3. Belajar Dari Kearifan Lokal Permukiman di - Faculty e

advertisement
Seminar Nasional Lingkungan Hidup
Belajar Dari Kearifan Nilai Lokal / Budaya Untuk Mengatasi Dampak Perubahan
Iklim*)
Lilianny Sigit Arifin
Bidang Studi Permukiman dan Perkotaan.
Jurusan Arsitektur, FTSP - Universitas Kristen Petra, Surabaya
Email : [email protected]
Pengantar
Jaman telah membuktikan bahwa kebudayaan adalah rangkaian pencapaian nilai-nilai oleh
umat manusia untuk menjaga keberlangsungan hidup yang penuh dengan makna. Oleh sebab
itu mengapa setiap budaya mempunyai simbol-simbol yang bukan sekedar untuk dikagumi
tetapi untuk dipelajari, apakah makna dibalik setiap simbol simbol yang hadir dalam karyakarya mereka, baik yang bersifat ‘tangible’ seperti arsitektur, kain hasil kerajinan, maupun
yang ‘intangible’ seperti tarian, nyanyian, perayaan keagamaan, dsb.
Namun, tanpa disadari setiap ada sebuah gejala baru, kita cenderung untuk bertolak pada
contoh-contoh dari Barat (baca kebudayaan Eropa dan Amerika). Pertanyaannya, mengapa
kita tidak bertolak dari kebudayaan Timur (baca Asia) atau bahkan dari kebudayaan Indonesia
sendiri ? Paper ini berusaha untuk mengangkat kembali nilai-nilai kerifan lokal melalui karyakarya arsitektur tradisional, yang telah membuktikan nilai-nilai keberlanjutannya.
Dengan masih ditemukannya bukti sejarah dalam bentuk artefak bangunan dan tulisan, maka
hubungan antara manusia kini dan pendahulunya menjadi nyata, ada sebuah kesinambungan
sejarah yang nyata. Pemahaman bahwa budaya adalah sebuah keberlanjutan dari satu generasi
ke generasi berikutnya akan membawa manusia lebih arif dalam melihat dirinya, karena
mampu menempatkan diri dalam konteks yang lebih luas dan meninggalkan prasangka bahwa
tradisi itu kuno.
Belajar dari permukiman tradisional bukan berarti meniru apa yang ada pada masa lampau,
tetapi belajar bagaimana kita bersikap dalam membangun permukiman yang berkelanjutan.
Sehingga sikap hidup yang kita pelajari dapat menjadi cermin pada konteks saat ini untuk
dikembangkan menjadi sumbangan ide untuk mengadapatasi perubahan iklim.
1. Mengapa Budaya Harus Dipertimbangkan Dalam Perubahan Iklim.
Sampai saat ini, perubahan iklim telah banyak dibicarakan dalam berbagai seminar dan
konferensi, namun penekanannya lebih pada perspektif penghematan energi. Padahal manusia
dan masyarakat, sebenarnya merupakan faktor utama dan menjadi subyek dari perubahan
iklim itu sendiri. Ilmu- ilmu budaya dan sosial memainkan peran penting dalam menyikapi
gejala perubahan iklim akhir akhir ini. Sudah saatnya kita menyadari bahwa ulah manusia
yang konsumtif disebabkan oleh apa? Dan bagaimana kita harus berani keluar dari
kemapanan sebuah gaya hidup untuk dapat melahirkan sebuah adaptasi terhadap dampak
dampak dari perubahan iklim.
Saya mulai dari asumsi bahwa sebagai makhluk hidup individu dan sosial, kita mempunyai
tanggungjawab terhadap lingkungan sekitar tempat kita hidup. Hal ini berhubungan dengan
pola-pola budaya seperti nilai nilai spiritual, gaya hidup sehari-hari, teknologi yang kita pakai
sehari-hari dan informasi yang kita gunakan. Sebagai makhluk hidup individu, kita
mempunyai tanggungjawab pribadi/personal kepada Sang Pencipta memelihara bumi.
