BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis geomorfologi daerah penelitian dilakukan dengan cara pengamatan peta topografi dan pengamatan di lapangan. Berdasarkan peta topografi dapat dilihat variasi garis kontur yang menunjukkan perbedaan kerapatan dan penyebaran kontur. Variasi garis kontur tersebut mencerminkan perbedaan relief, ketinggian, kemiringan lereng dan sifat batuan. Berdasarkan pengamatan langsung, perbedaan tekstur yang tergambar dalam peta topografi dapat berupa rangkaian perbukitan, dataran, lembah, gawir dan punggungan. Analisis peta topografi menghasilkan peta satuan geomorfologi yang didasarkan pada pola kontur yang hadir. Selain bentuk geomorfologi daerah penelitian, analisis peta topografi juga dilakukan untuk mengetahui pola aliran sungai dan tipe genetik sungai. Berdasarkan pengamatan geomorfologi, dapat diperkirakan tahapan geomorfik yang terjadi di suatu daerah. Tahapan tersebut dapat dilihat dari bentuk lembah sungai dan kesesuaian arah kemiringan lereng dengan arah kemiringan lapisan dari litologi penyusunnya. Tahapan geomorfik muda ditandai oleh morfologi yang terjal dengan lembah sungai berbentuk “V” serta didominasi oleh erosi vertikal. Tahapan geomorfik dewasa ditandai oleh morfologi yang tidak terjal, mulai terbentuk teras sungai dengan lembah yang mulai berbentuk “U” dimana menunjukkan bahwa erosi horizontal lebih dominan daripada erosi vertikal. Selain dari lembah sungai, tahapan geomorfik dewasa juga ditandai oleh perbedaan arah kemiringan lereng dengan kemiringan lapisan. Tahapan geomorfik dewasa yang teramati di lapangan berupa perbedaan arah kemiringan lapisan batuan yang menyusun topografi lembahan dengan kemiringan lereng pada satuan geomorfologi tersebut. Perbedaan arah kemiringan tersebut 13 menunjukkan bahwa daerah ini telah mengalami erosi yang intensif sehingga mengubah arah kemiringan lerengnya. Topografi di daerah penelitian menunjukkan perbedaan arah kemiringan lereng yang berarah timur laut dengan arah kemiringan lapisan di lapangan yang berarah barat daya. Meskipun arah kemiringan lereng sudah berlawanan dengan arah kemiringan lapisan, pola kelurusan yang mengindikasikan sesar masih dapat teramati. Oleh karena itu, tahapan geomorfik di daerah penelitian merupakan tahapan dewasa. A B Foto 3. 1. A) Tipe lembah sungai berbentuk "V". B) Tipe lembah sungai berbentuk "U" 3.1.1 Sungai dan Pola Aliran Pola aliran sungai adalah jaringan pengairan yang dibentuk oleh satu atau beberapa sungai di suatu daerah. Pola ini dapat dikenali dengan mengamati cabang-cabang sungai yang bersangkutan (Zuidam, 1985). Pola aliran sungai daerah penelitian berdasarkan pengamatan dari kecenderungan keseragaman atau kesamaannya melalui pengamatan di lapangan 14 maupun pengamatan secara tidak langsung pada peta topografi dibagi menjadi dua pola aliran sungai (Gambar 3.1). Pola aliran sungai yang terdapat di daerah penelitian dan interpretasi hubungannya terhadap kondisi geologi yang ada adalah sebagai berikut: - Pola Aliran Subdendritik Pola ini merupakan pola aliran yang umumnya berkembang di daerah penelitian. Pola aliran ini meliputi Sungai. Pola aliran subdendritik yang terbentuk ditafsirkan berkaitan dengan keseragaman jenis litologi. Sungai dengan pola aliran dendritik terdapat pada batuan yang homogen atau batuan yang memiliki resistensi yang sama - Pola Aliran Sentripetal Pola aliran ini tampak di bagian timur daerah penelitian. Pola ini menunjukkan sistem pengaliran sungai yang memusat ke daerah depresi atau cekungan (Utoyo, 2007). Ciri khas dari pola aliran sentripetal adalah beberapa sungai yang berasal dari berbagai arah kemudian memusat di dasar cekungan. 