BAHASA INDONESIA RAGAM FILSAFAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN LEKSIKON Oleh: Bambang Widiatmoko ABSTRAK Indonesian language has been developing through various aspects of language, such as vocabulary developments. In this context, philosophy discourses in Indonesian language were useful to support the development of Indonesian vocabulary since its words and terms have a special characteristics. In this paper, the writer describes the characteristics of words and terms in philosophy discourse and its contribution to development of Indonesian language. Keywords: Indonesian language, philosophy discourse, vocabulary development PENDAHULUAN Pada umumnya, filsuf dari berbagai negeri menuliskan ide dan pemikirannya dalam bahasa ibu seperti Jerman, Perancis, Belanda, Inggris dan Amerika. Pemikiran para filsuf itu banyak diterjemahkan ke dalam bahasa lain, terutama Inggris. Namun, tidak semua istilah dalam bahasa aslinya ada padanannya dalam bahasa sasaran (bahasa target). Beberapa penyebab adalah: a. Bahasa tertentu memiliki karakteristik atau ciri tertentu yang membedakannya dari bahasa lain. b. Ide atau gagasan filsuf cukup canggih dan mengandung muatan yang tidak sederhana sehingga perlu istilah atau kata khas untuk mendukung penyampaian gagasan itu secara memadai bagi pembaca. Pada konteks penulisan buku filsafat dalam bahasa Indonesia juga ditemukan permasalahan yang sama, yaitu banyaknya istilah asli yang sulit ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kesulitan ini mendorong para penulis buku filsafat dalam 1 bahasa Indonesia mengusahakan padanan yang paling mendekati pengertian istilah atau kata asli. Dengan pijakan ini maka dilahirkan berbagai jenis kata dan istilah dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkan konsep atau pemikiran khas para filsuf. LANDASAN TEORI Ragam bahasa di tengah masyarakat bermacam-macam. Meksipun demikian, antar penutur ragam masih dapat saling memahami dalam berkomunikasi sebab intisari bersama atau terasnya (ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan kata, tata makna) umumnya sama. Keberagaman ini bisa dikenal melalui golongan penutur bahasa dan menurut jenis pemakaian bahasa. Sikap penutur turut menciptakan keragaman bahasa Indonesia. Sikap ini, yang sering juga disebut sebagai langgam atau gaya, ditentukan oleh umur, penutur, kedudukan pokok persoalan yang tengah dibicarakan, dan tujuan informasi itu disampaikan (Muslich, 1990:2). Bidang persoalan yang dibicarakan menuntut ragam tertentu. Ragam-ragam dalam agama, politik, ilmu, teknologi, pertukangan, perdagangan, seni rupa, seni sastra, olah raga, perundang-undangan, dan angkatan bersenjata, menunjukkan ragam yang berlainan. Peralihan ragam itu ditandai oleh pemilihan sejumlah kata atau ungkapan tertentu yang khusus digunakan untuk suatu bidang. Kata-kata partai dan pemilu ditemui ketika membicarakan bidang politik; sapta marga dan kapal selam muncul dalam bidang angkatam bersenjata, begitu seterusnya (Muslisch, 1990: 3). Menurut Kamus Linguistik, ragam bahasa adalah ”variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan, dan menurut medium pembicaraan” (2001: 184) Salah satu ragam bahasa berdasarkan muatan atau materinya adalah bahasa ragam filsafat. Bahasa ragam filsafat adalah ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam pembahasan persoalan-persoalan filsafat. 2 Secara etimologis, kata filsafat berasal dari bahasa Latin yaitu philo dan sophia. Kata philo berarti “cinta” dan sophia “kebijaksanaan”, sehingga arti harfiahnya adalah “cinta akan kebijaksanaan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:317), filsafat adalah “ilmu yang berusaha menemukan hakikat kebenaran sesuatu melalui pemikiran yang mendalam.” Dalam tulisan ini buku filsafat yang penulis analisis dibatasi pada buku Filsafat Manusia karya Prof. N. Drijarkara edisi tahun 1989. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Pilihan terhadap buku ini diambil berdasarkan dua pertimbangan utama. Pertama, Prof. N. Drijarkara adalah tokoh perintis dan pelopor pengembangan studi filsafat secara ilmiah di Indonesia yang banyak memberikan sumbangsih dalam pengembangan kosakara Indonesia melalui penyusunan karya tulis dalam bahasa Indonesia. Kedua, buku Filsafat Manusia karya Drijarkara banyak dijadikan bahan referensi kalangan mahasiswa berbagai perguruan tiggi di Indonesia, baik Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta. Sebagai referensi pengacu istilah/kata, penulis menggunakan kamus sebagai berikut: 1. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Nasional, edisi 2001. 2. Kamus Linguistik karya Harimurti Kridalaksana (edisi 2002) PEMBAHASAN Dalam artikel ini analisis yang dilakukan terhadap buku Filsafat Manusia dibatasi pada aspek pembentukan kata. Dalam studi tentang bahasa, masalah bentukan kata dibahas dalam bidang morfologi. Menurut Kridalaksana (2001: 142) morfologi adalah “1. bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya; 2. bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yakni morfem”. Bahasa Indonesia termasuk bahasa aglutinatif, yaitu bahasa yang kosakatanya dapat ditempeli bentuk lain berupa imbuhan atau afiks. Imbuhan atau afiks mengubah bentuk dan makna bentuk dasar yang dilekati imbuhan itu. Oleh karena dimilikinya sifat 3 ini maka imbuhan atau afiks memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. (Nero, 2007: 19). Dalam bahasa Indonesia imbuhan terdiri atas awalan, sisipan, akhiran, dan gabungan awalan dan akhiran atau konfiks. Contoh awalan di dalam bahasa Indonesia adalah; me(N)-, be(R)-, di-, te(R), -pe(N)-, pe(R)-, dan ke-; contoh sisipan adalah -el-,dan -em; contoh akhiran adalah –kan dan -i; contoh gabungan awalan dan akhiran adalah kean. (Nero, 2007: 19). Fungsi utama bahasa ialah untuk berkomunikasi; bahwa komunikasi ialah penyampaian pesan atau makna oleh seseorang kepada orang lain. Dengan perkataan lain, komunikasi ada jika ada makna untuk disampaikan (Subyakto-Nababan, 1992: 124). Satuan bahasa terkecil yang dipakai untuk menyampaikan makna (berkomunikasi) adalah kalimat, yang mempunyai intonasi tertentu. Suatu kalimat terdiri atas satu atau lebih dari satu kata. Struktur (hubungan satu kata dengan kata lain) dan intonasi memberikan sumbangan kepada makna suatu kalimat. Makna kata-kata itu disebut makna leksikal, sedang makna struktur dan intonasinya disebut makna struktural. Pengkajian kedua macam makna ini disebut ilmu semantik (Subyakto-Nababan, 1992: 125). A. Pengembangan Kosakata Bahasa Indonesia Dalam rangka pengembangan kosakata bahasa Indonesia, perlu dilakukan pengaktifan kembali kosakata yang tidak dimanfaatkan penutur bahasa dalam kehidupan masa kini demi memperkaya pengungkapan berbagai konsep. Pemanfaatan kosakata itu akan memperluas cakrawala dan variasi bahasa. Dalam buku Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia (Jumariam, Qodratillah, dan Ruddyanto, 1995:9), misalnya, terdapat 1.413 kata Melayu yang belum termanfaatkan oleh pengguna bahasa dalam kegiatan kebahasaannya. Selain pemanfaatan kembali kosakata lama, pengembangan kosakata dapat dilakukan melalui program gramatikalisasi. Selain bahasa Indonesia, bahasa daerah atau bahasa serumpun dapat menjadi pemerkaya kosakata bahasa Indonesia. Kekayaan budaya yang tercermin pada sekitar 665 bahasa daerah dapat menjadi sumber pemerkaya kosakata bahasa Indonesia. Pengamatan 4 selama ini menunjukkan bahwa bahasa daerah yang berpenutur besar memberikan sumbangan yang besar dalam perkembangan kosakata bahasa Indonesia. B. Strategi Pengembangan Kosakata 1. Penggalian Salah satu strategi pengembangan kosakata bahasa Indonesia ialah penggalian kosakata bahasa Indonesia/Melayu. Penggalian ini merupakan upaya pemertahanan corak keindonesiaan dalam menyikapi berbagai pengaruh budaya dari luar. Pengaruh itu tampak pada kecenderungan sebagian masyarakat Indonesia yang memilih kosakata bahasa asing dalam pemberian nama badan usaha dan merek dagang. Pencegahan ke arah itu telah dilakukan sejak pencanangan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar yang berupa penertiban penggunaan bahasa di tempat umum. 2. Pemanfaatan Kosakata Bahasa Daerah Bahasa merupakan salah satu lambing jati diri bangsa. Maka, ciri ke-indonesiaan dalam pengembangan kosakata bahasa Indonesia perlu diperhatikan. Salah satu ciri itu ialah kebinekaan (keberagaman) budaya masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, salah satu upaya pemertahanan kebinekaan itu ialah penerimaan kosakata bahasa-bahasa daerah yang akan memperkaya khazanah kosakata bahasa Indonesia, terutama berbagai konsep dari bahasa daerah yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. 