BAB. I PENDAHULUAN A. Permasalahan A. 1. Latar

advertisement
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Permasalahan
A. 1. Latar Belakang Masalah
A. 1. 1. Selintas Etnis Batak
Etnis Batak merupakan salah satu ‘kelompok etnis’ 1 yang mendiami sebagian
besar daerah Sumatra Utara bersama beberapa etnis lainnya. Dan berdasarkan teori
migrasi yang berkembang, besar dugaan bahwa asal-usul nenekmoyang etnis Batak
ini ialah dari Hindia Belakang yang terdapat di daratan benua Asia.2 Berkenaan
dengan itu Harlem Siahaan menyatakan bahwa pada awal migrasi, nenekmoyang
etnis Batak pernah berdiam di daerah pantai Barat dan Timur Sumatra Utara. Namun,
karena desakan pendatang baru, perubahan religius, serta perubahan kebudayaan di
daerah pesisir, maka mereka terpaksa pindah dan “menyembunyikan diri” ke
pedalaman ‘Tapanuli’ 3 hingga suatu ketika mereka berhasil menemukan lokasi yang
ideal di sekitar pinggiran Danau Toba yang terasing dan terisolasi secara topografis.4
1
F. Barth, Kelompok Etnik dan batasannya, Jakarta, UI-Press, 1988, hal. 9-11. Di sana dikatakan
kelompok etnis ialah, (1) Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) Mempunyai
nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3)
Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang
diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari populasi lain.
2
Lih. N. Siahaan , Sejarah Kebudayaan Batak, Medan, C.V. Napitulu & Sons, 1964, hal. 18.
3
E. St. Harahap, Perihal Bangsa Batak, Djakarta, Bagian Bahasa Djawatan Kebudayaan Dep. P. P.
dan K, 1960, hal. 10. Di sana dikatakan nama Tapanuli berasal dari kata Tapian Na Uli atau
pemandian yang indah (air nan rancak). Lih. juga Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga
Sosial Politik Abad XIII - XX, Jakarta, Komunitas Bambu, 2004, hal. 3. Di sana dikatakan daerah
Tapian Na Uli berada di kaki bukit terjal bukit Barisan (dua kilometer arah utara kota Sibolga),
dulunya menjadi persinggahan orang Batak dari pedalaman Silindung untuk mencari lahan pertanian
ke daerah pesisir. Dan kemudian dipergunakan untuk menyebutkan Tanah Batak yang terdiri dari 3
Kabupaten yang terdiri dari : Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Namun saat ini
Kapankah etnis ini dikenal dengan sebutan Batak ? Lothar Schreiner
menyatakan bahwa “Sebutan Batak maupun daerah Batak barulah muncul setelah
pengkristenan.”5 Sejiwa dengan itu Lance Castle menyatakan bahwa sebutan Batak
itu bermula dari ‘stereotip’6 orang-orang Melayu Muslim di Sumatra Timur terhadap
orang Batak, sedangkan konotasi yang terkandung dalam sebutan Batak ialah: ‘jelek,
kasar, jorok, dan bodoh’. Akibatnya banyak orang Batak tidak mau menyebutkan ‘
identitas ’ 7 mereka sebagai Batak, dan lebih senang menyatakan diri sebagai orang:
Toba, Karo, Simalungun, Mandailing/Angkola atau Pakpak/Dairi.8
Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa pembagian sub etnis Batak itu
merupakan produk ‘ kebudayaan ’
9
yang lahir pada masa pengkristenan di tanah
Batak, sebab jauh sebelum datangnya kekristenan proses pengelompokan sub etnis ini
secara khusus Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan telah berkembang menjadi beberapa Kabupaten,
yang terdiri dari Kabupaten Tapanuli Utara memekar menjadi 4 Kabupaten yang terdiri dari Kabupaten
Tapanuli Utara sendiri; Kabupaten Tobasa; Kabupaten Samosir; dan Kabupaten Humbang
Hasundutan, sedangkan Kabupaten Tapanuli Selatan memekar menjadi 2 kabupaten yakni terdiri dari:
Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing-Natal.
4
Harlem Siahaan, Corak Revivalistis-Nativistis Perang Batak 1878-1907, Jakarta, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,1985, hal. 5.
5
Lothar Schreiner, Adat dan Injil; Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta,
BPK. G. Mulia, 1999, hal. 11, Judul asli: Adat und Evangelium. Zur Bedeutung der Altvölkischen
Lebenssordnungen für Kirche und Mission unter den Batak in Nordsumatra, P. S. Naipospos, et.al.,
(penerj.).
6
Stereotip adalah gambaran di kepala yang merupakan rekonstruksi dari lingkungan yang sebenarnya;
itu juga merupakan mekanisme penyederhanaan untuk mengendalikan lingkungan yang terlalu luas,
terlalu majemuk, bergerak terlalu cepat untuk bisa dikenal dengan segera. Dan gambaran mengenai
lingkungan itulah yang menentukan apa yang akan dilakukan. Dengan demikian tindakan-tindakan
seseorang tidaklah didasarkan pada pengenalannya secara langsung terhadap lingkungan yang
sebenarnya tetapi didasarkan pada gambaran yang dibuatnya sendiri ataupun diberikan kepadanya oleh
orang lain. Lih. Suwarsih Warnaen, Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multi Etnis, Yogyakarta, Mata
Bangsa, 2002, hal. 117-118.