*)
Disampaikan pada Seminar Nasional Lingkungan Hidup , 16 Mei 2009 di Universitas Kristen Petra, Surabaya.
1
Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin
Seminar Nasional Lingkungan Hidup
Sedangkan sebagai makhluk hidup sosial, kita mempunyai tanggungjawab bersama/komunal
kepada sesama untuk melanjutkan kesinambungan sebuah tradisi. Sesama yang dimaksud,
adalah dari generasi sebelumnya, generasi sekarang dan ke generasi berikutnya.
Sebagai sebuah generasi di abad informasi, sudah saatnya kita berhenti sejenak untuk
melakukan sebuah refleksi. Refleksi pada budaya melalui artefak-artefaknya akan membantu
kita memperoleh sebuah kerangka untuk menghadapi perubahan iklim. Refleksi ini harus
berdasarkan pada skema interpretasi yang mampu mendorong manusia sebagai pengambil
keputusan baik secara individu maupun sosial melakukan aksi untuk masa depan. Interpretasi
yang bukan hanya berdasarkan pada kemajuan jaman, tetapi juga keluhuran nilai-nilai
tradisional di masa lalu.
Dalam studinya, Thompson (2000) mengatakan bahwa pembangunan pada masyarakat
industri mempunyai tolak ukur berhasil bila pertumbuhan ekonomi sebuah kota atau negara
meningkat. Hal ini telah mendorong tumbuhnya kapitalisme, yang bukan saja mendorong kita
pada sebuah bencana global, tetapi juga telah merampas pemahaman dan kedekatan kita
dengan alam dan kehidupan sosial. Kemajuan industri yang membawa kita pada kehidupan
serba “instan” seperti alat transportasi dengan kecepatan semakin tinggi, air minum dalam
kemasan, makanan dan minuman suplemen yang bervitamin dan juga munculnya pendingin
ruangan, telah membawa kita sebagai manusia dan lingkungan kita mengalami degradasi
kepekaan terhadap alam. Hal ini terjadi karena teknologi industri telah memanjakan kita
untuk tidak menggunakan tenaga kita. Hampir semua jenis makanan dapat diproduksi dalam
kaleng, sehingga kontak kita dengan alam pun menjadi berkurang. Kita tidak lagi pernah
menyentuh segarnya sebuah buah atau sayuran, tetapi yang kita sentuh adalah botol dan
kalengnya.
Tanpa kita sadari, kita semakin jauh dengan alam sekitar, juga hubungan sosial kita dengan
sesama. Tumbuhnya pembangunan di kota kota besar, seperti mall-mall raksasa, ternyata
memacu munculnya jurang antara yang kaya dan yang miskin. Jurang ini bukan saja terjadi
pada sebuah kota, tetapi muncul antar negara, hal ini dipacu oleh munculnya pasar global.
Kebutuhan negara maju harus dilayani oleh negara berkembang, namun dikemas dalam
bahasa politik ekonomi sehingga seolah olah kerja sama perindustrian antar negara
merupakan hal yang positif. Tetapi kenyataannya, tanpa disadari kita telah mengelabuhi
rakyat kita sendiri, dengan menjual hasil hutan dan hasil bumi kita untuk kepentingan ekspor.
Sehingga sekarang kita sendiri yang merasakan dampaknya dengan permainan harga yang
tidak riil. Ketika harga di pasar tidak riil, yang paling dirugikan adalah rakyat miskin.
2. Revolusi Industri vs Arsitektur Tradisional : Datangnya Budaya Mesin,
Hilangnya Kearifan Lokal dan Kontak Dengan Alam.
Pada tahun 1712, Thomas Newcomen menemukan mesin uap. Penemuan ini merupakan awal
dari terjadinya revolusi industri di Eropa. Gerakan industrialisasi ini berhasil menciptakan
suatu sistem masyarakat yang mengagungkan mesin yang mampu menciptakan teknologi
produk massal. Hal ini mempengaruhi beberapa arsitek yang mencetuskan era arsitektur
modern seperti Mies van de Rohe, Le Corbusier, Walter Grophius, dan Louis Sullivan.
