3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian, meliputi 43% dari luas daerah penelitian. Satuan ini membentuk morfologi berupa lembah, dataran dan perbukitan landai dengan interval kontur yang cukup renggang. Singkapan satuan ini dapat diamati dengan baik di bagian selatan daerah penelitian, yakni di Desa Lulut, Walahir, dan Desa Nambo pada lokasi L3.8, L-3.9, L-7.9, L-2.17, dan L-2.12. Satuan ini Ketebalan dari satuan ini diperkirakan lebih tebal dari 500 m. B. Ciri Litologi Satuan ini terdiri dari batulempung dengan sisipan batugamping dan batupasir. Sebagian singkapan batulempung ditemui dalam keadaan lapuk, berwarna abu-abu terang – abu-abu kehitaman, karbonatan, getas, terkadang menyerpih dan berlaminasi. Pada beberapa tempat ditemukan sisipan batugamping wackestone – packstone, putih – abu-abu, tebal antara 20 – 80 cm, kekompakan sedang – baik, butiran terdiri dari pecahan cangkang foraminifera plankton dan benton, dan mineral glaukonit berbentuk semi pellet – pellet. Foto 3.8 Singkapan Batulempung Sisipan Batugamping di Lokasi L5.13 yang menampakkan adanya sisipan batugamping 24 C. Umur dan Lingkungan Pengendapan Dilakukan pencucian sampel batuan untuk analisis mikropaleontologi pada lokasi L-2.6, L-7.14, dan L-9.8a yang pada posisi stratigrafi terletak di bagian bawah, tengah, dan atas dari satuan batulempung. Hanya sampel L-2.6 yang ditemukan fosil melimpah dan teramati, adapun sampel L-7.14 dan L-9.8a tidak ditemukan fosil yang teramati. Dari hasil pencucian pada sampel batulempung di lokasi L-2.6 (Lampiran A), ditemukan fosil foraminifera plankton yang dapat dijadikan penunjuk umur yakni Globorotalia mayeri, Globorotalia obesa, Orbulina universa. Foraminifera plankton tersebut menunjukkan kisaran umur N9 – N14 (Miosen Tengah). Fosil foraminifera bentos ditemukan pula di daerah penelitian, diantaranya Uvigerina sp., Robulus sp., Nodosaria sp., dan Gyroidina sp. Fosil-fosil ini mencirikan lingkungan pengendapan Neritik Luar – Batial Atas, 90 – 450 m (Grimsdale dan van Morkhoven, 1955 dalam Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). 3.2.4 Satuan Konglomerat A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan konglomerat ditandai dengan warna oranye pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini terletak di bagian utara daerah penelitian, meliputi 9% dari luas daerah penelitian. Morfologi yang dibentuk oleh satuan ini berupa tinggian dan dataran, karena sebagian besar telah dimanfaatkan sebagai kawasan pemukiman dan industri, dengan interval kontur yang renggang di utara dan sedikit rapat di selatan. Singkapan batuan ini dapat diamati dengan baik pada daerah anak Sungai Cileungsi pada lokasi L-8.1, L-8.2, L-8.3, L-8.4, dan L-8.5. Ketebalan satuan ini berdasarkan rekonstruksi penampang geologi adalah sekitar 30 – 50 m. B. Ciri Litologi Satuan ini terdiri dari batuan konglomerat sisipan batupasir kasar. Konglomerat ini berwarna coklat terang – abu-abu gelap, polimik, fragmen berupa batupasir dan batuan beku basaltik, berukuran kerikil – kerakal dengan ukuran fragmen semakin halus semakin ke arah 25 selatan, berbentuk membundar, pemilahan buruk, porositas baik, kekompakan baik (Foto 3.9). Massa dasar dari konglomerat ini adalah batupasir lempungan dan tufaan (Lampiran B, Analisis Petrografi). Terdapat sisipan batupasir kasar, coklat terang, komponen butiran berupa kuarsa, dan material volkanik (Foto 3.10). Struktur sedimen yang ditemukan berupa pelapisan bersilang (cross bedding). Foto 3.9 Singkapan Konglomerat di Lokasi L-8.4. Terlihat adanya paleosoil dan ukuran fragmen kerikil – kerakal dengan matriks batupasir tufaan. Foto 3.10 Singkapan konglomerat dengan ukuran fragmen yang lebih halus di Lokasi L-8.5 26 C. Batas Satuan dan Hubungan Stratigrafi Satuan ini diendapkan