3.1.2 Satuan Geomorfologi Menurut Zuidam (1985), beberapa parameter yang digunakan untuk mendeskripsikan satuan geomorfologi adalah ketinggian relatif (Tabel 3.1), panjang lereng (Tabel 3.2), kemiringan lereng (Tabel 3.3). Berdasarkan parameter-parameter tersebut, daerah penelitian dapat dibagi menjadi empat satuan geomorfologi, yaitu Satuan Perbukitan Aliran Lahar, Satuan Dataran Aliran Lahar, Satuan Lembah Homoklin, dan Satuan Bukit Intrusi. 15 Tabel 3.1 Klasifikasi ketinggian relatif (Zuidam, 1985) Tabel 3.2 Klasifikasi panjang lereng (Zuidam, 1985) Tabel 3.3 Klasifikasi kemiringan lereng (Zuidam, 1985) 16 Gambar 3. 1. Peta pola aliran sungai di daerah penelitian berupa pola subdendrtik dan sentripetal 3.1.2.1 Satuan Perbukitan Aliran Piroklastik Satuan ini menempati sebagian besar daerah penelitian, yaitu sekitar 35 %. Satuan ini berada di bagian barat dan selatan daerah penelitian. Pada peta geomorfologi (Lampiran E2), satuan ini ditandai dengan warna kuning. Ciri satuan ini memiliki relief berupa perbukitan dengan kemiringan agak landai 17 hingga curam (4 - 25%) dengan ketinggian topografi berkisar antara 400 - 570 m berupa perbukitan hingga perbukitan tinggi berdasarkan klasifikasi Zuidam (1985) (Foto 3.2). Dilihat dari pola kontur, litologi pada satuan ini berupa batuan keras yang resisten terhadap erosi. Berdasarkan pengamatan di lapangan, litologi pada satuan ini berupa breksi vulkanik dengan sisipan piroklastik dan lava basalt. Dilihat dari resistensi batuan, litologi daerah ini memiliki ketahanan terhadap erosi, struktur geologi pada satuan ini dikontrol oleh adanya sesar. Pada satuan ini sering juga terjadi longsoran dan proses eksogen lainnya. Satuan ini telah mengalami proses erosi yang cukup dominan sehingga menghasilkan bentuk perbukitan bergelombang. Baratdaya Timurlaut Foto 3. 2. Satuan Perbukitan Aliran Piroklastik yang mengelilingi dataran (foto diambil dari Nagrog menghadap barat laut) 3.1.2.2 Satuan Dataran Aliran Piroklastik Satuan ini berada di bagian utara daerah penelitian, menempati 30 % daerah penelitian. Pada peta geomorfologi, satuan ini ditandai dengan warna merah muda (Lampiran E2). Ciri satuan ini memiliki relief berupa dataran dengan 18 kemiringan datar hingga agak landai (1 - 4%). Ketinggian topografi berkisar antara 350 - 400 m berupa perbukitan berdasarkan Zuidam (1985). Satuan ini merupakan perbukitan berdasarkan ketinggian tetapi dinamai sebagai Satuan Dataran Aliran Piroklastik untuk menunjukkan perbedaan kemiringan lerengnya dengan Satuan Perbukitan Aliran Piroklastik (Foto 3.3). Berdasarkan pengamatan pola kontur, litologi pada satuan ini adalah batuan yang relatif lebih lunak dibandingkan batuan yang menyusun Satuan Perbukitan Aliran Piroklastik. Berdasarkan pengamatan di lapangan, litologi yang menyusun satuan ini adalah breksi vulkanik dengan masa dasar pada umumnya sudah terubah menjadi lempung dengan sisipan piroklastik dan lava basalt. Pada daerah ini, sisipan piroklastik lebih banyak dibandingkan dengan sisipan lava basalt. Sehingga topografi yang terbentuk lebih landai dan datar dibandingkan dengan satuan perbukitan aliran lahar. Pada satuan ini sering juga terjadi longsoran dan proses eksogen lainnya. Satuan ini telah mengalami proses erosi yang cukup dominan sehingga menghasilkan bentuk dataran. Baratlaut Tenggara Foto 3. 