7
Identitas ialah pengenalan yang dimiliki oleh tiap orang atau kelompok atas dirinya sendiri, itulah
produk kesadaran pribadi atau kelompok yang membedakan sifat lahiriah saya dengan engkau dan
dari mereka. Lih. dalam Samuel P. Huntington, Who Are We ? : The Challenges to America’s
National Identity, New York, Simon & Schuster, 2004 hal. 22.
8
Lance Castle, ‘Kehidupan Politik Sebuah Keresidenan: Tapanuli 1915-1940’, Desertasi Ph.D,
Fakultas Pasca Sarjana Yale University, 1972, hal.138.
9
Kebudayaan ialah “Cara pikir, perasaan serta keyakinan manusia, yang dikumpulkan oleh
sekelompok manusia untuk menghadapi masa depannya. Khususnya untuk memenuhi tuntutantuntutan hidup setiap individu-indidvidu.” Lih. Clyde Kluckhohn, Mirror for Man, Anthropology and
Modern Life, Toronto, Whittlesey House, 1949, hal. 23.
2
sudah terjadi yakni seiring dengan migrasi nenek moyang sub-sub etnis itu dari
perkampungan Batak yang pertama yakni Sianjur Mula mula menuju daerah-daerah
masing-masing sub etnis sebagaimana yang dikenal saat ini. Dan akibat pengaruh
lingkungan yang berbeda di antara kelompok sub etnis Batak itu, maka terjadilah
perbedaan kebudayaan yang signifikan di antara mereka.10 Terutama dari segi bahasa,
‘ adat ’ 11, bahkan menyangkut agama yang mereka anut.
Bertolak dari perbedaan itu, dan juga rencana penelitian yang ingin meneliti
pengaruh kebudayaan Batak di dalam komunitas Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP), maka penelitian tesis inipun dibatasi hanya dalam lingkup kebudayaan
Batak Toba. Sebab dari antara sub etnis di atas hanya Batak Tobalah satu-satunya sub
etnis Batak yang memiliki hubungan historis yang erat dengan (HKBP). Hal itu
berkenaan dengan pernyataan Edward M. Bruner, bahwa “Batak Toba merupakan
penganut agama Kristen Protestan dan sembilan puluh persen dari mereka adalah
warga HKBP.”12 Dominannya Batak Toba di dalam komunitas HKBP tersebut
10
Richard M. Daulay, Kekristenan dan Kesukubangsaan: Sejarah Perjumpaan Methodisme dengan
Orang Batak dan Orang Tionghoa di Indonesia 1905-1995, Yogyakarta, TPK, 1996, hal. 48. Di sana
dikatakan bahwa dalam bentuk paling tradisional orang Batak telah melakukan migrasi dari Sianjur
Mulamula ke pulau Samosir. Kemudian dari daerah inilah mereka menyebar ke dataran tinggi sebelah
Barat Danau Toba (Humbang), dan selanjutnya menuju lembah Silindung hingga ke seluruh wilayah
tanah Batak Sekarang.
11
Adat ialah sebagai bentuk keseluruhan suatu agama suku; yang merangkum, meresapi dan
menentukan kehidupan sukubangsa purba. Adat menghubungkan orang-orang hidup yang kelihatan
dengan orang-orang mati yang hidup tidak kelihatan. Adat adalah tatatertib sosial untuk desa. Desa
adalah suatu persekutuan hukum, persekutuan produksi dan persekutuan agama. Sebagai tata-tertib
hidup, yang diberikan oleh pencipta, adat itu memelihara dan mempertahankan, baik kehidupan
perorangan maupun persekutuan....., Adat itu menjamin kehidupan dalam tiga segi yang rangkap yaitu
dalam mitos, ritus, dan kelompok geneologis (marga). Adat bersumber dalam mitos, dan kuasanya
terdapat dalam hukum alam yang bertujuan untuk kelanggengan, keselarasan antara makrokosmos dan
mikrokosmos. Adat bersumber dari mitos dan sifatnya normatif, itulah yang mengajar suku untuk
memahami dunianya. Dan sekaligus sebagai jantung dari dunia bangsa-bangsa purba dalam
keseluruhan.” Lih. Lothar Schreiner, Adat dan Injil, hal. 217.
12
Lih. Edward M. Bruner, ‘ Migration and The Segmented Self ’, dalam, Rainer Carle (ed), Cultures
and Societies of North Sumatra”, Hamburg, Dietrich Reimer Verlag, 1981, hal.141.
3
menjelaskan betapa berartinya “HKBP bagi masyarakat Batak Toba”, dan demikian
pula sebaliknya “Batak Toba bagi komunitas HKBP”.
A. 1. 2. Migrasi Batak Toba
Menurut Johannes Warneck “Barulah sejak masuknya kekristenan ke tanah
Batak maka Batak Toba mengalami berbagai perkembangan terutama wawasan dan
pengetahuan baru.”13 Hal tersebut senada dengan pernyataan Payung Bangun bahwa
kehadiran kekristenan sejak abad ke-19 bersamaan pula dengan masuknya sistem
pendidikan sekolah, dan yang seiring dengan hal itu menyebabkan timbulnya
keterbukaan kebudayaan Batak Toba untuk menerima pengaruh luar dengan
kecepatan yang begitu amat besar.14
Memang benar selain pengaruh kekristenan di atas pengaruh Hindu juga
sudah terlebih dahulu mempengaruhi tanah Batak. Sejiwa dengan itu dapat
disampaikan apa yang dinyatakan oleh Robin Hanbury dan Tenison s.b.b :
Sejak awal abad ke-16, Batak Toba telah mengalami kemajuan dalam bidang pertanian.
