3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan tinjauan pustaka yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, yang meliputi informasi mengenai genom mitokondria, DNA mitokondria sebagai materi genetik, daerah D-loop mtDNA, laju mutasi mtDNA, peran mutasi mtDNA pada penuaan, peran mtDNA dalam identifikasi forensik, Polymerase Chain Reaction (PCR), Direct Sequencing dengan metode Dideoksi – Sanger. II. 1. Genom Mitokondria Mitokondria merupakan organel intrasel penghasil energi yang terdapat pada semua sel eukariot. Mitokondria berbentuk elips dengan diameter ~5 µ m dan panjang ~1 µ m (Gambar II.1). Struktur mitokondria terdiri dari membran luar, membran dalam, ruang antar membran, dan matriks mitokondria. Membran luar berpori, mengandung sejumlah protein transpor yang disebut dengan porin, yang membentuk saluran yang berukuran relatif besar pada lapisan bilayer membran luar. Adanya protein ini memungkinkan membran luar untuk menyaring ion-ion atau molekul-molekul berukuran 5 kDa atau kurang. Membran luar juga mengandung enzim-enzim yang terlibat dalam biosintesis dan katabolisme lipid. Membran dalam mitokondria memiliki struktur berlipat-lipat, yang disebut dengan krista. Struktur ini meningkatkan luas permukaan membran dalam sehingga meningkatkan kemampuan mitokondria dalam menghasilkan ATP. Membran dalam mengandung protein yang terlibat dalam reaksi oksidasi pada proses respirasi, enzim ATP sintase yang berfungsi membentuk ATP pada matriks mitokondria, dan protein transport yang mengatur lalu lintas metabolit keluar masuk matriks mitokondria melewati membran dalam. Ruang antar membran terletak di antara membran dalam dan membran luar dan mengandung sekitar 6% total protein mitokondria. 4 DNA Krista Matriks Ribosom Membran dalam Membran luar Gambar II. 1. Struktur Mitokondria. Mitokondria memiliki membran luar, membran dalam, ruang antar membran, dan matriks mitokondria (Cooper, 2000). Matriks mitokondria mengandung sebagian besar protein mitokondria, yaitu sekitar 67%. Banyak proses metabolisme yang terjadi pada matriks mitokondria, sehingga di dalamnya banyak ditemukan enzim-enzim yang berperan dalam proses metabolisme tersebut, misalnya kompleks piruvat dehidrogenase, enzimenzim yang berperan dalam siklus Krebs, β oksidasi asam lemak, dan oksidasi asam amino. Di dalamnya juga terdapat DNA, ribosom, ATP, ADP, ion-ion, seperti Mg2+, Ca2+, K+, serta metabolik intermediet yang larut (Karp, 1999). Peran nukeotida purin dan pirimidin diketahui berfungsi sebagai prekursor monomer asam nukleat. Nukleotida purin berfungsi juga sebagai sumber energi dalam bentuk ATP. Nukleotida pada DNA berikatan secara kovalen melalui jembatan fosfat dan ikatan fosfodiester antar nukleotida terletak pada arah yang sama disepanjang rantai ujung 5’ dan ujung 3’ (Gambar II.2) 5 a). Ujung 5’ b). Ikatan fosfodiester Ujung 5’ Ujung 3’ Ujung 3’ Gambar II.2. Struktur molekul DNA. a). Struktur kovalen DNA melalui jembatan fosfodiester antar nukleotida pada DNA, b). Skematik urutan nukleotida pada potongan DNA dengan lima unit nukleotida Mitokondria dalam sel eukariot berfungsi sebagai penghasil energi, dalam bentuk ATP, melalui serangkaian tahap yang disebut dengan fosforilasi oksidatif. Reaksi ini melibatkan lima macam kompleks enzim, yaitu Kompleks I NADH-ubikuinon reduktase, Kompleks II suksinat-ubikuinon reduktase, Kompleks III ubikuinolsitokrom c oksidase, Kompleks IV sitokrom oksidase, dan Kompleks V ATP sintase. Secara singkat, proses fosforilasi oksidatif adalah