PESAN PADA WAJAH DALAM PERSPEKTIF BUDAYA Wajah adalah petunjuk untuk memahami emosi seseorang. Kita dapat memperkirakan ekspresi-ekspresi wajah tertentu yang ditampilkan seseorang yang kita identikkan dengan keriangan, kemarahan, kebencian, ketakutan, kekaguman, keheranan, keterkejutan, kegugupan, rasa dipermalukan, kesedihan, dan sejumlah perasaan lainnya. Ketika kita gagal memahami maksud dari pembicaraan seseorang, kita sering mengandalkan diri pada perilaku nonverbalnya, terutama ekspresi wajahnya. Hampir semua manusia memiliki rasa ingin tahu yang kuat mengenai bagaimana suatu ekspresi wajah seseorang dapat mempengaruhi perilaku orang lain. Para pelakon teater di jaman Yunani kuno, dan juga pada teater kabuki di Jepang, para aktornya merubah peran serta ekspresi menggunakan berbagai topeng yang berbeda-beda untuk menunjukkan karakter dan sikap tertentu pada setiap adegan. Meskipun ada peribahasa Meksiko yang mengatakan ‘wajah seseorang adalah cermin dari jiwa orang tersebut’, atau juga peribahasa Yahudi yang mengatakan ‘wajah kita dapat mengungkapkan rahasia’, manusia dimanapun telah terpikat oleh ekspresi wajah manusia lainnya. Sebenarnya ada beberapa ekspresi wajah yang hampir secara universal memiliki makna yang sama. Darwin yang juga dilanjutkan oleh Ekman (dalam tulisannya Face Muscles Talk Every Language, dalam jurnal Psychology Today, 1975) mengatakan ada setidaknya 6 ekspresi wajah yang bermakna universal, dan hampir semua budaya didunia ini dapat menerima persamaan persepsi dari ekspresi tersebut, yaitu Kebahagiaan, Kesedihan, Ketakutan, Kemarahan, Kejijikan dan Keterkejutan. Tetapi sejumlah ekspresi wajah dapat juga tidak berdasarkan emosi tetapi menunjukan reaksi kognitif. Wajah memberi reaksi cepat terhadap apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain. Beberapa penelitian muktahir lain memang juga menemukan adanya beberapa ekspresi emosional yang dikenal luas dalam berbagai budaya, walaupun tidak dapat disebut universal. Seperti halnya dengan Izard menemukan bahwa ada kesepakatan tinggi atas delapan kategori emosi, yaitu Ketertarikan, Kebahagiaan, Keterkejutan, Kesedihan, Kejijikan, Kemarahan, Rasa Malu dan Ketakutan. Menurut Hinde, keadaan emosinal yang sama boleh jadi diekspresikan dengan cara berbeda dalam budaya yang berbeda. Faktor-faktor kultural mempengaruhi sejauh mana keadaan emosional membangkitkan keadaan emosional berikutnya, misalnya sejauh mana kemarahan kita sebagai akibat ketakutan kita atau sejauh mana ketakutan kita sebagai akibat kemarahan kita. Terlepas dari ekspresi dasar wajah manusia yang melibatkan emosi, sebenarnya harus jelas berdasarkan budaya, kapan ekspresi wajah tersebut digunakan. Matsumoto mengatakan bahwa dalam budaya yang berbeda kekuatan dari ekspresi wajah menghasilkan berbagai macam aturan, dari mulai kapan ekspresi wajah tersebut diperkenankan digunakan, sampai dengan bagaimana menggunakan ekspresi wajah tersebut dalam suatu interaksi. Meskipun senyuman secara universal dikenal sebagai tanda keramahan, senyuman punya makna lain yang spesifik dalam suatu budaya, misalnya, senyuman pria lajang terhadap wanita lajang di Amerika atau di Indonesia dapat dianggap sebagai keramahan, atau paling banter godaan, tetapi di Arab Saudi hal itu bukan saja dianggap godaan, malah kekurangajaran, apalagi dilakukan terhadap seorang wanita bersuami. Di banyak budaya di Mediterania, orang-orang memperlihatkan rasa sedih dan berkabung dengan melebih-lebihkan. Bukan hal yang luar biasa kalau kita melihat laki-laki menangis di wilayah ini. Berbeda dengan di Amerika Serikat, laki-laki kulit putih menyembunyikan keinginan mereka untuk menunjukan emosinya. Bahkan orang Jepang lebih jauh lagi