Terutama atas keberhasilan mereka mengadopsi teknik pertanian yang diperkenalkan oleh
orang-orang India, yakni pengolahan sawah dengan menggunakan sistim irigasi. Sehingga
pada masa itu masyarakat Batak Toba secara relatif pernah mengalami kehidupan yang
makmur.15
Namun, seiring dengan berlalunya waktu maka kemakmuran yang diceritakan
itu hanya tinggal cerita. Malah ironisnya Tapanuli Utara pernah dikategorikan sebagai
13
J. Warneck mengatakan baru sejak kedatangan Zending yang kemudian diikuti oleh pemerintah
kolonial Belanda, Batak Toba mulai terbuka dari isolasinya. Lih. B. H. Situmorang, Sikap Orang
Kristen 1, STT-HKBP P. Siantar, 1995, hal. 58. Lih. juga Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, 1993, hal.120. Dia mengatakan “Tahun 1930 di Toba (daerah Tapanuli Utara),
modernisasi kolonial, sejalan dengan proses transisi sosial yang telah meluas sampai ke pelosokpelosok dan pada tahun itu dua pertiga dari penduduk Toba telah menganut agama Kristen Protestan.”
14
Payung Bangun, ‘Kebudayaan Batak’, dalam Koentjaraningrat (ed), Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2002, hal. 116.
15
Robin Hanbury dan Tenison, A Pattern Of Peoples; A Journey Among The Tribes Of Indonesian’s
Outer Islands, New York, Charles Scribner’s Sons, 1975, hal. 28
4
sebuah peta kemiskinan di wilayah Nusantara. Realitas ini dapat dihubungkan dengan
pernyataan Hotman M. Siahaan “Pertambahan penduduk Tapanuli-Utara yang cepat
yang tidak sebanding dengan areal pertanian yang terbatas; dan ditambah pula oleh
faktor alam yang tidak menguntungkan; menyebabkan terjadinya migrasi besarbesaran di tengah suku bangsa ini.”16 Untuk mencari lahan pertanian yang baru ke ke
daerah lainnya di sekitar Sumatra Utara, misalnya: ke daerah Pematangsiantar (di
Simalungun), Sayur Matinggi (Tapanuli-Selatan), Leidong (Asahan), dan Kota Cane
(di Aceh Tenggara), dan ke berbagai daerah lainnya, yang umumnya terjadi sebelum
masa kemerdekaan Bangsa Indonesia tahun 1945.
Namun menurut Hotman M. Siahaan, selain keterbatasan lahan pertanian
tersebut, faktor-faktor kebudayaan Batak Toba juga ikut memainkan peranan yang
tidak kecil sebagai pendorong terjadinya migrasi di kalangan suku itu.17 Khususnya
untuk meraih cita-cita umum Batak yang dikenal dengan istilah 3 H: hamoraon,
hagabeon, dohot hasangapon (artinya: keinginan kaya, banyak anak, dan mulia).18
Sejiwa dengan itu M. Arif Nasution dan Elvis F. Purba menyatakan bahwa dari
semangat mencari 3 H itu pula muncul pribahasa Batak yang menyatakan lulu anak
lulu tano (artinya: jika suka anak juga akan suka akan tanah).19 Sedangkan akar dari
semua cita-cita umum Batak di atas ialah kerinduan untuk memperoleh huaso
16
Hotman M. Siahaan, ‘Persekutuan Agama dan Budaya Orang Batak Toba: Kasus HKBP’, Majalah
Prisma, Thn. VIII, No. 2, Februari,1979, hal. 22.
17
Ibid.,
18
Jan S Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jakarta, BPK. G. Mulia, 1988, hal.
51.
19
M. Arif Nasution dan Elvis F. Purba, ‘Migrasi, Politik, Dan Pembangunan Batak Toba di
Simalungun’, dalam Tukiran, et. al (eds), Mobilitas Penduduk Indonesia: Tinjauan Lintas Ilmu,
Yogyakarta, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, 2002, hal. 796.
5
(kuasa).20 Sehingga dapat diterima apa yang dinyatakan oleh Hendrik Kraemer bahwa
tujuan migrasi Batak Toba ialah untuk monang (nomor satu); dan perjuangan untuk
menjadi nomor satu inilah yang menjadi misi kebudayaan setiap masyarakat Batak
Toba di perantauan.
21
Dan keberanian bermigrasi itu tidak terlepas dari peranan
RMG yang membekali mereka dengan berbagai pengetahuan yang memampukan
mereka keluar dari pengisolasian diri selama beberapa abad sebelumnya.22
Kendatipun hakikat migrasi itu ialah untuk menggapai cita-cita masingmasing Batak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa migrasi itu juga telah menjadi
sarana yang sangat signifikan dalam penyebaran HKBP ke berbagai tempat di
wilayah Nusantara bahkan sampai ke Luar Negeri. Hal ini sejiwa dengan yang
disampaikn Edward M. Bruner “Ke mana saja orang Batak pergi mereka selalu
membawa Gerejanya.”23 Dan dari kecenderungan itulah timbulnya sebuah pameo
yang disampaikan dalam bahasa Batak, ‘ Molo adong dua halak Batak munsat tu
luat na imbaru, pintor mulai do nasida marminggu; Molo adang tolu halak Batak
munsat tu luat na imbaru, pintor dimulai do sada koor ’ (artinya: bila ada dua orang
Batak yang pindah ke suatu tempat yang baru, dengan segera mereka akan
membangun peribadahan; dan bila ada tiga orang Batak pindah ke tempat baru,
20
Kuasa merupakan minat atau kerinduan utama orang Batak; bahkan hidup itu merupakan suatu
pergumulan melawan kuasa-kuasa: baik kuasa yang biasa (normal) maupun kuasa yang tidak nyata
(paranormal). Ornamen-ornamen simbolik pada rumah dll, adalah ungkapan kuasa atau kekuatan yang
mereka andalkan untuk melindungi hidup mereka. Bahkan upacara-upacara keagamaan yang bersifat
magis, pada hakekatnya adalah iktisar untuk memperoleh kuasa ‘ilahi’. Demikian pula keterbukaan
orang Batak kepada pengaruh atau sumbangan dari luar, baik hinduisme maupun kekristenan (bahkan
pengetahuan modern), pada hakekatnya adalah didorong oleh hasrat memperoleh dan memperkuat
kuasa. Lih. Jan S Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen, hal. 51.