secara tidak selaras di atas tiga satuan dibawahnya. Kontak ketidak selarasan dengan batulempung dapat diamati pada lokasi L-8.8. Adapun jenis ketidakselarasannya adalah ketidakselarasan bersudut (angular unconformity). Berdasarkan kesamaan ciri litologi dan umur, satuan ini dapat disetarakan dengan endapan kipas aluvium (Turkandi dkk, 1992). D. Umur dan Lingkungan Pengendapan Berdasarkan literatur Peta Geologi Regional Lembar Jakarta, satuan ini berumur Pleistosen (Turkandi dkk, 1992). Pengamatan terhadap ciri litologi dan struktur sedimen yang ditemukan, berupa fragmen berukuran kerikil – kerakal dan membundar dengan struktur perlapisan bersilang, dapat diinterpretasikan satuan ini diendapkan pada sistem darat fluviatil, energi tinggi, dan bersumber dari sungai yang letaknya jauh di hulu. Oleh karena itu ditafsirkan satuan ini merupakan produk endapan kipas aluvial. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Effendi dkk (1998), bahwa endapan berasal dari gunung api Kuarter dan diendapkan kembali sebagai kipas aluvium. 3.2.5 Satuan Aluvial A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan aluvial ditandai dengan warna abu-abu pada peta Geologi (Lampiran C-3) dan tersebar di sepanjang aliran Sungai Cileungsi pada daerah penelitian. Satuan ini menempati + 3 % daerah penelitian. Ketebalan satuan ini diperkirakan tidak lebih dari 5 m. B. Ciri Litologi Satuan ini berupa dari endapan sungai / aluvial yang belum terkonsolidasi (Foto 3.12), terdiri dari bongkah-bongkah polimik berukuran 5-30 cm, terdiri dari fragmen batuan sedimen dan batuan beku yang mengambang pada massa dasar pasir dan lempung. 27 Foto 3.11 Singkapan Batuan Aluvial di Lokasi L-9.8. Terlihat kontak erosional dengan satuan batulempung. C. Umur, Hubungan Stratigrafi dan Lingkungan Pengendapan Satuan ini berumur resen yang diketahui dari proses pengendapan yang masih berlangsung sampai sekarang. Satuan ini diendapkan pada lingkungan darat dan merupakan hasil endapan sungai dan diendapkan secara tidak selaras diatas semua satuan yang lebih tua. 3.3 Struktur Geologi Dalam melakukan analisis struktur geologi, penulis menggunakan pendekatan langsung dan tidak langsung. Pendekatan tidak langsung dilakukan dengan melakukan analisis kelurusan pada peta topografi dan foto udara. Adapun pendekatan langsung dilakukan analisis terhadap 28 data-data pengukuran di lapangan, berupa data breksiasi, kekar gerus, cermin sesar, dan kedudukan lapisan. Struktur geologi di daerah penelitian (Gambar 3.3) terdiri dari sesar geser dan sesar naik, yang keduanya memanjang ke arah tenggara – baratlaut yang berasosiasi dengan lipatan sinklin dan antiklin yang memiliki garis sumbu relatif sejajar dengan sesar naik. Berdasarkan pola struktur yang ada disimpulkan bahwa daerah penelitian merupakan bagian dari jalur anjakanlipatan (thrust-fold belt). Adanya asosiasi sesar dengan lipatan dan kemiringan lapisan batuan yang besar, disimpulkan sistem sesar anjakan yang berkembang adalah sistem sesar anjakan yang berasosiasi dengan lipatan tipe pertama pada model Twiss dan Moore (1992) Gambar 3.4 Skema Struktur Geologi Daerah Penelitian 3.3.5 Struktur Sesar Struktur sesar di lapangan dikenali dari kenampakan morfologi berupa kelurusan gawir, punggungan, dan perbukitan. Adanya zona hancuran dan breksisasi, cermin sesar, serta bukti 29 pergeseran (offset) pada batuan juga dapat menjadi penciri dari struktur sesar. Struktur sesar juga dapat ditafsirkan dari kedudukan lapisan batuan yang tidak beraturan serta susunan stratigrafi yang tidak normal. Adapun sesar-sesar yang teramati di daerah penelitian antara lain Sesar Mendatar Cileungsi, Sesar Mendatar Nambo, dan Sesar Naik Nambo. a. Sesar Mendatar Cileungsi Sesar Mendatar Cileungsi memiliki pergerakan relatif menganan