Kul-13 Pesan Pada Wajah Dalam Perspektif Budaya

advertisement
PESAN PADA WAJAH
DALAM PERSPEKTIF
BUDAYA
Wajah adalah petunjuk untuk memahami emosi seseorang. Kita dapat
memperkirakan ekspresi-ekspresi wajah tertentu yang ditampilkan seseorang
yang kita identikkan dengan keriangan, kemarahan, kebencian, ketakutan,
kekaguman, keheranan, keterkejutan, kegugupan, rasa dipermalukan,
kesedihan, dan sejumlah perasaan lainnya. Ketika kita gagal memahami
maksud dari pembicaraan seseorang, kita sering mengandalkan diri pada
perilaku nonverbalnya, terutama ekspresi wajahnya.
Hampir semua manusia memiliki rasa ingin tahu yang kuat mengenai
bagaimana suatu ekspresi wajah seseorang dapat mempengaruhi perilaku
orang lain. Para pelakon teater di jaman Yunani kuno, dan juga pada teater
kabuki di Jepang, para aktornya merubah peran serta ekspresi menggunakan
berbagai topeng yang berbeda-beda untuk menunjukkan karakter dan sikap
tertentu pada setiap adegan. Meskipun ada peribahasa Meksiko yang
mengatakan ‘wajah seseorang adalah cermin dari jiwa orang tersebut’, atau
juga peribahasa Yahudi yang mengatakan ‘wajah kita dapat mengungkapkan
rahasia’, manusia dimanapun telah terpikat oleh ekspresi wajah manusia
lainnya.
Sebenarnya ada beberapa ekspresi wajah yang hampir secara universal
memiliki makna yang sama. Darwin yang juga dilanjutkan oleh Ekman
(dalam tulisannya Face Muscles Talk Every Language, dalam jurnal
Psychology Today, 1975) mengatakan ada setidaknya 6 ekspresi wajah
yang bermakna universal, dan hampir semua budaya didunia ini dapat
menerima persamaan persepsi dari ekspresi tersebut, yaitu Kebahagiaan,
Kesedihan, Ketakutan, Kemarahan, Kejijikan dan Keterkejutan. Tetapi
sejumlah ekspresi wajah dapat juga tidak berdasarkan emosi tetapi
menunjukan reaksi kognitif.
Wajah memberi reaksi cepat terhadap apa yang dikatakan atau dilakukan
orang lain. Beberapa penelitian muktahir lain memang juga menemukan
adanya beberapa ekspresi emosional yang dikenal luas dalam berbagai
budaya, walaupun tidak dapat disebut universal. Seperti halnya dengan
Izard menemukan bahwa ada kesepakatan tinggi atas delapan kategori
emosi, yaitu Ketertarikan, Kebahagiaan, Keterkejutan, Kesedihan, Kejijikan,
Kemarahan, Rasa Malu dan Ketakutan.
Menurut Hinde, keadaan emosinal yang sama boleh jadi diekspresikan
dengan cara berbeda dalam budaya yang berbeda. Faktor-faktor kultural
mempengaruhi sejauh mana keadaan emosional membangkitkan keadaan
emosional berikutnya, misalnya sejauh mana kemarahan kita sebagai akibat
ketakutan kita atau sejauh mana ketakutan kita sebagai akibat kemarahan
kita.
Terlepas dari ekspresi dasar
wajah manusia yang
melibatkan emosi, sebenarnya
harus jelas berdasarkan
budaya, kapan ekspresi wajah
tersebut digunakan.
Matsumoto mengatakan
bahwa dalam budaya yang
berbeda kekuatan dari
ekspresi wajah menghasilkan
berbagai macam aturan, dari
mulai kapan ekspresi wajah
tersebut diperkenankan
digunakan, sampai dengan
bagaimana menggunakan
ekspresi wajah tersebut dalam
suatu interaksi.
Meskipun senyuman
secara universal dikenal
sebagai tanda keramahan,
senyuman punya makna
lain yang spesifik dalam
suatu budaya, misalnya,
senyuman pria lajang
terhadap wanita lajang di
Amerika atau di Indonesia
dapat dianggap sebagai
keramahan, atau paling
banter godaan, tetapi di
Arab Saudi hal itu bukan
saja dianggap godaan,
malah kekurangajaran,
apalagi dilakukan terhadap
seorang wanita bersuami.
