuk membeli merek tertentu dibandingkan merek yang lain dalam satu kategori produk. Menurut Durianto, et al. (2001), Brand Loyalty adalah suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada suatu merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih kemerek produk lain. Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah memindahkan suatu pembeliannya kemerek lain, apapun yang terjadi dengan merek tersebut. Menurut Yoo, et al. (2000), Brand Loyalty terkait dengan laba di masa depan, karena secara langsung dihubungkan dengan tingkat penjualan di masa depan. Pelanggan yang setia menunjukkan respon yang lebih menyenangkan terhadap suatu merek dibandingkan dengan pelanggan yang tidak loyal. Pelanggan yang setia terhadap sebuah merek akan melakukan pembelian secara rutin dan menolak untuk mengganti atau menukar dengan merek yang lain. 2.4.1 Tingkatan Brand Loyalty Menurut Durianto, et al. (2001), tingkatan-tingkatan yang terdapat dalam loyalitas merek adalah sebagai berikut: 1. Berpindah-pindah (Switcher). pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini sebagai pelanggan yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin sering pembelian berpindah dari suatu merek kemerek yang lain mengindikasikan bahwa mereka tidak loyal, semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini, merek memegang peranan kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang jelas dalam kategori ini adalah mereka membeli suatu merek karena harganya murah. 2. Pembeli yang bersifat kebiasaan (Habitual Buyer). Pembeli pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk membeli produk lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu membutuhkan usaha, biaya, atau pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini membeli suatu merek ini karena kebiasaan. 3. Pembeli yang puas karena biaya peralihan (Satisfied Buyer). Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk dalam kategori puas bila mereka mengonsumsi merek tersebut. 4. Menyukai merek (Liking The Brand). Pembeli dalam kategori ini adalah pembeli uang benar-benar menyukai merek tersebut. Pada tingkat ini dijumpai perasaan emosional yang terkait dengan merek. Rasa suka pembeli ini bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun kerabatnya ataupun yang disebabkan oleh persepsi kualitas yang tinggi. 5. Pembeli yang komitmen (Commited Buyer). Pada tahap ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain. Menurut Aaker (1991) dalam Degerman Anil dan Duygun Adnan (2010), loyalitas merek dapat diukur melalui beberapa keuntungan, yaitu sebagai berikut: • Pembelian berulang (Repeated Purchase). Loyalitas terhadap merek adalah perilaku yang mengutamakan sebuah merek dengan melakukan pembelian berulang. • Rekomendasi (Recommendation). Loyalitas terhadap merek adaah perilaku niat untuk membeli sebuah produk dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. 2.4.2 Fungsi Brand Loyalty Menurut (Durianto et al., 2003), dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, brand loyalty dapat menjadi aset strategis bagi perusahaan. Berikut adalah beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan: 1. Reduced Marketing Cost (Mengurangi Biaya Pemasaran). Dengan adanya brand loyalty berkaitan dengan biaya pemasaran, biaya pemasaran akan lebih murah terutama dalam mempertahankan konsumen dibandingkan dengan upaya untuk mendapatkan konsumen baru. Jadi biaya pemasaran akan menurun jika brand loyalty meningkat. 2. Trade Leverage (Meningkatkan Perdagangan) Loyalitas yang kuat kepada merek, akan meningkatkan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara marketing. Semakin biasa konsumen membeli suatu produk, maka semakin tinggi frekuensi pembelian konsumen tersebut, yang pada akhirnya dapat meningkatkan penjualan. 3. Attracting New Costomers (Menarik Minat Pelanggan Baru). Banyaknya jumlah konsumen yang merasa puas dan suka pada merek tertentu, maka akan menimbulkan perasaan yakin atau percaya pada calon konsumen lain untuk mengkonsumsi merek tersebut. Disamping itu, konsumen yang puas umumnya akan merekomendasikan merek yang pernah atau sedang dikonsumsi kepada teman atau kerabat dekatnya, sehingga akan menarik konsumen baru. 4. Provide Time To Respond The Competitive Threats (Memberi Waktu Untuk Merespon Ancaman Persaingan). Brand Loyalty akan memberikan waktu pada perusahaan merespon gerakan pesaing. Jika salah satu pesaing mengembangkan produk baru dan unggul, maka konsumen yang loyal akan memberikan waktu pada perusahaan untuk memperbaharui produk yang dihasilkan dengan cara menyesuaikan atau mengadakan inovasi untuk dapat mengungguli produk baru pesaing. 