BAB. I PENDAHULUAN A. Permasalahan A. 1. Latar Belakang Masalah A. 1. 1. Selintas Etnis Batak Etnis Batak merupakan salah satu ‘kelompok etnis’ 1 yang mendiami sebagian besar daerah Sumatra Utara bersama beberapa etnis lainnya. Dan berdasarkan teori migrasi yang berkembang, besar dugaan bahwa asal-usul nenekmoyang etnis Batak ini ialah dari Hindia Belakang yang terdapat di daratan benua Asia.2 Berkenaan dengan itu Harlem Siahaan menyatakan bahwa pada awal migrasi, nenekmoyang etnis Batak pernah berdiam di daerah pantai Barat dan Timur Sumatra Utara. Namun, karena desakan pendatang baru, perubahan religius, serta perubahan kebudayaan di daerah pesisir, maka mereka terpaksa pindah dan “menyembunyikan diri” ke pedalaman ‘Tapanuli’ 3 hingga suatu ketika mereka berhasil menemukan lokasi yang ideal di sekitar pinggiran Danau Toba yang terasing dan terisolasi secara topografis.4 1 F. Barth, Kelompok Etnik dan batasannya, Jakarta, UI-Press, 1988, hal. 9-11. Di sana dikatakan kelompok etnis ialah, (1) Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari populasi lain. 2 Lih. N. Siahaan , Sejarah Kebudayaan Batak, Medan, C.V. Napitulu & Sons, 1964, hal. 18. 3 E. St. Harahap, Perihal Bangsa Batak, Djakarta, Bagian Bahasa Djawatan Kebudayaan Dep. P. P. dan K, 1960, hal. 10. Di sana dikatakan nama Tapanuli berasal dari kata Tapian Na Uli atau pemandian yang indah (air nan rancak). Lih. juga Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII - XX, Jakarta, Komunitas Bambu, 2004, hal. 3. Di sana dikatakan daerah Tapian Na Uli berada di kaki bukit terjal bukit Barisan (dua kilometer arah utara kota Sibolga), dulunya menjadi persinggahan orang Batak dari pedalaman Silindung untuk mencari lahan pertanian ke daerah pesisir. Dan kemudian dipergunakan untuk menyebutkan Tanah Batak yang terdiri dari 3 Kabupaten yang terdiri dari : Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Namun saat ini Kapankah etnis ini dikenal dengan sebutan Batak ? Lothar Schreiner menyatakan bahwa “Sebutan Batak maupun daerah Batak barulah muncul setelah pengkristenan.”5 Sejiwa dengan itu Lance Castle menyatakan bahwa sebutan Batak itu bermula dari ‘stereotip’6 orang-orang Melayu Muslim di Sumatra Timur terhadap orang Batak, sedangkan konotasi yang terkandung dalam sebutan Batak ialah: ‘jelek, kasar, jorok, dan bodoh’. Akibatnya banyak orang Batak tidak mau menyebutkan ‘ identitas ’ 7 mereka sebagai Batak, dan lebih senang menyatakan diri sebagai orang: Toba, Karo, Simalungun, Mandailing/Angkola atau Pakpak/Dairi.8 Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa pembagian sub etnis Batak itu merupakan produk ‘ kebudayaan ’ 9 yang lahir pada masa pengkristenan di tanah Batak, sebab jauh sebelum datangnya kekristenan proses pengelompokan sub etnis ini secara khusus Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan telah berkembang menjadi beberapa Kabupaten, yang terdiri dari Kabupaten Tapanuli Utara memekar menjadi 4 Kabupaten yang terdiri dari Kabupaten Tapanuli Utara sendiri; Kabupaten Tobasa; Kabupaten Samosir; dan Kabupaten Humbang Hasundutan, sedangkan Kabupaten Tapanuli Selatan memekar menjadi 2 kabupaten yakni terdiri dari: Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing-Natal. 4 Harlem Siahaan, Corak Revivalistis-Nativistis Perang Batak 1878-1907, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1985, hal. 5. 5 Lothar Schreiner, Adat dan Injil; Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta, BPK. G. Mulia, 1999, hal. 11, Judul asli: Adat und Evangelium. Zur Bedeutung der Altvölkischen Lebenssordnungen für Kirche und Mission unter den Batak in Nordsumatra, P. S. Naipospos, et.al., (penerj.). 6 Stereotip adalah gambaran di kepala yang merupakan rekonstruksi dari lingkungan yang sebenarnya; itu juga merupakan mekanisme penyederhanaan untuk mengendalikan lingkungan yang terlalu luas, terlalu majemuk, bergerak terlalu cepat untuk bisa dikenal dengan segera. Dan gambaran mengenai lingkungan itulah yang menentukan apa yang akan dilakukan. Dengan demikian tindakan-tindakan seseorang tidaklah didasarkan pada pengenalannya secara langsung terhadap lingkungan yang sebenarnya tetapi didasarkan pada gambaran yang dibuatnya sendiri ataupun diberikan kepadanya oleh orang lain. Lih. Suwarsih Warnaen, Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multi Etnis, Yogyakarta, Mata Bangsa, 2002, hal. 117-118. 