turun. Gejala sesar mendatar ini di lapangan berupa cermin sesar (slickenside), dan kekar gerus (shear fracture). Arah jurus bidang sesar ditentukan menggunakan data kelurusan dari peta topografi karena breksiasi tidak ditemukan di daerah ini. Kekar gerus ditemukan pada lokasi L-7.14 dan L-3.2. Kedudukan utama rekahan pada kekar gerus ini adalah N30ºE/52º dan N225ºE/60º. Cermin sesar (slickenside) ditemukan pada lokasi L-9.5. L-7.12, dan L-3.2 (Foto 3.12 dan 3.13). Kedudukan bidangnya adalah N170ºE/70º, trend N200ºE, plunge 22º, dan pitch 30º. Foto 3.12 Slickenside pada batugamping Lokasi L-7.12 30 Foto 3.13 Kekar gerus pada batugamping Lokasi L-3.2 b. Sesar Mendatar Nambo Sesar Mendatar Nambo berarah relatif menganan naik yang diperoleh dari kelurusan kontur topografi dan citra satelit. Analisis sesar berdasarkan data kekar gerus dan breksiasi. Pada lokasi L-10.5. kedudukan utama dari kekar gerus adalah N340ºE / 64º dan N180ºE / 60 (foto 3.14). Zona hancuran ditemukan pada lokasi L-10.3 yang arahnya N175ºE. Foto 3.14 Kekar gerus pada batugamping Lokasi L-10.5 31 c. Sesar Naik Nambo Sesar Naik Nambo memiliki pergerakan relatif naik menganan. Gejala sesar ini di lapangan berupa zona hancuran, dan slickenside. Arah jurus bidang sesar ditentukan menggunakan data arah zona hancuran yang ditemukan pada lokasi L-10.1, L-10.2, dan L-10.3, yaitu N125ºE. Cermin sesar (slickenside) ditemukan pada lokasi L-10.1, kedudukan bidangnya adalah N285ºE/55º, trend N300ºE, plunge 40º, dan pitch 60º (Foto 3.15). Foto 3.15 Slickenside pada Batugamping Lokasi L-10.1 3.3.6 Struktur lipatan Lipatan pada daerah penelitian terdiri dari antiklin dan sinklin yang berasosiasi dengan sesar geser dan sesar naik. Lipatan yang ada ditafsirkan dari perubahan jurus lapisan dengan sumbu lipatan hampir sejajar dengan jalur sesar naik yang berarah ESE-WNW. Lipatan yang ada yaitu Antiklin Lulut, Sinklin Nambo, dan Antiklin Nambo. 3.3.7 Mekanisme Struktur Geologi Pola struktur daerah penelitian berupa pola lipatan dan pola sesar yang saling berkaitan berdasarkan orientasi struktur dan arah gayanya. Lipatan terbentuk berasosiasi dengan sesar naik, baru kemudian sesar-sesar mendatar. Struktur lipatan yang berarah ESE – WNW berasosiasi 32 dengan sesar naik yang juga relatif berarah tenggara – baratlaut, serta sesar - sesar mendatar yang berarah NNW-SSE. Hal ini sesuai dengan mekanisme umum pembentukan lipatan (fold) yang biasanya bersamaan dengan sesar naik (thrust), dengan sesar-sesar mendatar merupakan struktur penyerta menurut Davis (1984). Pada daerah penelitian, sesar naik lebih sebagai bentuk pengakomodasian gaya akibat proses perlipatan. Lipatan terjadi mangakibatkan terbentuknya sesar naik, baru kemudian terbentuk sesar-sesar mendatar. Berdasarkan analisa arah tegasan utama maksimum (σ1), pembentukan struktur– struktur lipatan dipengaruhi oleh gaya kompresi relatif berarah NNE-SSW (Gambar 3.5). Hal ini menunjukkan struktur– struktur tersebut terbentuk bersamaan pada satu fasa atau periode deformasi yang saling terkait dalam mengakomodasi kompresi dan pemendekan. Satuan Konglomerat yang berumur Pleistosen tidak dipengaruhi oleh struktur-struktur sesar dan lipatan, sehingga dapat diasumsikan bahwa struktur geologi daerah penelitian terbentuk tidak lebih muda dari Pleistosen. Berdasarkan orientasi pola struktur dan arah tegasannya, maka sistem struktur geologi daerah penelitian yang berupa sesar-sesar dan lipatan termasuk dalam Pola Jawa yang terbentuk pada Kala Neogen yang mengaktifkan pola sebelumnya dan mengakibatkan Pulau Jawa mengalami pola kompresi dengan tegasan berarah utara-selatan. Berdasarkan informasi regional, deformasi ini dapat dikaitkan dengan Deformasi Plio – Pleistosen. 33 Gambar 3.5 Model Pembentukan Struktur di Daerah Penelitian 34