55 MITOLOGI DAN KONSEP TONDI SEBAGAI

advertisement
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
MITOLOGI DAN KONSEP TONDI SEBAGAI
DASAR DARI ZEREMONI KEMATIAN DAN
PENGHORMATAN PARA LELUHUR DALAM
SUKU BATAK TOBA
Johannes Lumban Batu
(Dosen STT Paulus Medan)
Abstraksi
Zeremoni Kematian dan penghormatan para leluhur
dalam suku Batak Toba sering menjadi tema
perdebatan, khususnya ketika kedua praktek ritual
tersebut disoroti dari kaca mata gereja. Tidak sedikit
yang membandingkan praktek-praktek tersebut
dengan teks-teks yang berasal dari Kitab Suci. Dan
akibatnya adalah penolakan dan tuduhan-tuduhan
negatif seperti perbuatan kaum kafir, pekerjaan iblis
dan lain sebagainya.
Tulisan ini memperkenalkan satu aspek yang mungkin
sering dilupakan dalam perdebatan tersebut, yaitu
aspek etnologi dari kedua praktek ritual tersebut.
Karena kedua praktek tersebut, tidak begitu saja jatuh
dari langit, tetapi ada lewat kumpulan pengalaman
suku Batak Toba sendiri yang terangkum dalam
Mitologi dan bagaimana mereka mengerti tondi.
Key words: Mitologi, Konsep Tondi, Zeremoni kematian,
Penghormatan para Leluhur, Suku Batak Toba.
I.
PENGANTAR
Kenyataan bahwa setiap manusia akan mati, tidaklah
dapat disangkal. Suka atau tidak suka, cepat atau lambat setiap
orang akan sampai pada pengalaman tersebut. Hal itu jelas dan
diterima oleh logika. Yang kurang jelas dan masih terus
diperdebatkan adalah kondisi setelah kematian. Pertanyaan,
apakah ada kehidupan setelah kematian, apakah dia masih ada
(bergentayangan) di dunia ini, apakah yang meninggal memiliki
55
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
pengaruh terhadap orang hidup, adalah beberapa pertanyaan
yang dijawab berbeda oleh berbagai kepercayaan dan budaya.
Dalam masyarakat modren orang mati kurang mendapat
tempat dan hampir tidak memainkan peranan dalam kehidupan
masyarakat. Yang tinggal hanya kenangan. Sebaliknya, banyak
suku dan budaya menempatkan orang mati pada titik sentral
untuk mengerakkan roda masyarakatnya. Tidak heran, ritus
kematian dan praktek penghormatan para leluhur menjadi begitu
penting dan dapat mengalahkan praktek inisiasi lainnya. Dia
tidak lagi hanya sebatas rites de passage, tetapi sudah menjadi
ungkapan nilai budaya tertinggi yang sangat mempengaruhi
masyarakatnya dalam bersikap.
Suku Batak Toba misalnya, adalah salah satu suku yang
mempraktekkan kepercayaan tersebut. Baginya, kehidupan
sosial masyarakatnya tidak hanya terbatas pada manusia hidup
saja, tetapi juga menyertakan anggota masyaraknya yang sudah
meninggal. Kematian bukanlah pemisahan akhir antara kerabat
yang hidup dengan yang mati, melainkan suatu perubahan
kondisi ke suatu kondisi baru. Atau dengan kata lain, kematian
adalah awal dari suatu kehidupan yang baru dimana orang mati
dapat berkumpul dan membentuk kelompok masyarakat baru.
Orang mati tersebut masih berhubungan dengan klan
keluarganya. Bahkan melebihi itu, suku Batak Toba juga
menyakini bahwa orang mati mempunyai pengaruh, baik itu
positif maupun negatif akan hidup kerabat keluarga yang masih
hidup. Makanya tidak mengherankan kalau kematian diikuti
dengan zeremoni yang berlangsung beberapa hari dan beberapa
tahun kemudian diadakan pesta yang cukup besar untuk
mengangkat tulang belulang mayat tersebut, mencucinya dan
menempatkannya di sebuah tugu.
Mengapa suku batak toba melakukan pesta yang cukup
besar dalam zeremoni kematian? Mengapa suku batak toba
menyakini bahwa para leluhur memiliki pengaruh negatif dan
positif terhadap kerabatnya yang masih hidup? Bagaimana
dengan tanggapan agama kristen yang nota bene adalah agama
mayoritas dalam suku batak toba?
56
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
II.