menyembunyikan ekspresi marah, sedih atau kejijikan dengan tertawa dan tersenyum. Sebenarnya selain Amerika Serikat dan Jepang, bangsa Korea dan Cina juga tidak terlalu memperlihatkan emosi mereka pada ekspresi wajahnya. Ada pepatah Cina yang mengungkapkan ,terlalu banyak menampilkan gejolak emosi dapat mengganggu keselarasan harmoni dan menciptakan konflik. Orang tersenyum dan menunjukan ekspresi lain karena mereka punya otot wajah, seperti zygometic, yang menarik sudut mulut ke atas dalam suatu senyuman, dan corrigator, yang menarik alis bersama-sama dalam wajah yang memberengut. Otot-otot wajah diaktifkan oleh syaraf wajah. Terkadang orang tersenyum karena mereka senang, namun mereka dapat juga tersenyum dalam suasana hati (mood) berbeda, bila tersenyum menguntungkan. Di Amerika, sebagaimana dalam banyak budaya, senyuman dapat digunakan sebagai topeng untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Misalnya orang tidak jarang tersenyum untuk menyembunyikan kegugupan. Ini misalnya lazim dilakukan para pramugari ketika mereka tersenyum kepada para penumpang sambil menyampaikan kata-kata yang menenangkan, padahal mungkin mereka sedang gugup sekali. Senyuman dapat bermakna tidak universal, ini jelas terlihat dari komentar seorang Rusia yang mengatakan bahwa orang Amerika tersenyum pada orang asing, saya tak tahu apa itu artinya. Orang Amerika tersenyum pada orang asing di tempat umum (meski kurang di kota besar). Sebagian orang Rusia percaya bahwa orang Amerika tersenyum di tempat yang salah, sebagian orang Amerika percaya bahwa orang Rusia tidak cukup senyum. Di Asia Tenggara, senyuman sering digunakan untuk menutupi penderitaan emosional atau rasa malu. Orang Vietnam mungkin menceritakan kisah sedih tentang bagaimana mereka harus meninggalkan negeri mereka tetapi mengahiri cerita tersebut dengan senyuman. Dalam beberapa budaya, senyuman dapat mengkomunikasikan rasa takut atau rasa malu. Orang Jepang lebih banyak tersenyum daripada orang Amerika. Namun orang Jepang tersenyum untuk menutupi rasa malu, rasa marah, dan perasaan negatif lainnya. Karena menunjukan perasaan negatif di depan publik dianggap kasar dalam budaya Jepang. Senyuman juga dapat berupa ekspresi emosional yang dikaitkan dengan suatu budaya tertentu. Setiap orang tahu caranya tersenyum, meskipun demikian, penyebab senyum dari setiap budaya itu berbeda-beda. Di Amerika Serikat, tersenyum dapat diartikan sebagai suatu kebahagian, atau juga bentuk keramahan yang sering digunakan. Pada budaya Jerman, tersenyum digunakan lebih bijaksana, jadi hanya kepada orang yang dikenal atau disukai saja. Pada budaya Jepang, senyum-pun dapat digunakan untuk menghindari suatu komunikasi yang membutuhkan jawaban. Orang-orang yang memiliki status yang rendah di Jepang lebih sering tersenyum bila mereka menolak pesanan atau perintah orang-orang yang memiliki status diatasnya, untuk menutupi keengganan dan kemarahan yang muncul pada dirinya. Pada budaya Korea, terlalu banyak tersenyum sering diterima sebagai pertanda orang yang dangkal atau picik, tetapi orang yang jarang senyum sering diinterpretasikan sebagai tanda permusuhan. Di sisi lain, pada budaya Thai, mereka sering sekali tersenyum, bahkan Thailand sering juga disebut sebagai ‘Land of Smiles’. Sebagaimana senyuman, makna tertawa juga terkadang tidaklah universal. Bagi kebanyakan budaya barat, tertawa sering dikaitakan dengan humor. Di Jepang, tertawa sering merupakan indikasi rasa malu, sehingga kesalahpahaman sering terjadi ketika misalnya seorang Eropa menunjukan kemarahan dan kemarahan ini membuat orang Jepang merasa malu dan kemudian mengekspresikan rasa malu ini lewat tawa. Jika seorang Eropa mengabaikan kebiasaan ini, ia cenderung