LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 KONJUNGSISEBAGAISARANA KOHESI DALAM WACANA BAHASA BATAK By: Revida Engelbertha* Abstract This study aims at: (I) Identifying and Analyzing the onjunction as an Instrument of Cohesion Discourse in the Toba Batak Bible Language. (2) Describing the characteristic of conjunction as well that found in the Toba Batak Bible Language. The data, which are sentences containing conjunction and indicating cohesion have been obtained from all discourses found in the Gospel of Matthew, Mark, Luke and John in the Toba Batak Bible. The method used m this research is the qualitative method. The study results show that the conjunctor may consist of one, two or more words. Conjunctors can be combined with other kinds of word and with other conjunctors. Every conjunctor has been described according to its characteristics. The Batak Toba samples have been traslated to Indonesian. But not all worls could be translated into Indonesian because they would have lost the Biblical meaning. It can be concluded this study has given an interesting illustration about cohesion, for nearly every verse of the Gospel has been connected by a conjunction. Keywords: Konjungsi, kohesi. Latar Belakang Pemikiran Bahasa dipergunakan untuk melaksanakan banyak fiingsi komunikasL Fungsi bahasa yang paling penting yakni penyampaian infonnasi. Jadi, informasi dapat disampaikan secara efektif dengan mempergunakan bahasa lebih jelas sehingga dapat diterima dengan baik dan benar oleh pendengar. Salah satu bentuk penggunaan bahasa dalam komunikasi yang berfokus pada penyampaian informasi yakni bahasa yang dipergunakan dalam Alkitab. Seperti yang telah diketahui, Alkitab berisi informasi yang mengandung kebenaran dan telah disajikan dalam beberapa bahasa. Dapat diasumsikan bahwa penutur bahasa Batak Toba yang terbanyak dibandingkan dengan penutur bahasa-bahasa Batak yang lain. Ini merupakan salah satu alasan pemilihan bahasa batak Toba untuk penelitian ini. Di samping itu, penulis sebagai penutur asli bahasa Batak Toba. Alkitab bahasanya hams tepat karena isinya adalah finnan. Hal ini merupakan modal untuk mempersingkat waktu dalam menyelesaikan penelitian ini. Dari segi kohesi, penelitian ini dibatasi hanya pada konjungsi. Dalam penelusuran secant singkat, terlihat bahwa beberapa jenis konjungtor sangat mencolok karena muncul hampir LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 dalam setiap ayat dari Injil-Injil itu. Misalnya alai 'tetapi' dan dung i 'sesudah itu'. Pembatasan ini juga didasarkan atas ketetbatasan waktu. Namun, pembatasan ini tidak meminimalkan hasil penelitian, tetapi telah memberikan basil yang cukup membanggakaiL Perumusan Masalah 1. Konjungsi apa sebagai sarana kohesi yang terdapat dalam wacana bahasa Batak Toba. 2. Apa ciri-ciri konjungsi yang ada dalam wacana bahasa Batak Toba. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengjdentifikasi dan menganalisis konjungsi sebagai sarana kohesi dalam wacana bahasa Batak Toba. 2. Untuk mendeskripsikan ciri-ciri konjungsi yang terdapat dalam wacana bahasa Batak Toba. 3. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menemukan perangkatperangkat kohesi dan kategorisasi temuan linguistik dan untuk pemahaman yang mendalam tentang kohesi secant khusus dan analisis wacana secant umum sebagai salah satu bidang dalam linguistik terapan. 2. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi oleh peneliti selanjutnya khususnya untuk sarana kohesi. Metodologj Penelitian 1. Metode Penelitian LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitarif dengan menggunakan pendekatan analisis wacana. Bogdan dan Taylor dalam Moleong, (1990) menyatakan bahwa penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati. 2. Sumber Data Data diambil dari Alkitab terjemahan dalam bahasa Batak Toba, yakni dari keempat Injil. Data berupa kalimat-kalimat yang mengandung konjungsi yang menunjukkan kohesi. 3. Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan diperoleh dari kitab Injil dalam Alkitab berbahasa Batak Toba. Data dikumpulkan dengan cara mencari sarana-sarana kohesi dalam teks-teks yang ada pada Alkitab kemudian mendeskripsikannya. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode baca cennat dan diteruskan dengan teknik lanjutan catat Teknik baca cemiat-cata! digunakan untuk menemukan data yang terdapat dalam teks-teks di Alkitab kemudian memindahkannya kedalam kartu data, lalu diklasifikasikan dan dfoeri ciri agar dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah penelitian tersebut. Secara rinci kegiatan yang dilakukan sebagai berikut: 1. Membaca dengan cennat kalimat yang mengandung kata-kata kohesif. 2. Mencatat kalimat-kalimat tersebut ke kartu data 3. Mengklasifikasikan kalimat-kalimat tersebut 4. Memberi ciri-ciri setiap konjungsi pada kartu data sesuai distribusi, makna, dan fimgsinya. 4. Teknik Analisis Data Proses analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang ada. Penelitian ini menggunakan dokumen sebagai sumber data yang dalam hal ini sebagai sumber datanya diambil dari keempat kitab Injil. Dokumen digunakan untuk keperiuan penelitian, karena alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara rinci analisis data dilakukan sebagai berikut: LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 1. Mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan jenis-jenis kohesi dari teks yang ada. 2. Mendeskripsikan hasil analisis. 3. Menyimpulkan hasil analisis dari ciri-cirinya yang terdapat pada teks-teks tersebut. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian Berdasaikan hasil penelitian tentang sarana kohesi dalam wacana bahasa Batak Toba, khususnya konjungsi, telah ditemukan sejumlah konjungtor, baik yang terdiri dari satu kata maupun dua kata atau lebih. Ada konjungtor yang bergabung dengan jenis kata yang lain, dan ada yang terdiri dari beberapa konjungtor. Sarana kohesi tersebut adalah sebagai berikut, disusim menurut abjad. agia 'sungguhpun, bahkan, apapun, pun beha 'bagaimana' dohot 'dan, dengan, serta' gabe 'jadi. tetapi (untuk berlawanan) ham 'bahkan, sedangkan, malahan' ia 'kalau, jika, bilamana' jadi 'dan, sehingga, maka' laos 'danseterusnya,demikianpun,serta,lantas,masibjuga manang 'atau, apa, entah na 'yang, bahwa' pe 'pun, juga, bahkan' sai 'semoga, kiranya tung 'bagaimana pun, rupanya, kiranya' Deuiikianlah konjungtor-konjungtor dalam wacana baliasa Batak Toba. Konjungtor-konjungtor itu akan dibahas pada bagian berikut dan akan disertai dengan contoh-contoh yang diambil dari Kitab Injil. 2. Pembahasan Dalam pembahasan mi, setiap konjungtor akan dideskripsikan sesuai ciri-cirinya, lalu LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 diikuti beberapa contoh dari wacana Injil dalam bahasa Batak Toba. Contoh-contohnya diterjemahkan dengan mengutip terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia. Adakalanya konjungtor dalam bahasa Batak Toba tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tetapi tetap akan mengambil terjemahan resmi untuk menghindari salah tafsir tentang isi Alkitab. Konjungtor agia termasuk konjungtor yang fiekuensi pemakaiannya sangat rendah. Konjungtor itu juga tidak pernah bergabung dengan konjungtor yang lain. Contohnya sebagai berikut. "Gabe ro ma hata ni si Simon Petrus tu nasida: Laho ma ahu mardengke. Jadi didok nasida ma tu ibana: Dohot ma hami! Laos borhat ma nasida, bongot ma tu parau; alai ndang dapot nasida agia aha di na sabomgin i.(Yoh 21:3) 'Kata Simon Petrus kepada mereka: "Aku pergi menangkap ikan." Kata mereka kepadanya:Kami pergi juga dengan engkau." Mereka berangkat Ialu naik ke perahu, tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-apa." (Yohanes 21:3) Konjungtor ai dapat dipakai di awal kalimat seperti dalam contoh ini, Ai habalgaon do dibahen Pargogo i tu ahu. Na badia do Goarna i. (Luk 1: 49) Karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nainaNya adalah kudus. (Luk 1:49) Dalam keempat Injil ini konjungtor anggiat tidak terialu sering dipergunakan. Dia dapat beidiri sendiri dan dapat pula bergabung dengan konjungtor lain. Dung i ruar ma saluhut pangisi ni huta i mendapotkon Yesus; jadi dung diida, dipangido ma tu Ibana, anggiat ditadingkon luatnasida. (Mat 8:34) Maka keluarlah seluruh kota mendapatkan Yesus dan setelah mereka berjumpa dengan Dia, merekapun mendesak, supaya la meninggalkan daerah mereka. (Mat 8:34) Anggo adalah konjungtor yang banyak dipergunakan dalam keempat Injil ini. la dapat berdiri sendiri dan dapat digabung dengan konjungtor Iain. Si tutu do na hudok on tu ho; Na so tupa do ruarsian i, anggo so sahatgarar mi sude ro di na saduit! (Mat 5:26) Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas. (Mat 5:26) Setelah membahas konjungtor - konjungtor yang telah mangambil contoh-contoh dari Injil LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, maka penulis menemukan bahwa konjungtor dung yang paling tinggi frekuensi pemakaiannya. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Penelitian tentang konjungsi sebagai sarana kohesi dalam wacana bahasa Batak Toba memberikan suatu gambaran yang menarik tentang kohesi, di mana setiap ayat dalam Kitab Injil dipautkan oleh konjungtor. Jumlali konjungtor yang ditemukan 35, ditambah dengan gabungannya ada 131. Okurensinya ada 5961. Setiap konjungtor memiliki ciri sesuai distribusi, makna, dan fimgsinya. Dari segi distribusi, misalnya konjungtor alai menempati posisi awal kalimat atau di tengah kalimat. Konjungtor itu tidak pernah menempati posisi akhir kalimat. Maknanya menyatakan pertentangan dan fungsinya menjadi penghubung antarklausa atau antarkalimat. Ada yang frekwensi pemakaiannya sangat tinggi seperti dung, sedangkan ada yang sangat rendah seperti agia. 2. Saran Sarana kohesi yang lain, seperti pengacuan (referensi), penggantian (substitusi) dan pelesapan (elipsis) belum dapat diteliti dalam kesempatan ini karena keterbatasan waktu, dan konjungsi sudah cukup banyak. Sarana kohesi yang lain disarankan untuk penelitian lanjutan. Daftar Pustaka Alwi Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moebono. 1993 Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Baiyadi, I. 1988 Salam Pembukaan Komunikasi Dalam Wacana Langsung. Makala untuk konferensi dan seminar ke-5. Masyarakat Linguistik di Ujungpandang. Chaer, A. 1995. Linguistik Umum: Rineka Cipta. Jakarta. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Collins 1987. Cobuild English Language Dictionary: London. Halliday, M. A. K. and R. Hasan. 1976. Cohesion in English: Longman Group Ltd: London and New York. Kridalaksana, H. 1982. Kamus Linguistik. P.T. Gramedia, Jakarta. Moleong, L. 1990. Meiodologi PeneJiiian Kualitatif: PT Remaja Rosdakarya: Bandung. Nunan, D. 1992. Mengembangkan Pemahaman Wacana: Teori dan Praktek: PT. Rebia Indah Prakasa: Jakarta. Wameck, J. 2001. Kamus Batak Toba Indonesia. Bina Media: Medan LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Kesepadanan Makna dalam Penerjemahan Modalitas Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Susiyati English Department Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Pertiwi Jakarta Abstract The aim of this paper is to analyze the differences in meaning of modality in English (source language) expressed by modal words and its translation in Indonesian (target language).This paper applies a qualitative method. The samples taken are English sentences containing modality; specifically modal verbs: can, could, may, might, shall, should, ought to, must, will, would, and their translation in Indonesian. The results of the analysis are: first, 73,38% of modality in English translated into Indonesian has equivalent meaning; 4,83% of modality has natural meaning, 8,87% of modality translated into words which do not belong to Indonesian modality has natural meaning, 7,25% of modality translated into Indonesian modality has no equivalent meaning, 5,65% of modality translated into Indonesian neither has equivalent meaning nor belongs to Indonesian modality. Keywords: Modalitas, makna sepadan, makna alami, bahasa sumber, bahasa sasaran 1. Latar Belakang Penerjemahan adalah kegiatan yang rumit karena keanekaragaman bentuk dan makna sehingga penerjemah mengalami banyak kesulitan dalam mencari padanannya di dalam bahasa sasaran. Salah satu kesulitan yang menimbulkan masalah dalam penerjemahan adalah penerjemahan modalitas. Kata kerja modal mempunyai banyak kerumitan karena setiap kata kerja modal mempunyai pengertian yang beragam yang ditentukan oleh konteks kalimatnya. Kata kerja modal telah mengalami perubahan karena setiap penutur bahasa menggunakan kata kerja modal dengan makna yang berbeda-beda sesuai dengan kesukaanya (Kreidler, 1998:240). LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Karena luasnya ruang lingkup modalitas, maka kajian ini hanya membahas kata kerja modal primer yang terdiri atas: can, may, must, will, shall serta kata kerja modal sekunder yang terdiri atas: could, might, ought to, would, dan should (Perkins, 1983:29). 2. Kajian Teori dan Pengembangan Hipotesis 2.1 Modalitas Bahasa Inggris Untuk memperjelas perbedaan makna antara suatu kata kerja modal dengan kata kerja modal yang lain, Quirk (1985:221) mengklasifikasikan kata kerja modal sebagai berikut: a) Can/Could. Maknanya ada tiga yaitu: 1) ‘Kemungkinan’ (possibility). Contoh: - If it is raining tomorrow, the sport can take place indoors. - Her performance was the best that could be hoped for. 2) ‘Kemampuan’ (ability). Contoh: - I can’t help staying here. 3) ‘Izin’ (permission). Contoh: - You can borrow my bike. b) May/might. Maknanya ada tiga yaitu: 1) ‘Kemungkinan’ (possibility). Contoh: - You may pass the test if you study hard. - It might be raining. 2) ‘Izin’ (permission). Contoh: - May I borrow your pen? 3) ‘Harapan’ (wish). Contoh: - May God bless you. c) Must. Maknanya adalah: 1) ‘Kepastian’ (logical necessity). Contoh: - 2) You must be feeling tired. ‘Keharusan’ (obligation). Contoh: - You must be back by ten o’clock. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 3) ‘Larangan’ (prohibition). Makna ini selalu diungkapkan dalam bentuk negasi, contohnya: - You must not tell anyone my secret d) Ought to dan should. Kedua kata kerja modal ini mempunyai makna sebagai berikut: 1) 2) ‘Kepastian’ (tentative inference). Contoh: - The job should be finished by next Monday. - Your homework ought to be submitted tomorrow. ‘Keharusan’ (obligation). Contoh: - You should have met her at the station. e) Will dan would. Maknanya adalah: 1) ‘Keteramalan’ (prediction). Contoh: - If I were a bird, I would fly around the world. - Oil will float on water. 2) ‘Keakanan’ (futurity). Contoh: - You will feel better when you take this medicine. 3) ‘Kepastian’ (logical necessity). Contoh: - She will have had her dinner by now. 4) ‘Kemauan’ (volition). Contoh: Makna ini biasa digunakan untuk ‘permintaan’ (request), ‘penawaran’ (offers), ‘maksud’ (intention), ‘desakan’ (insistence). Would dipakai untuk tuturan yang sangat sopan. Contoh: - Will/would you help me to close the door? (request) - I’ll do it if you like. (offer) - I’ll write as soon as I can. (intention) - She would keep interrupting me. (insistence) f. Shall. Makna kata kerja modal ini sama dengan will, namun shall jarang sekali digunakan dalam penggunaan bahasa Inggris dewasa ini. 1) ‘Keteramalan’ (prediction). Contoh: - According to the polls, Obama shall win the election. 2) ‘Kemauan’ (volition). Makna ini digunakan untuk menawarkan sesuatu pada lawan bicara. Contoh: LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 - Shall I deliver the goods to your home address? 