3. Satuan Dataran Aliran Piroklastik yang digunakan untuk pesawahan (foto diambil dari jalan raya Cieunteung menghadap timur laut) 19 3.1.2.3 Satuan Lembah Homoklin Satuan ini menempati 25 % daerah penelitian. Satuan ini berada di bagian timur daerah penelitian. Pada peta geomorfologi, satuan ini ditandai dengan warna hijau (Lampiran E2). Satuan ini memiliki relief berupa lembah dengan kemiringan landai hingga agak curam (7 - 15%) berdasarkan klasifikasi Zuidam (1985) (Foto 3.4). Ketinggian topografi satuan ini berkisar antara 150 -350 m. Dari pola kontur, litologi pada satuan ini merupakan batuan lunak. Berdasarkan pengamatan di lapangan, litologi yang menyusun satuan ini adalah batulempung. Batulempung di daerah ini bersifat masif dan memiliki nodul dan setempat memiliki sisipan batupasir tufan. Dilihat dari resistensi batuan, litologi daerah ini memiliki ketahanan rendah terhadap erosi, struktur geologi pada satuan ini dikontrol oleh adanya sesar. Pada satuan ini sering terjadi longsoran dan proses eksogen lainnya dikarenakan kontaknya dengan satuan batuan breksi. Satuan ini telah mengalami proses erosi yang cukup dominan sehingga menghasilkan bentuk lembah curam dengan pola sungai sentripetal. Barat laut Tenggara Foto 3. 4. Satuan Lembah Homoklin yang dipergunakan sebagai pesawahan (foto diambil dari lokasi G.8.3 menghadap timurlaut) 20 3.1.2.4 Satuan Bukit Intrusi Satuan ini menempati sekitar 10 % daerah penelitian. Satuan ini berada di bagian selatan daerah penelitian. Pada peta geomorfologi, satuan ini ditandai dengan warna merah (Lampiran E2). Satuan ini memiliki relief berupa bukit terisolir dengan kemiringan lereng landai hingga curam (10 - 25%) berdasarkan klasifikasi Zuidam (1985). Ketinggian topografi satuan ini berkisar antara 470 590 m dari permukaan laut atau berupa perbukitan tinggi berdasarkan Zuidam (1985) (Foto 3.5). Litologi pada satuan ini adalah andesit piroksen. Dilihat dari resistensi batuan, litologi daerah ini memiliki ketahanan tinggi terhadap erosi dan memperlihatkan bentuk bukit-bukit tinggi dan terisolir. Barat Timur Foto 3. 5. Satuan Bukit Intrusi yaitu Gunung Muncang (foto diambil dari kaki Gunung Muncang menghadap utara) 21 3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian Daerah penelitian memiliki tiga satuan litologi, yaitu Satuan Batu Lempung yang merupakan satuan batuan paling tua, Satuan Breksi Vulkanik, dan Satuan Andesit sebagai satuan batuan paling muda. 3.2.1 Satuan Batulempung Satuan Batulempung ini menempati bagian timur daerah penelitian. Luasnya mencapai 4 km2, atau sekitar 19% dari keseluruhan daerah penelitian. Satuan ini berwarna hijau pada peta geologi di Lampiran E3. Satuan Batulempung 0 memiliki kedudukan lapisan N 150 E/600 dan N 1450 E/670. Satuan ini tersingkap di Sungai Cibeureunyeuh (G.5.5 dan G.5.7), Hambawang (G.09.12, G.09.13, dan G.09.14), Sungai Cipicung (G.12.22 dan G.12.23), dan Sungai Cacaban (G.13.1, G.13.4, dan G.13,7) seperti yang ditunjukkan pada Peta Lintasan (Lampiran E-1). Singkapan satuan ini ditemukan dalam kondisi lapuk dikarenakan litologi yang tidak resisten terhadap pelapukan dan erosi. Ketebalan satuan ini berdasarkan rekonstruksi penampang