RESUME PLB Psikologi LIntas Budaya Mempelajari sejauh mana pengaruh suatu kebudayaan terhadap perilaku kelompok masyarakat yang bersangkutan. Seperti yang dikatakan oleh Segall (1990), kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Definisi ini mengarahkan perhatian pada 2 hal pokok : keragaman perilaku manusia didunia dan kaitan antara perilaku individu dengan konteks budaya, tempat perilaku terjadi. Psikologi lintas-budaya adalah cabang psikologi yang melihat bagaimana faktor budaya mempengaruhi perilaku manusia. Asosiasi Internasional Psikologi Lintas Budaya (IACCP) didirikan pada tahun 1972, dan cabang psikologi terus tumbuh dan berkembang sejak saat itu. Hari ini, peningkatan jumlah psikolog menyelidiki bagaimana perilaku berbeda di antara berbagai budaya di seluruh dunia. Budaya mengacu pada banyak karakteristik sekelompok orang, termasuk sikap, perilaku, kebiasaan dan nilai-nilai yang ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Matsumoto, 2000). Budaya seluruh dunia berbagi banyak kesamaan, tetapi ditandai dengan perbedaan yang cukup besar. Sebagai contoh, sementara orang-orang dari semua budaya pengalaman kebahagiaan, bagaimana perasaan ini diungkapkan bervariasi dari satu budaya ke yang berikutnya. Tujuan dari psikologi lintas-budaya adalah untuk melihat kedua perilaku universal dan perilaku unik untuk mengidentifikasi cara-cara di mana budaya mempengaruhi perilaku kita, kehidupan keluarga, pendidikan, pengalaman sosial dan daerah lainnya. 1 Macam - Macam Transmisi Budaya 1. Transmisi Vertical General Acculturation Dari orang yang lebih tua/orang tua, pada budaya sendiri (intra) informal Misal : anak disiplin karena melihat orang tuanya Specific Socialization Peristiwa yang disengaja, terarah dan sistematis Misal : anak di didik untuk tidak membantah pada orang tua dan pendidikan formal 2. Oblique Transmision Dari orang dewasa lain, yang budayanya sama (enkulturasi/ sosialisasi) dari orang yang budayanya beda (akulturasi/ resosialisasi) General Aculturation Orang dewasa yang budayanya sama Anak meniru sopan-santun orang dewasa misal : dari guru Specific Socialization Misal : guru menanamkan sifat-sifat kerja sama General Acculturation Orang dewasa yang berbudaya beda Misal : model pakaian Specific Resocialization 3. Horizontal Transmision General Enculturation Dari teman sebaya pada budaya yang sama Misal : anak ikut-ikutan merokok karena ikut temannya Specific Socialization Misal : diskusi kelompok, anak mengikuti aturan bicara bergantian, dan belajar main music dari teman. Lintas budaya perkembangan moral Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Perkembangan moral sangat dipengaruhi dengan perkembangan religiusitas individu. Tentu peran Agama sangat menentukan sejauh mana kemoralan manusia itu sendiri. Melihat kondisi sekarang banyak tragedi kemanusian yang tidak berdasarkan kemoralan yang terjadi belum lama ini. Hal ini jelas menunjukan betapa rendahnya kualitas moral manusia. Budaya merupakan salah satu penentu selain Agama, 2 dimana budaya yang beradab dan memiliki nilai-nilai kemoralan yang baik merupakan persamaan untuk melihat perkembangan moral disuatu tempat misalkan. Sehingga Moral itu sendiri memiliki kesamaan dengan budaya yaitu nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Tentu dimana ada persamaan disitu terletaka perbedaan. Budayabudaya tentu tidak kembar identik satu dengan lainnya, hal ini banyak faktor yang mempengaruhinya seperti seni, kebiasaan, adat istiadat,nilai-nilai, dan berbagai penyokong budaya itu terbentuk. Dari hal perbedaan ini sangat jelas menimbulkan perbedaan pula dari segi perkembangan moral. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai. yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Perbedaan Makna Emosi Bagi Orang dan Dalam Perilaku Lintas Budaya Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna personal yang amat kental, barangkali karena psikologi Amerika memandang perasaan batin (inner feeling) yang subjektif sebagai karakteristik utama yang mendefisinikan emosi.kalau kita sudah mendefinisikan emosi dengan cara ini, maka peran utama yang dipegang emosi adalah memberi informasi pada kita tentang diri kita sendiri.definisi-diri kita-yakni, bagaimana kita mendefinisikan dan mengidentifikasi diri kita-semuanya dipengaruhi oleh emosi kita,sebagai seseuatu yang personal,privat,sebagai pengalaman batin. Namun demikian, dalam budaya lain emosi memiliki peran yang berbeda. Misalnya, banyak budaya yang menganggap emosi sebagai pernyataanpernyataan tentang hubungan antar orang dan lingkungannya,yang 3 mencakup baik benda-benda maupun hubungan sosial denga orang lain. Bagi orang Ifaluk di mikronesia (lutz,1982) maupun orang Tahiti (Levy,1984), emosi merupakan pernyataan mengenai hubungan-hubungan sosial dan lingkungan fisik. Konsep Jepang amae, yang biasanya dianggap sebagai suatu emosi yang penting dalam kebudayaan Jepang, menunjuk pada hubungan saling-tergantung (interdependen) antara dua orang. Penelitian Psikologis Lintas-Budaya tentang Emosi Ada beberapa perbedaan penting antara penelitian psikologis tentang emosi lintas-budaya dengan kajian antropologis dan etnografis. satu perbedaan pentingnya adalah bahwa ahli psikologi biasanya mendefinisikan terlebih dahulu apa tercakup sebagai suatu emosi dan aspek mana dari definisi tersebut yang akan dikaji. bila,misalnya,seorang peneliti hendak meneliti ekspresi marah lintasbudaya,ia harus mengasumsikan bahwa dalam setiap budaya yang hendak dikajinya marah merupakan suatu emosi, dan bahwa aspek ekspresif dan emosi itu setara di semua budaya . Perbedaan-perbedaan kultural dalam konsep dan definisi emosi,sebagaimana telah di diskusikan sebelumnya,menjadi model hambatan bagi penyelidikan ini.dalam meneliti marah, misalnya saja,sangat mungkin bahwa budaya-budaya yang di teliti memiliki definisi yang berbeda tentang marah,atau mengekspresikan marah secara berbeda. Ekspresi marah juga bisa memiliki makna yang berbeda untuk setiap budaya. Ekspresi Emosi Ekspresi wajah dari emosi merupakan aspek ekspresi emosi yang paling banyak dikaji, dan penelitian lintas-budaya mengenai ekspresi wajah inilah yang menjadi pendorong utama kajian-kajian emosi di psikologi Amerika. Ekman dan Izard mendapatkan bukti pertama yang sistematis dan konklusif tentang keuniversalan ekspresi anger (marah), disgust (jijik), fear (takut), happiness (senang), sadness (sedih) dan surprise 4 (terkejut). Keuniversalan ini berarti bahwa konfigurasi mimik muka masing-masing emosi-emosi tersebut secara biologis bersifat bawaan atau innate, Serupa untuk semua orang dari budaya atau etnisitas. Dengan demikian, siapa pun, Dari budaya mana saja, yang mengalami salah satu dari emosi ini seharusnya mengekspresikan secara sama persis. Aturan ini pada intinya mengatur kecocokan kapan ditampilkanya masing-masing emosi tersebut,tergantung pada situasi sosial.inilah yang kita sebut sebagai aturan ungkapan cultural (cultural display rules) (Ekman,1972). Dengan demikian, meskipun ekspresi wajah universal itu secara biologis bersifat bawaan sebagai prototype raut wajah pada semua orang, budaya punya pengaruh besar pada ekspresi emosi lewat aturan-aturan pengungkapan yang di pelajari secara kultural. Karena kebanyakan interaksi antar-manusia pada hakekatnya bersifat sosial, Kita harus memahami bahwa perbedaan kultural dalam aturan pengungkapan ini berlaku dalam kebanyakan, atau bahkan setiap kesempatan. Orangorang dari latar belakang budaya yang berbeda dapat, dan memang, mengekspresikan emosi secara berbeda. Budaya juga mempengaruhi pelabelan emosi. Meski biasanya ada kesepakatan antar budaya dalam hal emosi apa yang ditampilkan oleh suatu ekspresi wajah, namun ada tetap ada variasi dalam kesepakatan tersebut. Sebagai contoh, meskipun sebagian besar subjek dari Indonesia, Jepang, Brazil dan Amerika sepakat bahwa suatu ekspresi wajah menunjukan emosi tertentu (seperti emosi takut), tetap ada perbedaan di tiap budaya dalam dalam hal berapa banyak subjek yang sepakat bahwa ekspresi tersebut menunjukan emosi takut (misalnya, 90% subjek