2.2 Modalitas Bahasa Indonesia Dengan memperhatikan unsur leksikal yang merupakan pengungkap modalitas serta makna yang dikandungnya, pengungkap modalitas Indonesia digolongkan menjadi empat jenis modalitas, yaitu: a) Modalitas Intensional. Modalitas ini dibagi empat kelompok berdasarkan makna leksikal dari pengungkap modalitasnya, yaitu: 1). ‘Keinginan’. Pengungkap modalitas ‘keinginan’ dibagi menjadi empat berdasarkan kadarnya (Hassan Alwi, 1992:56), yaitu: a> Untuk mengungkapkan kadar ‘keinginan’, pengungkap modalitas yang digunakan adalah: ingin, menginginkan, mengingini, berkeinginan, menghendaki, berhasrat, mendambakan. Contoh: Saya ingin menunaikan ibadah haji. b> Untuk mengungkapkan kadar ‘kemauan’, pengungkap modalitas yang digunakan adalah: mau, hendak, akan, bertekad, berketetapan. Contoh: Kalau kita hendak beteman, panggil saja aku Ega. c> Untuk mengungkapkan kata ‘maksud’, pengungkap modalitas yang digunakan adalah: mau, hendak, akan, bermaksud, berniat, berhajat, bernadar, berkaul. Contoh: Saya akan menemuimu besok. d> Untuk mengungkapkan kadar ‘keakanan’, pengungkap modalitas yang dipakai sama dengan pengungkap modalitas kadar ‘kemauan’ dan ‘maksud’. 2) ‘Harapan. Modalitas yang bermakna ‘harapan’ menggunakan pengungkap modalitas sebagai berikut: harap, harapkan, mengharapkan, mengharap, berharap, hendaknya, berdoa, doakan, mendoakan, mudah-mudahan, moga-moga, semoga (Hassan Alwi, 1992:62). Contoh: Semoga teman saya lekas sembuh. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 3).’Ajakan’ dan ‘Pembiaran’. Pengungkap modalitas yang mempunyai makna ‘ajakan’ adalah: ajak, mengajak, imbau, mengimbau, mari(lah), ayo(lah). Contoh: Ayo kita pergi. Pengungkap modalitas yang bermakna ‘pembiaran’ adalah: biar(lah), biarkan(lah) (Hasan Alwi 1992:66). Contoh: Biarkan aku pergi. 4). ‘Permintaan’ Pengungkap modalitas yang mempunyai makna ‘permintaan’ adalah: sudilah, sukalah, saya minta, saya mohon, silakan, coba, tolong, mohon (Hassan Alwi, 1992:72). Contoh: Tolong ambilkan buku ini. b. Modalitas Epistemik Modalitas epistemik diklasifikasikan menjadi: 1). ‘Kemungkinan’. Pengungkap modalitas yang mempunyai makna ‘kemungkinan’ adalah: dapat, bisa, boleh, mungkin, barangkali, dapat saja, biasa saja, boleh saja, bisa-bisa, bisa jadi, boleh jadi (Hassan Alwi, 1992:103). Contoh: Udara di luar dingin sekali, kamu bisa kedinginan bila tidak memakai mantel. 2) ‘Keteramalan’ Pengungkap modalitas yang bermakna ‘keteramalan’ adalah: akan, saya pikir, saya rasa, saya kira, saya duga, dikira, diduga, konon, sepertinya, agaknya, tampaknya, tampaknya, nampaknya, rasanya, kelihatannya, diperkirakan, kabarnya, kayaknya, rasa-rasanya, menurut pendapat saya, menurut hemat saya (Hasan Alwi, 1992: 110). Contoh: Saya rasa sebentar lagi hujan akan turun. 3) ‘Keharusan’ Pengungkap modalitas ini adalah: harus, mesti, wajib, patut, perlu, seharusnya, semestinya, sebaiknya, sepantasnya, seyogyanya, selayaknya, sepatutnya, patutpatutnya, pantas-pantasnya (Hasan Alwi,1992:116). Contoh: Saudara harus memberi contoh yang baik. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 4) ‘Kepastian’ Pengungkap modalitas ini adalah: pasti, tentu, tentunya, tentu saja, sudah barang tentu, niscaya, saya yakin, saya percaya, saya merasa pasti, saya memastikan, dipastikan (Hasan Alwi,1992:130). Contoh: Saya pasti datang ke pesta ulang tahunmu. c. Modalitas Deontik Pengungkap modalitas ini mempunyai makna ‘izin’ dan ‘perintah’ yaitu: 1) ‘Izin’ Pengungkap modalitas bermakna ‘izin’ adalah: boleh, dapat, bisa, perkenankan, memperkenankan, diperkenankan, izinkan, mengizinkan, diizinkan, perbolehkan, memperbolehkan, diperbolehkan. 2) ‘Perintah’ Pengungkap modaitas ini adalah: wajib, mesti, harus, haruskan, mengharuskan, diharuskan, perintahkan, memerintahkan, diperintahkan. larang, melarang, dilarang, tidak boleh, jangan. d. Modalitas Dinamik Modalitas ini mempunyai makna ‘kemampuan’ dengan pengungkap modalitasnya yaitu: dapat, bisa, mampu, sanggup (Hassan Alwi, 1992:235) Contoh : Saya dapat menari. 3. Metode Penelitian Data kajian ini adalah 124 kalimat modalitas bahasa Inggris yang terdapat di dalam novel “Harry Potter and the Chamber of Secrets” karya J.K.Rowling dan novel terjemahannya di dalam novel “Harry Potter dan Kamar Rahasia” oleh Listiana. Data yang akan dianalisis ditulis di atas kartu dan diberi kode. Contoh: 065/CS20/KR-28/Could. Maksudnya, nomor urut data 65, dikutip dari novel the Chamber of Secrets, halaman 20 dan terjemahannya di dalam novel Kamar Rahasia, halaman 28, dengan jenis kata kerja modal could. Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 bagaimana kesepadanan makna modalitas bahasa Inggris dan padanannya dalam bahasa Indonesia. Dengan mengetahui kesepadanan makna modalitas diharapkan kajian ini dapat memberi pemahaman yang lebih mendalam mengenai cara menerjemahkan modalitas bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. 4. Hasil Analisis dan Pembahasan Hasil analisis menunjukkan bahwa penerjemahaan 124 kalimat bahasa Inggris yang mengandung kata kerja modal ke dalam bahasa Indonesia terdapat 91 kata kerja modal yang diterjemahkan ke dalam pengungkap modalitas bahasa Indonesia dengan makna yang sepadan, seperti data nomor 005/CS-10/KR-12/COULD. Bahasa Inggris Bahasa Indonesia ‘This could well be the day I make the “Hari ini aku mungkin akan membuat biggest deal of my career’, said uncle transaksi terbesar dalam karierku.” kata Vernon. (Makna kemungkinan) Paman Vernon. (Makna Kemunkinan) Sebanyak 6 kata kerja modal bahasa Inggris diterjemahkan kedalam pengungkap modalitas bahasa Indonesia dengan makna yang natural (wajar), seperti data nomor 045/CS110/KR-180/WILL. Bahasa Inggris ‘I’ll make it,’ Lockhart butted in. (Makna‘Kemauan’) Bahasa Indonesia “Biar aku yang buat,” Lockhart menyela.”(Makna ‘pembiaran’) LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Data di atas menunjukkan bahwa makna ‘kemauan’ (will) diterjemahkan menjadi makna ‘pembiaran’ (biar). Namun demikian maknanya wajar (natural) karena bila diterjemahkan “Aku yang akan membuatnya” menjadi kurang wajar dalam penggunaan Bahasa Indonesia. Sebanyak 11 kata kerja modal bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bukan pengungkap modalitas bahasa Indonesia, tetapi dengan makna yang wajar, seperti data 032/CS-13/KR-18/WILL. Bahasa Inggris Bahasa Indonesia ‘Eat quickly! The Mason will be here “Makan cepat! Mr. Dan Mrs. Manson soon!’ snapped Aunt Petunia,… (Makna sebentar lagi datang!” kata Bibi Petunia galak,… (tidak diterjemahkan) keakanan) Data di atas menunjukkan bahwa makna ‘keakanan’ (will) tidak diterjemahkan karena bila diterjemahkan menjadi “Makan cepat! Mr dan Mrs Mason akan kemari sebentar lagi.” Terjemahan ini tidak salah tetapi kurang natural (wajar). Sebanyak 9 kata kerja modal bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam pengungkap modalitas bahasa Indonesia dengan makna yang tidak sepadan, seperti data nomor 067/CS116/KR-190/WOULD Bahasa Inggris Bahasa Indonesia ‘….Slytherin would help you on the way “…Slytherin bisa membantumu mencapai to greatness, no doubt about that….’ kemashyuran, (Makna kepastian) tak diragukan lagi…” (Makna kemungkinan) Data di atas menunjukkan bahwa makna ‘kepastian’ dari kata kerja modal would diterjemahkan menjadi makna ‘kemungkinan’. Agar penerjemahannya sepadan maka would sebaiknya diterjemahkan menjadi ‘pasti’. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Sebanyak 7 kata kerja modal bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bukan pengungkap modalitas bahasa Indonesia dengan makna yang tidak sepadan, seperti data nomor 107/CS-247/KR-417/MIGHT Bahasa Inggris Bahasa Indonesia ‘Who knows what the consequences might “Siapa yang tahu apa konsekuensinya had been otherwise…’(Makna kalau tidak…” (tidak diterjemahkan) kemungkinan) Data di atas menunjukkan bahwa might tidak diterjemahkan. Agar maknanya sepadan, maka might sebaiknya diterjemahkan menjadi mungkin atau kira-kira menjadi “Siapa yang tahu apa kira-kira konsekuensinya kalau tidak….” 5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan. Kata kerja modal bahasa Inggris tidak selalu dapat diterjemahkan secara sepadan ke dalam pengungkap modalitas bahasa Indonesia karena kedua bahasa mempunyai sistem bahasa yang berbeda. Ternyata sebanyak 13,70% kata kerja modal bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan makna yang wajar. Hal ini dimungkinkan karena apabila kesepadanan bentuk dan makna tidak dapat dipertahankan maka hal yang harus dipertahankan adalah kesepadanan makna sesuai dengan penggunaan bahasa Indonesia (bahasa sasaran) yang wajar dan berterima. Sedangkan 73,38% makna modalitas bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam pengungkap modalitas bahasa Indonesia dengan makna yang sepadan. Sementara sisanya 12,92% diterjemahkan dengan makna yang tidak sepadan. 5.2 Saran Penerjemahan kata kerja modal bahasa Inggris ke dalam pengungkap modalitas bahasa Indonesia sebaiknya dilakukan bukan saja memerhatikan konteks linguistiknya tetapi LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 juga konteks situasi yang menyertai peristiwa yang diungkapkan oleh kalimat yang ingin diterjemahkan, seperti bentuk tenses dalam bahasa Inggris apakah bentuk kala kini, lampau, atau kala akan. Hal ini penting terutama untuk makna modalitas ‘keakanan’, ‘ keteramalan’, dan ‘kemauan’. Dengan memahami seluk beluk penerjemahan modalitas dan memperbanyak latihan menerjemahkan, seorang penerjemah diharapkan mempunyai kepekaan dalam menentukan padanan kata yang paling wajar dan berterima di dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran). Daftar Pustaka Alwi, Hasan, 1992, Modalitas Dalam Bahasa Indonesia, Seri ILDEP Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ______. Et. al., 2000. Tata Bahasa Buku Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Coates, J.C. 1983, The Semantics of Modal Auxiliaries, London: Oxford University Press. Kreidler, Charles W., 1998, Introducing English Semantics, London: Routledge. Moleong, Lexy J., 1989, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Perkins, Michael R., 1983, Modal Expressions in English, New Jersey: Ablex Publishing Corporation. Quirk, Randolph, 1978, A Grammar of Contemporary English, London: Longman Group Limited. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Metode Humanistik dalam Pengajaran Bahasa Asing Karmawan Fakultas Agama Islam Universitas Islam Tanggerang Abtraksi Humanistik dalam dunia pendidikan mungkin terdengar terlalu ambisius, karena term tersebut seolah-olah menyindir konsep pendidikan yang tidak manusiawi dalam arti penuh “kekejaman” didalamnya. Padahal, dalam konteks pendidikan, konsep humanistik lebih merupakan revisi terhadap konsep pendidikan yang lebih menekankan kepada pengembangan potensi intelektual saja. Metode humanisme memandang bahwa di samping aspek kognitif, aspek afektif seperti sikap, perasaan, minat, dan motivasi merupakan bagian yang penting dan menentukan dalam proses pembelajaran bahasa agar siswa dapat menghargai sebagai individu yang utuh dalam proses pengembangan bahasanya. Keywords: humanistik, pengajaran, bahasa asing 1. Latar Belakang Kajian bahasa memiliki lingkup yang luas. Di samping membahas substansi bahasa itu sendiri (linguistic/’ilm al-Lughah) dan teori-teori di dalamnya (linguistic teoritik/’ilm al-Lughah al-Nazharat), kajian yang juga harus mendapat perhatian yang besar adalah bagaimana aplikasi dari teori-teori kebahasaan tersebut dapat dilaksanakan (linguistik terapan/’ilm al-lughah al-tathbiqi).( Muhbib Abdul Wahhab, 2008: 35) Kajian linguistik terapan ini mencermati, mengawasi dan mengkritisi aplikasi teori-teori kebahasaan dalam proses pembelajaran. (Muhbib Abdul Wahhab, 2008: 35) Sangat disayangkan kondisi pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan formal saat ini lebih menggambarkan kondisi kelas mati, di mana pembelajaran hanya di dominasi metode menghafal, karena siswa harus menghafalkan sekian banyak materi untuk kemudian ditagih dalam ujian. Menumpukkan materi dan informasi adalah metode dan sekaligus tujuan pembelajaran model ini. Dengan demikian ruang berpikir menjadi sangat sedikit, apalagi ruang untuk menganalisis. (Abdurrahman Mas’ud , 2002: 24). Senada dengan hal ini, Al-Attas juga menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang sangat sentralistik sering mengesampingkan perkembangan dan kebahagiaan sejati individu yang seharusnya diperoleh selama proses pendidikan. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 (Wan Daud Wan Moh Nor, terj Hamid Fahmy, 1988: 15-16). Hal serupa juga dikemukakan oleh Muhammad Yunus dan Muhammad Qasim Bakr dalam AlTarbiyah wa al-Ta’lim, Al-Juz al-Awwal. ( Padahal dalam UU Sisdiknas 2003 nyata dijelaskan bahwa aktifitas dan kreatifitas siswa lebih ditekankan dibanding dominasi guru dalam pembelajaran, (Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI 2006: 4). Hal ini memberi dampak perubahan pengertian bahwa pendidikan bukan lagi guru mengajar dengan sekedar ceramah menyampaikan materi (teacher centered), tetapi guru mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar pembelajar aktif mengembangkan potensi dirinya (student centered), Makmun mengatakan bahwa guru harus mampu menciptakan situasi dan mengarahkan proses pembelajaran dengan cara yang demokratis dan humanis. (Abin Syamsuddin, Makmun, 2005: 5) Dari gambaran di atas, dapat terlihat bahwa sikap guru dalam mengajar dan bagaimana membangun suasana pembelajaran dengan memperhatikan kebutuhan dan sisi kemanusiaan siswa, mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran apapun, termasuk dalam pembelajaran bahasa asing. Di era globalisasi seperti sekarang ini, hubungan dan komunikasi antara bangsa-bangsa telah membuat tanpa batas, penguasaan bahasa asing mutlak diperlukan. Oleh karena itu, pengajaran bahasa asing di lembaga-lembaga pendidikan formal perlu senantiasa ditingkatkan agar dapat membantu pembelajar untuk menguasai bahasa asing yang dipelajari. Dengan demikian, diharapkan masalah yang selama ini terjadi dikalangan pembelajar, yakni: anggapan bahwa bahasa asing hanya sebagai beban dan pelajaran yang ditakuti dan membosankan, dapat diatasi Proses pembelajaran bahasa Arab sebagai salah satu bahasa asing yang diajarkan di Madrasah misalnya, pada saat ini masih didominasi oleh metode ceramah tata bahasa dan drill kosa kata atau kalimat, disamping itu buku-buku pelajaran bahsa Arab di Indonesia belum mendukung terlaksananya konsep student centered learning. Hasannudin dalam penelitiannya menunjukkan bahwa otentisitas dan materi dan pilihan kosa kata dalam buku pelajaran bahasa Arab di Indonesia tidak mendukung tercapainya kemampuan komukatif pembelajar. (Lihat Hasanuddin, 2008: 168-169). Hal ini juga terjadi pada bahan ajar bahasa asing lainnya. Sebuah hasil penelitian LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 menunjukkan bahwa bahan ajar yang ditetapkan dan diterbitkan oleh Depdiknas masih kurang baik (Hanya 5.0% dari guru tingkat SMA yang menilai bahwa bahan ajar tersebut baik). (Lihat Arsyad, 2003: 121-122). Kondisi yang demikian menyebabkan para pembelajar marasakan situasi pembelajaran bahasa Arab yang tidak menyenangkan, membosankan, bahkan siswa pun merasa jenuh dan kemampuan mereka dalam bahasa Arab pun kurang berkembang secara optimal. Di samping karena kelemahan di atas, faktor minat terhadap pembelajaran bahasa (Arab) juga masih menjadi masalah utama kesulitan pembelajaran ini. Sebagai contoh hasil penelitian Abdul Aziz Teo menunjukan bahwa faktor kompetensi tenaga pengajar dan kurangnya minat pembelajar masih menjadi faktor utama penyebab kurang berhasilnya pembelajaran bahasa Arab. (Abdul ‘Aziz Teo, Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002: 152-153). Padahal minat sangat berpengaruh bagi keberhasilan belajar seseorang. Minat dapat berfungsi sebagai kekuatan yang akan menggerakkan seseorang untuk belajar. Walaupun pada dasarnya pemunculan minat siswa tergantung dari kebutuhan, dorongan dan bakat mereka, (M. Ngalim Purwanto, 1992: 104), Lihat juga Sartinah Hardjono, 1998: 4-5) namun minat seseorang dapat berubah atau dirubah melalui manipulasi lingkungan, yaitu adanya rekayasa dengan menciptakan situasi belajar mengajar yang memungkinkan timbulnya minat positif terhadap pengajaran tersebut. (William J. Mc Gure, 1975: 270). Kondisi demikian juga terjadi pada pelajaran bahasa asing lainnya, tidak terkecuali pada pelajaran bahasa Inggris, padahal pembelajaran bahasa Inggris telah diterapkan sejak tingkat pendidikan dasar, namun kemampuan sebagian besar pelajar di Indonesia terhadap bahasa ini masih sangat memprihatinkan. Hal ini tentu memerlukan perhatian yang besar mengingat penguasaan bahasa asing pada era globalisasi ini sangat penting. Perlu adanya suatu usaha pembaharuan untuk menyediakan situasi pembelajaran bahasa yang menyenangkan dan mendukung kemajuan kemampuan siswa. Hal ini sebagaimana tercantum dalam PP RI No.19 Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan, dalam pasal 19 yang menyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi pembelajar untuk berpartisipasi LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakara, kreatifitas dan kemandirian sesuai dengan bakat minat dan perkembangan fisik serta psikologis pembelajar. 