TERMINOLOGI DAN KEPUSTAKAAN
Keyakinan suku Batak Toba akan hubungan antara orang
hidup dan mati tampil dalam berbagai ritus-zeremoni yang
berbeda. Namun harus dijelaskan terlebih dahulu bahwa
zeremoni kematian berbeda dengan penghormatan kepada para
leluhur.
Zeremoni kematian berlaku untuk semua kematian.
Biasanya dimulai setelah kematian menjemput ajal dan diakhiri
dengan penguburan. Tetapi ada kalanya zeremoni ini dilakukan
sebelum kematian dan ini disebut dengan Manulangi.
Tujuannya, mengadakan acara perpisahan dan sekaligus
mempersiapkan orang tersebut masuk dalam dunia roh. Dalam
prakteknya, zeremoni ini berlangsung dalam waktu yang
berbeda-beda. Pada kematian seorang anak atau kematian
seorang yang belum memiliki keturunan (na mate punu),
biasanya paling lama satu hari. Pada kematian seorang yang
mempunyai anak dan cucu (saurmatua), biasanya berlangsung
tiga sampai empat hari.
Penghormatan para leluhur atau sering disebut dengan
penyembahan nenek moyang sebaliknya hanya berlaku untuk
orang-orang mati tertentu, yaitu dia sudah memiliki cucu
(Saurmatua). Penghormatan ini dapat dilakukan di rumah dan
juga di kuburan dengan membawa sesajen. „Tetapi zeremoni
terbesar dalam penghormatan para leluhur adalah pengangkatan
tulang belulang orang mati tersebut dari kuburan, mencucinya
dan meletakkannya di dalam satu kuburan batu yang lebih besar
(Tugu)“ (Simon 1982:182).
Untuk mengupas tema ini, penulis mencoba mengali
sumber dari berbagai tulisan. Disini disebutkan beberapa tulisan
yang sering dipakai penulis sebagai sumber utama:
Johannes Warneck, yang nota bene ikut membentuk
landasan dasar dari gereja batak toba Protestan atau yang
dikenal sekarang dengan Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP), melukiskan kepercayaan suku batak toba dalam
bukunya „Die Religion der Batak“. Dalam buku tersebut,
Warneck mencoba mengambarkan konsep kepercayaan suku
batak toba dalam hubungannya dengan mitos para dewa dan
para leluhur.
57
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
Walemar Stöhr, seorang peneliti kepercayaankepercayaan kuno di indonesia, memperkenalkan dalam
bukunya „Die altindonesischen Religionen“ sistem kekerabatan
dan sistem kepercayaan dari suku-suku tertua di sumatra. Untuk
itu dia mengambil suku batak toba sebagai contoh.
Dalam karya tulisnya Arthur Simon mencoba
mengambarkan kepercayaan dan zeremoni dari suku batak toba.
Dalam karyanya tersebut Arthur memperlihatkan dan
mengambarkan pengalamannya mengikuti suatu pesta
pembuatan tugu dari tanggal 29 juli sampai 1 Agustus 1981 di
hutajulu, satu kampung di tapanuli utara diantara Balige dan
Porsea.
S.M. Hutagalung (1986) menulis tentang pembangunan
tugu ditinjau dari sudut iman kristen dalam pemikiran tentang
batak yang diterbitkan oleh pusat dokumentasi dan pengkajian
kebudayaan batak. Universitas HKBP Nomennsen.
Selain dari buku dan penulis yang disebut diatas, penulis
juga memakai buku dan tulisan-tulisan ilmiah dari berbagai
sumber sebagai pelengkap tulisan ini.
III. MITOLOGI DAN KONSEP TONDI SEBAGAI
LANDASAN
ZEREMONI
KEMATIAN
DAN
PENGHORMATAN PARA LELUHUR
Dalam kehidupan sehari-hari dari pemeluk agama suku,
mitologi berarti segalanya. Dia yang mendasari apa yang terjadi
di bumi ini. Mitologi adalah pendasaran tunggal dari kejadiankejadian dalam praktek hidup. Dalam mitologilah ditemukan
ungkapan dari suatu kebenaran absolut, karena dia bercerita
tentang sejarah yang sakral. Artinya, dia mempresentasikan
suatu kejadian awali yang berhubungan dengan mahluk adi
kodrati, dia memberi pendasaran dan penjelasan akan apa yang
terjadi saat ini dan dengan demikian, memberikan manusia satu
orientasi dalam perbuatan dan sikap terhadap sesamanya. Maka
tidak berlebihan, kalau disimpulkan bahwa mitologi menjadi
satu strategi hidup dengan norma-norma praktis untuk
menjelaskan masa sekarang, untuk memungkinkan dan
memastikan hidup, dan untuk membentuk masa depan (Eliade
1964:11 und Stolz 1987:443).