Grophius berjaya dengan mendirikan sekolah BauHaus pada tahun 1919, di Wiemar, yang
dianggap sebagai cikal bakal para arsitek-arsitek modern saat itu. Corbusier dikenal dengan
slogannya 'machine for living', dengan karyanya sebuah perumahan di Perancis 'unite
d'Habitation pada tahun 1947. Mies dikenal dengan keberaniannya mendesain rumah yang
transparan dengan dinding kaca, dia selalu mengagungkan pengolahan disain dengan grid
akan menghasilkan sebuah desain yang bersih. Mies dikenal dengan slogannya 'less is more',
dan menjadi kepala sekolah BauHaus pada tahun 1929. Sedang Sullivan dikenal dengan
konsepnya “Form Follow Function”. Sebagai bapak pembangunan kota Chicago, Sullivan
berhasil menghadirkan citra kota vertikal, membawa kota Chicago hidup kembali setelah
2
Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin
Seminar Nasional Lingkungan Hidup
mengalami kebakaran besar pada tahun 1885, dengan mendirikan bangunan tinggi (8-12
lantai) dengan dominasi bahan baja dan kaca.
Kehadiran industri, secara perlahan menghasilkan sebuah budaya baru dan seolah-olah
melihat yang lama (baca tradisional) menjadi usang. Sikap tidak mau ketinggalan jaman ini
secara perlahan pula mendekatkan manusia dengan teknologi dan menjauhkan manusia dari
alam. Tingkat kenyamanan manusia di metropolitan perlahan digiring oleh para penguasa
kota untuk masuk dalam bangunan. Sistem kapitalis yang otoriter, seperti pembangunan mall
dan perubahan peruntukan lahan demi pembangunan kota, menjauhkan manusia dari habitat
ekosistemnya, bahwa manusia butuh udara, air, dan bau tanah (baca tanaman). Sehingga
masyarakat modern lebih dimanjakan dengan pemakaian mobil turun dekat pintu masuk, dan
langsung masuk ke bangunan/mall/kantor yang tertutup tapi memakai pendingin udara
sehingga terasa nyaman, karena tidak panas. Tetapi apakah bangunan tersebut sehat?
Permasalahan pokok yang dialami warga kota adalah kehilangan kontak dengan alam.
Bahkan, seringkali dalam seminar-seminar tentang kepedulian lingkungan, obyek diskusi kita
terpaku pada kerusakan alam sebagai sebuah produk lingkungan di dekat kita. Namun
sebenarnya kita lupa bahwa pembangunan untuk manusia, dan yang sering terjadi demi
perbaikan lingkungan kita juga mengorbankan kelompok manusia yang menghuninya.
Konteks sosial budaya yang selalu beralaskan geografis dan iklim tertentu menjadi kabur
bahkan tidak disadari. Referensi literature tentang kemajuan pembanguna di negara Eropa dan
Amerika, yang diperoleh dari buku dan dunia internet lebih menarik untuk ditiru. Mulai dari
yang sederhana makanan, cara berpakaian sampai bentuk arsitektur.
Dalam era modern, desain dianggap suatu kegiatan yang terpisah dari proses produksi, dan
desain merupakan bagian dari suatu produk yang bernilai ekonomis. Desain semakin jauh
dengan dunia seni dan ekspresi diri, karena dampak sistem kerja mesin dan produksi massal.
Hal ini berbeda dengan konsep desain tradisional, dimana desain adalah bagian dari sebuah
seni yang mempunyai dimensi sosial, desain adalah olah seni yang mengekspresikan jati diri
dalam bentuk ornamen-ornamen yang mempunyai makna budaya yang kuat.