7 Identitas ialah pengenalan yang dimiliki oleh tiap orang atau kelompok atas dirinya sendiri, itulah produk kesadaran pribadi atau kelompok yang membedakan sifat lahiriah saya dengan engkau dan dari mereka. Lih. dalam Samuel P. Huntington, Who Are We ? : The Challenges to America’s National Identity, New York, Simon & Schuster, 2004 hal. 22. 8 Lance Castle, ‘Kehidupan Politik Sebuah Keresidenan: Tapanuli 1915-1940’, Desertasi Ph.D, Fakultas Pasca Sarjana Yale University, 1972, hal.138. 9 Kebudayaan ialah “Cara pikir, perasaan serta keyakinan manusia, yang dikumpulkan oleh sekelompok manusia untuk menghadapi masa depannya. Khususnya untuk memenuhi tuntutantuntutan hidup setiap individu-indidvidu.” Lih. Clyde Kluckhohn, Mirror for Man, Anthropology and Modern Life, Toronto, Whittlesey House, 1949, hal. 23. 2 sudah terjadi yakni seiring dengan migrasi nenek moyang sub-sub etnis itu dari perkampungan Batak yang pertama yakni Sianjur Mula mula menuju daerah-daerah masing-masing sub etnis sebagaimana yang dikenal saat ini. Dan akibat pengaruh lingkungan yang berbeda di antara kelompok sub etnis Batak itu, maka terjadilah perbedaan kebudayaan yang signifikan di antara mereka.10 Terutama dari segi bahasa, ‘ adat ’ 11, bahkan menyangkut agama yang mereka anut. Bertolak dari perbedaan itu, dan juga rencana penelitian yang ingin meneliti pengaruh kebudayaan Batak di dalam komunitas Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), maka penelitian tesis inipun dibatasi hanya dalam lingkup kebudayaan Batak Toba. Sebab dari antara sub etnis di atas hanya Batak Tobalah satu-satunya sub etnis Batak yang memiliki hubungan historis yang erat dengan (HKBP). Hal itu berkenaan dengan pernyataan Edward M. Bruner, bahwa “Batak Toba merupakan penganut agama Kristen Protestan dan sembilan puluh persen dari mereka adalah warga HKBP.”12 Dominannya Batak Toba di dalam komunitas HKBP tersebut 10 Richard M. Daulay, Kekristenan dan Kesukubangsaan: Sejarah Perjumpaan Methodisme dengan Orang Batak dan Orang Tionghoa di Indonesia 1905-1995, Yogyakarta, TPK, 1996, hal. 48. Di sana dikatakan bahwa dalam bentuk paling tradisional orang Batak telah melakukan migrasi dari Sianjur Mulamula ke pulau Samosir. Kemudian dari daerah inilah mereka menyebar ke dataran tinggi sebelah Barat Danau Toba (Humbang), dan selanjutnya menuju lembah Silindung hingga ke seluruh wilayah tanah Batak Sekarang. 11 Adat ialah sebagai bentuk keseluruhan suatu agama suku; yang merangkum, meresapi dan menentukan kehidupan sukubangsa purba. Adat menghubungkan orang-orang hidup yang kelihatan dengan orang-orang mati yang hidup tidak kelihatan. Adat adalah tatatertib sosial untuk desa. Desa adalah suatu persekutuan hukum, persekutuan produksi dan persekutuan agama. Sebagai tata-tertib hidup, yang diberikan oleh pencipta, adat itu memelihara dan mempertahankan, baik kehidupan perorangan maupun persekutuan....., Adat itu menjamin kehidupan dalam tiga segi yang rangkap yaitu dalam mitos, ritus, dan kelompok geneologis (marga). Adat bersumber dalam mitos, dan kuasanya terdapat dalam hukum alam yang bertujuan untuk kelanggengan, keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Adat bersumber dari mitos dan sifatnya normatif, itulah yang mengajar suku untuk memahami dunianya. Dan sekaligus sebagai jantung dari dunia bangsa-bangsa purba dalam keseluruhan.” Lih. Lothar Schreiner, Adat dan Injil, hal. 217. 12 Lih. Edward M. Bruner, ‘ Migration and The Segmented Self ’, dalam, Rainer Carle (ed), Cultures and Societies of North Sumatra”, Hamburg, Dietrich Reimer Verlag, 1981, hal.141. 3 menjelaskan betapa berartinya “HKBP bagi masyarakat Batak Toba”, dan demikian pula sebaliknya “Batak Toba bagi komunitas HKBP”. A. 1. 2. Migrasi Batak Toba Menurut Johannes Warneck “Barulah sejak masuknya kekristenan ke tanah Batak maka Batak Toba mengalami berbagai perkembangan terutama wawasan dan pengetahuan baru.”13 Hal tersebut senada dengan pernyataan Payung Bangun bahwa kehadiran kekristenan sejak abad ke-19 bersamaan pula dengan masuknya sistem pendidikan sekolah, dan yang seiring dengan hal itu menyebabkan timbulnya keterbukaan kebudayaan Batak Toba untuk menerima pengaruh luar dengan kecepatan yang begitu amat besar.14 Memang benar selain pengaruh kekristenan di atas pengaruh Hindu juga sudah terlebih dahulu mempengaruhi tanah Batak. Sejiwa dengan itu dapat disampaikan apa yang dinyatakan oleh Robin Hanbury dan Tenison s.b.b : Sejak awal abad ke-16, Batak Toba telah mengalami kemajuan dalam bidang pertanian. Terutama atas keberhasilan mereka mengadopsi teknik