58
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
Seperti itu juga mitologi memainkan peranan penting
dalam suku Batak Toba. Seluruh praktek hidup pribadi dan
sosial dari suku Batak Toba dihubungkan dengan pengertian
kesakralan dan tidak ada sikap hidup yang terjadi tanpa motiv
yang sakral. Dalam kesakralan inilah misalnya terdapat para
leluhur dan aturan kekerabatan masyarakatnya. Segala kegiatan,
khususnya zeremoni-zeremoni yang masih dipraktekkan saat ini
oleh suku Batak Toba, seperti zeremoni kematian dan
penghormatan para leluhur memiliki pendasarannya di dalam
mitologi.
III .1. Mitologi penciptaan suku Batak Toba
III.1.1. Alam semesta
Suku Batak Toba menyakini bahwa dunia terbagi tiga:
dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tongah) dan
dunia bawah (banua toru). Dunia bawah ini adalah tempat
bersemayamnya seekor naga perkasa Naga padoha. Dunia
tengah adalah bumi yang pada awalnya belum existens. Dunia
atas adalah tempat Mula Jadi na Bolon sebagai awal dari segala
sesuatu.
Bagaimana Mula Jadi na Bolon menciptakan awal
semesta, tidaklah begitu jelas dilukiskan di dalam mitologi.
Yang menjadi sorotan mitologi adalah dunia tengah dan asal
muasal manusia. Mulanya ditampilkan Batara Guru, Soripada
and Mangalabulan. Kemudian Mula Jadi na Bolon menciptakan
suatu pohon Hariara Sundung. Diatas pohon inilah seekor ayam
dibiarkan tinggal untuk mengerami 3 telur yang kemudian
menetaskan 3 wanita yang kemudian menjadi istri dari Batara
Guru, Soripada and Mangalabulan.
Batara Guru kemudian menikah dengan Siboru Pareme.
Dari pernikahan ini mereka dikaruniahi anak, salah satunya
adalah puteri Sideak Parudjar. Perlu diketahui bahwa, pada saat
itu semuanya tinggal di dunia atas dan masih memiliki privilege
ilahi, salah satunya adalah kemampuan terbebas dari
ketidakkekalan, bebas dari penyakit dan dapat hidup dalam
kebahagiaan.
III.1.2. Penciptaan dunia
59
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
Privilege ini sayangnya tidak bertahan lama, karena
Sideak Parudjar memilih untuk tidak mau mengikuti aturan
dunia atas, lebih tepatnya tidak setuju dengan rencana Mula Jadi
na Bolon sebagai penguasa dunia atas. Ini berarti, Sideak
Parudjar harus keluar dari dunia atas.
Sideak Parudjar dengan bantuan benang turun ke dunia
tenggah yang saat itu hanya dipenuhi air. Tidak ada tempat
berpijak membuat dia memohon kepada Mula Jadi na Bolon
untuk memberikan segenggam tanah. Mula Jadi na Bolon
menyangupi permintaan tersebut dengan memberikan tanah dan
meletakkannya diatas seekor naga bernama Naga Padoha.
Tetapi penciptaan dunia belum selesai, sebaliknya mitologi
semankin menarik, karena Naga Padoha merasa terbebani dan
berusaha merusak bumi yang diletakkan diatas tubuhnya.1
Tetapi tidak berhasil, karena Sideak Parudjar berkat bantuan
Mula Jadi na Bolon dapat mengalahkannya. Naga Padoha tidak
mati tetapi diikat di dunia bawah. Kalau terjadi gempa atau
tsunami di bumi ini, maka suku batak toba menyakini bahwa itu
semua adalah ulah dari Naga Padoha.
III.1.3. Penciptaan manusia
Kalahnya Naga Padoha menandai penciptaan bumi
selesai. Mitologi tetapi belum berakhir, melainkan berlanjut
pada penciptaan manusia. Johannes Warneck menulis bahwa
diatas bumi Sideak Parudjar menikah dengan putra dari
Mangalabulan yang bernama Siraja Uhum (Warneck 1906:31),
tetapi sumber lain mengatakan dengan Raja Odap-odap.