Membangun pada masa lalu selalu terdorong oleh pemaknaan kegiatan dalam ruang yang
dibatasi oleh unsur alam dan iklim, sehingga wujudnya bagaikan lahir, berkembang dan
kemudian mengalami pemantapan untuk diteruskan ke generasi lain sehingga menjadi tradisi.
Kini keadaan amat berbeda, membangun tak lagi terdorong oleh pemenuhan kebutuhan
berkegiatan bagi pemilik. Membangun kini tak perlu menghasilkan bangunan yang dipakai
sendiri atau kelompok, melainkan suatu pasokan bagi calon-calon pemakai sehingga dengan
demikian makna yang dibangun tidaklah oleh pemakai, melainkan oleh penggagas untuk
calon pemakainya.
Bangunan di kota-kota besar kini dapat dengan cepat dirubuhkan untuk suatu kepentingan
yang berdasarkan nilai jual. Slogan yang amat menghimbau adalah, anda adalah: apa yang
anda pakai, apa yang anda kendarai, apa yang anda makan,dimana anda tinggal, dimana
anda bekerja, dan dimana anda belanja. Diri seseorang kini lebih ditentukan oleh iklan media
massa dengan memasang selebriti yang memberi tahu anda, bagaimana anda pantas menjadi
manusia. Kenyataan bukan lagi pengalaman nyata, tetapi suatu dunia maya yang dapat
menanamkan citra ke dalam diri seseorang, termasuk bangunan. Sebuah masyarakat baru
telah tumbuh di alam perkotaan di dunia dan kekuatannya amat dahsyat karena dikendalikan
oleh kapitalisme yang rakus dan tak kenal nilai lain selain penambahan dan perputaran modal
(kapital).
Menghadapi keadaan demikian tentu tidak membuat kita mengembalikan keadaan ke masa
lalu, kecuali jika ada suatu bencana manusia atau alam yang membuat kita semua
merenungkan makna membangun dan kembali ke hakekatnya melalui penyadaran terusmenerus. Ketakberdayaan kita menghadapi kenyataan telah dengan jelas tampil saat
3
Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin
Seminar Nasional Lingkungan Hidup
masyarakat kita digoncangkan oleh bencana tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 yang
skalanya amat besar sehingga menggoncang dunia ini masih belum menemukan suatu
penyelesaian yang tertata sampai saat ini.
Perguruan Tinggi sebagai masyarakat ilmiah perlu menggali kembali kekuatan lokal sebagai
bekal bekerjasama dengan pihak developer yang dari segi teknologi jauh mengungguli kita.
Membangun kota (bangunan) berarti membangun diri. Kota tempat kita melakukan kegiatan
sehari-hari, selayaknya kita bangun sebagaimana diri sendiri. Pemahaman terhadap diri tak
akan jelas jika kita tak berjarak dari diri. Dalam hal ini hanya melalui cermin kita mampu
menelusuri darimana asal kita dan bagaimana kita harus berdandan untuk menunjukkan siapa
diri kita. Untuk itu kita tak dapat melupakan sejarah. Sejarah cara mereka membangun akan
mengasah kemampuan kita untuk menjadi lebih arif menyikapi masa lalu dan lebih kreatif
melihat masa depan dengan memahami cara-cara membangun, mencari gagasan yang
cemerlang untuk menjadi karya yang lebih gemilang.
Kalau kita menengok pada arsitektur tradisional, kekaguman kita sampai sekarang tidak
pernah habisnya. Kepiawaian arsitektur tradisional menghadirkan ruang yang penuh makna
dengan bentukannya yang jujur, selalu menarik untuk dipahami. Bentuk bangunan tradisional
merefleksikan bagaimana caranya membangun yang dapat dipelajari secara visual oleh setiap
orang. Arsitekur tradisional mampu menempatkan dirinya sebagai bagian dari kehidupan.