pertanian yang diperkenalkan oleh orang-orang India, yakni pengolahan sawah dengan menggunakan sistim irigasi. Sehingga pada masa itu masyarakat Batak Toba secara relatif pernah mengalami kehidupan yang makmur.15 Namun, seiring dengan berlalunya waktu maka kemakmuran yang diceritakan itu hanya tinggal cerita. Malah ironisnya Tapanuli Utara pernah dikategorikan sebagai 13 J. Warneck mengatakan baru sejak kedatangan Zending yang kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Belanda, Batak Toba mulai terbuka dari isolasinya. Lih. B. H. Situmorang, Sikap Orang Kristen 1, STT-HKBP P. Siantar, 1995, hal. 58. Lih. juga Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993, hal.120. Dia mengatakan “Tahun 1930 di Toba (daerah Tapanuli Utara), modernisasi kolonial, sejalan dengan proses transisi sosial yang telah meluas sampai ke pelosokpelosok dan pada tahun itu dua pertiga dari penduduk Toba telah menganut agama Kristen Protestan.” 14 Payung Bangun, ‘Kebudayaan Batak’, dalam Koentjaraningrat (ed), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2002, hal. 116. 15 Robin Hanbury dan Tenison, A Pattern Of Peoples; A Journey Among The Tribes Of Indonesian’s Outer Islands, New York, Charles Scribner’s Sons, 1975, hal. 28 4 sebuah peta kemiskinan di wilayah Nusantara. Realitas ini dapat dihubungkan dengan pernyataan Hotman M. Siahaan “Pertambahan penduduk Tapanuli-Utara yang cepat yang tidak sebanding dengan areal pertanian yang terbatas; dan ditambah pula oleh faktor alam yang tidak menguntungkan; menyebabkan terjadinya migrasi besarbesaran di tengah suku bangsa ini.”16 Untuk mencari lahan pertanian yang baru ke ke daerah lainnya di sekitar Sumatra Utara, misalnya: ke daerah Pematangsiantar (di Simalungun), Sayur Matinggi (Tapanuli-Selatan), Leidong (Asahan), dan Kota Cane (di Aceh Tenggara), dan ke berbagai daerah lainnya, yang umumnya terjadi sebelum masa kemerdekaan Bangsa Indonesia tahun 1945. Namun menurut Hotman M. Siahaan, selain keterbatasan lahan pertanian tersebut, faktor-faktor kebudayaan Batak Toba juga ikut memainkan peranan yang tidak kecil sebagai pendorong terjadinya migrasi di kalangan suku itu.17 Khususnya untuk meraih cita-cita umum Batak yang dikenal dengan istilah 3 H: hamoraon, hagabeon, dohot hasangapon (artinya: keinginan kaya, banyak anak, dan mulia).18 Sejiwa dengan itu M. Arif Nasution dan Elvis F. Purba menyatakan bahwa dari semangat mencari 3 H itu pula muncul pribahasa Batak yang menyatakan lulu anak lulu tano (artinya: jika suka anak juga akan suka akan tanah).19 Sedangkan akar dari semua cita-cita umum Batak di atas ialah kerinduan untuk memperoleh huaso 16 Hotman M. Siahaan, ‘Persekutuan Agama dan Budaya Orang Batak Toba: Kasus HKBP’, Majalah Prisma, Thn. VIII, No. 2, Februari,1979, hal. 22. 17 Ibid., 18 Jan S Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jakarta, BPK. G. Mulia, 1988, hal. 51. 19 M. Arif Nasution dan Elvis F. Purba, ‘Migrasi, Politik, Dan Pembangunan Batak Toba di Simalungun’, dalam Tukiran, et. al (eds), Mobilitas Penduduk Indonesia: Tinjauan Lintas Ilmu, Yogyakarta, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, 2002, hal. 796. 5 (kuasa).20 Sehingga dapat diterima apa yang dinyatakan oleh Hendrik Kraemer bahwa tujuan migrasi Batak Toba ialah untuk monang (nomor satu); dan perjuangan untuk menjadi nomor satu inilah yang menjadi misi kebudayaan setiap masyarakat Batak Toba di perantauan. 21 Dan keberanian bermigrasi itu tidak terlepas dari peranan RMG yang membekali mereka dengan berbagai pengetahuan yang memampukan mereka keluar dari pengisolasian diri selama beberapa abad sebelumnya.22 Kendatipun hakikat migrasi itu ialah untuk menggapai cita-cita masingmasing Batak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa migrasi itu juga telah menjadi sarana yang sangat signifikan dalam penyebaran HKBP ke berbagai tempat di wilayah Nusantara bahkan sampai ke Luar Negeri. Hal ini sejiwa dengan yang disampaikn Edward M. Bruner “Ke mana saja orang Batak pergi mereka selalu membawa Gerejanya.”23 Dan dari kecenderungan itulah timbulnya sebuah pameo yang disampaikan dalam bahasa Batak, ‘ Molo adong dua halak Batak munsat tu luat na imbaru, pintor mulai do nasida marminggu; Molo adang tolu halak Batak munsat tu luat na imbaru, pintor dimulai do sada koor ’ (artinya: bila ada dua orang Batak yang pindah ke suatu tempat yang baru, dengan segera mereka akan membangun peribadahan; dan bila ada tiga orang Batak pindah ke tempat baru, 20 Kuasa