2. Kajian Teori Teori Belajar Humanistik Kata ‘humanistik’ sebagaimana telah dibahas sebelumnya dimana sering dikaitkan dengan term humanisme – dapat memberi kesan yang membingungkan dalam memaknainya. Namun, dari semua makna tersebut terdapat makna yang dapat diterima secara universal, bahwa pendekatan humanistik bertujuan untuk berkembangnya potensi kemanusiaan setiap individu secara utuh. Kurtz, dalam Earl W. Stevick, Humanism in Language Teaching, (1990:23). Hal senada dikemukakan oleh Robert E. Slavin, Educational Psychology Theory and Practice, (1994:296). Hal ini dikatakan juga oleh Abdul Munir Mulkhan, bahwa humanisasi pendidikan dapat dijalankan dengan bentuk demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan menjadi syarat mutlak bagi terbentuknya suasana dialogis dan humanis. Di dalam proses belajar mengajar dijalankan dengan penuh keterbukaan, peserta mendapat kesempatan penuh untuk mengekspresikan dirinya. Lihat Khilmi Arif, Humanisasi Pendidikan dalam Perspektif Islam (Telaah atas Pemikiran Abdul Munir Mulkhan), Tesis, Universitas Muhammadiyyah Malang, 2002. Sedangkan Dede Rosyada menerjemahkan makna demokrasi dalam proses pendidikan adalah usaha memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk belajar secara maksimal dan nyaman. Usaha yang dilakukan adalah dengan menciptakan sekolah sebagai second home bagi para pembelajar, sehingga mereka betah menghabiskan waktunya di sekolah dengan belajar, berlatih, berdiskusi, menyelesaikan tugastugas, membaca dan aktivitas belajar lainnya. (Lihat Dede Rosyada, 2007: 18-19). Walaupun dalam tataran teoritis telah ditegaskan bahwa proses pendidikan pada prinsipnya merupakan proses pengembangan moral, keagamaan, aktivitas dan kreativitas pembelajar melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar, Hal ini sebagaimana tercantum dalam PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dalam pasal 19 dinyatakan: “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”. Namun dalam implementasinya masih banyak kegiatan pembelajaran yang mengabaikan aktivitas dan kreativitas pembelajar tersebut. Hal ini banyak disebabkan oleh model dan sistem pembelajaran yang lebih menekankan pada penguasaan kemampuan intelektual saja, dan proses pembelajaran berpusat pada guru (teacher-centered learning), sehingga keberadaan pembelajar di kelas hanya menunggu uraian guru, kemudian mencatat dan menghafalnya. (Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, 2006:117). Sebagaimana pula dikatakan oleh Ibnu Sina, bahwa jika pembelajaran hanya didominasi oleh aktivitas menghafal, maka potensi pembelajar belum dikembangkan secara proporsional, padahal pendidikan harus diarahkan kepada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang untuk kesempurnaan yang menyangkut perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti atau akhlak (lihat Ibnu Sina, 1906:107). Hal ini sering pula terjadi pada proses pembelajaran bahasa; guru memberikan pertanyaan kepada pembelajar mengenai teks yang telah dibaca di kelas, yang jawabannya bisa diambil dari teks tanpa merubah kalimat, kemudian pembelajar disuruh menghafalkan jawaban yang telah diperiksa guru. Dengan demikian, pembelajar hanya diminta untuk mengingat kembali dan mereprodusir materi saja. Dalam proses ini, pembelajaran hanya melatih daya ingat saja, tidak melatih dan memberi kesempatan kepada pembelajar untuk mampu mengungkapkan setiap materi baru dengan aktif dan kreatif. (Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, 2006:117). Sebagaimana pula dikatakan oleh Ibnu Sina, bahwa jika pembelajaran hanya didominasi oleh aktivitas menghafal, maka potensi pembelajar belum dikembangkan secara proporsional, padahal pendidikan harus diarahkan kepada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang untuk kesempurnaan yang menyangkut perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti atau akhlak (lihat Ibnu Sina, 1906: 107). Model pembelajaran yang berpusat pada guru merupakan pengaruh paradigma lama (model pengajaran tradisional) tentang mengajar (lihat Richard I. Arends, 2008:25). Pengajaran dianggap berhasil jika pembelajar menguasai pengetahuan yang sebanyak-banyaknya yang ditransfer guru. Paradigma ini masih banyak melekat LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 dalam tradisi pendidikan di Indonesia, bahwa dalam proses belajar guru adalah sentral; dengan perbandingan aktivitas guru 100% dan pembelajar 0% (lihat Ahmad Tafsir, 2006:165-166). Dengan demikian, konsep student-centered learning yang menempatkan guru sebagai fasilitator (bisa digambarkan dengan konsep aktivitas guru 50% dan pembelajar 50%, atau bahkan guru 25% dan pembelajar 75%) belum dapat diterima. Nurcholis Madjid (1997:23) melihat ”paradigma lama” ini terutama masih melekat kuat pada tradisi pembelajaran di pesantren-pesantren (tradisional), dimana kegiatan pembelajaran diisi dengan kegiatan penyampaian materi pengajaran dari guru (kyai) kepada pembelajar (santri). Dalam proses ini para santri kurang diberi kesempatan menyampaikan ide-idenya apalagi untuk mengajukan kritik apabila menemukan kekeliruan dalam pelajaran hingga daya nalar dan kreativitas berfikir menjadi terhambat. Sebaliknya, tekanan pada hal yang bernilai ”mistik” lebih banyak terasa. Lebih jauh Nurkholis menggambarkan, santri akan selalu memandang bahwa kyai atau gurunya sebagai orang yang harus dihormati, malah penghormatan tersebut semakin mendekati pada pengkultusan, karena guru dianggap memiliki kekuatan gaib yang bisa membawa keberuntungan atau celaka. Karena itu santri berusaha untuk menunjukkan ketaatannya (yang kadang terlihat terlalu berlebihan) kepada gurunya. (Nurkholis Madjid, 1997: 24). Apabila merujuk kepada salah satu riwayat dari Ibnu Mas’ud, yang menggambarkan ketika ada salah seorang shahabat yang mendatangi Rasulullah SAW. dengan membungkuk-bungkuk, Rasulullah melarangnya dan bersabda: ”Bersikaplah seperti biasa, aku bukan seorang raja” (lihat Firdaus, diakses dari : http://202.152.33.84/index.php?option=com_content&task=view&id=14461&Itemid =46, pada 28 Juli 2008, 12:30). Riwayat senada dapat ditemukan pada kitab Sunan Abi Daud yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, pada saat seseorang datang kepada Rasulullah SAW. dan beliau sedang berada dalam suatu majlis. Maka ada salah seorang dari shahabat (Ziyad bin Abd al-Rahman) yang berdiri dari tempat duduknya dan berpindah ke tempat lain dengan maksud ingin menghormati orang yang baru datang tersebut agar dapat duduk di tempatnya, akan tetapi Rasulullah melarangnya (lihat Abu Daud al-Sijistaniy, Juz 14, h. 63, http://www.islamiccouncil. Com). LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Nampak bahwa Islam tidak mengajarkan sikap menghormati yang berlebihan, apalagi sampai mengkultuskan. Nurkholis Madjid mengatakan bahwa sikap penghormatan dari santri kepada kyai yang berlebihan seperti digambarkan diatas adalah konsep budaya Jawa yang ada sebelum Islam datang. Karena itu sifatnya banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Hindu-Budha, atau sekurang-kurangnya konsep stratifikasi masyarakat Jawa itu sendiri. (Nurkholis Madjid, 1997:23). Bahkan lebih tegas lagi Boissard menggambarkan bahwa Al-Qur’an menghukum tiap-tiap perpecahan dan stratifikasi sosial (QS. Al-Qashash, 28: 4: Sungguh Fir’aun telah berbuat sewenangwenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah) –(lihat Marcel A. Boissard,t.t.:70) . Padahal apabila merunut sejarah, budaya tersebut tidak diajarkan dalam Islam. Tsalabiy menggambarkan bahwa guru-guru di Madrasah-Madrasah Nizhamiyyah senantiasa mengajarkan bahwa setiap manusia harus dihargai dan dihormati tanpa memandang status sosial mereka (lihat Ahmad Tsalabiy, t.t.: 244) Di satu sisi, penulis melihat bahwa banyak sekali sisi positif konsep studentcentered learning yang merupakan prinsip utama pendekatan humanistic ini. Hal ini dinyatakan oleh Stevick dengan mengatakan bahwa salah satu dimensi pembelajaran yang humanis adalah menekankan pada sentralitas pembelajar; apa yang membuat pembelajar tertarik untuk belajar, apa yang mereka butuhkan dan apa yang bisa mereka bawa sebagai hasil belajar (liha Patrick Early, ELT Documents 113:7, lihat juga Harold W. Bernard & Wesley C. Huckins, 1974: 46-47).Namun di sisi lain, penulis juga tidak dapat lantas menyalahkan suatu lembaga yang telah terbiasa dengan ”kultur” teacher-centered sebagaimana digambarkan di atas. Bisa jadi, mereka juga tidak begitu saja bisa menerima konsep ”kultur” baru yang ditawarkan karena mereka telah merasa begitu nyaman di dalamnya. Konsep student-centered tidak berarti mengurangi penghormatan kepada guru, ataupun menafikan keberadaan dan fungsi guru sepenuhnya, malah justru peran guru akan lebih memberi arti, dimana guru tidak hanya berperan dalam transfer of knowledge namun juga akan memberikan andil yang sangat besar dalam transfer of value. Nilai-nilai positif yang diberikan akan semakin memupuk kemandirian dan kreativitas pembelajar. Dengan demikian, pembelajar akan lebih memaknai setiap LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 ilmu yang disampaikan, dan pengalaman belajar mereka akan menjadikan mereka individu yang lebih matang dan mandiri. Konsep student-centered ini juga merefleksikan prinsip belajar yang sesungguhnya. Proses belajar diharapkan mampu menghasilkan perubahan perilaku pembelajar yang relatif permanen. Artinya, peran penggiat pendidikan (guru, dosen, kyai) adalah sebagai pelaku perubahan itu (agent of change). Proses belajar juga diharapkan mampu menjadi sarana optimalisasi dari setiap potensi tak terbatas yang dimiliki individu pembelajar yang dapat ditumbuhkembangkan tanpa henti (hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Chaedar Alwasilah dalam Elaine B. Johnson, t.t.:18-19, lihat juga Kunandar, 2007: 40-43). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Prinsip Pendekatan Bahasa Asing Dalam prinsip-prinsip pengajaran bahasa asing, dijelaskan bahwa belajar membutuhkan proses yang dibangun dalam suasana yang gembira dan menyenangkan (Nashif Musthafa Abdul ‘Aziz, 1983: 9). Senada dengan pandangan di atas, AlSyaibuny juga menyatakan bahwa pembelajaran dapat berjalan lebih baik dan efektif bila dilakukan dalam suasana menyenangkan, menggembirakan, bergairah, penuh motivasi, dan tidak membosankan. (Umar Muhammad Taumy al-Syabany, terj. Hasan Langgulung, 1979:619, lihat juga Gordon Dryden & Jeannette Vos, 1999:22). Dengan demikian, maka pola lama dalam pembelajaran bahasa yang hanya di Isi dengan kegiatan mendengar, hanya menirukan, menghafal dan mengulang harus diubah. Pendekatan, metode dan teknik (Edward Anthony (1963) menjelaskan konsep ketiga istilah tersebut sebagai berikut: Pendekatan adalah seperangkat asumsi berkenaan dengan hakekat bahasa dan belajar mengajar bahasa. Metoe adalah rencana menyeluruh penyajian bahasa sistematik berdasarkan pendekatan yang ditentukan. Teknik adalah kegiatan spesifik yang diimplementasikan di dalam kelas, selaras dengan metode dan pendekatan yang telah dipilih. Dengan demikian, pendekatan bersifat aksiomatis, metode bersifat prosedural dan teknik bersifat operasional (lihat Ahmad Fuad Effendy, 2005:6). Pengajaran dan pembelajaran bahasa asing dari waktu LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 ke waktu mengalami perkembangan sesuai dengan berkembangnya pemikiran para ahli pengajaran bahasa. Lebih dari itu, hasil-hasil penelitian dalam bidang pengajaran bahasa itu sendiri memberikan kontribusi kepada lahirnya pendekatan dan metode baru dalam pengajaran bahasa. Berbagai pendekatan dalam pengajaran bahasa, dijelaskan oleh Thu’aimah, diantaranya adalah al-madkhal al-insaniy (pendekatan humanistik),al-madkhâl altiqniy (pendekatan berbasis media), al-madkhâl al-tahliliy wa ghair al-tahlîliy (pendekatan analisis dan non-analisis), serta al-madkhâl al-ittishâliy (pendekatan komunikatif)-(Rusdi Ahmad Thua’aimah, 1989:115-118). Dari keempat pendekatan yang diuraikan tersebut, pendekatan humanistik merupakan fokus bahasan yang menarik perhatian penulis untuk dikaji lebih jauh dalam penelitian ini. Pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa asing dicetuskan oleh Gertrude Moskowitz (1978:10, lihat juga Earl w. Stevick, 1990:24). Ia adalah seorang profesor pendidikan bahasa asing dari Temple University. Pendekatan humanistik ini dimaksudkan sebagai pendekatan yang mengutamakan peranan pembelajar dan berorientasi pada kebutuhan dasar pembelajar, Kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimaksud adalah kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta, kebutuhan penghargaan, kebutuhan untuk mengetahui, kebutuhan estetika dan kebutuhan mengaktualisasikan diri (lihat Abraham H. Maslow, 1968, lihat juga Abdullah, Abdurrahman Shaleh, 2005). bukan hanya sebagai alat berlangsungnya stimulus-respon saja (Rusdi Ahmad Thua’aimah, 1989:115).Thu’aimah juga menegaskan bahwa perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan psikologis pembelajar adalah hal yang harus didahulukan. Mahmoudi dan Snibbe Kenneth Chastain, (1976:14) dalam Median Mutiara, Pentingnya Perasaan Pembelajar dalam Proses Belajar Mengajar, Tesis, UNESA Surabaya, 2006, mengadakan sebuah penelitian komparatif mengenai penerapan pendekatan humanistik. Keduanya mengatur sedemikian rupa agar pengajar pada kelas eksperimen memberikan perhatian yang besar, kasih sayang, acceptance, dan penghargaan kepada setiap pembelajar, sedangkan pada kelas kontrol tidak menerapkan pendekatan ini. Hasil pada akhir semester menunjukkan meningkatnya prestasi belajar pembelajar dan menurunnya ketegangan kelas pada kelas eksperimen yang diberikan perhatian lebih dibanding kelas kontrol. Dari paparan diatas, dapat LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 diambil pelajaran bahwa proses pembelajaran bahasa hendaklah tidak hanya difokuskan kepada metode ataupun teknik penyampaian materi di dalam kelas. Namun ada hal-hal lain yang sangat penting diperhatikan, yakni bahwa sikap dan kondisi psikis pembelajar selama proses pembelajaran akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pelajaran itu sendiri. Sebagaimana Sartinah Hardjono menyatakan bahwa setiap guru bahasa asing tidak hanya dituntut untuk memiliki kemampuan dalam penguasaan bahasa asing yang diajarkan dan kemampuan dalam penerapan metode serta teknik pembelajaran, tetapi juga dituntut untuk menguasai ilmu psikologi belajar mengajar (lihat Sartinah Hardjono, 1998:1). Dengan kata lain, ada pendekatan dari sisi ranah afektif pembelajar yang harus diperhatikan karena pembelajaran tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya perhatian pada faktor psikologis mereka (lihat Iskandarwassid dan Dadang Sunendar, 2008:44-45), yang menyatakan bahwa ada banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pembelajaran bahasa sebagai penunjang keberhasilan pembelajaran bahasa itu sendiri. Ilmu yang dimaksud diantaranya adalah ilmu jiwa belajar. Lihat juga Gertrude rasionalisme. Rasionalitas adalah penggunaan rasio, dan ini dianjurkan oleh Islam. Sedangkan Rasionalisme adalah paham yang menyingkirkan agama dalam pemikiran, dan ini jelas ditolak oleh Islam (lihat Ahmad Tafsir, 2006:60-61). Bahkan Boissard mengatakan bahwa sebagian besar reformis Islam berpendapat bahwa Islam dapat dirasionalisasikan tanpa mengurangi otoritas Al-Qur’an dan Sunnah, bahkan Muhammad Abduh menegaskan bahwa rasionalisasi tersebut dilakukan tanpa “meminjam” pemikiran Barat (lihat Marcel A. Boisard, 2003:83-84). Azhar Arsyad (2003:132) bahkan dengan tegas menyatakan bahwa diantara penyebab kurang berhasilnya pembelajaran bahasa asing (Arab) di sekolahsekolah saat ini diantaranya adalah karena tidak adanya komunikasi humanistik antara individu yang ada di dalam kelas, baik antara guru dengan pembelajar maupun antara pembelajar sendiri. Penelitian ini merupakan kritik dan kegelisahan penulis akan proses pembelajaran yang masih bersifat kaku, kurang mengutamakan peran kreatif pembelajar dan kurang memperhatikan kebutuhan dasar pembelajar sebagai individu manusia. Atas dasar tersebut, penulis memandang perlu untuk mengadakan penelitian dan kajian lebih mendalam mengenai aplikasi pendekatan humanistik dalam LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 pembelajaran bahasa asing; bagaimana konsep pendekatan humanistik tersebut serta menguji sejauh mana penerapan yang telah dilakukan dalam pembelajaran di kelas. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mendesain model yang lebih baik dalam pembelajaran bahasa asing, khususnya pembelajaran bahasa Arab di Madrasah Aliyah. 3.2 Pendekatan Humanistik; dari Tinjauan Filosofis dan Psikologis Implementasinya dalam Pendidikan Filosofi dan psikologi humanistik memberikan landasan untuk memahami sisi kemanusiaan setiap individu dalam proses pendidikan, sehingga dikatakan bahwa suatu pembelajaran akan berhasil jika diawali dengan pemahaman sifat dasar pembelajar sebagai manusia, memahami tujuan utama dari pembelajaran serta meyakini kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh setiap pembelajar. 3.3 Tinjauan Filosofis dan Psikologis Konsep humanistik dalam tataran filosofis menekankan prinsip kebebasan, penghargaan dan pengembangan potensi manusia (lihat Lamont, 1965:22). Prinsip kebebasan ini sering dimaknai secara keliru, dengan mengartikan manusia bisa sebebas-bebasnya bertindak sesuai dengan keinginan hati tanpa memperhatikan norma dan aturan yang berlaku baik dalam sosial maupun agama. Walaupun AlQur’an telah memberikan gambaran tentang kebebasan manusia tersebut - dimana Allah memberikan pilihan kepada manusia untuk menerima atau menolak keimanan kepada-Nya (lihat Abdurrahman Saleh Abullah, 2005:73), ketika memaknai QS. AlKahfi, 18 ayat 29), namun di sisi lain Allah akan meminta pertanggungjawaban pilihan manusia tersebut dalam peradilan hari akhir. Hal ini berarti bahwa kebebasan yang diberikan serta tanggung jawab yang menyertainya memberikan kesempatan kepada manusia untuk menunjukkan posisinya. Kemuliaan manusia akan terlihat jika dia memilih untuk tunduk dan beriman kepada Allah (lihat Marcel A. Boisard, 2003:99-101). Hal senada juga terdapat dalam Musthafa Dieb al-Bugha, Al-Wafi fi Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah, (1998:400). Berkenaan dengan prinsip kebebasan tersebut, Abraham Maslow (1908-1970) – (C. George Boeree, terj. Ridwan Muzir, LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 2008:252.), dan John Stuart Mill (1806-1873)- (John Stuart Mill, 1948:159)mengatakan bahwa kebebasan yang dimaksud tidak berarti bebas dari nilai-nilai, tetapi disertai tanggung jawab dan kemampuan individu untuk merencanakan kehidupannya lewat pilihan-pilihan yang diambil secara sadar (lihat Abraham H. Maslow, 1968: 16). Pendapat ini sama dengan apa yang dikatakan oleh John Locke dalam bukunya Philosophy, tentang kebebasan yang dimiliki oleh manusia namun tidak boleh sampai merugikan orang lain (lihat John Locke, t.t.:118-120). Pendekatan humanistik diperlukan untuk memperhatikan sistem nilai-nilai yang berlaku baik secara khusus dalam masyarakat tertentu maupun secara universal di dalam kodrat manusia. Dengan demikian, fungsi pendidikan adalah membantu para pembelajar untuk mengevaluasi dan menyeleksi mana yang baik dan mana yang tidak baik. Dalam hal ini pendidikan tidak dapat dilakukan dengan pemaksaan tapi harus diupayakan lebih ke arah bimbingan (Abdurrahman Saleh Abdullah, 2005:73-84, lihat juga Oong Komar, 2006:30) dan dalam proses bimbingan itulah pendekatan humanistik harus diterapkan, karena Al-Qur’an sendiri telah ‘mengamanatkan’ kepada Rasulullah untuk mendidik umat dengan pendekatan ini (lihat QS. Ali Imran (3) ayat 159: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka). Prinsip-prinsip dasar humanistik tersebut pada awalnya dibangun di atas paradigma sekuler. Frederick Edwords memandang bahwa humanisme terbagi pada banyak jenis; Literary Humanism, Renaissance Humanism, Cultural Humanism, Philosophical Humanism, Christian Humanism, Modern Humanism, Religious Humanism, dan Secular Humanism. (Untuk lebih jelasnya lihat Frederick Edwords, “What is Humanism? Changing the World One Mind at A Time…”, diakses dari: http://www.jcn.com/humanism.html , pada 13 Maret 2009) di mana makna kebebasan dan pengembangan potensi kemanusiaan diasosiasikan dengan penolakan terhadap agama. Bahkan Ahmad Muflih (2003:52) dengan tegas mengatakan bahwa humanisme adalah penyebab terjadinya abad kemunduran umat. Inilah yang menyebabkan mengapa humanisme banyak ditentang, karena kata tersebut dipandang LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 erat dengan paham humanisme yang mengandung paham materialisme Barat yang sekuler. Prinsip yang demikian nyata sangat bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dengan ajaran agama lain di dunia. (Lihat Earl W. Stevick, 1990:22). Melihat hal tersebut, perlu adanya pemahaman tentang konsep humanisme dari sudut pandang yang dimaksud dalam konsep humanistik dalam pendidikan. Hazim Amir, (lihat Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993:56-57, lihat juga Ahmad Tafsir, 2006:24-31), mengatakan bahwa konsep humanistik dalam pendidikan adalah suatu bentuk pendidikan yang memandang manusia sebagai manusia, yaitu sebagai makhluk Allah yang memiliki fitrah-fitrah tertentu. Dengan demikian, proses pendidikan humanistik adalah suatu proses pembudayaan manusia, memanusiakan manusia, dan memanusiakan masyarakat. Pendidikan dengan cara pandang humanistik memandang manusia sebagai makhluk tertinggi, sadar, menyadari diri, kreatif dan bermoral. Hal ini senada dengan pandangan John Dewey (1916:220) yang mengemukakan bahwa pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang membebaskan daya pikir manusia untuk berkembang dan memahami kebutuhankebutuhan dasar manusia. Pemikiran yang diungkapkan oleh John Dewey sejak tahun 1916 tersebut senada dengan pemikiran Ahmad Tsalabiy, yang mengatakan bahwa sebelum pembelajaran berlangsung, terlebih dahulu guru harus memperhatikan kondisi pembelajar, baik fisik maupun emosional mereka (lihat Ahmad Tsalabiy, 1954:244). Konsep dasar pendidikan humanistik, yang bertujuan untuk membebaskan daya pikir manusia untuk berkembang tersebut, telah pula diterapkan di madrasah madrasah Nizhamiyyah. Madrasah Nizhamiyyah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang didirikan pada tahun 1065 oleh Nizham al-Mulk. Madrasah yang pada mulanya hanya ada di kota Baghdad ini semakin berkembang dan tersebar di beberapa kota besar lainnya, sehingga madrasah Nizhamiyyah menjadi pusat-pusat studi keilmuan pada masa itu (Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994:44-45). Pola pendidikan di sana menekankan para pembelajar agar mampu berpikir kritis dengan cara melatih mereka untuk ber-ijtihad dan mengeluarkan pendapat, tidak hanya sekedar menerima dan taqlid buta. (Ahmad Tsalabiy, t.t.:244). LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Pemikiran humanistik memberikan keyakinan bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki sifat dasar yang baik, memiliki karakter yang unik dengan potensi yang tidak terbatas untuk berkembang, memiliki keinginan untuk mengaktualisasikan diri, dan memiliki tanggung jawab kepada dirinya sendiri dan orang lain (untuk lebih jelasnya lihat baca Elias, J.L., & Merriam, S., 1980). Dari konsep pemikiran tersebut maka teori belajar yang muncul adalah bahwa setiap pembelajar harus diperlakukan sebagai makhluk yang utuh secara fisik, mental dan intelektual. Pembelajaran harus mempertimbangkan minat dan kebutuhan pembelajar; pembelajaran diupayakan atas inisiatif diri sendiri; Belajar atas inisiatif diri sendiri merupakan salah satu prinsip pembelajaran dengan pendekatan humanistik yang dirumuskan oleh Carl Rogers dalam bukunya Freedom to Learn, dimana prinsip tersebut berkeyakinan bahwa belajar atas inisiatif sendiri melibatkan pribadi pembelajar seutuhnya, baik perasaan (afektif) maupun intelektual (kognitif), yang merupakan cara belajar yang dapat memberikan hasil yang mendalam (lihat Wasty Soemanto, 1990:132) dan ancaman selama proses pembelajaran harus ditekan serendah mungkin. (lihat juga Pamela J. Farris, 1993:11), yang menggambarkan bagaimana atmosfir yang hangat dan nyaman di dalam kelas mampu memberikan rasa aman di dalam diri pembelajar, merasa dimiliki sebagai bagian dari kelas, sehingga mereke selalu bersemangat untuk pergi ke sekolah, menjadi bagian dari aktivitas kelas, berbagi ide dan belajar banyak hal yang baru. Kegiatan belajar difokuskan kepada aktivitas pembelajar dengan guru bertindak sebagai fasilitator. Konsep aktualisasi diri yang dimaksud sejalan pula dengan konsep yang menjadi tujuan pendidikan Islam. Said Hawwa menjelaskan bahwa dalam diri manusia ada berbagai kekuatan yang terbagi ke dalam tiga dimensi; jasad, akal dan jiwa (ruh). Kekuatan-kekuatan yang ada tersebut dapat digunakan dalam kerangka yang benar ataupun dalam kerangka fasid. Di samping itu, juga dapat dimanfaatkan secara penuh atau hanya sebagian saja. Kebijakan pendidikan yang sehat adalah kebijakan yang mampu mengaktualisasikan semua potensi kemanusiaan tersebut dan mengembangkannya secara benar. Bahkan Said Hawwa dengan tegas menyatakan bahwa sistem pendidikan yang demikian adalah system yang dimiliki Islam (Said Hawwa, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, 2004: 625). LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Dave Meier (2000: 67) telah menyampaikan kritik yang sangat tegas bahwa pemikiran ilmiah Barat bukan saja telah memisahkan individu dari pemikiran holistic. Holistik berasal dari kata whole yang artinya menyeluruh. Dengan demikian, pendidikan holistik dimaksudkan agar pembelajar berkembang secara menyeluruh, baik aspek kognitif, motorik, emosional, dan spiritual (lihat Ratna Megawangi, 2008:25-27).Tapi juga telah memisahkan individu dari dirinya sendiri. Yang menjadi fokus pendidikan hanyalah pikiran rasional, sedangkan tubuh sama sekali tidak relevan dengan proses belajar. Pembelajaran menjadi rasional, verbal, abstrak dan hanya duduk terus menerus. Padahal belajar yang paling baik adalah yang bersifat holistis, bersifat luas dan manusiawi, bukan behavioristis secara sempit. Dalam tataran psikologi, istilah Humanistik muncul pertama kali pada tahun 1962 dan dipopulerkan oleh Abraham Maslow (1908-1970) – (Charlotte Bühler dan Mellanie Allen, 1972:15). Aliran psikologi ini muncul sebagai kritik terhadap aliran psikologi sebelumnya yaitu aliran psikoanalisis yang digagas oleh Sigmund Freud (1856-1939) (C. George Boeree, t.t.:228) dan aliran Behaviorisme yang digagas oleh BF. Skinner (1904-1990) (C. George Boeree, t.t.:31). Psikoanalisis adalah aliran psikologi yang lebih memfokuskan perhatian kepada orang-orang yang mengalami gangguan mental. Sedangkan Behaviorisme, yang mendapat sebutan “madzhab kedua” dalam bidang psikologi, lebih berupaya untuk mereduksi tingkah laku manusia hanya pada domain mekanistik dan fisik belaka. Perkembangan aliran-aliran behaviorisme dan psikoanalisis yang sangat pesat di Amerika Serikat ternyata merisaukan beberapa pakar psikologi di negara itu. Karena mereka melihat bahwa kedua aliran tersebut memandang manusia tidak lebih dari kumpulan refleks (behaviorisme) atau kumpulan naluri saja, menganggap manusia sebagai robot (behaviorisme) atau sebagai makhluk yang pesimistik dan penuh masalah (psikoanalisis) (lihat Sarlito W. Sarwono, 2008: 109). Cara pandang aliran psikologi humanistik terhadap teori tentang manusia sangat dekat kepada tataran filosofis. Maslow begitu rinci menggambarkan tentang kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimaksud bukan semata-mata kebutuhan fisiologis namun juga kebutuhan psikologis. Maslow menggambarkan kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimaksud secara hirarkis, (lihat LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Abraham H. Maslow, 1970: 2, lihat juga Frank G. Goble, terj. Supratinya, 1987:98) dan bagaimana seharusnya manusia dipandang. Dalam kaitannya dengan pendidikan maka dimaknai bahwa setiap individu pembelajar secara naluriah sangat membutuhkan penerimaan, perlindungan, kasih sayang, serta penghargaan. (Abraham H. Maslow, t.t.:181) Jika pembelajar tidak mendapatkan hal-hal tersebut dalam proses pembelajaran, dikhawatirkan akan timbul sikap-sikap negatif, seperti sikap memusuhi, mementingkan diri sendiri, agresif, tidak dapat diajak bekerja sama dan sebagainya. (Frank G. Goble, terj. Supratinya, 1987: 98). 