Menurut hemat penulis, bahwa nama dari mempelai pria pada
tulisan ini tidaklah begitu penting, yang menjadi sorotan utama
adalah hubungan kekerabatan yang terjadi lewat perkawinan.
Demikian Waldemar Stöhr menyatakan bahwa perkawinan
Sideak Parudjar (putri dari Batara Guru) dengan putra dari
Mangalabulan adalah konstruksi dari sistem kekerabatan suku
Batak Toba Dalihan na tolu. Batara Guru mempresentasikan
1
Waldemar Stöhr menjelaskan bahwa Naga Padoha tinggal di dunia
bawah karena dia adalah tokoh antagonis dari Mula Jadi na Bolon (Stöhr
1976:28).
60
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
Hula-hula. Karena memberikan puterinya Sideak Parudjar
kepada putra dari Mangalabulan. Demikian Mangalabulan
menjadi Boru. Soripada adalah Dongan tubu. Dalam praktek
hidup suku Batak Toba, Batara Guru mendapat tempat yang
lebih istimewa dibandingkan Mangalabulan/ Boru dan
Soripada/ Dongan Tubu, karena puterinya telah menjadi ibu dari
manusia, tanpa persetujuannya manusia tidak ada (Stöhr 1976:
29).
Perkawinan Sideak Parudjar und Raja Odap-odap
dianugerahi keturunan yang banyak diantaranya adalah sepasang
anak kembar: yang putera bernama Raja Ihatmanisia dan puteri
Boru Itammanisia. Keturunan dari si kembar ini kemudian
adalah Si Raja Batak, bapak dari suku Batak Toba.
III.2. Fungsi dari penghormatan para leluhur
Ketika si kembar beranjak dewasa, Mula Jadi na Bolon
memerintahkan Sideak Parudjar, tanpa anak kembarnya untuk
kembali ke dunia atas. Si kembar harus tinggal di dunia tengah,
karena mereka bertanggung jawab akan kelangsungan hidup
manusia. sebagai perpisahan adalah diadakannya suatu pesta
adat dan ini diyakini sebagai pesta adat terbesar yang pernah ada
di dunia ini. setelah pesta Sideak Parudjar kembali ke dunia
atas, si kembar tinggal di dunia tepatnya di suatu kampung
bernama Pusuk buhit. disinilah awal pemisahan antara dunia
atas dan dunia tengah. Tetapi Mula Jadi na Bolon masih
menunjukkan mereka aturan hidup yang sekarang dikenal
dengan Adat yang menekankan bahwa manusia masih dapat
berhubungan dengan para dewa melalui Ritus dan korban
sesajen. Tetapi semua keturunan Sideak parudjar tidak lagi
memiliki privilege adikodrati seperti para dewa. Manusia tidak
dapat mengadakan kontak langsung dengan para dewa,
melainkan hanya melalui perantara yaitu para leluhurnya.
Karena para leluhur yang mendapat penghormatan dan sesajen
dari keluarganya dapat mencapai tingakatan ke empat di dunia
atas (Meyer 1987:88-89). Ini berarti, bahwa para nenek moyang
dapat tinggal di dunia yang sama, walaupun tingkatannya
berbeda. Bahkan suku Batak Toba, demikian menurut Warneck,
sering tidak dapat membedakan batas antara para dewa dengan
61
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
para leluhur (Warneck 1909:6). Disatu sisi mereka dapat
mengadakan kontak langsung dengan para dewa dan otomatis
menjadi penghubung antara para dewa dengan manusia. Disisi
lain, mereka memiliki pengaruh atas manusia.
Disini berlaku prinsip equivalent. Para leluhur dapat
menjadi baik atau buruk, mereka dapat membuat keselamatan
atau malah petaka. Tergantung dari hubungan manusia ke
mereka dan juga sebaliknya. Sejauh keluarga mau mencapai
sahala, tujuan hidupnya, maka mereka harus memelihara hidup
para leluhur dengan mengadakan zeremoni. Sebaliknya,
absennya ingatan dan praktek zeremoni terhadap para leluhur
adalah awal dari malah petaka. Demikian tidak mengherankan
kalau suku batak toba sangat memberikan porsi perhatian yang
cukup besar terhadap hal-hal yang sangat diperlukan supaya
para leluhur dapat menjadi berkat buat mereka. Ritus kematian
yang dikemas dengan adat menjadi sangat penting. Tidak cukup
dengan itu untuk membawa leluhur sampai ke dunia atas,
sesajen dan pembangunan tugu yang kokoh juga harus menjadi
agenda keluarga berikutnya.