21
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing,
Jakarta, LP3ES, 1994, hal. 46-47.
22
M. Arif Nasution dan Elvis F. Purba, ‘Migrasi, Politik, Dan Pembangunan Batak Toba di
Simalungun’, hal. 298.
23
Edward M. Bruner, ‘Megalit, Migration and The Segmented Self ‘, hal.141.
6
dengan segera mereka akan membentuk kelompok koor).24 Dengan kata lain bahwa
kehadiran komunitas
25
Batak di daerah perantauan akan ditandai dengan berdirinya
Gereja, yaitu HKBP.26
Memang benar “Di satu sisi penyebaran HKBP tersebut merupakan sesuatu
yang membesarkan hati dan patut disyukuri, namun di sisi lain bahwa penyebaran
HKBP itu justru menjadi suatu tantangan baru bagi komunitas HKBP di perantauan;
terutama karena adanya keragaman: lingkungan sosial, budaya, dan agama.”27 Searah
dengan itu muncul pertanyaan apakah HKBP mampu menyatakan diri sebagai Gereja
yang terbuka dalam konteks lingkungannya di perantauan ? Ataukah HKBP
termasuk Gereja yang dikategorikan Martin Lukito Sinaga dengan Gereja yang
berlatarbelakang etnis yang gagap serta sulit untuk memberikan sumbangsihnya bagi
dunia yang leluasa ini ? 28
Tidak dapat dipungkiri bahwa pernyataan Martin Lukito Sinaga di atas adalah
suatu realitas komunitas HKBP di perantauan. Bahkan komunitas HKBP sering
diidentikkan dengan komunitas ghetto (komunitas eksklusif Batak) di lingkungan di
24
Harry Parkin, Batak Fruit of Hindu Thought, Madras, The Christian Literatur Society , 1978, hal. 9.
Komunitas adalah kelompok organisme (orang atau mahluk lainnya ) yang hidup dan saling
berinteraksi di dalam suatu daerah tertentu, kadang diartikan juga dengan ‘masyarakat’, ataupun
dengan ‘paguyupan’, Lukman Ali, et. al (eds), Kamus Besar Bahasa Indoinesia, Edisi Kedua, Jakarta
Balai Pustaka, 1991, hal. 517.
26
Lih. Sulistyowati Irianto, Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum, Studi mengenai Strategi
Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris melalui Proses Penyelesaian
Sengketa, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2003, hal. 90.
27
Payung Bangun, ‘Dari Meng”kafir”kan sampai Mengakomodasi’, dalam Gomar Gultom (ed),
Menggapai Gereja Inklusif: Bunga Rampai Penghargaan atas Pengabdian Pdt. Dr. J. R. Hutauruk,
Pearaja Tarutung, 2004, hal. 36.
28
Bnd. Martin Lukito Sinaga, ‘Identitas Privat dan Ruang Publik Pencarian Teologi Sosial
Kekristenan-Etnik’, dalam Majalah Renai, Tahun II, No. 3-4, 2002, hal. 60. Lih. juga, Sri Soemantri,
‘Pemberian Marga Bukan Pembauran: Prasangka Sosial Negatif Antar Ras Masih Merupakan Masalah
Yang Pelik’, dalam Yahya Theo (ed), Sekitar Pembauran di Indonesia, Jakarta,Yayasan Kesejahteraan
Keluarga Pemuda “66”,1985, hal. 189. Di sana dikatakan hingga kini fanatisme primordialisme sempit
terhadap suku, ras, agama merupakan masalah sosial yang peka di Indonesia. Hal itu dapat
menghambat proses penggalangan kesatuan dan persatuan Bangsa. Dan hal ini dapat teratasi jika
dengan intensif diupayakan pendidikan formal dan informal, pembauran antar suku (ras), pembauran
tempat tinggal (jangan ada pengelompokan etnis pada suatu daerah).
25
7
mana ia ada.29 Anggapan itupun semakin kental ketika dalam realitas pergaulan
sosialnya warga HKBP yang sebagian besar merupakan Batak Toba cenderung
berinteraksi dengan sesama ‘ marga ’ 30 atau dengan kerabat lainnya dalam punguan
marganya (perkumpulan marganya).31 Bahkan hubungan kemargaan itu juga turut
mewarnai kehidupan Batak Toba dalam komunitas HKBP Yogyakarta. Sehingga
dapat diamati bahwa kecenderungan Batak Toba untuk berinteraksi dengan sesama
marganya menyebabkan peranan marga semakin signifikan dalam ekspresi-ekspresi
habatahon (ekspresi kebudayaan Batak) di perantauan.”32 Dan keikutsertaan
masyarakat Batak di dalam kedua organisasi itu yakni dalam “perkumpulan marga
dan komunitas HKBP” secara otomatis mendorong eratnya hubungan HKBP dengan
marga/perkumpulan marga.