3.4 Metode Pembelajaran Bahasa Asing dengan Pendekatan Humanistik Proses pembelajaran bahasa asing, digambarkan oleh Moskowitz (Gertrude Moskowitz, t.t.:7) seringkali dilakukan dengan hanya meniru ungkapan-ungkapan yang dicontohkan guru, drill-drill manipulatif, dan seringkali pembelajar melakukan hafalan-hafalan dialog tanpa diiringi proses berfikir dikarenakan proses pembelajaran menekankan pada tradisi imitatif dan mimicry (meniru). Dengan pola belajar seperti ini para pembelajar dapat mengingat kembali materi pelajaran, karena bahan tersebut sering diulang-ulang. Melalui proses ini, pembelajar dapat mengasimilasi materi pelajaran secara lambat laun, namun apa yang diserapnya hanya pengetahuan verbal saja, aspek semantiknya tidak terserap, karena proses ini dilakukan tanpa kesadaran melainkan hanya melalui drill saja (lihat Sartinah Hardjono, t.t.:6). Hal ini menuntut guru-guru bahasaasing agar berusaha mencari cara yang lebih “humanis” agar semangat dan keinginan pembelajar untuk mempelajari bahasa asing lebih tinggi lagi. Hal senada dikemukakan oleh Stevick, (lihat Earl W. Stevick, Patrick Early (ed.), ELT Documents 113- t.t.:7) yang menggambarkan bahwa pembelajaran bahasa dikatakan tidak humanis bila hanya berjalan karena kebiasaan saja, adanya kerenggangan antara individu di dalam kelas, hanya memerintahkan saja apa yang diajarkan, pembelajar melakukan aktivitas secara mekanistis sesuai dengan aturanaturan kosa kata yang ada di buku, serta mengulangi dialog-dialog dan latihan yang bersifat mekanistis. Secara lebih rinci, Stevick (t.t.:23-24) menjelaskan bahwa ada 5 komponen yang harus ditekankan dalam metode pembelajaran bahasa asing dengan pendekatan LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 humanistik ini, yaitu; (1) memperhatikan faktor perasaan dan emosional pembelajar (feelings); (2) melatih hubungan sosial (social relation); (3) melatih tanggung jawab (responsibility); (4) meningkatkan pengetahuan (intellect); dan (5) mendorong ke arah aktualisasi diri (self-actualization). Komponen-komponen tesebut menghendaki agar pembelajaran bahasa dapat menjadi pengalaman yang menyenangkan, melatih kreativitas pembelajar , dan berlangsung secara natural. Para pembelajar juga dilatih untuk dapat menerima kekurangan dan kelebihan dirinya dan orang lain serta mempunyai sifat empati yang tinggi. Para pembelajar juga dilatih untuk memiliki sikap tanggung jawab yang tinggi, mandiri dan mempunyai tujuan hidup (lihat Earl W. Stevick, t.t.:25, Gertrude Moskowitz, 1978:12, W. Rivers, 1983:23-24, lihat juga C.J. Brumfit, 1984:30). John B. Kemp, (t.t.:247) -seorang professor di Gakushuin University Jepangmenambahkan komponen ke-6 yang dikatakan tidak kalah pentingnya yaitu komponen religiusitas. Kemp menambahkan hal ini atas dasar latar belakang masyarakat Jepang yang sangat kental dengan nuansa spiritual, sehingga dia mengatakan bahwa kelima komponen pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa sebagaimana yang dijabarkan oleh Stevick di atas, dapat terwujud melalui komponen keenam ini. Misalnya, ketika sedang membahas sebuah artikel bahasa Inggris tentang AIDS, maka di samping membahas unsur-unsur linguistik dan melatih keterampilan berbahasa, guru juga memasukkan unsur religiusitas tersebut dalam pembahasannya. Hal ini jelas sangat tepat diterapkan di Madrasah- Madrasah di Indonesia, dimana pembelajaran bahasa juga dapat dijadikan sarana untuk memperkuat unsur keagamaan pada diri pembelajar. Lihat lagi pemikiran Al-Ghazali yang mengatakan bahwa proses pendidikan yang dilakukan harus memperhatikan dari semua aspek kemanusiaan pembelajar; intelektual, psikologi, sosial, fisik dan spiritual. Dalam Joy A. Palmer(t.t.:29-32). Konsep “humanis” dalam pembelajaran bahasa asing sebagaimana yang dimaksudkan oleh Moskowitz adalah bagaimana proses pembelajaran dapat memotivasi setiap pembelajar, menciptakan suasana yang menyenangkan, para pembelajar tertarik untuk berpartisipasi di dalamnya, dan mendorong keinginan pembelajar untuk mengekspresikan apa yang dia rasakan dengan menggunakan LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 bahasa target. Dengan demikian, pembelajar dilatih untuk menjadi dirinya sendiri, menyadari kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki serta menimbulkan rasa percaya diri (Gertrude Moskowitz, t.t.:2). Lihat juga Christopher Brumfit, yang mengatakan bahwa seorang guru yang humanis akan dapat melihat bahasa sebagai sesuatu yang harus mengikutsertakan pribadi secara utuh; bukan sesuatu yang murni bersifat mengisi intelektual saja. Mereka menghargai semua pembelajar sebagai pribadi dengan segala kebutuhan emosional dan spiritual, di samping faktor intelektual (lihat Christoper Brumfit, Patrick Early (ed.), ELT Documents 113, 1982:11). Pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa asing menerapkan metode-metode yang tidak konvensional, dan ini berkembang mulai tahun 1970- an. Azhar Arsyad (2003:22) mengatakan bahwa metode-metode tersebut merupakan metode inovatif karena membawa paham-paham baru dalam dunia pembelajaran bahasa asing. Metode-metode tersebut muncul sebagai kritik pada metode audiolingual. Cara belajar bahasa melalui metode audio-lingual yang didasarkan pada pendapat bahwa belajar bahasa asing yaitu dengan menirukan dan mengulangi berkali-kali. Cara belajar seperti ini dianggap too much parroting (meniru seperti burung beo) (lihat Gertrude Moskowitz, t.t.:1). Cara belajar yang demikian dikritik oleh Noam Chomsky, seorang ahli linguistik dari Massachusetts Institute of Technology, yang mengatakan bahwa belajar bahasa yang demikian hanya mementingkan struktur permukaan bahasa itu saja, sedangkan makna bahasa yang tersimpan dalam diri si pembicara terabaikan (Josué M. González (ed.), 008:48-49). Pada pertengahan abad ke-20, bahasa dianggap sebagai faktor yang sangat menentukan pernyataan kognitif dan afektif seseorang. Melalui aktivitas verbal, seseorang secara langsung menyatakan pikiran, kehendak dan perasaannya. Chomsky menekankan pentingnya proses mental dalam aktivitas bahasa (lihat Mansoer Pateda, 1990:88). Oleh karenanya, Chomsky mengemukakan bahwa aspek kreativitas dalam pengajaran bahasa adalah hal yang sangat perlu mendapatkan perhatian. Dengan adanya kreativitas bahasa, manusia dapat menciptakan berbagai konsep melalui bahasa. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Untuk dapat memahami bagaimana pembelajar dapat melatih kreativitas bahasa mereka, guru harus memahami teori-teori kebahasaan itu sendiri. Kreativitas yang dimaksud dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengekspresikan diri (Robert Di Pietro, Diana E. Bartley (ed) 1979:42). Dengan kata lain, hal itu dapat menunjukkan tahapan kemampuan pembelajar dimana pada akhirnya nanti keterampilan berbahasa yang dicapai dapat menyerupai penutur asli. Hal ini terdengar sangat idealis, dan tidak banyak guru yang menetapkan hal ini sebagai tujuan pembelajaran di kelas. Dorongan untuk meningkatkan kreativitas tersebut juga akan menimbulkan tantangan tersendiri pada guru; guru harus mampu menyediakan lingkungan yang dapat menstimulasi potensi-potensi kreatif yang ada pada setiap pembelajar. Di samping itu, guru sendiri juga harus senantiasa menggali potensipotensi kreatif yang dia miliki untuk dapat menciptakan teknik-teknik pembelajaran yang inovatif (lihat dalam Harold W. Bernard & Wesley C. Huckins, 1974:185). Noam Chomsky (1965:6) menjelaskan bahwa kreativitas bahasa adalah sifat bahasa itu sendiri, yang memberikan makna untuk mengekspresikan pikiranpikiran yang tidak terbatas dan untuk memberikan reaksi yang tepat pada situasi baru yang tidak terduga. Dengan demikian, guru hendaknya senantiasa mengembangkan daya nalar pembelajar, memberikan stimulus untuk berfikir, mendeduksi arti kata dari konteks, sehingga diharapkan pembelajar akan terlatih untuk lebih kreatif penguasaan mereka terhadap bahasa target semakin meningkat.Menyikapi pandangan Chomsky ini, para ahli bahasa seperti Moskowitz, Stevick, dan Asher, mulai mengalihkan perhatiannya pada segi psikologis belajar bahasa. Berbagai variabel kejiwaan yang mempengaruhi orang belajar bahasa asing diteliti untuk dapat memperoleh metode yang tepat. Asumsi dasar yang melandasi pemilihan metode inilah yang disebut dengan pendekatan humanistik yang memungkinkan tumbuhnya kreativitas bahasa di kalangan pembelajar. Metode-metode pembelajaran dengan pendekatan humanistik tersebut adalah: The Silent Way, Community Language Learning, Total Physical Response, Suggestopedia dan Natural Approach (Earl W. Stevick, t.t.:10, lihat juga HD. Brown, 1993:74-100, dan Abdul ‘Aziz Ibrahim, 2002:268-269). LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 3.5 Implementasi Pendekatan Humanistik dalam Pembelajaran Bahasa Asing di Indonesia Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa asing telah diterapkan di berbagai negara, bahkan di Indonesia (lihat Gertrude Moskowitz, t.t.:32-33). Dalam tulisannya, Moskowitz menceritakan tentang surat yang dia terima dari seorang guru Bahasa Inggris dari Indonesia. Surat tersebut menceritakan keberhasilannya menerapkan pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa Inggris, dengan menggambarkan bagaimana suasana kelas demikian hidup, menarik, menyenangkan dan para pembelajar dapat menikmati aktivitas pembelajaran yang programkan. Temuan-temuan dalam penelitian ini menggambarkan bahwa banyak sekali peluang-peluang untuk dapat menjadikan proses pembelajaran bahasa menjadi lebih humanis justru “terabaikan”. Peluang yang dimaksud diantaranya adalah: Pertama, guru tidak kreatif memanfatkan fasilitas yang ada untuk mengoptimalkan media pembelajaran. Kedua, kurang memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk melakukan aktivitas komunikatif, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Ketiga tidak adanya usaha untuk menciptakan lingkungan berbahasa yang kondusif sehingga pembelajar senantiasa termotivasi untuk mempraktekkan bahasa asing yang telah mereka pelajari. Keempat, aktivitas belajar masih didominasi oleh guru menjelaskan materi dengan metode pembelajaran yang tidak variatif sehingga kurang mengakomodir perbedaan gaya belajar pembelajar. Pembelajaran bahasa hendaknya tidak hanya berorientasi kepada bahan pelajaran tetapi juga kepada pembelajar.Di samping berorientasi kepada hasil pembelajaran, guru juga hendaknya menjadikan proses pembelajaran sebagai sarana untuk pembentukan nilai-nilai afektif dalam diri pembelajar. Dengan demikian diharapkan, selain pembelajar akhirnya menguasai bahasa target, mereka juga akan terlatih untuk mampu belajar secara mandiri maupun bekerja sama dalam kelompok, bersikap kritis dan kreatif, menghargai orang lain, percaya diri, dapat belajar dari kesalahan, dan lebih jauh lagi para pembelajar mempunyai kesempatan untuk dapat LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 mengaktualisasikan dirinya (lihat Sumaji, 1998:236, lihat kembali Earl W. Stevick, t.t.:23-24, dan G. Moskowitz, t.t.:14-15). Dengan pendekatan-pendekatan yang tepat, pembelajaran bahasa asing dapat memberikan andil dalam membangun dimensi sosial, emosional, spiritual, disamping disamping penguasaan kognitif dan psikomotor pembelajar. Konsep pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan pelbagai potensi pembelajar ini telah ditetapkan dalam tujuan pendidikan nasional (lihat kembali UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2 Pasal 3 dan juga telah dilakukan oleh banyak negara. Sebagai contoh, Departemen Pendidikan di Jepang sejak 1988 telah merevisi system pendidikan yang bertujuan agar para pembelajar kreatif, berfikir filosofis, mampu menilai dan memberi keputusan, dan dapat mengekspresikan dirinya. Sementara itu, Ministry of Education of British Columbia Canada, sejak tahun 2000 telah mencanangkan tujuan pendidikan untuk mengembangkan aspek estetika dan kesenian, emosi dan sosial, intelektual, fisik dan kesehatan, juga tanggung jawab social (lebih lengkap, lihat Ratna Megawangi, 2008:22-30). Penerapan pendekatan humanistik dalam metode pembelajaran bahasa asing di Indonesia memang tidak dapat dilakukan sepenuhnya, seperti metodemetode yang telah penulis uraikan pada bab sebelumnya. Hal ini lebih terkait dengan sistem kurikulum pembelajaran bahasa asing itu sendiri, yang jelas berbeda dengan kurikulum di negara-negara dimana metode tersebut diciptakan. Oleh karenanya, bab berikut akan menganalisa bagaimana pembelajaran bahasa asing di madrasah dapat dilaksanakan dengan pendekatan humanistik dengan tetap mengacu kepada kurikulum yang telah ditetapkan. 4. Penutup Pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa menghendaki ketika siswa melakukan suatu kesalahan, maka dia diberi cukup waktu untuk mengoreksi karena kesalahan dalam suatu proses belajar bahasa dianggap hal yang sangat wajar, dengan demikian pembelajar tidak merasa tegang dan merasa diburu-buru oleh kesalahan, atau bahkan ancaman hukuman dari guru. Konsep menyikapi kesalahan yang LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 dilakukan oleh pembelajar dengan cara tersebut merupakan konsep yang sejak lama ditanamkan dalam pendidikan Islam. Metode pembelajaran ada yang bertujuan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan belajar, dan ada juga yang bertujuan untuk melatih siswa bagaimana cara belajar (learning how to learn). Konsep pendekatan humanistik dalam pembelajaran bahasa berada diantara keduanya, karena disamping berupaya agar siswa dapat menguasai bahasa target, metode pembelajaran juga lebih diarahkan agar untuk belajar bagaimana caranya belajar bahasa asing, sehingga diharapkan dia akan lebih mudah mempelajari bahasa asing lainnya. Dalam pendekatan ini dibangun asumsi bahwa siswa adalah seorang manusia yang berbudaya bukanlah alat untuk menerima stimulus untuk kemudian memberikan respon. Setiap pembelajar mempunyai daya, minat, bakat, kecenderungan, kebutuhan dan perbedaan-perbedaan individual yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran bahasa. Dengan demikian maka guru harus mempertimbangkan aspek intelektual, emosional, sosial dan spiritual siswa. Sebagai manusia, siswa diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sendiri, perasaan, pengalaman dan pendapatnya. Partisipasi pembelajar dalam proses pembelajaran bahasa menjadi sangat penting, karena keterlibatan emosional dapat meningkatkan motivasi dan semangat untuk berprestasi. Adanya penekanan kepada proses pembelajaran ini diharapkan dapat melatih sikap tanggung jawab pembelajar agar mampu belajar secara mandiri (self-directed learning), sebagaimana hal ini menjadi salah satu dari lima hal yang ditekankan oleh Stevick sebagai konsep humanistik dalam pembelajaran bahasa asing. Self-directed learning ini akan sangat dibutuhkan agar pembelajar mau terus belajar sepanjang hidupnya; proses belajar tidak hanya berhenti setelah ujian nasional selesai. Apalagi pembelajar yang mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maka konsep ini akan sangat membantu. Akhirnya penulis mengharapkan agar tenaga pengajar memberikan metode humanistik ini terhadap para siswa agar pengembangan bahasa asing dapat dilaksanakan ditingkat dasar atau pun menengah. Amiin. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Daftar Pustaka Ahmad Muflih Saefuddin, 2003, Masa Depan Kemanusiaan, Yogyakarta: Jendela. Abdurrahman Mas’ud, 2002, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius Sebagai paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Penerbit Gama Media. Abin Syamsuddin, Makmun, 2005, Psikologi Kependidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya Ahmad Fuad Effendy, 2005, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat. Ahmad Tafsir, 2006, Filsafat Pendidikan Islami; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya. Azhar Arsyad, 2003, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya;Beberapa Pokok Pikiran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abraham H. Maslow, 1968, Toward A Pshychology of Being, 2nd ed., Melbourne: D. Van Nostrand Company. Abdurrahman Saleh Abdullah, 2005, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan AlQur’an, Jakarta: Rineka Cipta. Alan Rogers, 1990, Teaching Adults, Buckingham: Open University Press. Anas Muhammad Ahmad Qasim, 2000, Sikulujiyyah al-Lughah, al-Azarithah: Markaz al-Iskandariyah li al-Kitab. Ahmad Tsalabiy, 1954, Târîkh al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Kairo: Kasyaf li al-Nasyr wa al-Thiba’ah wa al-Tauzi’. Abdurrahman Saleh Abullah, 2005, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta. Charlotte Bühler dan Mellanie Allen, 1972, Introduction to Humanistik Psychology, Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company. Christopher Brumfit, 1985, Language and Literature Teaching; from Practice to Principle, Oxford: Pergamon Press Ltd. Chaedar Alwasilah, 1993, Bunga Rampai Pendidikan Bahasa, Bandung: Angkasa. David Nunan, 1991, Language Teaching Methodology, London: Prentice Hall International Ltd. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994, Ensiklopedi Islam, cet. 2, Jakarta: Ichtisah Baru Van Hoeve. Dede Rosyada, 2007, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta, Kencana. Dave Meier, 2000, The Accelerated Learning Handbook, New York: McGraw-Hill. Earl w. Stevick, 1990, Humanism in Language Teaching; A Critical Perspektive, Oxford University Press. Elias, J.L., & Merriam, S., 1980, Philosophical Foundation of Adult Education, Malabar: FL Robert E. Krieger. Gordon Dryden & Jeannette Vos, 1999, The learning Revolution: To Change the Way the World Learns, Selandia Baru: The Learning Web. Gertrude Moskowitz, 1978, Caring and Sharing in The Foreign Language Class; A Sourcebook on Humanistic Techniques, Rowley, Mass.:Newbury House. Ibnu Sina, 1906, Al-Siyasah fi al- Tarbawiyah, Mesir: Majalah al-Masyrik. Iskandar Wassid dan Dadang Sunendar, 2008, Strategi Pembelajaran Bahasa, Bandung: Remaja Rosdakarya. John Dewey, 1916, Democracy and Education, New York: Macmillian. John Stuart Mill, 1948, Philosophy & Theology; Utilitarianism, Liberty, and Representative Government, New York: E.P. Dutton & Co.Inc. J. Richard & T. Rodgers, 1986, Approaches and Methods in Language Teaching; A Description and Analysis, Cambridge: Cambridge University Press. Kenneth Chastain, 1976, Developing Second-Language Skills: Theory to Practic, Chicago: Rand McNally Publishing Company. Kurtz, dalam Earl W. Stevick, 1990, Humanism in Language Teaching, Oxford University Press. Lamont, 1965, The Philosophy of Humanism, New York: Frederick Unger Publishing Co. Marcel A. Boisard, 2003, Humanism in Islam, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust. Muhbib Abdul Wahhab, 2008, Epistemologi dan Metodologi Pembelajaran Bahsa Arab, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Rasionalnya, Bandung: Trigenda Karya. Moeljanto Soemardi, 1992, “Pendekatan Humanistik dalam Pengajaran Bahasa”, dalam Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Mansoer Pateda, 1990, Aspek-Aspek Psikolinguistik,Yogyakarta: Nusa Indah. M. Ngalim Purwanto, 1992, Psikologi pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-5. Nashif Musthafa Abdul ‘Aziz, 1983, al-‘Al’ab al-Lughawiyah fi Ta’lim al-Lughah alAjnabiyah, Riyad: Dar al-Marikh li al-Nasyr. Noam Chomsky, 1965, Aspects of the Theory of Syntax, Cambridge: MIT Press. Nurkholis Madjid, 1997, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina. Noerhadi & Roekhan (ed.), 1990, Dimensi-Dimensi dalam Belajar Bahasa Kedua, Bandung: Sinar Baru. Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, terj., Hasan Langgulung dari judul asli Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, Jakarta: Bulan Bintang. Oong Komar, 2006, Filsafat Pendidikan Non-Formal, Bandung:Pustaka Setia. Pamela J. Farris, 1993, Language Art; A Procces Approach, Madison: WCB rown&Benchmark Publisher. Rusdi Ahmad Thua’aimah, 1989, Ta’lim al-‘Arabiyyah lighairi al-Nathiqina biha Manahijuha wa Asalibuha, Rabat: Isesco. Richard I. Arends, Learning to Teach, 7th ed., 2008, New York: McGraw Hill Company. Said Hawwa, Al-Islâm, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, 2004, Al-Islam, Jakarta: Gema Insani Press. Sarlito W. Sarwono, 2008, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, cet. III. Sumaji, 1998, Pendidikan Sains yang Humanistis, Jakarta: Kanisius. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Umar Muhammad Taumy al-Syabany, 1979, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang. W. Rivers, 1983, Communicating Naturally in a Second Language; Theory and Practice in Language Teaching, Cambridge: Cambridge University Press. William J. Mc Gure, 1975, The Nature of Attitude and Attitude Charge; The Handbook of Social Pshichology, New Delhi: Amerind Publishing. Wasty Soemanto, 1990, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta. Sartinah Hardjono, 1998, Psikologi Belajar Mengajar Bahasa Asing, Jakarta: Depdiknas. Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, 2006, Ilmu Pendidikan: Pengantar dan Dasar-Dasar Pelaksanaan Pendidikan, Jakarta:UIN Press. Zakiyah Darajat, 1982, Keprihatinan Guru, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-3. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Hubungan Antara Filsafat dan Sastra dalam Novel Sanu Infinita Kembar Karya Motinggo Busye Taufik Nugroho Faculty of Letter, Bina Nusantara University Abstrak The purpose of this present paper is to explain the relationship between philosophy and literature in the novel Sanu lnfinita Kembar by Motinggo Busye. This paper consists of introduction, the similarities and differences between philosophy and literature, the relationship between philosophy and literature, synopsis of the novel, Sanu lnfinita Kembar: A Philosophical Novel, and conclusion. Kata Kunci: filsafat, sastra, novel. 1. Latar Belakang Bagaimana filsafat membahasakan kekayaan pandangan hidup yang bisa jadi berkemungkiman mengurangi kekayaan pengalaman lantaran proses rasionalisasinya? Salah satu corong bahasa yang menjembatani adalah sastra. Apa dan bagaimana sastra dalam kaitan filsafat mau menjembatani refleksi realitas mengenai kehidupan yang tidak hanya rasional tetapi juga emosional. Dalam paparan paper ini penults mencoba untuk menunjukkan benang merah antara filsafat dan sastra beserta satu contoh karya sastra yang bernilai filsafat dan mistik, yakni: SANU INFINITA KEMBAR karya Motinggo Busye. 1.2 Perbedaan dan Persamaan antara Filsafat dan Sastra Pada dasarnya sastra dan filsafat sama-sama bermuara pada pengalaman menghayati kehidupan ini. Perbedaan nuansanya, filsafat hendak memaparkan pengalaman penghayatan kehidupan dengan bantuan pertanyaan dasariah, radikal: mengaitkan secara eksplisit dengan siapa manusia ? Apa artinya hidup ini? Ke mana arahnya? Bagaimana pandangan si manusia pelaku sejarah hidupnya ini dengan lingkungan dunianya, jagadnya? Jika ia menghayati hidup bersama sesamanya, apa tujuan hidup bersama ini, dan apa artinya hidup bersama dengan sesama? Sastra hendak memaparkan pengalaman itu secara langsung, konkret, tanpa membuatnya sistematis. Bahasanyapun langsung, mengalir dengan LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 lancar memaparkan kehidupan yang ada. Bahasa ini sangat berkaitan dengan kegiatan sastra, kegiatan untuk menciptakan sesuatu Karena sastra itu hendak membahasakan pengalaman hidup maka ciri bahasanya pun lebih merupakan bahasa ujaran: memapar dengan bercenta, berkisah lewat kata. Filsafat, ciri bahasanya adalah ilmiah, rasional, dan sistematis karena mementingkan acuan pertanyaan radikal mengenai dasar pengalaman itu sendiri dan konteks maknanya. Filsafat dan sastra mempunyai dasar pijak yang sama, yaitu realitas itu sendiri. Bila filsafat bertolak dari kenyataan Ialu hendak diabstraksikan, dicari jati dirinya, hakikatnya, maka sastra mulai dari apa yang ada dalam kenyataan lalu diolah lewat imajinasi, lewat proses kreatif lalu dibuatnya lebih indah Imajinasi tadi ada dalam cipta kemudian dituangkan dalam tulisan atau kata-kata (Sutrisno, 1995:16-17). Bila titik tolak keduanya sama, yaitu realitas,yang membuat keduanya berbeda adalah metodologi pengolahannya. Sastra, secara metodologis, merupakan ziarah penjelajahan seluruh realitas di mana manusia berada, hidup dan bergulat di dalamnya. Filsafat, secara metodologis, hendak muncul sebagai refleksi atas pengalaman manusia dalam berada, bereksistensi di dalam realitas hidup yang sudah dirinci, dipilah-pilah menurut alur rasionalitas dan logika lewat akal budi. Bila sastra dalam mengolah realitas pengalaman hidup menggunakan proses mencipta kembali sehigga buahnya berciri meresapkan, membuat orang menikmati, mengecapi, maka filsafat menggunakan proses merefleksikan sehingga buah-buah anggur perasan yang keluar berciri menjelaskan, menerangkan dengan rinci. Karena filsafat merupakan refleksi atas pengalaman manusia dalam hidupnya yang sudah dirinci lewat akal budi, maka bahasanya pun bukan bahasa sehari-hari. Ciri bahasa filsafat teknis, langsung menjelaskan secara distingtif, lugas dan dengan penggolongan kategori yang tepat. Di sinilah kerap terjadi kesulitan dalam memahami filsafat. Sedangkan bahasa sastra berperan hendak menciptakan kembali dengan indah realitas yang ada maka bahasanya berciri emotif, puitis, dan imajinatif. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 2. Kajian Teori dan Pengembangan Hipotesis 2.1 Hubungan antara Filsafat dan Sastra Titik temu yang pertama adalah sastra itu bisa menjadi bahan baku untuk filsafat. Berfilsafat dengan sumber pengalaman menghayati relitas hidup tadi bisa dijalani melalui dua bahan pokok (Atmosuwito, 1980:127) Bahan pokok yang pertama, berfilsafat memakai temuan-temuan llmu empiris Misalnya filsafat bahasa memakai bahan baku linguistik. Strukturalisme memakai ilmu antropologi budaya. Bahan baku yang kedua, orang bisa berffilsafat dengan memakai ujaran pengalaman sang penulis sastra dan seniman. Disinilah refleksi filsafat sebenarnya menemukan sumber air jemih untuk digarap. Maka, yang menjadi tantangan adalah bagaimana otah kehidupan sebagaimana dihayati dan dituliskan dengan bahasa puitis, imajinatif oleh sang seniman dalam sastra dieksplisitkan secara sistematis dan terinci. Di sinilah hubungan erat antara filsafat dan sastra. Tantangan ini mendesak kiranya di tanah air kita ini: pengkajian paham manusia dan nilai hidupnya sebagaimana dipaparkan oleh buku sastra atau pengarang tertentu. Titik temu yang kedua terletak pada pendapat agak aprion mengenai filsafat. Seringkali dikatakan bahwa filsafat itu sulit, abstrak atau serius. Di sinilah kiranya sastra bisa turun tangan membantu filsafat untuk menjadi corongnya Lewat bahasa sastra yang lebih komunikatif, segar dan hidup, filsafat bisa dibantu menyuarakan refleksinya atas pengalaman menghayati hidup dalam makna dan nilainya. Pada kenyataannya, sudah cukup banyak contoh mengenai sastra sebagai corong filsafat, meskipun produk sastranya disebut sastra serius, karena berisi refleksi filsafat. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Sinopsis Novel Sanu Infinita Kembar Cerita ini terjadi dalam tahun 1964-1965 ketika udara penuh dengan tempik sorak gegap gempita pihak komunis dan Lekra mengganyang orangorang dianggap kontra-revolusioner, penganut-penganut humanisme universal dan Manifes Kebudayaan, dengan insinuasi-insinuasi dan fitnahan-fitnahan yang menimbulkan kegelisahan, ketakutan dan saling curiga dalam masyarakat. Bahkan hal ini dapat terjadi antara orang tua dan anak dan antara suami dan istri. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Hal ini dapat dilihat dan percakapan antara Sanu dan Raswan: "Raswan, namaku terdaftarjuga, " ujarSanu melemparkan koran mingguan itu kepada Raswan. "Kan masih berani tinggal di Jakarta? " tanya Raswan. "Kan? " tanya Sanu kaget. "Sore ini aku akan ke Sumatra. " "Lho!" "Perhatikan nama kita beserta alamat lengkap ditulis disana. Ini memudahkan pihak penguasa untuk menangkap kua, " kata Raswan. “itu tindakan orang penakut, Raswan”. I.ari dari penangkapan bukan berarti penakut. Itu namanya hijrah. Nabi Muhammadjuga hijrah, dari Mekah ke Madinah, " kata Raswan. "Aku akan menempuh cara yang digunakan Pangeran Diponegoro, " kata Sanu. 'Cara apa ilu? " tanya Raswan. Menggunakan ilmu hilang. He, untuk mengetahui Sejarah Indonesia, kita cukup membaca riwayat hidup Diponegoro, " ujar Sanu. Wah. kamu memangsudah kerasukan filsafat Ralph Waldo Emerson, Sanu. Kurasa Emerson betul. Untuk mengetahui sejarah Eropa cukup dengan membaca biograji Napoleon. Untuk mengetahui sejarah Islam, cukup mebaca riwayat hidup Muhammad. " (hal.1) Harian Rakyat dengan ruangan kebudayaannya, Bintang Timur dengan ruangan yang dijendrali Pramudya Ananta Toer, dengan gencar melontarkan tuduhantuduhan refosioner, anti-Nasakom, antek kapitalis, agen CIA, penghianat bangsa, dan memuat orang yang harus diganyang dan dibabat, lengkap dengan alamatalamatnya. dengan maksud untuk mengintimidasi lawan-lawan demi mematangkan situasi kekuasaan. Pihak kiri mengerahkan rapat-rapat raksasa untuk memperlihatkan bahkan tidak segan-segan mengatur demonstrasi masa mendatangi kedutaan-ia merusak hubungan baik dengan negara-negara bersahabat. Bentrokan fisik pun iifotndan sepeni yang terjadi di Bandar Betsi Dal am keadaan teror semacam itu, reaksi orang. Ada yang buru-buru masuk partai berkuasa, ada yang meluluhkan Eiassa dan tidak menjadi siapa-siapa, tanpa ideologi tanpa idealisme, dalam usaha dan LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 bencana dihancurkan sebagai unsur kontra-revolusioner. Ada yang ke luar kota, menyembunyikan diri mencari selamat bahkan ada yang berusaha ke luar negeri . Ada yang berlatih bela diri, ada yang kembali ke agama sebagai pegangan, panik oleh serangan dan fitnahan, mohon perlindungan Tuhan dan ada yang menuntut ilmu kebatinan untuk membuat dirinya kebal atau bisa menghilang. lnilah masanya ketika budayawan dan seniman yang tidak mau berpolitik diseret ke bulan-bulanan politik. Konsentrasi jiwa seniman masa itu terlukis dengan baik dalam novel ini. Cuplikan dibawah ini memberikan gambaran mengenai keadaan tersebut; "Melawan politik tidak bisa dengan ilmu mistik, kata Raswan. "Kau salah duga. Aku bukan orang politik. Aku tidak punya massa. Dengan tuduhan bahwa kita orang-orang kontra-revolusioner, itu bahwa politik menghasut massa untuk menangkap kita. Nama dan alamat kita jelas tercantum. Danjika kita sudah dikepung dan diserbu massa, kita bukan lagi berhadapan dengan politik. Kita harus menyelamatkan harga diri kita sebagai manusia, agar tidak tertangkap dan mati konyol. Ketika itu tidak satu orang pun bisa kita percaya untuk mendapatkan pertolongan . Kita harus berteriak kepada Tuhan, seorang diri , seperti halnya Diponegoro yang memiliki ilmu hilang". (hal. 2) Sanu adalah seniman yang memilih mistik untuk melepaskan diri dari cengkraman politik. Sebagai pelukis dan pengarang ia kehilangan gerak. Lukisanlukisannya yang rada abstrak dituduh lukisan burjuis dan karangannya yang sudah naik pers setselnya dilebur, karena namanya dimuat dalam surat kabar kini sebagai seorang yang anti-revolusioner. Penerbit ketakutan untuk mencetaknya. Tawaran seorang diplomat untuk mengirimnya ke Paman Sam, ditolaknya dengan tegas: diantara dua adikuasa ia memilih jadi nasionalis Sanu menuntut ilmu kebatinan, khususnya ilmu untuk menghilangkan diri, hingga selamat dari sergapan musuh. Sanu akan hijrah ke luar atmosfir, menurut istilahnya sendiri. Dalam dirinya Sanu menemukan dua kesadaran yang senantiasa bertentangan, yakni suara Aku-ego dan suara Aku-Tuhan dan itulah yang merupakan infinita Sanu, dua hakekat dalam satu jasad. Dengan bicara tentang pengalaman empiris menembus atmosfir dan stratosfir, untuk bertemu Tuhan, adanya diri ganda manusia, nampak pencarian jati diri dalam hubungannya dengan lingkungan, Tuhan dan semesta. Sanu merenung dan mencari jawaban atas segala: apakah penguasa, apakah massa, apakah kebenaran, apakah moral, apakah fungsi ruang dan waktu, apakah hakekat Ada, Gerak, Situasi. Ia mendalami seluk beluk pemikiran, dan praktek-praktek kebatinan, LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 lengkap dengan peristilahan-peristilahannya. Ia berspekulasi mengenai planit-planit di angkasa dan harmom dalam semesta. Cahaya menyinari Muhammad. Dan cahaya inilah awal mula penciptaan Allah. Dan banyak sekali spekulasi-spekulasi mistik dan mengalani tingkat-tingkat ilmulyaqin, ainulyaqin untuk sampai kepada haqqulyakin. Sanu telah menimba ilmu pengetahuan dan filsuf-filsuf dan pemimpin-pemimpin rohani seperti Anstoteles, Plato, Sokrates Descartes, Pascal, Bergson, Kant, Emerson, Buddha. Kong Fu Tse, Lao Tse, Al-Hallaj, Yesus, Muhammad, Nietzshe, Machiavelli, Karl Marx, Hegel, tapi juga dan tokoh-tokoh tindakan, seperti Napoleon, Caesar, Jefferson, dan Lincoln. Sebagaimana Danarto sampai kepada Adam Ma'rifat, demikian pula Sanu sampai kepada Manusia Total: "Manusia yang menjaga keseimbangan antara din pertama dan din ksdua Seluruh manifestasi diri pertama adalah infinita-ego, yang lawannya adalah infinita-kreaof Karena itu, diri kedua infinita kembar itu, dengan kreatifitasnya menjadikan ia dinamis. Dan dinamika kreatif hanya ada pada pemilik status quo perimbangan, yaitu Manusia Total." ,M 6) Pada suatu kesempatan kepala Sanu mengangguk-angguk beberapa kali dan sempat aietahui oleh temannya Awin. Dia bertanya: "Kau tadi menggeleng, lalu diam, lain mengangguk, itu apa sih maksudnya? " "Kami sedang bercakap-cakap, "jawab Sanu. Kami itu siapa? " "Aku dan aku ". Aku ini sebagai diri kembar. Karena kembar, bisa dilahikan kerjasama, bukannya konfrontasi antara aku dan aku itu". Itu kejawen!" tudingAwin. Santi kalau aku keluarkan semua literaturku, kau kaget. " (hal. 55) Boleh jadi pengalaman-pengalaman irrasional yang dialami Sanu menimbulkan sinis pada pembaca yang tidak mempunyai atau telah kehilangan indra keenamnya, apabila kita memperhatikan gejala-gejala ajaib yang terjadi sekitar kita, maka apa yang Sanu pada dinnya, bukan hal-hal yang aneh bahkan mustahil. Membaca cerita ini kita masuk ke dunia mimpi yang mencekam tapi mengasyikkan, di mana kepala adalah kaki, kanan, atas adalah bawah, timur adalah barat, dunia sungsang sumbalit di mana kita aian dengan rasio di tengah kebalauan yang mokal-mokal. Kita bertemu pikiran-pikiran dan pemandangan-pemandangan yang membedah kenyataan untuk sampai kepada kebenaran-kebenaran hakiki. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Ilmu psikologi, khususnya psikiatri, mempunyai nama-nama untuk gejalagejala yang dialami Sanu, seperti halusinasi, paranoia, schizophrenia, delirium, dan sebagainya, semuanya merupakan penyakit-penyakit kejiwaan yang tidak ada hubungannya dengan alam gaib. Hanya karena saraf tidak berfungsi dengan baik, maka bermacam pendengaran, penglihatan, dan penciuman bisa terjadi, yang sebenarnya objeknya tidak ada. Tapi di samping psikologi dan psikiatri telah berkembang pula ilmu yang disebut parapsikologi yang menyelidiki gejala-gejala luar indrawi, bukan sebagai gejala-gejala penyakit, tapi sungguh-sungguh berasal dari kemampuan pengindraan yang saking halusnya bisa berhubungan dengan dunia gaib di luar diri. Nama lain adalah spritualisme, tapi perbedaan di antara keduanya ialah bahwa parapsikologi mencoba dengan cara ilmiah menganalisa gejala-gejala indrawi, sedangkan spritualisme menerima dunia gaib begitu saja. Dalam membaca pengalaman Sanu yang diceritakan oleh Busye ini, kita berbentur pada pertanyaan apakah Sanu sedang mengalami proses penggilaan, ataukah ia sedang menghayati proses pewalian yang sampai kepada hakikat kebenaran yang paling akhir? Apapun asal-usulnya pengalaman Sanu, sebagaimana Busye menceritakannya, sungguh sangat menarik, karena diceritakan dengan cara yang sangat masuk akal, seolah-olah dialami oleh pengarangnya sendiri. Kelebihan pengarang dari pemakai bahasa biasa adalah bahwa pengarang dapat menggerakkan gerak batin yang paling halus dan paling dalam berupa perasaan dan pikiran yang menyertai gerak fisik yang paling kecil dan paling halus dalam kata-kata. Dan pengarang di sini membuktikan kemampuan itu. Ia melukiskan pengalaman orang bermeditasi untuk mendapat kekuatan menembus alam atmosfir dan startosfir, menguak perbatasan hidup dan mati menjalin pengalaman nyata dan rohani, di mana alam nyata dan alam barzah berbaur, pengarang hidup dalam kesemestaan, bukan sebagai pasien jiwa, tapi sebagai manusia pilihan. Tanggapan mistik dan peristilahan mistik dikuasai dengan cekaman yang kuat, bahkan ditambah dengan konsep dan peristilahan fisika dan metafisika ( hal. 37-38). 3.2 Sanu Infinita Kembar: Novel Mistik-Falsafati karya Motinggo Busye Pengarang melalui tokoh utamanya, Sanu, berpendapat bahwa dalam diri manusia senantiasa terjadi perbutan kekuasaan, coup d’etat, sampai dia menemukan ajalnya. Dengan kata lain, dalam satu diri manusia terdapat kekuasaan, yaitu kekuasaan kembar. Kekuasaan kembar dua ini, secara terus menerus berperang dalam dirinya sendiri. Dalam bentuknya yang kongkrit, Kekuasaan Pertama selalu melakukan revolusi. Dan sebagaimana skala makro sebuah revolusi, maka LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 peristiwa mi meniumbulkan korban-korban. Dan yang dikorbankan adalah manusianya sendiri Sebaliknya, Kekuasaan Kedua melakukan evolusi, dan kecenderungannya adalah merawat dan membangun puing-puing akibat revolusi itu. Kekuasaan Pertama bertindak sentralistis dan sama sekali tidak kreatif. Inilah Ego Sedangkan Kekuasaan Kedua bertindak harmonis, kreatif dan memiliki cakrawala perhitungan kosmis dan supranatural yang tak pemah dipahami Karena itu selalu dilawan oieh Kekuasaan Pertama. Inilah Kreator. Dan oleh karena itu sifatnya alamiah, adalah sebenarnya, Ulahiah. Ego tidak pemah mengakui adanya Tuhan Maha Kuasa, karena ia mengira dirinyalah penguasa tunggal, dan karena itu dia mengira dirinyalah "Tuhan". Tetapi Kreator sepenuhnya mengakui adanya Tuhan Maha Kuasa Dan dia sendiri secara sadar memikul Tuhan kepadanya. Bahkan dia mengalami kenikmatan ketika Tuhan hadir dalam dirinya. Berbeda dengan Kekuasaan Pertama yang ingin merebut Kekuasaan Kedua secara revolusioner, Kekuasaan Kedua justru menyatakan perebutan kekuasaan atas kekuasaan pertama, bukanlah untuk menjadi pernguasa otoriter. Yang direbutnya bukanlah wilayah Kekuasaan Pertama, tetapi sekedar mengarahkan tindak revolusioner Kekuasaan Pertama tadi. Dengan kata lain, dia mengenal batas wilayah itu, karenanya dia sekedar menjaga status quo atas Kekuasaan Kembar itu. Blaise Pascal dengan tepat menyebut Dua Kekuasaan ini sebagai "Dua Infinita", tetapi tokoh Sanu dalam cerita ini bukan penjelmaan dari infinita-infinita Pascal, juga bukan diilhami oleh falsafat Kejawen yang yang cenderung lebih dekat pada Pascal dan Sufisme murni. Sanu bukan Pascalis, bukan pula Sufis. Sanu mengakui terminologi "dua infinita" karena dia mengaku membaca karya Pascal itu, sebagaimana dia memahami sufisme dan kejawen. Tetapi yang dicarinya bukanlah usaha perebutan kekuasaan, di mana kemudian Kekuasaan Kedua menaklukkan Kekuasaan Pertama. Tidak. Yang dicari Sanu adalah harmoni Kekuasaan Kembar itu. Dan tugas maksimumnya hanya memelihara status quo, sehingga muncullah idealismenya tentang perikehidupan manusia ini, yaitu harmoni. Berikut ini beberapa cuplikan penting yang menyiratkan hubungan antara filsafat, mistik, dan karya sastra yang berkenaan dengan manusia total, ketuhanan, politik dan internasionalisme, dan filsafat guru. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 3.2 Manusia Total dan Prinsip Ketuhanan Berikut ini adalah buah pikiran Sanu mengenai eksistensi manusia, dalam hal ini, manusia sebagai manusia total. Manusia total, menurut Sanu, berbeda dengan kesadaran total. "Jadi kauyakini betul bahwa kau tidak akan keterusan menyebul Aku Allah sebagaimana AI Hallaj, alau keterlanjuran mengira Tuhan sudah mati seperti Sang Uebermensch-nya Nietzsche? " (ha 16) Dalam kesempatan Iain, Sanu menggolongkan manusia ke dalam tiga jenis manusia dengan serba-serbinya, seperti kutipan di bawah ini yang dikemukakan kepada isrinya: "Hari ini aku mendapatkan uang 100.000,-, tapi telah aku berikan kepada siapapun yang membutuhkan sebanyak 70.000,-rupiah. Sedangkan hakku, hakkau, dan hak Aldo dan bayi kita sekedar yang 30.000,saja. Jangan bilang aku tolol. Aku kira, dunia ini memang terdiri dari 3 jenis manusia. Jenis pertama, orang awam termasuk yang misldn dan tolol, dan mereka itu jumlahnya 40% dari penduduk bumi. Yang 30% lagi orang kaya, termasuk yang loba dan gila harta dan juga orang-orang kaya yang memiliki cinta kasih. Dan yang 30% lagi adaiah orang-orang berilmu yang cendekia, yang ilmunya ada yang digunakan untuk kebaikan sesama atau menghancurkan sesamanya. Beberapa saat yang lalu aku berperan sebagai orang kaya yang yang memiliki cinta kasih, yang tidak pernah mengukur cinta kasihnya dengan jumlah nominal." "Tujuhpuluh ribu rupiah itu disawer agar disebut dermawan? " tanya istrinya. (ha!80) 3.3 Politik dan Internasionalisme Pada kesempatan lain Sanu menafsirkan Kekuasaan Pertama, ego sebagai kediktatoran, sedang Kekuasaan Kedua sebaliknya. la juga berpendapat bahwa filosofis politik itu adaiah main otak seperti halnya orang yang sedang bermain catur. "Ego itu selalu warnanya kediktatoran, " kata Sanu. Lalu Sanu cuci muka ke kamar mandi. Tanpa ganti pakaian diapergi dengan tidak perlu memikirkan lebih dulu tujuan. Dia menganggap, berfikir LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 sekarang ini adaiah penyerahan terhadap kediktatoran ego. Tanpa berfikir, sempurnalah kemerdekaan diri. (hal. 10) "Politik itu ilmu main olak. ( '.aturjuga ilmu main otak. Jangan main rasa. Tapi minum luak bagi orang Halak ilu main rasa. Ah kau mengaku dulu ahli sejarah dan antropologi, kok bisa cengeng begini? " "' Karena aku dilahirkan bukan sebagai produk politik Aku lahir sebagai produk budaya. Jika bung tuduh aku cengeng, apa boleh buat. (hal 12) Berkenaan dengan konsep intenasionalisme, Sanu bependapat bahwa bentuk intemasionalisme adalah buruk, apakah ttu Marxisme, Kapitalisme ataupun Liberalisme. Sanu hanya ingin berpegang teguh pada nasionalisme yang berbudaya Indonesia. Berikut ini adalah percakapan antara Lewis agen CIA dan Sanu: "Saya tahu keadaan negeri kami ini akan bertambah mencengkeram lagi. Tapi saya tidak menyukai pelarian alas nama apa pun. Saya akan menjadi seorang nasionalis dengan orientasi budaya Indonesia. Saya tidak mempercayai lagi makna intenasionalisme, apakah itu Marxisme ataupun Kapitalisme dan Liberalisme. Saya sudah melihat kebenaran falsafat Sukarno, bahwa dunia dewasa ini hanya terdiri dari dua kekuatan: Eksploitor dan yang dieksploitir. Apakah eksploitor itu Komunis atau Kapitalis, keduanya sama, bentuknya intemasionalisme. Atas kepungan dua raksasa ini, pilihan politik nasionalisme untuk sementara waktu bisa saya terima." (hal.25) 3.4 Guru versi Sanu Dalam kesempatan lain Sanu juga berfilsafat tentang guru. Guru, menurut Sanu, adalah Infinita-kedua alias Kekuasaan Kedua. Ini berarti bahwa setiap manusia adalah gum, minimal bagi dirinya sendiri. Kutipan di bawah ini menarik untuk disimak: "Guruku adalah Infinita-keclua. Din yang aku lupakan sejak aku menganggap intelekku ini Tuhan-kedua, yang mengira egoku kebenaran. Kami setelah guru itu aku temukan, aku akan belajar. Belajar bertindak yang benar, termasuk belajar ilmu menghilang. " LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 (hal. 7) "Kabarnya kau sedang mencari guru tasawuf, " kata Abah mertua. "Betul. Tapi ternyata dia ada dalam diri soya. Dialah Pangeran Bumi mewakili Tuhan, yang tidak kelihatan dan tak tampak oleh saya selama 27 tahum. Ah, saya akan pergi dulu. " "Mukamu masih pucat," ujarAbah mertua. (hal. 29) 4. Kesimpulan Sebagaimana diuraikan dalam bagian-bagian terdahulu, filsafat dan sastra mempunyai hubungan yang sangat erat. Keduanya baik filsafat maupun sastra sama-sama bermuara pada pengalaman menghayati kehidupan ini. Dan seiain itu filsafat dan sastra mempunyai dasar pijak yang sama, yaitu realitas kehidupan. Adapun perbedaan dari keduanya diantaranya metodologinya. Sastra, secara metodologis, merupakan ziarah penjelajahan seluruh realitas di mana manusia berada, hidup bergulat di dalamnya. Filsafat, secara metodologis, hendak muncul sebagai refleksi atas pengalaman manusia dalam berada, bereksistensi di dalam realitas hidup yang sudah dirinci, actiah-pilah menurut alur rasionalitas dan logika lewat akal budi. Hubungan antara filsafat dan sastra pada dasarnya adalah sastra itu bisa menjadi bahan saKu untuk filsafat. Berfilsafat dengan sumber pengalaman menghayati relitas hidup tadi bisa dijalani melalui dua bahan pokok. Bahan pokok yang pertama, berfilsafat memakai temuan-temuan ilmu empiris. Misalnya filsafat bahasa memakai bahan baku linguistik. Strukturalisme narakai ilmu antropologi budaya. Bahan baku yang kedua, orang bisa berfilsafat dengan manakai ujaran pengalaman sang penulis sastra dan seniman. Karya sastra merupakan corong atau sarana penting untuk mengenal manusia dan jamannya. Pengenalan itu akan menjadi bahan apresiasi bagi pembaca dalam menghadapi berbagai macam masalah dalam hidupnya. Oleh karena itu, manfaat pembinaan dan pengembangan apresiasi satra sangat meyakinkan. Membina dan mengembangkan apresiasi sastra berarti membina dan mngembangkan kesusastraan itu sendiri dan kebudayaan pada umumnya. Pemahaman karya satra yang baik dapat membuat pembaca lebih matang dan bijaksana dalam melaksanakan, membina serta mengembangkan kehidupan ini, terutama pembangunan nasional. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Novel Sanu Infinita Kembar adalah karya sastra yang sangat menarik, bersifat mistis dan filosofis. Dengan kepiawaian sang penulis, novel ini menceritakan suatu eksistensi seorang manusia, Sanu, yang senantiasa mengalami pergolakan di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, dalam diri manusia terdapat dua kekuasaan, yaitu kekuasaan kembar. Kekuasaan pertama selalu melakukan revolusi, dan yang kedua melakukan evolusi, dan kecenderungannya adalah merawat dan membangun puing-puing akibat revolusi itu. Kekuasaan yang pertama sentralistis, ego, sama sekali tidak kreatif, sedangkan yang kedua bertindak harmonis, kreatif dan memiliki cakrawala. Sanu meninggalkan Sanu, lalu ketemu massa yang bikin kudeta, hingga Sanu pun ngilu. Sanu mencari Sanu, bertemu dengan suara bisikan pilihan dan tindakan, untuk menjadi Sanu! Sanu terus mengembara, ingat dan lupa selalu diburu suara mendenging dan menggila! Lalu Sanu bangkit, merindukan hilang untuk menemukan rasa: aman dan seimbang. Daftar Pustaka Atmosuwito, Subijantoro, 1987, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, Bandung: C.V. Sinar Baru Busye, Motinggo, 1985 , Sanu Infinita Kembar, Jakarta: PT. Gunung Agung. Sugihastuti, 2002, Teori dan Apresiasi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sutrisno, Mudji, 1995, Filsafat, Sastra dan Budaya, Jakarta: Obor. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Aliran Romantisme Puisi Khalil Mathran Maftuhah Universitas Islam Attahiriyah Jakarta Fak. Agama Islam Abstraksi Khalil Mathran merupakan salah seorang penyair yang menggabungkan dua aliran antara Arab klasik dengan Barat. Ia menggunakan model Barat dalam hal isi dan judul sya’ir, sementara tetap memelihara tradisi Arab dalam hal uslub (gaya bahasa). Sejak pertama kali bersekolah, Khalil sebetulnya telah menerima penggabungan dua unsur kebudayaan dalam pelajaran sastranya antara Arab dan Eropa khususnya aliran Romantisme. Unsur arab terlihat sangat dominan dalam aspek bahasa dan kaidah-kaidah bahasa. Apabila diperhatikan dari beberapa sya’ir yang dibuat oleh Khalil, dipastikan ia menggunakan lafadz-lafadz romantisme di dalamnya. Karakteristik Romantisme dalam puisi Khalil serupa dengan karakteristik Romantisme secara umum dari aspek perasaan, imajinasi, lafadz, dan tema. Kata Kunci: aliran, romantisme, puisi 1. Latar Belakang Jika kita berbicara tentang sastra Arab, pada waktu yang bersamaan kita juga berbicara tentang sya’ir Arab. Sya’ir bagi bangsa Arab merupakan hal yang penting dan menjadi kebiasaan bagi mereka, bahkan sya’ir adalah sesuatu yang tertanan dalam jiwa mereka. Sya’ir menjadi alat untuk mengungkapkan perasaan, aspek kecerdasan jiwa yang luar biasa, dan ujung tombak aktifitas jiwa. Ahmad alIskandariy dan Mushtofa ‘Anani menyatakan bahwa “Sya’ir merupakan ungkapan yang fashih, terukur, bersajak, dan bertujuan sebagai ungkapan biasa tentang imajinasi yang tinggi”. (Ahmad al-Iskandariy dan Mushtofa ‘Anani, t.t.:42) Sya’ir Arab mengalami kebangkitan modernnya ketika paruh kedua abad 19 masehi. Pada masa itu terjadi hubungan sangat erat dan pengaruh yang sangat kuat antara sya’ir Arab dengan sya’ir Barat, terutama sya’ir Perancis dan Inggris. Kondisi ini terjadi karena banyak para pemuda Arab yang dikirim belajar ke negara-negara Eropa, kehadiran para pengajar Eropa untuk mengajar di sekolah-sekolah Arab, dan tersebar luasnya terjemahan-terjemahan sastra Barat. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Oleh karena itu, pada masa ini, terdapat banyak aliran sastra Arab, ditambah dengan beragamnya cara para penyair Arab dalam mengungkapkan sya’ir-sya’ir mereka, yang semua itu mencerminkan dinamika kebangkitan sastra Arab. Secara garis besar, terdapat 3 aliran sastra modern, yaitu sastra yang tetap mempertahankan model lama dalam uslub (gaya bahasa) maupun tema, sastra yang membatasi diri hanya pada sastra Arab klasik, dan sastra yang menggabungkan sastra Arab klasik dengan sastra Barat. Khalil Mathran merupakan salah seorang penyair yang menggabungkan dua aliran antara Arab klasik dengan Barat. Ia menggunakan model Barat dalam hal isi dan judul sya’ir, sementara tetap memelihara tradisi Arab dalam hal uslub (gaya bahasa). Dan yang terpenting adalah, ia dianggap sebagai pionir aliran Romantisme dalam sastra Arab modern. 