merupakan minat atau kerinduan utama orang Batak; bahkan hidup itu merupakan suatu pergumulan melawan kuasa-kuasa: baik kuasa yang biasa (normal) maupun kuasa yang tidak nyata (paranormal). Ornamen-ornamen simbolik pada rumah dll, adalah ungkapan kuasa atau kekuatan yang mereka andalkan untuk melindungi hidup mereka. Bahkan upacara-upacara keagamaan yang bersifat magis, pada hakekatnya adalah iktisar untuk memperoleh kuasa ‘ilahi’. Demikian pula keterbukaan orang Batak kepada pengaruh atau sumbangan dari luar, baik hinduisme maupun kekristenan (bahkan pengetahuan modern), pada hakekatnya adalah didorong oleh hasrat memperoleh dan memperkuat kuasa. Lih. Jan S Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen, hal. 51. 21 Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta, LP3ES, 1994, hal. 46-47. 22 M. Arif Nasution dan Elvis F. Purba, ‘Migrasi, Politik, Dan Pembangunan Batak Toba di Simalungun’, hal. 298. 23 Edward M. Bruner, ‘Megalit, Migration and The Segmented Self ‘, hal.141. 6 dengan segera mereka akan membentuk kelompok koor).24 Dengan kata lain bahwa kehadiran komunitas 25 Batak di daerah perantauan akan ditandai dengan berdirinya Gereja, yaitu HKBP.26 Memang benar “Di satu sisi penyebaran HKBP tersebut merupakan sesuatu yang membesarkan hati dan patut disyukuri, namun di sisi lain bahwa penyebaran HKBP itu justru menjadi suatu tantangan baru bagi komunitas HKBP di perantauan; terutama karena adanya keragaman: lingkungan sosial, budaya, dan agama.”27 Searah dengan itu muncul pertanyaan apakah HKBP mampu menyatakan diri sebagai Gereja yang terbuka dalam konteks lingkungannya di perantauan ? Ataukah HKBP termasuk Gereja yang dikategorikan Martin Lukito Sinaga dengan Gereja yang berlatarbelakang etnis yang gagap serta sulit untuk memberikan sumbangsihnya bagi dunia yang leluasa ini ? 28 Tidak dapat dipungkiri bahwa pernyataan Martin Lukito Sinaga di atas adalah suatu realitas komunitas HKBP di perantauan. Bahkan komunitas HKBP sering diidentikkan dengan komunitas ghetto (komunitas eksklusif Batak) di lingkungan di 24 Harry Parkin, Batak Fruit of Hindu Thought, Madras, The Christian Literatur Society , 1978, hal. 9. Komunitas adalah kelompok organisme (orang atau mahluk lainnya ) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam suatu daerah tertentu, kadang diartikan juga dengan ‘masyarakat’, ataupun dengan ‘paguyupan’, Lukman Ali, et. al (eds), Kamus Besar Bahasa Indoinesia, Edisi Kedua, Jakarta Balai Pustaka, 1991, hal. 517. 26 Lih. Sulistyowati Irianto, Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum, Studi mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris melalui Proses Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2003, hal. 90. 27 Payung Bangun, ‘Dari Meng”kafir”kan sampai Mengakomodasi’, dalam Gomar Gultom (ed), Menggapai Gereja Inklusif: Bunga Rampai Penghargaan atas Pengabdian Pdt. Dr. J. R. Hutauruk, Pearaja Tarutung, 2004, hal. 36. 28 Bnd. Martin Lukito Sinaga, ‘Identitas Privat dan Ruang Publik Pencarian Teologi Sosial Kekristenan-Etnik’, dalam Majalah Renai, Tahun II, No. 3-4, 2002, hal. 60. Lih. juga, Sri Soemantri, ‘Pemberian Marga Bukan Pembauran: Prasangka Sosial Negatif Antar Ras Masih Merupakan Masalah Yang Pelik’, dalam Yahya Theo (ed), Sekitar Pembauran di Indonesia, Jakarta,Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda “66”,1985, hal. 189. Di sana dikatakan hingga kini fanatisme primordialisme sempit terhadap suku, ras, agama merupakan masalah sosial yang peka di Indonesia. Hal itu dapat menghambat proses penggalangan kesatuan dan persatuan Bangsa. Dan hal ini dapat teratasi jika dengan intensif diupayakan pendidikan formal dan informal, pembauran antar suku (ras), pembauran tempat tinggal (jangan ada pengelompokan etnis pada suatu daerah). 25 7 mana ia ada.29 Anggapan itupun semakin kental ketika dalam realitas pergaulan sosialnya warga HKBP yang sebagian besar merupakan Batak Toba cenderung berinteraksi dengan sesama ‘ marga ’ 30 atau dengan kerabat lainnya dalam punguan marganya (perkumpulan marganya).31 Bahkan hubungan kemargaan itu juga turut mewarnai kehidupan Batak Toba dalam komunitas HKBP Yogyakarta. Sehingga dapat diamati bahwa kecenderungan Batak Toba untuk berinteraksi dengan sesama marganya menyebabkan peranan marga semakin signifikan dalam ekspresi-ekspresi habatahon (ekspresi kebudayaan Batak) di perantauan.”32 Dan keikutsertaan masyarakat Batak di dalam kedua organisasi itu yakni dalam “perkumpulan marga