Sayangnya cara membangun, material dan norma-norma yang secara transparan muncul
dalam sebuah karya, perlahan-lahan menjadi usang dan muncul dominasi industri bahan
bangunan yang canggih dan dianggap mampu memunculkan bentuk arsitektur yang lebih
atraktif. Keinginan menjadi ‘wah’ (menonjol) dengan menggunakan bahan yang serba
modern menciptakan suatu bentukan homogen secara global, yang semakin jauh
meninggalkan kontinuitas sebuah budaya
3. Belajar Dari Kearifan Lokal Permukiman di Kalimantan.
Dalam paper ini diambil sebuah studi kasus permukiman ”rumah panjang” di Kalimantan.
Pertanyaaannya, adakah kearifan nilai nilai lokal yang dapat menjadi inspirasi kita dalam
menyikapi issue perubahan iklim? Lebih lanjut apakah permukiman tradisional mempunyai
sebuah potensi ajaran tentang pembangunan permukiman yang berkelanjutan? Dan apakah
kita mampu mengadopsinya untuk mebuuthan di abad 21 ini ? mari kita renungkan bersama.
3.1 Kondisi Sosial
Keragaman kondisi geografis ruang hunian mulai dari pedalaman hutan rimba hingga ke
dekat pantai, membentuk keanekaragaman karakter sosial dan budaya.
Kepercayaan sebagian besar masyarakat Dayak adalah agro-religi (dengan filsafat dan
religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan bahwa alam semesta yang terbagi
menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah. Penghuni seakan-akan tinggal di
bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah mereka hidup
dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan
Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
Bagian hilir banyak menerima pengaruh luar, bagian tengah sebagian telah menerima
pengaruh luar, bagian hilir-pedalaman lebih konservatif karena sulit dijangkau (berhutan
lebat yang makin sukar dilalui ketika sungai berubah menjadi kering pada musim
kemarau). Demikianlah wilayah pedalaman mendapat perlindungan alam, sedangkan
wilayah yang mendekati pantai mendapat kesempatan lebih besar berhubungan dengan
dunia luar.
4
Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin
Seminar Nasional Lingkungan Hidup
Leluhur mereka mewariskan kepekaan yang sangat tinggi terhadap alam hunian yang
luas. Mereka membagi hutan dalam 4 kelompok pengelolaan, yaitu :
 hutan rima = yang belum pernah ditebang
 jamih muntuk = yang belum pernah dijadikan ladang
 jamih mongit = hutan yang sudah pernah dijadikan ladang
 padang ilalang = daerah yang tidak boleh ditanam lagi
3.2 Kondisi Ekonomi
Mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah bercocok tanam, berburu dan
memancing. Setiap tahun mereka meninggalkan desanya dan hidup sebagai satu kesatuan
kelompok di daerah perladangan selama 4 sampai 6 bulan hingga panen selesai. Begitulah
cara pemanfaatan hutan dengan ladang berpindah (membuka sebagian sangat kecil hutan
di lingkungan huniannya dan membakar hasil tebangan untuk mendapatkan abu sebagai
pupuk. Jika kesuburan telah menurun, mereka berganti lahan untuk membiarkan yang
lama mengalami proses pemulihan alami). Jika tidak berladang di hutan seperti itu,
mereka bertanam padi di tanah paya (tanah becek, berlumpur).
Struktur utama bangunan rumah panjang berupa kayu yang keras menggunakan sistem
tebuk-tembus dan pasak yang tidak memerlukan paku sehingga bisa dipakai berulang
kali, elemen-elemen bangunan biasanya dibawa migrasi dengan kapal dan rakit.
3.3 Arsitektur Traditional Kalimantan – “rumah panjang”
Ciri khas rumah tradisional Kalimantan :
Selalu menggunakan sistem konstruksi “rumah panggung” dengan rata-rata ketinggian
panggung antara 2-5 m. Tujuan penggunaan sistem konstruksi ini adalah untuk ventilasi
alami, sebagai tempat menyimpan hasil panen, ternak, berburu dan kayu bakar, selain itu
juga untuk menghindari banjir karena sebagian besar daerah Kalimantan merupakan
daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi. Penggunaan atap pelana dengan sudut
kemiringan yang curam.