sebagai berikut kompleks I dan kompleks II mengalirkan pasangan elektron masing-masing dari NADH dan suksinat menuju ubikuinon (Q). Ubikuinon merupakan titik temu 6 antara elektron yang dilepaskan oleh kompleks I, II, dan elektron yang dilepaskan oleh FADH2. Kompleks III selanjutnya memindahkan pasangan elektron dari ubikuinon menuju sitokrom c. Pada tahap terakhir, kompleks IV mengalirkan elektron dari sitokrom c menuju O2, sekaligus mereduksi O2 menjadi H2O. Sedangkan kompleks V akan mengkatalisis rekasi pembentukan ATP dari ADP dan fosfat anorganik (Pi). Proses ini terkait dengan aliran proton dari ruang antar membran menuju matrik melewati membran dalam (Karp, 1999). Proses fosforilasi oksidatif untuk menghasilkan ATP secara singkat dapat dilihat pada Gambar II. 3. Ruang antar membran Suksinat Fumarat Matriks Gambar II. 3. Reaksi Fosforilasi Oksidatif. Reaksi untuk menghasilkan ATP ini melibatkan lima kompleks enzim, yaitu Kompleks I NADHubikuinon reduktase, Kompleks II suksinat-ubikuinon reduktase, Kompleks III ubikuinol-sitokrom c oksidase, Kompleks IV sitokrom oksidase, dan Kompleks V ATP sintase (Karp, 1999) Komposisi genom mitokondria manusia terdiri atas dua gen ribosom RNA (12 S rRNA dan 16 S rRNA), 22 gen tRNA (1 gen tRNA untuk masing-masing asam amino dan 2 tRNA ekstra: tRNAleu dan tRNAser), 13 gen yang mengode 13 subunit (tujuh subunit kompleks I NADH-dehidrogenase: ND1, ND2, ND3, ND4L, ND4, ND5, ND6, satu subunit kompleks III sitokrom b: cyt.b, tiga subunit kompleks IV sitokrom oksidasi: COI, COII, COIII, dan dua subunit kompleks V ATP sintase: ATP 6 dan ATP 8) dari 70 subunit kompleks enzim respirasi, dan daerah D-loop (Anderson et al., 1981; Horaiet et al., 1995). 7 II. 2. DNA Mitokondria (mtDNA) sebagai Materi Genetik Mitokondria memiliki sistem genetik yang berbeda dengan sistem genetik inti sel. DNA mitokondria manusia berbentuk lingkaran tertutup dan beruntai ganda (double stranded). Dua untai pada DNA mitokondria ini dikenal dengan untai heavy (H) dan untai light (L). Penamaan ini didasarkan pada perbedaan densitas tiap untai dalam gradien denaturan CsCl, dimana untai H memiliki berat molekul yang lebih besar dibandingkan dengan untai L karena untai H memiliki lebih banyak basa-basa purin yang memiliki dua buah cincin pada strukturnya yang dinyatakan dalam rasio G : C. Jika rasio G : C lebih dari satu maka untai tersebut adalah untai H (Anderson et al., 1981). Urutan nukleotida DNA mitokondria sudah ditentukan secara lengkap oleh Anderson pada tahun 1981. MtDNA berukuran 16569 pb (Gambar II.4) dan menyandi 37 gen, yaitu 22 tRNA, 2 rRNA, dan 13 polipeptida untuk kompleks protein yang dibutuhkan pada reaksi fosforilasi oksidatif. Untai H 16569 pb Untai L Gambar II.4. Struktur DNA Mitokondria. Mitokondria berukuran 16569 pb, beruntai ganda, untai H dan untai L. MtDNA menyandi 37 gen untuk 2 rRNA, 22 tRNA, dan 13 polipeptida untuk kompleks protein yang dibutuhkan pada fosforilasi oksidatif. MtDNA juga memiliki daerah pengontrol yang tidak mengode protein yang disebut dengan D-loop berukuran 1121 pb (Anderson et al.,1981; Andrews et al., 1999) 8 Bentuk mtDNA adalah sirkular terdiri atas untai H (Heavy) memiliki basa G lebih banyak dan untai L (Light) memiliki basa C lebih banyak (Wallace, 1997). Komponen penyusun mitokondria seperti protein struktural, protein transpor, ”mesin” sintesis protein-protein mitokondria seperti DNA polimerase, RNA polimerase, amino asil tRNA sintetase, protein ribosomal, dan faktor pengendali transkripsi, translasi