3. Penyerapan Kosakata Bahasa Asing Selama ini penyerapan kosakata bahasa asing dilakukan melalui penerjemahan atau pemadanan ke dalam kosakata bahasa Indonesia atau bahasa daerah dan pemungutan kosakata asing, baik melalui penyesuaian ejaan dan/atau lafal maupun tanpa perubahan. Pemadanan kosakata asing dengan bahasa daerah kurang mendapat dukungan sebagian masyarakat karena kata-kata bahasa daerah tersebut belum dikenal oleh masyarakat, kecuali masyarakat asal bahasa daerah yang bersangkutan. Padahal, di dalam prosedur pembentukan istilah, bahasa daerah merupakan sumber kedua setelah bahasa Indonesia. Kelompok masyarakat tertentu lebih cenderung melakukan pemungutan kata asing daripada pemadanan ke dalam bahasa daerah. Di samping itu, kecenderungan 5 pemungutan kosakata asing tersebut juga didorong oleh ketidaktersediaan kosakata padanan bahasa Indonesia terutama kosakata/istilah bidang ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, untuk mempercepat proses penyerapan koasakata asing perlu dilakukan peninjauan kembali prosedur penyerapan kosakata asing, setidaknya perlu dilakukan penjabaran tata cara penyerapan tersebut. 4. Pengembangan Konsep Pengembangan konsep dapat dilakukan melalui pembentukan kata. Leksem sebagai unsur leksikon melalui proses morfologis dapat membentuk kata baru. Proses itu meliputi afiksasi, reduplikasi, komposisi (pemajernukan), abreviasi, derivasi balik, dan kombinasi proses (Kridalaksana, 2000:213). Bermacam afiks bahasa Indonesia dapat dimanfaatkan dalam pembentukan kata baru sesuai dengan kebutuhan komunikasi dan ekspresi. Begitu juga reduplikasi dapat dimanfaatkan dalam pengembangan kosakata sejalan dengan makna yang diperlukan oleh penutur bahasa. Dalam tulisan ini buku filsafat yang penulis analisis dibatasi pada buku Filsafat Manusia karya Prof. N. Drijarkara edisi tahun 1989. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Pilihan terhadap buku ini diambil berdasarkan dua pertimbangan. Pertama, Prof. N. Drijarkara adalah tokoh perintis dan pelopor pengembangan studi filsafat secara ilmiah di Indonesia yang banyak memberikan sumbangsih dalam pengembangan kosakara Indonesia melalui penyusunan karya tulis dalam bahasa Indonesia. Kedua, buku Filsafat Manusia karya Drijarkara dijadikan bahan referensi kalangan mahasiswa berbagai perguruan tiggi di Indonesia baik Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta. Sebagai referensi pengacu istilah/kata, penulis menggunakan dua kamus, yaitu: (a) Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Nasional, edisi 2001, dan (b) Kamus Linguistik karya Harimurti Kridalaksana, edisi ketiga tahun 2001. Setelah dilakukan analisis terhadap buku Filsafat Manusia ditemukan beberapa kata berimbuhan yang bersifat khas untuk mendukung konsep makna tertentu. Pada umumnya, kata-kata bentukan tersebut tergolong dalam verba. 6 Verba berbeda dari yang lain; terutama ajektiva, karena memiliki sifat berikut: (a) berfungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat walaupun dapat juga befungsi lain, (b) bermakna dasar perbuatan, proses atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas (Muslich, 1990: 34) Ada dua macam dasar yang dapat dipakai sebagai dasar pembentukan verba: (1) dasar yang tanpa afiks (dasar bebas) yang berdiri sendiri; misalnya darat, pergi, marah; dan (2) dasar yang bisa ditentukan jika sudah berafiks (dasar terikat); dasar demikian bersifat prakategorial; misalnya temu, juang, dan selenggara. Kata-kata terakhir ini bisa disebut verba jika sudah ditambah afiks sehingga menjadi bertemu, berjuang dan menyelenggarakan. Berikut ini dipaparkan kata kata-kata berimbuhan yang bersifat khas untuk mendukung konsep makna tertentu yang terdapat dalam buku Filsafat Manusia. a. Kata merumah Kata bentukan merumah terdapat pada halaman 50 buku Filsafat Manusia. Kata ini memiliki kata dasar rumah, dengan huruf awal /r/. Jika mendapatkan imbuhan me(N)-, huruf awal /r/ pada kata dasar jenis ini tidak luluh sehingga bentuk imbuhannya menjadi: merumah. Contoh lain: me(N)- + ramu > meramu me(N)- + rampok > merampok. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pada lema rumah tidak tercantum bentuk turunan merumah. Yang ada bentuk berumah, berumahkan, merumahkan, rumahrumahan, perumahan, memperumahkan, serumah, dan menyerumahkan (2001:967). b. Kata menjasmani Kata bentukan menjasmani terdapat pada halaman 50. Kata ini terjadi sesuai dengan aturan pengimbuhan kata dalam bahasa Indonesia. Kata dasarnya adalah jasmani, dengan huruf awal /j/. Jika mendapatkan imbuhan me(N)- huruf awal /j/ pada kata dasar jenis ini berubah menjadi men- sehingga bentuk imbuhannya menjadi menjasmani. 7 Contoh lain: me(N)- + jemput > menjemput me(N)- + jilat > menjilat. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pada lema jasmani tidak tercantum bentuk turunan. menjasmani Yang ada adalah kejasmanian (2001:461) c. Kata memanusia Kata berimbuhan memanusia terdapat pada halaman 16. Kata ini terbentuk dari kata dasar manusia. Jika mendapatkan imbuhan me(N)- kata dasar ini tidak berubah sehingga bentuk imbuhannya menjadi memanusia. Contoh lain: me(N)- + makan > memakan me(N)- + minum > meminum. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pada lema manusia tidak tercantum bentuk turunan memanusia. Yang ada adalah bentuk memanusiakan, pemanusiaan, dan kemanusiaan (2001:714) d. Kata membadan Kata berimbuhan membadan terdapat pada halaman 16. Kata ini terbentuk dari kata dasar badan. Jika mendapatkan imbuhan me(N)- kata dasar jenis ini berubah menjadi mem- sehingga bentuk imbuhannya menjadi membadan. Contoh lain: me(N)- + bumi me(N)- + batu > > membumi membatu. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pada lema badan tidak tercantum kata turunan.membadan. Yang ada adalah bentuk berbadan, sebadan, bersebadan, dan menyebadani (2001: 84-85). 8 e. Kata dirohanikan Kata bentukan dirohanikan terdapat pada halaman 18. Kata ini berasal dari kata dasar rohani. Jika mendapatkan gabungan imbuhan di-kan bentuknya menjadi dirohanikan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pada lema rohani tidak tercantum kata turunan dirohanikan. Yang ada adalah bentuk kerohanian (2001:960). SIMPULAN Makna bahasa, khususnya makna kata dipengaruhi oleh berbagai konteks. Makna kata dapat dibangun dalam kaitannya dengan benda atau objek di luar bahasa. Dalam konsepsi ini, kata berperan sebagai label atau pemberi nama pada benda-benda atau objek-objek di alam semesta. Makna kata juga dapat dibentuk oleh konsepsi atau pembentukan konsepsi yang terjadi dalam pikiran pengguna bahasa. Proses pembentukannya berkait dengan pengetahuan atau persepsi penggunaan bahasa tersebut terhadap fenomena, benda atau peristiwa yang terjadi di luar bahasa. Analisis struktural terhadap buku Filsafat Manusia karya Drijarkara menghasilkan temuan berupa adanya beberapa kata turunan (kata berimbuhan) yang tidak tercantum dalam kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata-kata itu dibentuk oleh penulis untuk mendukung konsep makna yang bersifat khas. Ditinjau dari teknik pengayaan kosa kataka, langkah penulis tersebut tergolong dalam pengembangan kosakata melalui pengembangan konsep. Dalam hal ini. pengembangan konsep dilakukan oleh penulis buku melalui pembentukan kata dengan memanfaatkan afiks atau imbuhan bahasa Indonesia. Sehubungan dengan itu, perlu digalakkan penulisan dan penerbitan wacana ragam filsafat untuk mendukung proses pengayaan kosa kata Indonesia melalui penciptaan bentuk-bentuk baru melalui langkah-langkah yang sistematis dan taat asas. *Penulis dosen UNISMA Bekasi DAFTAR PUSTAKA 9 Fromkin, Victoria and Robert Rodman. 1983. An Introduction to Language.. Holt, Ribehart and Winston. Kridalaksana, Harimurti. et. al. 2002. Kamus Linguistik. Jakarta: Penerbit Gramedia. Kridalaksana, Harimurti.1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Muslich, Mansur. 1990. Garis-garis Besar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Tata Bahasa Balai Pustaka.Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Perum Departemen Samsuri. 1985 Analisis Bahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga. Sofyan, Agus Nero dkk. 2007. Bahasa Indonesia dalam Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Bagian Perkuliahan Dasar Umum Universitas Widyatama Bandung. Uhlenbeck, EM. 1982. Ilmu Bahasa Pengantar Dasar. Penerbit Djambatan. 10