A. 2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan gambaran di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh apa
pengaruh marga itu di dalam komunitas HKBP. Searah dengan itu penulis melihat
perlunya meneliti apakah hakikat marga itu dalam kehidupan masyarakat Batak
29
Bnd. Paul B.Pederson, Darah Batak dan Jiwa Protestan , Jakarta, BPK. G. Mulia, 1975, hal.152.
Di sana dikatakan “Dalam hal kerja sama oikumenis: HKBP dengan kuat menyokong kegiatankegiatan oikumenis dikalangan gereja-gereja Indonesia; tetapi secara aktif telah menentang peleburan
organisatoris dengan gereja-gereja itu, sambil berusaha memelihara identitasnya sendiri menyangkut
kesukubangsaannya dan pengakuan imannya. HKBP secara luas dan secara tidak adil dicela karena
picik dalam esklusivismenya yang berdasarkan denominasi.” Bnd. Lam. 1. Berdasarkan jawaban
narasumber diketahui bahwa pada umumnya mereka mengatakan keengganannya bersekutu di HKBP
Yogyakarta disebabkan kentalnya komunitas Batak di dalamnya.
30
Marga ialah, 1). kelompok kekerabatan yang eksogami dan unilinear baik secara matrilineal maupun
patrilineal, 2). Bagian daerah (sekumpulan dusun yang agak luas di Sumatra Selatan), lih. Hasan
Alwi, et. al (eds), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pusta, 2005, hal. 715.
31
Bnd. Kartini Syahrir, ‘Asosiasi Klan Orang Batak Toba di Jakarta’, Majalah Prisma, Thn. XII, No.
01, Januari, 1983, hal. 80.
32
Lih. J. Pardede, ‘Efek-efek Sosial dan Religi dari “Parmargaon” Sebagai Suatu Masalah dalam
Gereja-gereja Batak’, dalam Buku renungan 50 Tahun Pdt.DR. A. A. Sitompul, Ketika Aku dalam
Penjara, Medan, Grafina, 1982, hal.125.
8
Toba. Dan setelah itu barulah penulis melangkah untuk melihat pengaruh marga itu
terhadap HKBP. Namun, di sini juga akan dibedakan bagaimana pengaruh marga itu
dalam dua konteks HKBP yang berbeda, yakni (i) pada masa Reinische Missions
Gesellschaft (RMG), di sini akan ditelusuri bagaimana pengaruh marga itu terhadap
pembentukan identitas HKBP di tanah Batak; (ii) pada masa kini, di sini akan dilihat
sejauhmana pengaruh marga itu terhadap ekspresi bergereja komunitas HKBP
khususnya dalam konteks HKBP Yogyakarta sebagai representase dari HKBP di
perantauan. Supaya permasalahan yang dikaji ini dapat dilihat dengan jelas, maka di
bawah ini dirumuskan tiga perangkat pertanyaan, s.b.b:
1. Apakah hakikat marga dalam kehidupan masyarakat Batak ?
2. Bagaimana peranan marga di dalam pembentukan identitas HKBP di masa
RMG ?
3. Sejauhmana pengaruh marga terhadap ekspresi bergereja komunitas HKBP
Yogyakarta ?
Selanjutnya, untuk mengarahkan fokus penulisan serta sebagai proposisi
sementara, maka di bawah ini ditetapkan beberapa hipotesis s.b.b :
1. Marga adalah landasan interaksi masyarakat Batak terhadap sesama
marganya maupun dengan marga lain, dan sekaligus menjadi salah satu
identitas sosial sekelompok keturunan nenek moyang tertentu, yang berisi hak
dan kewajiban di dalam adat yang diatur oleh ‘Dalihan Na Tolu’. 33
33
Dalihan Na Tolu (DNT) adalah Tungku Nan Tiga atau biasa diartikan dengan sebutan tiga buah batu
tungku tempat perapian menanak nasi ( kata itu berasal dari kata dalihan = tungku, na = nan atau
terdiri dari, sedangkan tolu = tiga), Lih. Godlif Sianipar, Pantun Hangoluan Tois Hamagoan Etika
Batak Toba, Majalah Basis, Thn. XLII, No. 03, Maret, 1993, hal. 106. Lih. juga Payerli Pasaribu, et.
9
2. Marga menjadi pengikat komunitas masyarakat Batak pada masa tradisional
di dalam kampung-kampungnya. Dan pada masa Penginjilan menjadi pintu
masuk kekristenan itu sendiri, dan sekaligus ke atasnya kekristenan di
letakkan di tanah Batak. Dan karenanya pengaruhnya sangat kuat di dalam
komunitas HKBP, pada masa dulu hingga saat ini.
3.
Pengaruh marga secara internal, menyebabkan eratnya hubungan sesama
warga jemaat, tetapi juga sekaligus dapat menjadi ancaman bagi
keharmonisan komunitas. Sedangkan secara eksternal, pengaruh marga juga
andil dalam mempengaruhi gerak Gereja yang bersifat Ghetto (kelompok
agama eksklusif).
