Sesar Grindulu Jadi Perhatian Pacitan Dinas Pertambangan dan Energi Sumber Daya Mineral Kabupaten Pacitan mulai mengantisipasi risiko destabilitas keseimbangan sesar (patahan) Grindulu yang membelah kawasan tersebut, pascagempa sporadis yang melanda sejumlah wilayah di sekitar Ponorogo dan Trenggalek. "Sedikit banyak, gerakan yang terjadi di sejumlah sesar kecil akan memengaruhi keseimbangan di sesar utama," kata staf ahli geologi di Dinas Pertambangan dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Pacitan, Jatim, Hadi Surahman, Minggu (27/2/2011). Ia lalu mengibaratkan kondisi kerak bumi yang ada di dasar Pulau Jawa seperti permukaan air. Jika terjadi riak kecil pada satu titik permukaan, dampaknya akan menjalar ke seluruh permukaan lain. Menurut dia, gambaran kasus semacam itu persis seperti banjir lumpur yang terjadi di Porong, Sidoarjo. Retakan yang terjadi pada blok batuan akibat aktivitas pengeboran oleh PT Minarak Lapindo mengalami guncangan siginifikan saat gempa tektonik di Yogyakarta dan Pangandaran, tahun 2005. Akibatnya, lapisan lempeng pada kerak bumi di sekitar lokasi penambangan mengalami pergeseran dan menyebabkan semburan lumpur yang masih berlangsung hingga sekarang. "Hal yang sama bisa saja terjadi pada patahan Grindulu. Gempa tektonik di Trenggalek dan Ponorogo yang diakibatkan pergeseran sejumlah sesar kecil ataupun blok batuan pada kerak bumi itu, bisa saja merambat hingga ke sini (Grindulu)," ucap ahli Geologi lulusan UGM ini. Karena itu, kata Hadi, ada dua langkah yang akan mereka lakukan untuk mengantisipasi dampak rentetan gempa mikro tersebut terhadap kestabilan sesar Grindulu. Pertama, Dinas Pertambangan dan ESDM akan memadukan berbagai data yang ada untuk kemudian dianalisa secara keilmuan. Tidak hanya terkait data internal yang telah dimiliki ESDM, tetapi juga data-data pembanding dari kabupaten lain, seperti Ponorogo, Trenggalek, dan Wonogiri (Jawa Tengah). Baru dari hasil analisis itu paling tidak bisa diketahui secara riil ada tidaknya pengaruh gempa sporadis itu terhadap kondisi sesar. Lebih lanjut Hadi menjelaskan, kajian-kajian dari data di antaranya dengan melihat bentuk gempa. Apakah tegak lurus atau tidak dan lain sebagainya. Selain itu, besar kecilnya dampak ikut dipengaruhi oleh kontinuitas serta skala atau kekuatan gempa itu. "Kalau kecil tapi sering efeknya akan lebih banyak, atau bisa juga gempa hanya terjadi sekali tapi (energi) besar," kata dia. Langkah kedua, kata Hadi, yakni dengan melakukan sosialisasi secepatnya kepada masyarakat, terutama yang bermukim di sepanjang jalur patahan Grindulu, seperti di Kecamatan Arjosari dan Tegalombo. Opsi terakhir ini hanya akan dilakukan apabila ditemukan indikasi dampak berantai dari gempa sporadis terhadap kestabilan salah satu sesar terbesar di Pulau Jawa tersebut. Dikonfirmasi terpisah, tim ahli Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Heri Purnomo, memastikan rentetan gempa mikro di Trenggalek maupun di Ponorogo tidak akan memicu terjadinya gempa makro di patahan utama Grindulu. Asumsi itu, kata ahli geologi PVMBG ini, didasarkan pada karakter patahan atau sesar Grindulu yang cenderung bercabang-cabang di bagian ujung menjadi sesar-sesar kecil. "Ini berbeda sekali dengan karakter sesar Opak di Yogyakarta yang terpusat pada satu garis patahan utama dari Bantul hingga Klaten, Jawa Tengah. Energi gempa yang terjadi di sekitar sesar Grindulu cenderung tersebar, sementara kalau di (sesar) Opak akan terkonsentrasi di jalur patahan," ujarnya. Secara geologi, lapisan kerak bumi yang ada di Pulau Jawa terdapat banyak patahan sebagai akibat pertemuan lempeng Benua Asia dan lempeng Benua Australia. Dari sekian patahan tersebut, terdapat tiga patahan besar/utama yang memiliki panjang mencapai kisaran antara 30-40 kilometer mulai dari pantai selatan hingga pedalaman Pulau Jawa. Tiga patahan utama itu masing-masing adalah Sesar Cimandiri di Jawa Barat, Sesar Opak di Yogyakarta, serta Sesar Grindulu yang membelah Kabupaten Pacitan hingga lereng Gunung Wilis di Kabupaten Ponorogo.