di Amerika, Brazil dan Perancis melabeli ekspresi itu sebagai emosi takut, namun hanya 70% subjek di Jepang dan Indonesia yang menyepakati hal itu). Jenis perbedaan kultural dalam pelabelan emosi inilah yang ditemukan dalam dua penelitian yang lebih baru (Matsumoto,1989,1992). Bagaimanakah cara budaya mempengaruhi persepsi dan interpretasi emosi? Beberapa ahli psikologi percaya budaya bahwa memiliki aturan yang mengatur persepsi emosi, seperti halnya aturan pengungkapan yang 5 mengatur ekspresinya.aturan tentang interpretasi dan persepsi ini disebut aturan dekode (decoding rules) (Buck,1984). Aturan ini adalah aturan cultural, sesuatu yang dipelajari, yang membentuk bagaimana orang di suatu budaya memandang dan menginterpretasi ekspresiekspresi emosi orang lain. Seperti aturan pengungkapan,aturan dekode di pelajari pada masa-masa awal kehidupan, dan di pelajari sedemikian baik sehingga kita tidak benar-benar menyadari pengaruhnya. Dengan demikian, aturan dekode adalah seperti saringan budaya yang mempengaruhi bagaimana kita menangkap ekspresi orang lain. Pengalaman Emosi Dalam beberapa tahun terakhir beberapa program penelitian mulai mempelajari bagaimana orang-orang dari berbagai budaya mengalami emosi secara berbeda-beda (lihat,misalnya, Scherer, Summerfield, dan Wallbot,1986; Wallbot dan Scherer,1986). Penelitian-penelitian tersebut, secara keseluruhan,melibatkan ribuan responden dari lebih dari 30 budaya di seluruh dunia, yang mengisi kuesioner tentang emosi yang mereka alami di kehidupan sehari-hari mereka secara kolektif, temuan dari penelitian-penelitian ini menujukan bahwa kebudayaan memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi. Salah satu dari penelitian ini (Scherer, Matsumoto,Wallbot dan kudoh,1988) menguji perbedaan antara orang Eropa, Amerika, dan Jepang mengenai frekuensi kemunculan emosi. Meskipun anda mungkin menduga bahwa orang dari berbagai penjuru dunia ini mengalami emosi dalam frekuensi yang kurang lebih sama, data yang didapat mengatakan sebaliknya. Orang Jepang melaporkan bahwa mereka mengalami semua emosi-termasuk senang, sedih, takut dan marah-lebih sering ketimbang orang Amerika atau Eropa. Orang Amerika melaporkan lebih sering mengalami senang dan marah dibanding orang Eropa. 6 Perilaku gender Pada saat ini perbedaan gender tidak merupakan suatu hal yang mutlak dalam mengembangan suatu budaya. Akan tetapi dalam transmisi budaya wanita dan laki-laki harus mematuhi peraturan yang ada dalam setiap masing-masing budaya, baik dimana terdapat adat istiadat yang berlaku dimana ia tinggal. Tetapi dalam hal tersebut biasanya wanita lebih dominan dalam melestarikan budaya mereka yang telah diturunkan oleh nenek moyang terdahulu. hal tranmisi budaya dalam hal individualisme dan kolektifisme Individual adalah pola sosial yang berfokus pada nilai tertinggi pada kepentingan individu yang bersifat personal. Dan mereka didorong untuk membangun suatu konsep akan diri yang terpisah dari ornag lain yang termasuk dalamkerangka tujuan keberhasilan yang cenderung mengarah pada tujuan diri individu. Kolektivisme adalah suatu pola sosial yang berfokus pada kepentingan kelompok yang menjadi suatu nilai tertinggi. Jadi, individual dan kolektivisme memiliki tempat tertinggi dalam suatu budaya. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan yang bertentangan dengan masing-masing norma, individualis lebih bertentangan dengan norma kelompok sedangkan kolektivitas lebih cenderung sesuai dengan norma kelompok. Individu merupakan unit terkecil pembentuk masyarakat. Dalam ilmu sosial, individu berarti juga bagian terkecil dari kelompok masyarakat yang tidak dapat dipisah lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Jadi budaya individu disini maksudnya suatu kebiasaan yang terdapat dalam diri individu itu sendiri. Ini dapat muncul karena mendapat pengaruh baik lingkungannya, keluarga dan pendidikannya. Budaya individu ini lebih menekankan kepada individunya baik itu tingkah laku maupun pola pikirnya yang membudidaya dalam dirinya. Sedangkan tolong menolong atau kolektivitas dalam hal budaya merupakan hal yang penting, dimana budaya tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan individu-individu yang tolong-menolong. 