A. 3. Batasan Masalah
Penelitian ini akan dibatasi sesuai dengan urutan rumusan pertanyaan di atas,
yang terdiri dari, (i) Menyangkut hakikat marga, dalam bagian ini penulis akan
memfokuskan perhatian terhadap apa yang menjadi hakikat marga bagi masyarakat
Batak, searah dengan itu penulis juga akan melihat bagaimana mitos budaya Batak
yang dari dalamnya tercipta silsilah marga, dan hal ini akan digali melalui studi
literatur. Dan dari hasil penelitian itu diharapakan jawaban mengapa tradisi marga
signifikan terhadap kehidupan masyarakat Batak, (ii) Menyangkut peranan marga
al (eds) ‘Dilema Nilai Budaya Dalihan Na Tolu Pada Pengelolaan Kepegawaian (Studi di Kabupaten
Toba Samosir)’, Majalah Sosiosains, No.17, Oktober, 2004, hal. 803. Di sana diartikan bahwa DNT
merupakan suatu simbol struktur sosial kekerabatan masyarakat Batak, yang terdiri dari hula-hula (
pemberi istri), dongan tubu (teman semarga), dan boru (penerima istri), yang didasarkan pada
hubungan marga maupun karena perkawinan. Dan Lih. H. P. Panggabean, ‘Bahan Pelajaran Dasar
Pemahaman Adat Budaya Batak’, Seminar adat HKBP Yogyakarta, 19 -08- 2006, hal. 1. Di dalam
DNT itu juga terkandung suatu moral force (ajaran moral) yang mengajarkan supaya setiap individu
Batak memiliki kepribadian moral dan mampu menempatkan diri sebagai salah satu unsur DNT di
manapun dan kapanpun orang itu berada.
10
dalam pembentukan identitas HKBP, dalam bagian ini akan diteliti apa dan
bagaimana andil marga dalam pengkristenan masyarakat Batak di Tapanuli. Dan
sekaligus ingin melihat bagaimana pengaruh marga itu dalam pembentukan identitas
HKBP khususnya pada RMG, dan (iii) Mengenai pengaruh marga terhadap ekspresi
bergereja komunitas HKBP Yogyakarta, di sini akan diteliti bagaimana andil marga
atau perkumpulan marga itu terhadap ekspresi bergereja komunitas HKBP
Yogyakarta, hal itu akan dilakukan melalui studi lapangan.
B. Alasan Pemilihan Judul
B. 1. Perumusan Judul
Pembahasan mengenai persoalan di atas akan dibicarakan di bawah judul :
PENGARUH MARGA
TERHADAP PEMBENTUKAN IDENTITAS
KOMUNITAS HKBP YOGYAKARTA
Suatu Sumbangan Pemikiran dalam Membangun
Identitas Komunitas HKBP Yogyakarta yang Dinamis dalam Persfektif
Pembangunan Jemaat
B. 2. Alasan Pemilihan Judul
Ketertarikan penulis membicarakan judul ini berawal dari masa pelayanan
penulis semasih di HKBP Tandes Ressort Tanjung Perak Surabaya. Pada saat itu
berkembang pembicaraan mengenai keberadaan HKBP di perantauan yang terkesan
tertutup. Pandangan yang demikian diutarakan oleh seorang penatua jemaat GPIB
Tandes Surabaya, yang sebelumnya pernah menjadi warga HKBP. Lebih jauh
menurut dia, akar permasalahan yang menyebabkan HKBP terkesan tertutup ialah
11
nama HKBP itu sendiri. Dan menurut dia selama nama HKBP itu dipergunakan maka
Gereja ini tidak akan pernah menjadi Gereja yang ‘ inklusif ’
34
. Pernyataannya itu
sangat tajam menusuk hati, kendatipun demikian patut pula hal itu direnungkan. Dan
dari perenungan itulah muncul keinginan penulis untuk memahami lebih jauh: apa
yang mendasari kehadiran HKBP di perantauan; mengapa HKBP hanya untuk orang
Batak; dan mengapa pengaruh kebudayaan Batak khususnya tradisi marga sangat
terasa di dalam komunitas itu ?
Memang, harus diakui penelitian tentang budaya dan Injil adalah hal yang
biasa dilakukan di HKBP. Namun kajian-kajian itu pada umumnya masih terfokus
seputar adat dan Injil dalam konteks masyarakat Batak pada masa perjumpaan
kekristenan dan Injil di tanah Batak. Dan tentu saja seiring dengan pembahasan adat
dan Injil itu, di sana sini juga sudah diungkapkan bagaimana pengaruh marga
terhadap HKBP, khususnya dalam konteks masyarakat Batak Tapanuli. Itulah
sebabnya kajian seperti ini merupakan karya yang sudah biasa. Namun, kajian ini
menjadi baru, ketika fokus penelitian hubungan marga dan HKBP ini beralih dari
konteks Tapanuli ke dalam konteks masyarakat Batak di perantauan. Dan melalui
penggunaan metode pendekatan ‘ etnografis ’
35
dalam penelitian lapangan ini
diharapkan ditemukan pandangan-pandangan narasumber yang baru seputar
hubungan tradisi marga dengan HKBP, dan juga perihal menguatnya tradisi marga
dalam kehidupan masyarakat Batak di Yogyakarta.
34
Inklusif ialah merujuk kepada suatu perilaku yang terbuka, yang toleran kepada orang lain yang
memiliki identitas yang berbeda dengan kelompoknya sendiri. Lih. Ignatius Harianto dan Pax
Benedanto, Terbuka terhadap sesama umat, Yogyakarta, Kanisius, 2004, hal. 21.
35
Metode Etnografi adalah penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana
adanya. Model ini berupaya mempelajari peristiwa kultural yang menyajikan pandangan hidup subjek
sebagi objek studi. Studi ini akan terkait dengan: cara berpikir; hidup; dan prilaku yang diteliti.