III.3. Konsep Tondi
Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Hanya
kematian orang-orang yang tidak berbarengan dengan zeremoni
dalam adat dapat mengakhiri hidupnya. Sebaliknya kematian
yang dibarengi dengan zeremoni adalah awal dari kehidupan
kekal, masuk ke dunia atas dan memiliki privilege ilahi. Tetapi
bagian manusia yang mana sampai kesitu?
Berbicara mengenai kepercayaan suku Batak Toba, tentu
tema tidak bisa dipisahkan dengan kata tondi. Karna kata
tersebut, selain mitologi, menjadi konsep sentral dalam praktek
zeremoni dan hidup suku Batak Toba. Demikian bisa dikatakan,
siapa yang mau mengerti praktek penghormatan para leluhur
dalam suku Batak Toba, maka dia harus mengerti apa itu tondi:
Adalah sulit untuk mencari terjemahan yang benar-benar
cocok dengan kata tondi. Kadang dia dibandingkan dengan
terminus kristiani Roh. Kadang juga sebagai semangat. Ada
benarnya usaha tersebut, tetapi tidak tepat 100%. Tondi hanya
bisa diterjemahkan kira-kira seperti roh atau semangat. Karena
62
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
tondi tampil dengan berbagai bentuk. Dia tidak hanya sebagai
unsur (energi) yang tidak terikat, tetapi juga sebagai substansi
yang tidak hanya terdapat pada manusia tetapi juga dalam
benda-benda lainnya (Warneck 1909:46). Suku Batak Toba juga
tidak bisa sampai pada definisi yang lengkap dari tondi. Mereka
tahu apa itu tondi, tetapi tidak bisa mengungkapkannya dengan
kata-kata yang lengkap dan tepat.
III.3.1. Tondi sebagai tuan atas tubuh
Seorang manusia hanya bisa hidup kalau tondi-nya masih
di dalam tubuhnya. Hidup seseorang tergantung dari tondi-nya.
Manusia in sich adalah pasif, sebaliknya tondi aktiv dan tidak
mati. Dia mengerakkan manusia dan dapat hidup tanpa tubuh
manusia (tondi yang bergentayangan). Adalah sangat bahaya
kalau tondi meninggalkan tubuh. Manusia yang bermimpi ketika
tidur adalah „mati“ karena tondi-nya meninggalkan dia dan
kalau tondi tidak kembali maka manusia tersebut akan mati
untuk selamanya. Juga kalau manusia bermimpi buruk misalnya
tabrakan, dia akan sakit, karena tondi-nya tertabrak di dalam
mimpi.
Juga sangat penting untuk tetap menjaga supaya tondi
tinggal di dalam tubuh, karena perginya tondi dari tubuh dapat
memancing roh-roh jahat masuk ke dalam tubuh yang kemudian
dapat mempersulit tondi kembali ke tubuh. Tidak
mengherankan, kalau suku Batak Toba menyakini bahwa
penyakit dan bahkan kematian berhubungan erat dengan
kepergian tondi (Angerler 1997:411). Kalau hal itu terjadi,
dimana tondi meninggalkan tubuh, maka seorang datu harus
menjemput ulang tondi dengan kemampuan magis.
III.3.2. Tondi sebagai nurani
Tondi juga mempunyai kemampuan moral yang dapat
mengatakan kepada manusia apa yang baik dan apa yang jahat.
„Alle menschliche Klugheit und Weisheit kommt von Tondi“,
„semua kepintaran dan kebijaksanaan manusia berasal dari tondi
(Warneck 1909:47). Dia memperkenalkan manusia akan
kewajibannya dan sekaligus memaksa manusia untuk
memenuhinya. Tetapi meskipun demikian terdapat juga tondi
63
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
yang yang jahat (begu), yang dapat mencelakai manusia. asal
muasal tondi seperti itu adalah ketidakperdulian manusia.
manusia tidak memelihara tondi-nya mengakibatkan tondi
terhina. Sehingga dia membalas dendam.
III.3.3. Tondi sebagai keutamaan
Satu keutamaan selalu dihubungkan dengan sahala.
Tetapi tidak semua tondi meiliki sahala. Artinya, tidak semua
manusia memiliki keutamaan. Tetapi orang dapat memilikinya
yaitu melalui hula-hula, para leluhur dan Tuhan-nya.