Selalu terdapat serambi (teras / balkon) dengan tujuan menambah keprivasian bagi
penghuni rumah.
Entrance bangunan diletakkan pada kedua sisi bangunan dan selalu berhadapan, dengan
tujuan untuk membuat lorong angin mengingat bentuk rumah ini panjang dan tebal sulit
untuk terjadi cross ventlation dengan baik.
Terdapat motif-motif mural dari suku Dayak pada dinding-dinding balai, di mana motif
tersebut menggambarkan roh naga sebagai pembawa pesan dari Tuhan yang di atas.
Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya jaman , “rumah panjang” pun
mengalami perkembangan bentuk menjadi 2 bagian yaitu rumah ibu yang merupakan tempat
tinggal dan rumah dapur sebagai area servis (perapian untuk memasak).Diantara rumah ibu
dan rumah dapur dipisahkan oleh sebuah open space. Hal ini bertujuan untuk menghindari
resiko kebakaran pada rumah ibu (safety).
•Awa : Serambi / Tempat Berkumpul
• Amin : Kamar Tidur
• Sah : Sirkulasi jalan
• Avo : Dapur dan Ruang makan
5
Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin
Seminar Nasional Lingkungan Hidup
3.4. Desain dan Konsep Permukiman Keberlanjutan.
Konsep sustainable design yang digunakan pada perancangan rumah berdasarkan
permukiman tradisional Kalimantan ini dikembangkan dari teori “environmentally symbiotic
housing” oleh Kazuo Iwamura (2005) yang memperhatikan Low Impact, Health and
Amenity, High Contact with Nature. Secara singkat pengertian ketiga parameter sebagai
berikut,
-
Low impact – global environmental protection (energy saving & more effective use
of natural resources)
Meliputi cara-cara bagaimana menyiasati dan mengurangi dampak yang sekecilkecilnya terhadap bumi yaitu dengan memanfaatkan energi terbaharui yang
disediakan oleh bumi (air, udara, matahari, angin, api). Contohnya dengan
menghemat penggunaan energi listrik dengan memanfaatkan energi matahari dan
menerapkan prinsip reduce-reuse-recycle (3R) dalam pengolahan material yang
digunakan.
-
Health & Amenity – a healthy residential, environment with amenities (be safe, feel
safe)
Erat hubungannya dengan sirkulasi udara yang sehat di dalam bangunan yaitu dengan
menggunakan sistem cross ventilation. Selain itu juga memperhatikan penggunaan
material bahan bangunan yang tidak berbahaya bagi kesehatan penghuni dan pekerja
konstruksi bangunan. Penataan ruang-ruang yang baik sehingga penghuni dapat
merasakan keamanan dan kenyamanan tinggal di dalamnya.
-
High Contact – compatability and harmony with the local environment
Menyelaraskan bangunan dengan alam yang memungkinkan terjadinya ekosistem –
rantai kehidupan di dalamnya, yaitu dengan cara menghadirkan biotop baik di luar
maupun di dalam bangunan.
3.5. Analisa Permukiman “RUMAH PANJANG” berdasarkan teori keberlanjutan
(a) Low impact – global environmental protection (energy saving & more effective
use of natural resources)
Struktur rumah panggung dapat memberikan ventilasi yang baik sehingga membantu
pendinginan di dalam rumah.
Banyak bukaan untuk memasukkan ventilasi dan pencahayaan alami. Terdapat
beberapa skylight pada atap yang berfungsi untuk memberikan penerangan alami.
Sistem konstruksi “rumah panjang” sama sekali tidak menggunakan paku, melainkan
menggunakan sistem tebuk-tembus dan pasak. Jadi konstruksi “rumah panjang” ini
nantinya bisa digunakan kembali untuk pemakaian yang berkelanjutan.