geologi adalah lebih dari 250 meter yang terlampir pada Peta Geologi (Lampiran E-3). Ketebalan satuan ini sulit ditentukan karena tidak ditemukannya kontak dengan satuan di bawahnya. Satuan Batulempung tersusun atas litologi batulempung sisipan batupasir tufan. Profil Satuan Batulempung ditunjukkan oleh Gambar 3.2. Kenampakan satuan ini di lapangan dicirikan dengan batulempung berwarna abu-abu, karbonatan, masif, telah mengalami pelapukan konkoidal, beberapa tempat ditemukan adanya nodul-nodul seperti yang ditunjukkan pada Foto 3.6 dan Foto 3.7. Berdasarkan analisa petrografi, batulempung pada satuan batuan ini mengandung kalsit, pecahan cangkang foraminifera kecil dan pecahan gelas. Berdasarkan hasil uji kalsimetri yang diuji pada sampel G.5.5 dan G.13.1 (Lampiran D, Analisis Kalsimetri), didapatkan kandungan karbonat rata-rata sekitar 15,6%. Berdasarkan klasifikasi campuran lempung-gamping (Pettijhon, 1957 dalam Koesoemadinata, 1985), maka batulempung pada satuan ini merupakan napal-lempung (Lampiran D). 22 Batupasir tufan pada Satuan Batulempung memiliki kenampakan di lapangan berupa batupasir berwarna coklat terang, berukuran pasir kasar (0,5-1 mm)-pasir halus(< 0,5 mm), memiliki masadasar berupa tuf karbonatan, terpilah baik dengan bentuk butir membundar-menyudut tanggung, kemas tertutup, memiliki struktur sedimen flasher (Foto 3.8), yaitu perlapisan gelembur gelombang (ripple lamination) dengan goresan tipis butiran berukuran lempung yang hadir diantara susunan perlapisan silang siur atau perlapisan gelembur gelombang (ripple bedding) sedimen yang berukuran pasir (Boggs, 2006). Struktur flasher yang hadir tidak terlalu jelas karena singkapan berada pada zona sesar (Foto 3.8). Selain flasher, struktur sedimen yang hadir adalah perlapisan sejajar (parallel lamination). Singkapan batupasir ini terdiri dari batupasir kasar di bawah dan batupasir yang lebih halus di atasnya. Batas antara kedua batupasir tersebut tidak jelas karena singkapan telah hancur akibat proses pensesaran. Berdasarkan pengamatan petrografi, batupasir tufan merupakan batupasir glauconitic quartz wacke (Folk, 1974 dalam Scholle, 1979). Batupasir memiliki tekstur klastik, terdiri dari butiran kuarsa (25 %), plagioklas (10 %), fosil foraminifera (5 %), glaukonit (5 %), hornblenda (4 %), dan fragmen batuan beku (1%), terpilah buruk, bentuk butir membundar-menyudut, kemas terbuka. Matriks berupa gelas dan mineral lempung (40 %) dengan semen kalsit (5 %), porositas intergranular (5%) (Lampiran A-1). Analisis mikropaleontologi menunjukkan bahwa satuan ini berumur Miosen Akhir (N16 –N18) berdasarkan Biozonasi Blow (1969) (Lampiran B). Penentuan umur ini berdasarkan kehadiran dari Globigerina bulloides yang kemunculan awalnya pada N16 menandakan bahwa satuan ini tidak lebih tua dari N16. Selain itu, ditandai dengan punahnya Hastigerina siphonifera involuta pada N18. Spesies-spesies foraminifera plankton lainnya yang ditemukan pada satuan ini adalah Globorotalia venezuelana, Orbulina universa, Orbulina suturalis, Globigerinoides trilobus, dan Globorotalia ascotaensis. Satuan ini merupakan satuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian. 23 Lingkungan pengendapan satuan ini diinterpretasikan berdasarkan asosiasi foraminifera bentonik yang terdiri dari Uvigerina sp., Bolivina sp., Texturalia sp., Operculina sp., Nodosaria sp., Lagena sp., Dentalina sp., dan Gyroidina