Akar dari sahala adalah tujuan utama hidup manusia
seperti terpandang (Sahala Hamuliaon), mempunyai banyak
keturunan (Sahala Hasuburon), kekayaan (Sahala Hamoraon),
kekuasaan (Sahala Harajaon), kesehatan (Sahala Hadatuon).
Semua yang memiliki sahala selalu mendapat tempat terhormat
di dalam masyarakat dan dihormati sebagai na sanggap (orang
terpandang). Inilah tujuan setiap orang batak toba.
III.4. Tondi setelah kematian
Seseorang dikatakan meningal kalau tondi-nya
meningalkan tubuh untuk selama-lamanya. Menurut Winkler,
suku batak toba menyakini bahwa tondi ini akan berubah
menjadi begu (Winkler 1925:5). Begu tersebut akan mengalami
perubahan menjadi tondi yang lebih baik, yang berpotensi
memberikan kebaikan, setelah sekian waktu dan melalui
zeremoni-zeremoni. Sebelum dia mencapai posisi tersebut, begu
berada pada posisi peralihan yang dapat mengancam
keselamatan orang hidup.
Dengan demikian begu adalah tondi yang sama. Dia
dinamai begu karena dia meninggalkan tubuh dan belum
menjadi tondi yang berpotensi memberikan berkat. Perbedaaan
antara tondi dan begu terdapat hanya pada fungsinya. Tondi
adalah refresentasi dari kebaikan dan begu ketidakbaikan.
Dalam perbandingan dengan agama-agama besar (islam, kristen,
dll.) begu dapat dikenal dengan iblis. Begu dan iblis adalah
mahluk yang sama. Keduanya adalah asfek yang berbeda dari
64
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
pemikiran yang sama: keduanya adalah refresentasi dari
kejahatan.
III.4.1. Sumangot
Berapa lama tondi menjadi begu, si pemberi kejahatan,
tergantung dari keluarganya dan sesajen. Suku Batak Toba
menyakini bahwa sesajen yang diberikan keluarga yang masih
hidup dapat mempercepat perubahan begu menjadi tondi. Tondi
seperti itu dinamai dengan sumangot. Sumangot awalnya adalah
begu. Dia tidak lagi begu karena sudah berubah wujud. Tetapi
tidak semua begu dapat menjadi sumangot. Persyaratannya jelas,
yaitu sesajen dari anggota keluarganya.
III.4.2. Sombaon
Selain begu dan sumangot, masih ada satu kondisi tondi.
Orang menyebutnya sombaon. Dia adalah pemegang pucuk
tertinggi dalam hirarki tondi. Dia lebih tinggi dari begu dan
sumangot, dan tentu saja lebih terhormat. Dari segi jumlah dia
juga lebih sedikit, karena pencapaian pada tingkat ini adalah
yang paling sulit.
Buat suku batak toba, posisi roh seperti ini adalah
idaman terindah, karena leluhur yang mempunyai titel tersebut
dapat sampai pada tingkatan ke 4 di dunia atas. Artinya, dia
tidak begitu jauh lagi dari tingkatan Mula Jadi na Bolon dan
dengan itu dia dapat mengadakan kontak langsung dengan
penghuni dunia atas: dia menjadi perantara antara manusia
dengan para dewata (Meyer 1987:89).
III.5. Fungsi dari zeremoni kematian
Kematian bagi suku batak toba lebih condong masuk ke
dalam kategori cara dari pada tujuan. Kematian adalah
instrumen absolut untuk mencapai tujuan hidup. Karena setiap
kematian harus dibungkus dengan praktek zeremoni yang diatur
dalam adat.
Kematian bukanlah putusnya hubungan antara orang
mati dengan kerabat yang masih hidup. Setelah kematian
terdapat potensi akan bahaya untuk orang hidup, karena orang
mati, yang tampil dalam bentuk begu dapat mencelakai orang
65
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
hidup. Karena itu sedapat mungkin begu harus dirubah menjadi
tondi (Sumangot dan Sombaon) sebagai pemberi kebaikan2.
Praktek zeremoni menunjukaan fungsi ganda. disatu sisi
dia adalah prasyarat untuk memungkinkan tondi orang mati
sampai pada dunia atas, disisi lain, dia menghindari
malahpetaka, kembalinya orang mati ke dunia ini dalam bentuk
begu.
IV. PANDANGAN KEKRISTENAN AKAN UPACARA
KEMATIAN
DAN
PENGHORMATAN
PARA
LELUHUR
Zeremoni kematian dan praktek penghormatan kepada
para leluhur sedikit banyak terpengaruh, sejak pertemuannya
dengan kekristenan yang dibawa oleh misionaris-misionaris
jerman, khususnya oleh Ludger Nommensen pada tahun 1861.