lebih marah lagi karena merasa ditertawakan. Hasil penelitian dari Pearson, West dan Turner mengatakan, bila dibandingkan dengan pria, wanita lebih sering menggunakan ekspresi wajahnya, lebih sering tersenyum, dan lebih sering membalas senyuman orang, dan juga lebih mudah tertarik dengan orang yang tersenyum. Dalam drama, fiksi, puisi, dan musik, mata selalu menjadi topic pembicaraan yang menarik. Banyak budaya yang juga menyoroti sorot mata dalam komunikasi. Dalam budaya Korea, kontak mata sering dijadikan cara dalam berkomunikasi, bahkan mereka menyebutnya dengan nunch’i yang artinya komunikasi dengan mata. Alasan mengapa mata menjadi alat komunikasi yang penting karena banyaknya pesan yang bisa disampaikan manusia melalui mata, bahkan dapat dikatakan pesan tersebut tidak terhitung. Hal tersebut dapat dilihat dari akan semakin jarangnya orang bertatap mata jika mereka mengalami depresi, rendah diri atau munculnya ketidak-nyamanan dalam suatu situasi tertentu. Leathers (dalam bukunya Successful Nonverbal Communication : Principles and Applications, 1986) mengatakan bahwa terdapat 6 fungsi komunikasi melalui mata (ini berlaku di Amerika Serikat), yaitu : a. memperlihatkan tingkat perhatian, ketertarikan dan kecurigaan, b. mempengaruhi perubahan sikap dan persuasi, c. mengatur interaksi, d. mengkomunikasikan emosi, e. menentukan kekuasaan dan status dalam suatu hubungan, f. mengambil peranan utama dalam manajemen impresi. Pada budaya dominan di Amerika Serikat, kontak mata memiliki nilai yang tinggi, bahkan banyak orang di Barat mengharapkan untuk saling melihat mata dalam berbicara. Bahkan ada perasaan yang tendensius di Amerika Utara untuk mencurigai seseorang yang bila berbicara tidak melihat mata lawan bicaranya. Perilaku mata (memandang atau tidak memandang) merupakan pesan yang paling ekspresif diantara sekian banyak pesan yang terdapat pada wajah, meskipun maknanya tidak universal. Bagian dari mata yang paling ekspresif adalah manik mata (pupil). Manik mata seseorang akan membesar ketika ia menghadapi situasi yang positif, terutama sesuatu yang menggairahkan atau membahagiakan. Sebaliknya manik mata akan mengecil ketika menghadapi sesuatu yang negatif, yang membuatnya merasa kesal, sebal atau marah. Memandang merupakan tanda penting untuk menyukai atau tidak menyukai; kita lebih sering melihat orang yang kita suka. Michael Argyle mengatakan bahwa kontak mata adalah suatu sinyal penting mengenai derajat keintiman diantara dua orang. Jika kontak mata lebih banyak, semakin akrablah hubungan diantara kedua orang itu Di Amerika, kontak mata langsung antara dua orang dapat berarti agresivitas, undangan seksual atau keinginan berkomunikasi secara jujur dan terbuka. Agresivitas atau ketertarikan seksual terutama diisyaratkan oleh pandangan yang lebih lama daripada biasanya. Siapa yang mempertahankan kontak lebih lama, dialah yang lebih agresif. Dalam beberapa budaya, seperti di Afrika, Amerika Latin, dan Asia, orang malah cenderung tidak memandang langsung mata mitranya untuk menunjukan penghormatan, jadi bukan berarti merasa bersalah atau tidak ada perhatian seperti dipersepsikan orang Amerika. Lamanya kontak mata bervariasi dalam berbagai budaya, Di Amerika lamanya kontak mata rata-rata adalah 1,18 detik. Kurang dari itu, orang bersangkutan dianggap malu, tak tertarik atau sibuk. Lebih dari itu orang bersangkutan dianggap mengkomunikasikan ketertarikan yang tinggi. Orang Jepang khususnya, hanya sekitar 10% melakukan kontak mata dari seluruh waktu yang mereka gunakan untuk bercakap-cakap. Selebihnya mereka melihat keleher mitra bicara ketika mereka mendengarkan dan memandang kaki atau lutut mereka sendiri ketika mereka sendiri berbicara.