sp. (Lampiran B). Berdasarkan klasifikasi Robertson Research (1985), asosiasi fosilfosil tersebut berada pada lingkungan Neritik Tengah–Neritik Luar (Lampiran B) atau pada kedalaman 50-200 meter (Bandy, 1967 dalam Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Kehadiran flasher pada batupasir tufan yang merupakan bagian atas Satuan Batulempung ini menunjukkan bahwa pengendapan batupasir berada pada kondisi fluktuasi hidrolik (Boggs, 2006). Periode aktivitas arus, yaitu ketika transportasi traksi dan pengendapan gelembur gelombang (ripple) pasir terjadi, diikuti oleh periode air tenang, yaitu ketika lempung diendapkan. Kondisi lingkungan pengendapan batu pasir ini lebih mendukung pengendapan pasir daripadan lempung sehingga yang terbentuk adalah flasher (Reineck dan Singh, 1980 dalam Boggs, 2006). Menurut Boggs (2006) perlapisan flasher umum hadir pada lingkungan dataran pasang surut (tidal flat) dan subtidal. Berdasarkan anlisis fosil yang menyatakan bahwa batulempung pada Satuan Batulempung diendapkan pada lingkungan neritik tengah-neritik luar. Berdasarkan struktur sedimen flasher pada batupasir tufan pada satuan yang sama menunjukkan bahwa lingkungan pengendapan dipengaruhi arus pasang surut. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa daerah penelitian mengalami pendangkalan yang ditandai dengan perubahan lingkungan pengendapan yang awalnya berupa neritik yang ditunjukkan dengan terendapkannya batulempung karbonatan menjadi daerah pasang surut yang ditunjukkan dengan terendapkannya batupasir tufan bersifat karbonatan dengan struktur flasher. Berdasarkan ciri litologi khas yang dapat dibedakan dengan satuan lain, maka satuan ini dapat disetarakan dengan Formasi Subang (Djuri, 1973). Hubungan stratigrafi satuan ini dengan satuan yang lebih tua tidak ditemukan karena tidak tersingkapnya satuan batuan di bawahnya pada daerah penelitian. Menurut Djuri (1973), hubungan antara Satuan Batulempung dengan satuan di bawahnya yang sebanding dengan Formasi Halang bersifat selaras. Sedangkan hubungan satuan 24 ini dengan satuan batuan di atasnya bersifat tidak selaras, ditunjukkan dengan perbedaan umur dan kontak erosional yang hadir (Foto 3.9). Barat Timur A B Foto 3. 6. A)Satuan Batulempung masif. B)Perbesaran foto 3.6 A (foto diambil di lokasi G.5.9 menghadap utara) U Foto 3.7. Satuan Batulempung bernodul (foto diambil di lokasi G.13.3) 25 B A flasher Foto 3.8. A)Sisipan Batupasir tufan bersifat menghalus ke atas. B) Flasher pada batupasir tufan (foto diambil di lokasi G.6.5 dengan singkapan berada di tepi timur Sungai Cikujang) A Satuan Breksi Satuan Batulempung B Foto 3. 9. A)Kontak Satuan Batulempung dan Satuan Breksi Vulkanik. B)Satuan Breksi Vulkanik mengerosi Satuan Batulempung (foto diambil di lokasi G.5.4, di tebing utara sungai yang berarah N 2650E) 26 Gambar 3. 2 Profil Satuan Batulempung yang diambil di Sungai Cikujang menunjukkan adanya perubahan litologi dan kecenderungan pola sedimen akibat perubahan lingkungan pengendapan. 