Meskipun tidak bebas dari perdebatan, tetapi dapat dikatakan
bahwa saat itulah pengkristenan paling berhasil ditanah batak3.
Kekristenan dan peradaban luar yang kurang lebih satu
setengah abad di tanah batak, membawa perubahan-perubahan
bagi suku batak toba, baik itu dalam tataran konsep maupun
dalam praktek hidup. Misalnya saja konsep tentang Sahala
diformulasikan berbeda dari sebelumnya. Sahala tidak lagi
2
Untuk itu Warneck memberikan contoh berikut:
Kalau seorang pria mau menikah, dia terlebih dahulu harus
memberikan makanan kepada tondi dari ayahnya, supaya rencana tersebut
berhasil. […], demikian juga saat kelahiran seorang anak. […]; jika itu tidak
dilaksanakan, anak tersebut akan bertemu dengan tondi dari kakeknya, sakit
dan kemungkinan dapat meninggal. Kalau seseorang dalam waktu yang
cukup lama tidak memiliki anak, maka dia harus memberikan makanan
kepada ayahnya, supaya tondi ayahnya mau menolong dia untuk
mendapatkan anak; […]. Siapa yang tidak menghormati keluarga dari ibu,
maka tondi tidak akan menolongnya. Akibatnya dia akan kesulitan mencari
seorang istri atau seandainya dapat, dia akan kesulitan memiliki anak
(Warneck 1909:60).
Kata „paling berhasil“ disini dilihat dari segi jumlah. Karena
Nommensen mempermandikan banyak orang batak pada waktu itu. Dan
bahkan diyakini bahwa HKBP, Huria Kristen Batak Protestan, termasuk
dalam anggota terbesar gereja protestan di Asia.
3
66
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
hanya berasal dari para leluhur dan keluarga dari ibu, tetapi juga
berasal dari pendidikan. Melalui pendidikan orang batak toba
mengharapkan mendapat kedudukan yang terpandang di
pemerintahan maupun masyarakat. Pepatah lama „maranak
sapuluh pitu, marboru sapuluh onom“ (mempunyai anak 17 dan
puteri 16) berubah menjadi „maranak na jitu-jitu, marboru na
pohom-pohom“ (mempunyai anak yang mantap dan puteri yang
pintar). Konsep, praktek hidup suku batak toba banyak
mengalami perubahan setelah pertemuannya dengan kekristenan
dan budaya luar. Namun meskipun demikian, satu dari beberapa
hal yang sampai sekarang selalu menjadi perdebatan dan
ditanggapi beragam oleh orang batak toba adalah zeremoni
kematian dan penghormatan terhadap leluhur, khususnya ketika
praktek zeremoni tersebut dihubungan dengan iman kristen.
Kontroversi yang mengakibatkan pada penolakan adat
secara umum dan praktek penghormatan leluhur secara khusus
adalah kenyataan yang sering dijumpai dalam masyarakat Batak
Toba dan itu semua biasanya muncul dari pemikir gereja-gereja
tertentu yang mengklaim bahwa praktek tersebut tidak sesuai
dengan iman kristen atau bertolak belakang dengan firman
Tuhan4. Buat mereka praktek seperti itu adalah penyembahan
berhala, perbuatan najis, karya iblis, dan lain sebagainya. Untuk
lebih memantapkan penolakan tersebut, mereka tidak jarang
memakai atau mengutip teks-teks tertentu dari Kitab Suci.
Dari arah yang berlawanan, ada juga beberapa pemikir
kristiani yang mencoba melihat budaya suku Batak Toba dengan
kaca mata yang lebih positif. Misalnya Richard Sinaga, dkk.
mencoba menjawab tuduhan-tuduhan Pdt. A. H. parhusip dan
Edward B. Hutauruk. Dalam jawabannya tersebut, Richard
Sinaga juga tidak jarang memakai teks-teks Kitab Suci.
Mencermati kontroversi tersebut, bukan hanya penulis
yang merasa bigung, tetapi juga anggota jemaat. Dari mereka
4
Paling tidak ada 8 buku dari dua penulis yang disoroti oleh Richard
Sinaga, dkk. Seperti „Jorbut Ni Adat Batak Hasipelebeguon“ karangan Pdt.
A.H. Parhusip dan „Adat batak – Tinjauan Dari Segi Iman Kristen dan
Firman Allah“ karangan Edward B. Hutauruk (Bdk. Richard Sinaga,dkk
2000).