dan komunitas HKBP” secara otomatis mendorong eratnya hubungan HKBP dengan marga/perkumpulan marga. A. 2. Rumusan Masalah Sesuai dengan gambaran di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh apa pengaruh marga itu di dalam komunitas HKBP. Searah dengan itu penulis melihat perlunya meneliti apakah hakikat marga itu dalam kehidupan masyarakat Batak 29 Bnd. Paul B.Pederson, Darah Batak dan Jiwa Protestan , Jakarta, BPK. G. Mulia, 1975, hal.152. Di sana dikatakan “Dalam hal kerja sama oikumenis: HKBP dengan kuat menyokong kegiatankegiatan oikumenis dikalangan gereja-gereja Indonesia; tetapi secara aktif telah menentang peleburan organisatoris dengan gereja-gereja itu, sambil berusaha memelihara identitasnya sendiri menyangkut kesukubangsaannya dan pengakuan imannya. HKBP secara luas dan secara tidak adil dicela karena picik dalam esklusivismenya yang berdasarkan denominasi.” Bnd. Lam. 1. Berdasarkan jawaban narasumber diketahui bahwa pada umumnya mereka mengatakan keengganannya bersekutu di HKBP Yogyakarta disebabkan kentalnya komunitas Batak di dalamnya. 30 Marga ialah, 1). kelompok kekerabatan yang eksogami dan unilinear baik secara matrilineal maupun patrilineal, 2). Bagian daerah (sekumpulan dusun yang agak luas di Sumatra Selatan), lih. Hasan Alwi, et. al (eds), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pusta, 2005, hal. 715. 31 Bnd. Kartini Syahrir, ‘Asosiasi Klan Orang Batak Toba di Jakarta’, Majalah Prisma, Thn. XII, No. 01, Januari, 1983, hal. 80. 32 Lih. J. Pardede, ‘Efek-efek Sosial dan Religi dari “Parmargaon” Sebagai Suatu Masalah dalam Gereja-gereja Batak’, dalam Buku renungan 50 Tahun Pdt.DR. A. A. Sitompul, Ketika Aku dalam Penjara, Medan, Grafina, 1982, hal.125. 8 Toba. Dan setelah itu barulah penulis melangkah untuk melihat pengaruh marga itu terhadap HKBP. Namun, di sini juga akan dibedakan bagaimana pengaruh marga itu dalam dua konteks HKBP yang berbeda, yakni (i) pada masa Reinische Missions Gesellschaft (RMG), di sini akan ditelusuri bagaimana pengaruh marga itu terhadap pembentukan identitas HKBP di tanah Batak; (ii) pada masa kini, di sini akan dilihat sejauhmana pengaruh marga itu terhadap ekspresi bergereja komunitas HKBP khususnya dalam konteks HKBP Yogyakarta sebagai representase dari HKBP di perantauan. Supaya permasalahan yang dikaji ini dapat dilihat dengan jelas, maka di bawah ini dirumuskan tiga perangkat pertanyaan, s.b.b: 1. Apakah hakikat marga dalam kehidupan masyarakat Batak ? 2. Bagaimana peranan marga di dalam pembentukan identitas HKBP di masa RMG ? 3. Sejauhmana pengaruh marga terhadap ekspresi bergereja komunitas HKBP Yogyakarta ? Selanjutnya, untuk mengarahkan fokus penulisan serta sebagai proposisi sementara, maka di bawah ini ditetapkan beberapa hipotesis s.b.b : 1. Marga adalah landasan interaksi masyarakat Batak terhadap sesama marganya maupun dengan marga lain, dan sekaligus menjadi salah satu identitas sosial sekelompok keturunan nenek moyang tertentu, yang berisi hak dan kewajiban di dalam adat yang diatur oleh ‘Dalihan Na Tolu’. 33 33 Dalihan Na Tolu (DNT) adalah Tungku Nan Tiga atau biasa diartikan dengan sebutan tiga buah batu tungku tempat perapian menanak nasi ( kata itu berasal dari kata dalihan = tungku, na = nan atau terdiri dari, sedangkan tolu = tiga), Lih. Godlif Sianipar, Pantun Hangoluan Tois Hamagoan Etika Batak Toba, Majalah Basis, Thn. XLII, No. 03, Maret, 1993, hal. 106. Lih. juga Payerli Pasaribu, et. 9 2. Marga menjadi pengikat komunitas masyarakat Batak pada masa tradisional di dalam kampung-kampungnya. Dan pada masa Penginjilan menjadi pintu masuk kekristenan itu sendiri, dan sekaligus ke atasnya kekristenan di letakkan di tanah Batak. Dan karenanya pengaruhnya sangat kuat di dalam komunitas HKBP, pada masa dulu hingga saat ini. 3. Pengaruh marga secara internal, menyebabkan eratnya hubungan sesama warga jemaat, tetapi juga sekaligus dapat menjadi ancaman bagi keharmonisan komunitas. Sedangkan secara eksternal, pengaruh marga juga andil dalam mempengaruhi gerak Gereja yang bersifat Ghetto (kelompok agama eksklusif). A. 3. Batasan Masalah Penelitian ini akan dibatasi sesuai dengan urutan rumusan pertanyaan di atas, yang terdiri dari, (i) Menyangkut hakikat marga, dalam bagian ini penulis akan memfokuskan perhatian terhadap apa yang menjadi hakikat marga bagi masyarakat Batak, searah dengan itu penulis juga akan melihat bagaimana mitos budaya Batak yang dari dalamnya tercipta silsilah marga, dan hal ini akan