3.2.2 Satuan Breksi Vulkanik Satuan Breksi Vulkanik ini menempati bagian barat daerah penelitian, menyebar hingga bagian utara dan selatan daerah penelitian. Satuan ini berwarna jingga pada peta geologi (Lampiran E3). Luasnya mencapai 17,5 km2, atau 27 sekitar 75% dari keseluruhan daerah penelitian. Singkapan satuan ini jarang ditemukan dalam kondisi baik karena lapuk. Satuan ini membentuk morfologi perbukitan dan dataran dengan tata guna lahan berupa persawahan dan permukiman, seperti yang terdapat di Desa Conggeang Kulon, Desa Narimbang dan Desa Cipamekar. Kenampakan satuan ini di lapangan dicirikan dengan breksi vulkanik dengan sisipan berupa aliran lava dan piroklastik. Breksi berwarna coklat dengan ukuran butir kerikil hingga berangkal, pemilahan buruk hingga sedang, bentuk butiran menyudut hingga menyudut tanggung, matriks lempung hingga pasir, semen non karbonatan, fragmen basalt, andesit, tuf kristalin, kompak, kemas terbuka, porositas buruk (Foto 3.10). Berdasarkan analisis petrografi, fragmen dalam breksi terdiri dari tuf kristalin, andesit piroksen,dan basalt. Dari kontak antara breksi vulkanik dan batu lempung, breksi vulkanik mengerosi batulempung yang memiliki umur lebih tua. Timur A Barat B Foto 3.10. A)Satuan Breksi Vulkanik di tepi Sungai Cipanas. B)Satuan Breksi Vulkanik dengan pemilahan buruk (foto diambil di lokasi G.11.9 menghadap selatan) 28 Pada Satuan Breksi Vulkanik terdapat sisipan lava basalt (Foto 3.11). Singkapan lava basalt ditemukan dalam kondisi yang baik karena ketahanan batuan tersebut terhadap proses pelapukan. Kenampakan litologi ini di lapangan berupa basalt berwarna abu-abu gelap, afanitik, memiliki vesikuler (Foto 3.11 B) dan memperlihatkan struktur aliran. Pada pengamatan petrografi, sisipan basalt menunjukkan kehadiran fenokris berupa olivin berbentuk euhedral, piroksen dan plagioklas dengan masa dasar plagioklas dan piroksen yang memperlihatkan tekstur aliran. Timur Barat A Foto 3. 11. A) Aliran Lava Basalt sebagai sisipan pada Satuan Breksi Vulkanik. (foto diambil di lokasi G.10.1 menghadap selatan). B) Vesikuler pada Basalt (foto diambil di lokasi G.10.1) B 29 Selain sisipan lava basalt, pada satuan ini juga terdapat sisipan piroklastik (Foto 3.12) yang telah lapuk dan kondisinya yang lepas-lepas. Singkapan piroklastik yang ditemukan memiliki ketebalan 10 cm hingga ± 3 meter. Kenampakan piroklastik tersebut di lapangan berupa tuf, berwarna coklat terang, berukuran butir abu kasar, pemilahan baik, kemas tertutup, kompak, porositas baik. Jurus dan kemiringan sisipan tuf ini adalah N 3300 E/60. Barat Timur A B Foto 3. 12. A)Singkapan tuf sebagai sisipan dalam Satuan Breksi Vulkanik. B)Kontak tuf dengan breksi vulkanik (foto diambil di lokasi G.10. 16, di tebing utara Sungai Ciporong yang berarah barat timur) Tuf Breksi Selain tuf, sisipan piroklastik pada Satuan Breksi Vulkanik juga berupa tuf lapili, lapili, dan tuf kasar. Perlapisan tersebut memiliki jurus dan kemiringan N 600E/30. Perlapisan piroklastik tersebut juga menunjukkan adanya struktur silang 30 siur sejajar (Foto 3.13). Singkapan piroklastik memiliki tebal ± 3 meter dengan kondisi lapuk dan lepas-lepas. Singkapan ini berupa tuf lapili berwarna abu-abu terang, ukuran butir abu hingga lapili, pemilahan buruk, fragmen berukuran lapili tertanam dalam masa dasar berukuran abu kasar, kemas terbuka, lepas-lepas, porositas baik. Selain itu, terdapat juga lapili berwarna abu terang, ukuran butir lapili, pemilahan baik, kemas tertutup, lepas-lepas, porositas baik. Tuf kasar, berwarna abu terang, berukuran butir abu kasar, kemas tertutup, lepas-lepas, porositas baik. A B Foto 3.13. A)Singkapan piroklastik sebagai sisipan pada Satuan Breksi Vulkanik. B)Piroklastik ini memiliki perlapisan dengan kedudukan N 600 E/30 NE (foto