67
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
muncul kemudian 2 sikap ekstrim. Ekstrim pertama adalah sikap
yang melihat budaya Batak Toba secara keseluruhan dengan
kaca mata negatif dan kemudian menolaknya walaupun sering
tidak tahu apa yang ditolak. Ekstrim kedua adalah sikap apatis,
tidak mau tahu dan ikut saja seperti yang lain.
V. PENUTUP
Zeremoni kematian dan penghormatan terhadap para
leluhur adalah budaya suku batak toba. Dia berdasar pada
Mitologi dan pada konsep suku Batak Toba mengenai Tondi.
Penulis disini tidak bertujuan untuk menawarkan metodemetode eksplisit bagaimana iman Kristen harus menangapi
praktek tersebut, melainkan mau mengajak kita semua melihat
lebih dalam mengapa suku batak melakukan itu semua, salah
satunya adalah melihat dasar praktek tersebut dalam Mitologi.
Satu hal yang perlu ditekankan dan tidak bisa dilupakan
disini adalah asal muasal dari praktek penghormatan para
leluhur yang diyakini bersumber dari Mula Jadi na Bolon. Jadi
bukan ciptaan iblis, melainkan bersumber dari pencipta awali,
Mula Jadi na Bolon. Karena berasal dari dialah, maka suku
Batak Toba berusaha keras mempraktekkannya.
Menghina, menajiskan praktek budaya Batak Toba
seperti zeremoni kematian dan penghormatan terhadap para
leluhur bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak menyelesaikan
masalah, atau bahkan malah membuat jemaat binggung. Ada
baiknya, sebelum menuduh, kita terlebih dahulu lebih membuka
diri dalam melihat budaya tersebut, mengenal lebih baik dan
mau melihat dasar mengapa praktek tersebut dilakukan dan
mencoba mencari titik temunya dengan iman Kristen. Semoga
tulisan ini membantu kita untuk lebih mengenal budaya suku
Batak Toba dalam pertemuannya dengan iman Kristen.
68
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Angerler, Johann, 1997 Horas: Aspekte religiös-erotischer
Symbolik der Batak, Nordsumtra, in: Anthropos 92: 409431.
Eliade, Mircea, 1964 Vorwort: Gefüge und Funktion der
Schöpfungsmythen, in: Die
Schöpfungsmythen.
Einsiedeln, 9-34.
Hutagalung, S.M., 1986 Pembangunan Tugu ditinjau dari sudut
iman Kristen, in:
B.A.Simanjuntak (Hrsg.), Pemikiran
tentang Batak. Medan, 181-191.
Meyer, J., 1987 Batakscher Toten- und Ahnenkult, in: Dieter
Becker (Hrsg.), Mit Worten kocht man keinen Reis.
Wuppertal, 83-112.
Schreiner, L., 1972 Adat und Evangelium. Gütersloh.
Sibeth, Achim, 1990 Mit den Ahnen leben: BATAK –
Menschen in Indonesien. Stuttgart.
Simon, Artur, 1982 Altreligiöse und soziale Zeremonien der
Batak, in: Zeitschrift für Ethnologie 107: 177-206.
Sinaga, Richard, dkk., 2000 Adat Budaya Batak dan
Kekristenan. Jakarta: Dian Utama.
Stöhr, Waldemar, 1976 Die altindonesischen Religionen.
Handbuch der Orientalistik 3. Abt. 2.Bd. Abschnitt 2.
Leiden/Köln.
Stolz, F., 1987 Mythos, in: Hans Waldenfels (Hrsg.), Lexikon
der Religionen: Phänomene, Geschichte, Ideen. Freiburg,
441-446.
69
Johannes Lumban Batu – Mitologi dan Konsep Tondi
Sebagai Dasar Dari Zeremoni Kematian dan
Penghormatan Para Leluhur Dalam
Suku Batak Toba
Vergouwen, J. C., 1964 The Social Organisation and
Customary Law of The Toba-Batak of Northern
Sumatra. Den Haag.
Warneck, Johannes, 1909 Die Religion der Batak: ein
Paradigma für die animistischen Religionen des
indischen Archipels. Leipzig., 1977 Toba BatakDeutsches Wörterbuch. Den Haag.
Winkler, J., 1925 Toba-Batak auf Sumatra in gesunden und
kranken Tagen: ein Beitrag zur Kenntnis des
animistischen Heidentums. Berlin.
70
Download