Suwardi Endraswarsa, Metode Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta, Gajah Mada University Press,
2003, hal. 50.
12
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah, (i) Bagi
penulis, dengan dihasilkannya karya ini maka berakhirlah tugas studi di PPSTUKDW Yogyakarta, (ii) Bagi HKBP Yogyakarta, tulisan ini diharapkan menjadi
sumbangan pemikiran untuk mendorong terjadinya perubahan dalam kehidupan
warga HKBP Yogyakarta, terutama dalam mengekspresikan diri sebagai warga
HKBP Yogyakarta maupun sebagai warga perkumpulan marga, dan (iii) Tulisan ini
juga diharapkan berguna bagi Gereja-gereja yang umumnya berasal dari Sumatra
Utara, yang juga memiliki keterkaitan dengan masalah kemargaan dalam komunitas
Gerejanya.
C. Kerangka Teoritis
Sejarah panjang tradisi marga dari masa tradisional hingga saat ini
membuktikan dalamnya hakikat marga berakar dalam kehidupan masyarakat Batak.
Bahkan tradisi itu juga telah ikut mewarnai persekutuan rohani mereka sebelum dan
sesudah menerima kekristenan. Keberadaannya tradisi marga yang sentral dibuktikan
oleh penerimaan masyarakat Batak atas marga sebagai identitas sosial baik di daerah
asalnya maupun di daerah perantauan. Dan legitimasi marga sebagai identitas sosial
masyarakat Batak semakin kuat ketika masyarakat Batak terutama di wilayah
perantauan semakin giat menggalang kebersamaan di dalam perkumpulanperkumpulan marga. Namun, di samping kebutuhan akan identitas sosial, keyakinan
masyarakat Batak akan hakikat tradisi marga yang bersangkaut-paut dengan yang
illahi tentu saja juga andil dalam mendorong antusiasme penghayatan masyarakat
13
Batak terhadap etnisitas’
36
mereka. Dan kebersamaan-kebersamaan dalam aktivitas
penghayatan etnisitas itu sekaligus juga telah menciptakan ikatan mendalam di antara
sesama Batak, terutama di kalangan anggota-anggota perkumpulan marga di
perantauan. Dan lebih jauh untuk menganalisis fakta empiris yang ada serta untuk
menemukan hakekat apa yang terkandung dalam fenomena tersebut maka hasil
penelitian itu akan direlasikan dengan teori persistensi (ketaatan) dari Rodney Stark.
Menurut Rodney Stark, salah satu faktor yang mempengaruhi persistensi
etnisitas ialah ritual. Sedangkan ritual itu sendiri adalah upacara-upacara kolektif
yang memiliki suatu fokus dan mood yang bersifat umum. Dia juga menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan upacara-upacara ialah suatu perbuatan formal, yang
didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada, baik yang didapatkan melalui
cara peneladanan maupun pengetahuan yang diserap melalui literatur.37 Lebih jauh
Rodney Stark mengartikan ritual itu merupakan sebuah kultur keagamaan yang
spesifik. Dan berdasarkan pengertian itu Rodney Stark membatasi pengertian ritual
hanya pada upacara-upacara kolektif. Karena itu dia tidak memasukkan ritual-ritual
pribadi/personal. Demikian pula jika ritual itu diasosiasikan dengan magis, dalam
kerangka keagamaan, atau non keagamaan. Misalnya seperti pawai-pawai Partai
Nazi, dll. Dan dia dengan tegas menolak pemahaman yang mengatakan ritual sebagai
36
Etnisitas adalah suatu konsep budaya yang berintikan penganutan norma, nilai, keyakinan, simbol,
dan praktik budaya bersama. Lih. Chris Barker, Cultural Studies: teori dan Praktik , Yogyakarta,
Bentang, 1999, hal. 256, Lih. Juga Carol Kraemer, ‘ Ethnicity ’ dalam David Levinson dan Melvin
Member (eds), Ecyclopedia of Culture Antropology, Vol. 2, New York, Henry Holt and Company,
1996, hal.393. Di sana dikatakan bahwa yang menjadi bagian-bagian dari etnisitas adalah: latar
belakang suatu suku, kesamaan asal-usul suku, dan keturunan leluhur mana sebuah suku
dikelompokkan. Atau lebih spesifik bahwa yang menjadi ciri-ciri utama etnisitas itu sering terkait
dengan hal: ras, agama, bahasa, pekerjaan dan asal daerah. Sedangkan kombinasi dari etnisitas
tersebut itulah yang dikenal dengan identitas.
37
Rodney Stark, One True God: Risiko Bertuhan Satu,Yogyakarta, Qalam, 2003, hal.261., Judul Asli :
One True God: Historical Consequences of Monotheism, Princeton University Press, 2001, M. Sadat
Ismail (penerj.).
14
upaya untuk memperoleh karunia Tuhan, sebab menurut dia motif-motif seperti itu
selalu implisit (terkandung didalam ritual). Oleh karena itu menurutnya ‘ritual itu
merupakan perayaan-perayaan dan pesta-pesta dan bukanlah menyangkut aktivitas
berdoa atau pemujaan’.38 Kendatipun demikian Rodney Stark juga menyatakan
bahwa partisipasi ritual tidak akan memberi kontribusi terhadap norma-norma
kelompok, jika ritual-ritual itu tidak terkait secara eksplisit dengan Tuhan.