dan replikasi DNA mitokondria (mtDNA) semua dikode oleh inti, disintesis di sitosol kemudian ditranspor ke mitokondria (Strachan dan Read, 1999; Moraes et al., 1999) seperti tercantum dalam Tabel II.1. Sebagian besar protein mitokondria dikode oleh DNA inti, disintesis oleh sitosol kemudian ditranspor ke mitokondria untuk mensintesis protein mitokondria atau tergabung dalam sistem fosforilasi oksidatif. Tabel II.1. Hubungan Fungsi Mitokondria dengan Inti. Komponen Komponen Sistem Fosforilasi Oksidatif : I. NADH dehidrogenase II. Suksinat CoQ reduktase III. Sitokrom b-cl IV. Sitokrom c oksidase V. ATP sintase Komponen Sintesis Protein : tRNA rRNA Ribosomal protein Protein mitokondria lainnya Dikode mtDNA 13 subunit Dikode DNA Inti 80 subunit 7 subunit 0 subunit 1 subunit 3 subunit 2 subunit 24 22 tRNA 2 rRNA - > 41 subunit 4 subunit 10 subunit 10 subunit 14 subunit ∼ 80 ∼ 80 semua misal : DNA pol, RNA pol, enzim struktural dan transpor Setiap sel eukariot mengandung ratusan bahkan ribuan kopi DNA mitokondria. Mutasi dapat terjadi pada seluruh kopi mtDNA atau hanya pada beberapa kopi saja. Apabila mutasi terjadi pada seluruh kopi mtDNA dalam sel maka kondisi ini disebut homoplasmi, tetapi jika terjadi pencampuran lebih dari satu tipe mtDNA di dalam sel dimana terdapat mtDNA yang termutasi dan mtDNA wild type, maka kondisi ini disebut dengan heteroplasmi. Penyebab heteroplasmi belum diketahui dengan pasti, Grzybowski pada tahun 2000 menjelaskan bahwa heteroplasmi 9 disebabkan karena mutasi yang terjadi pada mtDNA sel telur diikuti oleh diferensiasi selama perkembangan embrio. Heteroplasmi dapat terdeteksi pada berbagai jaringan, termasuk tulang, otak, hati, otot, rambut, dan darah. Pada satu individu, heteroplasmi dapat terjadi pada satu atau lebih jaringan (Tully et al., 1999). Namun, rambut manusia memiliki frekuensi heteroplasmi yang tinggi. Dari satu akar rambut telah ditemukan enam macam perbedaan (Grzybowski, 2000). Pola panjang heteroplasmi mirip untuk individu-individu segaris keturunan ibu tetapi bervariasi untuk individu yang tidak segaris keturunan ibu (Malik et al., 2002). II.3. Daerah D-loop mtDNA Daerah D-loop adalah daerah pada mtDNA sepanjang 1121 nukleotida mulai dari nukleotida 16024 sampai 576 terletak antara gen tRNA prolin (15955-16023 pb) dan gen tRNA fenilalanin (577-647 pb) yang tidak menyandi (mengkode) protein tetapi mengandung beberapa basa yang mengontrol proses transkripsi dan replikasi mtDNA sehingga disebut juga control region (CR). Daerah D-loop merupakan daerah beruntai tiga (triple stranded), mengandung origin of replication untuk untai H (OH) dan dua promoter utama untuk untai H dan L (PH dan PL) (Gambar II. 3). Gen-gen mtDNA terdistribusi pada untai H dan L. Titik awal replikasi untai H dan dua promotor transkripsi terletak pada D-loop. Kedua promotor transkripsi tersebut berjarak 150 nukleotida dengan daerah pengenalan oleh faktor transkripsi mitokondria pertama sepanjang 27 pasang basa (Clayton, 1991). D-loop memiliki adaptasi yang tinggi terhadap mutasi sehingga antar individu yang tidak segaris keturunan ibu D-loopnya dapat sangat berbeda. Adaptasi Dloop terhadap mutasi disebabkan karena tidak menyandi protein sehingga mutasi pada daerah ini tidak mempengaruhi fungsi protein dan karenanya perubahan pada D-loop tidak berpengaruh pada fisiologi mitokondria ataupun sel. Variasi antar individu yang relatif tinggi ini menyebabkan D-loop disebut juga daerah 10 Hypervariable (HV) dan mempunyai laju mutasi lima kali lebih cepat