(b) Health & amenity - a healthy residential, environment with
amenities ( be safe , feel safe)
Balai dan ruang terbuka yang terdapat pada tiap rumah panjang memberikan area
yang lebih besar dan aman sebagai tempat bermain anak-anak. Hal ini bertujuan agar
anak-anak tetap dalam pengawasan keluarganya.
Kebersamaan antar keluarga dalam masyarakat Dayak yang tinggal di rumah panjang
memberikan rasa aman pada tiap-tiap keluarga yang tinggal di rumah tersebut ,
dengan tujuan untuk saling menjaga.
6
Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin
Seminar Nasional Lingkungan Hidup
Konstruksi rumah panggung setinggi 2 - 4m bertujuan untuk menghindari bahaya
banjir , sesuai dengan kondisi geografi Kalimantan. Di tiap-tiap entrance terdapat
patung dewa penjaga yang sesuai dengan kepercayaan penduduk setempat.
Antara rumah ibu (rumah tinggal) dan rumah dapur (area servis) letaknya dipisahkan
oleh sebuah open space. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko kebakaran di
rumah ibu.
Rumah
Open
Rumah
“Ibu”
Space
“Dapur”
(c ) Harmony and contact with the local environment
Sistem konstruksi yang digunakan pada rumah panjang selalu menggunakan
konstruksi rumah panggung. Hal ini untuk menghormati dan memperlakukan alam
dengan hormat (tidak melakukan cut & fill)
Material konstruksi yang digunakan hampir semua berasal dari alam (hutan setempat)
dan selalu merupakan material alam yang cepat diperbaharui (rapid growth), seperti :
1. Kayu yang berasal dari pohon setempat (Kalimantan) yaitu kayu Galam, kayu
kapur naga, kayu ulin, dsb.
2. Bambu
3. Pelepah daun pisang sebagai material penutup atap
Setiap rumah panjang (kelabit) selalu terdapat taman yang diolah / ditata dengan baik. Hal
ini merupakan salah satu cara masyarakat Dayak untuk hidup harmonis berdampingan
dengan alam yang ada di sekitar mereka
Masyarakat Dayak yang sebagian besar bekerja bercocok tanam biasanya memiliki
ladang sendiri di bagian belakang perkampungannya. Dimana ladang tersebut dicapai
dengan berperahu.
3.5. Aplikasi Desain Berdasarkan Kearifan Lokal Rumah Panjang
Salah satu contoh penanaman kesadaran akan nilai-nilai lokal dapat melalui sebuah tugas
yang memberikan apresiasi dan kritik terhadap permukiman tradisional. Kemudian hasil
apreasiasi dan kritik dapat diterapkan dalam sebuah usulan desain yang kontekstual untuk
menjawab issue perubahan iklim. Contohnya mata kuliah ‘sustainable housing’ yang
mengajak mahasiswa untuk membedah terlebih dahulu sebuah permukiman tradisional,
memahami nilai-nilai kearifan lokal, kemudian dengan pemahaman yang ada, mahasiswa
diminta untuk membuat sebuah desain permukiman masa kini yang berkelanjutan.
7
Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin
Seminar Nasional Lingkungan Hidup
Desain Oleh Christine S, Patricia G,
Dimas P
4. Diskusi.
Sumber sumber budaya dapat merupakan aspek aspek “tangible” maupun yang “intangible”.
Budaya yang tangible bisa dipelajari dari bentuk bentuk permukiman , cara penataan rumah
dan halamannya, termasuk di dalamnya tanaman, binatang yang telah didayagunakan menjadi
jenis makanan maupun barang-barang untuk acara-acara perkawinan maupun perayaan
keagamaan. Sedangkan Budaya yang intangible dapat dipelajari dari bentuk bentuk cerita
rakyat, mitos mitos, lagu lagu, tarian. Bentuk Bentuk budaya ini tidaklah statis, tetapi
mengalami perubahan secara perlahan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu itu adalah hal
yang wajar bila kita mempelajari nilai nilai kearifan lokal kemudian kita kembangkan untuk
membentuk sebuah budaya yang terbarui. Bentuk budaya akan selalu bisa dikembangkan
dengan baik bila memperhatikan geografis lokasi yang dihadapi, sehingga mampu
menciptakan sebuah pola baru yang peka terhadap lingkungan lokal (baca budaya dan iklim).