Sedangkan elemen penting dari solidaritas ialah komitmen terhadap cita-cita sentral
kelompok yang bersangkutan, dan apa yang diharapkan dari ritus-ritus sosialkeagamaan ialah menciptakan kesepakatan terhadap nilai ide-ide atau cita-cita
kelompok.39 Dan sebagai dalil utama teori Rodney Stark ialah “Ritual-ritual sosial
menggerakkan solidaritas kelompok / integrasi sosial.”40
D. Metode Pembahasan
D. 1. Metode Pembahasan
Metode pembahasan (penulisan) yang dipergunakan dalam karya tulis ini
adalah metode penelitian deskriptif analitis. Menurut Winarno Surakhmad bahwa
ciri-ciri metode deskriptif analitis ialah memusatkan diri pada pemecahan masalahmasalah yang ada pada masa sekarang kini, khususnya masalah-masalah yang aktual.
38
Rodney Stark, One True God, hal. 262. Di sana dia menyampaikan sebuah contoh tentang ritus
pengorbanan yang terdapat di kalangan Suku Dinka di Sudan bagian Selatan. Menurutnya, bagi
sebagian orang, acara ritus perngorbanan yang dilakukan orang Sudan itu adalah peristiwa yang
menyedihkan. Namun bagi masyarakat setempat, khususnya suku Dinka pengorbanan itu merupakan
hal yang membahagiakan. Rodney melihat justru hal tersebutlah yang memotifasi mereka menghadiri
ritus itu supaya mereka dapat melakukannya. Sama halnya dengan perayaan Natal, menurutnya itu
dilakukan dalam gereja-gereja untuk memperingati kelahiran Yesus tanpa mengacu pada masalah
imbalan berkat jasmani dan rohani. Demikian pula hal berbuka puasa dalam bulan ramadhan,
menurutnya ritual itu merupakan kesempatan untuk bersenang-senang, dan bersyukur dalam
komunitas Muslim, sebagaimana Paskah dalam agama Yahudi.
39
Rodney Stark, One True God, hal. 263.
40
Ibid., hal. 264.
15
Prosesnya terdiri dari: pengumpulan data-data, menyusun data, menjelaskan dan
menganalisa data.41 Namun karena kajian ini adalah kajian bidang teologi, maka
dalam pembahasan ini juga akan dipaparkan bagaimana kerangka teologis dari topik
yang diteliti, dan setelah itu barulah akan diuraikan apa yang menjadi langkah
strategis yang dibutuhkan untuk menangani masalah yang ada.
D. 2. Metode Penggalian Sumber Pembahasan
Dalam menggali sumber penelitian ini, penulis akan menggunakan dua studi,
yakni studi literatur, dan studi lapangan. Dalam studi literatur, penulis akan melihat
terminologi marga itu, bagaimana asal usulnya dalam mitologi Batak, dan apa
hakekatnya bagi masyarakat Batak, serta bagaimana pengaruh marga di dalam
pembentukan identitas HKBP pada masa RMG. Selanjutnya untuk mengetahui
sejauhmana pengaruh marga itu saat ini, khususnya terhadap ekspresi bergereja
komunitas HKBP Yogyakarta, maka penulis akan melakukan studi lapangan.
Sedangkan ancangan penelitian yang dilakukan ialah dengan pendekatan etnografis
khususnya dengan cara (i) wawancara, yang dilakukan kepada warga jemaat HKBP
Yogyakarta (sekaligus warga perkumpulan marga), para anggota majelis, dan bahkan
terhadap beberapa non Batak yang bukan warga HKBP, (ii) pengamatan serta,
dalam bagian ini penulis akan melihat dan mengamati secara langsung bagaimana
masyarakat Batak Toba itu mengekspresikan kemargaannya dan juga kehidupan
bergerejanya. Selanjutnya potret tersebut akan dianalisis untuk menemukan makna
41
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode Teknik, Bandung, Tarsito,1980,
hal.139.
16
apa yang terkandung di dalam ekspresi-ekspresi tersebut, dan tindakan strategis apa
yang dibutuhkan terhadap permasalahan yang ada.
E. Sistematika Pembahasan
Bab. I. Pendahuluan. Bagian ini berisi permasalahan, alasan pemilihan judul,
kerangka teoritis, metode pembahasan dan sistematika pembahasan. Dengan
membaca pendahuluan ini maka pembaca akan menemukan gambaran singkat
mengenai seluruh tesis.
Bab. II. Di sini akan diuraikan apa hakekat marga bagi masyarakat Batak,
bagaimana pengaruh terhadap pembentukan identitas HKBP pada masa RMG, dan
juga bagi komunitas HKBP Yogyakarta.
Bab. III. Bagian ini akan menganalisis apa hakikat fenomena marga, dan
makna kehadiran komunitas HKBP Yogyakarta bagi masyarakat Batak, dan sekaligus
merelasikannya dengan teori-teori yang dibangun.
Bab. IV. Di sini akan diuraikan bagaimana kerangka teologi komunitas yang
didasarkan pada: (i) Surat 1 Yohannes 1 : 3 - 7, (ii) Pandangan beberapa teolog, (iii)
Pandangan teolog Batak (HKBP), dan (iv) Pandangan warga HKBP Yogyakarta.
Bab. V. Bab ini akan memaparkan tindakan strategis yang berguna untuk
mengatasi permasalahan yang ada, serta mengupayakan perubahan dalam komunitas
HKBP Yogyakarta.
Bab. VI. Penutup, di sini akan disimpulkan seluruh pembahasan, dan juga
akan memberikan beberapa saran yang dianggap perlu untuk ditindaklanjuti.
17
Download