dibandingkan daerah lain pada genom mitokondria (Creenberg et al., 1983). Dloop memiliki dua daerah yang sangat bervariasi, yaitu Hypervariable region I (HVR I) pada nukleotida 16024-16383 dan Hypervariable regio II (HVR II) pada nukleotida 57-372 (Anderson et al., 1981; Andrews et al., 1999). Variasi basa atau polimorfisme yang disebabkan oleh mutasi ini disebut dengan Single Nucleotide Polymorphism (SNP). SNP, yang dapat terjadi pada daerah pengkode (coding region) maupun daerah bukan pengkode (noncoding region) pada D-loop, dapat digunakan untuk membedakan satu individu dengan individu lain. Polimorfisme pada daerah D-loop lebih tinggi daripada polimorfisme daerah pengkode disebabkan karena laju mutasinya yang lebih tinggi. II. 4. Laju Mutasi mtDNA Laju mutasi yang tinggi pada mtDNA disebabkan oleh banyaknya radikal bebas yang terbentuk sebagai hasil samping reaksi respirasi yang berlangsung pada mitokondria. Elektron yang ditransfer dapat tertangkap oleh molekul oksigen membentuk radikal bebas superoksida. Jumlah superoksida ini dalam kondisi normal mencapai 1-3% jumlah molekul oksigen. Enzim superoksida dismutase akan mengubah senyawa ini menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Hidrogen peroksida selanjutnya diubah menjadi air dan oksigen dengan enzim katalase. Reaksi-reaksi diatas memiliki hasil samping radikal bebas hidroksil yang sangat berbahaya karena dapat bereaksi dengan protein, asam nukleat, karbohidrat, dan lipid menghasilkan suatu radikal dan bereaksi lebih lanjut. Radikal bebas hidroksil juga dapat terbentuk dengan katalis ion besi (Fe3+). Ion besi dapat menerima elektron dari superoksida dan memindahkannya ke hidroksil sehingga menjadi radikal bebas. Kompleks ion besi dapat mengkatalisa fosfat pada DNA. Radikal bebas hidroksil dapat menyerang gugus gula ribosa ataupun mendeaminasi nukleotida yang menyebabkan mutasi subtitusi misalnya : T > C, C > G dan T > G. Tingginya laju mutasi mtDNA juga disebabkan oleh karena enzim 11 polimerase λ yang digunakan pada proses replikasi mtDNA tidak memiliki proofreading yang dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan selama proses replikasi (Watson et al., 1987). Beberapa mutasi gen penyandi protein mtDNA yang tidak berpengaruh pada kondisi fisiologis disebut varian normal (Marzuki et al., 1991). Sedangkan mutasi pada daerah yang tidak menyandi protein seperti daerah D-loop tidak berbahaya bagi kelestarian mtDNA itu sendiri sehingga mutasi tersebut dapat diturunkan pada proses replikasi. Replikasi DNA tidak selalu akurat sehingga akan terjadi mutasi yang akan diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga makin jauh hubungan kekerabatan antara dua individu, makin besar pula jumlah perbedaan mutasi. II. 5. Peran Mutasi mtDNA pada Penuaan Reaksi fosforilatif oksidatif dalam mitokondria menghasilkan ± 90% energi pada organ dan sistem jaringan (Wei, 1992). Proses fosforilatif oksidatif menghasilkan berbagai metabolit berupa radikal bebas yang berpotensi merusak DNA. Dalam kondisi normal, radikal bebas akan dieliminasi oleh dismutase, katalase, dan peroksidase, namun mekanisme pertahanan ini berkurang fungsinya dengan bertambahnya umur (Ames, 1989). Berkurangnya fungsi enzim-enzim tersebut berakibat pada banyaknya mutasi yang disebabkan oleh radikal bebas, hal ini berpotensi mempengaruhi proses penuaan. Namun demikian, tidak ditemukan adanya perubahan pola mutasi pada sel rambut seiring dengan pertambahan usia dalam satu individu (Liu et al., 2001). Percepatan angka