digali melalui studi literatur. Dan dari hasil penelitian itu diharapakan jawaban mengapa tradisi marga signifikan terhadap kehidupan masyarakat Batak, (ii) Menyangkut peranan marga al (eds) ‘Dilema Nilai Budaya Dalihan Na Tolu Pada Pengelolaan Kepegawaian (Studi di Kabupaten Toba Samosir)’, Majalah Sosiosains, No.17, Oktober, 2004, hal. 803. Di sana diartikan bahwa DNT merupakan suatu simbol struktur sosial kekerabatan masyarakat Batak, yang terdiri dari hula-hula ( pemberi istri), dongan tubu (teman semarga), dan boru (penerima istri), yang didasarkan pada hubungan marga maupun karena perkawinan. Dan Lih. H. P. Panggabean, ‘Bahan Pelajaran Dasar Pemahaman Adat Budaya Batak’, Seminar adat HKBP Yogyakarta, 19 -08- 2006, hal. 1. Di dalam DNT itu juga terkandung suatu moral force (ajaran moral) yang mengajarkan supaya setiap individu Batak memiliki kepribadian moral dan mampu menempatkan diri sebagai salah satu unsur DNT di manapun dan kapanpun orang itu berada. 10 dalam pembentukan identitas HKBP, dalam bagian ini akan diteliti apa dan bagaimana andil marga dalam pengkristenan masyarakat Batak di Tapanuli. Dan sekaligus ingin melihat bagaimana pengaruh marga itu dalam pembentukan identitas HKBP khususnya pada RMG, dan (iii) Mengenai pengaruh marga terhadap ekspresi bergereja komunitas HKBP Yogyakarta, di sini akan diteliti bagaimana andil marga atau perkumpulan marga itu terhadap ekspresi bergereja komunitas HKBP Yogyakarta, hal itu akan dilakukan melalui studi lapangan. B. Alasan Pemilihan Judul B. 1. Perumusan Judul Pembahasan mengenai persoalan di atas akan dibicarakan di bawah judul : PENGARUH MARGA TERHADAP PEMBENTUKAN IDENTITAS KOMUNITAS HKBP YOGYAKARTA Suatu Sumbangan Pemikiran dalam Membangun Identitas Komunitas HKBP Yogyakarta yang Dinamis dalam Persfektif Pembangunan Jemaat B. 2. Alasan Pemilihan Judul Ketertarikan penulis membicarakan judul ini berawal dari masa pelayanan penulis semasih di HKBP Tandes Ressort Tanjung Perak Surabaya. Pada saat itu berkembang pembicaraan mengenai keberadaan HKBP di perantauan yang terkesan tertutup. Pandangan yang demikian diutarakan oleh seorang penatua jemaat GPIB Tandes Surabaya, yang sebelumnya pernah menjadi warga HKBP. Lebih jauh menurut dia, akar permasalahan yang menyebabkan HKBP terkesan tertutup ialah 11 nama HKBP itu sendiri. Dan menurut dia selama nama HKBP itu dipergunakan maka Gereja ini tidak akan pernah menjadi Gereja yang ‘ inklusif ’ 34 . Pernyataannya itu sangat tajam menusuk hati, kendatipun demikian patut pula hal itu direnungkan. Dan dari perenungan itulah muncul keinginan penulis untuk memahami lebih jauh: apa yang mendasari kehadiran HKBP di perantauan; mengapa HKBP hanya untuk orang Batak; dan mengapa pengaruh kebudayaan Batak khususnya tradisi marga sangat terasa di dalam komunitas itu ? Memang, harus diakui penelitian tentang budaya dan Injil adalah hal yang biasa dilakukan di HKBP. Namun kajian-kajian itu pada umumnya masih terfokus seputar adat dan Injil dalam konteks masyarakat Batak pada masa perjumpaan kekristenan dan Injil di tanah Batak. Dan tentu saja seiring dengan pembahasan adat dan Injil itu, di sana sini juga sudah diungkapkan bagaimana pengaruh marga terhadap HKBP, khususnya dalam konteks masyarakat Batak Tapanuli. Itulah sebabnya kajian seperti ini merupakan karya yang sudah biasa. Namun, kajian ini menjadi baru, ketika fokus penelitian hubungan marga dan HKBP ini beralih dari konteks Tapanuli ke dalam konteks masyarakat Batak di perantauan. Dan melalui penggunaan metode pendekatan ‘ etnografis ’ 35 dalam penelitian lapangan ini diharapkan ditemukan pandangan-pandangan narasumber yang baru seputar hubungan tradisi marga dengan HKBP, dan juga perihal menguatnya tradisi marga dalam kehidupan masyarakat Batak di Yogyakarta. 34 Inklusif ialah merujuk kepada suatu perilaku yang terbuka, yang toleran kepada orang lain yang memiliki identitas yang berbeda dengan kelompoknya sendiri. Lih. Ignatius Harianto dan Pax Benedanto, Terbuka terhadap sesama umat, Yogyakarta, Kanisius, 2004, hal. 21. 35 Metode Etnografi adalah penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristiwa kultural yang menyajikan pandangan hidup subjek sebagi objek studi. Studi ini akan terkait dengan: cara berpikir; hidup; dan prilaku yang diteliti. Suwardi Endraswarsa, Metode Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2003, hal. 50. 