7 PERSEPSI Persepsi adalah tentang memahami bagaimana kita menerima stimulus dari lingkungan dan bagaimana kita memproses stimulus tersebut. Secara lebih spesifik, sensasinya biasanya mengacu pada stimulus atau perangsangan nyata pada organorgan indera tertentu – mata (system visual), telinga (system pendengaran atau auditori), hidung (sistem penciuman atau olfaktori), lidah (pengecapan atau rasa), dan kulit (sentuhan). Persepsi biasanya dimengerti sebagai bagaimana informasi yang berasal dari organ yang terstimulasi diproses, termasuk bagaimana informasi tersebut diseleksi, ditata, dan ditafsirkan. Pendek kata, persepsi mengacu pada proses di mana informasi inderawi diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna. Penelitian lintas-budaya di bidang sensasi dan persepsi belum sebanyak bidang psikologi lain seperti perkembangan, perkembangan kognitif dan intelegensi, emosi, dan psikologi sosial. Beberapa komentar umum tentang pengaruh budaya pada persepsi Persepi dan Relaitas Salah satu hal yang harus disadari tentang persepsi adalah bahwa persepsi kita atas dunia belum tentu mewakili secara persis realitas fisik dunia atau indera kita. Persepsi kita tentang dunia yang “penuh” tidak selalu cocok dengan realitas fisik dari sensasi yang kita terima lewat system penglihatan kita. Persepsi dan Pengalaman Pengalaman dan keyakinan-keyakinan kita tentang dunia mempengaruhi apa yang kita persepsi. Kita juga ingin tahu apakah orang lain mempersepsi dunia dengan cara yang sama seperti kita. Kalau mereka melihat dunia secara berbeda, aspek-aspek mana dari pengalaman dan latar belakang, mereka yang bisa menjelaskan perbedaanperbedaan tersebut? Persepsi kita juga berubah bila kita mengetahui lebih banyak tentang sesuatu. PENGARUH-PENGARUH BUDAYA PADA PERSEPSI VISUAL Sampai disini pembahasan kita menunjukkan bahwa situasi dan pengalaman yang berbeda bisa membuat banyak hal terlihat berbeda. Fenomena ini tentu saja menjadi landasan pemahaman kita tentang bagaimana budaya bisa mempengaruhi persepsi. 8 Kepribadian dalam Lintas Budaya Kepribadian merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Kepribadian mempengaruhi dan menjadi kerangka acuan dari pola pikir dan perilaku manusia, serta bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih nesar, yaitu budaya sebagai konstuk sosial. Menurut Roucek dan Warren, kepribadian adalah organisasi yang terdiri atas faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis sebagaimana digambarkan oleh bagan di bawah ini: Biologis Kepribadian Psikologis Sosiologis Hal pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah perbedaan diantara keberagaman budaya dalam memberi definisi kepribadian. Dalam literature-literatur Amerika umumnya kepribadian dipertimbangkan sebagai perilaku, kognitif dan predisposisi yang relatif abadi. Definisi lain menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan dan perilaku yang berbeda antara individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi lingkungan dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern menyebutnya sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet). Seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetik menentukan sampai mana ban karet tersebut dapat ditarik (direntangkan) dan faktor lingkungan menentukan sampai 9 seberapa panjang ban karet tersebut akan ditarik atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang anak yang tinggal bersama orangtua ketika beranjak dewasa tentunya sangat berbeda dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang tinggal di panti asuhan. Selain itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi pula oleh semakin bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang, tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of control dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal). 10