laju mutasi DNA mitokondria dapat menghasilkan penuaan dini, suatu faktor penyebab utama penuaan. Telah ditemukan bahwa penuaan berkaitan dengan peranan DNA mitokondria. Mutasi DNA mitokondria terus menerus terakumulasi sepanjang usia dan bertanggung jawab langsung atas defisiensi dalam aktifitas fosforilasi oksidatif seluler. Kerusakan DNA mitokondria dan mutagenesis menyebabkan kerusakan dan disfungsi oksidatif 12 yang meningkat secara eksponensial, yang pada akhirnya terkulminasi pada penuaan. Sebuah peningkatan tiga hingga lima kali dalam mutasi-mutasi mtDNA somatik pada mutator DNA mitokondria yang telah ditunjukkan untuk menghasilkan respirasi defektif dan oleh karenanya terjadi defisiensi energi dalam sel-sel individu (Trifunovic, 2006). II.6. Peran mtDNA dalam Identifikasi Forensik Analisis forensik berupa tindakan identifikasi barang bukti, yang bertujuan untuk memperkirakan identitas (ras, umur, jenis kelamin) atau menghubungkan seseorang dengan tempat kejadian perkara. Analisis menggunakan DNA inti telah terlebih dahulu digunakan dalam bidang forensik dan berkembang pesat. Metode yang banyak digunakan adalah RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphisme) dan STR (Short Tandem Repeat). RFLP memiliki tingkat akurasi paling tinggi tetapi juga tingkat kesulitan yang tinggi. Metode STR lebih praktis dan akurasinya dapat disesuaikan tergantung jumlah lokus yang dianalisis (Gill, 2001). Analisis menggunakan DNA inti memiliki akurasi yang tinggi karena dirujuk pada inti kedua orang tua (diploid). Akan tetapi metode ini memiliki kelemahan yaitu bila salah satu atau kedua orang tua tidak ada. Penggunaan DNA inti saudara seayah-ibu, anak, paman, dan bibi atau kakek dan nenek kandung memerlukan koreksi yang didasarkan pada segresi mendel. Sedangkan generasi ketiga atau saudara sepupu, praktis tidak dapat digunakan (Gill, 2001) Selain DNA inti, mtDNA telah digunakan dalam bidang forensik dan menjadi barang bukti di pengadilan Amerika Utara dan Eropa (Wilson et al., 1997). Kelebihan utama penggunaan mtDNA dalam bidang forensik adalah mtDNA mempunyai jumlah salinan yang tinggi (Robin dan Wong, 1988). Jumlah salinan per sel sekitar 1000-10.000 sehingga mtDNA dapat digunakan untuk analisis sampel dengan jumlah DNA yang sangat terbatas (Moore dan Isenberg, 1999; Holland, 1997; Wilson et al., 1997). Kelemahan penggunaan mtDNA adalah kemungkinan menemukan kesamaan antar individu yang relatif lebih tinggi, terutama individu yang terkait hubungan keluarga segaris keturunan ibu. 13 Kelemahan ini menjadi menguntungkan bila yang dilakukan adalah perunutan hubungan keluarga (Gill et al.,1994). Perunutan hubungan keluarga dengan mtDNA didasarkan pada pola pewarisan maternal yang haploid dan hipervariabilitas daerah D-loop. Individu yang terkait hubungan maternal akan memiliki urutan nukleotida yang sama dan yang tidak terkait hubungan maternal ini akan berbeda. Terdapat kemungkinan dua individu yang tidak memiliki catatan hubungan maternal akan memiliki sekuen dengan urutan basa yang sama. Bila silsilah keluarga hanya diketahui beberapa generasi keatas, sementara kecepatan mutasi adalah satu titik dalam 33 generasi maka kemungkinan terjadinya kasus homologi dua individu yang merasa tidak memiliki hubungan maternal relatif tinggi. Hal ini yang menyebabkan mtDNA tidak dapat menjadi alat bukti tunggal atau yang utama dalam pengadilan (Melton, 2001). Pemilihan mtDNA didasarkan pada pertimbangan bahwa mtDNA memiliki jumlah molekul yang sangat banyak dalam tiap sel, sehingga sekalipun sampel dalam keadaan rusak tetapi kemungkinan keberhasilan amplifikasi akan lebih tinggi dibandingkan DNA inti. II. 6. Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR merupakan teknik in vitro untuk mengamplifikasi daerah spesifik suatu DNA yang dibatasi oleh sepasang primer (oligonukleotida pendek) menggunakan enzim DNA polimerase dan dNTP sebagai monomernya (Newton dan Graham, 1997; Innis dan Gelfand, 1990). Komponen PCR terdiri dari master mix dan templat. Komposisi master mix PCR terdiri dari ddH2O sebagai pelarut, buffer PCR untuk mempertahankan pH yang sesuai bagi kerja DNA polimerase, MgCl2 sebagai koenzim DNA polimerase, dNTP (dinukleosida trifosfat) sebagai penyedia nukleotida-nukleotida yang akan digunakan untuk memperbanyak DNA, primer M1 dan HV2R sebagai komponen yang akan mengenali daerah amplifikasi, templat merupakan urutan DNA yang akan diamplifikasi, dan enzim Taq DNA polymerase sebagai biokatalis yang membantu proses PCR (Noer et al., 1994; Wilson et al., 1995) 14 Pada umumnya PCR berlangsung dalam tiga tahap yaitu: (1) Denaturasi, yaitu pemisahan DNA untai ganda menjadi tunggal karena terjadi pemutusan ikatan hidrogen basa-basanya pada suhu tinggi (94-96oC); (2) Annealing, yaitu tahap penempelan primer pada templat DNA. Suhu annealing dapat dihitung berdasarkan nilai melting temperature (Tm) dari primer-primer yang digunakan; (3) Extension, yaitu tahap reaksi polimerasi oleh enzim DNA polimerase menggunakan dNTP sebagai monomernya dan dimulai dari ujung 3’ primer sepanjang DNA templatnya hingga terbentuk untai DNA baru. Tahap ini berlangsung pada temperatur saat enzim polimerase bekerja optimum. Waktu yang dibutuhkan pada tahap ekstensi tergantung pada panjang fragmen yang diamplifikasi dan kecepatan reaksi dari enzim DNA polimerase yang digunakan (Barnes, 1994; Cheng et al., 1994; Cheng dan Kolmodin, 1997). Ketiga tahap tersebut merupakan siklus yang berlangsung secara terus menerus. Untuk menghasilkan produk yang banyak dibutuhkan sekitar 25-30 siklus. Secara teori jumlah fragmen DNA yang dihasilkan selama n siklus PCR, dirumuskan dengan (2n – 2n)x, dimana n = jumlah siklus, dan x = jumlah templat DNA (Newton dan Graham, 1997; Innis dan Gelfand, 1990). II. 7. Direct Sequencing dengan Metode Dideoksi -Sanger Direct sequencing adalah suatu proses sekuensing menggunakan templat DNA hasil PCR secara langsung tanpa melalui proses kloning. Dideoksi Sanger adalah metode penentuan urutan nukleotida yang didasarkan pada terminasi basa spesifik saat dilakukan sintesis DNA secara in vitro oleh enzim DNA polimerase menggunakan satu primer. Basa spesifik yang digunakan adalah ddNTP yaitu dideoksinukleosida trifosfat yang tidak memiliki gugus hidroksil pada karbon 3’ nya. Hilangnya gugus hidroksil ini menyebabkan DNA polimerase tidak dapat mengkatalisis pembentukan ikatan fosfodiester dengan dNTP atau ddNTP berikutnya, sehingga tidak terjadi proses sintesis rantai DNA setelah reaksi dengan ddNTP. Terminasi berlangsung secara acak sehingga dihasilkan untai DNA yang panjangnya berbeda-beda (Newton dan Graham, 1997). 15 Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hasil sekuensing adalah jumlah templat DNA, kemurnian DNA, kualitas primer, serta kontaminan seperti EDTA, fenol, dan kadar garam yang tinggi. EDTA pada konsentrasi diatas 0,5 mM dapat mengganggu ion Mg2+ sebagai kofaktor enzim DNA polimerase. Adanya fenol dapat mengganggu dye fluorescent. Konsentrasi garam yang tinggi dapat menginhibisi enzim (Robertson, 1996).