Di banyak budaya di Mediterania, orang-orang memperlihatkan rasa sedih
dan berkabung dengan melebih-lebihkan. Bukan hal yang luar biasa kalau
kita melihat laki-laki menangis di wilayah ini. Berbeda dengan di Amerika
Serikat, laki-laki kulit putih menyembunyikan keinginan mereka untuk
menunjukan emosinya. Bahkan orang Jepang lebih jauh lagi
menyembunyikan ekspresi marah, sedih atau kejijikan dengan tertawa dan
tersenyum. Sebenarnya selain Amerika Serikat dan Jepang, bangsa Korea
dan Cina juga tidak terlalu memperlihatkan emosi mereka pada ekspresi
wajahnya. Ada pepatah Cina yang mengungkapkan ,terlalu banyak
menampilkan gejolak emosi dapat mengganggu keselarasan harmoni dan
menciptakan konflik.
Orang tersenyum dan menunjukan ekspresi lain karena mereka punya otot
wajah, seperti zygometic, yang menarik sudut mulut ke atas dalam suatu
senyuman, dan corrigator, yang menarik alis bersama-sama dalam wajah
yang memberengut. Otot-otot wajah diaktifkan oleh syaraf wajah.
Terkadang orang tersenyum karena mereka senang, namun mereka dapat
juga tersenyum dalam suasana hati (mood) berbeda, bila tersenyum
menguntungkan.
Di Amerika, sebagaimana dalam banyak budaya, senyuman dapat
digunakan sebagai topeng untuk menutupi perasaan yang sebenarnya.
Misalnya orang tidak jarang tersenyum untuk menyembunyikan kegugupan.
Ini misalnya lazim dilakukan para pramugari ketika mereka tersenyum
kepada para penumpang sambil menyampaikan kata-kata yang
menenangkan, padahal mungkin mereka sedang gugup sekali.
Senyuman dapat bermakna tidak universal, ini jelas terlihat dari komentar
seorang Rusia yang mengatakan bahwa
orang Amerika tersenyum
pada orang asing, saya tak tahu apa itu artinya. Orang Amerika tersenyum
pada orang asing di tempat umum (meski kurang di kota besar). Sebagian
orang Rusia percaya bahwa orang Amerika tersenyum di tempat yang
salah, sebagian orang Amerika percaya bahwa orang Rusia tidak cukup
senyum.
Di Asia Tenggara, senyuman sering digunakan untuk menutupi penderitaan
emosional atau rasa malu. Orang Vietnam mungkin menceritakan kisah sedih
tentang bagaimana mereka harus meninggalkan negeri mereka tetapi
mengahiri cerita tersebut dengan senyuman. Dalam beberapa budaya,
senyuman dapat mengkomunikasikan rasa takut atau rasa malu. Orang
Jepang lebih banyak tersenyum daripada orang Amerika. Namun orang
Jepang tersenyum untuk menutupi rasa malu, rasa marah, dan perasaan
negatif lainnya. Karena menunjukan perasaan negatif di depan publik
dianggap kasar dalam budaya Jepang.
Senyuman juga dapat berupa ekspresi emosional yang dikaitkan dengan
suatu budaya tertentu. Setiap orang tahu caranya tersenyum, meskipun
demikian, penyebab senyum dari setiap budaya itu berbeda-beda. Di
Amerika Serikat, tersenyum dapat diartikan sebagai suatu kebahagian, atau
juga bentuk keramahan yang sering digunakan. Pada budaya Jerman,
tersenyum digunakan lebih bijaksana, jadi hanya kepada orang yang dikenal
atau disukai saja.
Pada budaya Jepang, senyum-pun dapat digunakan untuk menghindari
suatu komunikasi yang membutuhkan jawaban. Orang-orang yang memiliki
status yang rendah di Jepang lebih sering tersenyum bila mereka menolak
pesanan atau perintah orang-orang yang memiliki status diatasnya, untuk
menutupi keengganan dan kemarahan yang muncul pada dirinya. Pada
budaya Korea, terlalu banyak tersenyum sering diterima sebagai pertanda
orang yang dangkal atau picik, tetapi orang yang jarang senyum sering
diinterpretasikan sebagai tanda permusuhan. Di sisi lain, pada budaya Thai,
mereka sering sekali tersenyum, bahkan Thailand sering juga disebut
sebagai ‘Land of Smiles’.
Sebagaimana senyuman, makna tertawa juga terkadang tidaklah universal.
Bagi kebanyakan budaya barat, tertawa sering dikaitakan dengan humor. Di
Jepang, tertawa sering merupakan indikasi rasa malu, sehingga
kesalahpahaman sering terjadi ketika misalnya seorang Eropa menunjukan
kemarahan dan kemarahan ini membuat orang Jepang merasa malu dan
kemudian mengekspresikan rasa malu ini lewat tawa. Jika seorang Eropa
mengabaikan kebiasaan ini, ia cenderung lebih marah lagi karena merasa
ditertawakan.