2.5 • • • • • • Kerangka Pemikiran (Framework) Experiential Marketing (X1) Sense Feel Think Act Relate Perceived Quality (X2) • Performance • Serviceability • Features • Realible • • • • • Purchase Decision (Y) Need Recognation Information Source Information Evaluation Purchase Decision Post Purchase • • • • • Brand Loyalty (Z) Switcher Habitual Buyer Satisfied Buyer Liking The Brand Commited Buyer Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran Sumber: Penulis (2015) 2.6 Rancangan Uji Hipotesis Rancangan uji hipotesis dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: Untuk tujuan pertama yaitu mengetahui pengaruh Experiential Marketing terhadap Purchase Decision pada Celebrity Fitness. Sehingga hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah: Ho : Tidak ada pengaruh dari Experiential Marketing terhadap Purchase Decision. Ha : Ada pengaruh dari Experiential Marketing terhadap Purchase Decision. Untuk tujuan kedua yaitu mengetahui pengaruh Perceived Quality terhadap Purchase Decision pada Celebrity Fitness. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr.Hsin Kuang Chi (2009) disimpulkan bahwa perusahaan harus menyadari bahwa konsumen akan mengevaluasi bagian dari dimensi perceived quality dari produk. Semakin tinggi nilai evaluasi yang dilakukan konsumen maka dapat diindikasikan bahwa konsumen tersebut puas terhadap produk dan Brand Loyalty akan meningkat. Sehingga hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah: Ho : Tidak ada pengaruh dari Perceived Quality terhadap Puchase Decision. Ha : Ada pengaruh dari Perceived Quality terhadap Purchase Decision. Untuk tujuan ketiga yaitu mengetahui pengaruh Experiential Marketing terhadap Brand Loyalty pada Celebrity Fitness. Menurut Januar.T.Oeyono (2013) disimpulkan bahwa semua dimensi Experiential Marketing memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Brand Loyalty. Sehingga hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah: Ho : Tidak ada pengaruh dari Experiential Marketing terhadap Brand Loyalty. Ha : Ada pengaruh dari Experiential Marketing terhadap Brand Loyalty. Untuk tujuan keempat yaitu mengetahui pengaruh Perceived Quality terhadap Brand Loyalty pada Celebrity Fitness. Menurut Dr. Hsin Kuang Chi (2009) disimpulkan bahwa konsumen akan menghasilkan Brand Loyalty karena kualitas produk yang bagus dan melakukan pembelian. Sehingga hipotesis keempat dalam penelitian ini adalah: Ho : Tidak ada pengaruh dari Perceived Quality terhadap Brand Loyalty. Ha : Ada pengaruh dari Perceived Quality terhadap Brand Loyalty. Untuk tujuan kelima yaitu mengetahui pengaruh Purchase Decision terhadap Brand Loyalty pada Celebrity Fitness. Menurut Sri Wahjuni Astuti (2007) disimpulkan bahwa tingkat loyalitas merek yang tinggi berupa komitmen yang kuat dari konsumen terhadap merek dapat menciptakan rasa percaya diri yang besar pada konsumen saat mengambil keputusan pembelian. Sehingga hipotesis kelima dalam penelitian ini adalah: Ho : Tidak ada pengaruh dari Purchase Decision terhadap Brand Loyalty . Ha : Ada pengaruh dari Purchase Decision terhadap Brand Loyalty. Untuk tujuan keenam yaitu mengetahui pengaruh Experiential Marketing dan Perceived Quality terhadap Purchase Decision pada Celebrity Fitness. Sehingga hipotesis keenam dalam penelitian ini adalah: Ho : Tidak ada pengaruh dari Experiential Marketing dan Perceived Quality terhadap Purchase Decision. Ha : Ada pengaruh dari Experiential Marketing dan Perceived Quality terhadap Purchase Decision. Untuk tujuan ketujuh yaitu mengetahui pengaruh Experiential Marketing dan Perceived Quality terhadap Brand Loyalty pada Celebrity Fitness. Sehingga hipotesis ketujuh dalam penelitian ini adalah: Ho : Tidak ada pengaruh dari Experiential Marketing dan Perceived Quality terhadap Purchase Decision. Ha : Ada pengaruh dari Experiential Marketing dan Perceived Quality terhadap Purchase Decision.