diambil di lokasi G.13.16, di tebing tenggara Sungai Cacaban) 3.2.3 Satuan Andesit Piroksen Satuan Andesit tersebar di bagian selatan daerah penelitian (Lampiran E3). Satuan batuan ini berupa intrusi. Luasnya mencapai 1 km2, atau sekitar 6% dari 31 keseluruhan daerah penelitian. Singkapan satuan ini ditemukan dalam kondisi baik. Satuan ini membentuk morfologi bukit terisolir. Kenampakan satuan ini di lapangan dicirikan dengan andesit berwarna abu-abu terang, afanitik-porfritik dengan piroksen sebagai fenokris dalam masa dasar halus (foto 3.14), masif. Berdasarkan pengamatan petrografi, andesit yang ditemukan di daerah penelitian merupakan andesit piroksen dengan masa dasar didominasi oleh mikrolit plagioklas (Lampiran A-11). Foto 3.14. Satuan Andesit Piroksen (foto diambil di lokasi G.1.4 menghadap utara) 32 3.3 Struktur Daerah Penelitian 3.3.1 Pola Kelurusan Pola kelurusan daerah penelitian diperoleh dari analisis kelurusan pada peta topografi. Pola kelurusan di daerah penelitian dibagi menjadi dua, yaitu pola kelurusan pada Satuan Batulempung dan Satuan Breksi Vulkanik. Pembedaan pola kelurusan Satuan Batulempung dan Breksi Vulkanik berdasarkan pada sifat litologi dan proses pengendapan satuan-satuan tersebut. Pola kelurusan tersebut dapat disebabkan oleh adanya perbedaan litologi dan atau struktur. Penarikan kelurusan-kelurusan dilakukan pada peta topografi yang meliputi kelurusan bukit dan kelurusan sungai. Berdasarkan penarikan-penarikan tersebut terlihat bahwa terdapat dua pola kelurusan dominan pada daerah penelitian, yaitu pola kelurusan Timur Laut-Barat Daya (N 400 E) pada Satuan Breksi Vulkanik dan pola kelurusan Barat-Timur (N 1000 E) pada Satuan Batulempung (Gambar 3.3). A B Gambar 3. 3. A) Pola kelurusan sungai dan bukit pada Satuan Breksi Vulkanik memiliki arah umum N 40 0E. B)Pola kelurusan sungai dan bukit pada Satuan Batulempung memiliki arah umum N 100 0E. Pola kelurusan timurlaut–baratdaya diperlihatkan oleh kelurusan yang dibentuk oleh Sungai Cipanas, Sungai Cikeresek, Sungai Cipeuteuy, Sungai 33 Cilalangkahan atau Sungai Cikujang. Selain dibentuk oleh sungai-sungai tersebut, kelurusan berarah timurlaut–baratdaya juga dibentuk oleh kelurusan bukit intrusi, yaitu Gunung Muncang dan Gunung Cikepuh juga oleh Nagrog dan Cigalumpit. Relief yang dibentuk rangkaian bukit intrusi ini juga ikut mengontrol pembentukan sebagian aliran dari Sungai Cipanas, Sungai Cikeresek, Sungai Cipeuteuy, Sungai Cilalangkahan atau Sungai Cikujang yang juga berarah barattimur. Pola kelurusan ini kemungkinan juga berkaitan dengan pembentukan Sesar Cikujang dan rekahan di sepanjang Sungai Cipanas. Pola kelurusan barat–timur diperlihatkan oleh Sungai Cipicung, Sungai Ciporong, Sungai Cikukulu dan anak-anak sungai di Desa Cibeureunyeuh dan Desa Conggeang Wetan. Pola ini juga berkaitan dengan Sesar Cipicung. 3.3.2 Struktur Sesar Analisis struktur dilakukan dengan dua metode yaitu pengamatan terhadap peta topografi dan pengamatan di lapangan. Di lapangan, sesar tersebut dapat diidentifikasi dari bidang sesar, gores garis, breksiasi, dan off set. Berdasarkan pengamatan terhadap peta topografi dan lapangan, struktur sesar yang didapat di daerah penelitian adalah Sesar Cipicung dan Sesar Cikujang. Sesar Cikujang dan Cipicung memotong Satuan Batulempung dan Satuan Breksi Vulkanik, sehingga diperkirakan berumur Holosen. Kedua sesar ini berlangsung pada satu deformasi dan diperkirakan merupakan aktivasi sesar berumur Tersier. Aktivasi ini berhubungan dengan aktivitas kegunungapian yang terjadi di daerah penelitian. 