Hasil penelitian dari Pearson, West dan Turner mengatakan, bila dibandingkan
dengan pria, wanita lebih sering menggunakan ekspresi wajahnya, lebih
sering tersenyum, dan lebih sering membalas senyuman orang, dan juga lebih
mudah tertarik dengan orang yang tersenyum.
Dalam drama, fiksi, puisi, dan musik, mata selalu menjadi topic pembicaraan
yang menarik. Banyak budaya yang juga menyoroti sorot mata dalam
komunikasi. Dalam budaya Korea, kontak mata sering dijadikan cara dalam
berkomunikasi, bahkan mereka menyebutnya dengan nunch’i yang artinya
komunikasi dengan mata. Alasan mengapa mata menjadi alat komunikasi
yang penting karena banyaknya pesan yang bisa disampaikan manusia
melalui mata, bahkan dapat dikatakan pesan tersebut tidak terhitung. Hal
tersebut dapat dilihat dari akan semakin jarangnya orang bertatap mata jika
mereka mengalami depresi, rendah diri atau munculnya ketidak-nyamanan
dalam suatu situasi tertentu.
Leathers (dalam bukunya Successful Nonverbal Communication : Principles
and Applications, 1986) mengatakan bahwa terdapat 6 fungsi komunikasi
melalui mata (ini berlaku di Amerika Serikat), yaitu :
a. memperlihatkan tingkat perhatian, ketertarikan dan kecurigaan,
b. mempengaruhi perubahan sikap dan persuasi,
c. mengatur interaksi,
d. mengkomunikasikan emosi,
e. menentukan kekuasaan dan status dalam suatu hubungan,
f. mengambil peranan utama dalam manajemen impresi.
Pada budaya dominan di Amerika Serikat,
kontak mata memiliki nilai yang tinggi,
bahkan banyak orang di Barat
mengharapkan untuk saling melihat mata
dalam berbicara. Bahkan ada perasaan
yang tendensius di Amerika Utara untuk
mencurigai seseorang yang bila berbicara
tidak melihat mata lawan bicaranya.
Perilaku mata (memandang atau tidak
memandang) merupakan pesan yang
paling ekspresif diantara sekian banyak
pesan yang terdapat pada wajah,
meskipun maknanya tidak universal.
Bagian dari mata yang paling ekspresif adalah manik mata
(pupil). Manik mata seseorang akan membesar ketika ia
menghadapi situasi yang positif, terutama sesuatu yang
menggairahkan atau membahagiakan. Sebaliknya manik
mata akan mengecil ketika menghadapi sesuatu yang negatif,
yang membuatnya merasa kesal, sebal atau marah.
Memandang merupakan tanda
penting untuk menyukai atau
tidak menyukai; kita lebih
sering melihat orang yang kita
suka. Michael Argyle
mengatakan bahwa kontak
mata adalah suatu sinyal
penting mengenai derajat
keintiman diantara dua orang.
Jika kontak mata lebih banyak,
semakin akrablah hubungan
diantara kedua orang itu
Di Amerika, kontak mata langsung antara dua orang dapat berarti agresivitas,
undangan seksual atau keinginan berkomunikasi secara jujur dan terbuka.
Agresivitas atau ketertarikan seksual terutama diisyaratkan oleh pandangan
yang lebih lama daripada biasanya. Siapa yang mempertahankan kontak lebih
lama, dialah yang lebih agresif. Dalam beberapa budaya, seperti di Afrika,
Amerika Latin, dan Asia, orang malah cenderung tidak memandang langsung
mata mitranya untuk menunjukan penghormatan, jadi bukan berarti merasa
bersalah atau tidak ada perhatian seperti dipersepsikan orang Amerika.
Lamanya kontak mata bervariasi dalam berbagai budaya, Di Amerika lamanya
kontak mata rata-rata adalah 1,18 detik. Kurang dari itu, orang bersangkutan
dianggap malu, tak tertarik atau sibuk. Lebih dari itu orang bersangkutan
dianggap mengkomunikasikan ketertarikan yang tinggi. Orang Jepang
khususnya, hanya sekitar 10% melakukan kontak mata dari seluruh waktu
yang mereka gunakan untuk bercakap-cakap. Selebihnya mereka melihat
keleher mitra bicara ketika mereka mendengarkan dan memandang kaki atau
lutut mereka sendiri ketika mereka sendiri berbicara.
Download