1.2 Sejarah Hidup Khalil dilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik yang dikenal sebagai keluarga Mathran. Jadi, Khalil Mathran merupakan nama bagi Khalil yang berasal dari keluarga besar Mathran. Ayah Khalil berasal dari Ghasasanah, kota kecil di wilayah Syam, (Sa’id Husain Manshur, 1977:3) sedangkan ibunya merupakan orang Libanon asli yang memiliki asal-usul dari Palestina. (Syauqi Dhoyif, 1969:121). Khalil tumbuh dalam keluarga yang tergolong taat pada agama dan tradisi. Hal ini dibuktikan dengan dikirimnya Khalil untuk bersekolah dasar di Zahlah, sebuah sekolah yang mengajarkan tradisi-tradisi Timur. Kemudian, setelah tamat, Khalil melanjutkan pendidikannya di sekolah Keuskupan Katolik Roma di Beirut. Di sekolah tersebut, ia belajar Bahasa dan Sastra Arab, baik ushul maupun furu’, pada dua orang guru, yakni Khalil al-Yazij dan Ibrahim al-Yazij, juga Bahasa dan Sastra Perancis pada guru Perancis. Dari sini, dimulailah aktifitas Khalil sebagai seorang sastrawan. Hal yang paling menolong Khalil, pada saat itu, untuk kemudian tumbuh menjadi seorang sastrawan arab yang terkenal adalah lingkungan internal dan eksternal sekolahnya. Di luar sekolah, banyak terdapat perkumpulan dan klub sastra, LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 serta percetakan dan surat kabar yang mencerminkan kebebasan dalam hal pemberitaan dan keinginan memperbaiki kondisi negara. Sementara di dalam sekolah terdapat banyak periwayatan sastra yang menggambarkan kesedihan serta perayaanperayaan sastra. (Sa’id Husain Manshur, 1977:4). Setelah lulus, Khalil lebih banyak memperhatikan dan bergabung dengan peristiwa-peristiwa politik dan sosial di Beirut sebagaimana para budayawan pada masa itu. Dia kemudian menentang keras politik pemerintahan Usmani yang menguasai negaranya dan dianggapnya tidak adil. Akibatnya, Khalil mengalami berbagai kekerasan dan diburu oleh mata-mata Sultan Abdul Hamid sepanjang hidupnya. Selanjutnya, atas saran keluarganya, Khalil pindah ke Perancis pada tahun 1890 demi keselamatan dirinya. Di sana, ia menetap dan mendalami sastra Perancis, dan banyak dipengaruhi oleh aliran romantisme. Di sana pula, ia bergabung dengan sebuah kelompok yang beranggotakan para pemuda Turki, yang merupakan bagian dari suatu partai yang didirikan di Turki untuk menentang kekuasaan Abdul Hamid. (Syauqi Dhoyif, 1969:122). Karena khawatir dengan keselamatannya, Khalil berfikir untuk pindah ke Amerika Selatan dimana banyak terdapat kawan-kawannya di sana, dan untuk mempersiapkannya ia belajar bahasa Spanyol. Tetapi, Khalil pergi ke Iskandariyah (Mesir) pada tahun 1892 dan menetap di sana sampai wafatnya tahun 1949 tanpa menikah. (M.M. Badawi, 1975: 69) Sepanjang hidupnya yang berpindah-pindah, Khalil tidak hanya merupakan seorang penyair dan sastrawan Arab. Ia juga memiliki aktifitas lain sebagai wartawan, pedagang, penterjemah, penulis dan kritikus. Kehidupannya di Mesir dimulai sebagai wartawan di koran “al-Ahram”. Kemudian ia menerbitkan majalah sastra dua mingguan “al-Mishriyyah” tahun 1900 M selama tiga tahun, dan koran “al-Jawaib al-Mishriyyah” tahun 1902 M sampai habisnya tahun 1907 M karena masalah finansial. Setelah itu Khalil beralih menjadi pedagang sampai kebangkrutannya tahun 1912, dan beralih menjadi sekretaris di sebuah organisasi pertanian dan anggota bagian perencanaan sebuah bank di Mesir. Bersamaan dengan itu, ia menekuni kembali kegiatannya di bidang sastra sebagai penulis, penyair, penterjemah, dan ketua perkumpulan teater nasional. Ia pernah menterjemahkan beberpa naskah teater seperti ‘Athil dan Tajir al-Bunduqiyah karya Shakespear dan Sayid Likurniy, (Abu LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 ‘Aush Ahmad dan al-Farabi ‘Abd al-Lathif, 1983:293) beberapa buku filsafat akhlak, ekonomi, sejarah dunia, dan pertanian. Ia juga menulis tentang sejarah, sosial, dan ekonomi. (M.M. Badawi, 1975: 69) 2. Hasil dan Pembahasan 2.1 Karakteristik Sastra Khalil Sejak pertama kali bersekolah, Khalil sebetulnya telah menerima penggabungan dua unsur kebudayaan dalam pelajaran sastranya antara Arab dan Eropa khususnya aliran Romantisme. Unsur arab terlihat sangat dominan dalam aspek bahasa dan kaidah-kaidah bahasa. Dalam karya-karya sastranya, Khalil sangat kuat menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab Fusha, bukan ‘Amiyah, dengan bentuk, gaya bahasa dan susunan yang sesuai. Isi syairnya sendiri merupakan syair kehidupan, kenyataan, dan khayal sekaligus. Kesatuan qasidah (syair yang terdiri dari 7 atau 10 bait) menjadi satu keunggulan dalam syairnya yang mencerminkan aliran seni baru pada masa itu. Qasidah, baginya, merupakan aktifitas seni yang sempurna dan kesatuannya memelihara sistematika manthiq (berfikir), hubungan makna serta rangkaian jiwa. Di dalamnya ia banyak menggunakan perasaan hati yang dalam beberapa sisi menyerupai aliran Romantisme Barat. Ia juga memasukan unsur cerita, sebagaimana yang terdapat dalam syair Barat, ke dalam syair Arab. Pembaharuannya dalam syair Arab dapat dilihat dari ucapannya: “Bahasa bukan sekedar penggambaran dan pikiran. Alur bangsa Arab (dahulu) dalam syair tidak harus menjadi alur kita sekarang. Bagi mereka jamannya, dan bagi kita jaman kita. Bagi mereka sastra, kebiasaan, kebutuhan dan ilmu mereka, dan bagi kita sastra, kebiasaan, kebutuhan dan ilmu kita. Oleh karena itu syair kita harus mencerminkan gambaran dan perasaan kita, bukan gambaran dan perasaan mereka.” (Sa’id Husain Manshur, 1977:154). Pengaruh Romantisme dalam sya’ir Khalil Mathran tampak sejak kemunculan karya pertamanya. Dalam qasidahnya “1806-1890”, dia menggambarkan gerakan tentara dalam perang Yana: (Salma Khadra Jayyusi, 1977: 55) ومضوا مهادا سرن فوق مهاد# مشت الجبال بهم وسال الوادى عيس ولكن الفناء الحادى# يحدى بهم متطوعين كأنهم LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Dalam sya’ir di atas, Khalil menggunakan perasaan yang dalam ketika mengungkapkan para tentara yang berjalan secara tertib, tenang, dan patuh kepada komandan mereka sekakan-akan mereka adalah gunung yang berjalan, lembah yang mengalir, dan barisan unta yang digiring menuju kematian. Sentuhan Romantisme dapat dijumpai juga dalam qasidahnya “Fi Tasybi’ Janazah” yang ditulis tahun 1894. Dalam qasidah ini diceritakan seorang pemuda yang bunuh diri karena cintanya. (Sa’id Husain Manshur, 1977:183) قبلنا يحمل اللوا# فالشجاع الذى مضى والبطئ الذى نوا# والجرئ الذى اقتفى Khalil menggambarkan pemuda yang bunuh diri disebabkan cinta tersebut sebagai orang yang syahid dan mengganggapnya bagian dari korban masyarakat. Dengan penempatan sang pemuda sebagai syahid di sini, Khalil bermaksud mengungkapkan perasaannya yang tajam dan dalam. Selanjutnya, dia menggambarkan keikutsertaan keluarga syahid yang mengiringi jenazah dengan kalimat: (Sa’id Husain Manshur, 1977:183) من قضى هكذا شهيدا فمن أهلنا هوا# فدفناه برد الغيث قبرا به ثوى Dari dua sya’ir di atas, Khalil melihat bahwa cinta merupakan sesuatu yang suci dan fitrah, sehingga siapa saja yang bunuh diri disebabkan cinta dianggapnya sebagai seorang pemberani dan syahid. Keberanian di sini berasal dari orang-orang yang membawa bendera dan misi cinta meski harus mengantarkannya kepada kematian. Kecenderungan unsur kesedihan dalam aliran Romantisme sangat kuat juga dalam karya-karya Khalil Mathran yang menggambarkan perasaan. Oleh karena itu, sya’irnya penuh dengan kata-kata seperti al-shababah (kerinduan dan kecintaan yang meluap), al-ka-abah (kesedihan yang mendalam), al-‘abarat (air mata), al-qalaq (kegelisahan), dan al-kurbah (kesusahan). Hal ini misalnya dapat dijumpai dalam qasidahnya “al-Janin al-Syahid”. Qasidah ini menceritakan kisah seorang wanita yang datang ke Kairo dengan maksud mencukupi kebutuhan kedua orangtuanya yang sudah tua dengan bekerja di kedai minuman keras. Tetapi, ia jatuh menjadi mangsa seorang pemuda yang memperdayanya dan meninggalkannya dalam keadaan hamil. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Dalam qasidahnya, Khalil menggambarkan wanita itu berbisik kepada janinnya sebelum ia membuangnya (menggugurkannya) dengan bahasa yang sangat pilu: (Abu ‘Aush Ahmad dan al-Farabi ‘Abd al-Lathif, 1983:296) وأمك تسقيك السموم لتصرعا# تموت وما سلمت حتى تودّعا لتخلص من عيش ثقيل بما وعى# وتنفيك من جوف به كنت مودعا من الحزن واألألم والفقر والذل فقل ربى إغفر ذنب أمى محسنا# فإن تلق وجه هللا فى عالم السنى علينا فعاقبه بتعذيبه لنا# فما اقترفت شيئا ولكن أبى جنى وأمطره نارا تبتليه وال تبلى Identitas lain dari aliran Romantisme Barat yang nyata dalam sya’ir Khalil adalah desa sebagai representasi hidup sederhana. Dalam sya’ir-syai’r Khalil, desa tampaknya lebih disukai daripada kota. Sebagai tempat yang dapat menjauhkannya dari manusia dan hiruk pikuk masyarakat, desa menjadi dekat dengan jiwanya. Hal ini dapat dilihat dalam qasidahnya berjudul “Ta’ziyah”: (Sa’id Husain Manshur, 1977:222). ن ونزر من القرى ما يضير# غالب الضير ما يجئ من المد ين لتقوى وراحة وسرور# إن بعدا عن كل حشد مقيم " س إذن هان فى الجبال "ثبير# لو أعز المقام قرب من النا ما زكت ناره وال الح نور# "او أتى "الطور" فى الجماهير "موسى Diantara karya-karya tulisnya yang sudah terbit antara lain “Diwan”, kumpulan sajaknya yang terdiri dari 4 jilid, dan “Mir’ah al-Ayyam”, kumpulan tulisan sastra dan sosialnya dalam majalah ”al-Mishriyyah”. Terjemahan dua sajaknya, Mawar Yang Mati dan Nero, dimuat dalam buku ”Puisi Arab Modern”. Nero adalah sajak dengan satu tema terpanjang yang belum pernah ada dalam sejarah persajakan Arab sampai saat itu. Sajak itu berupa sajak epik yang terdiri dari 400 baris, bermantra tunggal, dan menggunakan sajak (rima) tunggal pula. Puisi-puisi Mathran juga diterbitkan dalam berbagai majalah, seperti Faji’ah fi al-Hazl (bencana LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 di Hazl) dan al-Narjisah (pohon bunga Narsis) dalam majalah “Anis al-Jalis”, dan Banafsajah fi ‘Urwah (bunga Banafsajah di ‘Urwah) dalam majalah “Apollo”. 2.2 Hasil dan Pembahasan Pengaruh Unsur Romantisme Khalil Terhadap Para Penyair Arab Apabila diperhatikan dari beberapa sya’ir yang dibuat oleh Khalil di atas, dipastikan ia menggunakan lafadz-lafadz romantisme di dalamnya. Penggunaan unsur-unsur Romantisme dalam sya’irnya diakui oleh banyak tokoh sangat mempengaruhi para sastrawan Arab pada masanya dan masa sesudahnya. Sebagaimana yang ditulis oleh Abd al-Qadir dalam bukunya “al-Ittijah al-Wijdani Fi Syi’ri al-Hadits”, “Mathran memiliki andil dari sisi ini dalam aspek kosa kata, gaya bahasa, dan bentuk qasidah. Ia menyebarkan unsur Romantisme yang dapat merubah sya’ir Arab ke tataran baru”. (Abu ‘Aush Ahmad dan al-Farabi ‘Abd al-Lathif, 1983:301) Banyak penyair yang secara terang-terangan menyatakan pengaruh Khalil Mathran pada karya-karya sastranya. Khalil Syaibub, Zaki Abu Syadi, dan Ibrahim Naji menuliskan pengaruh nyata Khalil dalam Muqaddimah buku-buku mereka. (Anwar al-jundi, Adhwa ‘ala al-Adab al-‘Arabi al-Mu’ashir, 1968:146) Sya’ir Syaibub mirip dengan sya’ir Khalil Mathran dari aspek tema/judul, ungkapan perasaan, penggambaran kondisi jiwa, dan pembentukan sya’ir. (Sa’id Husain Manshur, 1977:422). Abu Syadi mengungkapkan kekagumannya terhadap unsur Romantisme dalam sya’ir-sya’ir Khalil, serta mengakui bahwa kebebasan Khalil dalam mengekspresikan isi syai’rnya merupakan bentuk Romantisme yang sempurna. Adapun Naji mengakui pengaruh Khalil Mathran dan dampaknya terhadap sya’ir-sya’irnya. (Sa’id Husain Manshur,1977:426-427) Terdapat juga Najib Jamaluddin dalam bukunya “Khalil Mathran Sya’ir al‘Ashr” dan Mandur dalam bukunya “Muhadharat ‘an Khalil Mathran” yang menyatakan bahwa Khalil Mathran merupakan pemilik dan tokoh aliran pembaharuan dalam sastra Arab modern. Bahkan Thaha Husein mengambarkan Khalil Mathran sebagai tokoh pembuka jalan bagi para penyair Arab modern dan guru seluruh penyair Arab kontemporer. LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 Di sisi lain, Mahmud Thaha juga dipengaruhi Khalil Mathran, terutama dalam tahap awal kehidupan sastranya. Hal ini tampak dari Diwannya yang berjudul “alMalah al-Ta-ih” yang menggambarkan unsur-unsur Romantisme di dalamnya. Penggambaran Thaha mengenai kondisi jiwa, perasaan, ketiadaan di sekeliling fenomena-fenomena yang tampak, personifikasi seseorang, penciptaan diri yang hidup dalam alam semesta agar bersekutu dengan perasaan dan kesedihan, merupakan hal-hal yang didapatkan dalam karya-karya Khalil. (Sa’id Husain Manshur,1977:426427) Banyak pula para kritikus sastra yang berterimakasih terhadap pengaruh imajinasi, cara ungkapan, dan kesatuan bentuk dalam qasidah dari Khalil Mathran. (Anwar al-jundi, 1968:147). Meski tidak sedikit pula yang mengingkari pengaruh Khalil Mathran terhadap sastra Arab modern. 3. Kesimpulan Khalil Mathran merupakan salah seorang penyair yang beraliran Romantisme dan pembaharu dalam sya’ir (puisi) Arab. Bahkan, ia dianggap sebagai pemimpin aliran pembaharuan dalam puisi Arab modern. Dilahirkan di kota Ba’labak Libanon pada Juli 1872 dari keluarga Arab Katolik dan wafat tahun 1949 di Mesir. Sehingga, ia diberi gelar sebagai penyair dua wilayah, Mesir dan Libanon. Khalil besar di lingkungan ilmiah, terutama tatkala ia belajar di Sekolah Keuskupan Katolik Roma di Beirut. Di sana ia bahasa dan sastra Arab, serta bahasa dan sastra Perancis. Oleh karenanya, ia sudah menggabungkan unsur budaya Arab dengan unsur budaya Barat sejak awal karya-karya puisinya. Aliran Romantisme yang tumbuh pertama kali di daratan Eropa, unsurunsurnya banyak digunakan Khalil dalam qasidahnya. Karakteristik Romantisme dalam puisi Khalil serupa dengan karakteristik Romantisme secara umum dari aspek perasaan, imajinasi, lafadz, dan tema, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat menyangkal kecenderungan Romantisme dalam karya-karya puisi Khalil. Kekuatan Khalil dalam kecenderungan Romantisme ini karena ia menggunakan perasaan yang LANGUE Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 ISSN: 1693-0487 sangat dalam dan imajinasi yang sangat tinggi dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan. Sebagai seorang penyair pembaharu awal, Khalil banyak mempengaruhi para penyair lain yang hidup satu masa dengannya maupun sesudahnya. Banyak para sastrawan yang mengaku dipengaruhi oleh Khalil Mathran, antara lain Ahmad Zaki Abu Syadi, Mukhtar al-Wakil, Shalih Jaudat, Ibrahim Naji, Ali Mahmud Thaha, Hasan Kamil al-Sirafi, Muhammad Abd al-Mu’ti al-Hamshariy, Khalil Syaibub, Ilyas Abu Shabaka, Adib Muzhar, Bashari al-Huri, Abu al-Qasim al-Shabi, dan Bashir alTijani. Najib Jamaluddin dalam bukunya “Khalil Mathran Sya’ir al-‘Ashr” dan Mandur dalam bukunya “Muhadharat ‘an Khalil Mathran” menyatakan bahwa Khalil Mathran merupakan pemilik dan tokoh aliran pembaharuan dalam sastra Arab modern. Bahkan Thaha Husein mengambarkan Khalil Mathran sebagai tokoh pembuka jalan bagi para penyair Arab modern dan guru seluruh penyair Arab kontemporer. Daftar Pustaka Al-Iskandariy, Ahmad dan ‘Anani, Mushtofa, t.t., al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, Kairo: Dar al-Ma’arif, cet. Ke-18. Ahmad, Abu ‘Aush dan ‘Abd al-Lathif, al-Farabi, 1983, al-Harakat al-Fikriyah wa al-Adabiyah fi al-‘alam al-‘Arabi al-Hadits, Maroko: Dar al-Tsaqafah, Cet. Ke-2. Al-jundi , Anwar, 1968, Adhwa ‘ala al-Adab al-‘Arabi al-Mu’ashir, Kairo: Dar alMa’arif, Cet. Ke-6. Badawi, M.M., 1975, A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry, Cambridge: Cambridge University Press. Dhoyif, Syauqi, 1969, al-Adab al-Arabi al-Mu’ashir fi Mishr, Kairo: Dar al-Ma’arif, Cet. Ke-6. Jayyusi, Salma Khadra, 1977, Trends and Movements in Modern Arabic Poetry, Leiden: EJ Brill. Manshur, Sa’id Husain, 1977, al-Tajdid fi syi’ri Khalil Mathran, Iskandariah: alHaiah al-Mishriyah al-‘Amah li Kitab, Cet. Ke 2. LANGUE ISSN: 1693-0487 Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008