3.3.2.1 Sesar Cikujang Berdasarkan pengamatan di lapangan ditemukan adanya indikasi struktur sesar (Sesar Cikujang) yang terdapat di bagian selatan Desa Cibeureunyeuh, pada aliran Sungai Cikujang. Sesar yang memotong Satuan Breksi dan Satuan Batulempung ini teramati berdasarkan kenampakan breksiasi dan off set kontak antara Satuan Breksi dan Satuan Batulemung sepanjang 6 meter di tebing sungai 34 (foto 3.16). Breksiasi yang terdapat pada tebing Sungai Cikujang memiliki arah utama N 2130 E (Gambar 3.4). Berdasarkan analisis struktur (Lampiran C1), Sesar Cikujang merupakan sesar mendatar, yaitu sesar menganan turun dengan bidang sesar N 330 E/730. Pada Sesar Cikujang terdapat alterasi breksi yang terubah menjadi mineral lempung. Gambar 3.4 Kelurusan Breksiasi Sesar Cikujang menunjukkan arah timurlautbaratdaya dengan arah umum N 213 0E (n=38) A Breksiasi Stuktur tangga minor B Foto 3. 16. A)Breksiasi pada Sesar Cikujang. B) Struktur tangga minor pada Sesar Cikujang (foto diambil di lokasi G.6.5 dan G.6.6, di tepi barat Sungai Cikujang menghadap timur) 35 Di sekitar Sesar Cikujang dijumpai adanya alterasi batuan. Fragmen dan masa dasar breksi vulkanik telah terubah menjadi mineral lempung. Berdasarkan analisis XRD (Lampiran F-1), lempung di zona Sesar Cikujang berjenis kaolinit. 3.3.2.2 Sesar Cipicung Sesar Cipicung di Sungai Cipicung teramati berdasarkan kenampakan shear di tepi sungai (foto 3.18). Selain itu, keberadaan sesar ini terlihat dari adanya off set antara kontak Satuan Batulempung dengan Satuan Breksi sepanjang ± 10 meter. Dengan demikian, sesar ini memotong Satuan Batulempung dan Satuan Breksi. Selain adanya shear, di sekitar Sesar Cipicung juga terdapat breksiasi yang memiliki arah utama N 930 E (Gambar 3.5). Berdasarkan analisis struktur (Lampiran C2), sesar Cipicung merupakan sesar turun menganan dengan bidang sesar N 950 E/580. Sama halnya dengan Sesar Cikujang, pada Sesar Cipicung terdapat alterasi breksi yang terubah menjadi mineral lempung. . Foto 3. 17. Shear di Sesar Cipicung (foto diambil di lokasi G.12.20) 36 Gambar 3. 5. Kelurusan Breksiasi Sesar Cipicung menunjukkan arah hampir barat timur dengan arah umum N 93 0E (n=11) 3.3.3 Mekanisme Pembentukan Struktur Geologi di Daerah Penelitian Mekanisme pembentukan struktur geologi di daerah penelitian ditafsirkan berdasarkan analisis deskriptif, analisis kinematika, dan analisis dinamika. Berdasarkan hasil analisis dinamika dan kinematika struktur geologi daerah penelitian yang ditunjang oleh hasil analisis kelurusan bukit dan sungai, maka pola dominan struktur di daerarah penelitian berarah barat-timur dan timurlautbaratdaya berupa sesar mendatar dan sesar normal. Struktur sesar di daerah penelitian terbentuk pada Holosen Awal. Hal ini ditunjukkan dengan kehadiran sesar mendatar dan normal yang memotong Satuan Breksi Vulkanik yang berumur Ploeistosen Akhir-Holosen Awal. Hubungan kedua sesar tersebut dengan Satuan Andesit Piroksen sulit untuk ditentukan karena tidak terlihat hukum potong memotong diantara keduanya. Dengan demikian, kedua sesar tersebut ditafsirkan berumur sama dengan Satuan Andesit Piroksen, yaitu Holosen Awal berdasarkan kesamaan arah antara arah kelurusan bukit-bukit intrusi dan arah sesar. 37