12 Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah, (i) Bagi penulis, dengan dihasilkannya karya ini maka berakhirlah tugas studi di PPSTUKDW Yogyakarta, (ii) Bagi HKBP Yogyakarta, tulisan ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran untuk mendorong terjadinya perubahan dalam kehidupan warga HKBP Yogyakarta, terutama dalam mengekspresikan diri sebagai warga HKBP Yogyakarta maupun sebagai warga perkumpulan marga, dan (iii) Tulisan ini juga diharapkan berguna bagi Gereja-gereja yang umumnya berasal dari Sumatra Utara, yang juga memiliki keterkaitan dengan masalah kemargaan dalam komunitas Gerejanya. C. Kerangka Teoritis Sejarah panjang tradisi marga dari masa tradisional hingga saat ini membuktikan dalamnya hakikat marga berakar dalam kehidupan masyarakat Batak. Bahkan tradisi itu juga telah ikut mewarnai persekutuan rohani mereka sebelum dan sesudah menerima kekristenan. Keberadaannya tradisi marga yang sentral dibuktikan oleh penerimaan masyarakat Batak atas marga sebagai identitas sosial baik di daerah asalnya maupun di daerah perantauan. Dan legitimasi marga sebagai identitas sosial masyarakat Batak semakin kuat ketika masyarakat Batak terutama di wilayah perantauan semakin giat menggalang kebersamaan di dalam perkumpulanperkumpulan marga. Namun, di samping kebutuhan akan identitas sosial, keyakinan masyarakat Batak akan hakikat tradisi marga yang bersangkaut-paut dengan yang illahi tentu saja juga andil dalam mendorong antusiasme penghayatan masyarakat 13 Batak terhadap etnisitas’ 36 mereka. Dan kebersamaan-kebersamaan dalam aktivitas penghayatan etnisitas itu sekaligus juga telah menciptakan ikatan mendalam di antara sesama Batak, terutama di kalangan anggota-anggota perkumpulan marga di perantauan. Dan lebih jauh untuk menganalisis fakta empiris yang ada serta untuk menemukan hakekat apa yang terkandung dalam fenomena tersebut maka hasil penelitian itu akan direlasikan dengan teori persistensi (ketaatan) dari Rodney Stark. Menurut Rodney Stark, salah satu faktor yang mempengaruhi persistensi etnisitas ialah ritual. Sedangkan ritual itu sendiri adalah upacara-upacara kolektif yang memiliki suatu fokus dan mood yang bersifat umum. Dia juga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan upacara-upacara ialah suatu perbuatan formal, yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada, baik yang didapatkan melalui cara peneladanan maupun pengetahuan yang diserap melalui literatur.37 Lebih jauh Rodney Stark mengartikan ritual itu merupakan sebuah kultur keagamaan yang spesifik. Dan berdasarkan pengertian itu Rodney Stark membatasi pengertian ritual hanya pada upacara-upacara kolektif. Karena itu dia tidak memasukkan ritual-ritual pribadi/personal. Demikian pula jika ritual itu diasosiasikan dengan magis, dalam kerangka keagamaan, atau non keagamaan. Misalnya seperti pawai-pawai Partai Nazi, dll. Dan dia dengan tegas menolak pemahaman yang mengatakan ritual sebagai 36 Etnisitas adalah suatu konsep budaya yang berintikan penganutan norma, nilai, keyakinan, simbol, dan praktik budaya bersama. Lih. Chris Barker, Cultural Studies: teori dan Praktik , Yogyakarta, Bentang, 1999, hal. 256, Lih. Juga Carol Kraemer, ‘ Ethnicity ’ dalam David Levinson dan Melvin Member (eds), Ecyclopedia of Culture Antropology, Vol. 2, New York, Henry Holt and Company, 1996, hal.393. Di sana dikatakan bahwa yang menjadi bagian-bagian dari etnisitas adalah: latar belakang suatu suku, kesamaan asal-usul suku, dan keturunan leluhur mana sebuah suku dikelompokkan. Atau lebih spesifik bahwa yang menjadi ciri-ciri utama etnisitas itu sering terkait dengan hal: ras, agama, bahasa, pekerjaan dan asal daerah. Sedangkan kombinasi dari etnisitas tersebut itulah yang dikenal dengan identitas. 37 Rodney Stark, One True God: Risiko Bertuhan Satu,Yogyakarta, Qalam, 2003, hal.261., Judul Asli : One True God: Historical Consequences of Monotheism, Princeton University Press, 2001, M. Sadat Ismail (penerj.). 14 upaya untuk memperoleh karunia Tuhan, sebab menurut dia motif-motif seperti itu selalu implisit (terkandung didalam ritual). Oleh karena itu menurutnya ‘ritual itu merupakan perayaan-perayaan dan pesta-pesta dan bukanlah menyangkut aktivitas berdoa atau pemujaan’.38 Kendatipun demikian Rodney Stark juga menyatakan bahwa partisipasi ritual tidak akan memberi kontribusi terhadap norma-norma kelompok, jika ritual-ritual itu tidak terkait secara eksplisit dengan Tuhan. Sedangkan elemen penting dari solidaritas ialah komitmen terhadap cita-cita sentral kelompok yang bersangkutan, dan apa yang diharapkan dari ritus-ritus sosialkeagamaan ialah menciptakan kesepakatan terhadap nilai ide-ide atau cita-cita kelompok.39 Dan sebagai dalil utama teori Rodney Stark ialah “Ritual-ritual sosial menggerakkan solidaritas kelompok / integrasi sosial.”40 D. Metode Pembahasan D. 1. Metode Pembahasan Metode pembahasan (penulisan) yang dipergunakan dalam karya tulis ini adalah metode penelitian deskriptif analitis. Menurut Winarno Surakhmad bahwa ciri-ciri metode deskriptif analitis ialah memusatkan diri pada pemecahan masalahmasalah yang ada pada masa sekarang kini, khususnya masalah-masalah yang aktual. 