Kita mampu menciptakan berjuta permukiman baru, tetapi ktia tidak mampu menciptakan
tanah (baca bumi) yang kita pijak.
Sayangnya dengan kemajuan pendidikan arsitektur, dengan mengkotak-kotakan menjadi
sebuah spesialisasi, menjadikan arsitek sekarang menjadi terkotak-kotak. Bukan saja
keahliannya tetapi juga cara berpikirnya seringkali tidak utuh atau tidak tanggap terhadap
masalah kota. Shin (2003) memberikan kritiknya bahwa sekarang arsitek terjebak dalam (1)
spesialisasi yang terpisah-pisah; (2) ketergantungan dengan ide-ide duplikasi/import; (3)
keasingan terhadap problem sosial-budaya sebagai realita hidup. Kita membutuhkan suatu
pembaharuan dalam pengkotakan disiplin yang menjurus pada pola pikir yang utuh atau
berkesinambungan, sehingga tidak semakin merusak wajah kota.
Kalau dunia arsitektur mau berakar dari karakter geografis dan sosial budaya sendiri, tentunya
para arsitek yang dilahirkan akan mempunyai suatu kepekaan terhadap nilai nilai lokal.
Belajar dari permukiman tradisional bukan berarti meniru apa yang ada pada masa lampau,
tetapi belajar bagaimana sikap hidup dalam membangun permukiman yang berkelanjutan.
Sehingga sikap hidup yang kita pelajari dapat menjadi cermin pada konteks saat ini untuk
dikembangkan menjadi sumbangan ide untuk mengadapatasi perubahan iklim.
Saya ingin menutup paper ini dengan mengutip tulisan Mangunwijaya ,
”Manusia ber-satu alam dan ber-satu hukum dengan dunia
semesta fisik di sekelilingnya, tetapi sekaligus mengatasi flora,
fauna, dan alam materi belaka. Hakikat dan tugas budaya
arsitektural pun di situlah. Bagaimana ber-satu hukum dengan
alam semesta, sekaligus mengatasinya; artinya berbudaya,
bermakna”. (1980:2)
8
Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin
Seminar Nasional Lingkungan Hidup
Bahan Bacaan
Dawson, Barry, and John Gillow, 1994, The Traditional Architecture of Indonesia, Thames
and Hudson inc.
Japan Architect Association, 2005, “Architecture for a Sustainable Future”, Institute for
Building Environment and Energy Conservation (IBEC), Tokyo.
Mangunwijaya, 1980, Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi Sendi
Filsafatnya , Gramedia.
Muramatsu, Shin, 2003, Let The mAAN-Flower Bloom Toward A Sustainable Revitalization
of Urban Heritage and Environment Assets, in proceesing 3rd internatioanl
conference of Documenting Built Heritage: Revitalization Of Modern Architecture
in Asia, modern Asian Architecture Network (mAAN), Petra Christian Unviersity,
Surabaya.
Rapoport, Amos, 1986, Culture and Built Form – A Resiconderation, in D.G.Saile,
Architecture in Cultural Change, University of Kansas, Lawrence.
Schefold, Reimar Gaudenz Domenig, and Peter Nas , 2006, Indonesian Houses, The Bornean
longhouse in historical perpective, 1850-1990, hlm 285-331.
Suwondo,Bambang, 1978, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Pusat Penelitian Sejarah Dan
Budaya Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Thompson, M, 2000, Global Networks and Local Cultures, in C Engel and K.H.Keller (ed.),
Understanding the Impact of Global Networks on Local Sosial, Political and
Cultural Values. Baden – Baden, Nomos.
9
Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin
Download