38 Rodney Stark, One True God, hal. 262. Di sana dia menyampaikan sebuah contoh tentang ritus pengorbanan yang terdapat di kalangan Suku Dinka di Sudan bagian Selatan. Menurutnya, bagi sebagian orang, acara ritus perngorbanan yang dilakukan orang Sudan itu adalah peristiwa yang menyedihkan. Namun bagi masyarakat setempat, khususnya suku Dinka pengorbanan itu merupakan hal yang membahagiakan. Rodney melihat justru hal tersebutlah yang memotifasi mereka menghadiri ritus itu supaya mereka dapat melakukannya. Sama halnya dengan perayaan Natal, menurutnya itu dilakukan dalam gereja-gereja untuk memperingati kelahiran Yesus tanpa mengacu pada masalah imbalan berkat jasmani dan rohani. Demikian pula hal berbuka puasa dalam bulan ramadhan, menurutnya ritual itu merupakan kesempatan untuk bersenang-senang, dan bersyukur dalam komunitas Muslim, sebagaimana Paskah dalam agama Yahudi. 39 Rodney Stark, One True God, hal. 263. 40 Ibid., hal. 264. 15 Prosesnya terdiri dari: pengumpulan data-data, menyusun data, menjelaskan dan menganalisa data.41 Namun karena kajian ini adalah kajian bidang teologi, maka dalam pembahasan ini juga akan dipaparkan bagaimana kerangka teologis dari topik yang diteliti, dan setelah itu barulah akan diuraikan apa yang menjadi langkah strategis yang dibutuhkan untuk menangani masalah yang ada. D. 2. Metode Penggalian Sumber Pembahasan Dalam menggali sumber penelitian ini, penulis akan menggunakan dua studi, yakni studi literatur, dan studi lapangan. Dalam studi literatur, penulis akan melihat terminologi marga itu, bagaimana asal usulnya dalam mitologi Batak, dan apa hakekatnya bagi masyarakat Batak, serta bagaimana pengaruh marga di dalam pembentukan identitas HKBP pada masa RMG. Selanjutnya untuk mengetahui sejauhmana pengaruh marga itu saat ini, khususnya terhadap ekspresi bergereja komunitas HKBP Yogyakarta, maka penulis akan melakukan studi lapangan. Sedangkan ancangan penelitian yang dilakukan ialah dengan pendekatan etnografis khususnya dengan cara (i) wawancara, yang dilakukan kepada warga jemaat HKBP Yogyakarta (sekaligus warga perkumpulan marga), para anggota majelis, dan bahkan terhadap beberapa non Batak yang bukan warga HKBP, (ii) pengamatan serta, dalam bagian ini penulis akan melihat dan mengamati secara langsung bagaimana masyarakat Batak Toba itu mengekspresikan kemargaannya dan juga kehidupan bergerejanya. Selanjutnya potret tersebut akan dianalisis untuk menemukan makna 41 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode Teknik, Bandung, Tarsito,1980, hal.139. 16 apa yang terkandung di dalam ekspresi-ekspresi tersebut, dan tindakan strategis apa yang dibutuhkan terhadap permasalahan yang ada. E. Sistematika Pembahasan Bab. I. Pendahuluan. Bagian ini berisi permasalahan, alasan pemilihan judul, kerangka teoritis, metode pembahasan dan sistematika pembahasan. Dengan membaca pendahuluan ini maka pembaca akan menemukan gambaran singkat mengenai seluruh tesis. Bab. II. Di sini akan diuraikan apa hakekat marga bagi masyarakat Batak, bagaimana pengaruh terhadap pembentukan identitas HKBP pada masa RMG, dan juga bagi komunitas HKBP Yogyakarta. Bab. III. Bagian ini akan menganalisis apa hakikat fenomena marga, dan makna kehadiran komunitas HKBP Yogyakarta bagi masyarakat Batak, dan sekaligus merelasikannya dengan teori-teori yang dibangun. Bab. IV. Di sini akan diuraikan bagaimana kerangka teologi komunitas yang didasarkan pada: (i) Surat 1 Yohannes 1 : 3 - 7, (ii) Pandangan beberapa teolog, (iii) Pandangan teolog Batak (HKBP), dan (iv) Pandangan warga HKBP Yogyakarta. Bab. V. Bab ini akan memaparkan tindakan strategis yang berguna untuk mengatasi permasalahan yang ada, serta mengupayakan perubahan dalam komunitas HKBP Yogyakarta. Bab. VI. Penutup, di sini akan disimpulkan seluruh pembahasan, dan juga akan memberikan beberapa saran yang dianggap perlu untuk ditindaklanjuti. 17